PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK.

(1)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………. i

HALAMAN PENGESAHAN ………... ii

PERNYATAAN ………. iii

PERSEMBAHAN ………. iv

KATA PENGANTAR ………. v

ABSTRAK ………. ix

ABSTRACT ………. x

DAFTAR ISI ………. xi

DAFTAR TABEL ………. xiii

DAFTAR GAMBAR ………. xvii

DAFTAR LAMPIRAN ………. xix

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Rumusan Masalah ………... 18

C. Tujuan Penelitian ………... 20

D. Manfaat Penelitian ………... 21

E. Definisi Operasional ….………. 23

BAB II STUDI LITERATUR ……… 25

A. Pendidikan Matematika Realistik ...………... 25

B. Komunikasi Matematis ………….………..…………. 36

C. Kemandirian Belajar ……… 46

D. Pembelajaran Biasa …………...………... 57

E. Teori Belajar Pendukung ... 58

F. Penelitian yang Relevan ……… 68

G. Hipotesis Penelitian ... 72

BAB III METODE PENELITIAN ……… 76

A. Desain Penelitian ……… 77

B. Populasi dan Sampel Penelitian ……….. 81

C. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya ... 82

D. Prosedur Penelitian ...……….. 103

E. Teknik Analisis Data ...……….. 106

F. Waktu Pelaksanaan dan Penyusunan Laporan Penelitian ……….. 112


(2)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 113

A. Analisis Data Kemampuan Awal Matematis (KAM) …. 114 B. Analisis Deskriptif Data Kemampuan Komunikasi Matematis (KKM) ..………... 121

C. Analisis Inferensial Data Kemampuan Komunikasi Matematis (KKM) ……….... 129

D. Analisis Deskriptif Data Kemandirian Belajar Siswa dalam Matematika (KBS) ... 153

E. Analisis Inferensial Data Kemandirian Belajar Siswa dalam Matematika (KBS) ……… 157

F. Analisis Kesalahan Siswa dalam Menjawab Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ……….... 172

G. Pelaksanaan Pembelajaran melalui Pendekatan PMR ……… 182

H Pembahasan Hasil Penelitian ……… 184

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI ………. 200

A. Kesimpulan ……….. 200

B. Implikasi ……….. 203

C. Rekomendasi ……….. 204

DAFTAR PUSTAKA ……….. 207


(3)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

3.1 Keterkaitan antara Kemampuan Komunikasi Matematis, Kelompok Pembelajaran, Level

Sekolah, dan Kemampuan Awal Matematis ……... 79 3.2 Keterkaitan antara Kemandirian Belajar Siswa dalam

Matematika, Kelompok Pembelajaran, Level Sekolah,

dan Kemampuan Awal Matematis ……... 80

3.3 Kriteria Pengelompokkan Kemampuan Awal

Matematis siswa ... 83 3.4 Banyaknya Siswa Kelompok Atas, Tengah, dan

Bawah Berdasarkan Level Sekolah ... 90 3.5 Hasil Pertimbangan Tes Kemampuan Komunikasi

Matematis ... 91

3.6 Analisis Validitas Muka Tes KKM dengan Statistik

Q-Cochran ... 92

3.7 Hasil Perhitungan Reliabilitas Soal, Validitas Butir Soal, Daya Pembeda dan Tingkat Kesukaran Tiap

Butir Tes KKM ... 94

3.8 Distribusi Respon Siswa (Contoh) ... 97 3.9 Proses Penentuan Skor Skala KBS untuk Item

Nomor 1 ... 98

3.10 Proses Penentuan Skor Skala KBS untuk Item

Nomor 8 ... 98

3.11 Keterkaitan Permasalahan, Hipotesis, dan

Kelompok Data yang Diolah ... 110 3.12 Waktu dan Kegiatan Penelitian ... 112 4.1 Sebaran Sampel Penelitian ... 114 4.2 Deskripsi Data KAM Siswa Berdasarkan

Pendekatan Pembelajaran dan Level Sekolah ... 115 4.3 Hasil Uji Normalitas Data KAM Siswa dari Kedua

Kelompok Pembelajaran Berdasarkan Level


(4)

Tabel Judul Halaman

4.4 Hasil Uji Homogenitas Varians Data KAM Siswa Kedua Kelompok Pembelajaran Berdasarkan level

Sekolah dan Gabungannya ... 119 4.5 Rangkuman Hasil Pengujian Kesetaraan Rata-Rata

KAM Siswa dari kedua Kelompok Pembelajaran

Berdasarkan Level Sekolah dan Keseluruhan ... 121 4.6 Deskripsi Data KKM Siswa Berdasarkan

Pendekatan Pembelajaran ... 121 4.7 Deskripsi Data KKM Siswa Berdasarkan Aspek

Komunikasi Matematis …………. 122

4.8 Deskripsi Data KKM Siswa Berdasarkan Level

Sekolah dan Pendekatan Pembelajaran ……... 125 4.9 Deskripsi Data KKM Siswa Berdasarkan Kategori

KAM dan Pendekatan Pembelajaran ……... 128 4.10 Hasil Uji Normalitas Data Pretes dan Postes KKM

Kedua Kelompok Pembelajaran Berdasarkan Gabungan Seluruh Sampel, Level Sekolah dan

Kategori KAM Siswa ……... 130

4.11 Hasil Uji Normalitas Data N-Gain KKM Kedua Kelompok Pembelajaran Berdasarkan Gabungan Seluruh Sampel, Level Sekolah dan Kategori KAM

Siswa ……... 131

4.12 Keterkaitan Hipotesis, Kelompok Data Pretes dan Postes KKM yang Diolah, Jenis Distribusi Data dan

Uji Statistik yang Digunakan ……... 132 4.13 Hasil Uji Peringkat Bertanda Wilcoxon terhadap

Peningkatan KKM Siswa Berdasarkan Pendekatan

Pembelajaran ……... 134

4.14 Hasil Uji Statistik terhadap Peningkatan KKM Siswa pada Kedua Kelompok Pembelajaran Berdasarkan

Level Sekolah ……... 135

4.15 Hasil Uji Statistik terhadap Peningkatan KKM Siswa pada Kedua Kelompok Pembelajaran

Berdasarkan Kategori KAM Siswa ……... 136 4.16 Keterkaitan Hipotesis, Kelompok Data N-Gain KKM

yang Diolah, Jenis Distribusi Data dan Uji Statistik


(5)

Tabel Judul Halaman

4.17 Hasil Uji Mann Withney terhadap Perbedaan Peningkatan KKM Siswa antara Kedua

Kelompok Pembelajaran ……... 139

4.18 Hasil Uji-t Sampel Independen terhadap

Perbedaan Peningkatan KKM Siswa pada Kedua Pendekatan Pembelajaran Berdasarkan Level

Sekolah ... 140

4.19 Hasil Uji-t Sampel Independen terhadap Perbedaan Peningkatan KKM Siswa pada Kedua Kelompok Pembelajaran Berdasarkan

Kategori KAM Siswa ……... 141 4.20 Hasil Uji Pengaruh Interaksi antara

Pendekatan Pembelajaran dan Level Sekolah

terhadap Peningkatan KKM Siswa ……... 144 4.21 Hasil Uji Homogenitas Varians Data N-Gain

KKM Siswa Berdasarkan Level Sekolah ... 147 4.22 Hasil Uji Post Hoc for Multiple Comparison

Games-Howell ……... 148

4.23 Hasil Uji Pengaruh Interaksi antara Pendekatan

Pembelajaran dan Kategori KAM Siswa terhadap

Peningkatan KKM Siswa ... 149

4.24 Hasil Uji Homogenitas Varians Data N-Gain KKM

Siswa Berdasarkan Kategori KAM Siswa ……... 151 4.25 Hasil Uji Post for Hoc Multiple Comparison

Bonferroni ……... 152

4.26 Deskripsi Data KBS Berdasarkan Pendekatan

Pembelajaran ……... 153

4.27 Deskripsi Data KBS Berdasarkan Pendekatan

Pembelajaran dan Level Sekolah ……... 154 4.28 Deskripsi Data KBS Berdasarkan Pendekatan

Pembelajaran dan Kategori KAM Siswa ……... 156 4.29 Hasil Uji Normalitas Data Awal dan Akhir

KBS Kedua Kelompok Pembelajaran Berdasarkan Gabungan Seluruh Sampel,


(6)

Tabel Judul Halaman

4.30 Hasil Uji Normalitas Data N-Gain KBS Kedua

Kelompok Pembelajaran Berdasarkan Gabungan Seluruh

Sampel, Level Sekolah dan Kategori KAM Siswa ... 159 4.31 Keterkaitan Hipotesis, Kelompok Data Awal dan Akhir

KBS, Jenis Distribusi Data dan Uji Statistik yang

Digunakan …… 161

4.32 Hasil Uji-t Berpasangan terhadap Peningkatan KBS

Siswa Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran ……... 162 4.33 Hasil Uji Normalitas Data Awal dan Akhir Setiap

Aspek KBS pada Kelompok Pembelajaran dengan

Pendekatan PB ……... 163

4.34 Hasil Uji Statistik terhadap Peningkatan KBS Berdasarkan Aspek pada Kelompok Pembelajaran

dengan Pendekatan PB ……... 164

4.35 Hasil Uji Statistik terhadap Peningkatan KBS pada Kedua Kelompok Pembelajaran Berdasarkan Level

Sekolah dan Berdasarkan Kategori KAM Siswa ……... 165 4.36 Keterkaitan Hipotesis, Kelompok Data N-Gain KBS

yang Diolah, Jenis Distribusi Data dan Uji Statistik

yang Digunakan ... 167

4.37 Hasil Uji Mann Whitney terhadap Perbedaan Peningkatan KBS Berdasarkan Pendekatan

Pembelajaran ... 168

4.38 Hasil Uji Normalitas Data N-Gain Setiap Aspek KBS

pada Kedua Kelompok Pembelajaran …… 169

4.39 Hasil Uji Mann Whitney terhadap Perbedaan Peningkatan Setiap Aspek KBS Berdasarkan

Pendekatan Pembelajaran ……... 170

4.40 Hasil Uji Statistik terhadap Perbedaan Peningkatan KBS pada Kedua Kelompok Pembelajaran

Berdasarkan Level Sekolah dan Berdasarkan

Kategori KAM Siswa ... 171

4.41 Rata-Rata Setiap Aspek KKM dan Tingkat Keberhasilan Siswa Ditinjau dari Pendekatan


(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

1.1 Jawaban Tes Matematika pada Studi

Pendahuluan oleh SIN dan AM ... 7

1.2 Jawaban Tes Matematika pada Studi Pendahuluan oleh GMP dan DC ... 8

1.3 Jawaban Tes Matematika pada Studi Pendahuluan oleh HNH dan NR ... 9

2.1 Matematisasi Horizontal dan Vertika ……… 26

2.2 Model Skematis Proses Matematisasi Konsep ... 30

2.3 Masalah Pengubinan ... 35

2.4 Kerangka Kerja Didaktis PMR ………... 36

2.5 Hubungan Sender, Medium, Message, Receiver dan Method ...……….……... 44

2.6 Pola Komunikasi pada Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan PMR ………..………... 45

2.7 Stuktur Umum Komunikasi ………. 62

3.1 Alur Kerja Penelitian ………..…………. 105

3.2 Alur Pemilihan Uji Statistik ………... 109

4.1 Data KAM Siswa Berdasarkan Pembelajaran dan Level Sekolah …………. 116

4.2 Rata-Rata KKM Siswa Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan Level Sekolah …………. 126

4.3 Rata-Rata N-Gain KKM Siswa Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan Level Sekolah …………... 126

4.4 Rata-Rata Skor KKM Berdasarkan Kategori KAM dan Pendekatan Pembelajaran …………. 128

4.5 Rata-Rata N-Gain Skor KKM Berdasarkan Kategori KAM dan Pendekatan Pembelajaran …………... 129


(8)

Gambar Judul Halaman

4.6 Tidak Ada Pengaruh Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dan Level Sekolah terhadap

Peningkatan KKM Siswa ... 145

4.7 Tidak Ada Pengaruh Interaksi antara Pendekatan Pembelajaran dan Kategori KAM Siswa terhadap Peningkatan KKM Siswa ... 150

4.8 Rata-Rata N-Gain KBS Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan Level Sekolah ... 155

4.9 Rata-Rata N-Gain KBS Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dan Kategori KAM ... 156

4.10 Jawaban Soal Nomor 1 Tes KKM oleh NVD ... 175

4.11 Jawaban Soal Nomor 2 Tes KKM oleh AN ... 176

4.12 Jawaban Soal Nomor 3 Tes KKM oleh DAPW ... 177

4.13 Jawaban Soal Nomor 4 Tes KKM oleh SRE (Sebelum Wawancara) ... 179

4.14 Jawaban Soal Nomor 4 Tes KKM oleh SRE (Setelah Wawancara) ... 179


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

A-1 Lembar Pertimbangan ... 215 A-2 Hasil Pertimbangan Tes Kemampuan Awal

Matematis ………... 226 A-3 Revisi Soal Nomor 3 dan 9 Tes KAM

Sesudah Validasi Muka ………... 227 A-4 Rumus Cronbach-Alpha, K-R.20,

Korelasi Product Moment, Daya

Pembeda, dan Tingkat Kesukaran …… 228

A-5 Hasil Perhitungan Validitas Butir Soal dan

Daya Pembeda Tiap Butir Tes KAM ……… 230

A-6 Hasil Revisi Soal Tes KAM Setelah Uji

Coba. ……… 231

A-7 Hasil Pertimbangan Skala KBS ……...…… 234 A-8 Perhitungan Skor Setiap Item Skala KBS ………... 236 A-9 Data Hasil Ujicoba Skala KBS Setelah

Diberi Skor ………... 239

A-10 Hasil Perhitungan Uji Validitas Item Skala KBS ... 243 B-1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (Kelas Eksperimen) …. 246 B-2 Lembar Kerja Siswa (LKS) ………... 252 B-3 Lembar Observasi Siswa dan Guru ... 266 B-4 Pedoman Wawancara ...………... 268 B-5 Kisi-kisi dan Tes Kemampuan Awal

Matematis ...………... 269 B-6 Kunci Jawaban Tes Kemampuan

Awal Matematis ... 275 B-7 Kisi-kisi dan Tes Kemampuan

Komunikasi Matematis ... 277 B-8 Kunci Jawaban Tes Kemampuan


(10)

Lampiran Judul Halaman

B-9 Pedoman Penskoran Jawaban Tes Kemampuan

Komunikasi Matematis ……… 286 B-10 Kisi-kisi dan Skala Kemandirian Belajar Siswa

Dalam Matematika ... 288 B-11 Skor Tiap Item Skala KBS untuk Data Penelitian ... 292 C-1 Data Kemampuan Awal Matematis Siswa ... 294 C-2 Nilai Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa …… 301

C-3 Skor Skala KBS …… 307

D-1 Hasil Pengujian Kesetaraan Rata-Rata KAM ……... 314 D-2 Hasil Uji Statistik terhadap Peningkatan KKM Siswa

pada Kedua Kelompok Pembelajaran Berdasarkan

Level Sekolah ……... 316

D-3 Hasil Uji Statistik terhadap Peningkatan KKM Siswa pada Kedua Kelompok Pembelajaran Berdasarkan

Kategori KAM Siswa ... 317 D-4 Hasil Uji Statistik terhadap Perbedaan Peningkatan

KKM Siswa pada Kedua Kelompok Pembelajaran

Berdasarkan Level Sekolah …… 318

D-5 Hasil Uji Statistik terhadap Perbedaan Peningkatan KKM Siswa pada Kedua Kelompok Pembelajaran

Berdasarkan Kategori KAM Siswa ... 320 D-6 Hasil Uji Post Hoc for Games-Howell ... 322 D-7 Hasil Uji Post Hoc for Bonferroni ... 322 D-8 Hasil Uji Statistik terhadap Peningkatan KBS

Berdasarkan Aspek pada Kelompok Pembelajaran

dengan Pendekatan PB ... 323

D-9 Hasil Uji Statistik terhadap Peningkatan KBS pada Kedua Kelompok Pembelajaran Berdasarkan Level

Sekolah dan Kategori KAM ... 323

D-10 Hasil Uji Statistik terhadap Perbedaan Peningkatan KBS pada Kedua Kelompok Pembelajaran

Berdasarkan Level Sekolah dan Kategori KAM ... 325 E-1 Dokumentasi Penelitian ... 328


(11)

Lampiran Judul Halaman

E-2 Daftar Kluster SMP/MTs Negeri di Wilayah Kota

Bandung Tahun Ajaran 2011/2012. ... 331 F Daftar Surat Izin Penelitian dan Surat

Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian ... 333 G Daftar Riwayat Hidup ... 340


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A Latar Belakang Masalah

Tujuan pemberian pelajaran matematika di sekolah dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), di antaranya adalah agar siswa mampu mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Selanjutnya, kecakapan atau kemahiran matematis yang diharapkan dalam pembelajaran matematika mencakup: pemahaman konsep, penalaran, pemecahan masalah, mengomunikasikan gagasan, dan menghargai kegunaan matematika (Depdiknas, 2006).

Tujuan dan kecakapan atau kemahiran matematis yang dinyatakan pada KTSP ini, sejalan dengan tujuan umum pembelajaran matematika yang dirumuskan National Council of Teachers of Mathematics (1989), yaitu mengembangkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah matematis (mathematical problem solving), penalaran matematis (mathematical reasoning), dan komunikasi matematis (mathematical communication). Kemudian pada NCTM (2000) terdapat penambahan standar kemampuan matematis yang harus dikembangkan pada siswa hingga kelas 12 yaitu koneksi matematis (mathematical connections), dan representasi matematis (mathematical representation).

Hal di atas, mengisyaratkan bahwa komunikasi matematis merupakan salah satu kompetensi penting yang harus dikembangkan pada setiap topik matematika. Karena itu, pembelajaran matematika di sekolah hendaknya memberikan perhatian terhadap pengembangan kompetensi ini.


(13)

Komunikasi memainkan peran sentral dalam proses belajar dan mengajar. Pada saat proses belajar dan mengajar di kelas, komunikasi terjadi antar siswa dan antara siswa dan guru. Komunikasi multi arah yang terjadi antar siswa dan antara siswa dan guru, serta kesempatan bagi siswa untuk menjelaskan, membuat dugaan, mempertahankan gagasan, baik secara lisan, tulisan, maupun visual, dapat menstimulasi pemahaman yang lebih mendalam mengenai pengetahuan konsep-konsep matematis.

Ketika para siswa berpikir, merespon, berdiskusi, menjelaskan, menulis, membaca, mendengarkan dan mengkaji tentang konsep-konsep matematis, mereka meraup keuntungan ganda yaitu; mereka berkomunikasi untuk mempelajari matematika, dan mereka belajar untuk berkomunikasi secara matematis (NCTM, 2000). Ketika melakukan tugas-tugas matematika terdapat beberapa proses matematis, yaitu; pemecahan masalah, representasi, refleksi, penalaran dan pembuktian, koneksi, pemilihan alat dan strategi komputasi, dan komunikasi. Komunikasi mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan proses-proses matematis yang lain, di mana komunikasi diperlukan untuk melengkapi dari setiap proses matematis yang lain (Yeager dan Yeager, 2008).

Pentingnya komunikasi matematis, juga dikemukakan oleh Guerreiro (2008). Menurutnya, komunikasi matematis merupakan alat bantu dalam transmisi pengetahuan matematika atau sebagai fondasi dalam membangun pengetahuan matematika. Komunikasi memungkinkan berpikir matematis dapat diamati dan karena itu komunikasi memfasilitasi pengembangan berpikir.


(14)

Hal senada, dikemukakan oleh Peressini dan Bassett (1996). Mereka berpendapat bahwa tanpa komunikasi dalam matematika kita akan memiliki sedikit keterangan, data, dan fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan proses dan aplikasi matematis. Ini berarti, komunikasi dalam matematika menolong guru memahami kemampuan siswa dalam menafsirkan dan menyatakan pemahamannya tentang konsep dan proses matematis yang mereka pelajari. Secara eksplisit Lindquist dan Elliott (1996), mengatakan bahwa komunikasi merupakan esensi dari pengajaran, penilaian, dan pembelajaran matematika. Jika kita menganggap bahwa matematika itu merupakan suatu bahasa, dan bahasa tersebut dipelajari dengan cara terbaik dalam komunitas siswa, maka matematika itu mudah untuk dipahami.

Ada dua alasan penting yang dikemukakan oleh Baroody (dalam Lim dan Chew, 2007), mengapa komunikasi menjadi salah satu fokus dalam pembelajaran matematika. Alasan pertama, matematika pada dasarnya adalah sebuah bahasa bagi matematika itu sendiri. Matematika tidak hanya merupakan alat berpikir yang membantu siswa untuk menemukan pola, memecahkan masalah dan menarik kesimpulan, tetapi juga sebuah alat untuk mengomunikasikan pikiran siswa tentang berbagai ide dengan jelas, tepat dan ringkas. Bahkan, matematika dianggap sebagai "bahasa universal" dengan simbol-simbol dan struktur yang unik. Semua orang di dunia dapat menggunakannya untuk mengomunikasikan informasi matematika meskipun bahasa asli mereka berbeda.

Alasan kedua, belajar dan mengajar matematika merupakan aktivitas sosial yang melibatkan paling sedikit dua pihak, yaitu guru dan siswa. Dalam proses


(15)

belajar dan mengajar, siswa perlu mengemukakan pemikiran dan gagasannya kepada orang lain melalui bahasa. Pada dasarnya pertukaran pengalaman dan ide ini merupakan proses belajar dan mengajar. Jelaslah bahwa berkomunikasi dengan teman sebaya sangat penting untuk pengembangan keterampilan berkomunikasi sehingga dapat belajar berpikir seperti seorang matematikawan dan berhasil menyelesaikan masalah dengan baik.

Baroody (dalam Lim dan Chew, 2007) menegaskan bahwa mendorong anak-anak untuk mengungkapkan ide-ide mereka merupakan suatu cara terbaik bagi mereka untuk menemukan kesenjangan, inkonsistensi, atau ketidakjelasan dalam pemikiran mereka. Ini menyiratkan pentingnya menjamin kemahiran siswa dalam berbahasa sehingga mereka mampu berkomunikasi dan belajar yang baik dengan menggunakan bahasa tersebut.

Kendatipun kemampuan komunikasi matematis itu penting, namun ironisnya, pembelajaran matematika selama ini masih kurang memberikan perhatian terhadap pengembangan kemampuan komunikasi matematis, sehingga penguasaan kompetensi ini bagi siswa masih rendah. Seperti temuan dari penelitian yang dilakukan oleh Handayani pada tahun 2006, Fitriza pada tahun 2007, dan Jamaan beserta kawan-kawan pada tahun 2007 (lihat Fauzan, 2008), semuanya menunjukkan bahwa kemampuan berkomunikasi secara matematis masih menjadi titik lemah siswa dalam pembelajaran matematika. Lebih jauh Fauzan (2008) menyatakan, jika kepada siswa diajukan suatu pertanyaan, pada umumnya reaksi mereka adalah menunduk, atau melihat kepada teman yang duduk di sebelahnya. Mereka kurang memiliki kepercayaan diri untuk


(16)

mengomunikasikan ide-ide yang dimiliki karena takut salah dan ditertawakan teman.

Proses belajar dan mengajar di sekolah sering kali membuat kita kecewa, apalagi bila dikaitkan dengan pemahaman siswa terhadap materi ajar. Mengapa?

1. Banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi ajar yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahaminya.

2. Sebagian besar siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan/dimanfaatkan.

3. Siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik sebagaimana mereka biasa diajarkan yaitu dengan menggunakan sesuatu yang abstrak dan metode ceramah (Depdiknas, 2007).

Kondisi empiris yang dikemukakan oleh Depdiknas (2007) di atas, sesuai dengan hasil penelitian pendahuluan yang peneliti lakukan bulan Juni 2009 terhadap siswa kelas VII pada salah satu SMP berstandar nasional di kota Bandung, yang menunjukkan bahwa siswa belum mampu menerapkan konsep luas segitiga yang baru saja mereka pelajari dalam menyelesaikan soal yang peneliti berikan. Hampir semua siswa yang berpartisipasi dalam penelitian tersebut, belum memahami bagaimana menyelesaikan masalah dan mengemukakan penyelesaiannya menggunakan bahasa matematika yang benar.

Soal yang peneliti ujikan kepada siswa tersebut merupakan masalah kontekstual yang sangat sederhana, namun memuat informasi yang berlebih. Hal ini bertujuan untuk melihat kemampuan siswa dalam memahami soal. Soal tersebut adalah sebagai berikut:

Sebuah taman berbentuk segitiga sama kaki dengan panjang sisi yang sama 10 m, panjang sisi lainnya 12 m dan tingginya 8 m. Jika taman tersebut akan ditanami rumput dengan biaya Rp 60.000,00/m2, berapakah keseluruhan biaya yang diperlukan?


(17)

Penyelesaian dari soal di atas adalah (contoh):

Diketahui: Taman berbentuk segitiga sama kaki. Panjang sisinya yang sama 10m, panjang sisi lainnya 12 m dan tinggi 8 m. Taman tersebut akan ditanami rumput dengan biaya Rp 60.000,00/m2.

Ditanya: Berapakah biaya yang diperlukan? Jawab.

Misalkan di bawah ini adalah representasi dari taman yang dimaksud.

Luas

12 8 48

Luas taman = Luas 48

Jadi biaya yang diperlukan untuk menanami taman itu dengan rumput 48 60.000,00 = Rp 2.880.000,00.

Dari 39 siswa yang berpartisipasi, belum ada yang menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan komunikasi matematis yang baik/efektif, misalnya, menggunakan istilah, simbol, tanda, dan/atau representasi yang tepat dan teliti, untuk menjelaskan operasi, konsep dan proses. Selain itu, sistematika penulisan jawaban masih belum tepat. Lebih memprihatinkan lagi, dari 39 siswa yang

8m

L

10m

12m 10m

C

A

B D


(18)

berpartisipasi, hanya 19 orang menjawab “mengarah benar”. Misalnya, jawaban dari SIN dan AM yang ditunjukkan oleh Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Jawaban Tes Matematika pada Studi Pendahuluan oleh SIN dan AM

Pada jawaban SIN terdapat kesalahan yang fatal, yaitu kesalahan pada penempatan tanda sama dengan ( = ). SIN nampaknya belum memahami makna dari tanda “ = “. Kemudian tidak ada penjelasan dari angka-angka yang dikemukakan, jawaban SIN terkesan hanya berupa angka-angka yang belum bermakna. Pada jawaban AM terdapat penggunaan simbol yang kurang tepat, misalnya menggunakan sebagai satuan panjang (perhatikan 12 8 ). Begitu pula halnya pada perhitungan: 48m2 60.000 = Rp 2.880.000, AM tidak memperhatikan penggunaan satuan, di mana satuan luas m2 hilang begitu saja, tiba-tiba muncul satuan Rp (rupiah). Kemudian maksud dari “48m2 60.000 = Rp 2.880.000” tidak jelas. Namun demikian, jawaban AM lebih baik dari SIN.

Selanjutnya adalah dua jawaban terbaik dari 39 orang siswa yang berpartisipasi, yaitu jawaban GMP dan DC yang diperlihatkan pada Gambar 1.2.

Jawaban SIN:


(19)

Gambar 1.2 Jawaban Tes Matematika pada Studi Pendahuluan oleh GMP dan DC

Namun, masih perlu perbaikan dalam hal penggunaan simbol dan sistematika penulisan jawaban. Pada jawaban GMP masih terdapat lambang satuan yang muncul tiba-tiba yaitu m2, tetapi sudah ada kesimpulan jawaban. Jawaban DC merupakan jawaban terbaik di antara 39 orang siswa yang berpartisipasi dan hanya satu yang terbaik tersebut.

Di antara siswa yang menjawab salah, terdapat enam orang menjawab dengan menggunakan semua bilangan yang dikemukakan pada soal, misalnya jawaban dua orang siswa di bawah ini, yaitu HNH dan NR.

Jawaban GMP


(20)

Gambar 1.3 Jawaban Tes Matematika pada Studi Pendahuluan oleh HNH dan NR

Kedua siswa ini hanya terpaku pada bilangan-bilangan yang dikemukakan dalam soal cerita. Mereka menganggap bahwa semua bilangan yang diberikan dalam soal cerita ada gunanya dalam pemecahan soal tersebut. Temuan ini memperkuat apa yang dikemukakan oleh Figueiredo (dalam Fauzan, 2002) bahwa konteks pada soal cerita yang biasanya diberikan pada pembelajaran tradisional kurang bermakna. Kondisi ini melahirkan suatu kepercayaan, asumsi dan strategi yang salah dalam diri siswa terhadap soal cerita. Kepercayaan, asumsi dan strategi tersebut antara lain: siswa tidak mempertanyakan kebenaran dan kelengkapan dari soal; siswa menggunakan semua bilangan yang ada dalam soal; siswa percaya bahwa jika operasi matematis (pembagian) yang mereka gunakan tidak bersisa, maka mereka berada pada alur yang benar.

Menurut Hudoyo (2002), kelemahan siswa kita pada kemampuan pemecahan masalah, penalaran, koneksi, dan komunikasi matematis disebabkan oleh kegiatan pembelajaran yang umum terjadi di lapangan saat ini tidak mengakomodasi pengembangan kemampuan-kemampuan ini.

Pendapat Hudoyo (2002) di atas, sejalan dengan pendapat Polla (2000) yang mengatakan bahwa menurunnya kualitas proses pembelajaran di berbagai

Jawaban HNH


(21)

level sekolah, khususnya di Indonesia disebabkan oleh beberapa alasan yaitu: materi kurikulum yang terlalu banyak sehingga pembelajaran hanya terkonsentrasi pada pencapaian target kurikulum. Akibatnya proses pembelajaran kurang memberikan perhatian pada pengembangan kemampuan-kemampuan matematis, khususnya kemampuan komunikasi matematis. Guru tidak mempunyai waktu yang cukup dalam memberikan perhatian untuk meningkatkan kualifikasi mereka dan untuk meningkatkan metode pengajaran, sehingga mereka menjadi lebih komunikatif.

Memperkuat pendapat Polla (2000), Fauzan (2008) mengemukakan rendahnya kemampuan pemecahan masalah, penalaran dan komunikasi matematis siswa disebabkan oleh praktik pembelajaran di sekolah yang menunjukkan adanya “pergeseran” tujuan pembelajaran matematika. Guru-guru matematika cenderung “melupakan” tujuan yang tercantum dalam kurikulum sewaktu merancang pembelajaran. Akibatnya, indikator-indikator pencapaian yang dirumuskan dalam rencana pembelajaran lebih banyak berbentuk pemahaman fakta-fakta dan konsep-konsep matematis. Di samping itu, guru juga lebih terfokus untuk menyajikan materi dan soal-soal yang kiranya nanti akan muncul dalam ujian (dalam ujian blok, ujian semester, dan UAN), yang biasanya miskin dengan soal-soal pemecahan masalah, penalaran, dan komunikasi.

Selain itu, masih adanya kecenderungan guru-guru matematika dalam mengajar menggunakan metode chalk and talk (ceramah dan menulis di papan tulis) (Izzati dan Suryadi, 2010; Sembiring, Hadi, dan Dolk, 2008; Fauzan, 2002; 2008). Metode chalk and talk cocok digunakan dalam pembelajaran matematika


(22)

apabila tujuan pembelajarannya hanya menginformasikan sesuatu kepada siswa, seperti pada materi sejarah matematika, memperkenalkan istilah, definisi, dan simbol-simbol. Akan tetapi, untuk materi yang memungkinkan siswa mengelaborasi dan menemukan kembali rumus-rumus matematis, metode chalk and talk kurang tepat untuk digunakan. Namun kenyataannya, apapun materinya metodenya tetap chalk and talk, dengan kata lain “satu metode untuk semua topik”.

Dalam proses pembelajaran, banyak guru lebih memfokuskan siswa untuk mengingat “cara-cara” yang mereka ajarkan dalam menyelesaikan soal daripada menstimulasi siswa untuk mengonstruksi pengetahuan sendiri. Siswa kurang mendapat kesempatan untuk memahami rasional dibalik rumus-rumus yang diberikan kepada mereka. Akibatnya, pengetahuan yang diperoleh siswa tidak dengan pemahaman. Mereka kebingungan disaat dihadapkan dengan soal-soal yang berbeda dengan contoh yang diberikan guru mereka.

Di sisi lain, menurut Bransford, Brown, dan Cocking (dalam NCTM, 2000), siswa yang mengingat fakta atau prosedur tanpa pemahaman sering ragu-ragu dalam menentukan kapan atau bagaimana menggunakan apa yang mereka ketahui, sehingga pelajaran gampang hilang. Sebaliknya, Schoenfeld (dalam NCTM, 2000) mengatakan bahwa matematika yang ditanamkan kepada siswa dengan pemahaman akan lebih mudah untuk diingat dan diterapkan ketika siswa menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang ada dengan cara yang bermakna.


(23)

Lemahnya pedagogik pengajaran matematika dapat menimbulkan masalah pembelajaran kepada siswa, seperti kurangnya minat siswa terhadap pelajaran matematika, yang akhirnya berdampak kepada rendahnya kemampuan matematis siswa secara umum, dan khususnya kemampuan komunikasi matematis. Menurut Ahmad, et al. (2006), sikap dan minat siswa terhadap matematika dapat diubah sekiranya pelajaran matematika dapat mengatasi kelemahan yang mereka hadapi. Umumnya, para siswa menyadari betapa pentingnya mereka harus menguasai pelajaran matematika. Sebaliknya, siswa menjadi tidak berminat dan bosan dengan pelajaran matematika disebabkan oleh cara mata pelajaran itu diajarkan.

Lebih jauh Ahmad, et al. (2006) mengemukakan bahwa sebagian besar guru matematika di sekolah kurang memahami masalah pembelajaran dan juga tidak dapat menyesuaikan cara, pendekatan dan kaedah pengajaran untuk membantu siswa meningkatkan kemampuan matematis mereka dengan progresif dan dinamis. Pendekatan pengajaran matematika yang lemah dan tidak profesional menyebabkan kemahiran matematis menjadi sukar dikuasai oleh siswa. Akibatnya banyak siswa gagal menguasai kemampuan matematis dan seterusnya kurang berminat dengan mata pelajaran matematika tersebut.

Menurut Soedjadi (dalam Suharta, 2005), matematika menjadi sulit bagi siswa disebabkan oleh pembelajaran matematika yang kurang bermakna. Dalam menanamkan konsep baru kepada siswa, guru tidak mengaitkan dengan skema yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk menemukan kembali dan mengonstruksi sendiri ide-ide matematis. Mengaitkan pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematis dalam pembelajaran


(24)

di kelas penting dilakukan agar pembelajaran bermakna. Van den Henvel-Panhuizen (2000) menegaskan, jika siswa belajar matematika terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari maka siswa akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikannya.

Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah kemandirian belajar siswa dalam matematika, karena faktor ini merupakan hal yang juga turut menentukan keberhasilan belajar. Banyak data hasil penelitian menunjukkan bahwa kemandirian belajar mempunyai pengaruh positif terhadap pembelajaran dan pencapaian hasil belajar. Seperti temuan dari studi Darr dan Fisher (2004), Reyero dan Tourón (dalam Montalvo dan Torres, 2004), Pintrich dan Groot (1990), dan Zimerman dan Martinez-Pons (1986), yang menunjukkan bahwa kemandirian belajar berkorelasi kuat dengan kesuksesan seorang siswa. Sebaliknya, hasil studi yang dilakukan oleh Schloemer dan Brenan, juga oleh Borkowski dan Thorpe (dalam Abdullah, 2007) menunjukkan bahwa kegagalan terhadap kemandirian dalam proses belajar menjadi penyebab utama dari rendahnya prestasi belajar.

Hal serupa dikemukakan oleh Long (dalam Sumarmo, 2006). Ia memandang belajar sebagai proses kognitif yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keadaan individu, pengatahuan sebelumnya, sikap, pandangan individu, konten, dan cara penyajian. Satu di antara sub-faktor penting dari keadaan individu yang mempengaruhi belajar adalah kemandirian belajar.

Kemandirian belajar berkaitan dengan bagaimana siswa menjadi tuan dari proses belajar mereka sendiri. Menurut Darr dan Fisher (2004), seorang siswa mandiri adalah seseorang yang secara aktif terlibat dalam memaksimalkan


(25)

kesempatan dan kemampuannya untuk belajar. Mereka tidak hanya mengontrol aktivitas kognitif (metakognisi), tetapi juga mengembangkan keterampilan yang berkenaan dengan kemauan yang memungkinkan pengaturan terhadap sikap, lingkungan dan perilaku untuk meningkatkan hasil belajar yang positif.

Kemandirian belajar merupakan keterampilan belajar seumur hidup. Vienman, et al. (Abdullah, 2007), memandang bahwa keterampilan kemandirian belajar merupakan hal penting, tidak hanya untuk memandu seseorang dalam belajar pada sekolah formal tetapi juga untuk meng-update pengetahuannya setelah lulus sekolah.

Pentingnya kemandirian siswa dalam belajar tidak seiring dengan peningkatan keterampilan ini pada siswa. Sering guru mengeluhkan, bahwa banyak siswa mereka yang bersifat seperti “paku”, ia baru bergerak ketika dipukul dengan palu. Artinya, siswa baru bekerja apabila sudah diinstruksikan oleh guru mereka. Banyak siswa yang belum termotivasi untuk belajar sendiri dan tanggung jawab mereka terhadap tugas-tugas belajar masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya siswa yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR) yang ditugaskan oleh guru mereka.

Begitu juga halnya ketika mengerjakan tugas-tugas matematika, siswa menunjukkan rasa kurang percaya diri terhadap kebenaran jawabannya. Untuk meyakinkan mereka apakah jawabannya sudah benar atau belum, siswa harus bertanya dulu kepada gurunya. Ada pula yang menunggu jawaban temannya untuk kemudian disalin, atau menunggu pembahasan oleh guru mereka. Hal ini menunjukkan bahwa siswa belum mandiri dalam belajar matematika.


(26)

Fakta empiris tentang rendahnya kemandirian belajar siswa yang dikemukakan di atas, sejalan dengan beberapa hasil penelitian yang dirangkum oleh De Corte, Verschaffel, dan Op’T Eynde (2000). Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan adanya kelemahan yang mendasar pada komponen-komponen keterampilan kemandirian bagi banyak siswa.

Kajian yang telah dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa komunikasi matematis dan kemandirian belajar merupakan kompetensi penting yang harus dikembangkan pada siswa. Pembelajaran selama ini belum memberikan perhatian terhadap pengembangan kedua kompentensi ini, seperti yang dikemukakan oleh Hudoyo (2002), Fauzan (2008), dan temuan peneliti di atas. Oleh sebab itu, kita perlu mengupayakan suatu pendekatan pembelajaran yang dapat memberikan pengalaman belajar bagi siswa, dan memberikan ruang bagi siswa untuk berlatih mengomunikasikan matematika dan berkomunikasi secara matematis dengan baik serta menumbuhkembangkan kemandirian belajar siswa dalam matematika.

Dalam kaitannya dengan usaha untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi secara matematis, hendaknya proses pembelajaran matematika di kelas mampu memupuk keberanian, kepercayaan diri dan motivasi siswa untuk menyampaikan pemikirannya kepada teman-temannya, gurunya, dan orang lain, baik secara lisan, tulisan, maupun dengan visual. Keberanian, kepercayaan diri dan motivasi siswa memungkinkan untuk tumbuh subur jika pengajaran di kelas menanamkan sikap menghargai pendapat orang lain. Dengan demikian siswa tidak perlu malu-malu, ragu-ragu ataupun takut dalam mengemukakan pendapat.


(27)

Apa lagi jika pendapat-pendapat mereka digunakan untuk merumuskan bentuk formal matematika, tentunya mereka bangga dan lebih percaya diri.

Selain itu, pengajaran di kelas hendaknya memberikan ruang untuk berlatih berkomunikasi secara matematis, sehingga kemampuan siswa untuk mengemukan pendapat atau gagasan dengan benar dan efektif, baik secara lisan, tulisan maupun visual dapat terwujud. Dengan demikian, tentunya akan berdampak kepada peningkatan kualitas komunikasi matematis siswa. Begitu juga dalam mengajarkan kemandirian, Montalvo dan Torres (2004) menyarankan, agar intervensi dalam model pengajaran harus difokuskan pada pengadaan lingkungan belajar yang alami, penggunaan tugas-tugas kontekstual yang menarik dan diperlukan siswa, karena hal ini akan memungkinkan mereka untuk membuat generalisasi tentang apa yang telah mereka pelajari.

Lim dan Chew (2007) mengemukakan bahwa selama pembelajaran matematika, siswa harus berhubungan dengan bahasa sehari-hari mereka untuk bahasa dan simbol matematis. Ketika memecahkan masalah matematis, siswa perlu membuat koneksi penting antara informasi konkret dan situasi abstrak. Melalui komunikasi yang efektif siswa akan mampu mengatur, membentuk dan menjelaskan pemikiran matematis mereka secara koheren dan jelas kepada teman-teman sebaya, guru dan lain-lain.

Pendekatan pendidikan matematika realistik (PMR) merupakan salah satu pendekatan yang sesuai dengan semua persyaratan yang dikemukakan di atas. PMR merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa (kontekstual) dan mendorong


(28)

siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Pembelajaran diawali dengan menyajikan masalah kontekstual yang dikenal siswa, hal ini akan menimbulkan ketertarikan siswa untuk memahami permasalahan tersebut lebih jauh sehingga menghasilkan pemecahan yang menjadi kontribusi siswa.

Menggunakan metode interaktif dalam belajar matematika merupakan salah satu karateristik PMR. Melalui metode interaktif, siswa mendapat kesempatan untuk melatih bagaimana mengomunikasikan ide, strategi atau prosedur penyelesaian dari suatu masalah baik secara lisan, tulisan maupun gambar. Karena itu pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR memberikan ruang bagi siswa untuk melatih komunikasi matematis mereka.

Selain kedua kompetensi di atas, dalam mengimplementasikan pembelajaran dengan pendekatan PMR ini, juga perlu memperhatikan level sekolah. Setiap level sekolah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Misalnya, sekolah level tinggi biasanya mempunyai tingkat kedisiplinan dan kemampuan awal yang lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah level sedang dan rendah, begitu pula dalam hal sarana dan prasarana. Hal ini tentunya akan mempengaruhi tingkat kemandirian siswa dalam belajar dan pada akhirnya akan mempengaruhi prestasi belajar siswa.

Pengetahuan awal matematis siswa juga penting diperhatikan dalam pembelajaran. Seperti yang dikemukakan oleh Long di atas, bahwa belajar sebagai proses kognitif juga dipengaruhi oleh pengetahuan sebelumnya dari individu


(29)

belajar. Hal ini sejalan dengan pendapat Ausubel (dalam Dahar, 1996) dan Arends (2008). Menurut Ausubel (dalam Dahar, 1996), dalam hal terjadinya belajar bermakna, siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya. Selanjutnya, menurut Arends (2008), kemampuan awal siswa untuk mempelajari ide-ide baru bergantung pada pengetahuan awal mereka sebelumnya dan struktur kognitif yang sudah ada.

Karena itu, faktor level sekolah dan pengetahuan awal matematis siswa perlu diperhatikan pada penelitian ini, untuk melihat tingkat keberhasilan penerapan pendekatan PMR pada pembelajaran matematika di setiap level sekolah, dan di setiap kategori pengetahuan awal matematis siswa, khususnya dalam peningkatan kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa dalam matematika. Pada penelitian ini, informasi tentang pengetahuan awal matematis siswa digunakan untuk menentukan tingkat kemampuan awal matematis siswa, yang dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu, kemampuan atas, tengah, dan bawah.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, terdapat beberapa faktor yang menjadi perhatian peneliti untuk dianalisis lebih lajut dalam penelitian ini, yaitu: pembelajaran dengan pendekatan PMR, pendekatan pembelajaran biasa (PB), kemampuan komunikasi matematis (KKM), dan kemandirian belajar siswa dalam matematika (KBS). Selain itu, sebagai variabel kontrol diperhatikan pula faktor level sekolah (tinggi, sedang, rendah) dan faktor kemampuan awal matematis (KAM) siswa (atas, tengah, bawah). Oleh karena itu,


(30)

rumusan masalah utama penelitian ini adalah: “Bagaimanakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa dalam matematika melalui pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR?”

Selanjutnya, dari rumusan utama tersebut diuraikan dalam sub-sub rumusan masalah sebagai berikut.

1. Apakah terdapat peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa setelah mendapat pembelajaran matematika melalui pendekatan PMR dan pendekatan PB ditinjau dari: (a) keseluruhan siswa; (b) level sekolah (tinggi, sedang, rendah); dan (c) kemampuan awal matematis siswa (atas, tengah, bawah)?

2. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran melalui pendekatan PMR lebih tinggi dari yang mendapat pembelajaran melalui pendekatan PB ditinjau dari: a) keseluruhan, b) level sekolah (tinggi, sedang, rendah), dan c) kemampuan awal matematis siswa (atas, tengah, bawah)?

3. Apakah ada pengaruh interaksi antara pendekatan pembelajaran (PMR dan PB) dengan level sekolah (tinggi, sedang, rendah) terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa?

4. Apakah ada pengaruh interaksi antara pendekatan pembelajaran (PMR dan PB) dengan kemampuan awal matematis siswa (atas, tengah, rendah) terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa?

5. Apakah terdapat peningkatan kemandirian belajar siswa dalam matematika setelah mendapat pembelajaran matematika melalui pendekatan PMR dan


(31)

pendekatan PB ditinjau dari: (a) keseluruhan siswa; (b) level sekolah (tinggi, sedang, rendah); dan (c) kemampuan awal matematis siswa (atas, tengah, bawah)?

6. Apakah peningkatan kemandirian belajar siswa dalam matematika yang memperoleh pembelajaran melalui pendekatan PMR lebih tinggi dari siswa yang memperoleh pembelajaran melalui pendekatan PB ditinjau dari: a) keseluruhan, b) level sekolah (tinggi, sedang, rendah), dan c) kemampuan awal matematis siswa (atas, tengah, bawah)?

7. Apakah penyebab kesalahan siswa dalam menjawab tes kemampuan komunikasi matematis?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar kontribusi penerapan PMR terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematis dan kemamdirian belajar siswa dalam matematika. Khususnya, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa setelah memperoleh pembelajaran melalui pendekatan PMR dan pendekatan PB ditinjau dari: a) keseluruhan, b) level sekolah (tinggi, sedang, rendah), dan c) kemampuan awal matematis siswa (atas, tengah, bawah).

2. Menganalisis perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa antara siswa yang mendapat pembelajaran melalui pendekatan PMR dan yang mendapat pembelajaran melalui pendekatan PB ditinjau dari: a) keseluruhan,


(32)

b) level sekolah (tinggi, sedang, rendah), dan c) kemampuan awal matematis siswa (atas, tengah, bawah).

3. Menganalisis pengaruh interaksi antara pendekatan pembelajaran (PMR dan PB) dengan level sekolah (tinggi, sedang, rendah) terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa.

4. Menganalisis pengaruh interaksi antara pendekatan pembelajaran (PMR dan PB) dengan kemampuan awal matematis (atas, tengah, rendah) terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa.

5. Menganalisis peningkatan kemandirian belajar siswa dalam matematika setelah memperoleh pembelajaran melalui pendekatan PMR dan pendekatan PB ditinjau dari: a) keseluruhan, b) level sekolah (tinggi, sedang, rendah), dan c) kemampuan awal matematis siswa (atas, tengah, bawah).

6. Menganalisis perbedaan peningkatan kemandirian belajar siswa dalam matematika antara siswa yang memperoleh pembelajaran melalui pendekatan PMR dan yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan PB ditinjau dari: a) keseluruhan, b) level sekolah (tinggi, sedang, rendah), dan c) kemampuan awal matematis siswa (atas, tengah, bawah).

7. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan penyebab kesalahan siswa dalam menjawab tes kemampuan komunikasi matematis.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini akan menguji tingkat keampuhan penerapan pendekatan PMR pada pembelajaran matematika dalam meningkatkan


(33)

kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa dalam matematika.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Siswa

Penerapan pendekatan PMR pada pembelajaran matematika memberikan ruang kepada siswa untuk terlibat secara aktif dan optimal dalam melakukan tugas-tugas matematis, mereka belajar berkomunikasi untuk mempelajari matematika, dan belajar untuk berkomunikasi secara matematis. Selain itu, penerapan pendekatan PMR pada pembelajaran matematika memfasilitasi peningkatan kemandirian belajar siswa dalam matematika, hal ini dikarenakan oleh karakteristik yang dimiliki PMR itu sendiri, yang memungkinkan tumbuhkembangnya kemandirian tersebut. Pendekatan PMR menganut paham konstruktivis, yang berarti siswa membangun pengetahuannya sendiri melalu proses guided reinvention. Hal ini menuntut siswa untuk lebih mandiri.

2. Guru, terutama guru yang terlibat

Menambah referensi guru dalam memilih dan menggunakan pendekatan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa dalam matematika.

3. Peneliti

Sebagai arena meningkatkan kemampuan meneliti dalam hal menerapkan pendekatan PMR pada pembelajaran matematika. Selain itu, hasil penelitian


(34)

ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi peneliti untuk melakukan penelitian serupa.

E. Definisi Operasional

Agar terdapat kesamaan persepsi terhadap variabel-varibel yang digunakan pada penelitian ini, berikut ini diberikan definisi operasional dari masing-masing variabel tersebut.

1. Kemampuan komunikasi matematis merupakan kemampuan siswa menyatakan ide-ide atau gagasan-gagasan matematis yang diukur berdasarkan: (1) kemampuan siswa menginterpretasikan ide-ide matematis yang diberikan dalam bentuk gambar; (2) kemampuan siswa menyajikan situasi matematis dengan gambar dan aljabar; (3) kemampuan siswa merumuskan ide-ide matematis dari masalah kontekstual yang disajikan dalam bentuk soal cerita; (4) kemampuan siswa mendeskripsikan bidang datar.

2. Kemandirian belajar adalah suatu keterampilan belajar yang terdiri dari indikator-indikator berikut ini: (1) keyakinan motivasi (meliputi aspek keyakinan akan pentingnya matematika dan ketertarikan terhadap matematika, orientasi tujuan intrinsik dan ekstrinsik, dan self efficacy); (2) manajemen sumber daya (meliputi aspek manajemen waktu belajar, mendiagnosis kebutuhan belajar dan mencari serta memanfaatkan sumber belajar yang relevan); (3) strategi metakognitif (meliputi aspek mengontrol/mengatur kognisi, memonitor dan mengevaluasi diri); (4) strategi kognitif (meliputi aspek: membaca ulang/latihan, mengelaborasi, dan mengorganisasikan).


(35)

3. Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR) adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang memiliki karakteristik: menggunakan masalah kontekstual, menggunakan model, menggunakan kontribusi siswa, mengaitkan antar topik matematika, dan terjadinya interaksi dalam proses pembelajaran. 4. Pendekatan Pembelajaran Biasa (PB) adalah pendekatan pembelajaran yang

umumnya digunakan guru dalam mengajarkan matematika.

5. Kemampuan awal matematis (KAM) siswa adalah kemampuan siswa dalam matematika sebelum pelaksanaan penelitian.


(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menerapkan desain kuasi eksperimen (quasi-experimental design), karena subjek untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol pada penelitian ini, tidak dipilih secara acak tetapi peneliti menerima keadaan subjek seadanya. Hal ini disebabkan oleh sistem sekolah yang tidak memungkinkan peneliti melakukan pemilihan subjek secara acak. Selain itu, penelitian ini berlangsung dalam lingkungan kehidupan nyata, karena itu pelaksanaan penelitian pada kedua kelompok sampel tidak mungkin identik. Alasan yang peneliti kemukakan di atas merujuk kepada pendapat Ary, Jacobs, dan Sorensen (2010), serta Muijs (2004) tentang pengertian desain kuasi eksperimen.

Kuasi eksperimen yang diterapkan pada penelitian ini menggunakan desain pretes-postes, kelompok kontrol tidak acak (Nonrandomized Control Group, Pretest-Posttest Design). Secara singkat, desain tersebut digambarkan sebagai berikut (Ary, Jacobs, dan Sorensen, 2010):

E Y1 X Y2 C Y1 Y2 Keterangan:

E = kelompok eksperimen C = kelompok kontrol

Y1 = pemberian pretes kemampuan komunikasi matematis (KKM), serta pengisian skala kemandirian belajar siswa dalam matematika (KBS) (pengambilan data awal KBS).


(37)

X = perlakuan (pembelajaran dengan pendekatan PMR).

Y2 = pemberian postes kemampuan komunikasi matematis dan pengisian skala kemandirian belajar siswa dalam matematika (pengambilan data akhir KBS).

Desain ini melibatkan dua kategori kelas sampel yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksprimen diberi perlakukan pembelajaran dengan pendekatan PMR (X), sedangkan kelas kontrol diberi pembelajaran dengan pendekatan PB. Kemudian masing-masing kelas sampel diberi pretes kemampuan komunikasi matematis dan pengisian angket skala kemandirian belajar siswa dalam matematika pada awal pembelajaran (Y1). Sebelum melaksanakan pretes kemampuan komunikasi matematis dan mengisi angket skala kemandirian belajar siswa dalam matematika, terlebih dahulu siswa mengikuti tes KAM, untuk mengetahui kemampuan awal matematis siswa sebelum pembelajaran dilaksanakan. Pada akhir pembelajaran, kedua kelas sampel diberi postes kemampuan komunikasi matematis dan pengisian angket skala kemandirian belajar siswa dalam matematika (Y2). Pada kelas kontrol, tidak ada pemberian perlakuan khusus.

Untuk melihat secara lebih mendalam keefektifan penerapan pendekatan pembelajaran PMR dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa dalam matematika, pada penelitian ini memperhitungkan faktor level sekolah (tinggi, sedang, rendah) dan kemampuan awal matematis siswa (atas, tengah, bawah). Level suatu sekolah sesuai dengan keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung, nomor


(38)

422.1/1209-Sekrt/2010, tanggal 29 Maret 2010, pada Lampiran III tentang Kluster SMP/MTs Negeri. Lampiran III dari surat keputusan tersebut terdapat pada Lampiran E-2.

Penelitian ini melibatkan tiga variabel yaitu, variabel bebas, variabel terikat, dan variabel kontrol. Variabel bebas terdiri dari pendekatan pembelajaran PMR dan PB, sedangkan veriabel terikat terdiri dari kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar siswa dalam matematika. Level sekolah dan kemampuan awal matematis siswa termasuk variabel kontrol. Keterkaitan antar variabel bebas, variabel terikat, dan variabel kontrol disajikan pada Tabel 3.1. dan Tabel 3.2.

Tabel 3.1

Keterkaitan antara Kemampuan Komunikasi Matematis, Kelompok Pembelajaran, Level Sekolah, dan Kemampuan Awal Matematis

Pembelajaran PMR PB

Level Sekolah Tinggi

(Ti) Sedang (S) Rendah (R) Total per KAM & klp Pembel Tinggi (Ti) Sedang (S) Rendah (R) Total per KAM & klp Pembel K em am p u an A w al M at em at is

Atas (A)

KKMATi-PMR KKMAS-PMR KKMAR -PMR KKMA- PMR KKMATi-PB KKMAS -PB KKMAR -PB KKMA- PB Tengah (T) KKMTTi-PMR KKMTS-PMR KKMTR -PMR KKMT-PMR KKMTTi-PB KKMTS -PB KKMTR

-PB KKMT-PB

Bawah (B) KKMBTi-PMR KKMBS-PMR KKMBR -PMR KKMB-PMR KKMBTi-PB KKMBS -PB KKMBR

-PB KKMB-PB

Total per level sekolah & kelompok pembelajaran KKMTi-PMR KKMS-PMR KKMR-PMR KKMTi-PB KKMS-PB KKMR-PB Total per kelompok pembelajaran


(39)

Keterangan (contoh):

KKM-PMR : Kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan pendidikan matematika realistik.

KKMTi-PMR : Kemampuan komunikasi matematis siswa pada sekolah level tinggi yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan pendidikan matematika realistik.

KKMATi-PMR: Kemampuan komunikasi matematis siswa dengan KAM kelompok atas pada sekolah level tinggi yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan pendidikan matematika realistik.

Tabel 3.2

Keterkaitan antara Kemandirian Belajar Siswa dalam Matematika, Kelompok Pembelajaran, Level Sekolah, dan Kemampuan Awal Matematis

Pembelajaran PMR PB

Level Sekolah Tinggi

(Ti) Sedang (S) Rendah (R) Total per KAM & klp Pembel Tinggi (Ti) Sedang (S) Rendah (R) Total per KAM & klp Pembel K em am p u an A w al M at em at is

Atas (A) KBSATi

-PMR

KBSAS-PMR

KBSAR-PMR KBSA-PMR

KBSATi-PB KBSAS-PB KBSAR-PB KBSA- PB Tengah (T) KBSTTi -PMR KBSTS-PMR

KBSTR-PMR KBST-PMR

KBSTTi-PB

KBSTS-PB

KBSTR-PB KBST-PB

Bawah (B) KBSBTi -PMR KBSBS-PMR

KBSBR-PMR KBSB-PMR

KBSBTi-PB

KBSBS-PB

KBSBR-PB KBSB-PB

Total per level sekolah & kelompok pembelajaran KBSTi-PMR KBSS-PMR

KBSR-PMR KBSTi-PB KBSS-PB KBSR-PB Total per kelompok pembelajaran


(40)

Keterangan (contoh):

KBS-PMR : Kemandirian belajar siswa dalam matematika yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan pendidikan matematika realistik.

KBSTi-PMR : Kemandirian belajar siswa dalam matematika pada sekolah level tinggi yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan pendidikan matematika realistik.

KBSATi-PMR: Kemandirian belajar siswa dalam matematika kelompok atas pada sekolah level tinggi yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan pendidikan matematika realistik.

B. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri di Kota Bandung. Alasan pemilihan siswa SMP sebagai populasi didasarkan pada pertimbangan bahwa KBS dan KKM siswa SMP masih rendah, seperti yang dijelaskan pada BAB I. Pertimbangan lainnya didasarkan pada tingkat perkembangan kognitif siswa SMP. anak SMP berusia 12-15 tahun. Anak-anak ini masih berada pada tahap awal operasi formal (tahap peralihan dari operasi kongkrit ke operasi formal), sehingga masih dipandang cocok untuk diterapkannya pendekatan matematika realistik.

Selanjutnya, yang menjadi sampel penelitian adalah siswa kelas VII pada tiga SMP Negeri di Kota Bandung, masing-masing mewakili sekolah level tinggi, sedang dan rendah. Kemudian dari masing-masing sekolah yang terpilih, dipilih 1 kelas sebagai kelas eksperimen dan 1 kelas sebagai kelas kontrol, sehingga


(41)

totalnya adalah 6 kelas. Secara keseluruhan, siswa yang terlibat dalam penilitian ini dari awal hingga akhir penelitian sebanyak 239 orang. Sekolah yang terpilih sebagai sampel penelitian ini adalah SMP Negeri 12 Bandung mewakili sekolah-sekolah level tinggi, SMP Negeri 15 Bandung mewakili sekolah-sekolah-sekolah-sekolah level sedang, dan SMP Negeri 29 Bandung mewakili sekolah-sekolah level rendah.

Pemilihan siswa kelas VII ini, didasarkan pada pertimbangan antara lain, terdapat beberapa materi yang diperkirakan cocok untuk diterapkannya pendekatan pendidikan matematika realistik. Selain itu, siswa kelas VII merupakan siswa baru di SMP, sehingga diharapkan mereka lebih mudah diarahkan.

C. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya

Penelitian ini menggunakan dua jenis instrumen, yaitu tes dan non tes. Instrumen berbentuk tes terdiri dari seperangkat soal tes untuk mengukur kemampuan awal matematis dan kemampuan komunikasi matematis siswa. Instrumen berbentuk non tes berupa skala kemandirian belajar siswa dalam matematika, pedoman wawancara, dan lembar observasi kegiatan pembelajaran. Berikut ini diberikan penjelasan tentang pengembangan masing-masing instrumen tersebut.

1. Tes Kemampuan Awal Matematis

Kemampuan Awal Matematis (KAM) adalah kemampuan siswa dalam matematika sebelum pelaksanaan penelitian. Untuk mengetahui KAM tersebut, perlu dilakukan tes KAM terhadap siswa yang menjadi sampel penelitian. Tes


(42)

KAM ini juga dimaksudkan untuk memperoleh gambaran kesetaraan rata-rata kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, dan sekaligus untuk mengelompokkan siswa berdasarkan kemampuan awal matematis mereka.

Kemampuann awal matematis siswa dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: kelompok atas, tengah, dan bawah. Kriteria pengelompokan siswa berdasarkan kemampuan awal matematis mereka, disajikan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3

Kriteria Pengelompokkan Kemampuan Awal Matematis Siswa

Kelompok KAM Kriteria

Atas Siswa yang memiliki nilai KAM ≥ x

Tengah x ≤ Siswa yang memiliki nilai KAM < x Bawah Siswa yang memiliki nilai KAM < x

Keterangan: x adalah nilai rata-rata tes KAM seluruh siswa

S adalah simpangan baku nilai tes KAM seluruh siswa Soal-soal tes KAM diadopsi dari soal-soal Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2003 dan 1999. Beberapa pertimbangan mengadobsi soal-soal TIMSS ini adalah:

a. Sebagian besar soal-soal TIMSS merupakan masalah kontekstual. Oleh sebab itu, soal-soal tersebut sangat cocok untuk mengukur KAM siswa, karena masalah kontekstual merupakan titik awal dari pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR yang diterapkan pada penelitian ini.

b. Domain kognitif dan tingkat kesulitan soal-soal TIMSS bervariasi, dengan demikian diharapkan daya pembedanya juga baik, sehingga soal-soal tersebut dapat membedakan siswa dengan kemampuan atas, tengah, dan bawah.


(43)

c. Terdapat dua jenis soal TIMSS, yaitu pilihan ganda dan essay. Soal dengan jenis pilihan ganda masih memberi peluang bagi siswa untuk menebak jawaban yang benar, sehingga dikahawatirkan soal-soal jenis pilihan ganda kurang mampu membedakan siswa berkemampuan tinggi dengan siswa berkemampuan rendah. Namun di sisi lain, soal pilihan ganda mampu mengevaluasi materi yang cakupannya lebih luas, sementara melalui soal essay siswa diminta mengonstruksi jawabanya, sehingga dari jawaban tersebut dapat dilihat kemampuan matematika siswa. Dengan adanya dua jenis soal ini, diharapkan dapat mengungkap kemampuan matematika siswa yang sesungguhnya.

d. Soal-soal TIMSS disusun oleh pakar matematika dengan standar internasional, sehingga seperangkat tes tersebut tidak diragukan lagi mengenai validitasnya secara internasional.

e. Materi dari soal-soal TIMSS, sejalan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Materi tersebut adalah Bilangan, Aljabar, Geometri, Pengukuran, Perbandingan, dan Statistika.

Soal TIMSS yang dipilih untuk tes KAM sebanyak 22 butir, terdiri dari 20 butir soal pilihan ganda dengan 4 pilihan jawaban dan 2 butir soal essay. Pemilihan soal berdasarkan materi yang sudah dipelajari siswa dengan domain kognitif dan tingkat kesulitan yang bervariasi dan meliputi 6 materi yang ada di TIMSS. Soal-soal tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan beberapa modifikasi, seperti nama orang, istilah dan redaksinya. Seperangkat soal


(44)

ini meliputi 8 butir aspek pemahaman fakta dan konsep, 10 butir aspek penerapan konsep dan pemecahan masalah, dan 4 butir aspek penalaran.

Sebelum perangkat tes KAM digunakan, terlebih dahulu dilakukan uji validitas isi (content), validitas muka, reliabilitas soal, validitas butir soal, dan daya pembeda, agar butir soal hasil terjemahan yang sudah mengalami modifikasi tersebut tetap menjadi perangkat tes yang baik. Uji validitas isi dan muka dilakukan oleh lima orang penimbang yang dianggap ahli dan mempunyai pengalaman mengajar dalam bidang pendidikan matematika. Kelima penimbang tersebut adalah mahasiswa S3 pendidikan matematika SPs UPI.

Validitas muka dilakukan berdasarkan pertimbangan terhadap kejelasan bahasa/redaksional, dan kejelasan gambar/representasi dari setiap butir tes KAM. Validasi isi, dilakukan berdasarkan pertimbangan terhadap kesesuaian materi tes dengan kisi-kisi tes yang meliputi: aspek kemampuan yang diukur, indikator kemampuan yang diukur dan materi pokok yang diujikan, serta tingkat kesukarannya untuk siswa SMP kelas VII semester 2. Lembar pertimbangan validasi isi dan muka tes KAM dapat dilihat pada Lampiran A-1. Hasil pertimbangan kelima penimbang disajikan pada Lampiran A-2.

Pada Lampiran A-2, dapat dilihat bahwa ada dua butir soal yang mendapat pertimbangan tidak valid untuk validitas muka, yaitu soal nomor 3, dan nomor 9. Kedua soal tersebut direvisi sesuai dengan saran penimbang. Untuk validitas isi, empat dari lima penimbang menyatakan bahwa setiap item tes KAM adalah valid. Karena itu, tidak ada perubahan untuk materi tes. Revisi soal nomor 3 dan 9 terdapat pada Lampiran A-3.


(45)

Selanjutnya perangkat tes KAM diujicobakan pada kelas VII C SMP N 15 Bandung, untuk mengetahui reliabilitas soal, validitas butir soal dan daya pembeda. Reliabilitas tes dihitung untuk mengetahui tingkat keterandalan (keajegan) tes tersebut. Sebuah tes dikatakan reliabel jika tes itu digunakan berkali-kali menghasilkan skor yang konsisten. Karena tes hanya dilakukan satu kali, maka teknik perhitungan koefisien reliabilitasnya dilakukan dengan menggunakan prinsip ketetapan intern, dimana jawaban sebuah soal dikorelasikan dengan jawaban pada soal-soal sisanya (jumlah sisa). Rumus statistik yang menggunakan dasar ini adalah rumus Kuder-Richardson-20 (K-R.20) untuk soal pilihan ganda dan Cronbach Alpha untuk soal essay (Ary, Jacobs, dan Sorensen, 2010; Arikunto, 2007; Ruseffendi, 2005). Oleh sebab itu, untuk menghitung reliabilitas soal tes KAM, penulis menggunakan rumus K-R.20 dan Cronbach Alpha. Kedua rumus tersebut dapat dilihat pada Lampiran A-4.

Proses perhitungan koefisien reliabilitas tes KAM menggunakan software Excel 2007 for Windows. Dari hasil perhitungan, diperoleh koefisien reliabilitas tes KAM soal pilihan ganda sebesar 0,7 dan untuk soal essay sebesar 0,6. Menurut Guilford (Suherman, 1990; Ruseffendi, 1991; 2005), instrumen dengan koefisien reliabilitas berada pada interval 0,40 - 0,70 termasuk instrumen dengan reliabilitas sedang. Menurut Ary, Jacobs, dan Sorensen (2010), jika hasil pengukuran yang akan digunakan untuk tujuan penelitian, skor dengan keandalan yang sederhana (koefisien korelasi dalam kisaran 0,50-0,60) dapat diterima. Dengan demikian, ditinjau dari aspek reliabilitasnya, tes KAM sudah merupakan instrumen yang layak untuk digunakan pada penelitian ini.


(46)

Setelah uji reliabilitas, dilakukan uji validitas butir soal. Sebuah item memiliki validitas yang tinggi jika skor pada item mempunyai kesejajaran dengan skor total. Kesejajaran dapat diartikan dengan korelasi sehingga untuk mengetahui validitas butir soal digunakan rumus korelasi product moment dari Pearson, sebagai berikut: 2008). (Sugiyono, , 2 2 y x xy rxy

= Keterangan:

rxy = korelasi antara variabel x dengan variabel y. x =

( )

xix

y =

(

yiy

)

Hipotesis yang diajukan untuk menguji signifikansi setiap koefisien korelasi adalah sebagai berikut:

H0: Tidak ada korelasi positif yang signifikan antara skor butir soal dengan skor total.

H1: Ada korelasi positif yang signifikan antara skor butir soal dengan skor total. Untuk menguji signifikansi koefisien korelasi digunakan Uji t dengan rumus: thitung = ,

1 2 2 r n r − −

(Sugiyono, 2008; Walpole dan Myers, 1995). Nilai thitung selanjutnya dibandingkan dengan nilai ttabel.. Apabila thitung> ttabel dengan derajat kebebasan n-2, dan ≥ = 0,05, maka H0 ditolak, berarti butir soal dinyatakan valid, dan untuk keadaan lainnya H0 diterima yang berarti butir soal tidak valid. Proses perhitungan korelasi menggunakan program Excel 2007 for Windows. Hasil peritungan validitas butir soal dapat dilihat pada Lampiran A-5.


(47)

Selanjutnya, dilakukan uji Daya Pembeda (DP) dari tiap butir tes KAM. Untuk menentukan Daya Pembeda dari tiap butir tes KAM digunakan teknik belah dua yaitu kelompok atas dan kelompok bawah. Kelompok atas terdiri dari 27,5% testee (subyek uji coba) dengan skor total tertinggi, sedangkan 27,5% testee dengan skor total terendah sebagai kelompok bawah (Arikunto, 2007; Ruseffensi 1991; 2005). Rumus yang digunakan untuk menentukan Daya Pembeda adalah:

DP =

A B A

I S

S

, dengan DP = Indeks Daya Pembeda

SA = Jumlah skor Kelompok Atas pada butir soal yang diolah SB = Jumlah skor Kelompok Bawah pada butir soal yang diolah

IA = Jumlah skor ideal salah satu kelompok pada butir soal yang diolah

Kriteria Indeks Daya Pembeda yang digunakan adalah kriteria menurut Galton (dalam Karno, 1996). Hasil perhitungan Daya Pembeda dari tiap butir tes KAM dapat dilihat pada Lampiran A-5. Berdasarkan hasil perhitungan validitas butir soal dan Daya Pembeda diperoleh informasi: (1) Terdapat 3 butir soal yang tidak valid dari 22 butir soal yang diujicobakan, yaitu soal nomor 1, 5, dan 6; (2) Dari 19 butir soal yang valid, terdapat 17 butir soal mempunyai daya pembeda pada interval 0,30 sampai dengan 0,78 dan 2 butir soal lagi mempunyai daya pembeda masing-masing 0,2 dan 0,23. Menurut Galton (dalam Karno, 1996), soal dengan 0,30 ≤ DP ≤ 0,49 memiliki daya pembeda yang baik, soal dengan 0,50 ≤ DP ≤ 1,00 memiliki daya pembeda yang sangat baik, dan soal dengan 0,20 ≤ DP


(48)

Berdasarkan informasi hasil perhitungan validitas butir soal dan Daya Pembeda tersebut, dapat disimpulkan bahwa 17 butir tes KAM yang valid dan memiliki daya pembeda pada kisaran 0,30 sampai 0,78 dapat digunakan sebagai butir soal tes KAM. Kemudian, berdasarkan hasil pertimbangan pakar pendidikan matematika, dalam hal ini yaitu dosen pembimbing, terhadap 2 butir soal yang valid dan memiliki daya pembeda kurang dari 0,3 dilakukan perbaikan dan soal nomor 1 dan 6 diganti dengan soal serupa tetapi dengan tingkat kerumitan yang lebih tinggi dari soal sebelumnya. Penggantian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa jeleknya soal nomor 1 dan 6, diduga karena tingkat kesulitannya yang sangat rendah. Terdapat 91,9% siswa menjawab benar soal nomor 1 dan 100% siswa menjawab benar soal nomor 6. Sementara untuk soal nomor 5 hanya dilakukan perbaikan.

Soal pengganti dan soal hasil revisi, selanjutnya diujicobakan kepada 5 orang siswa kelas VII F SMP 29, untuk mengetahui apakah soal tersebut dapat dipahami dengan baik oleh siswa. Dari hasil uji coba ini, dapat disimpulkan bahwa kelima butir soal tersebut dapat dipahami dengan baik oleh siswa. Perubahan-perubahan tersebut disajikan secara lengkap pada Lampiran A-6.

Setelah melalui proses penggantian 2 butir soal dan perbaikan 3 butir soal, akhirnya diputuskan bahwa ke-5 butir soal itu dimasukan kedalam set tes KAM. Hal ini didasarkan pada pertimbangan: (1) kelima butir soal tersebut penting keberadaannya pada tes KAM; (2) penggantian 2 butir soal dan perbaikan 3 butir soal dilakukan berdasarkan pertimbangan ahli; (3) kelima butir soal tersebut sudah diujicobakan kepada 5 orang siswa dan kelima siswa tersebut dapat


(49)

memahaminya dengan baik. Sehingga instrumen tes KAM memuat 20 butir soal pilihan ganda dengan 4 pilihan jawaban dan 2 butir soal essay. Tes KAM ini diujikan dalam waktu 75 menit. Kisi-kisi dan soal tes KAM dapat dilihat pada Lampiran B-5.

Selanjutnya, instrumen tes KAM diujikan kepada 6 kelas sampel penelitian sebelum pembelajaran dimulai. Untuk memperoleh data KAM siswa, dilakukan penskoran terhadap jawaban siswa. Untuk soal pilihan ganda, setiap jawaban benar diberi skor 4, dan setiap jawaban salah diberi skor 0, sedangkan untuk setiap butir soal essay, diberi skor pada rentangan 0 – 10.

Berdasarkan perhitungan terhadap data hasil tes KAM siswa, diperoleh = 54,054 dan S = 13,949, sehingga kriteria pengelompokkan siswa berdasarkan KAM mereka adalah seperti berikut:

Siswa kelompok atas memiliki nilai KAM ≥ 68,003 40,105 ≤ Siswa kelompok tengah memiliki nilai KAM < 68,003 Siswa kelompok bawah memiliki nilai KAM < 40,105

Banyaknya siswa yang berada pada kelompok atas, tengah, dan bawah pada sekolah level tinggi, sedang dan rendah, disajikan pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4

Banyaknya Siswa Kelompok KAM Atas, Tengah, dan Bawah Berdasarkan Level Sekolah

Level Sekolah KAM Total

Atas Tengah Bawah

Tinggi 21 56 5 82

Sedang 12 52 13 77

Rendah 3 52 25 80


(50)

2. Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

Penyusunan tes kemampuan komunikasi matematis (KKM) bertujuan untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa setelah proses pembelajaran. Kemampuan komunikasi matematis yang diukur meliputi 4 aspek yaitu; (a) Menginterpretasikan ide-ide matematis yang diberikan dalam bentuk gambar; (b) Menyajikan situasi matematis dengan gambar dan aljabar; (c) Merumuskan ide-ide matematis dari masalah kontekstual yang disajikan dalam bentuk soal cerita; (d) Mendeskripsikan bidang datar. Aspek-aspek ini dikembangkan menjadi 6 indikator. Materi yang diujikan tentang segitiga dan segi empat, yaitu meliputi sifat-sifat segitiga dan segi empat, luas serta keliling segitiga dan segi empat. Soal ini berbentuk essay sebanyak 5 butir dan diselesaikan dalam waktu 75 menit.

Tabel 3.5

Hasil Pertimbangan Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

Keterangan:

1 = Valid; 0 = Tidak valid; Pi = Penimbang ke-i

Untuk mendapatkan butir tes KKM yang baik, terlebih dahulu dilakukan uji validitas isi, validitas muka, validitas butir soal, daya pembeda, tingkat kesukaran, dan reliabilitas soal. Uji validitas isi dan muka dilakukan oleh empat orang penimbang yang dianggap ahli dan mempunyai pengalaman mengajar dalam

No. Soal Validitas Muka Validitas Isi

P1 P2 P3 P4 P1 P2 P3 P4

1 1 1 1 0 1 1 1 1

2 1 1 1 1 1 1 1 1

3 1 1 1 0 1 1 1 1

4 1 1 1 1 1 1 1 1


(1)

---. (2008). Problematika Pembelajaran Matematika dan Alternatif Penyelesaiannya. Pidato Pengukuhan Dr. Ahmad Fauzan, M.Pd., M.Sc. Sebagai Guru Besar dalam Bidang Pendidikan Matematika pada FPMIPA UNP, Padang.

Franks, D. dan Jarvis, D. (2009). Communication in the Secondary Mathematics Classroom: Exploring New Ideas. [Online]. Tersedia: http://www.learner.org [16 April 2009].

Freudenthal, H. (1991). Revisiting Mathematics Education: China Lecturers. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.

Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal Institute.

Greenes, C. dan Schulman, L. (1996). “Communication Processes in Mathematical Explorations and Investigations”. Dalam P.C Elliot dan M.J Kenney (Eds.). Yearbook. Communication in Mathematics, K-12 and Beyond, 159-169. Reston: NCTM Inc.

Guerreiro, A. (2008). Communication in Mathematics Teaching and Learning: Practices in Primary Education. [Online]. Tersedia: http://yess4.ktu.edu.tr/YermePappers/Ant_%20Guerreiro.pdf [10 Juni 2009].

Hake, R. R. (1998). “Interactive Engagement Versus Traditional Methods: A Six-Thousand-Student Survey of Mechanics Test Data for Introductory Physics Courses”. American Journal Physics. 66, 64 –74.

Hasratuddin. (2010). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kecerdasan Emosional Siswa SMP Melalui Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi pada UPI. Tidak diterbitkan.

Heinich, et al. (1996). Instructional Media and Technologies for Learning. New Jersey: Von Hoffmann Press, Inc.

Hudoyo, H. (2002). “Representasi Belajar Berbasis Masalah”. Prosiding Konferensi Nasional Matematika XI, Edisi Khusus, 427- 432.

Izzati, N. dan Suryadi, S. (2010). “Komunikasi Matematik dan Pendidikan Matematika Realistik”. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA, Uversitas Negeri Yogyakarta, 721 – 729. Izzati, N. (2009). “Berpikir Kreatif dan Kemampuan Pemecahan Masalah


(2)

Peserta Didik”. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA, Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, 49 – 60. ---. (2011). “Mengembangkan Kemandirian Belajar Siswa dalam Matematika

Melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik”. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung, 1, 91 – 96.

Johnson, E. B. (2002). Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc.

Kanselaar, G. (2002). Constructivism and Socio-Constructism. [Online]. Tersedia: http://igitur-archive.library.uu.nl [3 Januari 2010].

Karno, T. (1996). Mengenal Analisis Tes. Bandung: FIP IKIP Bandung.

Kesumawati, N. (2010). Peningkatan Kemampuan Pemahaman, Pemecahan Masalah, dan Disposisi Matematis Siswa SMP melalui Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik. Disertasi pada UPI. Tidak diterbitkan. Khalid, M. dan Tengah, A.K.M. ( 2008). Communication in Mathematics: The

Role of Language and its Consequences for English as Second Language Students. [Online]. Tersedia: http://www.criced.tsukuba.ac.jp/math/apec/ apec2008/papers/PDF [Desember 2008].

Lim, C.S. dan Chew, C.M. (2007). Mathematical Communication in Malaysian Bilingual Classrooms. Makalah pada Konferensi Internasional Tsukuba ke-3, Tokyo.

Lindquist, M.M. dan Elliott, P.C. (1996). Communication–an Imperative for Change: A Conversation with Mary Linquist. Dalam P.C Elliot dan M.J Kenney (Eds.). Yearbook. Communication in Mathematics, K-12 and Beyond, 1 - 10. Reston: NCTM, Inc.

Mahmudi, A. (2010). Pengaruh Pembelajaran dengan Strategi MHM Berbasis Masalah terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif, Kemampuan Pemecahan Masalah, dan Disposisi Matematis, serta Persepsi terhadap Kreativitas. Disertasi pada UPI: Tidak diterbitkan.

Maryland State Department of Education. (1991). Maryland Math Communication Rubric. [Online]. Tersedia: http://www.intranet.cps.k12. il.us/Assessments/Ideas_and_Rubrics/Rubric_Bank/MathRubrics.pdf [5 Juni 2009].

Meltzer, D. E. (2002). “The Relationship Between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gains in Physics: A Possible “Hidden Variable” in


(3)

Diagnostic Pretest Scores”. American Journal Physics. 70, (12), 1259 – 1268.

Miller, P.H. (1993). Theories of Developmental Psychology (third ed.). New York: W. H. Freeman and Company.

Ministry of Education Singapore (MES). (2009). The Singapore Model Method for Learning Mathematics. Singapore: EPB Pan Pacific.

Mohan, L. dan Lundeberg, M. (2009). “Context Matters Gender and Cross-Cultural Differences in Confidence”. Dalam D.J.Hacker, J. Dunlosky, dan A.C. Graesser (Eds.). Handbook of Metacognition in Education, 221 – 239. New York: Routledge.

Montalvo, F.T. dan Torres, M.C.G. (2004). “Self-Regulated Learning: Current and Future Directions”. Electronic Journal of Research Psychology. 2, (1), 1-34.

Muijs, D. (2004). Doing Quantitative Research in Education with SPSS. Great Britain: Athenaeum Press Ltd.

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston: NCTM, Inc.

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). (2000). Principles and Standars for School Matematics. Reston: NCTM, Inc.

Pintrich, P. R. dan Groot, E. V. D. (1990). “Motivational and Self-Regulated Learning Components of Classroom Academic Performance”. Journal of Education Psychology. 82, (1), 33-34.

Polla, G. (2000). Efforts to Increase Mathematics for All through Communication in Mathematics Learning. [Online]. Tersedia: www.icme-organisers.dk [21 Mei 2009].

Peressini, D. dan Bassett, J. (1996). Mathematical Communication in Students’ Responses to a Performance-Assessment Task. Dalam P.C Elliot and M.J Kenney (Eds.). Yearbook. Communication in Mathematics, K-12 and Beyond, 146 - 158. Reston: NCTM, Inc.

Ruseffendi, E. T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

---. (2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito.


(4)

---. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam Pengajaran Matematika. Diktat Perkuliahan.

Sabandar, J. (2010). “Thinking Classroom in Learning Mathematic in School”. Dalam T. Hidayat. et al. (Eds.). Teori, Paradigma, Prinsip, dan Pendekatan Pembelajaran MIPA dalam Konteks Indonesia, 167-186. Bandung: FMIPA UPI.

Sagala, S. (2009). Konsep dan Makna Pembelajaran, untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Bandung: Alfabeta. Saragih, S. (2007). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis dan Komunikasi

Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pendekatan Matematika Realistik . Disertasi pada UPI: Tidak diterbitkan.

Sembiring, K., Hadi, S., dan Dolk, M. (2008). ”Reforming Mathematics Learning in Indonesian Classrooms through RME”. ZDM Mathematics Education. 40, 927 – 939.

Slavin, R.E. (2005). Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik. Terjemahan oleh Lita, (2009). Bandung: Nusa Media.

Silberman, M.L. (1996). Active Learning: 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Terjemahan oleh Sarjuli, et al., (2009). Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. Somakim. (2010). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Self-Efficacy Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama dengan Penggunaan Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi pada UPI. Tidak diterbitkan. Sugiman. (2010). Dampak Pembelajaran Matematika Realistik terhadap

Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Keyakinan Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama di Kota Yogyakarta. Disertasi pada UPI. Tidak diterbitkan.

Sugiyono. (2008). Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Suharta, I. G. P. (2005). “Matematika Realistik: Apa dan Bagaimana”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, (edisi ke-38). [Online]. Tersedia: http://www.fadjarp3g.wordpress.com [21 April 2009].

Suherman, E. (1990). Petunjuk Praktis Untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijaya Kusuma

Susimetsa, M. (2006). Motivated and Self-Regulated Learning of Adult Learners in a Collective Online Environment. Disertasi pada University of Tampere. Tidak diterbitkan.


(5)

Sumarmo, U. (2006). Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. [Online]. Tersedia: http://math.sps.upi.edu/wp-content [6 Maret 2010].

Suryadi, S. dan Herman, T. (2002). Pembelajaran Pemecahan Masalah. Jakarta: Karya Duta Wahana.

Suryadi, S. (2010). “Metapedadidactic and Didactical Design Research (DDR): Synthesization Base on Lesson Study”. Dalam T. Hidayat. et al. (Eds.). Teori, Paradigma, Prinsip, dan Pendekatan Pembelajaran MIPA dalam Konteks Indonesia, 55-76. Bandung: FMIPA UPI.

Treffers, A. (1991). “Didactical Background of a Mathematics Program for Primary Education”. Dalam L. Streefland (Ed.), Realistic Mathematics Education in Primary School on the Occasion of the Opening of the Freudenthal Institute, 11- 56. Utrecht: Technipress.

Turmudi. (2003). Model Buku Pelajaran Matematika Sekolah Menengah Pertama: Panduan Pengembangan. Jakarta: Depdiknas.

---, (2011). “Professional Development for Junior Secondary School Mathematics Teacher Based on the Realistic Mathematics Framework in Indonesia”. Far East Journal of Mathematical Education. 7, (1), 11 – 56. Tutorial SPSS 17 [Statistical Software]. (2008). Chicago: SPSS Inc.

Uyanto, S. S. (2009). Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Van den Heuvel-Panhuizen, M. (2000). Mathematics Education in the Netherlands: A Guided Tour. Utrecht: Utrecht University.

---. (2001). “Realistic Mathematics Education as Work in Progress”. Dalam F.L. Lin (Ed.), Common Sense in Mathematics, 1 – 43. Proceeding of 2001 the Netherlands and Taiwan Conference on Mathematics Education, Taipei, Taiwan.

Walpole, R.E. dan Myers, R. (1989). Ilmu Peluang dan Statistika untuk Insinyur dan Ilmuwan (edisi ke-empat). Terjemahan oleh Sembiring, R.K., 1995. Bandung: ITB.

Wijaja, Y. B dan Heck, A. (2003). “How a Realistic Mathematics Education Approach and Microcomputer – Base Laboratory Worked in Lesson on Graphing at an Indonesian Junior High School”. Journal of Science and Mathematics Education in Southeast Asia. 26, (2), 1 – 51.


(6)

Winne, P.H. dan Nesbit, J.C. (2009). “Supporting Self-Regulated Learning with Cognitive Tools”. Dalam D.J. Hacker, J. Dunlosky, dan A.C. Graesser (Eds.). Handbook of Metacognition in Education, 259 – 277. New York: Routledge.

Winne, P.H. dan Perry, A.N.E. (2005). “Measuring Self-Regulated Learning”. Dalam M. Boekaerts, P.R. Pintrich, dan M. Zeidner (Eds.). Handbook of Self-Regulation, 531 – 566. San Diego: Academic Press.

Wolters, C.A., Pintrich, P.R., dan Karabenick, S.A. (2003). “Assessing Self-Regulated Learning”. Makalah pada the Conference on Indicators of Positive Development: Definitions, Measures, and Prospective Validity, National Institutes of Healty.

Yeager, A. dan Yeager, R. (2008). Teaching through the Mathematical Processes. [Online]. Tersedia: gains-camppp.wikispaces.com [17 Juni 2009].

Zimmerman, B.J, Bonner, S., dan Kovach, R. (1996). Developing Self-Regulated Learners Beyond Achievement to Self-Efficacy. Washington, DC: American Psychological Association.

Zimmerman, B.J. (1989). A Social Cognitive View of Sel-Regulated Academic Learning. Journal of Education Psycholog. 81, (3), 329-339.

Zimmerman, B.J. (1990). Sel-Regulated Learning and Academic Achievement: An Overview. Journal of Education Psychology. 25, (1), 3-17.

Zimmerman, B.J. (2005). “Attaining Self-Regulation: A Social Cognitive Perspective”. Dalam M. Boekaerts, P.R. Pintrich, dan M. Zeidner (Eds.). Handbook of Self-Regulation, 13 – 39. San Diego: Academic Press.

Zimmerman, B.J. (2002). “Becoming a Self-Regulated Learner: An Overview”. Theory Into Practice. 41, (2), 64 – 70.

Zimmerman, B.J., dan Martinez-Pons, M. (1986). “Development of a Structured Interview for Assessing Student Use of Self-Regulated Learning Strategies”. American Educational Research Journal. 23, (4), 614 – 628.