Pengaruh Penambahan Inokulum Saccharomycess Cerevisiae dan Lama Fermentasi Terhadap karakteristik Cuka Fermentasi dari Cairan Pulpa Hasil Samping Fermentasi Biji Kakao (Theobrama cacao L.).

(1)

PENGARUH PENAMBAHAN INOKULUM

Saccharomyces cerevisiae

DAN

LAMA FERMENTASI TERHADAP KARAKTERISTIK CUKA

FERMENTASI DARI CAIRAN PULPA HASIL SAMPING FERMENTASI

BIJI KAKAO (

Theobrama cacao

L.)

S K R I P S I

OLEH :

ANAK AGUNG SAGUNG INTEN MAHASARI PUTRI

1211205014

JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016


(2)

PENGARUH PENAMBAHAN INOKULUM

Saccharomyces cerevisiae

DAN

LAMA FERMENTASI TERHADAP KARAKTERISTIK CUKA

FERMENTASI DARI CAIRAN PULPA HASIL SAMPING FERMENTASI

BIJI KAKAO (

Theobrama cacao

L.)

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan seebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian

Universitas Udayana

OLEH :

ANAK AGUNG SAGUNG INTEN MAHASARI PUTRI

NIM : 1211205014


(3)

Anak Agung Sagung Inten Mahasari Putri. 1211205014. Pengaruh Penambahan

Inokulum

Saccharomyces cerevisiae

Dan Lama Fermentasi Terhadap

Karakteristik Cuka Fermentasi Dari Cairan Pulpa Hasil Samping Fermentasi

Biji Kakao (

Theobrama cacao

L.). Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. GP. Ganda

Putra, MP. sebagai pembimbing I dan I Wayan Arnata, S.TP., M.Si. sebagai

pembimbing II.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui pengaruh penambahan inokulum

Saccharomyces cerevisiae

dan lama fermentasi terhadap karakteristik cuka fermentasi

dari cairan pulpa hasil samping fermentasi biji kakao, dan (2) menentukan

penambahan inokulum

Saccharomyces cerevisiae

dan lama fermentasi yang tepat

untuk menghasilkan karakteristik cuka fermentasi dari cairan pulpa hasil samping

fermentasi biji kakao terbaik. Percobaan dalam penelitian ini menggunakan

Rancangan Petak Terbagi (Split Plot) dengan perlakuan penambahan inokulum

Saccharomyces cerevisiae

) menjadi petak utama yang terdiri atas 3 petak yaitu 10%,

15%, dan 20% (v/v). Perlakuan lama fermentasi merupakan anak petak yang terdiri

dari 6 level yaitu 0, 5, 10, 15, 20, 25 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama

fermentasi berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar asam asetat, total asam,

kadar alkohol, total gula dan total padatan terlarut cuka fermentasi dari cairan pulpa

hasil samping fermentasi biji kakao, sedangkan perlakuan penambahan inokulum

Saccharomyces cerevisiae

dan interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh nyata

(P>0,05). Karakteristik cuka fermentasi yang terbaik ditemukan dengan perlakuan

penambahan inokulum sebesar 10% dan lama fermentasi selama 25 hari dengan

kadar asam asetat, total asam, kadar alkohol, total gula, dan total padatan terlarut

berturut-turut adalah 2,86 (% v/v), 1,16 meq NaOH/g, 0,00%, 1,29%, dan 6,02

o

Brix.

Kata kunci : cuka fermentasi, kakao, lama fermentasi, penambahan inokulum


(4)

Anak Agung Sagung Inten Mahasari Putri. 1211205014. The Effect Of Addition

Inoculum

Saccharomyces cerevisiae

And Fermentation Period On The

Characteristics Of Vinegar Fermentation From Liquid Waste Of Cacao Beans

Fermentation. Supervised by Prof. Dr. Ir. GP. Ganda Putra, MP. and I Wayan

Arnata, S.TP., M.Si.

ABSTRACT

This aims to this study was to (1) determine the effect of addition inoculum

Saccharomyces cerevisiae

and fermentation period on the characteristics of vinegar

fermentation from liquid waste of cacao beans fermentation, and (2) to determine the

accurate of addition innoculum

Saccharomyces cerevisiae

and fermentation period

which one produces the best characteristic fermentation from liquid waste of cacao

beans fermentation. The experiments was designed by a Split Plot design with the

addition of inoculum

Saccharomyces cerevisiae

into the main plot consisting of 3

plots 10%, 15%, and 20% (v/v). Fermentation period is a subplots consisting of 6

levels were 0, 5, 10, 15, 20, 25 days. The fermentation period was affected

significantly (P <0,01) on levels of acetic acid, total acid, alcohol content, total sugar

and total dissolved solids from a liquid pulp vinegar fermentation from liquid waste

of cacao beans fermentation, while the addition of inoculum

Saccharomyces

cerevisiae

and interaction did not affect (P> 0,05). The best characteristics of

fermentation vinegar was found on the addition of an inoculum of 10% and

fermentation period for 25 days with the, acetic acid content, total of acid, alcohol

content, total sugar and total of soluble solid were 2,86 (% v/v), 1,16 meq NaOH/g,

0,00%, 1,29%, dan 6,02

o

Brix, respectively.

Keyword :

vinegar fermentation, cacao, watery sweating, fermentation period,

additional of inoculum.


(5)

RINGKASAN

Kakao

(Theobroma cacao

Linn

)

atau lazim pula disebut tanaman cokelat,

merupakan komoditas perkebunan yang terus dipacu perkembangannya, terutama

untuk meningkatkan ekspor non migas. Selain itu juga kakao juga digunakan untuk

memenuhi kebutuhan beberapa industri dalam negeri, seperti industri makanan dan

minuman, farmasi dan kosmetika. Sampai dengan tahun 2015 luas areal perkebunan

kakao Indonesia telah mencapai 1.704.982 ha, dengan produksi mencapai 701.229

ton biji kakao kering (Ditjen Perkebunan, 2015).

Pengolahan kakao pada esensinya adalah usaha untuk memproses buah kakao

menjadi biji kakao kering yang memenuhi standar mutu dan dapat memunculkan

karakteristik khas kakao, terutama cita rasa. Tahapan pengolahan yang dianggap

paling dominan mempengaruhi mutu hasil biji kakao kering adalah fermentasi

(Alamsyah, 1991). Cairan pulpa yang dihasilkan selama proses fermentasi adalah

15-20% dari berat biji kakao yang difermentasi (Ganda-Putra dkk

.

, 2008). Kandungan

asam asetat dalam cairan pulpa setelah fermentasi adalah 1,6 % (Case, 2004). Potensi

cairan pulpa yang cukup besar tersebut, selama ini tidak diolah dan hanya dibuang

begitu saja ditempat pengolahan dan bisa menimbulkan dampak yang buruk bagi

lingkungan. Padahal di dalam cairan pulpa tersebut terdapat kandungan asam asetat

yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi bila diolah dengan baik. Limbah cairan

pulpa hasil fermentasi tersebut dapat di distilasi untuk memproduksi cuka fermentasi,

namun asam asetatnya masih rendah yaitu sebesar 0,49 % (Wiji,2015) dan 2,30%

(Aridona, 2015).


(6)

Prinsip pembuatan cuka fermentasi adalah melalui proses fermentasi 2 tahap,

yaitu fermentasi alkohol dan fermentasi asam asetat. Fermentasi alkohol melibatkan

aktivitas

Saccharomyces cerevisiae

yang mengubah gula-gula sederhana menjadi

alkohol dalam kondisi anaerob. Fermentasi asam asetat melibatkan aktivitas bakteri

Acetobacter aceti

yang mengubah alkohol dengan kadar tertentu menjadi sejumlah

asam asetat secara aerob (Anon, 2009).

Lama fermentasi berpengaruh terhadap karakteristik cuka fermentasi, karena

semakin lama fermentasi kadar alkohol akan meningkat. Namun bila fermentasi

terlalu lama nutrisi dalam substrat akan habis dan khamir

Saccharomyces cerevisiae

tidak lagi dapat memfermentasi bahan.

Fermentasi

alkohol

dilakukan

dengan

menambahkan

inokulum

Saccharomyces

cerevisiae

sebanyak 10%, 15%, dan 20% dengan lama fermentasi

selama 10 hari dan fermentasi asam asetat dilakukan dengan menambahkan inokulum

Acetobacter aceti

sebanyak 15% dengan lama fermentasi selama 15 hari. Proses

fermentasi dihentikan pada hari ke 25 dengan cara dipasteurisasi pada suhu 65

o

C dan

kemudian disaring.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan inokulum

dan lama fermentasi terhadap karakteristik cuka fermentasi dari cairan pulpa hasil

samping fermentasi biji kakao dan menentukan penambahan inokulum

Saccharomyces cerevisiae

dan lama fermentasi yang tepat untuk menghasilkan

karakteristik cuka fermentasi terbaik

.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah rancangan petak terbagi (split plot), dengan perlakuan

penambahan inokulum

Saccharomyces cerevisiae

menjadi petak utama dan perlakuan


(7)

lama fermentasi menjadi petak bagian. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis

variansi dan dilanjutkan dengan Uji Duncan 5% bila perlakuan berpengaruh secara

signifikan (P<0,05), perlakuan terbaik didapat dengan menggunakan uji efektivitas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama fermentasi berpengaruh sangat

nyata terhadap kadar asam asetat, total asam, kadar alkohol, total gula dan total

padatan terlarut cuka fermentasi dari cairan pulpa hasil samping fermentasi biji

kakao, sedangkan perlakuan penambahan inokulum

Saccharomyces cerevisiae

dan

interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar asam asetat, total

asam, kadar alkohol, total gula dan total padatan terlarut cuka fermentasi dari cairan

pulpa hasil samping fermentasi biji kakao. Berdasarkan uji efektivitas perlakuan

penambahan inokulum sebesar 10% dan lama fermentasi selama 25 hari mampu

menghasilkan karakteristik cuka fermentasi terbaik dengan kadar asam asetat, total

asam, kadar alkohol, total gula dan total padatan terlarut berturut-turut adalah 2,86%,

1,16 meq NaOH/g, 0,00%, 1,29%, dan 6,02

o

Brix.


(8)

(9)

RIWAYAT HIDUP

Anak Agung Sagung Inten Mahasari Putri dilahirkan di Denpasar pada

tanggal 12 Desember 1993. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara

pasangan dari Anak Agung Ngurah Agung Wisnawa Darmadi, SH. dan dra. Anak

Agung Seniwati.

Penulis memulai pendidikan di SD Saraswati 4 Denpasar pada tahun 1999

dan menamatkannya pada tahun 2006, lalu melanjutkan pedidikan di SMP Negeri 6

Denpasar, dan berhasil menamatkannya pada tahun 2009. Tahun 2009 penulis

melanjutkan ke SMA (SLUA) Saraswati 1 Denpasar sampai dengan tahun 2012.

Melalui jalur SNMPTN Tulis, penulis terdaftar sebagai mahasiswi Fakultas

Teknologi Pertanian Universitas Udayana pada tahun 2012 dan masuk pada Jurusan

Teknologi Industri Pertanian.

Selama menjalani kuliah, penulis aktif sebagai panitia pelaksana maupun

pada kegiatan-kegiatan kemahasiswaan di lingkungan Fakultas Teknologi Pertanian.


(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, Ida Shang Hyang Widhi Wasa

yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Pengaruh Penambahan Inokulum

Saccharomyces cerevisiae

dan Lama Fermentasi Terhadap Karakteristik Cuka

Fermentasi Dari Cairan Pulpa Hasil Samping Fermentasi Biji Kakao (

Theobrama

cacao

L.)” ini diajukan sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana

Teknologi Pertanian, di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana, Bali.

Pada Kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin

mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada ;

1.

Bapak Prof. Dr. Ir. GP. Ganda Putra, MP. selaku Dosen pembimbing I dan bapak

I Wayan Arnata, S.TP., M.Si. selaku Dosen Pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan, arahan dan solusi dalam penyelesaian skripsi ini.

2.

Kepada penyandang dana Hibah Kompetensi yang diketuai oleh Bapak Prof. Dr.

Ir. GP. Ganda Putra, MP.

3.

Bapak Dr. Ir. I Dw. Gede Mayun Permana, MS. selaku Dekan Fakultas Teknologi

Pertanian, Universitas Udayana.

4.

Ibu Ir. Amna Hartiati, MP. selaku Ketua Jurusan Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana.

5.

Bapak/Ibu dosen beserta staf dan pegawai di lingkungan Fakultas Teknologi

Pertanian Universitas Udayana, atas fasilitas dan dukungan selama menempuh

kuliah hingga penyusunan skripsi.


(11)

6.

Bapak Gus Yoga, Bapak Surya Pramana, Ibu Gung Mirah, Kak Mang Eka, Kak

Suarta atas bimbingan dan petunjuknya selama penelitian di Laboratorium

Analisis Pangan dan Mikrobiologi Pangan Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan,

Laboratorium Rekayasa dan Proses Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas

Teknologi Pertanian Universitas hingga penyusunan skripsi ini selesai.

7.

Keluarga tercinta terutama Tuaji A. A. Ngurah Agung Wisnawa D, SH. (alm) dan

Ibu Dra. A. A. Ketut Seniwati, kakak A. A. Sagung Mirah Mahadewi, S.TP dan

adik A. A. Ngurah Mayun Aditya Pramana Wisnawa, beserta seluruh keluarga

besar terimakasih atas doa dan dukungan yang selalu diberikan kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan skripsi.

8.

Teman-teman seperjuangan TIP’12 (Nadia MS, Ria, Maya, Gung Ita, Topan,

Mahdi, Mayun, Angga Sukma, Putri, Karina, Friska, Nopia, Ecik), teman satu

bimbingan dan satu laboratorium (Yudisthira Dharma), Kak Suarta, Kak Gora dan

Kak Ketut terimakasih atas kerjasamanya yang membantu proses penyelesaian

skripsi. Dan teman – teman KKN PPM XII Desa Batuagung, Jembrana

terimakasih atas dukungan dan kerjasamanya.

9.

Sahabat terbaik A.A. Putra Parasara, S.E., M.Acc. terimakasih atas dukungan dan

kerjasamanya.

10.

Seluruh rekan-rekan mahasiswa Agritech Universitas Udayana angkatan 2012 –

2014 yang tak bisa disebut satu persatu, terimakasih atas segala bantuannya dalam

perkuliahan, membuat tugas, praktikum, dan penelitian hingga akhir skripsi ini.

Semoga Ida Shang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa membalas

semua budi baik ini dengan balasan yang lebih baik. Penulis menyadari sepenuhnya


(12)

bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran masih diperlukan untuk

menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat sebagaimana

mestinya.

Denpasar, Juni 2016


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

RINGKASAN ... v

HALAMAN PERSETUJUAN ... viii

RIWAYAT HIDUP ... ix

KATA PENGANTAR

... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I.

PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang ... 1

1.2.Perumusan masalah ... 4

1.3.Tujuan penelitian... 4

1.4.Manfaat penelitian ... 4

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Tanaman kakao ... 6


(14)

2.3.

Pengolahan kakao ... 8

2.4.

Mekanisme fermentasi kakao ... 9

2.5.

Proses fermentasi alkohol ... 11

2.6.

Proses fermentas isam asetat (asetifikasi) ... 13

2.7.

Etanol ... 16

2.8.

Asam asetat (cukafermentasi) ... 16

2.9.

Inokulum

Saccharomyces cerevisiae

... 17

2.10. Inokulum

Acetobacter aceti

... 19

III.

METODE PENELITIAN

3.1.

Tempat dan waktu penelitian ... 21

3.2.

Bahan dan alat ... 21

3.2.1.Bahan penelitian ... 21

3.2.2.Alat penelitian ... 21

3.3.

Rancangan penelitian ... 22

3.4.

Pelaksanaan penelitian ... 22

3.4.1.Pembuatan inokulum

S. cerevisiae

FNCC-3049 ... 22

3.4.2.Pembuatan inokulum

A. aceti

RNCC-0016 ... 24

3.4.3.Fermentasi alkohol ... 25

3.4.4.Fermentasi asam asetat ... 26

3.5.

Variabel yang diamati ... 26

3.5.1.Total asam ... 28

3.5.2.Kadar asam asetat ... 28


(15)

3.5.4.Total padatan terlarut (TSS) ... 29

3.5.5.Total gula ... 30

3.5.5.1.Pembuatan reagensia ... 30

3.5.5.2.Penyiapan kurva standar ... 30

3.5.5.3.Penetapan total gula ... 32

3.6.

Analisis Data ... 32

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

Kadar asam asetat ... 34

4.2.

Total asam ... 35

4.3.

Kadar alkohol ... 37

4.4.

Total gula ... 39

4.5.

Total padatan terlarut (TSS) ... 40

4.6.

Hasil uji efektivitas ... 41

V.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1

Kesimpulan ... 44

5.2

Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45


(16)

DAFTAR TABEL

No

Judul

Halaman

1.

Perubahan komposisi pulpa ... 10

2.

Nilai rata-rata kadar asam asetat cuka fermentasi (%) dengan perlakuan

penambahan inokulum

Saccharomyces cerevisiae

dan perlakuan lama

fermentasi ... 34

3.

Nilai rata-rata total asam cuka fermentasi (meqNaOH/g) dengan

perlakuan penambahan inokulum

Saccharomyces cerevisiae

dan

perlakuan lama fermentasi ... 35

4.

Nilai rata-rata kadar alkohol cuka fermentasi (%) dengan perlakuan

penambahan inokulum

Saccharomyces cerevisiae

dan perlakuan lama

fermentasi ... 37

5.

Nilai rata-rata total gula cuka fermentasi (%) dengan perlakuan

penambahan inokulum

Saccharomyces cerevisiae

dan perlakuan lama

fermentasi ... 39

6.

Nilai rata-rata total padatan terlarut cuka fermentasi (

o

Brix) dengan

perlakuan penambahan inokulum

Saccharomyces cerevisiae

dan

perlakuan lama fermentasi ... 40

7.

Hasil pengujian efektivitas untuk menentukan perlakuan terbaik cuka


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No

Judul

Halaman

1.

Tabel konversi alkohol ... 50

2.

Kuisioner uji efektivitas ... 51

3.

Analisis statistik kadar asam asetat ... 52

4.

Analisis statistik total asam ... 56

5.

Analisis statistik kadar alkohol ... 60

6.

Analisis statistik total gula ... 64

7.

Analisis statistik total padatan terlarut (TSS) ... 68

8.

Hasil uji efektivitas ... 74


(18)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kakao (Theobroma cacao Linn) atau lazim pula disebut tanaman cokelat, merupakan komoditas perkebunan yang terus dipacu perkembangannya, terutama untuk meningkatkan ekspor non migas. Selain itu juga kakao juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan beberapa industri dalam negeri, seperti industri makanan dan minuman, farmasi dan kosmetika. Dewasa ini, perusahaan perkebunan kakao berkembang cukup pesat, baik dalam bentuk pengembangan luas areal tanaman maupun peningkatan produksi biji kakao kering. Sampai dengan tahun 2015 luas areal perkebunan kakao Indonesia telah mencapai 1.704.982 ha, dengan produksi mencapai 701.229 ton biji kakao kering (Ditjen Perkebunan, 2015).

Pengolahan kakao pada esensinya adalah usaha untuk memproses buah kakao menjadi biji kakao kering yang memenuhi standar mutu dan dapat memunculkan karakteristik khas kakao, terutama cita rasa. Tahapan pengolahan yang dianggap paling dominan mempengaruhi mutu hasil biji kakao kering adalah fermentasi (Alamsyah, 1991). Pengolahan hasil kakao, sebagai salah satu sub-sistem agribisnis, perlu diarahkan secara kolektif. Fermentasi biji kakao bertujuan untuk menghancurkan pulpa dan mengusahakan kondisi untuk terjadinya reaksi biokimia dalam keping biji, yang berperan bagi pembentukan prekursor cita rasa dan warna coklat. Pulpa yang telah hancur akan mudah lepas dari biji, membentuk cairan pulpa (watery sweatings) yang menetes keluar tumpukan biji dan biji kakao menjadi bersih dan cepat kering (Haryadi dan Supriyanto, 1991).


(19)

2

Cairan pulpa yang diperoleh melalui proses fermentasi tersebut mengandung asam asetat atau asam cuka, asam laktat, dan alkohol. Asam-asam organik yang terbentuk tersebut diperoleh dari hasil fermentasi gula yang terkandung dalam pulpa biji kakao. Pulpa biji kakao merupakan selaput berlendir berwarna putih yang membungkus biji kakao, terdapat sekitar 25-30% dari berat biji, diantaranya mengandung gula dengan kadar yang relatif tinggi sekitar 10-13% (Lopez, 1986). Cairan pulpa yang dihasilkan selama proses fermentasi adalah 15-20% dari berat biji kakao yang difermentasi (Ganda-Putra dkk., 2008).

Kandungan asam asetat dalam cairan pulpa setelah fermentasi adalah 1,6 % (Case, 2004). Potensi cairan pulpa yang cukup besar tersebut, selama ini tidak diolah dan hanya dibuang begitu saja ditempat pengolahan dan bisa menimbulkan dampak yang buruk bagi lingkungan. Padahal di dalam cairan pulpa tersebut terdapat kandungan asam asetat yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi bila diolah dengan baik. Limbah cairan pulpa hasil fermentasi tersebut dapat di distilasi untuk memproduksi cuka fermentasi, namun asam asetatnya masih rendah yaitu sebesar 0,49 % (Wiji, 2015).

Pembuatan cuka fermentasi adalah melalui proses fermentasi 2 tahap, yaitu fermentasi alkohol dan fermentasi asam asetat. Fermentasi alkohol melibatkan aktivitas Saccharomyces cerevisiae yang mengubah gula-gula sederhana menjadi alkohol. Pada tahap ini terjadi pemecahan disakarida (sukrosa) melalui proses hidrolisis menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa). Fermentasi asam asetat melibatkan aktivitas bakteri Acetobacter aceti yang mengubah alkohol dengan kadar tertentu menjadi sejumlah asam asetat secara aerob (Anon, 2009). Alkohol kemudian dioksidasi oleh oksigen menghasilkan asetaldehid dan air. Asetaldehid


(20)

3

kemudian mengalami oksidasi lebih lanjut dan menjadi asam asetat dengan bantuan Acetobacter aceti. Lama fermentasi berpengaruh terhadap karakteristik cuka fermentasi, karena semakin lama fermentasi kadar alkohol akan meningkat. Namun bila fermentasi terlalu lama nutrisi dalam substrat akan habis dan khamir

Saccharomyces cerevisiae tidak lagi dapat memfermentasi bahan. Semakin lama fermentasi jumlah mikroba yang memecah glukosa semakin menurun, dan akan menuju ke fase kematian karena alkohol yang dihasilkan semakin banyak dan nutrien yang ada sebagai makanan mikroba semakin menurun (Kunaepah, 2008).

Menurut Aridona (2015), terjadinya peningkatan kadar asam asetat selama proses fermentasi sampai hari ke-6 (2,30%) yang tidak berbeda dengan kadar asam asetat hari ke 7, 8, 9, dan 10 pada cairan pulpa kakao. Menurut Zubaidah (2010), perlakuan dari kombinasi penambahan inokulum Saccharomyces cerevisiae dan inokulum Acetobacter aceti sebesar 15% dengan lama fermentasi alkohol selama 10 hari dan lama fermentasi asam asetat selama 16 hari mampu menghasilkan cuka salak dengan kadar total asam sebesar 5,54% pada kondisi fermentasi alkohol secara anaerob. Proses pemanfaatan pulpa kakao belum banyak diketahui oleh masyarakat secara umum, sehingga sering terjadi permasalahan limbah pada saat proses pengolahan awal kakao. Penambahan inokulum Saccharomyces cerevisiae dan Acetobacter aceti dengan lama fermentasi 25 hari belum pernah dilakukan pada pembuatan cuka fermentasi dari kakao.

Atas dasar hal-hal tersebut dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh penambahan inokulum dan lama fermentasi yang tepat untuk menghasilkan karakteristik cuka fermentasi dari cairan pulpa hasil samping


(21)

4

fermentasi biji kakao, serta untuk menghasilkan produk cuka fermentasi yang terbaik yang tentunya akan sangat bermanfaat dan mempunyai nilai tambah bagi komoditas perkebunan kakao.

1.2. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaruh penambahan inokulum Saccharomyces

cerevisiae dan lama fermentasi terhadap karakteristik cuka fermentasi dari cairan pulpa hasil samping fermentasi biji kakao (Theobrama cacao

L.)

2. Berapakah penambahan inokulum Saccharomyces cerevisiae dan lama fermentasi yang tepat untuk menghasilkan karakteristik cuka fermentasi dari cairan pulpa hasil samping fermentasi biji kakao ?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaruh penambahan inokulum dan lama fermentasi terhadap karakteristik cuka fermentasi dari cairan pulpa hasil samping fermentasi biji kakao.

2. Untuk menentukan penambahan inokulum Saccharomyces cerevisiae dan lama fermentasi yang tepat untuk menghasilkan karakteristik cuka fermentasi dari cairan pulpa hasil samping fermentasi biji kakao terbaik.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah hasil perkebunan buah kakao dan dapat memberi kontribusi dalam penyediaan bahan baku cuka fermentasi, serta dapat memberdayakan industri pengolahan kakao


(22)

5

yang ada di Indonesia agar dapat memanfaatkan sebaik-baiknya hasil samping dari proses pengolahan kakao untuk meningkatkan program ketahahan pangan.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Kakao

Kakao (Theobroma cacao Linn) adalah tanaman tahunan dari famili

Sterculiaceae, berupa pohon dengan percabangan agak rendah dengan tinggi 3-15 meter. Bunga muncul dari batang dan cabang yang tua. Buahnya yang berbentuk lonjong dengan kulit beralur-alur dan daging buah yang lunak. Pada waktu muda, biji-biji menempel pada bagian dalam kulit buah, setelah matang akan lepas dan berbunyi jika diguncang. Biji-biji inilah yang akan dimanfaatkan dalam industri makanan. Ada bermacam-macam kakao, namun yang umum dibudidayakan adalah Criollo, Forestero, dan Trinitario yang merupakan varietas dari

Theobroma cacao.

Varietas Criollo, dengan ciri cita rasa enak dan beraroma lembut, terdapat sekitar 10% di seluruh dunia terutama di Venezuela, Equador, Columbia dan Indonesia. Sementara varietas Forastero, dengan cita rasa lebih pahit dan beraroma lebih kuat, merupakan mayoritas tanaman kakao dunia terutama dijumpai di Ivory Coast, Ghana, Nigeria, Malaysia dan Indonesia. Sedangkan varietas Trinitario merupakan persilangan antara Criollo dan Forastero, terdapat di Trinidad, Cameroon, Papua New Guinea dan Jamaica (Anon, 2004).

Varietas Criollo, Trinitario dan persilangannya dikenal sebagai penghasil biji kakao mulia atau kakao edel (fine-cocoa). Sedangkan varietas Forastero

dikenal sebagai penghasil biji kakao lindak atau kakao curai (bulk-cocoa) (Wood and Lass, 1985). Di Indonesia terutama di perkebunan kakaonya secara umum terdapat tiga varietas tanaman kakao, yaitu: (1) Trinitario (klon-klon Djati


(24)

7

Runggo) menghasilkan biji kakao mulia, (2) Amelonado (West African Amelonado) menghasilkan biji kakao lindak dan (3) Amazon juga menghasilkan biji kakao lindak (Wardojo, 1991).

2.2. Buah Kakao

Buah kakao dapat dipanen apabila telah mencapai umur buah 160-175 hari atau sekitar 5-6 bulan sejak dari fase penyerbukan dan terjadi perubahan warna kulit buah (Haryadi dan Supriyanto, 1991; Bucheli dkk., 2001). Buah kakao masak berisi sekitar 30-40 biji yang terbungkus oleh lapisan lendir (pulpa). Menurut Haryadi dan Supriyanto (1991), berat biji kakao yang diperoleh dipengaruhi oleh curah hujan selama periode pemasakan, berkisar antara 92,2-103,5 g biji kakao basah segar setiap buah (pod) tergantung dari besarnya curah hujan. Menurut Sunanto (1992), kakao masak pohon dan siap panen dicirikan dengan perubahan warna buah, yaitu: (a) warna buah sebelum masak hijau, setelah masak warna alur buah menjadi kuning, atau (b) warna buah sebelum masak merah tua, setelah masak warna buah merah muda, jingga atau kuning.

Pemanenan buah kakao umumnya berlangsung antara Mei sampai dengan Oktober tiap tahunnya. Di Jawa Tengah panen besar biasanya pada Mei-Juni dan penen tambahan pada Agustus-Oktober. Sedangkan di Sumatra Utara, panen besar pada Mei-Juni dan panen tambahan pada September-Oktober. Rotasi pemanenan biasanya dilakukan dengan selang waktu antara 7-14 hari, dimaksudkan untuk memperoleh hasil panen tepat masak dengan tingkat masak relatif homogen (Haryadi dan Supriyanto, 1991). Pulpa biji kakao, yaitu selaput berlendir berwarna putih yang membungkus biji kakao, mengandung : 82-87% air, 10-13% gula, 2-3% pentosan, 1-2% asam sitrat dan 8-10% garam-garam (Lopez, 1986).


(25)

8

Pembentukan senyawa gula pada pulpa mencapai maksimal pada buah masak optimal (±170 hari), begitu pula dengan peningkatan kandungan asam-asam organik.

Pada buah masih muda, senyawa gula yang terbentuk masih sangat rendah sehingga mungkin akan berpengaruh pada kondisi pulpa untuk difermentasi (Haryadi dan Supriyanto, 1991). Haryadi dan Supriyanto (1991) menambahkan bahwa lemak netral baru terbentuk pada tahap akhir pemasakan.

2.3. Pengolahan Kakao

Pengolahan kakao pada dasarnya adalah suatu usaha untuk memisahkan biji

dari buah dan selaput berlendir (pulpa) yang membungkus dan

memperlakukannya sedemikian rupa sehingga diperoleh biji kakao kering dengan karakteristik khas yang sesuai dengan standar mutunya. Setiap buah kakao berisi sekitar 30-40 biji dan masing-masing biji diselubungi oleh pulpa (Wood and Lass, 1985; Beckett, 1988).

Menurut Askindo (1990), dikenalkan cara lain yaitu melakukan penyimpanan buah selama 9-15 hari sebelum biji dipecah. Hasil penelitian Said dkk. (1990), menyarankan agar penyimpanan buah dilakukan selama 6 hari, sedangkan Yusianto dan Wahyudi (1991) mengatakan bahwa waktu penyimpanan buah optimum adalah 8 hari untuk meningkatkan mutu biji kakao. Perlakuan penyimpanan buah tersebut akan mempengaruhi kondisi pulpa biji kakao sebelum difermentasi.

Biji yang sudah dipisahkan kemudian difermentasi. Fermentasi biji tersebut dapat dilakukan dengan menumpuk biji kakao pada kotak kayu (peti), ember plastik, keranjang bambu atau hanya sekedar dionggokkan di atas lantai dengan


(26)

9

dialasi dan ditutupi dengan daun pisang. Ukuran wadah yang digunakan untuk fermentasi bervariasi antara 1.500 – 2.000 kg biji kakao segar. Lama waktu fermentasi juga bervariasi antara 2 - 8 hari, tergantung dari jenis kakao dan kebiasaan setempat (Nasution dkk., 1980). Amin (2004a) juga menyatakan bahwa lama fermentasi adalah 5 hari, dan disesuaikan dengan kebiasaan yang dilakukan di perkebunan Indonesia atau sama dengan hasil penelitian Sime-Cadbury. Wood and Lass (1985) menyatakan bahwa lama fermentasi adalah 5 hari untuk varietas

Forastero dan 2-3 hari untuk Criollo, tetapi menurut penelitian Schwan (1998) fermentasi dilakukan selama 7 hari dan biji diaduk setiap hari untuk meningkatkan aerasi.

2.4. Mekanisme Fermentasi Kakao

Fermentasi biji kakao bertujuan untuk menghancurkan pulpa (eskternal) dan mengusahakan kondisi untuk terjadinya reaksi kimia dan biokimia dalam keping biji (internal). Fermentasi internal berlangsung setelah terjadinya fermentasi eksternal. Pada fermentasi internal pada kotiledon akan terbentuk cita rasa dan aroma. Pulpa yang telah hancur akan mudah lepas dari biji sehingga biji kakao menjadi bersih dan cepat kering. Selanjutnya reaksi kimia dan biokimia dalam keping biji dimaksudkan untuk pembentukan prekursor cita rasa dan warna coklat. Reaksi tersebut baru akan terjadi setelah biji kakao mati. Perubahan-perubahan penting yang terjadi sebelum biji mati yaitu kerusakan pada kulit yang menutup embrio. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi tersebut, diantaranya: waktu fermentasi, pengadukan dan aerasi, ukuran tumpukan biji dalam wadah fermentasi, penundaan pengolahan, kemasakan buah, dan varietas kakao (Haryadi dan Supriyanto, 1991).


(27)

10

Mekanisme proses fermentasi bermula dari adanya pulpa yang membungkus biji kakao segar. Biji dibungkus oleh daging buah atau pulp yang berwarna putih dan rasanya manis. Pulp tersebut mengandung zat penghambat viabilitas benih (Susanto, 1994). Dimana untuk menghilangkan pulp dari biji kakao dengan jalan menumpuknya sehingga pulpnya terlepas, proses ini disebut dengan “sweating process” yaitu terjadi pelepasan air dari biji yang ditumpuk tersebut. Ketika baru dipecah pulpa dalam keadaan steril, tetapi kemudian terkontaminasi oleh mikroorganisme dari kulit buah, serangga, alat angkut maupun manusia sebagai pekerjanya. Menurut Lopez (1986), kandungan gula yang relatif tinggi, pH rendah dan suplai oksigen yang rendah pada tumpukan biji selama tahap awal fermentasi menyebabkan khamir mampu berkembang dengan baik. Lebih lanjut menurut Amin (2004b), akfivitas utama dari khamir tersebut adalah: (a) disimilasi sukrosa, glukosa dan fruktosa menjadi etanol dan CO2, (b) kemungkinan terjadi pemecahan pektin dalam pulpa, dan (c) memetabolisme asam-asam organik (asam sitrat) yang terdapat dalam jumlah relatif banyak pada pulpa biji kakao.

Jenis khamir tertentu juga dapat menghasilkan enzim pektolitik, yang dapat merombak pektin dalam pulpa. Perubahan komposisi pulpa sebelum dan setelah fermentasi (Case, 2004), disajikan seperti Tabel 1.

Tabel 1. Perubahan komposisi pulpa

Komposisi Sebelum fermentasi Setelah fermentasi

Sukrosa 12 % 0 %

Asam sitrat 1-3 % 0,5 %

Pektin 1-1,5 % -

pH 3,7 6,5

Etil alkohol - 0,5 %

Asam asetat - 1,6 %


(28)

11

Kemudian menurut Chong, Shepherd and Foon (1978), desimilasi asam sitrat oleh khamir menyebabkan naiknya pH yang disertai dengan naiknya suhu karena panas yang timbul pada fermentasi alkohol, menjadikan kondisi ini cocok untuk pertumbuhan bakteri asam laktat meskipun masih dalam keadaan anaerob. Bakteri asam laktat yang mempunyai sifat homo- dan hetero-fermentatif dapat menghidrolisis substrat gula menghasilkan asam laktat, asam asetat, etanol dan CO2 disertai dengan pembebasan panas. Amin (2004b) menambahkan bahwa produksi asam laktat dari gula heksosa oleh bakteri asam laktat akan membantu dalam peningkatan suhu.

2.5. Proses Fermentasi Alkohol

Fermenatasi alkohol atau alkoholisasi merupakan proses perubahan gula menjadi alkohol dan CO2 oleh mikroba Saccharomyces cerevisiae. Tahap ini merupakan tahap pertama dalam proses pembuatan cuka. Fermentasi alkohol melibatkan aktivitas Saccharomyces cerevisiae yang mengubah gula-gula sederhana menjadi alkohol secara anaerob. Pada tahap ini terjadi pemecahan disakarida (sukrosa) melalui proses hidrolisis menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa). Monosakarida langsung diubah menjadi alkohol dan karbondioksida oleh enzim yang dihasilkan oleh khamir, kemudian dilanjutkan dengan pembentukan asam asetat. Menurut Daulay dan Rahman (1992), bahan baku pembuatan cuka terutama dari sari buah perlu dipekatkan terlebih dahulu atau ditambahkan gula (sukrosa) dengan tambahan gula optimum atau maksimalnya sekitar 10-25% (b/v). Ini dikarenakan gula lebih banyak digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber karbon sehingga gula yang tersisa semakin sedikit pada saat menjadi alkohol. Pada tahap ini karbohidrat akan dipecah dahulu


(29)

12

menjadi gula sederhana. Produksi etanol dapat diperoleh dari gula (sukrosa) dengan proses fermentasi secara anaerob (tanpa O2) oleh aktifitas khamir. Etil alkohol (alkohol) dapat dibuat dengan cara sintesa kimia dan cara mikrobiologis (fermentasi). Cara sintesis kimia yaitu menggunakan pereaksi kimia biasa untuk mengubah bahan dasar menjadi alkohol. Sedangkan cara mikrobiologis yaitu menggunakan mikroorganisme untuk mengubah bahan dasar menjadi alkohol. Proses fermentasi tergantung pada banyak sedikitnya penambahan khamir dalam bahan. Semakin banyak jumlah ragi yang diberikan berarti semakin banyak jumlah khamir yang terlibat, sehingga kadar alkohol meningkat (Tarigan, 1988). Menurut Presscot dan Dunn (1959) dalam Tyasning (2010), apabila kadar alkohol 14% atau lebih akan terbentuk suatu lapisan yang akan menghambat proses fermentasi, sehingga tidak semua alkohol dapat diubah menjadi asam asetat. Bila kadar alkohol kurang dari 1 atau 2% asam asetat yang terbentuk akan teroksidasi menjadi air dan karbondioksida.

Dalam proses fermentasi alkohol, Sacharomyces cerevisiae dapat tahan atau toleran terhadap kadar alkohol yang tinggi, tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap melakukan aktivitasnya pada suhu 4 – 32 0C. Proses fermentasi alkohol pada pemecahan glukosa menjadi alkohol adalah melalui terbentuknya asam piruvat. Enzim yang berperan dalam proses fermentasi alkohol ini adalah enzim

zymase yang dihasilkan oleh khamir. Sukrosa pada bahan, mula-mula dihidolisis menjadi glukosa dan fruktosa oleh enzim invertase, kemudian oleh aktivitas enzim, glukosa dan fruktosa ini akan diubah menjadi alkohol. Dalam proses fermentasi akan diperoleh hasil ikatan seperti gliserol, asam laktat, asam asetat, asetaldehid, dan 2,3-butilen glikol (Said, 1987).


(30)

13

Dalam pembentukan alkohol melalui proses fermentasi peran

mikroorganisme sangat besar dan biasanya mikroorganisme yang digunakan untuk fermentasi mempunyai beberapa syarat sebagai berikut (Rahman,1992)

1. Mempunyai kemampuan untuk memfermentasi karbohidrat yang cocok

secara cepat.

2. Bersifat membentuk flokulasi dan sedimentasi (misal sel-sel khamir selalu ada pada bagian bawah tangki fermentasi.

3. Mempunyai genetik yang stabil (tidak mudah mengalami mutasi)

4. Bersifat osmotolerans artinya mikroorganisme tersebut toleran terhadap tekanan osmosa yang tinggi.

5. Toleran terhadap kadar alkohol yang tinggi (sampai dengan 14-15 %). 6. Mempunyai sifat regenerasi yang cepat.

Prinsip fermentasi etanol adalah perubahan kimia yang spesifik pada substrat karbohidrat yang diinduksi oleh enzim yang dihasilkan mikroorganisme (Rogers dan Cail, 1991).

2.6. Proses Fermentasi Asam Asetat (asetifikasi)

Asetifikasi adalah proses oksidasi etanol oleh bakteri menjadi asam asetat dan air. Asetifikasi ini dilakukan oleh bakteri asam asetat, karena bakteri asam asetat mampu membentuk asam dari alkohol secara oksidasi tidak sempurna sebagai produk yang tidak dapat dipecah lagi. Fermentasi asam asetat ini merupakan fermentasi tahap kedua dalam proses pembuatan cuka fermentasi. Alkohol yg dihasilkan pada tahap pertama tersebut dioksidasi oleh Acetobacter aceti dan menghasilkan asetaldehid dan air. Asetaldehid kemudian mengalami oksidasi lebih lanjut dan menjadi asam asetat. Proses fermentasi asam asetat


(31)

14

terjadi dalam kondisi aerob karena membutuhkan oksigen sebagai oksidator. Proses ini dilakukan oleh bakteri dari genus Acetobacter (aerob) dan

Gluconobacter (anaerob). Kondisi respirasi oksidatif ini dapat dilakukan dengan kultur murni, tetapi kondisinya tidak selalu aseptis oleh karena pH yang rendah serta adanya alkohol dalam media merupakan faktor penghambat bagi mikroorganisme lain selain Acetobacter aceti. Golongan bakteri yang mengoksidasi etanol menjadi asam asetat disebut sebagai bakteri asam asetat. Secara kimia proses oksidasi tersebut adalah :

C2H5OH + O2 + Acetobacter aceti CH3COOH + H2O

Kecepatan perubahan alkohol menjadi asam asetat tergantung pada konsentrasi inokulum, jumlah alkohol yang ada, suhu, dan pH. Konsentrasi alkohol yang terlalu tinggi menyebabkan terganggunya pertumbuhan bakteri sehingga asetifikasi tidak berlangsung sempurna. Sedangkan kadar alkohol yang kurang dari 0,2 %, asam asetat yang dihasilkan akan dioksidasi oleh bakteri asam asetat menjadi H2O dan CO2 (oksidasi lanjutan) sehingga akan diperoleh hasil asam asetat yang berkadar rendah. Penentuan jumlah inokulum juga akan mempengaruhi produksi asam asetat. Jumlah inokulum yang optimum dari kultur inokulum akan menghasilkan asam asetat yang optimum. Hal ini disebabkan ketersediaan nutrisi sebagai substrat sebanding dengan jumlah mikroorganisme, substrat akan digunakan untuk pertumbuhan, perbanyakan sel dan produksi asam-asam organik.

Semakin lama fermentasi maka asam yang dihasilkan akan lebih banyak (Yuliani, 2003). Proses terjadinya penurunan pH dan alkohol dapat terjadi dari awal fermentasi diakibatkan terbentuknya asam-asam selama proses fermentasi


(32)

15

berlangsung. Asam-asam yang terbentuk seperti asam asetat, asam piruvat, dan asam laktat dapat menurunkan pH dan kadar alkohol. (Muljono dan Daewis, 1990).

Laju pembentukan asam asetat dengan variasi penambahan inokulum menyebabkan terjadinya kompetisi antara mikroorganisme dalam memanfaatkan nutrisi (substrat) yang ada. Sehingga karakteristik asam cuka yang dihasilkan dengan variasi penambahan inokulum akan berbeda dengan yang lainnya dan akan menghasilkan asam cuka yang paling optimum. Penurunan kadar asam asetat bisa saja terjadi karena disebabkan oleh kadar pembentukan produk yang semakin tinggi, sehingga produk yang dihasilkan dapat menghambat reaksi penguraian substrat menjadi produk (Aditiwati dan Kusnadi, 2003). Menurut Rahman (1992), pada fermentasi asam asetat, sumber karbon (biasanya glukosa) dioksidasi menjadi CO2 dan H2O.

Semakin banyak inokulum penghasil asam cuka yang tumbuh, maka akan semakin banyak asam cuka yang terbentuk dan semakin banyak waktu yang dibutuhkan, tetapi hal ini sangat tergantung pada ketersediaan oksigen dan suplai gizi, karena mikroorganisme sangat tergantung pada suplai oksigen. Jika tidak tersedia oksigen yang cukup, maka sel-sel bakteri penghasil asam cuka akan mati, yang mengakibatkan kadar asam cuka yang terbentuk akan menurun. Banyak sedikitnya oksigen yang berinteraksi pada cairan pulpa yang difermentasi akan mempengaruhi asam cuka yang dihasilkan, dan semakin lama waktu fermentasi terjadi, maka rasanya semakin asam. Semakin lama waktu fermentasi, maka konsentrasi gula reduksi akan semakin rendah, konsentrasi etanol yang dihasilkan akan semakin besar, dan semakin besar pula konsentrasi asam asetat yang


(33)

16

dihasilkan dan akan menurun seiring dengan berkurangnya suplai gizi sampai pada waktu tertentu.

2.7. Etanol

Etanol disebut juga etil alkohol dengan rumus kimia C2H5OH atau CH3CH2OH dengan titik didihnya 78,4° C. Etanol memiliki sifat tidak berwarna, volatil dan dapat bercampur dengan air (Kartika dkk., 1997). Ada 2 jenis etanol menurut Rama (2008), etanol sintetik sering disebut metanol atau metil alkohol atau alkohol kayu, terbuat dari etilen, salah satu derivat minyak bumi atau batu bara. Bahan ini diperoleh dari sintesis kimia yang disebut hidrasi, sedangkan bioetanol direkayasa dari biomassa (tanaman) melalui proses biologi (enzimatik dan fermentasi).

2.8. Asam Asetat (Cuka Fermentasi)

Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk CH3-COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H. Asam asetat murni (disebut asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis tak berwarna, dan memiliki titik beku 16,7°C. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah, artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO- (Anon,2012).

Asam asetat yang berasal dari hasil fermentasi disebut cuka fermentasi. Menurut Daulay dan Rahman (1992), kriteria mutu cuka yang utama adalah kandungan asam asetatnya. Di Amerika Serikat, konsentrasi asam asetat minimal yang berlaku adalah 4% (b/v). Cuka fermentasi didefinisikasikan sebagai produk cair yang mengandung asam asetat dan diperoleh melalui fermentasi bahan-bahan


(34)

17

yang mengandung gula atau alkohol dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diijinkan (SNI 01-4371-1996). Cuka fermentasi yang dibuat menjadi cuka makan, dibedakan menjadi cuka meja dan cuka dapur. Perbedaannya dilihat dari kandungan asam asetat yang terdapat didalamnya, yaitu cuka meja kadar asam asetatnya 4 - 12,5% dan cuka dapur kadar asam asetat minimalnya 12,5% (SNI 01-3711-1995).

2.9. Saccharomyces cerevisiae

Nama ilmiah Saccharomyces cerevisiae berarti khamir yang melakukan fermentasi gula pada sereal (Saccharo-mocus cerevisiae) untuk menghasilkan alkohol dan karbon dioksida. Saccharomyces cerevisiae merupakan salah satu jenis khamir. Khamir adalah fungi uniseluler yang eukariotik. Sel khamir yang termasuk jenis Saccharomyces berbentuk bulat, oval atau memanjang dan dapat membentuk pseudomiselium. Reproduksi Saccharomyces dilakukan dengan membentuk tunas dan spora seksual (Fardiaz, 1992; Jutono, 1980). Khamir dan bakteri telah digunakan untuk produksi etanol. Bakteri yang paling banyak digunakan adalah Zymomonas mobilis. Khamir yang umum digunakan adalah

Saccharomyces cerevisiae, Saccharomyces uvarum (Carlsbergensis),

Schizosacchanomyces pombe dan Kluyveromyces fragilis (Crueger and Crueger, 1990). Klasifikasi Saccharomyces cerevisiae adalah sebagai berikut :

Kingdom : Fungi Division : Ascomycota

Subdivision : Saccharomycetes Ordo : Saccaromycetales Familia : Saccharomycetaceae


(35)

18

Genus : Saccharomyces

Spesies : Saccharomyces cerevisiae

Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sebagai tempat tumbuhnya, berupa temperatur, pH dan medium. Strain mesofilik

Saccharomyces dapat tumbuh secara optimum pada temperature 28-35°C (Atkinson dan Mavituno, 1991). Khamir pada umumnya dapat tumbuh dan secara efisien melakukan fermentasi etanol pada pH 3-8,5 dan bersifat fakultatifaerobik (Kosaric dkk., 1983). Saccharomyces cerevisiae memiliki kemampuan untuk menggunakan berbagai jenis gula yaitu : glukosa, fruktosa, galaktosa, sukrosa, maltosa, manosa, rafinosa, treholusa, dan malfotriosa (Kosaric dkk., 1982). Gula dalam medium yang masih dalam bentuk sukrosa dihidrolisis terlebih dahulu oleh enzim invertase menjadi glukosa dan fruktosa. Saccharomyces cerevisiae dapat menghasilkan invertase. Selanjutnya glukosa dan fruktosa masuk dalam sel melalui difusi dengan perantara dan transport aktif (Kosaric dkk.,1982). Setelah itu glukosa akan difermentasi oleh Saccharomyces cerevisiae menjadi etil alkohol melalui jalur Embden – Meyerhof . Piruvat yang terbentuk dari proses glikolisis kemudian dirubah menjadi asetaldehid dan CO2 oleh enzim piruvat dekarboksilase, setelah itu oleh enzim alkohol dehidrogenase dirubah menjadi etanol (Gambar 1).


(36)

19

Glukosa Glukosa-6-fosfat Fruktosa-6-fosfat Fruktosa-1,6- bifosfat Gliseraldehid-3-fosfat

2-fosfogliserat Fosfoenol piruvat

Piruvat

Laktat Asetal dehid Asetat

Etanol

Gambar 1. Jalur Embden-Meyerhof (Sumber: Madigan dkk., 2000)

2.10. Acetobacter aceti

Acetobacter adalah sebuah genus bakteri penghasil asam asetat, yang ditandai dengan kemampuannya mengubah etanol (alkohol) menjadi asam asetat (asam cuka) dengan bantuan udara. Ada beberapa bakteri dari golongan lain yang mampu menghasilkan asam asetat dalam kondisi tertentu, namun semua anggota genus Acetobacter dikenal memiliki kemampuan ini (Anon, 2013).

Bakteri pembentuk asam asetat melakukan oksidasi metil alkohol menjadi asam asetat dan mampu mengoksidasi komponen – komponen organik lain, termasuk asam asetat. Sifat spesifik bakteri ini adalah mampu mengoksidasi etanol menjadi asam asetat, sehingga dapat dimanfaatkan untuk industri vinegar.

Acetobacter aceti hidup di mana pun fermentasi gula terjadi. Tumbuh di suhu yang berkisar 25-30oCdan pH yang berkisar 5,4-6,3. Untuk waktu yang lama


(37)

20

dalam menghasilkan asam asetat dari alkohol Acetobacter aceti adalah aerob obligat yang berarti bahwa ia memerlukan oksigen untuk tumbuh.


(1)

berlangsung. Asam-asam yang terbentuk seperti asam asetat, asam piruvat, dan asam laktat dapat menurunkan pH dan kadar alkohol. (Muljono dan Daewis, 1990).

Laju pembentukan asam asetat dengan variasi penambahan inokulum menyebabkan terjadinya kompetisi antara mikroorganisme dalam memanfaatkan nutrisi (substrat) yang ada. Sehingga karakteristik asam cuka yang dihasilkan dengan variasi penambahan inokulum akan berbeda dengan yang lainnya dan akan menghasilkan asam cuka yang paling optimum. Penurunan kadar asam asetat bisa saja terjadi karena disebabkan oleh kadar pembentukan produk yang semakin tinggi, sehingga produk yang dihasilkan dapat menghambat reaksi penguraian substrat menjadi produk (Aditiwati dan Kusnadi, 2003). Menurut Rahman (1992), pada fermentasi asam asetat, sumber karbon (biasanya glukosa) dioksidasi menjadi CO2 dan H2O.

Semakin banyak inokulum penghasil asam cuka yang tumbuh, maka akan semakin banyak asam cuka yang terbentuk dan semakin banyak waktu yang dibutuhkan, tetapi hal ini sangat tergantung pada ketersediaan oksigen dan suplai gizi, karena mikroorganisme sangat tergantung pada suplai oksigen. Jika tidak tersedia oksigen yang cukup, maka sel-sel bakteri penghasil asam cuka akan mati, yang mengakibatkan kadar asam cuka yang terbentuk akan menurun. Banyak sedikitnya oksigen yang berinteraksi pada cairan pulpa yang difermentasi akan mempengaruhi asam cuka yang dihasilkan, dan semakin lama waktu fermentasi terjadi, maka rasanya semakin asam. Semakin lama waktu fermentasi, maka konsentrasi gula reduksi akan semakin rendah, konsentrasi etanol yang dihasilkan akan semakin besar, dan semakin besar pula konsentrasi asam asetat yang


(2)

dihasilkan dan akan menurun seiring dengan berkurangnya suplai gizi sampai pada waktu tertentu.

2.7. Etanol

Etanol disebut juga etil alkohol dengan rumus kimia C2H5OH atau CH3CH2OH dengan titik didihnya 78,4° C. Etanol memiliki sifat tidak berwarna, volatil dan dapat bercampur dengan air (Kartika dkk., 1997). Ada 2 jenis etanol menurut Rama (2008), etanol sintetik sering disebut metanol atau metil alkohol atau alkohol kayu, terbuat dari etilen, salah satu derivat minyak bumi atau batu bara. Bahan ini diperoleh dari sintesis kimia yang disebut hidrasi, sedangkan bioetanol direkayasa dari biomassa (tanaman) melalui proses biologi (enzimatik dan fermentasi).

2.8. Asam Asetat (Cuka Fermentasi)

Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk CH3-COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H. Asam asetat murni (disebut

asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis tak berwarna, dan memiliki titik beku 16,7°C. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah, artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO- (Anon,2012).

Asam asetat yang berasal dari hasil fermentasi disebut cuka fermentasi. Menurut Daulay dan Rahman (1992), kriteria mutu cuka yang utama adalah kandungan asam asetatnya. Di Amerika Serikat, konsentrasi asam asetat minimal yang berlaku adalah 4% (b/v). Cuka fermentasi didefinisikasikan sebagai produk cair yang mengandung asam asetat dan diperoleh melalui fermentasi bahan-bahan


(3)

yang mengandung gula atau alkohol dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diijinkan (SNI 01-4371-1996). Cuka fermentasi yang dibuat menjadi cuka makan, dibedakan menjadi cuka meja dan cuka dapur. Perbedaannya dilihat dari kandungan asam asetat yang terdapat didalamnya, yaitu cuka meja kadar asam asetatnya 4 - 12,5% dan cuka dapur kadar asam asetat minimalnya 12,5% (SNI 01-3711-1995).

2.9. Saccharomyces cerevisiae

Nama ilmiah Saccharomyces cerevisiae berarti khamir yang melakukan fermentasi gula pada sereal (Saccharo-mocus cerevisiae) untuk menghasilkan alkohol dan karbon dioksida. Saccharomyces cerevisiae merupakan salah satu jenis khamir. Khamir adalah fungi uniseluler yang eukariotik. Sel khamir yang termasuk jenis Saccharomyces berbentuk bulat, oval atau memanjang dan dapat membentuk pseudomiselium. Reproduksi Saccharomyces dilakukan dengan membentuk tunas dan spora seksual (Fardiaz, 1992; Jutono, 1980). Khamir dan bakteri telah digunakan untuk produksi etanol. Bakteri yang paling banyak digunakan adalah Zymomonas mobilis. Khamir yang umum digunakan adalah

Saccharomyces cerevisiae, Saccharomyces uvarum (Carlsbergensis),

Schizosacchanomyces pombe dan Kluyveromyces fragilis (Crueger and Crueger, 1990). Klasifikasi Saccharomyces cerevisiae adalah sebagai berikut :

Kingdom : Fungi Division : Ascomycota

Subdivision : Saccharomycetes Ordo : Saccaromycetales Familia : Saccharomycetaceae


(4)

Genus : Saccharomyces

Spesies : Saccharomyces cerevisiae

Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sebagai tempat tumbuhnya, berupa temperatur, pH dan medium. Strain mesofilik

Saccharomyces dapat tumbuh secara optimum pada temperature 28-35°C (Atkinson dan Mavituno, 1991). Khamir pada umumnya dapat tumbuh dan secara efisien melakukan fermentasi etanol pada pH 3-8,5 dan bersifat fakultatifaerobik (Kosaric dkk., 1983). Saccharomyces cerevisiae memiliki kemampuan untuk menggunakan berbagai jenis gula yaitu : glukosa, fruktosa, galaktosa, sukrosa, maltosa, manosa, rafinosa, treholusa, dan malfotriosa (Kosaric dkk., 1982). Gula dalam medium yang masih dalam bentuk sukrosa dihidrolisis terlebih dahulu oleh enzim invertase menjadi glukosa dan fruktosa. Saccharomyces cerevisiae dapat menghasilkan invertase. Selanjutnya glukosa dan fruktosa masuk dalam sel melalui difusi dengan perantara dan transport aktif (Kosaric dkk.,1982). Setelah itu glukosa akan difermentasi oleh Saccharomyces cerevisiae menjadi etil alkohol melalui jalur Embden – Meyerhof . Piruvat yang terbentuk dari proses glikolisis kemudian dirubah menjadi asetaldehid dan CO2 oleh enzim piruvat dekarboksilase, setelah itu oleh enzim alkohol dehidrogenase dirubah menjadi etanol (Gambar 1).


(5)

Glukosa Glukosa-6-fosfat Fruktosa-6-fosfat Fruktosa-1,6- bifosfat Gliseraldehid-3-fosfat

2-fosfogliserat Fosfoenol piruvat

Piruvat

Laktat Asetal dehid Asetat Etanol

Gambar 1. Jalur Embden-Meyerhof (Sumber: Madigan dkk., 2000)

2.10. Acetobacter aceti

Acetobacter adalah sebuah genus bakteri penghasil asam asetat, yang ditandai dengan kemampuannya mengubah etanol (alkohol) menjadi asam asetat (asam cuka) dengan bantuan udara. Ada beberapa bakteri dari golongan lain yang mampu menghasilkan asam asetat dalam kondisi tertentu, namun semua anggota genus Acetobacter dikenal memiliki kemampuan ini (Anon, 2013).

Bakteri pembentuk asam asetat melakukan oksidasi metil alkohol menjadi asam asetat dan mampu mengoksidasi komponen – komponen organik lain, termasuk asam asetat. Sifat spesifik bakteri ini adalah mampu mengoksidasi etanol menjadi asam asetat, sehingga dapat dimanfaatkan untuk industri vinegar.

Acetobacter aceti hidup di mana pun fermentasi gula terjadi. Tumbuh di suhu yang berkisar 25-30oCdan pH yang berkisar 5,4-6,3. Untuk waktu yang lama


(6)

dalam menghasilkan asam asetat dari alkohol Acetobacter aceti adalah aerob obligat yang berarti bahwa ia memerlukan oksigen untuk tumbuh.