KRITERIA VISIBILITAS HILAL DI INDONESIA MENGGUNAKAN MODEL FUNGSI VISIBILITAS KASTNER.

(1)

Hilmansyah, 2013

KRITERIA VISIBILITAS HILAL DI INDONESIA

MENGGUNAKAN MODEL FUNGSI VISIBILITAS KASTNER

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Jurusan Pendidikan Fisika Program Studi Fisika

Oleh

HILMANSYAH 0608545

PROGRAM STUDI FISIKA JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG


(2)

Hilmansyah, 2013

Kriteria Visibilitas Hilal di Indonesia

Menggunakan Model Fungsi

Visibilitas Kastner

Oleh Hilmansyah

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

© Hilmansyah 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Agustus 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

Hilmansyah, 2013

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

HILMANSYAH 0608545

KRITERIA VISIBILITAS HILAL DI INDONESIA MENGGUNAKAN MODEL FUNGSI VISIBILITAS KASTNER

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING :

Pembimbing I,

Judhistira Aria Utama. M.,Si NIP. 197703312008121001

Pembimbing II,

Drs. Taufik Ramlan Ramalis M.Si. NIP. 195904011986011001

Mengetahui,

Ketua Jurusan Pendidikan Fisika,

Dr. Ida Kaniawati, M.Si. NIP. 196807031992032001


(4)

v

Hilmansyah, 2013

KRITERIA VISIBILITAS HILAL DI INDONESIA MENGGUNAKAN MODEL FUNGSI VISIBILITAS KASTNER

Nama : Hilmansyah

NIM : 0608545

Pembimbing : 1. Judhistira Aria Utama, M.Si. 2. Drs. Taufik Ramlan Ramalis, M.Si. Program Studi : S-1 Fisika FPMIPA UPI

ABSTRAK

Perbedaan penentuan awal bulan hijriyah disebabkan karena adanya perbedaan kriteria dari setiap metode yang digunakan baik metode hisab (perhitungan) maupun metode rukyat (pengamatan). Hal ini dikarenakan masing-masing pengguna metode menganggap dalil syar’i yang mereka gunakan adalah yang paling kuat. Metode visbilitas hilal (kemungkinan hilal bisa diamati) dapat menjadi titik temu antara dua metode (metode hisab dan metode rukyat). Selama ini kriteria yang digunakan hanya didasarkan pada geometri fisis Bulan – Matahari. Ada faktor lain yang mempengaruhi kenampakan hilal yaitu keadaan atmosfer saat hilal diamati. Dalam skripsi ini akan dilakukan penelitian untuk memperoleh kriteria visibilitas hilal menggunakan model fungsi visibilitas Kastner memanfaatkan data kesaksian melihat hilal yang dihimpun oleh Kementerian Agama Republik Indonesia (RI) dari tahun 1962 sampai tahun 2011. Adapun metode yang digunakan yaitu deskriptif analitik. Dengan merajah data berdasarkan umur Bulan dan elongasi, beda tinggi dan beda azimut, serta beda tinggi dan elongasi maka didapat kriteria berupa batasan-batasan minimum dari beberapa parameter fisis (umur Bulan, elongasi, beda tinggi Bulan-Matahari, dan beda azimut Bulan-Matahari) yang akan menjadi acuan dalam penentuan awal bulan hijriyah. Hasil yang diperoleh dapat menjadi usulan kriteria tunggal yang memiliki landasan ilmiah yang kokoh di Indonesia.

Kata Kunci : keadaan atmosfer, kriteria visibilitas hilal, model fungsi visibilitas Kastner


(5)

vi

Hilmansyah, 2013

KRITERIA VISIBILITAS HILAL DI INDONESIA MENGGUNAKAN MODEL FUNGSI VISIBILITAS KASTNER

Nama : Hilmansyah

NIM : 0608545

Pembimbing : 1. Judhistira Aria Utama, M.Si. 2. Drs. Taufik Ramlan Ramalis, M.Si. Program Studi : S-1 Fisika FPMIPA UPI

ABSTRACT

Differences in the initial determination hijriyah months due to differences in the criteria of each method used both methods of reckoning (calculation) and rukyat method (observation). This is because each user Sharai method considers the arguments they use is the most powerful. Visbilitas method hilal (new moon possibility could be observed) can be a meeting point between the two methods (the method of reckoning and methods rukyat). So far, the criteria used is based solely on physical geometry of the Moon - the Sun. There are other factors that affect the appearance of the crescent moon as observed state of the atmosphere. In this thesis research will be carried out to obtain the new moon visibility criterion model visibility function Kastner see hilal testimony utilize data collected by the Ministry of Religious Affairs of the Republic of Indonesia (RI) from 1962 until 2011. The method used is descriptive and analytical. With data based on the age of the Moon merajah and elongation, height difference and different azimuth, height difference and elongation as well as the importance of the criteria such as minimum limits of some physical parameters (ages Month, elongation, height difference of the Moon and the Sun, and the Moon-Sun azimuth difference ) which will be referred for early determination hijriyah. The results obtained can be proposed single criterion that has a solid scientific foundation in Indonesia. Keywords: state of the atmosphere, moon visibility criterion, the model visibility


(6)

vi

Hilmansyah, 2013

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... Error! Bookmark not defined. KATA PENGANTAR ... Error! Bookmark not defined. UCAPAN TERIMAKASIH ... Error! Bookmark not defined. ABSTRAK ... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined. 1.1. Latar Belakang Masalah ... Error! Bookmark not defined. 1.2. Rumusan Masalah ... Error! Bookmark not defined. 1.3. Batasan Masalah... Error! Bookmark not defined. 1.4. Tujuan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 1.6. Manfaat Penelitian ... Error! Bookmark not defined.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined. 2.1. Gerak Bulan ... Error! Bookmark not defined. 2.2. Fase-fase Bulan ... Error! Bookmark not defined. 2.3. Hilal ... Error! Bookmark not defined. 2.4. Metode Rukyat ... Error! Bookmark not defined. 2.5. Metode Hisab ... Error! Bookmark not defined. 2.6. Ragam Kriteria Visibilitas Hilal... Error! Bookmark not defined.

2.6.1. Kriteria visibilitas hilal babilonia ... Error! Bookmark not defined.


(7)

vii

Hilmansyah, 2013

2.6.3. Kriteria visibilitas hilal danjon ... Error! Bookmark not defined.

2.6.4. Kriteria visibilitas hilal odeh ... Error! Bookmark not defined.

2.6.5. Kriteria visibilitas hilal ilyas ... Error! Bookmark not defined.

2.6.6.Kriteria visibilitas hilal di indonesia ... Error! Bookmark not defined. 2.7. Formulasi Fungsi Visibilitas Kastner ...……….Error! Bookmark not defined. 2.7.1. Kecerahan bulan di luar atmosfer bumi (L*) ... Error! Bookmark not defined. 2.7.2. Kecerahan bulan di permukaan bumi (LC) ... Error! Bookmark not defined. 2.7.3. Kecerahan langit senja (L) ... Error! Bookmark not defined.

2.7.4. Kecerahan langit malam (La) ... Error! Bookmark not defined. 2.7.5. Fungsi visibilitas kastner ... Error! Bookmark not defined.

BAB III METODE PENELITIAN... Error! Bookmark not defined. 3.1. Metode Penelitian... Error! Bookmark not defined. 3.2. Metode Pengolahan Data ... Error! Bookmark not defined.

3.2.1. Seleksi utama ... Error! Bookmark not defined.

3.2.2. Seleksi tambahan... Error! Bookmark not defined.

3.2.3. Menentukan data parameter fisis bulan–matahari .... Error! Bookmark not defined.

3.2.4. Seleksi dengan model kastner ... Error! Bookmark not defined.

3.2.4. Penentuan kriteria visibilitas hilal ... Error! Bookmark not defined. 3.3 Alur Proses Penelitian ... Error! Bookmark not defined.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANError! Bookmark not defined. 4.1. Hasil Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 4.2. Pembahasan ... Error! Bookmark not defined.

4.2.1. Umur bulan minimum dan elongasi ... Error! Bookmark not defined.

4.2.2. Beda tinggi dan beda azimut ... Error! Bookmark not defined.

4.2.3. Beda tinggi dan elongasi ... Error! Bookmark not defined.

4.3. Unjuk Kerja Model Kastner dan Kriteria Visibilitas Hilal UPIError! Bookmark not defined.

4.3.1. Prediksi visibilitas hilal awal ramadhan 1434 H/2013 MError! Bookmark not defined.


(8)

viii

Hilmansyah, 2013

4.3.3. Prediksi visibilitas hilal awal djulhijjah 1434 H/2013 MError! Bookmark not defined.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... Error! Bookmark not defined. 5.1. Kesimpulan ... Error! Bookmark not defined. 5.2. Saran ... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined. LAMPIRAN-LAMPIRAN ... Error! Bookmark not defined.


(9)

ix

Hilmansyah, 2013

DAFTAR TABEL

Tabel

2.1. Kriteria kriteria visibilitas hilal Indian Astronomical Ephemeris ... 13

2.2. Nilai beda tinggi untuk beragam lebar sabit Bulan ... 14

4.1. Data rukyat yang memenuhi kriteria utama ... 23

4.2. Hilal dan parameter fisisnya berdasarkan prediksi model Kastner ... 25

4.3. Perbandingan nilai elongasi dan umur bulan ... 27

4.4. Perbandingan nilai beda tinggi dan beda azimut ... 29

4.5. Perbandingan nilai parameter fisis pada 08 Juli 2013 ... 32

4.6. Perbandingan nilai parameter fisis pada 07 Agustus 2013 ... 33


(10)

x

Hilmansyah, 2013

DAFTAR GAMBAR

Gambar

2.1. Ilustrasi perbedaan waktu sideris dan sinodis Bulan... 8

2.2. Fase-fase Bulan ... 9

2.3. Hilal ... 10

3.1. Diagram alur proses penentuan kriteria visibilitas hilal ... 22

4.1. Grafik sebaran umur Bulan terhadap elongasinya ... 27

4.2. Grafik sebaran beda tinggi terhadap beda azimutnya ... 28

4.3. Grafik sebaran beda tinggi terhadap elongasinya ... 30

4.4. Grafik fungsi visibilitas pada tanggal 08 Juli 2013 ... 32

4.5. Grafik fungsi visibilitas pada 07 Agustus 2013 ... 34


(11)

xi

Hilmansyah, 2013

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Data rekapitulasi perukyat yang berhasil 2. Pengolahan data model Kastner


(12)

1 Hilmansyah, 2013

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Penentuan waktu merupakan hal yang sangat penting artinya dalam kehidupan manusia. Suatu peradaban dikatakan maju apabila peradaban tersebut memiliki penanggalan yang secara praktis dapat digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa di antaranya digunakan dalam keperluan pemerintahan dan politik, ekonomi, bercocok tanam, bahkan untuk keperluan ritual keagamaan. Mengingat pentingnya penanggalan tersebut, maka perlu adanya otoritas tunggal yang berwenang menetapkannya.

Peradaban Islam merupakan salah satu peradaban yang sangat memperhatikan soal waktu. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam sendiri hingga saat ini belum memiliki sistem penanggalan hijriyah yang terpadu dan menyeluruh yang menyatukan penanggalan hijriyah di seluruh dunia. Sampai saat ini hanya ada penanggalan atau kalender hijriyah yang bersifat lokal yang hanya berlaku bagi kawasan atau kelompok tertentu dan tidak berlaku bagi kawasan atau kelompok yang lainnya. Akibat dari keadaan ini adalah bahwa umat Islam tidak dapat menyeragamkan hari-hari yang menyangkut masalah peribadatan, seperti puasa dan berhari raya serta berhaji dalam hal wukuf di Arafah (09 Djulhijjah) dan Idul Adha (10 Djulhijjah). Hal ini sangat ironis, karena keadaan ini mengesankan bahwa umat Islam seolah-olah tidak memiliki kalender yang mapan.

Perbedaan penentuan awal bulan hijriyah telah menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah. Bila masalah ini dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan ketidaknyamanan masyarakat dalam menjalankan ibadahnya


(13)

2

Hilmansyah, 2013

khususnya bagi kaum minoritas yang kerap kali berbeda dalam memulai puasa maupun Idul Fitri dan Idul Adha. Jika tidak segera diatasi tentu akan menimbulkan dampak gangguan pada tatanan sosial masyarakat karena menyangkut aktivitas massal. Hal yang tidak diinginkan mungkin saja terjadi, seperti saling menyalahkan atau bahkan mengkafirkan pihak lain, tumbuhnya fanatisme terhadap kelompok tertentu dan mengabaikan persatuan umat, serta perang opini berbagai pihak yang berpotensi menimbulkan keresahan.

Perbedaan kriteria dalam penentuan awal bulan ditengarai menjadi penyebab umat Islam Indonesia dalam beberapa kesempatan hingga kini tidak serentak dalam memulai maupun mengakhiri peribadatan yang bersifat massal. Di Indonesia ada beberapa ormas (organisasi massa) yang menggunakan metode berbeda, yaitu metode hisab (perhitungan) dan metode rukyat (observasi). Muhammadiyah menggunakan metode hisab dengan kriteria wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk; hilal merupakan salah satu fase Bulan yang terbentuk pascakonjungsi sebelum Matahari terbenam dan dapat diamati pascaterbenamnya Matahari) dengan prinsip wilayatul hukmi (hilal wujud di sebagian wilayah akan berlaku untuk seluruh wilayah hukum di seluruh Indonesia). Kriteria wujudul hilal ini mendapat pertentangan dari beberapa kalangan karena tidak sesuai dengan

dalil syar’i yang biasa digunakan untuk memulai ibadah puasa yang

mengharuskan hilal dapat dirukyat (diamati).

Sedangkan di sisi lain Nahdlatul Ulama (NU) yang menggunakan metode rukyat dan kriteria visibilitas hilal 2° sebagai pendamping rukyatnya, tidak jarang memicu pula perbedaan ketika ada kesaksian berupa laporan hasil rukyat padahal ketinggian hilal (Bulan sabit yang teramati segera setelah fase Bulan baru/konjungsi) masih di bawah kriteria yang mereka gunakan. Ketika ketinggian hilal positif tapi kurang dari 2° peluang terjadinya perbedaan sangat terbuka. Berdasarkan prediksi perhitungan atau hisab, masih terdapat potensi perbedaan karena ketinggian Bulan di bawah 2° untuk tahun-tahun yang akan datang.


(14)

3

Hilmansyah, 2013

Sementara ormas Persatuan Islam (PERSIS), meskipun sudah menganut kriteria visibilitas hilal namun nilai parameter fisisnya memberikan nilai yang lebih besar daripada kriteria yang digunakan pemerintah. Sehingga masih berpeluang terjadinya perbedaan. Bila tidak diambil langkah-langkah solutif, maka selamanya perbedaan itu akan tetap ada. Perdebatan dalil syar’i antarormas atau kelompok cenderung tidak menyelesaikan masalah karena masing-masing ormas atau kelompok menganggap dalil yang mereka gunakan paling kuat (Djamaluddin, 2011).

Menurut Djamaluddin (2011), hisab dan rukyat tidak perlu dipertentangkan lagi karena keduanya setara dan saling melengkapi. Secara astronomi, hisab dan rukyat bisa dipersatukan dengan menggunakan kriteria visibilitas hilal (kemungkinan hilal dapat diamati) yang didasarkan pada hasil rukyat jangka panjang dan dihitung secara hisab. Kriteria ini digunakan untuk menghindari rukyat yang meragukan dan dapat digunakan untuk penentuan awal bulan berdasarkan hisab. Dengan demikian diharapkan hasil hisab dan rukyat selalu seragam.

Kriteria visibilitas hilal merupakan kajian astronomi yang terus berkembang, bukan hanya untuk penentuan awal bulan komariyah, tetapi juga merupakan tantangan saintifik bagi para pengamat hilal. Selain faktor geometrik, ada beberapa aspek penting yang berpengaruh pada penentuan kriteria visibilitas hilal, di antaranya: lebar dan kecerahan sabit Bulan, serapan cahaya Bulan oleh atmosfer, kondisi latar depan berupa hamburan cahaya Matahari oleh atmosfer di horison, serta kemungkinan adanya objek lain selain Bulan sebagai objek pengecoh di arah pandang yang berdekatan dengan posisi Bulan berada.

Di Indonesia sendiri ada beberapa usulan untuk kriteria visibilitas hilal yang akan digunakan. Pemerintah melalui Kementerian Agama menganut suatu kriteria yaitu Kriteria MABIMS yang diadopsi dari pertemuan Menteri-Menteri Agama (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) yaitu ketinggian minimal 2°. Namun kriteria tersebut tidak menjamin terlihatnya hilal. Sebagai


(15)

4

Hilmansyah, 2013

solusi sementara yang bisa diambil, Djamaludin (2011) mengusulkan kriteria visibilitas hilal yang kemudian disebut sebagai Kriteria LAPAN yang disempurnakan dengan memperhitungkan beda azimut walaupaun kriteria tersebut masih lebih rendah dari kriteria internasional.

Dari sekian banyak kriteria visibilitas hilal yang sudah ada tidak ada kriteria yang berlaku universal untuk seluruh lintang pengamat (Hoffman, 2003). Konfigurasi geometri memang berpengaruh terhadap visibilitas hilal, namun tidak semua lokasi pengamatan di seluruh permukaan bumi mempunyai peluang yang sama untuk dapat mengamati hilal berdasarkan konfigurasi tersebut. Ada faktor lain yang juga sangat berpengaruh terhadap visibilitas hilal, yaitu faktor kecerahan langit, terutama kecerahan langit senja. Menurut Mikhail et. al (1995), kecerahan langit senja diyakini berhubungan dengan lintang geografis, ketinggian lokasi dari permukaan laut, musim, dan kandungan aerosol di atmosfer.

Pada dasarnya nilai kecerahan langit bisa didapat dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama dilakukan dengan pengukuran langsung menggunakan instrumen fotometer seperti Sky Quality Meter (SQM). Pendekatan ke dua dengan cara perhitungan menggunakan formula matematis. Dalam penelitian ini akan diambil pendekatan ke dua guna mendapatkan kriteria visibilitas hilal yaitu dengan menggunakan model fungsi visibilitas Kastner (1976).

Fungsi visibilitas Kastner merupakan suatu model visibilitas pada saat senja untuk objek-objek langit (bintang, komet, dan planet) di dekat Matahari (Kastner, 1976). Perhitungan model fungsi visibilitas Kastner menyertakan faktor kecerahan objek di luar dan di dalam atmosfer Bumi, ekstingsi optis atmosfer sebagai fungsi ketinggian, sudut depresi Matahari yang berkontribusi terhadap kecerahan langit senja, dan kontribusi kecerahan langit malam.

Penggunaan model fungsi visibilitas Kastner dalam penelitian ini didasarkan pada pertimbangan karekteristik hilal, di antaranya posisi Bulan saat


(16)

5

Hilmansyah, 2013

konjungsi yang pada banyak kasus sangat berdekatan dengan Matahari, di samping bahwa kenampakan hilal yang bervariasi seperti berupa sumber cahaya titik (pada sudut elongasi yang kecil) hingga kenampakan berupa objek membentang dengan ketebalan beberapa menit busur. Diharapkan dengan model Kastner, hasil rukyat yang meragukan bisa diminimalisasi serta untuk jangka panjang dapat dijadikan acuan dalam penentuan awal bulan hijriyah.

Berdasarkan latar belakang, maka dalam Tugas Akhir ini Penulis

mengambil judul “Kriteria Visibilitas Hilal di Indonesia Menggunakan Model

Fungsi Visibilitas Kastner” dengan memanfaatkan data kesaksian mengamati hilal

yang dihimpun oleh Kementerian Agama RI dari tahun 1962 sampai tahun 2011 dan Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) dalam kurun waktu 2007 – 2009.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah penelitian yang diajukan adalah: Bagaimana kriteria visibilitas hilal di Indonesia menggunakan model fungsi visibilitas Kastner untuk modus pengamatan dengan mata telanjang?

Kriteria yang dimaksud adalah kriteria yang dibangun dari hasil observasi positif yang telah mengalami seleksi menggunakan model fungsi visibilitas Kastner. Data terseleksi dirajah berdasarkan umur Bulan dan elongasi, beda tinggi Bulan–Matahari dan beda azimut, serta beda tinggi Bulan–Matahari dan elongasi.

1.3. Batasan Masalah

Tersedia banyak kriteria yang dapat digunakan dalam penentuan awal bulan. Kriteria penentuan awal bulan dalam penelitian ini menggunakan empat parameter fisis, yaitu beda tinggi Bulan–Matahari, elongasi, beda azimut Bulan–


(17)

6

Hilmansyah, 2013

Matahari, dan umur Bulan. Pengambilan parameter fisis tersebut untuk alasan kemudahan dalam penentuan awal bulan. Selain itu, penulis membatasi penelitian ini untuk modus pengamatan dengan mata telanjang.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh kriteria visibilitas hilal di Indonesia dengan menggunakan model fungsi visibilitas Kastner untuk modus pengamatan mata telanjang.

1.6. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat menjadi usulan kriteria visibilitas hilal yang bisa dijadikan penentuan awal bulan hijriyah di Indonesia. Adapun manfaat lain dari penelitian ini yaitu sebagai kajian saintifik dalam pengamatan untuk objek-objek dekat Matahari saat senja khususnya terkait masalah hilal.


(18)

20

Hilmansyah, 2013

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan memanfaatkan laporan kesaksian merukyat hilal yang dihimpun oleh Kementerian Agama Republik Indonesia dari tahun 1962–2011 dan data kompilasi dari RHI periode 2007–2009. Kemudian mengolahnya menggunakan proses penyaringan berupa fungsi visibilitas Kastner untuk mendapatkan kriteria yang diharapkan.

3.2. Metode Pengolahan Data 3.2.1. Seleksi utama

Data yang sudah diperoleh diseleksi berdasarkan seleksi utama (Djamaluddin, 2001). Data dengan beda tinggi Bulan-Matahari kurang dari 4° dieliminasi, kecuali bila data tersebut dilaporkan oleh tiga kelompok pengamat independen dari tiga lokasi berbeda. Untuk data yang tidak menyertakan informasi beda–tinggi Bulan–Matahari, nilai ini diperoleh menggunakan bantuan perangkat lunak mooncalc ver 6.0 pada saat Matahari terbenam.

3.2.2. Seleksi tambahan

Data yang lolos seleksi utama akan diseleksi lagi berdasarkan seleksi tambahan (Djamaluddin, 2001), yaitu meminimalkan kesalahan saat pengamatan karena kehadiran objek lain di sekitar Bulan. Bila saat pengamatan terdapat planet


(19)

21

Hilmansyah, 2013

Venus atau Merkurius yang cukup terang berada dekat dengan posisi Bulan, maka data tersebut tidak digunakan.

3.2.3. Menentukan data parameter fisis bulanmatahari

Untuk mengetahui parameter fisis Bulan–Matahari digunakan perangkat lunak MoonCalc versi 6.0 dari Monzur Ahmed dengan pengaturan toposentrik (pengamat berada di permukaan Bumi) dan menyertakan efek refraksi. Beberapa parameter fisis yang digunakan dalam perhitungan adalah sudut depresi dan azimut untuk Matahari. Sementara itu parameter fisis Bulan yang digunakan meliputi jarak zenit, azimut, elongasi, magnitudo semu visual, dan semidiameter.

3.2.4. Seleksi dengan model kastner

Untuk menguji validitas data dengan menyertakan faktor kecerahan langit senja digunakan formula yang diberikan Kastner (1976) untuk memperoleh nilai fungsi visibilitasnya (Δm). Pengolahan data dilakukan bantuan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Data yang lolos seleksi dengan model Kastner

adalah data yang memberikan nilai Δm positif yang merepresentasikan bahwa

hilal dapat diamati.

3.2.4. Penentuan kriteria visibilitas hilal

Sebaran data yang digunakan dalam menentukan kriteri visibilitas hilal adalah data dengan Δm positif yang menyatakan bahwa hilal dapat diamati. Penentuan kriteria visibilitas hilal diperoleh berdasarkan hasil rajah data menurut umur Bulan dan elongasi (ARCL – Arc of Light), beda tinggi Bulan–Matahari (ARCV – Arc of Vision) dan elongasi, serta beda tinggi Bulan–Matahari dan beda azimut (DAZ – Delta Azimut).


(20)

22

Hilmansyah, 2013

3.3. Alur Proses Penelitian

Secara singkat, alur proses penelitian dapat dilihat pada diagram berikut:

Gambar 3.1 Diagram alur proses penentuan kriteria visibilitas hilal

Mulai

Data

Analisis data

Selesai Lolos Seleksi

Utama?

Lolos uji model Kastner? Lolos Seleksi

Tambahan?

Hasil Tidak

Tidak

Ya Ya

Ya

Tidak

Dieliminasi

Dieliminasi


(21)

35

Hilmansyah, 2013

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan data kesaksian mengamati hilal di Indonesia yang berhasil dihimpun maka dapat diturunkan beberapa parameter fisis Bulan–Matahari untuk dijadikan kriteria visibilitas hilal di Indonesia. Kriteria yang diperoleh dengan menggunakan model fungsi visibilitas Kastner dirumuskan sebagai berikut:

1. Agar hilal dapat diamati maka umur Bulan  14,7 jam setelah terjadinya fase konjungsi dan elongasinya  7,8 derajat.

2. Nilai beda tinggi (ARCV) minimum 9,52 derajat untuk beda azimut nol dan memenuhi pertidaksamaan ARCV  0,1(DAZ)2 – 1,138(DAZ) + 9,515 untuk beda azimut yang lain.

3. Linieritas empirik antara beda tinggi dan elongasi memenuhi pertidaksamaan ARCV  0,496(ARCL) + 2,409 yang menyatakan semakin besar elongasi maka semakin besar pula nilai beda tinggi Bulan-Matahari.

5.2. Saran

Kriteria yang didapat dari penelitian ini masih bersifat dinamis, bisa berubah seiring dengan bertambahnya data pengamatan yang digunakan dalam menentukan kriteria tersebut. Mengingat hal itu, maka diperlukan lebih banyak data pengamatan guna mendapatkan kriteria yang lebih valid. Untuk selanjutnya hasil penelitian ini dapat dijadikan usulan kriteria visibilitas hilal yang akan digunakan di Indonesia untuk modus pengamatan dengan mata telanjang.


(22)

36

Hilmansyah, 2013

Mengingat pentingnya penelitian ini, maka perlu adanya penelitian lebih lanjut terkait kriteria visibilitas hilal. Penelitian yang dimaksud adalah penelitian kriteria visibilitas hilal untuk modus pengamatan dengan bantuan alat optik seperti binokuler dan teleskop.


(23)

Hilmansyah, 2013

DAFTAR PUSTAKA

Djamaluddin, T. 2001. Re-evaluation of Hilaal Visibility in Indonesia. LEMBAGA PENERBANGAN ANTARIKSA NASIONAL.

Djamaluddin, T. 2011. Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Ummat. LEMBAGA PENERBANGAN ANTARIKSA NASIONAL.

Domkus, O. 1997. Islamic Crescents Observation Project. [Online].

Tersedia: http://www.icoproject.org/album/18sha113097.jpg diakses [07 Februari 2013]

Fatoohi, F., Stephenson, F.R., Al-Dargazelli, S.S. 1988. “The Danjon Limit of

First Visibility of Lunar Crescent” Department of Physics, University of Durham.

http://www.moonconnection.com/moon_phases.phtmldiakses tanggal 9 Juni 2013 Hoffman, R.E. 2003, Observing the New Moon. Mon. Not. R. Astron. Soc. 340,

1039-1051

Ilyas, M. 1988, Limiting Altitude Separation in the New Moon’s Visibility

Criterion, Astron and Astrophys., 206, 133-135.

Kastner, S.O. 1976. Calculation of the Twilight Visibility Function of Near-Sun

Object. The Journal of The Royal Astronomical Society of Canada. 70,

(4), 153-168.

Mikhail, J.S., Assaad, A.S., Nawar, S., Hassanin, N.Y. 1995. Improving the

Crescent Visibility Limits Due to Factors Causing decrease in the Sky Twighlight Brightness. Earth, Moon and Planets. 70

Odeh, M. S. 2006. New Criterion for Lunar Crescent Visibility. Experimental Astronomy. 18, 39-64


(24)

Hilmansyah, 2013

Schaefer , B.E. 1996. Lunar Crescent Visibility Quarterly Journal of the Royal Astronomical Society. 37, 759-768

Utama, J.A., Siregar, S. (komunikasi pribadi) “Usulan Kriteria Visibilitas Hilal


(1)

Venus atau Merkurius yang cukup terang berada dekat dengan posisi Bulan, maka data tersebut tidak digunakan.

3.2.3. Menentukan data parameter fisis bulanmatahari

Untuk mengetahui parameter fisis Bulan–Matahari digunakan perangkat lunak MoonCalc versi 6.0 dari Monzur Ahmed dengan pengaturan toposentrik (pengamat berada di permukaan Bumi) dan menyertakan efek refraksi. Beberapa parameter fisis yang digunakan dalam perhitungan adalah sudut depresi dan azimut untuk Matahari. Sementara itu parameter fisis Bulan yang digunakan meliputi jarak zenit, azimut, elongasi, magnitudo semu visual, dan semidiameter.

3.2.4. Seleksi dengan model kastner

Untuk menguji validitas data dengan menyertakan faktor kecerahan langit senja digunakan formula yang diberikan Kastner (1976) untuk memperoleh nilai fungsi visibilitasnya (Δm). Pengolahan data dilakukan bantuan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Data yang lolos seleksi dengan model Kastner adalah data yang memberikan nilai Δm positif yang merepresentasikan bahwa hilal dapat diamati.


(2)

22

3.3. Alur Proses Penelitian

Secara singkat, alur proses penelitian dapat dilihat pada diagram berikut:

Gambar 3.1 Diagram alur proses penentuan kriteria visibilitas hilal Mulai Data Analisis data Selesai Lolos Seleksi Utama?

Lolos uji model Kastner? Lolos Seleksi Tambahan? Hasil Tidak Tidak Ya Ya Ya Tidak Dieliminasi Dieliminasi Dieliminasi


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan data kesaksian mengamati hilal di Indonesia yang berhasil dihimpun maka dapat diturunkan beberapa parameter fisis Bulan–Matahari untuk dijadikan kriteria visibilitas hilal di Indonesia. Kriteria yang diperoleh dengan menggunakan model fungsi visibilitas Kastner dirumuskan sebagai berikut:

1. Agar hilal dapat diamati maka umur Bulan  14,7 jam setelah terjadinya fase konjungsi dan elongasinya  7,8 derajat.

2. Nilai beda tinggi (ARCV) minimum 9,52 derajat untuk beda azimut nol dan memenuhi pertidaksamaan ARCV  0,1(DAZ)2 – 1,138(DAZ) + 9,515 untuk beda azimut yang lain.

3. Linieritas empirik antara beda tinggi dan elongasi memenuhi pertidaksamaan ARCV  0,496(ARCL) + 2,409 yang menyatakan semakin besar elongasi maka semakin besar pula nilai beda tinggi Bulan-Matahari.

5.2. Saran

Kriteria yang didapat dari penelitian ini masih bersifat dinamis, bisa berubah seiring dengan bertambahnya data pengamatan yang digunakan dalam


(4)

36

Mengingat pentingnya penelitian ini, maka perlu adanya penelitian lebih lanjut terkait kriteria visibilitas hilal. Penelitian yang dimaksud adalah penelitian kriteria visibilitas hilal untuk modus pengamatan dengan bantuan alat optik seperti binokuler dan teleskop.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Djamaluddin, T. 2001. Re-evaluation of Hilaal Visibility in Indonesia. LEMBAGA PENERBANGAN ANTARIKSA NASIONAL.

Djamaluddin, T. 2011. Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Ummat. LEMBAGA PENERBANGAN ANTARIKSA NASIONAL.

Domkus, O. 1997. Islamic Crescents Observation Project. [Online].

Tersedia: http://www.icoproject.org/album/18sha113097.jpg diakses [07 Februari 2013]

Fatoohi, F., Stephenson, F.R., Al-Dargazelli, S.S. 1988. “The Danjon Limit of

First Visibility of Lunar Crescent” Department of Physics, University of Durham.

http://www.moonconnection.com/moon_phases.phtmldiakses tanggal 9 Juni 2013

Hoffman, R.E. 2003, Observing the New Moon. Mon. Not. R. Astron. Soc. 340, 1039-1051

Ilyas, M. 1988, Limiting Altitude Separation in the New Moon’s Visibility

Criterion, Astron and Astrophys., 206, 133-135.

Kastner, S.O. 1976. Calculation of the Twilight Visibility Function of Near-Sun

Object. The Journal of The Royal Astronomical Society of Canada. 70,

(4), 153-168.


(6)

Schaefer , B.E. 1996. Lunar Crescent Visibility Quarterly Journal of the Royal Astronomical Society. 37, 759-768

Utama, J.A., Siregar, S. (komunikasi pribadi) “Usulan Kriteria Visibilitas Hilal