Kekuasaan Negara atas Tubuh Perempuan St
Sierra Leone
Dewi Idam Sari
G1B040078 Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, 2008.
ABSTRAK
Dewi Idam Sari. Kekuasaan Negara atas Tubuh Perempuan: Studi Kasus Female Genital Mutilation di Sierra Leone. Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, 2008.
Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman tentang bagaimana kekuasaan negara Sierra Leone atas tubuh perempuan berkaitan dengan masih dijalankannya praktik Female Genital Mutilation(FGM) yang merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Perempuan yaitu penghilangan hak perempuan atas tubuhnya.
Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini berupa teori dan konsep yang terdapat dalam pendekatan feminisme. Dimana sebagai ideologi pembebasan perempuan dari segala bentuk diskriminasi yang ada di dunia ini, feminisme mampu menjawab suara hati perempuan serta mengungkap segala bentuk kekuasaan yang membentengi perempuan menggapai kebebasan hak asasinya.
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang berperspektif feminisme. Sehingga segala sesuatu dalam penelitian ini tidak terlepas dari nila-nilai feminisme itu sendiri. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan, jasa internet, dan wawancara.
Hasil penelitian menunjukan bahwa betapa hak asasi perempuan atas tubuhnya dikuasai oleh kekuasaan yang berlapis-lapis. Sehingga dalam Kasus Female Genital Mutilation di Sierra Leone ini, perempuan sama sekali tidak punya hak atas tubuhnya Hasil penelitian menunjukan bahwa betapa hak asasi perempuan atas tubuhnya dikuasai oleh kekuasaan yang berlapis-lapis. Sehingga dalam Kasus Female Genital Mutilation di Sierra Leone ini, perempuan sama sekali tidak punya hak atas tubuhnya
ABSTRACT
Dewi Idam Sari . State‟s Authority on Woman‟s Body: Case study Female Genital Mutilation Practice in Sierra Leone. Departement of International Relations, Faculty of Social and Political Sience.Universitas Padjadjaran, Jatinangor, 2008.
This Research is making for take the description dan undestanding about how the state‟s authority of Sierra Leone on Woman‟s Body, which is the practice of Female Genital Mutilation is still exist over there. It‟s kind of women‟s rights violence, the
shape is wo men‟s rights violence on her body as her rights.
The framework thinking in this research refer to theory and concept in feminism perspective. As an ideology for women‟s freedom from all forms of discrimination against women, feminism appear to answer all of women‟s heart voices, showing up
all of authority that fortify women in reaching their rights.
The research method in this reasearch is qualitative method with feminism perspective. So, all kind of forms in this research is awalys stay in feminism values. The data is collected by library research, internet service, and interview
The result shown that how women‟s rights on her body is authorized by multi authorities that deep and strong. So, in this case of female genital mutilation in Sierra Leone, women do not have rights on their body anymore, because state has being authorized on women‟s body. So, in this case state does not usefull anymore for
women
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hak Asasi Perempuan (HAP) merupakan suatu jaminan bahwa perempuan tidak akan mengalami diskriminasi yang berdasar atas jenis kelaminnya sebagai
perempuan. 1 Namun pada kenyataannya, di berbagai belahan dunia sering terjadi pelanggaran terhadap HAP dimana perempuan sering mengalami diskriminasi
diberbagai sektor kehidupan. Faktor utama penyebab masalah ini adalah masih dianutnya paham patriakal di sebagian besar masyarakat dunia, dimana laki-laki dianggap sebagai makhluk yang lebih superior dibandingkan perempuan. Dalam masyarakat yang patriakal, sering sekali perempuan diperlakukan sebagai benda milik dan hampir tidak memiliki hak atas apapun, baik harta benda, kebebasan menentukan
masa depan, bahkan kontrol atas diri dan tubuhnya. 2
Pelanggaran-pelanggaran HAP tidak saja terjadi di ruang publik, dalam ruang domestik, perempuan juga paling besar terlanggar hak asasinya. Pada konteks ini maka perempuan dalam banyak kesempatan mengalami korban kekerasan berganda. Ia tidak saja menjadi korban fisik, tetapi juga psikis, sosial dan budaya dalam masyarakat patriarki. Salah satu dampak buruk bagi perempuan adalah seringnya
1 Microsoft ® Encarta ® Encyclopedia 2002. © 1993-2001 Microsoft Corporation. All rights reserved. 2 Debu Batara Lubis,”Female Genital Mutilation: Penghilangan Hak Wanita Atas Tubuhnya” dalam
Irianto, Sulistyowati, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor, 2006, hal. 489 Irianto, Sulistyowati, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor, 2006, hal. 489
Kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan ini diklaim oleh sebagian besar kaum feminis sebagai penekanan dalam banyak cara tergantung pada kebudayaan, kelas, dan ras yang berbasis gender. 3 Salah satu bentuk ketertindasan dan diskriminasi terhadap perempuan yang berdasar atas kebudayaan adalah Female Genital Mutilation (FGM) yang merupakan penghilangan hak perempuan atas tubuhnya. Berdasarkan fact sheet no.23, Harmfull Traditional Practices Affecting the Health of Women and Children yang dikeluarkan oleh Office of the High Commissioner for Human rights, FGM adalah istilah yang dipakai untuk mengacu pada tindakan pembedahan untuk mengangkat sebagian atau seluruh bagian organ
genital perempuan yang paling sensitif. 4
Praktik FGM ini dapat dianggap sebagai hal yang umum di banyak bagian dunia, karena berdasarkan data yang dihimpun oleh World Health Organization (WHO) diperkirakan bahwa sekitar 100-132 juta perempuan di seluruh dunia ini telah
3 J. Ann Tickner, Gender in International Relations Feminist Perspectives on Achieving Global Security, New York, Columbia University Press, 1992, hal. 15
4 fact sheet no.23, Harmfull Traditional Practices Affecting the Health of Women and Children dalam Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan
Keadilan. Jakarta, Yayasan Obor, 2006, hal. 491 Keadilan. Jakarta, Yayasan Obor, 2006, hal. 491
berada di 40 lebih negara di Afrika, Timur Tengah, Amerika bagian selatan, Asia dan Australia. 6 Kebanyakan dari praktik FGM di seluruh dunia dilakukan di 28 negara Afrika diantaranya yang terbesar yaitu Djibouti, Etrirea, Sierra Leone, Somalia, dan
Sudan dimana sekitar 90% perempuannya mengalami praktik ini. 7 Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Departemen Amerika Serikat, diantara kelima negara ini, tiga
negara sudah melakukan pelarangan terhadap praktik FGM, dimana Djibouti telah mengeluarkan pelarangan pada tahun 1998, Eritrea pada tahun 1995, dan Somalia pada tahun 1999.
Sierra Leone sebagai salah satu negara yang masih mempertahankan praktik FGM ini telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) pada tahun 1988, namun tidak satupun hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah Sierra Leone untuk menentang praktik
FGM ini. 8 FGM masih saja terus berlangsung di Sierra Leone sebagai sebuah kebudayaan yang melanggar HAP. Negara seolah-olah tidak peduli terhadap masalah
pelanggaran HAP Sierra Leone ini.
5 http://www.ipu.org/wmn-e/fgm-what.htm , diakses 7 September 2007
6 Berdasarkan data dari http://en.wikipedia.org/wiki/Female_genital_cutting , diakses 28 September 2007
7 World Health Organization. (August 1996). Estimated Prevalence of Female Genital Mutilation in Africa. Diakses melalui http://haneydaw.myweb.uga.edu/twwh/fgm.html , diakses 28 September 2007
8 http://www.afrod.com/articles/15927 , diakses 22 Agustus 2007
Berdasarkan keterangan-keterangan diatas, peneliti sangat tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai bagaimana kekuasaan negara Sierra Leone atas tubuh perempuan dengan masih dijalankannya praktik FGM. Berikut beberapa hal yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti masalah ini :
1. Tubuh perempuan sebagai Hak Asasi Perempuan menjadi tidak berarti ketika praktik FGM di Sierra Leone terjadi.
2. Bahwa FGM dengan segala dampak negatifnya terhadap perempuan dan sudah dikecam sebagai praktik yang berbahaya oleh beberapa lembaga internasional tetapi masih saja dipertahankan di Sierra Leone.
3. Peneliti juga ingin menunjukan urgensi kajian gender dalam analisis Hubungan Internasional dengan penggambaran bahwa praktik FGM di Sierra Leone tidak terlepas dari pengaruh kekuasaan atas gender dan seksualitas oleh negara yang maskulin.
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul:
Kekuasaan Negara atas Tubuh Perempuan : Studi Kasus Praktik Female Genital Mutilation di Sierra Leone
Penelitian ini didukung oleh dua mata kuliah pada Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran, antara lain:
1. Teori Hubungan Internasional
Mata kuliah ini mengkaji mengenai keberagaman teori internasional di dalam Studi Hubungan Internasional sebagai salah suatu konstruksi akademik/disipliner yang berkembang dan emansipatoris. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan salah satu pendekatan yang dipelajari pada mata kuliah ini yaitu pendekatan feminisme.
2. Gender dan Seksualitas dalam Politik Dunia Mata kuliah ini mengkaji bahwa betapa semua fenomena yang terjadi di dunia ini termasuk fenomena hubungan internasional tidak terlepas dari masalah gender dan seks.
1.2 Permasalahan
1.2.1 Identifikasi Masalah
"I was genitally mutilated at the age of ten. When the operation began, I put up a big fight. The pain was terrible and unbearable… I was badly cut and lost blood… I was genitally mutilated with a blunt penknife. After the operation, no one was allowed to aid me to walk… Sometimes I had to
force myself not to urinate for fear of the terrible pain. I was not given any anesthetic in the operation to reduce my pain, nor any antibiotics to fight against infection. Afterwards, I hemorrhaged and became anemic. This was attributed to witchcraft. I suffered for a long time from acute vaginal
infections." -Hannah Koroma, Sierra Leone 9
Melalui gambaran pengalaman salah seorang perempuan Sierra Leone yang telah melakukan FGM, dapat dilihat bahwa tindakan FGM sangat merugikan dan
9 http://www.amnestyusa.org/Violence/Womens_Human_Rights/page.do?id=1108439&n1=3&n2=39& n3=739 , diakses 7 September 2007 9 http://www.amnestyusa.org/Violence/Womens_Human_Rights/page.do?id=1108439&n1=3&n2=39& n3=739 , diakses 7 September 2007
kelompok Chirstian Krio yang bertempat tinggal di bagian barat. 10 Tipe FGM yang biasanya dipraktikkan di Sierra Leone adalah: 11
1. Tipe I (menghilangkan bagian permukaan klitoris)
2. Tipe II (pengangkatan klitoris diikuti dengan pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari labia minoria).
Kedua tipe FGM ini sudah dinyatakan pelarangannya oleh berbagai kesepakatn internasional seperti yang dikeluarkan oleh United Nation, WHO, UNICEF, dan CEDAW. Dalam CEDAW terdapat 2 artikel yang berkaitan dengan kewajiban negara atas praktik FGM ini, yaitu pasal 2f dan 5a.
Sierra Leone telah meratifikasi CEDAW pada tahun 1988, ini berarti Sierra Leone setuju untuk mengambil tindakan terhadap segala bentuk tindakan diskriminasi dan pelanggaran hak asasi atas perempuan. Namun pada praktik pengimplementasiannya Sierra Leone masih melakukan praktik FGM ini dengan berbagai alasan diantaranya praktik FGM ini merupakan bagian dari proses seorang anak perempuan untuk bisa menjadi perempuan seutuhnya (from childhood to womanhood). Masyarakat Sierra Leone meyakini bahwa dengan menghilangkan klitoris maka dasar dari kemaskulinan (disini klitoris dianggap sebagai penis yang
10 Ibid 11 Ibid 10 Ibid 11 Ibid
pemotongannya tanpa menggunakan obat bius. Hal tersebut tentu saja sangat menyiksa perempuan yang melakukan FGM. Sebagaimana kesaksian salah seorang perempuan Sierra Leone Hannah Koroma, yang melakukan FGM ini, ia menderita infenksi vagina akut dan kehilangan bagian dari tubuhnya. Tidak hanya konsekuensi atas dasar kesehatan saja yang bisa dialami oleh perempuan yang melakukan FGM ini tetapi juga konsekuensi seksual, dimana perempuan yang sudah di mutilasi tidak akan mampu menikmati hubungan seksual karena perempuan tersebut sudah kehilangan
sensitifitas akibat dari FGM tersebut. 13 Kehilangan sensitifitas berarti tidak bisa merasakan sehingga kehilangan kenikmatan. Segala bentuk tindakan untuk
mengurangi memperoleh kenikmatan serta penggunaan hak-hak asasi perempuan berarti merupakan tindakan diskriminasi terhadap perempuan. 14
Menurut laporan Division for the Advancement of Women tahun 2004, penilaian situasi di Sierra Leone dalam hal respektasi terhadap implementasi CEDAW pada artikel 2f dan 5a dibutuhkan sebuah pengenalan mengenai HAP di Sierra Leone tanpa harus ditunda dengan alasan pertimbangan pola sosial dan budaya. Namun, dalam masalah FGM sendiri, masih belum ada tanggapan dari pemerintah
12 Perempuan yang dikonstruksikan feminin sehingga akan tunduk terhadap sistem patriarki
13 http://en.wikipedia.org/wiki/Female_genital_cutting , diakses 20 Agustus 2007
14 Mengacu pada pasal 1 CEDAW: Diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh
atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau apapun karena statusnya sebagai perempuan .
Sierra Leone dan tidak secara terbuka didiskusikan dimana tidak ada keinginan untuk memasukan masalah FGM ini sebagai salah satu kejahatan atas Hak Asasi Manusia. 15
FGM sudah mengakar pada praktik kebudayaan di Sierra Leone. Hal ini dibuktikan dengan adanya Secret Societies yaitu institusi kebudayaan kuno yang ditujukan untuk mengatur identitas seksual dan kelakuan sosial. Secret Societies ini dikenal dengan sebutan Sande di daerah selatan dan Bondo di daerah utara, dan Freetown untuk sebutan secara umum di Sierra Leone. Secret Societies ini memiliki
hubungan antara suatu kota dan pinggiran kota di Sierra Leone. 16 Kekuatan kebudayaan FGM di Sierra Leone ini menjadikan advokasi
mengenai penghapusan FGM ini diterima sebagai sebuah musuh besar oleh berbagai lapisan masyarakat di negara ini. FGM berlangsung untuk terus menjaga stereotip perempuan. Praktik tradisional ini mengajarkan bahwa perempuan dan anak perempuan untuk menjadi subordinat laki-laki dalam berbagai pola termasuk seksualitas.
Mengacu pada laporan Sierra Leone dalam pengimplementasian CEDAW tahun 2006, FGM masih belum didiskusikan secara terbuka dan belum ditetapkan sebuah hukum yang melarang praktik ini. Bagi Sierra Leone isu FGM ini merupakan isu yang sangat sensitif untuk dibahas karena menyangkut kebudayaan. Negara tidak memberikan ijin kepada universitas, asosiasi medis, dan organisasi perempuan untuk
15 Laporan Division for the Advancement of Women, CEDAW mission to Sierra Leone, 0ktober 2004
http://www.unhcr.org/cgi- bin/texis/vtx/refworld/rwmain/opendocpdf.pdf?docid=46cee3152 , diakses 28 September
Menurut laporan Comittee on the Elimination of Discrimination Against Women pada sesi ke-38 Maret 2007, Sierra Leone merupakan negara yang tingkat diskriminasi terhadap perempuannya cukup tinggi dimana lebih dari seperempat dari sejuta perempuan diperkosa selama perang berlangsung, Human Right Watch mencatat sebanyak 275.000 perempuan dan anak perempuan di Sierra Leone
mengalami tindak kejahatan seksual. 17 Kekerasan seksual merata terjadi di negara ini, dan perundang-undangan di negara ini sangat lemah dalam mengatur hal tersebut
Selain itu terdapat beberapa pemaksaan-pemaksaan legal terhadap perempuan di Sierra Leone. Di bawah konstitusi yang berlangsung, perempuan sering tidak diuntungkan oleh hukum yang mengatur tentang hak milik, perkawinan, dan hak-hak warisan yang cenderung lebih berpihak pada laki laki seperti masalah perkawinan. Ketika laki-laki Sierra Leone boleh melakukan perkawinan dengan perempuan di luar negaranya, tetapi tidak dengan perempuan Sierra Leone, mereka tidak boleh melakukan perkawinan dengan laki-laki di luar Sierra Leone.
Begitu banyak masalah perempuan yang diabaikan di Sierra Leone termasuk FGM padahal praktik ini sangat dalam terpancang di kebudayaan Sierra Leone dan memengaruhi 90% perempuan di negara ini. Perempuan di bawah perhitungan dalam pembuatan keputusan di dalam pemerintahan Sierra Leone, dan ketika terdapat perempuan dalam level bawah pemerintahan, hanya ada sedikit menteri dan hanya
17 Laporan Division for the Advancement of Women, CEDAW mission to Sierra Leone, 0ktober 2004 17 Laporan Division for the Advancement of Women, CEDAW mission to Sierra Leone, 0ktober 2004
Sierra Leone. 18 Patriarki di Sierra Leone berjalan sangat kuat dan yang sering menjadi korban adalah perempuan, namun kejahatan domestik bukanlah sebuah masalah yang
menjadi bahasan masyarakat di Sierra Leone begitu juga dengan FGM. Ini dianggap sebagai masalah domestik sehingga apapun yang terjadi akibat FGM merupakan
rahasia perempuan Sierra Leone. 19 Walaupun berbagai alasan yang dikemukakan untuk tetap mempertahankan kebudayaan FGM, namun kebudayaan ini telah
dinyatakan berbahaya oleh United Nation dalam Fact Sheet No. 23 tentang Harmful Traditional Practices Affecting the Health of Women and Children.
1.2.2 Pembatasan Masalah
Mengingat begitu luasnya permasalahan yang ada, peneliti membatasinya pada masalah kekuasaan negara atas tubuh perempuan melalui praktik FGM di Sierra Leone. Sehingga dengan demikian penelitian ini juga dibatasi dengan batasan waktu dari tahun 2004, dua tahun setelah perang Sierra Leone dinyatakan berakhir sampai dengan tahun 2007. Hal ini dimaksudkan untuk memberi jarak situasi Sierra Leone pasca perang dengan usaha rekonstruksi negaranya hingga tersentuhnya masalah Hak Asasi Perempuan Sierra Leone dalam praktik FGM.
18 http://www.peacewomen.org/un/ecosoc/CEDAW/38th_Session/Sierra%20Leone/PW_ReviewSierra Leone.html , diakses 7 September 2007
19 http://www.cceia.org/resources/publications/dialogue/2_03/articles/630.html , diakses 7 september
1.2.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka dalam hal ini peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
“Bagaimana kekuasaan negara Sierra Leone atas tubuh perempuan dengan masih dijalankannya praktik FGM?”
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini ditujukan untuk:
1. Mendeskripsikan bagaimana kekuasaan negara Sierra Leone atas tubuh perempuan Sierra Leone sehubungan dengan masih adanya praktik FGM di Sierra Leone.
2. Menganalisis sejauh mana Hak Asasi Perempuan Siera Leone dalam mengontrol tubuhnya sehubungan dengan kekuasaan negara Sierra Leone atas tubuh perempuan melalui praktik FGM ini.
3. Memahami bahwa untuk mewujudkan Hak Asasi Perempuan yang seutuhnya terutama dalam kasus FGM tidak terlepas dari kekuasaan negara atas tubuh perempuan.
1.3.2 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk:
1. Memberikan informasi dan pengetahuan khususnya bagi perempuan mengenai FGM serta dampak dan akibatnya bagi perempuan, sehingga pandangan dan pendapat yang keliru mengenai FGM dapat dihilangkan.
2. Menunjukkan bahwa Hak Asasi Perempuan terutama hak perempuan atas kontrol tubuhnya saat ini belum murni sebagai hak yang asasi tetapi masih dalam kuasa pemerintah negara sebagai representasi dari kesepakatan masyarakat yang patriarki.
3. Agar perempuan sadar akan keberadaan hak asasinya, baik di ranah privat, domestik, maupun internasional
1.4 Kerangka Pemikiran
1.4.1 Pendekatan
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan feminisme. Maggie Humm 20 menjelaskan feminisme sebagai sebuah ideologi pembebasan perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya, karena ia adalah perempuan. Feminisme sebagai pendekatan mengenai perempuan akan lebih bisa menggambarkan hal-hal mengenai diri perempuan, segala sesuatu
20 Maggie Humm, Esiklopedia Feminisme, Yogyakarta, Fajar Pustaka baru, 2002, hal. 177 20 Maggie Humm, Esiklopedia Feminisme, Yogyakarta, Fajar Pustaka baru, 2002, hal. 177
Feminisme dalam hal ini lebih ditekankan pada feminisme hubungan internasional gelombang pertama yang mengkritik teori-teori mainstream hubungan internasional dan mempertanyakan dimana keberadaan perempuan dalam hubungan internasional. Beberapa kritik feminisme gelombang pertama terhadap hubungan
internasional, secara garis besarnya yaitu: 21
1. Hubungan internasional secara implisit terikat pada pengetahuan yang prinsip-prinsip serta sistemnya merupakan sebuah tempat untuk manusia yang disebut laki-laki. Hal ini disebabkan karena salah satu karakteristik dari hubungan internasional yang mainstream dimunculkan sebagai gender blind (hubungan internasional itu tidak mempelihatkan adanya perbedaan gender antar aktor-aktornya).
2. Bahwa laki-laki memiliki keterkaitan yang erat dengan hubungan internasional, sedangkan perempuan hanya ditempatkan sebagai yang mendukung kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh laki-laki.
3. Bahwa laki-laki dalam hubungan internasional digambarkan sebagai negara, pembuat kebijakan, tentara, teroris, dan karakter-karakter
21 Christine Sylvester. 1994. Feminist Theory and International Relations in a Postmodern Era. Cambridge University Press. Hal. 4 -5.
lainnya yang menggambarkan kekuatan dan kekuasaan laki-laki itu lebih daripada perempuan.
Selain feminisme hubungan internasional gelombang pertama peneliti juga menggunakan feminisme radikal yang meyakini bahwa sistem seks dan gender adalah
penyebab fundamental dari opresi terhadap perempuan. 22 Sistem seks dan gender ini menunjukkan bahwa perempuan berbeda dengan laki-laki dan bahwa perbedaan itu
bukan hanya berlaku paralel tetapi lebih bersifat superior sehingga memunculkan kekuasaan negara atas tubuh perempuan. Perempuan adalah satu kelas dan laki-laki adalah kelas yang lain. Kaum feminis radikal melihat problemnya adalah patriarki,
yaitu seluruh kekuasaan laki-laki atas perempuan. 23 Intinya adalah feminis radikal menolak konsep kesetaraan gender dengan
standar laki-laki karena mereka melihat bahwa konsep yang diajukan mengacu pada aturan masyarakat patriarki. Aturan masyarakat patriarki ini meliputi aturan yang ada dalam institusi negara. Sierra Leone adalah sebuah negara yang bergender, seperti kebanyakan negara-negara lain di dunia gendernya adalah maskulin. Dalam negara yang maskulin sistem dan strukturnya akan lebih berpihak pada laki-laki. Masalah perempuan menjadi the others apalagi ketika perbedaan biologis menjadi alasan yang menyebabkan perempuan masih belum mendapatkan hak asasinya secara utuh. Hal ini juga berkaitan dengan kekuasaan negara.
22 Rosemarie Putnam Tong. Feminist Thought , terj Aquarini Priyatna Prabasmoro, Bandung, Jalasutra, 2004, hal. 69
23 Marisa Rueda, dkk. Feminisme Untuk Pemula, Yogyakarta, Resist Book, 2007, hal.120
1.4.2 Kerangka Konseptual
Dalam Gendered States, V. Spike Peterson menjelaskan bahwa ketika kebiasaan-kebiasaan patriakal mendahului dan memungkinkan pembentukan negara, itulah yang merupakan awal negara yang berdasar atas sistem maskulin dan dominasi
kelas diinstusionalisasikan; eksploitasi atas perempuan sebagai sebuah „kelas gender/seks‟ dilatarbelakangi oleh kekuasaan koersif negara dan reproduksi pengaturan gender dijadikan sebagai akibat dari suatu rekonfigurasi ideologi yang sah. Negara yang maskulin tidak hanya berdasarkan atas konstruksi tetapi juga merupakan manipulasi atas ideologi penggambaran ruang publik dan ruang privat dalam kehidupan. Negara mengggambarkan dirinya sebagai dunia politik dan
mempromosikan defenisi politik dekat dengan hubungan kekuasaan. 24 Sebagai sebuah negara Sierra Leone memiliki gender maskulin yang berdasar atas sistem
maskulin dan dominasi kelas yang diinstitusikan. Sistem kelas di Sierra Leone ini dipegang oleh kaum maskulin sehingga kebijakan-kebijakannya berdasarkan pemikiran maskulin juga.
Hal ini diklaim oleh kaum feminis dengan pernyataan „personal is political‟, dimana feminis berpendapat bahwa hubungan antara privat dan sosial pada
kenyataannya termasuk kekuasaan, biasanya ketidaksetaraan kekuasaan (power) dilatarbelakangi oleh kekuasaan publik. Feminis juga mengklaim bahwa „the political is personal ‟ dimana manusia (laki-laki) yang menguasai kehidupan publik telah
24 V. Spike Peterson, Gendered States, Lynne Rienner Publisher Inc, 1992, hal. 33 24 V. Spike Peterson, Gendered States, Lynne Rienner Publisher Inc, 1992, hal. 33
Konsep „personal is political‟ ini juga dijelaskan Cynthia Enloe dalam bukunya Bananas, Beach and Bases dimana untuk menjawab penolakan sistem dunia terhadap pentingnya pengalaman perempuan, feminis menegaskan bahwa tidak hanya
„personal is political‟, tetapi juga „personal is international‟. Cynthia Enloe menjelaskan bahwa „the personal is political‟ memberi kesan bahwa politik tidak
dibentuk hanya oleh apa yang terjadi dalam debat legislatif, kedai voting, atau ruang perang. Ketika laki-laki, yang telah mendominasi publik kehidupan, dan telah mengatakan kepada perempuan untuk tinggal di dapur, mereka (laki-laki) menggunakan kekuasaan publik mereka untuk mengonstruk hubungan privat dalam
segala cara yang mengandalkan kontrol politik maskulin. 26
Kedua konsep ini sama-sama mengedepankan hal-hal personal yang dalam hal ini yaitu segala sesuatu yang ada dan terjadi atas perempuan seperti pengalaman perempuan sebagai titik tolak dalam membahas masalah perempuan. Seperti halnya masalah perempuan yaitu FGM, adalah masalah yang perlu ditelaah dari sudut pandang perempuan karena perempuanlah yang lebih mengerti tentang dirinya dan bagaimana perempuan mengangkat isu-isu personal sebagai suatu hal yang akan menghasikan konsep politik yang menguntungkan bagi dirinya. Mengacu pada
„personal is international‟, dimana pemerintahan tergantung pada berbagai macam
25 Ibid 26 Cynthia Enloe. Bananas, Beach, and Bases, London, Pandora Press, 1990, hal. 195 25 Ibid 26 Cynthia Enloe. Bananas, Beach, and Bases, London, Pandora Press, 1990, hal. 195
men‟s club, namun politik internasional secara keseluruhan membutuhkan perempuan untuk berpartisipasi di dalamnya. 28 Bentuk partisipasi ini bisa dikaitkan dengan
terbentuknya suatu konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yaitu CEDAW.
Menurut Simone de Beauvoir 29 , seorang feminis Perancis dalam bukunya yang berjudul The Second Sex, dijelaskan betapa begitu jelasnya diskriminasi terhadap
perempuan dalam streotip yang membedakan perempuan dan laki-laki dan mempertanyakan “what is a woman?”:
1. Seorang laki-laki tidak pernah memulai untuk meresentasikan dirinya sebagai seorang individu dari seks yang benar. Ia tak perlu menekankan bahwa ia adalah seorang laki-laki. Seorang laki-laki berada di sisi yang benar menjadi seorang laki-laki, dan sebaliknya menjadi seorang perempuan adalah sisi yang salah.
2. Perempuan memiliki ovarium, sebuah uterus : hal inilah yang memenjarakan perempuan ke dalam subjektivitas, dan membatasi suatu hal yang alami dalam diri perempuan.
3. Humanitas adalah laki-laki, dan laki-laki mengartikan perempuan tidak seperti apa adanya perempuan, tetapi sebagai relativitas laki-laki.
27 Ibid, hal. 196 28 Ibid, hal. 197 29 Simone de Beauvoir, The Second Sex, New York, Vintage, 1989
4. Laki-laki mampu berfikir dengan dirinya sendiri tanpa perempuan, tetapi sebaliknya perempuan tidak mampu berfikir akan dirinya sendiri tanpa laki-laki.
5. Perempuan merupakan apa yang laki-laki putuskan dan tetapkan. Perempuan dinamakan „the sex‟ dengan maksud bahwa perempuan
muncul berguna untuk laki- laki sebagai „sexual being‟. Perempuan hanyalah seks- absolut seks, tidak lebih.
6. Perempuan diartikan dan dibedakan dengan referensinya terhadap laki- laki, bukan terhadap perempuan itu sendiri. Perempuan adalah suatu kebetulan. Dengan demikian laki-laki adalah subjek, laki-laki adalah absolut, sedangkan perempuan adalah yang lainnya (the Other).
Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa perempuan sebagai inferior dan laki-laki sebagai superior. Hal inilah yang menyebabkan perempuan sering mendapat tindak kekerasan yang melanggar Hak Asasi Perempuan. Feminis radikal menyatakan bahwa sistem seks/gender adalah penyebab fundamental dari opresi terhadap perempuan. Menurut Alison Jaggar dan Paula Rothenberg, klaim tersebut dapat
diinterpretasikan sebagai berikut: 30
1. Bahwa perempuan adalah, secara historis kelompok teropresi yang pertama.
30 Rosemarie Putnam Tong, Feminist Though, terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro, Bandung , Jalasutra, 2004, Hal. 69
2. Bahwa opresi terhadap perempuan adalah yang paling menyebar, dan ada di dalam hampir setiap masyarakat yang diketahui.
3. Bahwa opresi terhadap perempuan adalah yang terdalam, yang berarti bahwa opresi ini merupakan bentuk opresi yang paling sulit dihapuskan, dan tidak dapat dihilangkan dengan perubahan sosial yang lain, misalnya dengan penghapusan masyarakat kelas.
4. Bahwa opresi terhadap perempuan menyebabkan penderitaan yang paling buruk bagi korbannya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, meskipun penderitaan yang ditimbulkan muncul dengan tidak disadari karena adanya prasangka seksis, baik dari pihak opresor maupun dari pihak korban.
5. Bahwa opresi terhadap perempuan memberikan model konseptual terhadap opresi yang lain.
Ideologi patriakal, menurut Millet, membesar-besarkan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, dan memastikan bahwa laki-laki selalu mempunyai peran yang maskulin dan dominan, sedangkan perempuan selalu mempunyai peran yang subordinat, atau feminin. Ideologi ini begitu kuat, hingga laki-laki biasanya
mampu mendapatkan persetujuan dari perempuan yang mereka opresi. 31 Perbedaan biologis inilah yang merupakan salah satu sumber
ketidakberuntungan perempuan dimana perempuan yang sudah terkonstruksi sebagai makhluk yang lemah akan mudah teropresi. Dalam kasus FGM, perempuan Sierra
31 Ibid, hal. 73
Leone cenderung menerima opresi atas dirinya yaitu praktik FGM sebagai salah satu ciri yang mereka yakini sebagai bagian dari memperkuat femininitas mereka. Hal ini berkaitan erat dengan politik dan kekuasaan sebagai alat untuk membentuk opresi atas perempuan tersebut.
Millet berpendapat bahwa seks adalah politis, terutama karena hubungan laki- laki dan perempuan merupakan paradigma dari semua hubungan kekuasaan. Konsep ini didukung oleh Foucault yang melihat bahwa relasi antara kuasa dan seksualitas
selalu terjebak dalam lima hal pokok, yaitu: 32
1. Kuasa dan seks selalu bersifat negatif, dimana ia berisi pengendalian, penyangkalan serta pengucilan dan selalu mengatakan tidak untuk kenikmatan seksual.
2. Seks selalu dipandang sebagai sesuatu yang berposisi biner halal- haram, dilarang-tidak dilarang, boleh-tidak boleh. Pandangan ini secara yuridis menempatkan kuasa yang selalu memasung seksualitas.
3. Seks selalu dipandang dengan siklus larangan, dengan dominan kata “jangan!”; jangan menyentuh; dilarang menikmati; tidak boleh
membicarakannya.
4. Logika sensor/pemotongan yang menegaskan pelarangan seks. Menolak
tidak mendekatinya, membicarakannya, serta mewacanakannya.
keberadaannya
dengan
32 Hatib Abdul Kadir, Tangan Kuasa dalam Kelamin, Yogyakarta, INSISTPress, 2007, hal. 52
5. Lahirnya beberapa aparatus seragam yang bergerak dalam wadah hukum, penyensoran, dan peradilan.
Salah satu kontrol seksualitas yang timbul atas kuasa ilmiah adalah kontrol terhadap tubuh perempuan, di mana secara seksual ia hanya mempunyai peran-peran yang cenderung bersifat feminin dan domestik seperti melahirkan, menyusui, dan
melahirkan anak. 33 Ini disebutkan Hatib Abdul Kadir dalam bukunya Tangan Kuasa dalam Kelamin.
Simone de Beauvoir dalam bukunya the Second Sex mengatakan bahwa seksualitas memainkan peran sangat penting dalam kehidupan manusia; bahkan dapat
dikatakan menyebar ke seluruh kehidupan. 34 Sehingga masalah seks ini juga menjadi sasaran kejahatan terhadap perempuan. Kejahatan seksual merupakan salah satu
bentuk pelanggaran hak asasi perempuan, dimana secara umum karakteristik dari setiap kebudayaan manusia merupakan kualitas ketahanan terhadap ketidaksamaan
gender. 35 Kebudayaan erat kaitannya dengan mitos. Beberapa mitos lebih menguntungkan bagi kasta yang berkuasa daripada mitos tentang perempuan: hal itu membenarkan
bahkan mengesahkan penyalahgunaannya. Kaum laki-laki tidak perlu terganggu dengan rasa sakit dan beban yang secara kejiwaan banyak dialami nasib perempuan: karena hal-hal
tersebut “disengaja oleh alam”, mereka tetap mempergunakannya sebagai dalih untuk
33 Ibid. Hal. 59 34 Simone de Beauvoir, The Second Sex, New York, Vintage, 1989, hal 64 35 James W. Presscot, Genital Mutilation of children: Failure of Humanity and Humanism. 2003 33 Ibid. Hal. 59 34 Simone de Beauvoir, The Second Sex, New York, Vintage, 1989, hal 64 35 James W. Presscot, Genital Mutilation of children: Failure of Humanity and Humanism. 2003
dipertahankannya praktik FGM sebagai salah satu bentuk kekuasaan negara Sierra Leone atas tubuh perempuannya.
1.5 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
1.5.1 Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif menurut Bogdan dan Taylor adalah:
Prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu
memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. 37
Metode kualitatif disini mengacu pada metode penelitian kualitatif yang berperspektif feminisme, yaitu: 38
1. Penelitian feminisme dituntun oleh teori feminisme Dalam penelitian feminisme biasanya dituntun oleh teori feminisme untuk menyusun pertanyaan-pertanyaan dan menafsirkan data. Variabel yang digunakan adalah gender, keperempuanan, dan kekuasaan atau pengalaman sebagai hubungan yang diselidiki. Dengan menerapkan teori feminisme, para
36 Simone de Beauvoir, The Second Sex, New York, Vintage, 1989, hal. 380 37 Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2000, hal.3
38 Shulamit Reinharz, Metode-Metode Feminis dalam Penelitian Sosial, Women Research Institute.1992 38 Shulamit Reinharz, Metode-Metode Feminis dalam Penelitian Sosial, Women Research Institute.1992
2. Penelitian feminisme mengedepankan advokasi perspektif dan posisi nilai feminisme. Nilai-nilai feminisme yang memperjuangkan kebebasan hak-hak asasi perempuan sangat ditonjolkan dalam hal ini. Nilai-nilai ini tidak terlepas dari pengalaman personal perempuan dan pengalaman menjadi perempuan. Feminisme menjunjung tinggi kesetaraan serta keadilan gender dengan tidak menempatkan perempuan sebagai jenis kelamin kedua setelah laki-laki. Sehingga nilai-nilai feminisme ini sering berbenturan dengan kenyataan yang diteliti, untuk itu sangat dimunculkan kritik atas segala pelanggaran nilai-nilai hak asasi perempuan yang belum terbebaskan tersebut karena tidak sesuai dengan nilai feminisme.
3. Penelitian feminisme sensitif terhadap bagaimana hubungan antar gender dan kekuasaan yang terserap dalam semua aspek kehidupan. Dalam hal ini, segala sesuatu yang dimunculkan dalam penelitian ini diupayakan sensitif dalam membaca ketimpangan-ketimpangan atas ketertindasan salah satu jenis kelamin atas nama gender. Kekuasaan atas penindasan gender ini harus mampu dibaca dalam penelitian feminisme secara 3. Penelitian feminisme sensitif terhadap bagaimana hubungan antar gender dan kekuasaan yang terserap dalam semua aspek kehidupan. Dalam hal ini, segala sesuatu yang dimunculkan dalam penelitian ini diupayakan sensitif dalam membaca ketimpangan-ketimpangan atas ketertindasan salah satu jenis kelamin atas nama gender. Kekuasaan atas penindasan gender ini harus mampu dibaca dalam penelitian feminisme secara
4. Penelitian feminisme bersifat lintas disiplin Sebagai fenomena postmodern, penelitian feminisme melebur genre dengan melebur disiplin. Akar terhadap penindasan perempuan tersembunyi dibalik berbagai disiplin dan sisi-sisi kehidupan. Untuk itu penelitian feminisme sangat perlu untuk melakukan kajian lintas ilmu. Harus ada lebih banyak investigasi empiris dan lintas budaya terhadap pengalaman hidup perempuan.
5. Penelitian feminisme bertujuan untuk menciptakan perubahan sosial Bagi banyak feminis, penelitian diwajibkan memberi sumbangan pada perubahan sosial lewat penyadaran atau rekomendasi kebijakan spesifik. Penelitian feminisme ini biasanya disertai dengan banyak kritikan yang tajam atas bentuk-bentuk ketidakadilan atas perempuan, sehingga bisa menginspirasikan solusi atas permasalahan yang ada karena penelitian feminis merupakan pembongkaran atas suatu fenomena secara dalam.
6. Penelitian feminisme menyertakan peneliti sebagai seorang pribadi. Keterlibatan peneliti diperlukan dalam analisa serta kritik feminisme. Dalam hal ini penelitian feminis adalah penelitian yang dilakukan oleh seorang feminis. Hal ini merupakan syarat ketika pengalaman personal peneliti sebagai feminis dalam menganalisa serta memperkuat nilai-nilai serta kritik dalam penelitian feminisme.
7. Penelitian feminisme sering menentukan hubungan khusus dengan pembaca Penelitian feminisme memiliki keinginan untuk menghadapkan langsung pembaca dan mempertautkan pembaca dan orang-orang yang ditelitinya lewat dirinya. Sehingga dalam hal ini akan dipaparkan data-data berupa pernyataan langsung dari objek yang diteliti, baik itu wawancara dengan nara sumber ataupun penggambaran pengalaman nara sumber. Tujuannya adalah pembaca dapat merasakan apa yang objek peneliti rasakan, sehingga akan timbul sebuah penggugahan. Selain itu penelitian feminisme juga berusaha menyapa pembaca dengan harapan bahwa pembaca akan membebaskan diri sendiri dari nilai patriarki. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan studi kasus untuk memberi
ilustrasi suatu ide, menerangkan proses perkembangan melintasi waktu, menunjukkan batas-batas generalisasi, menjelajahi isu-isu yang tidak terpetakan dengan bermula pada kasus yang terbatas, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menantang. Minat peneliti sebagai feminis pada studi kasus berasal dari keinginan untuk
39 meluruskan penelitian yang dinodai oleh gynopia 40 , misogini dan penyusunan teori yang didominasi laki-laki.
Penerapan studi kasus ini merujuk pada kasus tunggal atau isu tunggal, dalam hal ini peneliti memfokuskan pada kasus praktik Female Genital Mutilation di negara Sierra Leone. Berdasarkan tiga tujuan utama studi kasus feminis yaitu:
39 Gynopia adalah ketidakmampuan untuk memandang keberadaan perempuan atau untuk memandang perempuan dalam cara yang tidak rancu.
40 Misogini adalah kebencian pada perempuan.
1. Menguji teori, dimana pada bab. 2 peneliti akan memaparkan teori feminisme radikal dan seks serta gender dalam hubungan internasional sehingga membulatkan sebuah konsep mengenai kekuasaan negara atas tubuh perempuan.
2. Menganalisis perubahan fenomena sepanjang waktu. Dalam hal ini peneliti menggambarkan fenomena FGM di Sierra Leone sebagai sebuah fenomena pelanggaran HAP yang tidak tersentuh oleh negara dari waktu- ke waktu. Ini tergambar dalam latar belakang dan indentifikasi masalah pada bab.1, lalu dilanjutkan pada bab.3, 4 dan 5.
3. Menganalisis hubungan antar bagian dari fenomena. Maksudnya disini adalah bagaimana FGM sebagai sebuah fenomena global menyentuh sisi- sisi lain dari sekedar FGM sebagai sebuah kebudayaan, tetapi juga mengandung unsur-unsur politis, mitos, kekuasaan atas tubuh perempuan sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai bentuk dari pelanggaran atas HAP. Analisis ini digambarkan pada bab.5 sebagai bab hasil dan pembahasan kasus. Keterhubungan ini pada akhirnya juga akan kembali memunculkan fenomena baru yang layak untuk kembali diteliti, sebagaimana digambarkan pada bab akhir dalam penelitian ini.
Studi kasus feminis terdiri dari deskripsi mengenai suatu peristiwa, orang, atau kelompok, organisasi, atau komunitas tunggal. Untuk melengkapi pendeskripsian ini, maka peneliti memasukkan data berupa pengalaman perempuan Sierra Leone itu sendiri sebagai individu, mengumpulkan data dari organisasi yang ada di Sierra
Leone ataupun organisasi di luar Sierra Leone namun bekerja untuk Sierra Leone. Selain itu data dari komunitas tunggal berupa komunitas yang memperjuangkan HAM dan HAP juga menjadi fokus peneliti dalam mengumpulkan data untuk melengkapi deskripsi mengenai studi kasus FGM di Sierra Leone beserta analisisnya.
Pada intinya metode kualitatif yang berperspektif feminis yang peneliti gunakan akan selalu berpijak pada nilai-nilai feminisme dan hal ini akan diperkuat oleh keterlibatan peneliti sendiri sebagai seorang feminis. Sehingga setiap kata dan makna yang ada pada tulisan dalam penelitian ini akan selalu dibaca melalui perspektif feminisme itu sendiri.
1.5.2 Teknik Pengumpulan Data
Penulis melakukan pengumpulan data melalui teknik studi kepustakaan (library research), yang ditujukan untuk memperoleh data-data dan informasi- informasi sekunder yang diperlukan dan relevan dengan penelitian, yang bersumber dari buku-buku, majalah, surat kabar, jurnal, serta sumber-sumber informasi lainnya seperti data-data yang terdokumentasikan melalui situs-situs internet yang bersangkutan.
Penelitian ini juga direncanakan akan melakukan wawancara dengan beberapa key informan mengenai masalah ini. Peneliti direncanakan melakukan wawancara langsung dengan cara bertatap muka dengan informan untuk memperoleh data-data primer.
1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian
1.5.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di beberapa instansi dan perpustakaan yang dianggap relevan untuk mengumpulkan data-data penelitian, yaitu:
1. Perpustakaan Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang;
2. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang;
3. Perpustakaan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Jl. Taman Pejambon No.6, Gedung eks BP-7, Jakarta Pusat;
4. Perpustakaan Lembaga Kajian Wanita Universitas Indonesia, Jl. Salemba Raya 4, Jakarta;
5. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jl. Latuhahary No. 4B Menteng Jakarta Pusat
6. Yayasan Jurnal Perempuan, Jl. Tebet Barat VIII no. 27 Jakarta Selatan.
1.6.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian dimulai dari bulan September 2007 berakhir di bulan Februari 2008.
1.7 Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini akan disusun dalam enam bagian yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:
1. BAB I: PENDAHULUAN. Bab ini berisikan apa-apa yang melatarbelakangi peneliti memilih studi kasus FGM di Sierra Leone sebagai fokus kajian dalam membahas kekuasaan negara atas tubuh perempuan. Bab ini menyajikan pendekatan dan kerangka pemikiran, tujuan serta kegunaan penelitian ini yang berdasar pada perspektif feminisme. Selain itu juga dipaparkan metode penelitian yaitu kualitatif berperspektif feminis sebagai landasan bahwa penelitian ini adalah penelitian feminis. Tempat penelitian yang peneliti tuju juga kebanyakan akan dilakukan di lembaga-lembaga yang bergerak untuk masalah perempuan.
2. BAB II: KEKUASAAN NEGARA ATAS TUBUH PEREMPUAN: FEMINISME. Bab ini merupakan kajian pustaka yang berisi konsep-konsep dan teori-teori yang peneliti gunakan sebagai pisau analisis. Peneliti menurunkan pendekatan feminisme melalui aliran feminisme radikal dan seks dan gender dalam hubungan internasional. Sehingga menjadikan sebuah paduan konsep untuk menganalisis masalah kekuasaan negara atas tubuh perempuan dalam kasus FGM.
3. BAB III: FEMALE GENITAL MUTILATION. Bab ini akan memaparkan apa yang menjadi obyek penelitian yaitu FGM. Dalam bab ini dipaparkan 3. BAB III: FEMALE GENITAL MUTILATION. Bab ini akan memaparkan apa yang menjadi obyek penelitian yaitu FGM. Dalam bab ini dipaparkan
4. BAB IV: SIERRA LEONE. Bab ini merupakan kelanjutan dari bab sebelumnya yang berisikan objek kajian tentang Sierra Leone tempat dimana FGM itu berlangsung. Disini digambarkan bagaimana keadaan umum negara ini serta bagaimana kekerasan terhadap perempuan beroperasi di negara ini khususnya FGM.
5. BAB V: FGM SEBAGAI BENTUK KEKUASAAN NEGARA SIERRA LEONE ATAS TUBUH PEREMPUAN SIERRA LEONE. Bab ini akan memaparkan hasil penelitian dan analisis pembahasan,. Melalui pisau analisis pada bab.2, maka dalam bab ini akan diuraikan bagaimana sesungguhnya bentuk nyata kekuasaan negara Sierra Leone ini terhadap tubuh perempuannya. Melalui pendekatan feminisme akan diungkap bahwa FGM itu adalah sebuah pelanggaran HAP atas nama kekuasaan negara.
6. BAB VI: APA GUNANYA NEGARA BAGI PEREMPUAN?. Pada bab ini akan berisikan kesimpulan dari pembahasan tentang kekuasaan negara atas tubuh perempuan melalui studi kaus FGM di Sierra Leone. Kesimpulan dan saran yang diberikan merupakan bagian dari nilai-nilai dan perjuangan feminisme yaitu mewujudkan kembali hak perempuan atas tubuhnya tanpa dikuasai oleh negara dan kekuasaan-kekuasaan lain yang bernaung di dalamnya.
BAB II KEKUASAAN NEGARA ATAS TUBUH PEREMPUAN : PENDEKATAN FEMINISME
Bab ini berisi kajian pustaka yaitu teori-teori dan konsep-konsep yang relevan yang akan peneliti gunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini.
2.1 Feminisme
Meminjam istilah Simone de Beauvoir seorang feminis Prancis dalam the Second Sex 41 , perempuan dalam masyarakat patriarki diidentikkan sebagai the other
dengan laki-laki menempati posisi core-nya. Sebagai the other, perempuan seringkali mengalami berbagai tindakan diskriminasi dalam berbagai sektor kehidupannya. Diskriminasi dalam hal ini dapat didefenisikan sebagaimana pasal 1 CEDAW:
Diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan- kebebasan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya atau apapun karena statusnya sebagai perempuan .
Feminisme lahir atas dasar diskriminasi terhadap perempuan ini yang bertujuan untuk membebaskan perempuan menuntut hak-hak mereka sebagai manusia yang seutuhnya dengan menentang relasi antara laki-laki sebagai core dan
41 Simone de Beauvoir. The Second Sex. New York: Vintage.1989. Sebuah karya fundamental Simone