STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 77K/PID/2012 MENGENAI PERBEDAAN PENAFSIRAN TENTANG PENGERTIAN PERKAWINAN DIHUBUNGKAN DENGAN KETENTUAN PASAL 279 KUHP DAN UU NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.
ABSTRAK
Perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang
wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan pada prinsipnya menganut asas monogami, akan tetapi
dimungkinkan untuk terjadinya poligami apabila dikehendaki dan harus memenuhi
berbagai syarat yang telah diatur dalam UU Perkawinan. Dalam kasus ini, ada seorang
istri bernama Marlinda Susanti yang melaporkan seorang wanita bernama Zahara
karena menikah dengan suaminya yang masih terikat tali pernikahan yang sah
bernama M. Syahril. Terdakwa Zahara dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum dengan
Pasal 279 ayat (1) ke 2 KUHP mengenai kejahatan perkawinan. Kemudian Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Banda aceh dalam putusannya membebaskan terdakwa dari
segala tuntutan dengan pertimbangan bahwa Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU
Perkawinan merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan, sehingga
pernikahan yang terjadi antara Terdakwa Zahara dan M.Syahril yang meskipun telah
dilakukan sesuai hukum agamanya tetapi tidak dicatatkan, maka pernikahan itu tidak
mempunyai kekuatan hukum dan pernikahan itu dianggap tidak ada sama sekali. Oleh
karena itu salah satu unsur dari Pasal 279 ayat (1) ke 2 KUHP,yaitu unsur mengadakan
perkawinan, tidak terpenuhi. Kemudian Majelis Hakim Mahkamah Agung tingkat kasasi
menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh JPU dengan pertimbangan bahwa
judex facti tidak salah dalam menerapkan hukum, karena telah mempertimbangkan halhal yang relevan secara yuridis dengan benar, yaitu antara Terdakwa Zahara dan
M.Syahril telah terjadi pernikahan sehingga tidak terdapat perzinahan dalam perbuatan
Terdakwa Zahara. Oleh karena itu menjadi hal yang menarik untuk dibahas apakah
pernikahan yang dicatatkan menjadi syarat untuk terpenuhinya unsur Pasal 279 ayat
(1) ke 2 KUHP dan apakah pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung tingkat
kasasi yang menyatakan antara Terdakwa Zahara dan M.Syahril telah terjadi
pernikahan sehingga tidak terdapat perzinahan sudah sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode
pendekatan yuridis normatif dengan data utama berupa data sekunder yang diperoleh
dengan studi kepustakaan.
Dari hasil penelitian yang diperoleh dalam penyusunan studi kasus ini, dapat
diketahui bahwa, perkawinan yang dilakukan oleh Terdakwa Zahara dan M.Syahril
hanya dilakukan menurut agama dan kepercayaan, hal itu tidak sesuai dengan
ketentuan yang ada di dalam UU Perkawinan yang mengharuskan pencatatan
perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga
perkawinan yang dilakukan oleh Terdakwa Zahara dan M.Syahril tidak mempunyai
kekuatan hukum. Oleh karena itu, maka perkawinan yang dilakukan oleh Terdakwa
Zahara dan M.Syahril tidak memenuhi unsur Pasal 279 ayat (1) ke 2 KUHP, karena
pencatatan pernikahan di KUA merupakan syarat untuk terpenuhinya unsur Pasal 279
ayat (1) ke 2 KUHP, dan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung tingkat kasasi
dalam putusan no. 77k/pid/2012 yang menyebutkan bahwa antara terdakwa Zahara
dengan M.Syahril telah terjadi pernikahan, tidak sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, karena pernikahan yang dilakukan oleh Terdakwa Zahara dan
M.Syahril adalah pernikahan yang tidak dicatatkan. Oleh karena itu, Mahkamah Agung
kurang tepat dalam pertimbangannya yang menyatakan bahwa telah terjadi pernikahan
antara Terdakwa Zahara dan M.Syahril sehingga tidak ada perzinahan. Pernikahan
yang terjadi antara Terdakwa Zahara dengan M.Syahril tidak memenuhi ketentuan
pernikahan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
iv
Perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang
wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan pada prinsipnya menganut asas monogami, akan tetapi
dimungkinkan untuk terjadinya poligami apabila dikehendaki dan harus memenuhi
berbagai syarat yang telah diatur dalam UU Perkawinan. Dalam kasus ini, ada seorang
istri bernama Marlinda Susanti yang melaporkan seorang wanita bernama Zahara
karena menikah dengan suaminya yang masih terikat tali pernikahan yang sah
bernama M. Syahril. Terdakwa Zahara dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum dengan
Pasal 279 ayat (1) ke 2 KUHP mengenai kejahatan perkawinan. Kemudian Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Banda aceh dalam putusannya membebaskan terdakwa dari
segala tuntutan dengan pertimbangan bahwa Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU
Perkawinan merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan, sehingga
pernikahan yang terjadi antara Terdakwa Zahara dan M.Syahril yang meskipun telah
dilakukan sesuai hukum agamanya tetapi tidak dicatatkan, maka pernikahan itu tidak
mempunyai kekuatan hukum dan pernikahan itu dianggap tidak ada sama sekali. Oleh
karena itu salah satu unsur dari Pasal 279 ayat (1) ke 2 KUHP,yaitu unsur mengadakan
perkawinan, tidak terpenuhi. Kemudian Majelis Hakim Mahkamah Agung tingkat kasasi
menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh JPU dengan pertimbangan bahwa
judex facti tidak salah dalam menerapkan hukum, karena telah mempertimbangkan halhal yang relevan secara yuridis dengan benar, yaitu antara Terdakwa Zahara dan
M.Syahril telah terjadi pernikahan sehingga tidak terdapat perzinahan dalam perbuatan
Terdakwa Zahara. Oleh karena itu menjadi hal yang menarik untuk dibahas apakah
pernikahan yang dicatatkan menjadi syarat untuk terpenuhinya unsur Pasal 279 ayat
(1) ke 2 KUHP dan apakah pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung tingkat
kasasi yang menyatakan antara Terdakwa Zahara dan M.Syahril telah terjadi
pernikahan sehingga tidak terdapat perzinahan sudah sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode
pendekatan yuridis normatif dengan data utama berupa data sekunder yang diperoleh
dengan studi kepustakaan.
Dari hasil penelitian yang diperoleh dalam penyusunan studi kasus ini, dapat
diketahui bahwa, perkawinan yang dilakukan oleh Terdakwa Zahara dan M.Syahril
hanya dilakukan menurut agama dan kepercayaan, hal itu tidak sesuai dengan
ketentuan yang ada di dalam UU Perkawinan yang mengharuskan pencatatan
perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga
perkawinan yang dilakukan oleh Terdakwa Zahara dan M.Syahril tidak mempunyai
kekuatan hukum. Oleh karena itu, maka perkawinan yang dilakukan oleh Terdakwa
Zahara dan M.Syahril tidak memenuhi unsur Pasal 279 ayat (1) ke 2 KUHP, karena
pencatatan pernikahan di KUA merupakan syarat untuk terpenuhinya unsur Pasal 279
ayat (1) ke 2 KUHP, dan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung tingkat kasasi
dalam putusan no. 77k/pid/2012 yang menyebutkan bahwa antara terdakwa Zahara
dengan M.Syahril telah terjadi pernikahan, tidak sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, karena pernikahan yang dilakukan oleh Terdakwa Zahara dan
M.Syahril adalah pernikahan yang tidak dicatatkan. Oleh karena itu, Mahkamah Agung
kurang tepat dalam pertimbangannya yang menyatakan bahwa telah terjadi pernikahan
antara Terdakwa Zahara dan M.Syahril sehingga tidak ada perzinahan. Pernikahan
yang terjadi antara Terdakwa Zahara dengan M.Syahril tidak memenuhi ketentuan
pernikahan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
iv