T1 712010053 Full text
i
“
Kajian Pastoral tentang Peran Pendeta terhadap Pasien
Terminal
Illness
di Rumah Sakit Dr. M Haulussy, Ambon
Oleh,
Deinvy Sandra Silooy
712010053
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Teologi
Program Studi Teologi
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
Salatiga
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
vi
Motto
Aku bersyukur kepada Dia, yang menguatkan aku, yaitu
Kristus Yesus, Tuhan kita, karena Ia menganggap aku setia dan
mempercayakan pelayanan ini kepadaku.
1 Timotius 1: 12
Bersukacitalah senantiasa
1 Tesalonika 5:16
(7)
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang MahaEsa karena atas berkat dan rahmat-Nya,penulis dapat menyelesaikan Penelitian yang berjudul “ Kajian Pastoral tentang peran pendeta terhadap pasien terminal illness di Rumah Sakit Dr. M Haulussy, Ambon ”. Penelitian ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Sains Teologi, Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Penelitian ini dapat selesai berkat bantuan dari berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan, ide, dan berbagai dukungan lainnya kepada penulis. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu. Pdt Retnowati. M,si selaku Dekan Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
2. Ibu Irene Ludji selaku Ketua Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
3. Bapak Pdt. Jacob daan Engel sebagai dosen pembimbing yang baik yang selama ini
telah banyak membimbing mulai dari proposal sampai menyelesaikan penelitian ini. Terimakasih atas perjuangannya yang rela memberikan segala waktu dan dukungannya bagi mahasiswanya.
4. Ibu Pdt. Mariska Lauterboom sebagai dosen pembimbing atas bimbingan, masukan, motivasi, pengarahan, dan kepercayaannya dalam membimbing penyelesaian penelitian ini.
5. Ibu Ira. Mangililo. Ph,D selaku Koordinator Tugas Akhir, Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
6. Seluruh Bapak/Ibu Dosen dan seluruh staf di Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang telah mendidik dan memberikan motivasi dalam penelitian ini.
7. Kedua orang tua saya, Mama dan Papa yang selalu memberi semangat, doa, kasih sayang, kesabaran, dukungan dan perhatian yang begitu besar sampai detik ini dan bahkan selamanya. Thank you mom,dad !!
8. Buat orang tua saya, keluarga besar Matitaputty Mama Ting dan Bapak Etos, mama
Aty di Merauke, mama Yoke, mama Ace yang sudah senantiasa memberikan motivasi, doa dan kasih sayangnya kepada saya. Terima kasih banyak. Tuhan Yesus berkati.
(8)
viii
9. Kakak saya Drefi. Rollando dan adik saya Deivin.Trivena , terima kasih untuk doa dan semangat kalian yang selalu diberikan kepada saya.
10. Seluruh staf Rumah Sakit Dr. M Haulussy Ambon, serta Ibu Pendeta Lisa.Frans atas
bantuan serta dukungannya dalam menyelesaikan penelitian ini.
11. Teman-teman 2010 yang selalu membantu dan memberikan motivasi bagi saya.
Sukses buat pelayanan ke depan. One heart, One dream, One vision with God. 2010 !!
12. Sahabat dan saudara terbaik Risky, ebe, arda, dewi, tika, egit, kak.Dessy
Risampessy/H,
K.dellaPattiapon,k.mercy.Kaligis,ipen,ian,jenn,inyong,sally,uthe,indah,mbajuni, ecca, yonna, shesy, yana,ardi dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu persatu, dankje banya samua, Tete manis berkati katong!
13. Buat Keluarga besar Nunumette di Jakarta, Keluarga besar Nunumette di Ambon, Keluarga besar Mullo di Manado. Terima kasih untu doa serta dukungannya. Tuhan berkati
14. Buat peth yang sudah menjadi teman,motivasi,semangat, kakak, musuh bahkan jadi orang terdekat bagi saya, terima kasih untuk semangat, motivasi, kepercayaan, kesabaran bahkan waktu yang diberikan bagi saya. Tetap jadi yang terbaik, semangat skripsinya, Tuhan berkati Bu selalu. Loveyou Bu. !
Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan penelitian ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan laporan ini.Akhir kata, peneliti berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian. Tuhan memberkati.
Salatiga, 12 Februari 2015
(9)
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN... ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN... iii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES... iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... v
MOTTO... vi
KATA PENGANTAR... vii
DAFTAR ISI... xii
ABSTRAK ... xiv
Bab 1 Pendahuluan ... ... 1
1.1 Latar Belakang ... ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... ...4
1.3 Tujuan Penelitian ... ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 4
1.5 Lokasi dan Subjek Penelitian ... ... 4
1.6 Metode Penelitian ... ... 4
1.7 Sistematika Penulisan ...5
Bab 2 Pendampingan Pastoral & Peran Pendeta ... ...6
2.1 Definisi Pendampingan & Konseling Pastoral ... ...6
2.2 Dasar dan Tujuan Pastoral ... ...8
2.3 Fungsi Pendampingan dan Konseling Pastoral . ...8
2.4 Peran Pendeta sebagai Konselor Pastoral ... ... 9
2.5 Tujuan Pendampingan dan Konseling Pastoral .. ...11
(10)
x
2.7 Peran Pendeta ... ... 14
Bab 3 Hasil Penelitian dan Pembahasan ... ... 16
3.1 Deskripsi & Analisa tentang peran pendeta bagi pasien dengan
Status
terminal illness
di Rumah Sakit Dr. M Haulussy, Ambon ... 16
Bab 4 Kesimpulan dan Saran ... ... 22
4.1 Kesimpulan ... ... 22
4.2 Saran ... 22
(11)
xi ABSTRAKSI
Deinvy Sandra Silooy, 712010053, 2014/2015 Kajian pastoral tentang peran
pendeta terhadap pasien terminal illness di Rumah sakit Dr.M Haulusy, Ambon.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peran pendeta sebagai konselor pastoral bagi pasien terminal illnessdi Rumah Sakit Dr.M.Haulussy, Ambon. Penelitian ini didasari oleh realita yang ditemukan di Rumah Sakit Dr.M.Haulussy dalam upaya pelayanan pastoral yang dilakukan pendeta sebagai konselor. Penelitian ini dilakukan agar pendeta sebagai konselor bisa berjalan sesuai dengan fungsi-fungsi pendampingan yang ada. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis dengan jenis penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunaan adalah wawancara. Wawancara bertujuan untuk mendapatkan keterangan tentang masalah yang diteliti dengan percakapan tatap muka. Penelitian ini menggunakan teori Clinebell yang menjelaskan tentang pendampingan pastoral, tujuan pendampingan,fungsi-fungsi pendampingan pastoral serta peran pendeta sebagai konselor pastoral. Penelitian ini dilakukan agar peran pendeta bisa berjalan sesuai fungsi pendampingan yang ada. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pemahaman tentang bagaimana peran pendeta sebagai konselor pastoral bagi konselor, pekerja sosial, dan bagi instansi yang terkait.
(12)
1
1. Pendahuluan
1.1. Latar belakang
Terminal Illness merupakan istilah medis yang dipakai untuk menggambarkan penyakit yang tidak bisa disembuhkan lagi. Hal ini menunjuk pada penyakit yang akan mengakhiri hidup penderita. Proses dari keadaan akhir ini, direfleksikan melalui menurunnya secara berangsur-angsur semua fungsi bagian tubuh yang paling penting dan kemunduran organ-organ vital1. Dari keadaan yang demikian, pasien tersebut biasanya mendapat pengobatan yang sedikit berbeda dengan pasien lain pada umumnya. Kübler-Ross memahami pengobatan bagi pasien dengan status Terminal Illness hanya berorientasi pada obat-obatpenenang dan makanan yang disukai untuk mengganti cairan infus dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologi tanpa melibatkan banyak perawatan individual2. Kapanpun seseorang dengan status
Terminal Illness bisa berhadapan dengan sesuatu yang tidak bisa dihindari yaitu kematian. Dengan demikian seseorang itu diberi kesempatan terakhir untuk mengaktualisasi nilai tertinggi, mengisi makna terdalam dari penderitaan. Menghadapi semua hal di atas, perlu kesiapan sikap untuk menjalani penderitaan.Pasien dalam proses seperti ini, sangat memerlukan pendampingan untuk menyadarkan konseli yaitu penderita Terminal Illnessakan kemampuannya, sehingga pada akhirnya mereka sadar dan mengatasi masalah yang mereka hadapi dengan cara mereka sendiri.
Pendampingan adalah kebutuhan setiap orang akan kehangatan, perhatian penuh, dukungan. Pendampingan bertujuan memelihara dan memampukan orang untuk mengembangkan potensi-potensi dalam dirinya yang diberikan Allah kepada mereka, disepanjang perjalanan hidup mereka. Sebagaimana diungkapkan oleh Clinebell ada 4 fungsi pastoral: Pertama, menyembuhkan (healing) adalah fungsi pastoral yang terarah untuk mengatasi kerusakan dan memperbaiki orang menuju kesembuhan. Kedua, menopang (sustaining) adalah menolong orang yang “terluka”
untuk bertahan mengatasi kejadian yang terjadi di mana perbaikan tidak mungkin lagi
diusahakan. Ketiga, membimbing (guiding) adalah membantu orang yang
kebingungan dalam mengambil pilihan yang pasti, pilihan yang dipandang
1
Mesach.Krisetya. Teologi Pastoral: Pendampingan pastoral dalam Prespektif Teologis, (UKSW:Salatiga,2008)
(13)
2
mempengaruhi keadaan jiwa mereka sekarang dan waktu yang akan datang. Keempat, memulihkan (reconciling) yaitu berusaha untuk membangun suatu hubungan yang rusak di antara manusia dan sesama manusia serta di antara manusia dengan Allah3. Berdasarkan pemahaman di atas, menurut penulis fungsi pastoral bisa menjadi menjadi acuan yang dapat membantu konselor dalam proses pendampingan untuk menolong konseli memahami keadaanya.Konseling pastoral hadir sebagai suatu proses pertolongan bagi konseli. Konselor dalam proses konseling hadir untuk menolong memberikan dukungan bagi konseli dan keluarga. Menopang konseli untuk melewati masa-masa penerimaan dirinya dan penyakitnya, membimbing konseli mengambil keputusan memasuki keadaan akhir, membantu memulihkan hubungan pasien serta menghadirkan rasa tanggung jawab konseli bagi sesama maupun dengan Allah.
Konselor pastoral hadir untuk memberikan upaya untuk membimbing serta memberikan kekuatan bagi orang-orang (baik anggota gereja maupun anggota dari persekutuan pendampingan lain) yang sedang menderita gangguan fungsi dan kehancuran pribadi karena krisis4. Seorang konselor pastoral bisa menjadi penghubung bagi penderita dengan masalahnya maupun menjadi penghubung bagi penderita dengan keluarganya. Konselor menjadi seorang mediator agar konseli siap menghadapi kematian, karena kematian adalah bagian dari kehidupan manusia yang harus dihadapi dengan sikap penerimaan secara penuh. Untuk itu, peran seorang pendeta sebagai konselor pastoral adalah menjadi katalisator serta mediator dalam proses pendampingan juga diharapkan memiliki keahlian dalam berkomunikasi serta menjadi pribadi yang mau bergumul bersama-sama dengan konseli.
Pendeta sebagai seorang konselor pastoral juga berperan dalam proses pengaktualisasian makna kehidupan. Pengaktualisasian makna adalah memusatkan perhatian pada pemberian makna kehidupan yang baik di dalam melihat dan memilih berbagai alternatif kehidupan yang penuh konflik dan dibuat bermakna dengan cara merubah cara berpikir di dalam melihat sebuah fenomena5. Menurut penulis pendeta bukan hanya mereka yang melakukan pelayanan di gereja saja tetapi pendeta adalah profesi yang melayani kebutuhan manusia di setiap bidang kehidupan termasuk dalam
3
Howard.Clinebell. Tipe-tipe dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Yogyakarta:Kanisius,2002) hal 22
4Ibid 5
Victor.E.Frank, Logoterapi: Terapi Psikologis melalui Pemahaman Eksistensi, (Yogyakarta: Kanisius,2006)
(14)
3
pelayanannya bagi jemaat ketika jemaat berada di Rumah Sakit. Selaras dengan pemikiran tersebut Rumah sakit Dr.M Haulussy di Ambon memberikan tempat bagi para pendeta untuk melakukan pendampingan bagi pasien terkhususnya pasien dengan status terminal illness sebagai wujud pelayanan.
Rumah sakit Dr. M. Haulussy adalah salah satu pusat kesehatan umum yang didirikan dengan sebuah visi yaitu “kami ada untuk melayani.” Pelayanan yang dilakukan didalamnya juga meliputi pelayanan pastoraloleh pendeta yang bertugas di Rumah sakit kepada semua pasien terkhusus pasien yang memasuki tahap terminal. Kategori keadaan terminal yang termasuk di dalamnya seperti jantung, kanker, gagal ginjal, tumor. Di sini penulis menekankan bahwa pasien yang akan diwawancarai adalah pasien yang ada dalam keadaan demikian tetapi bisa untuk diajak berbicara, sehingga dalam tulisan ini fokus penelitian penulis pada pasien kanker. Kanker selalu berhubungan dengan sel tubuh kita. Sel-sel yang menyebar tidak normal, membentuk sebuah kelompok dan merusak sel-sel normal yang dapat membuat orang menderita. Tindakan operasi, radiasi dan kemoterapi tidak selalu menolong penderita kanker. Dengan demikian, kanker layak dianggap sebagai penyakit fatal yang tidak
tersembuhkan6. Untuk itu, menghadirkan Pendeta sebagai konselor untuk
mendampingi pasien melewati tahap terminal di Rumah sakit sangat dibutuhkan. Berdasarkan hasil wawancara awal dengan salah satu pegawai Rumah Sakit (JN, 24thn) penulis menemukan kasus yang berhubungan dengan banyaknya jumlah pasien dengan status terminal illness di Rumah sakit Dr. M Haulussy per hari terhitung kanker payudara 2 orang, tumor abdomen 1 orang, kanker serviks 1 orang, gagal ginjal 1 orang dan AIDS 1 orang7. Selain penulis melampirkan data jumlah pasien terminal per hari, penulis juga melakukan percakapan dengan keluarga dari salah satu pasien terminal illness dan penulis menemukan bahwa pendeta dalam melakukan proses konseling hanya sebatas mendoakan pasien saja tanpa melakukan fungsi-fungsi pastoral seperti yang dijelaskan oleh Howard Clinebell8. Dengan demikian peran Pendeta menjadi tidak utuh dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang konselor pastoral. Berdasarkan hal ini maka penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh lagi tentang:
6
Totok.Wiryasaputra. Pendampingan Pasien Kanker,(Jakarta: 2007) 7
Narasumber Jecklin. Nanlohy, Hari jumat 20 Agustus 2014 Pukul 13.00 WIB 8Narasumber Ibu Dessy Gasperz, Hari Rabu 25 Agustus 2014 Pukul 17.35 WIT
(15)
4
Kajian Pastoral tentang Peran Pendeta terhadap Pasien Terminal Illness di Rumah Sakit Dr. M Haulussy, Ambon
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana Peran Pendeta terhadap pasien Terminal Illness di Rumah Sakit Dr. M Haulussy, Ambon.
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan Peran Pendeta terhadap pasien Terminal Illness di Rumah Sakit Dr. M Haulussy, Ambon.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Teoritis: Memberikan kontribusi pemahaman tentang peran pendeta sebagai Konselor Pastoral kepada semua kalangan.
2. Praktis: Dapat bermanfaat bagi calon-calon pendeta, terkhusus bagi mahasiswa UKSW yang mengambil mata kuliah Konseling Praktek
1.5. Lokasi dan subjek penelitian
Tempat penelitian dan wawancara di Rumah Sakit Umum Daerah(RSUD) Dr.M Haulussy, Jln. Dr Kayadoe Kudamati-Ambon.
1.6. Metode penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analisis. Metode penelitian deskriptif analisis. Deskriptif analisis adalah metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang9. Metode deskriptif analitis digunakan digunakan karena penelitian ini bermaksud mendeskripsikan peran pendeta bagi pasien terminal illness di rumah sakit dr. M Haulussy, Ambon.
9
(16)
5
Jenis penelitian yang dipakai adalah adalah penelitian kualitatif.Jenis penelitian kualitatif adalah penelitian yang lebih mengutamakan penghayatan serta berusaha memahami dan menafsirkan makna dari suatu peristiwa interaksi dan tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri sehingga hal ini mengharuskan peneliti terjun sendiri ke lapangan secara aktif10. Jenis data yang digunakan adalah primer dan sekunder yaitu dengan cara observasi, wawancara dan studi pustaka. Observasi digunakan untuk mendapatkan fakta-fakta empirik yang tampak (kasat mata). Observasi yang di lakukan adalah partisipasi yakni observer atau yang melakukan observasi terlibat langsung dalam objek yang diteliti11. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara. Wawancara bertujuan untuk mendapatkan keterangan tentang masalah yang diteliti, dengan percakapan tatap muka12. Wawancara akan dilakukan secara individual dengan pasien terminall illness
(jika dimungkinkan), keluarga dan pendeta yang bertugas di rumah sakit Ibu Lisa Frans untuk mendapatkan data primer. Penulis juga akan melakukan wawancara dengan 3 pasien kanker mewakili pasien terminal.
1.7. Sistematika Penulisan
Penulisan ini disistematika dalam 5 bagian: Bagian pertama berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, lokasi penelitian, metode penelitian dan sistematika penelitian. Bagian kedua penulis memaparkan teori Howard Clinebell tentang pendampingan pastoral yang berisi tujuan dari pendampingan, fungsi dari pendampingan pastoral,peran pendeta sebagai konselor pastoral dan pasien Terminal Illness. Bagian ketiga berisi deskripsi dan analisis tentang peran Pendeta bagi pasien terminall illness di Rumah Sakit Dr.M Haulussy. Bagian keempat penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
2. Pendampingan Pastoral dan Peran Pendeta
2.1 Definisi Pendampingan dan Konseling Pastoral
Pendampingan dan konseling pastoral adalah pemanfaatan hubungan antara seseorang dan orang lainnya di dalam pelayanan. Hubungan itu dapat berupa
10Usman, Setiady. Metode penelitian Sosial, (Jakarta:Bumi Aksara, 2008) 11
Widodo. Cerdik menyusun Proposal. (Jakarta:2004)
(17)
6
hubungan satu orang tertentu dengan satu orang lainnya atau dalam suatu kelompok kecil. Hubungan itu memungkinkan timbulnya kekuatan dan pertumbuhan yang menyembuhkan baik di dalam diri orang-orang yang dilayani tersebut maupun di dalam relasi-relasi mereka. Konseling pastoral adalah sebuah dimensi dari pendampingan. Pendampingan mencangkup pelayanan yang saling menyembuhkan dan menumbuhkan di dalam suatu jemaat dan komunitasnya sepanjang perjalanan hidup mereka. Pendampingan adalah pelayanan pendeta dan anggota jemaat secara bersama. Pelayanan pendampingan umum adalah pelayanan yang mencangkup kehadiran, pendengaran, kehangatan, dan dukungan praksis13
Menurut penulis pendampingan dan konseling pastoral adalah dua bagian yang tidak dapat dipisahkan, karena bila keterampilan konseling adalah percakapan yang mempunyai dimensi vertikal dan menggunakan dimensi religius maka pendampingan merupakan suatu tindakan untuk menolong orang membuka diri kepada kekuatan kasih Allah yang menyembuhkan. Karena dalam sebuah proses konseling pastoral, pendampingan adalah proses yang dilakukan sebagai wujud dukungan terhadap pihak yang sedang menderita. Proses konseling harus bersifat menyeluruh artinya bahwa berusaha untuk bisa memungkinkan terjadinya pertumbuhan serta penyembuhan secara utuh. Untuk itu, peran pendeta serta jemaat merupahkan dimensi yang berperan penting dalam terciptanya suatu hubungan yang baik.
Kata pendampingan pastoral adalah gabungan dua kata yang mempunyai makna pelayanan, yaitu kata pendampingan dan kata pastoral. Pertama, istilah pendampingan.
Kata ini berasal dari kata kerja “mendampingi”. Mendampingi merupahkan suatu
kegiatan menolong orang lain yang karena suatu sebab perlu didampingi. Orang yang
melakukan kegiatan “mendampingi” disebut sebagai “pendamping”. Antara
pendamping dan didampingi terjadi suatu interaksi sejajar atau relasi timbal balik. Dengan demikian pendampingan memiliki arti kegiatan kemitraan, bahu-membahu, menemani, membagi/berbagi dengan tujuan untuk saling menumbuhkan dan mengutuhkan. Dalam hubungan ini, tampaknya pendamping mempunyai fasilitas yang lebih dari orang yang didampingi yakni lebih sehat, mempunyai keterampilan. Interaksi yang demikian akan menempatkan pendamping dalam perspektif yang lebih luas bahwa perhatiannya tidak hanya pada problem atau gejala saja tetapi lebih dalam,
13
Howard,Clinebell. Tipe-tipe dasar pendampingan dan Konseling Pastoral,(Yogyakarta: kanisius,2002)
(18)
7
yakni kepada manusia yang utuh: fisik, mental, sosial, dan rohani. Dengan demikian istilah pendampingan mempunyai spektrum yang menyeluruh atau holistis, bermuara pada pengutuhan kehidupan si penderita yang semula hidupnya telah tercabik karena berbagai krisis. Kedua istilah pastoral. Pastoral berasal dari “pastor” dalam bahasa
latin atau bahasa Yunani disebut “poimen”, yang artinya “gembala”. Secara tradisional, dalam kehidupan gerejawi kita hal ini merupahkan tugas “pendeta” yang
harus menjadi gembala bagi jemaat atau “dombanya”. Pengistilahan ini dihubungkan
dengan diri Yesus Kristus dan karya-Nya sebagai “Pastor Sejati” atau “gembala yang
baik” (Yoh. 10). Hal ini mengaju pada pelayanan Yesus yang tanpa pamrih, bersedia
memberikan pertolongan dan pengasuhan terhadap pengikutNya, oleh karena itu tugas pastoral bukan hanya tugas resmi atau monopoli para pastor/pendeta saja, tetapi juga setiap orang yang menjadi pengikutNya14.
Sedangkan konseling itu sendiri adalah sebuah runcingan dari proses pendampingan. Konseling dapat diartikan sebagai sebuah layanan pendampingan yang lebih formal dan tersruktur, dilakukan oleh orang yang dipersiapkan, didik dan dilatih untuk melakukan konseling secara penuh waktu, sehingga mempu melakukan pendampingan secara profesional dalam sebuah perjumpaan antara pendampingan secara profesional dalam sebuah perjumpaan antara pendampingan secara professional dalam sebuah sekompok orang (sering disebut konseli), dengan menggunahkan metode psikologis untuk menstimulasikan daya pertumbuhan dan daya penyembuhan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang15.
Menurut penulis dari pengertian di atas terlihat bahwa pendampingan pastoral berperan sebagai katalisator proses perubahan, pertumbuhan serta penyembuhan bagi konseli. Pertolongan yang demikian bertujuan supaya konseli mampu memfungsikan dirinya secara maksimal untuk mengatasi krisis-krisis yang terjadi dalam dirinya. Seperti yang dijelaskan, Proses konseling adalah sebuah pertolongan yang professional. Oleh sebab itu, proses konseling harus dilakukan oleh orang yang benar-benar dipersiapkan, dididik, dilatih dan diberi wewenang untuk mempratikkan konseling sesuai dengan metode dan prosedure pertolongan yang telah ditetapkan16.
2.2Dasar dan Tujuan Pastoral
14
Martin Aart Van Beek. Konseling Pastoral: Sebuah buku Pegangan bagi para penolong di Indonesia , (Semarang: 1987)
15Howard.Clinebell. Tipe-tipe dasar pendampingan dan Konseling pastoral, (Yogyakarta:kanisius,2002)
(19)
8
Howard Clinebell menyatakan bahwa tujuan dari semua konseling pastoral adalah untuk membebaskan memperkuat dan memelihara keutuhan hidup yang
berpusat pada roh. Menurut Clinebell, “keutuhan hidup adalah hidup dalam segalah kelimpahan.”17
Maka inti dari semua konseling pastoral adalah untuk menolong orang memahami kesembuhan dan pertumbuhan serta belajar memperkuat iman serta nilai-nilanya. Dalam konteks pemahaman ini, membebaskan mengandung arti: pembebasan
diri untuk dan menuju. Pembebasan diri banyak kekuatan yang bekerja dalam
kehidupan pribadi, di dalam hubungan-hubungan dan lembaga-lembaga, yang membatasi serta membuat segala kemungkinan untuk bertumbuh ke arah keutuhan, yaitu kehidupan dalam segalah kelimpahan.
2.3Fungsi Pendampingan dan Konseling Pastoral
Menurut Howard Clinebellada 4 fungsi pendampingansepanjang abad :
1. Menyembuhkan (Healing) : “suatu fungsi pastoral yang terarah untuk mengatasi kerusakan yang dialami orang dengan memperbaiki orang itu menuju keutuhan dan membimbingnya dalam pengambilan keputusan ke arah kemajuan di luar kondisinya terdahulu”.
2. Mendukung (Sustaining) : “menolongorang yang sakit (terluka) agar dapat bertahan dan mengatasi suatu kejadian yang terjadi pada watu yang lampau, di mana perbaikan atau penyembuhan atas penyakitnya tidak mungkin lagi diusahakan atau dimungkinkannya sangat tipis sehingga tidak mungkin lagi diharapkan”.
3. Membimbing (Guiding) : “membantu orang yang berada dalam
kebingungan dalam mengambil pilihan yang pasti (menyakinkan di antara berbagai pikiran dan tindakan alternatif/pilihan), pilihan yang dipandang mempengaruhi keadaan jiwa mereka sekarang dan pada waktu yang akan datang”.
4. Memulihkan (Reconciling): “usaha membangun hubungan-hubungan
yang rusak kembali di antara manusia dan sesama manusia dan di antara manusia dengan Allah”.
5. Memelihara atau mengasuh (Nurturing): “memampukan orang untuk mengembangkan potensi-potensi yang diberikan Allah kepada mereka, disepanjang hidup mereka dengan segala lembah-lembah, puncak-puncak dan dataran-dataran.”18
2.4Peran pendeta sebagai Konselor Pastoral
17Howard.Clinebell. Tipe-tipe dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, (Yogyakarta: kanisius,2002)
(20)
9
Dalam zaman sekarang ini para pendeta memperoleh kesempatan untuk memberikan konseling bagi orang-orang yang berjuang dalam pasang surut krisis yang mengacaubalaukan kehidupan. Pendeta adalah konselor krisis yang bersifat wajar karena keuntungan yang inheren (melekat) dari posisi dan perannya yaitu: jaringan hubungannya dengan umatnya, haknya memasuki banyak sistem keluarga, keyakinan banyak orang kepada pendeta, kemudahannya berhubungan dengan orang dan kehadirannya dalam banyak krisis perkembangan psikologis dan krisis yang terjadi secara kebetulan (yang tidak diharapkan) misalnya penyakit, kematian dan kehilangan orang yang dikasihi19. Dalam pandangan banyak orang yang sedang mengalami krisis, gambaran dan identitas pendeta mengandung suatu arti bersifat mendukung dan memelihara.
Sebagai konselor pastoral, seorang pendeta harus memiliki sikap dapat dan merasakan apa yang konseli rasakan, serta dapat menempatkan dirinya dalam kehidupan dan perasaan orang lain, sehingga mereka merasa dihargai, diterima dan dikasihi. Di sisi lain pendeta sebagai suatu penuntun dan teladan bahkan lebih dari itu, menjadi pancaran sinar, sikap, sifat dan kepribadian dari Yesus. Sebagaimana kehidupan Yesus, yang diharapkan dari pendeta sebagai konselor harus sama seperti Yesus.20
Dalam pelayanan, peran pendeta sebagai orang yang membangkitkan kesadaran tentang arti dan harapan yang realistis adalah penting sekali. Fungsinya yang unik, sebagai orang yang memampukan pertumbuhan rohani adalah membantu orang menemukan kepenuhan arti yang ultimate dari kehidupan yang dijalankan dalam hubungan dengan Allah, yaitu Allah yang selalu menyediakan kasih setiaNya juga ditengah tragedi yang amat dasyat. Konselor pastoral menantang tetapi juga memelihara, penghadiran kedua dimensi yang paradoks inilah menghasilkan pertumbuhan dalam konseling. Pendeta rumah sakit dianggap sebagai pembawa sumber religius, pengurangan kecemasan, dan penghiburan bagi pasien-pasien khususnya ketika semua pengobatan medis sudah dikerjakan dan ternyata gagal. Penggunaan yang terampil dari metode pendengaran, pemeliharaan dan konseling terhadap orang sakit dapat membantu pasien menjadi lebih terbuka kepada sumber penyembuhan yang diberikan Allah dalam tubuh, jiwa dan roh dan hubungannya. Agar menjadi efektif sebagai pemelihara pertumbuhan maka pendeta harus tetap bertumbuh.
19 Ibid, 20
(21)
10
Menurut penulis seorang pendeta terpanggil untuk menjadi orang yang memungkinkan terwujudnya keutuhan rohani disegala bidang kehidupan manusia.
Meminjam istilah Willian A. Barry, ia mengatakan bahwa pendeta adalah “pembimbing
rohani” yaitu orang yang menjadi memimpin dalam suatu pencarian berdasarkan
pimpinan roh kudus didalam situasi psikologis dan spiritual. Proses pencarian ini menekankan pada bagaimana menemukan sesuatu yang dapat menjadi kekuatan bagi pemimpin dan dipimpin untuk sama-sama berkembang menuju keutuhan dan kesempurnaan hidup baik itu secara spiritual maupun psikologis.21
Dalam pelayanan gereja kepada masyarakat yang didalamnya juga termasuk pelayanan pendeta sebagai seorang konselor di rumah sakit, menjadikan peran pendeta di masyarakat khususnya di rumah sakit menjadi sangat penting. Dalam perannyapendeta rumah sakit dianggap sebagai pembawa sumber religius, pengurangan kecemasan dan penghiburan bagi pasien-pasien khususnya ketika semua pengobatan medis sudah dikerjakan dan ternyata gagal. Peranan seorang pendeta terhadap orang sakit juga memiliki dimensi penting lainnya, yaitu membantu memampukan penyembuhan. Selain penyembuhan, penggunaan yang terampil dari metode pendengaran, pemeliharaan dan konseling terhadap orang sakit dapat membantu si pasien menjadi lebih terbuka kepada sumber penyembuhan yang diberikan Allah dalam tubuh, jiwa dan roh dan hubungannya.22
2.5Tujuan Pendampingan dan Konseling Pastoral bagi pasien
Ada empat tujuan pendampingan dan konseling bagi pasien yang dijelaskan oleh Van Beek .
1. Menolong pasien untuk mengungkapkan perasaanya. Dalam hal ini, konselor pastoral
harus mampu menciptakan kesempatan untuk mempersilakan pasien mengeluarkan segala perasaan dengan bebas
2. Menolong pasien dengan mendengarkan segala, keluhan-keluhan dengan demikian, pasien akan merasa dimengerti, oleh orang lain, sehingga pasien akan lebih kuat. Pertolongan ini akan membuat pasien merasa terlindungi, dengan merasa tidak sendiri dalam menghadapi penderitaan.
21
Victor E Frank. Logoterapi Psikologi melalui Pemahaman Eksistensi, (Yogyakarta,2006)
(22)
11
3. Menolong pasien untuk menemukan masalah yang sedang dialaminya dan membantu
pasien untuk menyelesaikan masalah tersebut sehingga dapat menerima kenyataan yang memang harus di alaminya.
4. Dalam peranya sebagai penyembuh, hal-hal tersebut harus diperhatikan serta dijalankan seiring dengan fungsi pendeta sebagai seorang penyembuh. Keempat aspek ini harus bisa berjalan secara bersamaan.23
2.6Pasien Terminal Illness
Illness adalah konsep psikologis yang menunjuk pada perasaan, persepsi atau pengalaman subjektif seseorang tentang ketidaksehatan atau keadaan tubuh yang dirasa tidak enak. Sebagai pengalaman subjektif, illness bersifat individual. Seseorang yang memiliki penyakit belum tentu dipersepsi oleh seseorang tetapi orang lain juga dapat merasakannya.
Pada umunya penyakit terminal adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan dan akhirnya meninggal dunia. Ini berarti penyakit terminal adalah penyakit yang akan membawa penderita ke ajalnya. Sebagian ahli menganggap orang yang menderita penyakit terminal apabila kondisi penyakitnya tidak mengalami perubahan yang berarti dan tidak ada obat atau sarana penyembuhan yang dapat diupayakan sehingga mungkin orang akan meninggal dalam 12 bulan ke depan.24
Tahap terminal ini dimulai dengan adanya serangan penyakit-penyakit akut dan ini berlangsung dalam konsisi pasien sadar atau tidak sadar. Kondisi pasien yang dimaksud adalah secara psikis pasien merasa dan mengetahui akan keadaan dirinya yang sebenarnya sehingga mengadakan respon terhadap prospek kematian, sedangkan keadaan yang tidak sadar adalah suatu kondisi dimana pasien berada dalam keadaan yang tidak mengerti dan tidak merasa apa yang sedang terjadi dengan dirinya25
Menurut penulis keadaan ini adalah keadaan dimana penderita masih sadar tetapi tidak mampu melakuan apa-apa. Pasien mengetahui bahwa kematian akan menjadi hal berikutnya dalam proses keadaanya tersebut. Oleh sebab itu, suatu kondisi dimana proses pengobatan kepada orang terminal lebih berfokus terhadap obat-obat
23Martin Aart van Beek. Konseling Pastoral: Sebuah buku Pegangan bagi para Penolong di Indonesia, (Semarang, 1987)
24
Elisabeth.Kubler. Death:The Final Stage Grwoth, (Englewood Cliffs: New Jersey, 1975) 25D.B Bromley. The psychologist of human Ageing, (Michell and Company: Inggris, 1974)
(23)
12
penenang serta penanganan rawat jalan (dirumah). Hal ini dilakukan agar mengurangi rasa sakit, perawatan yang meningkat serta memberikan ketenagan kepada pasien menjelang kematiannya. Semua proses ini harus diperhatikan sebagai wujud tindakan mengatasi rasa cemas terhadap kematian yang nantinya dirasakan oleh pasien.
Individu yang menghadapi penyakit serius atau menjelang kematian sering beralih ke pengobatan yang bukan hanya fisik melalui pengobatan medis,tetapi juga melalui dukungan emosional dan spiritual. Kebanyakan pasien menemukan perawatan fisik mereka harus menjalani (operasi, kemoterapi, radiasi, dan tak ada habisnya biopsi tindak lanjut) sangat berat. Kesadaran mereka dan kecemasan tentang penyakit mereka dan kemungkinan nyata kematian mengirimkan banyak orang ke dalam krisis eksistensial. Dari krisis yang mereka rasakan timbul reaksi emosional yang terjadi dalam diri penderita yang dijelaskan oleh Elisabeth Kubler-Ross sebagai berikut26 : 1. Denial (menyangkal): Penyangkalan bagi penderita penyakit terminal menjadi penting
dan sangat diperlukan, karena hal ini akan membantu pasien menyadari bahwa kematian itu tidak dapat dihindari. Penderita sering kali menyangkal bahwa ia memiliki penyakit yang bisa membawanya ke kematian. Meskipun ia menyadari bahwa kematian bisa datang secara tiba-tiba kepada setiap orang, namun seringkali ia mencoba membuang pemikiran yang menakutkan tersebut.
2. Anger (kemarahan): setelah ia menyadari bahwa penyakit itu memang benar, maka ia mulai membandingan yang harus menderita itu siapa. Pasien bisa marah dalam menghadapi fakta ini. Ia kemudian mulai mengingat sejarah kesehatannya, bagaimana ia tadinya begitu kuat, banyak memiliki prestasi tapi mengapa ia justru mengalami hal tersebut, mengapa bukan orang lain saja? Kemarahan itu bukan saja sangat mungkin terjadi bahkan tak dapat dihindarkan.
3. Bargaining (tawar-menawar) : tawar-menawar ini dilakukan untuk “mengubah” hati
Tuhan. Sering terungkap dalam kalimat nazar “kalau nanti saya sembuh, saya berjanji
akan taat beribadah dan melayani”. “saya akan memberikan seluruh hidup saya untuk Tuhan”.
4. Depression (depresi): disini reaksi fisiknya menjadi sangat lamban, tetap memusuhi orang lain, masih memiliki rasa bersalah dan tidak memiliki semangat hidup lagi. Ada dua jenis depresi yaitu yang bersifat reaktif dan persiapan:
(24)
13
Reaktif:yaitu karena depresi itu yang menyebabkan sangat kecewa sehingga ia kehilangan minat untu berdoa,makan, baca alkitab
Persiapan: yaitu mempersiakan diri terhadap hari esok yang akan menimpanya. Tetapi disamping itu, ada rasa takut dan cemas terhadap keluarga, pekerjaan dan segala sesuatu yang ditinggalan.
5. Acceptance (menerima): sebelum konseli bergumul antara kenyataan dan khayalan. Dalam tahap ini konseli benar-benar pasrah terhadap apa yang menimpanya. Dia bisa menerima keadaan penyakitnya yang membawanya kepada kematian dan menolak percya bahwa adanya kesembuhan atau mujizat.
Dari reaksi emosional yang paparan oleh Elisabeth Kubler-Ross, menurut penulis reaksi ini adalah suatu proses yang wajar yang di lalui oleh seorang pasien dengan keadaan terminal. Dengan reaksi demikian pasien maupun tenaga medis serta konselor bisa menolong serta membantu mengatasi keadaan serta perasaan yang dirasakan. Dengan mengetahui tahap-tahap diatas dapat membantu para konselor maupun pendeta untuk menentukan sikap dan menyesuaikan diri dengan situasi penderita dengan demikian bisa membantu dan mendampingi dalam tahap-tahap tersebut.27
2.7 PERAN PENDETA
Menurut Engel, profesi pendeta tidak hanya sebagai rutinitas yang berkhotbah dalam kebaktian, juga melayani dalam realitas kehidupan jemaat sehari-hari. Pendeta dipanggil untuk menjalankan pelayanan dalam generasi yang tidak hanya berkonfrontasi dengan masalah-masalah dalam diri manusia sendiri, tetapi juga dengan masalah-masalah yang lebih kompleks dalam kehidupan masyarakat dan dunia sekitar yang terkadang sulit dijawab. Profesi dan panggilan seorang pendeta memperkuat arti dari pelayanan pastoral, dengan alasan bahwa :
1. Pendeta adalah rekan sekerja Allah yang mengarahkan hatinya ke dalam pelayanan yang terpusat pada Allah dan setia memampukan orang lain mengenal diri sendiri dan Allah. Manusia tidak bisa melayani diri sendiri dan tidak seorangpun sejak lahir hingga dewasa dapat hidup oleh dirinya sendiri, akan hidup dalam komunitas tertentu dengan berbagai persoalan kemanusiaan
27
Mesach.Krisetya. Teologi Pastoral: Pendampingan Pastoral dalam perspetif Teologis, (UKSW:Salatiga.2008)
(25)
14
dan pendeta hadir untuk melaksanakan panggilan Allah di tengah kehidupan tersebut.
2. Pendeta menempatkan pelayanannya di dalam terang Roh Kudus dalam
menjawab pergumulan-pergumulan sekitar masalah-masalah kemanusiaan. Rasa bersalah, kesepian, keputusasaan, ketakutan ditengah tekanan dan pengaruh keduniawian, merasa tidak dicintai serta hidup dalam kehampaan karena nafsu-nafsu yang mengikat merupakan pergumulan-pergumulan batin manusia membutuhkan peranan Roh Kudus untuk memberikan topangan, dukungan dan kekuatan.
3. Pendeta sebagai konselor pastoral selalu bersentuhan dengan apa yang disebut relasi terhadap sesamanya. Relasi yang mendalam hanya dapat dibangun, jika pendeta menganggap orang lain berharga yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang.
4. Seorang pendeta harus memiliki sikap dapat menerima orang lain dan merasakan yang mereka rasakan, serta dapat menempatkan dirinya dalam kehidupan dan perasaan orang lain, sehingga mereka merasa dihargai, diterima dan dikasihi. Disisi lain, pendeta sebagai simbol nilai-nilai yang dirasakan oleh orang lain sebagai suatu panutan dan teladan, bahkan lebih dari itu, menjadi pancaran sinar sikap, sifat dan kepribadian dari Yesus 28
Menurut penulis profesi seorang pendeta bukanlah profesi yang menjalankan kewajiban gereja saja melainkan profesi yang turun langsung serta terlibat dalam melakukan pelayanan di tengah-tengah masyarakat. Pelayanan yang diberikan bukan saja menyangkut pemberitaan firman dan ibadah tetapi juga pendeta hadir sebagai seorang konselor dalam membantu jemaat untuk membangun relasi, baik dengan sesama maupun dengan Tuhan.
Selain itu, pendeta merupahkan kawan sekerja Allah yang diutus di tengah-tengah dunia ini untuk melakukan misi Allah bagi dunia. Salah satu misi Allah bagi dunia ini adalah pelayanan pastoral. Pendeta dipercayakan Allah untuk turut ambil bagian dalam membantu mengatasi masalah kehidupan, membimbing jemaat melewati keadaan yang sulit, dan pendeta diharapkan bisa memberi dukungan dan topangan bagi jemaat yang dalam masa-masa kritis. Dalam pandangan orang yang
28
(26)
15
mengalami krisis, arti dan kehadiran seorang pendeta dalam suatu keadaan krisis sangat memiliki dampak yang cukup besar. Pendeta dikatakan mampu memberikan kontribusi bagi mereka yang sedang dalam keadaan krisis karena sakit. Menurut Gunadi kebutuhan penderita sakit terbagi dalam tiga kategori: pertama, kebutuhan rohani merupakan kebutuhan akan penguatan serta penghiburan rohani dalam menerima keadaan. Kedua, kebutuhan emosional berkaitan dengan kehilangan pengendalian diri serta merasa tidak dihargai. Ketiga, kebutuhan jasmani berhubungan dengan kebutuhan keseharian.29
Menurut penulis dengan melihat kebutuhan penderita yang dipaparkan Gunadi, bisa dikatakan bahwa kebutuhan penderita merupahkan fokus utama yang harus diperhatikan oleh pendeta dalam melakukan pelayanan bagi penderita sakit. Kebutuhan akan penguatan rohani harus menjadi perhatian utama, untuk itu dalam melakukan pelayanan pendeta berusaha untuk terus mendampingi secara rutin serta berusaha memahami sikap, perasaan dan perilaku penderita sakit dari sudut
“keharusan. Melihat fungsi dari pendeta, bisa dikatakan bahwa pendeta memiliki pengaruh yang besar bagi proses pertumbuhan maupun kesembuhan seseorang.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Dalam bagian ini penulis akan menganalisis peran Pendeta bagi pasien
Terminal illness.
3.1 Deskripsi & Analisa tentang Peran Pendeta bagi Pasien dengan Status
Terminal Illness di Rumah Sakit Dr. M.Haulussy.
Pendeta bukan hanya sebuah profesi dengan rutinitas berkhotbah dalam kebaktian, tapi juga melayani dalam realitas kehidupan jemaat sehari-hari.Pendeta dipanggil untuk menjalankan pelayanan dalam generasi yang tidak hanya berkonfrontasi dengan masalah-masalah dalam diri manusia sendiri, tetapi juga dengan masalah-masalah yang lebih kompleks dalam kehidupan masyarakat dan dunia sekitar yang terkadang sulit dijawab. Kehadiran seorang pendeta di rumah sakit merupahkan bagian dari pelayananya dalam menjangkau segala aspek kehidupan masyarakat.Konseling merupahkan sarana yang digunakan pendeta dalam menjalin suatu hubungan dengan konseli guna untuk menemukan jalan keluar dari masalah
29
Paul.Gunadi, Life In Transition: Christian Counseling Conference and asosiasi, Konselor Kristen Indonesia hal 46-48
(27)
16
yang sedang dialami. Hubungan yang tercipta antara pendeta sebagai konselor dengan konseli merupakan hubungan yang menimbulkan kekuatan dan pertumbuhan yang baik bagi Konseli dan relasi-relasinya.30 Dengan demikian, peran pendeta menjadi sangat penting dalam membantu menolong konseli untuk menyelesaikan masalah yang sedang dialaminya.
Rumah Sakit Dr.M Haulussy adalah rumah sakit umum yang melayani pasien dari berbagai suku, ras dan agama. Dari data yang diperoleh kebanyakan pasien yang beragama Nasrani tapi juga ada yang Non-nasrani. Rumah sakit dr.M Haulussy mempunyai lembaga bidang kerohanian yang terdiri dari 1 orang pendetayang melakukan tugas pelayanan selama satu minggu dimulai dari hari Senin dengan melakukan ibadah bersama staf rumah sakit beserta keluarga pasien pukul 09.00 WIT di aula rumah sakit. Setelah itu, pelayanan doa serta pastoral bagi semua pasiendi rumah sakit. Pelayanan pastoral yang terjadi antara pendeta dan pasien maupun staf rumah sakit dimulai dengan pendeta datang, mendoakan pasien serta melakukan percakapan pastoral singkat dengan menanyakan kabar serta apa pergumulan pribadi yang sedang dihadapi konseli, percakapan ini berlangsung selama 10-15 menit dalam 1x pertemuan. Diakui juga oleh staf rumah sakit Dr. Hs bahwa dalam pelayanan yang dilakukan pendeta di rumah sakit khususnya pelayanan pastoral memang belum sepenuhnya terstruktur dengan mendapat perhatian penuh dari pihak rumah sakit31. Dalam artian bahwa pelayanan kerohanian belum masuk dalam struktural rumah sakit sebagai salah satu pelayanan yang terstruktur secara baik, akibatnya tidak ada pertanggung jawaban moral dari pihak rumah sakit terhadap pelayanan pastoral yang terjadi sehingga pelayanan berjalan hanya seadanya. Selain belum terstruktur secara baik, tidak ada job descriptionyang terjadi antara pihak rumah sakit dengan pendeta sehingga pelayanan pendampingan yang terjadi antara pendeta sebagai konselor dengan pasien sebagai konseli hanya sebatas datang mendoakan serta melakukan percakapan singkat selama 10-15 menit.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, menurut penulis peranan pendeta yang terlihat di rumah sakit dr. M Haulussy merupakan tugas pelayanan yang didalamnya bertujuan untuk menjangkau aspek kehidupan masyarakat. Salah satu perannya yang kita temui sekarang adalah sebagai seorang konselor pastoral.
30
Howard. Clinebell, Tipe-tipe pendampingan dan konseling pastoral ,( Yogyakarta: Kanisius,2002) 31Narasumber Dokter HS (bukan nama sebenarnya), senin 10 November 2014 pukul 11.00 WIT
(28)
17
Konselor pastoral hadir sebagai upaya yang bersifat membimbing serta memberikan kekuatan bagi orang-orang yang sedang menderita ganguan fungsi dan kehancuran pribadi karena krisis. Konselor dalam proses konseling hadir untuk menolong memberikan dukungan bagi konseli dan keluarga, menopang konseli untuk melewati masa-masa penerimaan dirinya dan penyakitnya, membimbing konseli mengambil konseling dalam memasuki keadaan akhir, membantu memulihkan hubungan pasien serta menghadirkan rasa tanggung jawab konseli bagi sesama maupun dengan Allah.32 Dalam fungsinya sebagai seorang konselor pastoral di rumah sakit, upaya pendampingan yang dilakukan pendeta sudah berjalan secara baik, hanya saja waktu dalam rutinitas pertemuan yang digunakan untuk melakukan proses pendampingan perlu diatur secara maksimal agar dalam proses pelaksanaan pastoral yang terjadi setidaknya pertemuan bisa lebih dari 1x setiap minggunya serta waktu pertemuan adalah minimal 2 jam dalam 1x pertemuan, sehingga proses konseling mencapai tujuannya secara bertahap.
Secara teori, menurut Clinebell konseling adalah sebuah layanan pendampingan tersruktur, dilakukan oleh orang yang dipersiapkan, didik dan dilatih untuk melakukan konseling secara penuh waktu, dengan menggunakan metode psikologis untuk menstimulasikan daya pertumbuhan dan daya penyembuhan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang. Proses konseling adalah sebuah pertolongan yang profesional oleh sebab itu, proses ini harus dilakukan oleh orang yang benar-benar dipersiapkan, dididik, dilatih dan diberi wewenang untuk mempraktikan konseling sesuai metode dan prosedure pertolongan yang telah ditetapkan.33 Pendeta merupakan penolong yang dianggap mampu melakukan upaya pertolongan bagi konseli lewat konseling sebagai layanan pendampingan yang membantu menolong seseorang dalam mengatasi masalah.
Berdasarkan hasil penelitian serta teori yang sudah dibahas, penulis simpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara teori Clinebell dengan realita yang terjadi di Rumah Sakit Dr. M Haulussy. Bahwa seorang pendeta dalam perannya sebagai seorang konselor di rumah sakit haruslah memiliki suatu keterampilan upaya konseling secara terpadu dan terstruktur baik lewat kerjasama dengan suatu lembaga masyarakat maupun lewat pelayanan bergereja. Dalam upaya pertolongan yang
32 Ibid, 59
(29)
18
dilakukan pendeta sebagai seorang konselor juga perlu adanya metode-metode serta keterampilan yang digunakan dalam membantu menstimulasikan pertumbuhan bagi konseli. Upaya ini dilakukan agar konseli memiliki potensi untuk bertumbuh dalam menghadapi masalah yang dihadapi. Hal ini tidak tampak jelas terlihat dalam realita di Rumah Sakit Dr.M Haulussy. Pendeta sebagai konselor pastoral dalam melakukan upaya-upaya pelayanan bagi pasien di Rumah Sakit Dr.M Haulussy baru hanya sebatas pelayanan secara umum yaitu mengunjungi, mendoakan serta melakukan percakapan singkat. Di sisi lain, mengenai keberadaan pendeta sebagai konselor di rumah sakit masih belum adanya perhatian dari pihak rumah sakit mengenai hal tersebut.
Dari hasil paparan diatas penulis mencoba untuk mendeskripsikan dan menganalisis peran pendeta sebagai konselor pastoral terhadap pasien Terminal Illnessdi Rumah Sakit Dr. M. Haulussy dari perspektif teori Clinebell sebagai berikut34 :
1. Menyembuhkan (Healing) : “suatu fungsi pastoral yang terarah untuk
mengatasi kerusakan yang dialami orang dengan memperbaiki orang itu menuju keutuhan dan membimbingnya ke arah kemajuan di luar
kondisinya yang terdahulu”. Dalam proses menyembuhkan, kehadiran
pendeta sebagai konselor adalah hal utama dalam membangun relasi yang baik dengan konseli. Dari hasil penelitian yang diperoleh di Rumah sakit Dr.M.Haulussy kegiatan penyembuhan yang dilakukan oleh pendeta sebagai seorang konselor adalah hanya sebatas mengunjungi pasien, mendoakan serta melakukan pendampingan pastoral singkat selama 10-15 menit dan dilakukan 1 minggu sekali bahkan 2 minggu sekali.Dari hasil wawancara dengan keluarga pasien dikatakan bahwa kehadiran pendeta secara psikologis sangat membantu konseli dalam menolong konseli tetapi secara teori pendeta belum bisa membangun relasi yang baik dengan konseli lewat kehadirannya secara penuh bagi konseli sehingga pelayanan pastoral yang terjadi sebatas rutinitas biasa bukan suatu layanan yang terprogram secara baik.
2. Mendukung(sustaining) adalah menolong orang sakit (terluka) agar dapat bertahan mengatasi suatu kejadian yang terjadi di masa lampau, dimana
34 Ibid 29
(30)
19
usaha penyembuhan tidak mungkin lagi di usahakan. Usaha mendukung juga dilaksanaan oleh pendeta sebagai konselor di Rumah Sakit Dr.M Haulussy dengan pendeta mendoakan konseli. Berdoa merupakansalah satu metode yang digunakan pendetauntuk mengatasi masalah yang dihadapi konseli. Dari hasil penelitian serta teori yang dijelaskan bisa di simpulkan bahwa usaha mendukung yang dilakukan oleh pendeta sebagai seorang konselor sudah dilaksanakan, hanya saja dalam upaya menolong konseli perlu adanya intensitas pertemuan yang teratur antara konseli dan konselor. Tetapi kenyataan yang terjadi di Rumah Sakit Dr.M Haulussy, pendeta hanya datang mendoakan pasien 1 minggu sekali atau ketika keluargameminta untuk dilayani. Dalam proses inipendeta belum sepenuhnya mampu melakuan dukungan secara terstruktur.
3. Membimbing (Guiding) adalah upaya membantu orang yang berada dalam
kebingungan dalam mengambil pilihan yang pasti dan dipandang memiliki pengaruh bagi keadaaan jiwa mereka sekarang dan waktu yang akan datang.
Berdasarkan hasil penelitian di Rumah sakit Dr.M Haulussy, Dalam pelayanan pendeta sebagai konselor perannya bagi pasien terminal illness, pendeta diminta hadir untuk membantu konseli dalam melalui masa-masa krisis. Pelayanan yang dilakukan berhubungan dengan pendeta mendengarkan apa yang menjadi keinginan serta keputusan konseli. Dengan demikian pendeta membantu memberikan solusi bagi konseli dalam mengambil keputusan. Pelayanan lainnya yang dilakukan juga berupa pendampingan secara non-verbal bagi pasien yaitu dengan memperhatikan pesan-pesan orang yang didampingi yang terkandung dalam nada suara, mimik muka, gerakan tangan dan lain-lain. Sedangkan bagi keluarga pasien terminal, kehadiran pendeta sebagai konselor pastoral
dianggap mampu mengurangi kecemasan yang dirasakan oleh
keluarga.Dengan memberikan doa serta topangan bagi keluarga dalam melewati masa-masa sukar. Dengan melihat hasil temuan lapangan serta teori yang dipaparkan, bisa disimpulkan bahwa pendeta sudah menjalankan perannya sebagai seorang pembimbing bagi konseli dengan baik.
4. Memulihkan (Reconciling): “usaha membangun hubungan-hubungan yang
(31)
20
dengan Allah”. Pendeta adalah satu-satunya pembawa sumber religius yang
diharapkan mampu menjadi jembatan dalam membantu menyelesaikan masalah dari konseli35. Hal ini masih belum penulis temukan dalam upaya pendampingan yang dilakukan pendeta di Rumah sakit dr. M Haulussy karena dalam percakapan pastoral yang terjadi antara konseli dengan konselor belum terlihat adanya percakapan yang dalam yang dilakukan secara bertahap dengan waktu pertemuan yang terjadwalkan sehingga proses pemulihan tidak sepenuhnya menyentuh kehidupan konseli secara menyeluruh.
5. Memelihara atau Mengasuh (Nurturing): “memampukan orang untuk
mengembangkan potensi-potensi yang diberikan Allah bagi
kehidupannya”. Dalam peran pendeta sebagai seorang konselor proses
Pemelihara merupakan fungsi terakhir yang dijelaskan Clinebell dalam upaya pertolongan bagi konseli. Proses ini berkaitan dengan proses memulihkan, jika proses memulihkan tidak berjalan secara baik dan maksimal seperti yang terjadi di Rumah Sakit Dr.M Haulussy, maka proses pemeliharaan yang dilakukan pun akan berdampak pada tidak adanya perkembangan yang berarti dalam diri konseli untuk mengembangkan potensi-potensi yang baik yang diberikan Allah untuk bertumbuh. Proses ini belum terlihat secara baik dalam pelayanan yang dilakukan oleh karena belum adanya program pendampingan yang dibuat secara terstruktur oleh pendeta guna menjadi panduan dalam melakukan pelayanan pastoral bagi konseli.
Dari paparan diatas, bisa disimpulkan bahwa upaya pelayanan yang dilakukan pendeta sebagai konselor di Rumah Sakit Dr.M Haulussy adalah pelayanan yang bertujuan untuk melayani jemaat dalam berbagai aspek kehidupan. Bagi jemaat, pendeta merupakan pembawa sumber religius yang mampu mengurangi kecemasan yang dialami oleh jemaat. Dengan demikian terlihat bahwa pendeta cukup berperan penting dalam menolong mengatasi masalah yang terjadi. Dari perspektif keluarga pasien, pendeta sebagai seorang konselor sudah mampu menjalankan perannya dengan baik secara psikologi lewat kehadirannya bagi konseli hanya saja belum sepenuhnya seutuhnya dilaksanakan jika dilihat dari teori yang dijelaskan oleh Clinebell. Karena pendampingan dan konseling pastoral merupakan suatu layanan
35
(32)
21
pendampingan yang lebih formal dan terstruktur serta dilakukan secara penuh waktu dalam sebuah kelompok (yang sering disebut konseli), dengan menggunakan metode serta keterampilan yang menstimulasikan pertumbuhan bagi seseorang atau sekelompok orang.
4. Kesimpulan
Berdasarkan deskripsi dan analisis penulis terhadap hasil penelitian penelitian ini maka penulis menemukan :
1. Bahwa adanya upaya pendampingan dan konseling pastoral yang dilakukan
pendeta sebagai konselor dengan hanya sebatas pelayanan pastoral secara umum bagi pasien terminal illnessdi Rumah Sakit Dr.M Haulussy.
2. Adanya upaya dalam menjalankan fungsi-fungsi pendampingan seperti menyembuhkan, mendukung, membimbing, memulihkan serta memelihara walaupun belum sepenuhnya terlaksana secara utuh.
3. Belum adanya program kerja yang tersusun secara jelas antara pihak Rumah sakit dengan pendeta sebagai konselor di rumah sakit.
4. Belum adanya respon positif dari pihak rumah sakit terhadap pelayanan kesehatan secara holistik
5. Pelayanan yang dilakukan bagi pasien dengan status terminal illness
berupa pelayanan umum yang hanya berpusat pada pelayanan secara rohani.
6. Kegiatan pelayanan yang dilakukan di Rumah sakit Dr.M Haulussy juga hanya dijalankan oleh 1 orang pendeta.
7. Kurangnya metode-metode yang digunakan pendeta sebagai konselor
dalam menangani masalah yang dihadapi konseli.
Berdasarkan hasil penelitian ini maka ada beberapa saran yang perlu diperhatikan:
Bagi Pendeta: Agar di harapkan lebih banyak menguasai metode-metode dan keterampilan konseling serta berupaya menjalankan kelima fungsi penggembalaan dengan baik agar tujuan dari konseling bisa terpenuhi.
Bagi pihak Rumah Sakit: Agar lebih memperhatikan pelayanan kesehatan secara holistik agar pelayanan menjadi merata bagi setiap pasien.
Bagi gereja: Supaya lebih peka terhadap pemerhatian pelayan-pelayan dalam wilayah pelayanannya, dengan membantu memperhatikan upaya pelayanan
(33)
22
yang di lakukan di Rumah sakit dr. M Haulussy sebagai bagian dari wilayah pelayanan di kota Ambon.
Daftar pustaka
Abednego, B.A (2011), Tanggung Jawab Etis Pelayan Jemaat: Etis Pastoral, Jakarta: Gunung Mulia.
Bromley B. D (1974) The Pscychology of Human Ageing, Inggris: Nicholl and company
Clinebell, Howard (2002), Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan konseling P astoral.
Yogyakarta.
Clinebell, Howard (1979), Growth counseling, Hope-Centered Methods of Actualizing Human Wholeness. Nashville: Abingdon Press.
Conrad Peter (2005),The Sociologi of health & Illness Critical Prespective seven Editor.
California press
Dahlenburg G. D (2002) Siapakah Pendeta Itu? : Jakarta
Engel D, J(2003). Konseling dasar dan pendampingan pastoral :salatiga.
Frankl E Victor, (2006), Logoterapi : Terapi psikologi melalui pemaknaan eksistensi.
Jogjakarta.
Gula M. Richard (2009), Etika Pastoral Dilengkapi dengan Kode Etik, Jakarta: Kanisius. Gunadi Paul (2013), Life In Tansition (christian counseling conference V). Asosiasi Konselor
Kristen indonesia
Hoffman Jhon (1993), Permasalahan Etis dalam Konseling. Jogjakarta:Kanisius
Krisetya, Mesach. (2008) Teologi Pastoral: Pendampingan Pastoral dalam Perspektif Teologis. Salatiga : UKSW.
Kubler-Ross, Elisabeth (1969) On death and Dying, New York: The Macmillan company.
Kubler-Ross, Elisabeth (1975) Death : The Final Stage of Growth, Englewood cliffs: New Jersey
(34)
23
Koentaranigrat (1983) Tenik Pengumpulan Data, Jakarta
Nasir. Mohammad (1985) Metode penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia Paulson SDaryl ( 2004) The Nearing death and Pastoral Couseling, Vol 52 Puterbaugh Dolores (2013), Pastoral Counseling and Mental illness.
SahardjoHadi (2006). Konseling Krisis dan Terapi Singkat Pertolongan di saat-saat Sulit,Bandung: Crisis and brief Therapy
Spector E, Racher (2004), Cultural Diversity in Health & Illness sixth editor. Philadelphia Strom M. Bons (2011), Apakah Penggembalaan itu? Petunjuk Praktis Pelayanan. Jakarta:
Gunung Mulia
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga, Pusat bahasa Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002)
Usman Setiady (2008), Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi aksara
Van beek,Martin aart. (1987) Konseling pastoral : Sebuah Buku Pegangan Bagi Para Penolong di Indonesia. Semarang
Widodo (2004) Cerdik Menyusun Proposal: Jakarta
Wiryasaputra Totok (2007), Pendampingan Pasien Kanker: Jakarta
Wiryasaputra Totok. (2006) Ready to Care: Pendampingan dan Konseling P sikologi. Jogjakarta.
(1)
18
dilakukan pendeta sebagai seorang konselor juga perlu adanya metode-metode serta keterampilan yang digunakan dalam membantu menstimulasikan pertumbuhan bagi konseli. Upaya ini dilakukan agar konseli memiliki potensi untuk bertumbuh dalam menghadapi masalah yang dihadapi. Hal ini tidak tampak jelas terlihat dalam realita di Rumah Sakit Dr.M Haulussy. Pendeta sebagai konselor pastoral dalam melakukan upaya-upaya pelayanan bagi pasien di Rumah Sakit Dr.M Haulussy baru hanya sebatas pelayanan secara umum yaitu mengunjungi, mendoakan serta melakukan percakapan singkat. Di sisi lain, mengenai keberadaan pendeta sebagai konselor di rumah sakit masih belum adanya perhatian dari pihak rumah sakit mengenai hal tersebut.
Dari hasil paparan diatas penulis mencoba untuk mendeskripsikan dan menganalisis peran pendeta sebagai konselor pastoral terhadap pasien Terminal Illnessdi Rumah Sakit Dr. M. Haulussy dari perspektif teori Clinebell sebagai berikut34 :
1. Menyembuhkan (Healing) : “suatu fungsi pastoral yang terarah untuk mengatasi kerusakan yang dialami orang dengan memperbaiki orang itu menuju keutuhan dan membimbingnya ke arah kemajuan di luar
kondisinya yang terdahulu”. Dalam proses menyembuhkan, kehadiran
pendeta sebagai konselor adalah hal utama dalam membangun relasi yang baik dengan konseli. Dari hasil penelitian yang diperoleh di Rumah sakit Dr.M.Haulussy kegiatan penyembuhan yang dilakukan oleh pendeta sebagai seorang konselor adalah hanya sebatas mengunjungi pasien, mendoakan serta melakukan pendampingan pastoral singkat selama 10-15 menit dan dilakukan 1 minggu sekali bahkan 2 minggu sekali.Dari hasil wawancara dengan keluarga pasien dikatakan bahwa kehadiran pendeta secara psikologis sangat membantu konseli dalam menolong konseli tetapi secara teori pendeta belum bisa membangun relasi yang baik dengan konseli lewat kehadirannya secara penuh bagi konseli sehingga pelayanan pastoral yang terjadi sebatas rutinitas biasa bukan suatu layanan yang terprogram secara baik.
2. Mendukung(sustaining) adalah menolong orang sakit (terluka) agar dapat bertahan mengatasi suatu kejadian yang terjadi di masa lampau, dimana
34
(2)
19
usaha penyembuhan tidak mungkin lagi di usahakan. Usaha mendukung juga dilaksanaan oleh pendeta sebagai konselor di Rumah Sakit Dr.M Haulussy dengan pendeta mendoakan konseli. Berdoa merupakansalah satu metode yang digunakan pendetauntuk mengatasi masalah yang dihadapi konseli. Dari hasil penelitian serta teori yang dijelaskan bisa di simpulkan bahwa usaha mendukung yang dilakukan oleh pendeta sebagai seorang konselor sudah dilaksanakan, hanya saja dalam upaya menolong konseli perlu adanya intensitas pertemuan yang teratur antara konseli dan konselor. Tetapi kenyataan yang terjadi di Rumah Sakit Dr.M Haulussy, pendeta hanya datang mendoakan pasien 1 minggu sekali atau ketika keluargameminta untuk dilayani. Dalam proses inipendeta belum sepenuhnya mampu melakuan dukungan secara terstruktur.
3. Membimbing (Guiding) adalah upaya membantu orang yang berada dalam kebingungan dalam mengambil pilihan yang pasti dan dipandang memiliki pengaruh bagi keadaaan jiwa mereka sekarang dan waktu yang akan datang.
Berdasarkan hasil penelitian di Rumah sakit Dr.M Haulussy, Dalam pelayanan pendeta sebagai konselor perannya bagi pasien terminal illness, pendeta diminta hadir untuk membantu konseli dalam melalui masa-masa krisis. Pelayanan yang dilakukan berhubungan dengan pendeta mendengarkan apa yang menjadi keinginan serta keputusan konseli. Dengan demikian pendeta membantu memberikan solusi bagi konseli dalam mengambil keputusan. Pelayanan lainnya yang dilakukan juga berupa pendampingan secara non-verbal bagi pasien yaitu dengan memperhatikan pesan-pesan orang yang didampingi yang terkandung dalam nada suara, mimik muka, gerakan tangan dan lain-lain. Sedangkan bagi keluarga pasien terminal, kehadiran pendeta sebagai konselor pastoral dianggap mampu mengurangi kecemasan yang dirasakan oleh keluarga.Dengan memberikan doa serta topangan bagi keluarga dalam melewati masa-masa sukar. Dengan melihat hasil temuan lapangan serta teori yang dipaparkan, bisa disimpulkan bahwa pendeta sudah menjalankan perannya sebagai seorang pembimbing bagi konseli dengan baik.
4. Memulihkan (Reconciling): “usaha membangun hubungan-hubungan yang rusak kembali antara manusia dan sesama manusia dan diantara manusia
(3)
20
dengan Allah”. Pendeta adalah satu-satunya pembawa sumber religius yang diharapkan mampu menjadi jembatan dalam membantu menyelesaikan masalah dari konseli35. Hal ini masih belum penulis temukan dalam upaya pendampingan yang dilakukan pendeta di Rumah sakit dr. M Haulussy karena dalam percakapan pastoral yang terjadi antara konseli dengan konselor belum terlihat adanya percakapan yang dalam yang dilakukan secara bertahap dengan waktu pertemuan yang terjadwalkan sehingga proses pemulihan tidak sepenuhnya menyentuh kehidupan konseli secara menyeluruh.
5. Memelihara atau Mengasuh (Nurturing): “memampukan orang untuk mengembangkan potensi-potensi yang diberikan Allah bagi
kehidupannya”. Dalam peran pendeta sebagai seorang konselor proses Pemelihara merupakan fungsi terakhir yang dijelaskan Clinebell dalam upaya pertolongan bagi konseli. Proses ini berkaitan dengan proses memulihkan, jika proses memulihkan tidak berjalan secara baik dan maksimal seperti yang terjadi di Rumah Sakit Dr.M Haulussy, maka proses pemeliharaan yang dilakukan pun akan berdampak pada tidak adanya perkembangan yang berarti dalam diri konseli untuk mengembangkan potensi-potensi yang baik yang diberikan Allah untuk bertumbuh. Proses ini belum terlihat secara baik dalam pelayanan yang dilakukan oleh karena belum adanya program pendampingan yang dibuat secara terstruktur oleh pendeta guna menjadi panduan dalam melakukan pelayanan pastoral bagi konseli.
Dari paparan diatas, bisa disimpulkan bahwa upaya pelayanan yang dilakukan pendeta sebagai konselor di Rumah Sakit Dr.M Haulussy adalah pelayanan yang bertujuan untuk melayani jemaat dalam berbagai aspek kehidupan. Bagi jemaat, pendeta merupakan pembawa sumber religius yang mampu mengurangi kecemasan yang dialami oleh jemaat. Dengan demikian terlihat bahwa pendeta cukup berperan penting dalam menolong mengatasi masalah yang terjadi. Dari perspektif keluarga pasien, pendeta sebagai seorang konselor sudah mampu menjalankan perannya dengan baik secara psikologi lewat kehadirannya bagi konseli hanya saja belum sepenuhnya seutuhnya dilaksanakan jika dilihat dari teori yang dijelaskan oleh Clinebell. Karena pendampingan dan konseling pastoral merupakan suatu layanan
35
(4)
21
pendampingan yang lebih formal dan terstruktur serta dilakukan secara penuh waktu dalam sebuah kelompok (yang sering disebut konseli), dengan menggunakan metode serta keterampilan yang menstimulasikan pertumbuhan bagi seseorang atau sekelompok orang.
4. Kesimpulan
Berdasarkan deskripsi dan analisis penulis terhadap hasil penelitian penelitian ini maka penulis menemukan :
1. Bahwa adanya upaya pendampingan dan konseling pastoral yang dilakukan pendeta sebagai konselor dengan hanya sebatas pelayanan pastoral secara umum bagi pasien terminal illnessdi Rumah Sakit Dr.M Haulussy.
2. Adanya upaya dalam menjalankan fungsi-fungsi pendampingan seperti menyembuhkan, mendukung, membimbing, memulihkan serta memelihara walaupun belum sepenuhnya terlaksana secara utuh.
3. Belum adanya program kerja yang tersusun secara jelas antara pihak Rumah sakit dengan pendeta sebagai konselor di rumah sakit.
4. Belum adanya respon positif dari pihak rumah sakit terhadap pelayanan kesehatan secara holistik
5. Pelayanan yang dilakukan bagi pasien dengan status terminal illness berupa pelayanan umum yang hanya berpusat pada pelayanan secara rohani.
6. Kegiatan pelayanan yang dilakukan di Rumah sakit Dr.M Haulussy juga hanya dijalankan oleh 1 orang pendeta.
7. Kurangnya metode-metode yang digunakan pendeta sebagai konselor dalam menangani masalah yang dihadapi konseli.
Berdasarkan hasil penelitian ini maka ada beberapa saran yang perlu diperhatikan:
Bagi Pendeta: Agar di harapkan lebih banyak menguasai metode-metode dan keterampilan konseling serta berupaya menjalankan kelima fungsi penggembalaan dengan baik agar tujuan dari konseling bisa terpenuhi.
Bagi pihak Rumah Sakit: Agar lebih memperhatikan pelayanan kesehatan secara holistik agar pelayanan menjadi merata bagi setiap pasien.
Bagi gereja: Supaya lebih peka terhadap pemerhatian pelayan-pelayan dalam wilayah pelayanannya, dengan membantu memperhatikan upaya pelayanan
(5)
22
yang di lakukan di Rumah sakit dr. M Haulussy sebagai bagian dari wilayah pelayanan di kota Ambon.
Daftar pustaka
Abednego, B.A (2011), Tanggung Jawab Etis Pelayan Jemaat: Etis Pastoral, Jakarta: Gunung Mulia.
Bromley B. D (1974) The Pscychology of Human Ageing, Inggris: Nicholl and company
Clinebell, Howard (2002), Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan konseling P astoral. Yogyakarta.
Clinebell, Howard (1979), Growth counseling, Hope-Centered Methods of Actualizing Human Wholeness. Nashville: Abingdon Press.
Conrad Peter (2005),The Sociologi of health & Illness Critical Prespective seven Editor. California press
Dahlenburg G. D (2002) Siapakah Pendeta Itu? : Jakarta
Engel D, J(2003). Konseling dasar dan pendampingan pastoral :salatiga.
Frankl E Victor, (2006), Logoterapi : Terapi psikologi melalui pemaknaan eksistensi. Jogjakarta.
Gula M. Richard (2009), Etika Pastoral Dilengkapi dengan Kode Etik, Jakarta: Kanisius.
Gunadi Paul (2013), Life In Tansition (christian counseling conference V). Asosiasi Konselor Kristen indonesia
Hoffman Jhon (1993), Permasalahan Etis dalam Konseling. Jogjakarta:Kanisius
Krisetya, Mesach. (2008) Teologi Pastoral: Pendampingan Pastoral dalam Perspektif Teologis. Salatiga : UKSW.
Kubler-Ross, Elisabeth (1969) On death and Dying, New York: The Macmillan company.
Kubler-Ross, Elisabeth (1975) Death : The Final Stage of Growth, Englewood cliffs: New Jersey
(6)
23
Koentaranigrat (1983) Tenik Pengumpulan Data, Jakarta
Nasir. Mohammad (1985) Metode penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia
Paulson SDaryl ( 2004) The Nearing death and Pastoral Couseling, Vol 52
Puterbaugh Dolores (2013), Pastoral Counseling and Mental illness.
SahardjoHadi (2006). Konseling Krisis dan Terapi Singkat Pertolongan di saat-saat Sulit,Bandung: Crisis and brief Therapy
Spector E, Racher (2004), Cultural Diversity in Health & Illness sixth editor. Philadelphia
Strom M. Bons (2011), Apakah Penggembalaan itu? Petunjuk Praktis Pelayanan. Jakarta: Gunung Mulia
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga, Pusat bahasa Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002)
Usman Setiady (2008), Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi aksara
Van beek,Martin aart. (1987) Konseling pastoral : Sebuah Buku Pegangan Bagi Para Penolong di Indonesia. Semarang
Widodo (2004) Cerdik Menyusun Proposal: Jakarta
Wiryasaputra Totok (2007), Pendampingan Pasien Kanker: Jakarta
Wiryasaputra Totok. (2006) Ready to Care: Pendampingan dan Konseling P sikologi. Jogjakarta.