FAKTOR-FAKTOR KECERAHAN LANGIT SENJA DAN PENGARUHNYA TERHADAP NILAI MINIMUMPARAMETER-PARAMETER FISIS VISIBILITAS HILAL.

(1)

FAKTOR-FAKTORKECERAHANLANGITSENJADAN

PENGARUHNYATERHADAPNILAIMINIMUM

PARAMETER-PARAMETERFISIS

VISIBILITASHILAL

SKRIPSI

diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Fisika

Oleh

RAHAYU NINGSIH NIM: 1000726

DEPARTEMEN PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


(2)

FAKTOR-FAKTOR

KECERAHAN

LANGIT

SENJA

DAN

PENGARUHNYA

TERHADAP

NILAI

MINIMUM

PARAMETER-PARAMETER

FISIS

VISIBILITAS

HILAL

Oleh Rahayu Ningsih

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

© Rahayu Ningsih 2015 Universitas Pendidikan Indonesia

Januari 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang.


(3)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “

FAKTOR-FAKTOR KECERAHAN LANGIT SENJA DAN PENGARUHNYA

TERHADAP NILAI MINIMUM PARAMETER-PARAMETER FISIS

VISIBILITAS HILAL” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, Desember 2014 Yang membuat pernyataan,

Rahayu Ningsih NIM. 1000726


(5)

FAKTOR-FAKTOR KECERAHAN LANGIT SENJA DAN PENGARUHNYA TERHADAP NILAI MINIMUM

PARAMETER-PARAMETER FISIS VISIBILITAS HILAL

Nama : Rahayu Ningsih

NIM : 1000726

Pembimbing : 1. Judhistira Aria Utama, M.Si. 2. Drs. Taufik Ramlan Ramalis, M.Si. Program Studi : S-1 Fisika FPMIPA UPI

ABSTRAK

Belum disepakatinya suatu kriteria tunggal yang memiliki landasan ilmiah kokoh ditengarai menjadi penyebab Muslim Indonesia dalam beberapa kesempatan tidak serentak dalam menentukan awal dan akhir bulan Hijriyah. Pemerintah melalui Kementerian Agama menganut suatu kriteria yang disebut imkanur rukyat MABIMS. Kriteria ini masih dipertanyakan landasan ilmiahnya. Dalam naskah ini diinvestigasi kemudahan mengamati hilal dari wilayah tropis dan subtropis dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkontribusi dalam mempengaruhi kecerahan langit senja, yaitu musim, elevasi, dan kondisi atmosfer setempat. Laporan pengamatan yang bersumber dari pangkalan data ICOP (Islamic

Crescent Observation Program) dikelompokkan berdasarkan lintang geografis (tropis dan

subtropis), selanjutnya dirinci berdasarkan musim, elevasi, dan polusi aerosolnya.

Selanjutnya data dirajah ke dalam grafik umur hilal (AGE) terhadap elongasi (ARCL Arc of

Light) dan elongasi terhadap beda tinggi Bulan-Matahari (ARCV Arc of Vision). Temuan yang didapatkan dalam modus pengamatan mata telanjang untuk wilayah tropis yaitu, AGE

termuda 16,8 jam, ARCL terdekat 8,6o, dan ARCV terendah 8,4o serta untuk kasus hilal yang

hanya dapat diamati dengan bantuan alat optic diperoleh AGE termuda 17 jam, ARCL terdekat 8,7o, dan ARCV terendah 8,5o. Nilai minimal yang dihasilkan pada kedua modus pengamatan diperoleh dari pengamatan pada saat musim kering di ketinggian lokasi 0–600 meter dari permukaan laut di wilayah sub-urban. Sementara untuk wilayah subtropis dalam

modus mata telanjang diperoleh AGE termuda 15,5 jam, ARCL terdekat 7,6o, dan ARCV

terendah 7,6o dari pengamatan saat musim dingin di ketinggian lokasi 1500–2500 meter dari

permukaan laut di wilayah sub-urban, serta pada modus berbantuan alat diperoleh AGE

minimum 12,96 jam, ARCL terdekat 7,02o, dan ARCV terendah 4,15o dari pengamatan saat

musim dingin di ketinggian lokasi 600-1500 meter dari permukaan laut di wilayah sub-urban. Kata kunci: kecerahan langit senja, kriteria visibilitas hilal, visibilitas hilal.


(6)

CONTRIBUTION OF SOME FACTORS TO THE SKY TWILIGHT BRIGHTNESS AND THEIR INFLUENCES ON MINIMUM

VALUE OF THE PHYSICAL PARAMETERS OF THE LUNAR CRESCENT VISIBILITY

ABSTRACT

We investigate the ease of observing hilal for tropic and subtropic region by considering the factors that contribute to the sky twilight brightness, i.e. seasons, elevation and local atmospheric conditions. Observation reports come from the ICOP (Islamic Crescent Observation Program) database have been grouped based on geographical latitude (tropic and subtropic), to further detailed by season, elevation and aerosol pollution. Data is plot into the age of the hilal (AGE) and elongation (ARCL – Arc of Light) and elongation to altitude difference of the Moon-Sun (ARCV – Arc of Vision). The findings obtained in naked eye observation mode for tropic region are the youngest age of the hilal 16.8 hours, the nearest elongation 8.6o and lowest elongation to altitude difference 8.4o and in optical-aided observation mode, the youngest age of the hilal 17 hours, the nearest elongation 8.7o and

lowest elongation to altitude difference 8.5o. The minimum value of both observation mode

are obtained during dry season at altitude 0-600 meters above sea level in suburban. For subtropical region in naked eye observation mode, we obtained the youngest age of the hilal is 15.5 hours, the nearest elongation 7.6o and the lowest elongation to altitude difference 7.6o of observations during the winter in altitude from 1,500 to 2,500 meters above sea level in suburban. In optical-aided observation mode for the same region, we obtained the youngest

age 12.96 hours, the nearest elongation 7.02o and the lowest elongation to altitude difference

4.15o of observations during the winter in altitude from 600 to 1,500 meters above sea level

in suburban.


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... Error! Bookmark not defined. UCAPAN TERIMA KASIH ... Error! Bookmark not defined. ABSTRAK ... Error! Bookmark not defined. ABSTRACT ... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi BAB I ... Error! Bookmark not defined. PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined. 1.1 Latar Belakang Masalah ... Error! Bookmark not defined. 1.2Rumusan Masalah ... Error! Bookmark not defined. 1.3 Tujuan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 1.4 Manfaat Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 1.5 Sistematika Penulisan Skripsi ... Error! Bookmark not defined. BAB II ... Error! Bookmark not defined. TINJAUAN PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined. 2.1 Bulan ... Error! Bookmark not defined. 2.2 Fase Bulan ... Error! Bookmark not defined. 2.3 Hilal ... Error! Bookmark not defined. 2.4 Kriteria Visibilitas Hilal ... Error! Bookmark not defined. 2.4.1 Kriteria Visibilitas Hilal Internasional ... Error! Bookmark not defined. 2.4.2 Kriteria Visibilitas Hilal Indonesia ... Error! Bookmark not defined. 2.4.3 Perkembangan Penelitian Visibilitas Hilal . Error! Bookmark not defined. BAB III ... Error! Bookmark not defined. METODE PENELITIAN ... Error! Bookmark not defined. 3.1 Metode Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 3.2 Alur Proses Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 3.3 Metode Pengolahan Data ... Error! Bookmark not defined. 3.3.1 Pengelompokan Data Utama ... Error! Bookmark not defined. 3.3.2 Pengelompokan Data Tambahan ... Error! Bookmark not defined. 3.4 Koreksi Terhadap Nilai-nilai yang Digunakan sebagai Kriteria Imkanur

Rukyat ... Error! Bookmark not defined. BAB IV ... Error! Bookmark not defined. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... Error! Bookmark not defined. 4.1 Hasil Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 4.1.1 Data Pengamatan Hilal Internasional Wilayah Tropis .... Error! Bookmark

not defined.


(8)

4.1.1.2 Berdasarkan Faktor Ketinggian Pengamat Di Atas Permukaan Laut

(dpl) ... Error! Bookmark not defined.

4.1.1.3 berdasarkan faktor efek polusi aerosol ... Error! Bookmark not defined.

4.1.2 Data Pengamatan Hilal Internasional Wilayah Subtropis Error! Bookmark not defined.

4.1.2.1 Berdasarkan Faktor Musim Saat PengamatanError! Bookmark not defined.

4.1.2.2 Berdasarkan Faktor Ketinggian Pengamat Diatas Permukaan Laut

(dpl) ... Error! Bookmark not defined.

4.1.2.3 Berdasarkan Faktor Efek Polusi Aerosol ... Error! Bookmark not defined.

4.2Pembahasan ... Error! Bookmark not defined. 4.2.1 Wilayah Tropis ... Error! Bookmark not defined. 4.2.2 Wilayah Subtropis... Error! Bookmark not defined. BAB V ... Error! Bookmark not defined. SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI .. Error! Bookmark not defined. 5.1 Simpulan ... Error! Bookmark not defined. 5.2 Implikasi dan Rekomendasi ... Error! Bookmark not defined. DAFTAR PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined. LAMPIRAN ... Error! Bookmark not defined. RIWAYAT HIDUP ... Error! Bookmark not defined.


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Fase-fase Bulan ... Error! Bookmark not defined. Gambar 3.1. Diagram alur penelitian ... Error! Bookmark not defined. Gambar 4.1. (a) Grafik AGE-ARCL (b) Grafik ARCL-ARCV. Perbandingan

profil sebaran data hasil pengamatan dalam modus pengamatan mata telanjang (N), binokular (B), dan teleskop (T) di kawasan tropis ... Error! Bookmark not defined. Gambar 4.2. (a) Grafik AGE-ARCL (b) Grafik ARCL-ARCV. Perbandingan

profil sebaran data hasil pengamatan dalam modus pengamatan mata telanjang (N) dan binokular (B) di kawasan tropis saat musim basah ... Error! Bookmark not defined. Gambar 4.3. (a) Grafik AGE-ARCL (b) Grafik ARCL-ARCV. Perbandingan

profil sebaran data hasil pengamatan dalam modus pengamatan mata telanjang (N), binokular (B), dan teleskop (T) di kawasan tropis saat musim kering ... Error! Bookmark not defined. Gambar 4.4. (a) Grafik AGE-ARCL (b) Grafik ARCL-ARCV. Perbandingan

profil sebaran data hasil pengamatan dalam modus pengamatan mata telanjang (N), binokular (B), dan teleskop (T) di kawasan tropis ketinggian lokasi 0-600 mdpl .... Error! Bookmark not defined. Gambar 4.5. (a) Grafik AGE-ARCL (b) Grafik ARCL-ARCV. Perbandingan

profil sebaran data hasil pengamatan dalam modus pengamatan mata telanjang (N) di kawasan tropis ketinggian lokasi 600-1500 mdpl ... Error! Bookmark not defined. Gambar 4.6. (a) Grafik AGE-ARCL (b) Grafik ARCL-ARCV. Perbandingan

profil sebaran data hasil pengamatan dalam modus pengamatan mata telanjang (N) di kawasan tropis ketinggian lokasi > 2500 mdpl ... Error! Bookmark not defined. Gambar 4.7. (a) Grafik AGE-ARCL (b) Grafik ARCL-ARCV. Perbandingan

profil sebaran data hasil pengamatan dalam modus mata telanjang

(N) dan teleskop (T) di kawasan tropis dari daerah urbanError! Bookmark not defined. Gambar 4.8. (a) Grafik AGE-ARCL (b) Grafik ARCL-ARCV. Perbandingan

profil sebaran data hasil pengamatan dalam modus pengamatan mata telanjang (N), binokular (B), dan teleskop (T) di kawasan tropis dari daerah sub-urban ... Error! Bookmark not defined. Gambar 4.9. (a) Grafik AGE-ARCL (b) Grafik ARCL-ARCV. Perbandingan

profil sebaran data hasil pengamatan dalam modus pengamatan mata telanjang (N), binokular (B), dan teleskop (T) di kawasan subtropis. ... Error! Bookmark not defined. Gambar 4.10. (a) Grafik AGE-ARCL (b) Grafik ARCL-ARCV. Perbandingan


(10)

mata telanjang (N), binokular (B), dan teleskop (T) di kawasan subtropis saat musim gugur ... Error! Bookmark not defined. Gambar 4.11. (a) Grafik AGE-ARCL (b) Grafik ARCL-ARCV. Perbandingan

profil sebaran data hasil pengamatan dalam modus pengamatan mata telanjang (N), binokular (B), dan teleskop (T) di kawasan subtropis saat musim semi ... Error! Bookmark not defined. Gambar 4.12. (a) Grafik AGE-ARCL (b) Grafik ARCL-ARCV. Perbandingan

profil sebaran data hasil pengamatan dalam modus pengamatan mata telanjang (N), binokular (B), dan teleskop (T) di kawasan subtropis saat musim panas ... Error! Bookmark not defined. Gambar 4.13. (a) Grafik AGE-ARCL (b) Grafik ARCL-ARCV. Perbandingan

profil sebaran data hasil pengamatan dalam modus pengamatan mata telanjang (N), binokular (B), dan teleskop (T) di kawasan subtropis saat musim dingin ... Error! Bookmark not defined. Gambar 4.14. (a) Grafik AGE-ARCL (b) Grafik ARCL-ARCV. Perbandingn

grafik ARCL-ARCV data pengamatan hilal wilayah subtropis berdasarkan ketinggian pengamat 0-600 meter di atas permukaan laut dengan menggunakan mata telanjang (N), binokular (B) dan teleskop (T) ... Error! Bookmark not defined. Gambar 4.15. (a) Grafik AGE-ARCL (b) Grafik ARCL-ARCV. Perbandingan

grafik ARCL-ARCV data pengamatan hilal wilayah subtropis berdasarkan ketinggian pengamat 600-1500 meter di atas permukaan laut dengan menggunakan mata telanjang (N), binokular (B) dan teleskop (T) ... Error! Bookmark not defined. Gambar 4.16. (a) Grafik AGE-ARCL (b) Grafik ARCL-ARCV. Perbandingn

grafik ARCL-ARCV data pengamatan hilal wilayah subtropis berdasarkan ketinggian pengamat 1500-2500 meter di atas permukaan laut dengan menggunakan mata telanjang (N), binokular (B) dan teleskop (T) ... Error! Bookmark not defined. Gambar 4.17. (a) Grafik AGE-ARCL (b) Grafik ARCL-ARCV. Perbandingan

grafik ARCL-ARCV data pengamatan hilal wilayah subtropis berdasarkan ketinggian pengamat >2500 meter di atas permukaan laut dengan menggunakan mata telanjang (N), binokular (B) dan teleskop (T) ... Error! Bookmark not defined. Gambar 4.18. (a) Grafik AGE-ARCL (b) Grafik ARCL-ARCV. Perbandingan

grafik ARCL-ARCV data pengamatan hilal wilayah subtropis berdasarkan faktor kondisi atmosfer lokal dengan menggunakan

mata telanjang (N), binokular (B) dan teleskop (T)Error! Bookmark not defined. Gambar 4.19. (a) Grafik AGE-ARCL (b) Grafik ARCL-ARCV. Perbandingan

grafik ARCL-ARCV data pengamatan hilal wilayah subtropis berdasarkan faktor kondisi atmosfer lokal dengan menggunakan


(11)

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Nilai minimum parameter-parameter fisis hilal di kawasan tropis disetiap kondisi faktor ... Error! Bookmark not defined. Tabel 4.2 Nilai minimum parameter-parameter fisis hilal di kawasan subtropis

disetiap kondisi faktor ... Error! Bookmark not defined. Tabel 4.3 Kondisi faktor-faktor yang menghasilkan nilai minimum

parameter-parameter fisis hilal dalam modus pengamatan mata telanjang di kawasan tropis ... Error! Bookmark not defined. Tabel 4.4 Kondisi faktor-faktor yang menghasilkan nilai minimum

parameter-parameter fisis hilal dalam modus pengamatan berbantuan alat optik di kawasan tropis ... Error! Bookmark not defined. Tabel 4.5 Kondisi faktor-faktor yang menghasilkan nilai minimum

parameter-parameter fisis hilal dalam modus pengamatan mata telanjang di kawasan subtropis ... Error! Bookmark not defined. Tabel 4.6 Kondisi faktor-faktor yang menghasilkan nilai minimum

parameter-parameter fisis hilal dalam modus pengamatan berbantuan alat optik di kawasan subtropis ... Error! Bookmark not defined.


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data pengamatan hilal wilayah tropis modus pengamatan mata telanjang (Naked Eye - N) ... Error! Bookmark not defined. Lampiran 2. Data pengamatan hilal wilayah tropis modus pengamatan

berbantu-an alat optik (Binokular – B dan Teleskop - T)Error! Bookmark not defined. Lampiran 3. Data pengamatan hilal wilayah subtropis modus pengamatan mata

telanjang (Naked Eye – N) ... Error! Bookmark not defined. Lampiran 4. Data pengamatan hilal wilayah subtropis modus pengamatan


(14)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Adanya perbedaan kriteria dalam menentukan awal bulan Hijriyah ditengarai menjadi penyebab umat Islam Indonesia dalam beberapa kesempatan tidak serentak dalam memulai dan mengakhiri peribadatan yang bersifat massal. Beberapa organisasi massa (ormas) Islam di Indonesia menggunakan metode berbeda dalam penentuan awal bulan Hijriyah, yaitu metode hisab (perhitungan model matematis) dan metode rukyat (observasi/pengamatan). Organisasi massa Muhammadiyah menggunakan metode hisab dengan kriteria wujudul hilal yang memiliki makna bahwa hilal (Bulan sabit pertama yang terlihat saat Matahari terbenam) sudah terbentuk pascakonjungsi sebelum Matahari terbenam. Selain itu diterapkan pula prinsip wilayatul hukmi yang berarti bahwa terbentuknya hilal di suatu wilayah akan berlaku untuk seluruh wilayah hukum yang sama (Djamaluddin, 2011). Sementara itu, organisasi massa Nahdhatul Ulama (NU) mengikuti ijtihad para ulama empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) menggunakan metode rukyatul hilal

bil fi’li, yaitu dengan mengamati hilal secara langsung, baik dengan mata telanjang maupun menggunakan bantuan alat optik. Dalam hal hilal tertutup awan atau menurut perhitungan posisi hilal masih di bawah horison, kegiatan pengamatan tetap dilakukan untuk kemudian diambil keputusan menggenapkan (istikmal) bulan berjalan menjadi 30 hari. Dalam praktiknya, peran perhitungan model matematis dalam pandangan kelompok ini hanya sebagai alat bantu dan bukan penentu awal bulan dalam kalender Komariyah (Arkanuddin, 2007).

Diperlukan kontras yang cukup agar hilal dapat diamati, yaitu kontras dengan nilai yang lebih besar daripada suatu nilai ambang tertentu. Kontras didefinisikan sebagai rasio antara iluminansi (illuminance) hilal dengan kecerahan (brightness)


(15)

langit. Dalam banyak kasus, posisi Bulan pascakonjungsi masih sangat dekat dengan Matahari dan ketinggiannya dari horison pun sangat rendah. Dengan kondisi yang


(16)

3

demikian, kecerahan langit akan sangat mendominasi iluminansi hilal dan pada saat yang sama efek serapan atmosfer yang semakin kuat di dekat horison turut membuat hilal makin redup (nilai kontras rendah). Agar hilal dapat diamati, terdapat beberapa parameter yang digunakan untuk memprediksi visibilitas atau ketampakan hilal. Dalam penelitian ini digunakan tiga parameter fisis visibilitas hilal, yaitu terkait posisi Bulan di langit harus sedemikian rupa yang membuatnya berada di jarak yang cukup jauh dari pengaruh efek silau (glare) Matahari (diwakili oleh besaran elongasi, ARCL – Arc of Light), sekaligus di jarak sudut yang cukup dari horison untuk meminimalkan serapan atmosfer (diwakili oleh besaran beda tinggi Bulan-Matahari, ARCV – Arc of Vision), dan dengan berlalunya waktu pascakonjungsi (diwakili oleh besaran umur hilal pascakonjungsi, AGE) sabit Bulan akan semakin tebal yang membuatnya menjadi lebih tidak terpengaruh efek silau dan serapan atmosfer di dekat horison. Oleh karena itu, mengamati hilal dengan umur pascakonjungsi yang lebih lama relatif lebih mudah dibandingkan untuk kasus hilal yang sangat muda (kurang dari 24 jam).

Kriteria Odeh (2006) dan kriteria Yallop (1997) memberlakukan kriteria hilal secara global dengan menggunakan data tropis dan subtropis menjadi satu. Tidak terdapat pemilahan berdasarkan pendapat Hoffman (2003) yang menyatakan bahwa tidak ada kriteria yang berlaku universal untuk seluruh lintang pengamat. Perlu diberlakukan pemisahan data berdasarkan lintang tropis dan subtropis, hal ini karena di khatulistiwa Matahari terbenam secara tepat tegak lurus horison, sementara di wilayah lintang tinggi posisi Matahari terbenam akan semakin miring menyebabkan senja di wilayah lintang tinggi menjadi lebih lama daripada senja di wilayah khatulistiwa sehingga hilal akan lebih mudah diamati di wilayah lintang tinggi.

Di Indonesia terdapat beberapa usulan untuk kriteria visibilitas hilal, di antaranya kriteria Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) (Sudibyo et al, 2009), kriteria LAPAN yang disempurnakan (Djamaluddin, 2011), maupun kriteria yang secara spesifik ditujukan untuk wilayah tropis seperti yang diusulkan Utama dan Siregar (Utama & Siregar, 2013), Utama dan Hilmansyah (2013) sebagai kriteria UPI, dan Ramadhan et al


(17)

4

(2014). Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Agama selama ini menganut suatu kriteria yang diadopsi dari musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), yang disebut sebagai kriteria imkanur rukyat (kebolehjadian hilal dapat diamati) MABIMS. Keputusan MABIMS ini diperkuat oleh keputusan musyawarah ulama dari berbagai organisasi, yang juga diikuti oleh astronom dan instansi terkait, yang dilaksanakan pada bulan Maret 1998 di Cisarua Bogor. Namun demikian, keputusan musyawarah ulama ahli hisab dan ormas Islam ini menghendaki agar kriteria tersebut dikaji ulang secara sistematis ilmiah. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh wakil-wakil negara MABIMS di Jakarta pada tanggal 21–23 Mei 2014, para pakar telah memberi kritik bahwa kriteria MABIMS tidak memenuhi kriteria visibilitas fisik hilal. Pertemuan tersebut juga merekomendasikan agar kriteria MABIMS diubah atau disesuaikan dengan kriteria visibilitas fisik hilal (Raharto, 2014).

Bertolak dari hal di atas, penelitian mengenai kriteria imkanur rukyat memiliki posisi penting dan strategis dalam upaya memberikan kontribusi terhadap perolehan kriteria visibilitas hilal yang memiliki landasan ilmiah kokoh. Dalam memperoleh justifikasi ilmiah nilai-nilai yang terdapat pada kriteria imkanur rukyat, terdapat sejumlah faktor yang harus dipertimbangkan, yaitu faktor lintang geografis, musim, ketinggian lokasi pengamat di atas pemukaan laut (dpl), dan kondisi atmosfer setempat (wilayah urban atau suburban) (Mikhail et al, 1995). Berdasarkan pemaparan di atas, maka dalam tugas akhir ini penulis mengambil judul Faktor-faktor Kecerahan Langit Senja dan Pengaruhnya Terhadap Nilai Minimum Parameter-parameter Fisis Visibilitas Hilal.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana justifikasi nilai minimum parameter-parameter fisis visibilitas hilal (ARCL, ARCV dan AGE) yang digunakan sebagai kriteria imkanur


(18)

5

rukyat MABIMS terkait faktor musim, ketinggian lokasi pengamat di atas permukaan air laut dan efek polusi aerosol di wilayah tropis dengan modus pengamatan mata telanjang dan berbantuan alat optik?

2. Berapakah nilai minimum parameter-parameter fisis visibilitas hilal (ARCL, ARCV dan AGE) sebagai fungsi dari faktor lintang geografis, musim, ketinggian lokasi pengamat di atas permukaan air laut, dan efek polusi aerosol di wilayah tropis dan subtropis dengan modus pengamatan mata telanjang dan berbantuan alat optik?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu memberikan justifikasi ilmiah atas nilai-nilai kriteria visibilitas hilal yang selama ini digunakan oleh imkanur rukyat MABIMS dan menganalisis nilai minimum parameter fisis visibilitas hilal yang dipengaruhi oleh faktor lintang geografis, musim, ketinggian lokasi pengamat di atas permukaan air laut, dan efek polusi aerosol dengan modus pengamatan mata telanjang dan berbantuan alat optik.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, manfaat penelitian ini yaitu memberikan koreksi terhadap nilai-nilai yang selama ini digunakan sebagai kriteria imkanur rukyat berdasarkan data faktual hasil observasi sebagai fungsi dari faktor lintang geografis, musim, ketinggian pengamat di atas permukaan air laut dan efek polusi aerosol.

1.5 Sistematika Penulisan Skripsi Struktur organisasi skripsi ini terdiri dari:

Bab I membahas mengenai latar belakang penulisan skripsi, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan skripsi.


(19)

6

Bab II berisikan teori-teori yang digunakan dalam penulisan naskah skripsi ini tentang Bulan, fase-fase Bulan, hilal, dan kriteria visibilitas hilal.

Bab III menjelaskan metode penelitian yang dilakukan secara rinci dimulai dari metode yang digunakan, sumber data, alur penelitian, langkah kerja yang telah dilakukan serta analisis yang telah dilakukan.

Bab IV berisikan hasil penelitian dan pembahasan dari pengolahan data serta analisis temuan.

Bab V menjelaskan mengenai kesimpulan dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya serta implikasi dan saran yang mungkin bermanfaat untuk pengembangan lebih lanjut dari hasil penelitian yang diusulkan.


(20)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian ex-postfacto yang merupakan penelitian dimana variabel-variabel bebas telah terjadi ketika peneliti mulai dengan pengamatan variabel terikat dalam suatu penelitian (Kerlinger, 1986 dalam Sukardi 2008).

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan sumber sekunder, yaitu sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen (Sugiyono, 2009). Terdapat 578 data pengamatan hilal internasional yang bersumber dari pangkalan data ICOP (Islamic Crescent Observation Program) hasil kompilasi Odeh (2006) periode pengamatan 1859 hingga 2006 yang dapat diakses di www.icoproject.org dan 1 data pengamatan modus teleskop dari pengkalan data KACST (King Abdulaziz City for Science and Technology) (Al-Mostafa dan Kordi, 2003).

Teknik penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sampling purposive, teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2009). Seleksi dilakukan dengan mengeliminasi data pengamatan hilal tua dan yang tidak menyertakan informasi visibilitas pada ketiga modus yang digunakan (mata telanjang (N – Naked Eye), binokular (B), Teleskop (T)).

Terdapat dua tahap pengelompokan data, yaitu:

a. Pengelompokan data utama: data dikelompokkan menurut lintang geografis.

b. Pengelompokan data tambahan: selanjutnya untuk masing-masing kelompok lintang dilakukan pengelompokan berdasarkan faktor musim, elevasi, dan polusi aerosol.


(21)

(22)

15

3.2 Alur Proses Penelitian

Gambar 3.1. Diagram alur penelitian Data

Seleksi data

Pengelompokkan Data tambahan

1. Grafik AGE-ARCL 2. Grafik ARCL-ARCV

Analisis

Kesimpulan

Tropis Subtropis

Ya

Dieliminasi Tidak


(23)

16

3.3 Metode Pengolahan Data

Dalam penelitian ini, terdapat 578 data yang bersumber dari pangkalan data ICOP hasil kompilasi Odeh (2006) dan 1 data yang berasal dari pangkalan data

KACST (Al-Mostafa dan Kordi, 2003). Seleksi dilakukan dengan mengeliminasi data

pengamatan hilal tua dan yang tidak menyertakan informasi visibilitas pada ketiga modus pengamatan mata telanjang (N), binokular (B), dan teleskop (T). Dari proses seleksi ini diperoleh 518 data yang akan digunakan dalam penelitian ini.

3.3.1 Pengelompokan Data Utama

Data yang lolos seleksi selanjutnya dikelompokkan berdasarkan letak lintang geografis. Pengelompokan ini membagi data menjadi dua kelompok, yaitu :

1. Wilayah tropis. Berada di  = 23,5o LU - 23,5o LS.

2. Wilayah subtropis. Berada di  > 23,5o - 66,5o LU dan  > 23,5o - 66,5o LS. Hanya terdapat 56 data yang berasal dari hasil pengamatan lintang tropis dan sisanya dari kawasan subtropis.

3.3.2 Pengelompokan Data Tambahan

Dilakukan pengelompokan berdasarkan faktor musim, elevasi, dan polusi aerosol untuk masing-masing kelompok lintang.

1. Pengelompokan berdasarkan musim A. Wilayah tropis

1. Musim Basah. Terjadi pada bulan Oktober-Maret 2. Musim Kering. Terjadi pada bulan April-September B. Wilayah subtropis

Wilayah  = 23,5o - 66,5o LU:

1. Musim Semi (Spring). Terjadi pada tanggal 21 Maret-21 Juni. 2. Musim Panas (Summer). Terjadi pada tanggal 21 Juni-23


(24)

17

3. Musim Gugur (Fall/Autumn). Terjadi pada tanggal 23 September-22 Desember.

4. Musim Dingin (Winter). Terjadi pada tanggal 22 Desember-21 Maret.

Wilayah  = 23,5o - 66,5o LS:

1. Musim Dingin (Winter). Terjadi pada bulan tanggal 21 Juni-23 September.

2. Musim Semi (Spring). Terjadi pada tanggal 23 September-22 Desember.

3. Musim Panas (Summer). Terjadi pada tanggal 22 Desember-21 Maret.

4. Musim Gugur (Fall). Terjadi pada tanggal 21 Maret-21 Juni. 2. Pengelompokan berdasarkan ketinggian pengamat di atas permukaan laut (dpl)

Pengelompokan menurut faktor ketinggian meter di atas permukaan laut (mdpl) memanfaatkan 4 kelompok ketinggian dalam klasifikasi iklim Junghunh, yaitu:

a. Tipe A : Ketinggian 0-600 mdpl b. Tipe B : Ketinggian 600-1500 mdpl c. Tipe C : Ketinggian 1500-2500 mdpl d. Tipe D : Ketinggian >2500 mdpl

3. Pengelompokan berdasarkan efek polusi aerosol

Pengelompokan berdasarkan faktor polusi aerosol terbagi atas daerah urban dan daerah sub-urban. Berikut pengertian urban dan sub-urban :

a. Urban yaitu wilayah perkotaan yang menjadi pusat kegiatan industri sehingga polusi berupa kandungan aerosol mempengaruhi kondisi atmosfer lokal.

b. Sub-urban (sub daerah perkotaan) yaitu suatu wilayah yang lokasinya berdekatan dengan pusat kota dan bukan sebagai tempat kegiatan industri sehingga kondisi atmosfer lokal relatif tidak terpolusi.


(25)

18

Justifikasi penentuan daerah urban dan sub-urban dibantu menggunakan peta dunia virtual (www.itouchmap.com). Dengan mengisikan nilai lintang dan bujur lokasi pengamatan di jendela pencarian, sehingga dapat diperoleh peta lokasi yang dimaksud; lokasi pengamatan berada di tengah kota yang padat penduduk dan aktivitas industri atau berada di wilayah yang relatif “bersih” di luar kota. Justifikasi untuk faktor ini tidak seteliti faktor lintang dan musim, karena citra satelit yang dihasilkan untuk lokasi yang bersangkutan merupakan citra pada tahun 2014 sehingga memungkinkan adanya perubahan kondisi demografi sejak pengamatan dilakukan dalam kurun waktu tahun 1859 – 2006 hingga sekarang.

3.4 Koreksi Terhadap Nilai-nilai yang Digunakan sebagai Kriteria Imkanur Rukyat

Nilai minimum parameter-parameter fisis hilal pada saat best time (Yallop, 1997) diperoleh berdasarkan rajah grafik AGE terhadap ARCL dan ARCL terhadap ARCV dari masing-masing hasil pengelompokan yang telah dilakukan. Perbandingan dilakukan terhadap masing-masing kelompok lintang guna memperoleh karakteristik parameter-parameter fisis hilal dengan turut dipertimbangkannya faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kecerahan langit senja untuk masing-masing modus pengamatan mata telanjang dan alat bantu optik (binokular/teleskop).


(26)

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 5.1 Simpulan

Telah diperoleh nilai-nilai minimum tiga parameter fisis (AGE, ARCL, dan ARCV) sebagai indikator visibilitas hilal untuk masing-masing wilayah tropis dan subtropis dalam modus pengamatan mata telanjang dan berbantuan alat optik dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang turut berkontribusi terhadap kecerahan langit senja. Nilai minimum parameter-parameter fisis hilal yang diusulkan sebagai batas bawah kriteria visibilitas hilal untuk wilayah tropis (serta sebagai justifikasi ilmiah nilai-nilai yang digunakan pada kriteria imkanur rukyat MABIMS) dan subtropis dirangkumkan sebagai berikut:

1. Tropis

a. Modus Pengamatan Mata Telanjang

Parameter AGE termuda 16,8 jam, ARCL terdekat 8,6 o

, dan ARCV terendah 8,4o. Pengamatan yang menghasilkan laporan positif lebih mudah dilakukan pada musim kering daripada saat musim basah dari daerah sub-urban dengan elevasi antara 0–600 mdpl.

b. Modus Pengamatan Alat Bantu Optik (Binokular/Teleskop)

Parameter AGE termuda 17 jam, ARCL terdekat 8,7o dan ARCV terendah 8,5o. Pengamatan menghasilkan laporan positif lebih mudah dilakukan pada musim kering daripada saat musim basah dari daerah sub-urban dengan elevasi antara 0-600 mdpl.

2. Subtropis

a. Modus Pengamatan Mata Telanjang

AGE termuda 15,5 jam, ARCL terdekat 7,6o, dan ARCV terendah 7,6o. Menggunakan parameter AGE, ARCL, dan ARCV laporan positif pengamatan hilal lebih mudah diperoleh pada musim dingin dibandingkan


(27)

56

musim-musim lainnya dari daerah sub-urban dengan elevasi 1500–2500 mdpl.

b. Modus Pengamatan Alat Bantu Optik (Binokular/Teleskop)

Diperoleh AGE termuda 12,96 jam, ARCL terdekat 7,03o, dan ARCV terendah 4,15o dari pengamatan pada musim dingin dari daerah sub-urban dengan elevasi 600-1500 mdpl.

5.2 Implikasi dan Rekomendasi

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini untuk pengamatan wilayah tropis dengan modus mata telanjang (AGE 16,8 jam, ARCL 8,6

o

, dan ARCV 8,4o) memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai yang selama ini digunakan oleh imkanur rukyat MABIMS (AGE 8 jam, ARCL 3o, dan ARCV 3o). Kriteria yang memiliki landasan ilmiah kokoh serta teruji secara empirik hendaknya dipertimbangkan agar dapat diadopsi oleh Kementerian Agama dan semua ormas Islam guna mengakhiri perbedaan dalam memulai dan mengakhiri ibadah yang selama ini masih terjadi. Nilai-nilai minimum yang diperoleh dalam penelitian ini diusulkan sebagai kriteria visibilitas hilal yang berlaku di wilayah tropis dan subtropis. Pada penelitian selanjutnya, untuk memperoleh hasil penelitian yang lebih baik, diperlukan jumlah data yang lebih banyak dari jumlah data yang digunakan pada penelitian ini.


(28)

57

DAFTAR PUSTAKA

Al-Mostafa, Z., Kordi, M. (2003). A new local observation record for a young Moon from Saudi Arabia. The Observatory, 123.

Arkanuddin, M. (2007). Modul pelatihan rukyatul hilal (observasi Bulan sabit muda). Rukyatul Hilal Indonesia.

Djamaluddin, T. (2011). Astronomi memberi solusi penyatuan umat. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. ISBN 978–979–1458–46–7.

Hilmansyah, Utama, J.A., Ramalis, T.R. (2013). Kriteria visibilitas hilal di Indonesia menggunakan model fungsi visibilitas Kastner. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Himpunan Astronomi Indonesia, Observatorium Bosscha FMIPA ITB, 1–2 Oktober.

Hoffman, R.E. (2003). Observing the New Moon. Monthly Notice of Royal Astronomical Society, 340.

Kastner, S.O. (1976). Calculation of the Twilight Visibility Function of Near-Sun Objects. The Journal of The Royal Astronomical Society of Canada, 70 (4). McNally, D. (1983). The Length of the Lunar Crescent. Quarterly Journal of Royal

Astronomical Society, 24.

Mikhail, et al. (1995). Improving the Crescent Visibility Limits Due To Faktors Causing Decrease In the Sky Twilight Brightness. Earth, Moon and Planets, 70.

Odeh, M.S. (2006). New Criterion for Lunar Crescent Visibility. Experimental Astro-nomy, 18.

Ramadhan, T.B., Djamaluddin, T., Utama, J.A. (2014). Re-Evaluation of Hilaal Visibility Criteria in Indonesia by using Indonesia and International Observa-tional Data. Prosidings: InternaObserva-tional Conference on Research, Implemen-tation and Education of Mathematics and Sciences, Universitas Negeri Yogyakarta. ISBN 978–979–99314–8–1.


(29)

58

Siddiq, S. (2009). Studi Visibilitas Hilal dalam Periode 10 Tahun Hijriyah Pertama (0622-0632 CE) sebagai Kriteria Baru untuk Penetapan Awal Bulan-bulan


(30)

59

Islam Hijriyah. Prosidings: Seminar Nasional Hilal, Observatorium Bosscha FMIPA ITB.

Sopwan, N., Raharto, M. (2012). Hilal Metonik: Usulan Kriteria Visibilitas Hilal. Prosidings: Seminar Nasional Fisika III, Universitas Negeri Semarang. ISBN 978–602–97835–2–0.

Sudibyo, M.M., Arkanudin, M., & Riyadi, A.R.S. (2009). Observasi Hilaal 1427– 1430 H (2007–2009 M) dan Im-plikasinya untuk Kriteria Visibilitas di Indonesia. Prosidings: Seminar Nasional Hilal, Observatorium Bosscha FMIPA ITB.

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sukardi.(2008). Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara.

Sultan, A.H. (2006). “Best Time” for the First Visibility of the Lunar Crescent. The Observatory, 126(1191).

Utama, J.A. (2013). Konsep “Best Time” dalam Observasi Hilal Menurut Model Kastner. Prosidings: Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta. ISBN 978-979-96880-7-1.

Utama, J.A & Hilmansyah. (2013). Penentuan Parameter Fisis Hilal Sebagai Usulan Kriteria Visibilitas di Wilayah Tropis. Bandung. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Fisika, Universitas Negeri Semarang, 12 Oktober.

Utama, J.A & Siregar, S. (2013). Usulan Kriteria Visibilitas Hilal di Indonesia dengan Model Kastner. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia (JPFI), 9 (2). ISSN 1693–1246.

Yallop, B.D. (1997). NAO Technical Note No. 69. HM Nautical Almanac Office, Royal Greenwich Observatory: Cambridge.


(31)

60

Raharto, M. (2014). Awal Ramadan dan Awal Syawal 1435 H. [Online]. Diakses dari www.langitselatan.com/2014/06/25/awal-ramadan-dan-awal-syawal-1435-h.html.


(1)

Rahayu Ningsih, 2014

Faktor-faktor kecerahan langit senja dan pengaruhnya terhadap nilai minimum parameter-parameter fisis visibilitas hilal

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 5.1 Simpulan

Telah diperoleh nilai-nilai minimum tiga parameter fisis (AGE, ARCL, dan ARCV) sebagai indikator visibilitas hilal untuk masing-masing wilayah tropis dan subtropis dalam modus pengamatan mata telanjang dan berbantuan alat optik dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang turut berkontribusi terhadap kecerahan langit senja. Nilai minimum parameter-parameter fisis hilal yang diusulkan sebagai batas bawah kriteria visibilitas hilal untuk wilayah tropis (serta sebagai justifikasi ilmiah nilai-nilai yang digunakan pada kriteria imkanur rukyat MABIMS) dan subtropis dirangkumkan sebagai berikut:

1. Tropis

a. Modus Pengamatan Mata Telanjang

Parameter AGE termuda 16,8 jam, ARCL terdekat 8,6 o

, dan ARCV terendah 8,4o. Pengamatan yang menghasilkan laporan positif lebih mudah dilakukan pada musim kering daripada saat musim basah dari daerah sub-urban dengan elevasi antara 0–600 mdpl.

b. Modus Pengamatan Alat Bantu Optik (Binokular/Teleskop)

Parameter AGE termuda 17 jam, ARCL terdekat 8,7o dan ARCV terendah 8,5o. Pengamatan menghasilkan laporan positif lebih mudah dilakukan pada musim kering daripada saat musim basah dari daerah sub-urban dengan elevasi antara 0-600 mdpl.

2. Subtropis

a. Modus Pengamatan Mata Telanjang

AGE termuda 15,5 jam, ARCL terdekat 7,6o, dan ARCV terendah 7,6o. Menggunakan parameter AGE, ARCL, dan ARCV laporan positif pengamatan hilal lebih mudah diperoleh pada musim dingin dibandingkan


(2)

Rahayu Ningsih, 2014

Faktor-faktor kecerahan langit senja dan pengaruhnya terhadap nilai minimum parameter-parameter fisis visibilitas hilal

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

musim-musim lainnya dari daerah sub-urban dengan elevasi 1500–2500 mdpl.

b. Modus Pengamatan Alat Bantu Optik (Binokular/Teleskop)

Diperoleh AGE termuda 12,96 jam, ARCL terdekat 7,03o, dan ARCV terendah 4,15o dari pengamatan pada musim dingin dari daerah sub-urban dengan elevasi 600-1500 mdpl.

5.2 Implikasi dan Rekomendasi

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini untuk pengamatan wilayah tropis dengan modus mata telanjang (AGE 16,8 jam, ARCL 8,6

o

, dan ARCV 8,4o) memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai yang selama ini digunakan oleh imkanur rukyat MABIMS (AGE 8 jam, ARCL 3o, dan ARCV 3o). Kriteria yang memiliki landasan ilmiah kokoh serta teruji secara empirik hendaknya dipertimbangkan agar dapat diadopsi oleh Kementerian Agama dan semua ormas Islam guna mengakhiri perbedaan dalam memulai dan mengakhiri ibadah yang selama ini masih terjadi. Nilai-nilai minimum yang diperoleh dalam penelitian ini diusulkan sebagai kriteria visibilitas hilal yang berlaku di wilayah tropis dan subtropis. Pada penelitian selanjutnya, untuk memperoleh hasil penelitian yang lebih baik, diperlukan jumlah data yang lebih banyak dari jumlah data yang digunakan pada penelitian ini.


(3)

Rahayu Ningsih, 2014

Faktor-faktor kecerahan langit senja dan pengaruhnya terhadap nilai minimum parameter-parameter fisis visibilitas hilal

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu DAFTAR PUSTAKA

Al-Mostafa, Z., Kordi, M. (2003). A new local observation record for a young Moon from Saudi Arabia. The Observatory, 123.

Arkanuddin, M. (2007). Modul pelatihan rukyatul hilal (observasi Bulan sabit muda). Rukyatul Hilal Indonesia.

Djamaluddin, T. (2011). Astronomi memberi solusi penyatuan umat. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. ISBN 978–979–1458–46–7.

Hilmansyah, Utama, J.A., Ramalis, T.R. (2013). Kriteria visibilitas hilal di Indonesia menggunakan model fungsi visibilitas Kastner. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Himpunan Astronomi Indonesia, Observatorium Bosscha FMIPA ITB, 1–2 Oktober.

Hoffman, R.E. (2003). Observing the New Moon. Monthly Notice of Royal Astronomical Society, 340.

Kastner, S.O. (1976). Calculation of the Twilight Visibility Function of Near-Sun Objects. The Journal of The Royal Astronomical Society of Canada, 70 (4). McNally, D. (1983). The Length of the Lunar Crescent. Quarterly Journal of Royal

Astronomical Society, 24.

Mikhail, et al. (1995). Improving the Crescent Visibility Limits Due To Faktors Causing Decrease In the Sky Twilight Brightness. Earth, Moon and Planets, 70.

Odeh, M.S. (2006). New Criterion for Lunar Crescent Visibility. Experimental Astro-nomy, 18.

Ramadhan, T.B., Djamaluddin, T., Utama, J.A. (2014). Re-Evaluation of Hilaal Visibility Criteria in Indonesia by using Indonesia and International Observa-tional Data. Prosidings: InternaObserva-tional Conference on Research, Implemen-tation and Education of Mathematics and Sciences, Universitas Negeri Yogyakarta. ISBN 978–979–99314–8–1.


(4)

Rahayu Ningsih, 2014

Faktor-faktor kecerahan langit senja dan pengaruhnya terhadap nilai minimum parameter-parameter fisis visibilitas hilal

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Siddiq, S. (2009). Studi Visibilitas Hilal dalam Periode 10 Tahun Hijriyah Pertama (0622-0632 CE) sebagai Kriteria Baru untuk Penetapan Awal Bulan-bulan


(5)

Rahayu Ningsih, 2014

Faktor-faktor kecerahan langit senja dan pengaruhnya terhadap nilai minimum parameter-parameter fisis visibilitas hilal

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Islam Hijriyah. Prosidings: Seminar Nasional Hilal, Observatorium Bosscha FMIPA ITB.

Sopwan, N., Raharto, M. (2012). Hilal Metonik: Usulan Kriteria Visibilitas Hilal. Prosidings: Seminar Nasional Fisika III, Universitas Negeri Semarang. ISBN 978–602–97835–2–0.

Sudibyo, M.M., Arkanudin, M., & Riyadi, A.R.S. (2009). Observasi Hilaal 1427– 1430 H (2007–2009 M) dan Im-plikasinya untuk Kriteria Visibilitas di Indonesia. Prosidings: Seminar Nasional Hilal, Observatorium Bosscha FMIPA ITB.

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sukardi.(2008). Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara.

Sultan, A.H. (2006). “Best Time” for the First Visibility of the Lunar Crescent. The Observatory, 126(1191).

Utama, J.A. (2013). Konsep “Best Time” dalam Observasi Hilal Menurut Model

Kastner. Prosidings: Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta. ISBN 978-979-96880-7-1.

Utama, J.A & Hilmansyah. (2013). Penentuan Parameter Fisis Hilal Sebagai Usulan Kriteria Visibilitas di Wilayah Tropis. Bandung. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Fisika, Universitas Negeri Semarang, 12 Oktober.

Utama, J.A & Siregar, S. (2013). Usulan Kriteria Visibilitas Hilal di Indonesia dengan Model Kastner. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia (JPFI), 9 (2). ISSN 1693–1246.

Yallop, B.D. (1997). NAO Technical Note No. 69. HM Nautical Almanac Office, Royal Greenwich Observatory: Cambridge.


(6)

Rahayu Ningsih, 2014

Faktor-faktor kecerahan langit senja dan pengaruhnya terhadap nilai minimum parameter-parameter fisis visibilitas hilal

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Raharto, M. (2014). Awal Ramadan dan Awal Syawal 1435 H. [Online]. Diakses dari www.langitselatan.com/2014/06/25/awal-ramadan-dan-awal-syawal-1435-h.html.