2 Bahasa Sebuah program biasanya tidak terbatas

Quarterly Report-II |

Februari 2010

Abstract

SELF GOVERNMENT ACEH
Pendahuluan
Latar belakang pemberlakuan self government atau asymetric
autonomy Aceh dalam bentuk politik hukum (legal policy),
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah
Aceh (UUPA), tidak terlepas dari adanya pergolakan politik
dan konflik kekerasan di Aceh selama hampir tiga dekade
[1976 – 2005]. Pemberlakuan ini diawali dengan adanya
penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara
Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM), di Helsinki pda tanggal 15 Agustus 2005.
Poin 1.1.1 MoU menyebutkan: “A new Law on the Governing
of Aceh will be promulgated and will enter into force as soon as
possible and not later than 31 March 2006 (Undang-undang baru
tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan

dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya
tanggal 31 Maret 2006)”. Walaupun perintah MoU bahwa
pembentukannya selambat-lambatnya tanggal 31 Maret
2006, namun undang-undang tersebut baru disahkan pada
1 Agustus 2006. Undang-Undang ini terdiri dari 40 bab dan
273 pasal. Selain masalah keterlambatan dari segi waktu, dasar
dan substansi pembentukannya juga menyimpan perbedaan

Hingga tahun keempat implementasi
UUPA atau sejak tahun 2006 masih
terdapat polemik yang berdampak
positif dan negatif bagi pelaksanaan
pemerintahan Aceh. Hal ini merupakan
konsekuensi dari kelemahan kewenangan
khusus Aceh yang diatur dalam UUPA
secara tidak tegas, bergantung dan
bersayap. Antara lain, pertama, tidak
disebutkannya secara eksplisit istilah
self government Aceh baik dalam
MoU maupun UUPA, meskipun secara

implisit substansi UUPA menyerupai
prinsip pelaksanaan self government.
Kedua, secara politik hukum (legal
policy), kewenangan pemerintahan
Aceh yang berkaitan dengan politik dan
perekonomian masih harus diatur lebih
lanjut dengan peraturan pelaksana
dari pemerintah bukannya dengan
qanun. Ketiga, kebijakan administrasi
pemerintah dan persetujuan internasional
di Aceh yang memerlukan “konsultasi
dan persetujuan” Gubernur dan DPRA
menjadi “berdasarkan konsultasi dan
pertimbangan”. Contoh Pasal 8 ayat (3),
berkaitan dengan kebijakan pemerintah
dalam pembentukan atau pemekaran
wilayah yang harus berdasar pada
konsultasi dan pertimbangan gubernur.
Padahal Pasal 5 UU 32/2004 disebutkan
bahwa syarat administratifnya harus

melalui persetujuan DPRD, Gubernur
dan rekomendasi dari Mendagri.
Keempat, masih adanya pengawasan
pemerintah pusat secara represif
terhadap Qanun Aceh dan peraturan
kepala daerah, sebagaimana Pasal 235
yang bisa kita jadikan contoh. Dan,
kelima, dualisme dasar hukum di Aceh
dimana UUPA tetap berlaku namun juga
harus mengikuti peraturan perundangundangan lain yang berlaku secara
umum.

1

substansial antara maksud MoU dengan UUPA. Memang secara de facto, dasar pembentukannya karena MoU,
namun secara de jure substansi UUPA malah tidak menyebutkan secara eksplisit dasar pembentukannya yang
berladaskan pada MoU itu.
Dalam paragraf kedelapan penjelasan umum UUPA disebutkan: “Nota Kesepahaman (Memorandum of
Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005
menandakan kilas baru sejarah perjalanan Provinsi Aceh dan kehidupan masyarakatnya menuju keadaan yang damai, adil,

makmur, sejahtera, dan bermartabat. Hal yang patut dipahami bahwa Nota Kesepahaman adalah suatu bentuk rekonsiliasi
secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan”.
Sementara, konsideran UUPA hanya menyebutkan sejarah integrasi Aceh sebagai satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau istimewa, yang memiliki karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh
dan ketahanan serta daya juang tinggi. Dimana bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat
Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam
merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kewenangan
Berdasarkan latar belakang tersebut maka Aceh diberikan beberapa kewenangan khusus, disamping
kewenangan yang bersifat umum sebagaimana juga yang diperoleh oleh daerah-daerah lainnya, baik dalam
bidang administratif, politik, hukum, politik hukum (legal policy), ekonomi, agama dan sosial-budaya. Secara
umum substansi kewenangan-kewenangan khusus Pemerintahan Aceh seperti yang diatur dalam UUPA
dapat dilihat pada table-1 di bawah yang mencakup:
Tabel-1: Kewenangan Khusus Pemerintahan Aceh

2

NO


PASAL

1.

Pasal 4

2.

Pasal 7

3.

Pasal 8

4.

Pasal 9

5.


Pasal 67

6.
7.

Pasal 75
Pasal 96

8.

Pasal 98

9.

Pasal 125

10.
11.

Pasal 128

Pasal 138

12.

Pasal 160

13.

Pasal 165

14.

Pasal 167

URAIAN
Aceh dapat membangun kawasan khusus untuk perdagangan bebas dan/atau
pelabuhan bebas
Kewenangan mengatur dan mengurus seluruh sektor pemerintahan kecuali
kewenangan pemerintah pusat yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan,
kehakiman, keuangan, dan persoalan tertentu dalam bidang agama

Rencana persetujuan internasional dan rencana pembentukan undangundang oleh DPR dan kebijakan administrasi yang berkaitan langsung dengan
pemerintahan Aceh yang dibuat oleh pemerintah pusat memerlukan konsultasi
dan pertimbangan DPRA dan Gubernur
Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerjasama dengan lembaga di luar negeri
dan dapat ikut serta secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga
internasional
Afirmasi pencalonan perseorangan (independen) dalam pemilihan kepala
daerah
Pendirian partai politik lokal
Pembentukan lembaga Wali Nanggroe yang merupakan kepemimpinan adat
Pembentukan lembaga adat bidang keamanan, ketentraman, kerukunan, dan
ketertiban masyarakat yang terdiri dari a) Majelis Adat Aceh; b) imuem mukim;
c) imuem chik; d) keuchik; e) tuha peut; f) tuha lapan; g) imuem meunasah; h)
keujreun blang; i) panglima laot; j) pawang glee; k) peutua seuneubok; l) haria
peukan; dan m) syahbanda.
Pelaksanaan syariat Islam yang meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (undangundang keluarga), muamalah, jinayah Islam, qadha’ (hukuman dari pengadilan),
tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan Islam
Pembentukan Mahkamah Syariat Islam kepada umat Islam
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)
Pengelolaan bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah Aceh

terhadap minyak dan gas yang terletak di darat dan laut Aceh
Penduduk Aceh dapat melakukan perdagangan dan investasi dalam negeri dan
internasional
Pembentukan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang

15.

Pasal 172

Pemerintah pusat dan pemerintah Aceh dapat mendirikan pelabuhan dan
lapangan terbang umum di Aceh

16.

Pasal 181

17.

Pasal 183


18.

Pasal 205 &
Pasal 209

19.

Pasal 217

20.

Pasal 224

21.
22.

Pasal 228
Pasal 229
Pasal 246,
Pasal 247 &

Pasal 248

Pemerintahan Aceh menerima dana tambahan pembagian hasil minyak sebesar
55 persen dan gas 40 persen
Mendapatkan dana otonomi khusus untuk masa 20 tahun, dengan perincian
untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara
dengan 2%. Dana Alokasi Umum (DAU) dan untuk tahun keenam belas
sampai dengan tahun kedua puluh jumlahnya setara dengan 1% DAU
Pengangkatan Kepala Polisi Aceh yang dilakukan oleh Kepala Polisi Indonesia
dan pengangkatan Kepala Jaksa Tinggi Aceh yang dilakukan oleh Kepala Jaksa
Agung memerlukan persetujuan Gubernur
Penduduk Aceh yang berumur 7 tahun sampai 15 tahun wajib mengikuti
pendidikan dasar tanpa dipungut biaya
Semua anak yatim dan orang fakir-miskin berhak memperoleh pelayanan
kesehatan yang menyeluruh tanpa dipungut biaya
Pembentukan pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh
Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsialisasi (KKR)

23.
24.

Pasal 253

25.

Pasal 269

Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera, lambang, dan
lagu Aceh yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan
Badan Pertanahan Nasional (BPN) menjadi Badan Pertanahan Aceh (BPA)
dan Badan Pertanahan Kabupaten/Kota
Rencana perubahan UUPA yang dilakukan oleh DPR terlebih dahulu
memerlukan konsultasi dan pertimbangan DPRA

Sumber: UUPA

Perbedaan Antara MoU dan Draft RUUPA DPRA dengan UUPA
Meskipun, terdapat banyak kewenangan khusus pemerintahan Aceh yang diatur dalam UUPA, tetapi
merujuk kepada materi MoU RI-GAM dan draf RUU-PA dari DPRA ternyata substansi UUPA terdapat
beberapa perbedaan. Timbulnya, perbedaan ini merupakan konsekuensi dari adanya multi-interpretasi
terhadap eksistensi MoU RI-GAM ketika dihadapkan pada konstitusi dan sistem hukum yang berlaku di
Indonesia.
Sebagaimana, pendapat Ismail Sunny, mengkritik isi konsideran RUU-PA yang sempat memasukkan
MoU. Menurutnya, MoU, nota kesepahaman, tidak lebih dari executive agreement. Perbedaan substansi UUPA
dengan MoU dan draf RUU-PA dapat dilihat dalam tabel-2, antara lain:
Tabel-2: Perbedaan Substansi antara MoU dan Draf RUU-PA DPRA dengan UUPA

UUPA

MoU

a) Keberadaan MoU di tempatkan
dalam penjelasan umum

--

b) Persetujuan-persetujuan
internasional yang berkaitan
langsung dengan Pemerintahan
Aceh yang dibuat oleh
Pemerintah dan rencana
pembentukan undang-undang
oleh DPR dilakukan dengan
konsultasi dan pertimbangan
DPRA. (Pasal 8 ayat (1) dan ayat
(2)

Persetujuan-persetujuan
internasional yang
berkaitan langsung dengan
Pemerintahan Aceh yang
dibuat oleh Pemerintah
Indonesia dan keputusankeputusan oleh DPR
dilakukan dengan konsultasi
dan persetujuan legislatif
Aceh. (Poin 1.1.2 huruf b dan
c

DRAF DPRA
Keberadaan MoU di
tempatkan dalam konsideran
draf RUU-PA

--

3

c) Kebijakan administratif yang
berkaitan langsung dengan
Pemerintahan Aceh yang
akan dibuat oleh Pemerintah
dilakukan dengan konsultasi dan
pertimbangan Gubernur. (Pasal
8 ayat (3)

Kebijakan administratif yang
berkaitan langsung dengan
Pemerintahan Aceh yang
diambil oleh Pemerintah
Indonesia dilakukan dengan
konsultasi dan persetujuan
Kepala Pemerintah Aceh.
(Poin 1.1.2 huruf d)

--

d) Pemerintah dan Pemerintah
Aceh melakukan pengelolaan
bersama sumber daya alam
minyak dan gas bumi yang
berada di darat dan laut di
wilayah kewenangan Aceh.
(Pasal 160)

Aceh berhak menguasai 70%
hasil dari semua cadangan
hidrokarbon dan sumber
daya alam lainnya yang
ada saat ini dan di masa
mendatang di wilayah Aceh
maupun laut teritorial sekitar
Aceh. (Poin 1.3.4.)

--

e) Untuk memeriksa, mengadili,
memutus, dan menyelesaikan
perkara pelanggaran hak
asasi manusia yang terjadi
sesudah Undang-Undang
ini diundangkan dibentuk
Pengadilan Hak Asasi Manusia
di Aceh. (Pasal 228 ayat (1)

Semua kejahatan sipil yang
dilakukan oleh aparat militer
di Aceh akan diadili pada
pengadilan sipil di Aceh.
(Poin 1.4.5)

--

Sumber: MoU RI-GAM, Draf RUU-PA dan UUPA

Peraturan Pelaksana UUPA dan Realisasi
Dari 40 bab dan 206 pasal yang mengatur substansi UUPA baik dalam konteks administrasi, politik,
hukum, politik hukum (legal policy), ekonomi, sosial-budaya terdapat beberapa peraturan pelaksana sebagai
penjabarannya. Dimana terdiri dari 7 Peraturan Pemerintah (PP), 3 Peraturan Presiden (Perpres), 2 Keputusan
Presiden (Keppres), 64 Qanun Aceh dan 12 qanun kabupaten/kota.
Penetapan peraturan-peraturan pelaksana yang menjadi kewajiban pemerintah pusat, sebagaimana dalam
Pasal 271 disebutkan: “Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menjadi kewajiban Pemerintah dibentuk paling
lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Namun demikian, sampai saat ini yang sudah
direalisasi oleh pemerintah baru sebatas 2 PP dan 2 PerPres sebagaimana bisa dilihat pada tabel-3, yaitu:
Tabel-3: Realisasi Peraturan Pelaksana

NO

1.

2.

PERATURAN PEMERINTAH

PERATURAN PRESIDEN
Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2008
tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 Pertimbangan atas Rencana Persetujuan
Internasional, Rencana Pembentukan Undangtentang Partai Politik Lokal di Aceh1
Undang, dan Kebijakan Administratif yang
Berkaitan Langsung dengan Pemerintahan Aceh
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun
Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2010
2009 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Tentang Kerja Sama Pemerintah Aceh dengan
Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris
Lembaga atau Badan di Luar Negeri
Daerah Aceh dan Sekretaris Daerah
Kabupaten/Kota di Aceh2

Sumber: www.setneg.go.id

4

Sementara, realisasi qanun organik pasca-pengesahan UUPA, juga baru sebagian yang direalisasikan oleh
pemerintahan Aceh. Sejak tahun 2007 sudah diselesaikan sebanyak 28 Qanun berturut-turut 10 qanun pada
tahun 2007, 12 qanun pada tahun 2008 dan 6 qanun pada tahun 2009. Nomor, tahun dan muatan qanun bisa
dilihat pada tabel-4 di bawah ini:
Tabel-4: Realisasi Qanun Aceh

NO

2007

2008

2009

1.

Qanun Nomor 01 Tahun
2007 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja
Aceh Tahun 2007

Qanun Nomor 01 Tahun 2008
tentang Keuangan Aceh

2.

Qanun Nomor 02 Tahun
2007 tentang Perubahan
atas Qanun Nomor 1 Tahun
2005 tentang Kedudukan
Protokoler dan Keuangan
Pimpinan dan Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah

Qanun Nomor 02 Tahun 2008
tentang Tata Cara Pengalokasian Qanun Nomor 02 Tahun
Tambahan dana Bagi Hasil dan
2009 tentang Majelis
Penguasaan Dana Otonomi
Permusyawaratan Ulama
Khusus

3.

Qanun Nomor 03 Tahun
2007 tentang Tata Cara
Pembentukan Qanun

Qanun Nomor 03 Tahun 2008
tentang Partai Lokal Peserta
Pemilu, Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh dan
Dewan Perwakilan Rakyat
Kabupaten/Kota

Qanun Nomor 03 Tahun
2009 tentang Tata Cara
Pemilihan dan Pemberhentian
Imum Mukim Aceh

4.

Qanun Nomor 04 Tahun
2007 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja
Sekretaris Daerah dan
Sekretaris Dewan Aceh

Qanun Nomor 04 Tahun 2008
tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Aceh Tahun 2008

Qanun Nomor 04 Tahun
2009 tentang Tata Cara
Pemilihan dan Pemberhentian
Keuchik

Qanun Nomor 05 Tahun
2008 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan

Qanun Nomor 05 Tahun
2009 tentang Penanaman
Modal

Qanun Nomor 06 Tahun
2008 tentang Administrasi
Pendudukan

Qanun Nomor 06 Tahun
2009 tentang Pemberdayaan
dan Perlindungan Perempuan

5.

6.

Qanun Nomor 05 Tahun
2007 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja
Dinas, Lembaga Teknis
Daerah dan Lembaga
Daerah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam
Qanun Nomor 06 Tahun
2007 tentang Perubahan
Anggaran Pendapatan dan
Belanja Aceh Tahun 2007

Qanun Nomor 01 Tahun
2009 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Aceh
Tahun 2009

7.

Qanun Nomor 07
Tahun 2007 tentang
Penyelenggaraan Pemilu di
Aceh

Qanun Nomor 07 Tahun 2008
tentang Perubahan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Aceh
Tahun 2008

--

8.

Qanun Nomor 08 Tahun
2007 tentang Bantuan
Keuangan Kepada Partai
Politik dan Partai Politik
Lokal

Qanun Nomor 08 Tahun 2008
tentang Pelayanan Publik

--

5

9.

Qanun Nomor 09 Tahun
2007 tentang Pendelegasian
Kewenangan Pemerintah
Aceh Kepada Dewan
Kawasan Sabang

Qanun Nomor 09 Tahun 2008
tentang Pembinaan Kehidupan
Adat dan Adat Istiadat

--

10.

Qanun Nomor 10 Tahun
2007 tentang Baitul Mal

Qanun Nomor 10 Tahun 2008
tentang Lembaga Adat

--

11.

--

12.

--

Qanun Nomor 11 Tahun 2008
tentang Perlindungan Anak
Qanun Nomor 12 Tahun 2008
tentang Susunan Organisasi dan
Tata Keraja Badan Pelayanan
Perizinan Terpadu

--

--

Sumber: http://www.dpra.nad.go.id/

Peraturan Pelaksana yang Belum Terealisasi
Meskipun dalam amanat UUPA disebutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk membentuk peraturan
pelaksanaan paling lambat dua tahun sebagaimana bunyi Pasal 271, namun hingga saat ini baru 2 PP dan
2 Perpres yang ditetapkan. Secara peraturan perundang-undangan keterlambatan penetapan peraturan
pelaksana oleh pemerintah adalah bentuk pelanggaran hukum. Namun karena tidak adanya pengaturan
bentuk sanksi hukum dalam UUPA berdampak pada rendahnya posisi tawar pemerintah Aceh, kecuali hanya
sebatas menunggu realisasi peraturan tersebut. Adapaun peraturan pelaksana yang belum ditetapkan dapat
dilihat pada tabel 5 antara lain:
Tabel 5: Peraturan Pelaksana UUPA yang Belum Ditetapkan

PASAL

1.

Pasal 4

2.

Pasal 43

3.

Pasal 160

4.

Pasal 251

5.

Pasal 253

6.

Pasal 270

PERATURAN PEMERINTAH
Kawasan khusus selain untuk perdagangan
bebas dan/atau pelabuhan bebas dan
pembagian kewenangan antara Pemerintah,
Pemerintah Aceh/kabupaten/kota dan badan
pengelola kawasan khusus
Kedudukan Gubernur sebagai Wakil
Pemerintah
Pengelolaan bersama sumber daya alam
minyak dan gas bumi yang berada di darat
dan laut di wilayah kewenangan Aceh antara
Pemerintah dan Pemerintah Aceh
Nama dan gelar pejabat pemerintahan Aceh

--

Kewenangan Pemerintah yang bersifat
nasional di Aceh dan pelaksanaan UUPA
yang menyangkut kewenangan Pemerintah

PERATURAN PRESIDEN

--

--Peralihan Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional di Aceh dan
Kantor Pertanahan kabupaten/
kota menjadi perangkat Daerah
Aceh dan perangkat daerah
kabupaten/kota
--

Sumber: UUPA

Konsekuensi Hukum dan Politik UUPA
Hingga tahun keempat implementasi UUPA atau sejak tahun 2006 masih terdapat polemik yang
berdampak positif dan negatif bagi pelaksanaan pemerintahan Aceh. Hal ini merupakan konsekuensi dari

6

kelemahan kewenangan khusus Aceh yang diatur dalam UUPA secara tidak tegas, bergantung dan bersayap.
Antara lain, pertama, tidak disebutkannya secara eksplisit istilah self government Aceh baik dalam MoU
maupun UUPA, meskipun secara implisit substansi UUPA menyerupai prinsip pelaksanaan self government.
Kedua, secara politik hukum (legal policy), kewenangan pemerintahan Aceh yang berkaitan dengan politik
dan perekonomian masih harus diatur lebih lanjut dengan peraturan pelaksana dari pemerintah bukannya
dengan qanun.
Ketiga, kebijakan administrasi pemerintah dan persetujuan internasional di Aceh yang memerlukan
“konsultasi dan persetujuan” Gubernur dan DPRA menjadi “berdasarkan konsultasi dan pertimbangan”. Contoh
Pasal 8 ayat (3), berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam pembentukan atau pemekaran wilayah yang
harus berdasar pada konsultasi dan pertimbangan gubernur. Padahal Pasal 5 UU 32/2004 disebutkan
bahwa syarat administratifnya harus melalui persetujuan DPRD, Gubernur dan rekomendasi dari Mendagri.
Keempat, masih adanya pengawasan pemerintah pusat secara represif terhadap Qanun Aceh dan peraturan
kepala daerah, sebagaimana Pasal 235 yang bisa kita jadikan contoh.
Dan, kelima, dualisme dasar hukum di Aceh dimana UUPA tetap berlaku namun juga harus mengikuti
peraturan perundang-undangan lain yang berlaku secara umum. Misalnya, pengaturan struktur pimpinan
dewan yang mengundang kontroversi. Dimana DPRA dan sebagian DPRK memasukkan dua pimpinan
dewan dari satu fraksi, yaitu Partai Aceh (PA). Menggunakan dasar hukum Pasal 30 ayat (2) UUPA yang
menyiratkan susunan DPRA diatur dengan peraturan Tata Tertib DPRA/DPRK. Sebaliknya Menteri Dalam
Negeri menggunakan Pasal 303 UU No.27 tahun 2009 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD
dan DPRD, yang disana disebutkan bahwa pimpinan DPRD harus berasal dari partai politik berdasarkan
urutan perolehan kursi terbanyak. Ditambah lagi menurut Pasal 400, UU ini berlaku juga bagi DPRA/
DPRK, DPR Papua, dan DPRD Papua Barat, sepanjang tidak diatur khusus dalam UU tersendiri. Mendagri
beralasan struktur pimpinan dewan tidak diatur khusus dalam UUPA. Selanjutnya, polemik terhadap Pasal
36 Qanun Nomor 03 Tahun 2008 tentang Partai Lokal di Aceh, berkaitan dengan syarat wajib mampu
membaca Al-Quran bagi calon anggota legislatif dari partai politik nasional. Mendagri meminta pasal
tersebut dicabut karena menganggap syarat tersebut hanya kepada caleg parlok. Namun, pasal tersebut tidak
direvisi oleh DPRA.
Konsekuensinya permasalahan-permasalahan seperti ini disamping memperlambat implementasi
pemerintahan, juga telah melemahkan UUPA dalam konteks pelaksanaan self government atau asymetric
autonomy. Padahal kalau mengacu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dicabut dengan UUPA,
peraturan pelaksananya langsung diatur oleh qanun. Sebagaimana Pasal 1 angka 8 disebutkan, qanun provinsi
NAD adalah peraturan daerah sebagai pelaksanaan UU di Provinsi NAD dalam rangka penyelenggaraan
otonomi khusus. Berdasarkan pasal tersebut jelas hanya qanun sebagai peraturan pelaksana UU otsus, tanpa
harus menunggu PP atau Perpres.
Sehingga, Supardan Modeong, mengatakan, secara prosedur qanun adalah perda, yang dibentuk oleh
DPRD dan Kepala Daerah. Namun, ditinjau dari sudut kompetensinya, qanun berbeda dengan perda,
karena tidak tunduk pada PP dan Keppres (Perpres), sedangkan perda tunduk. Oleh karenanya, sebagaimana
peraturan perundang-undangan lainnya qanun mempunyai kekuatan mengikat dan dapat dipaksakan.
Sehingga keberadaan qanun dalam UU sebagai lex specialis.
Polemik-polemik lainnya, kemungkinan besar juga akan muncul menjelang pilkada Aceh pada Desember
2011 mendatang, terutama berkaitan dengan masalah pencalonan calon perseorangan. Menurut Pasal 256
UUPA pemilihan calon perseorangan di Aceh hanya berlaku dan dilaksanakan untuk pertama kali pada
pilkada 2006 lalu. Anehnya, Aceh dibatasi sedangkan untuk pilkada daerah lain diberikan afirmasi. Pasal 59
ayat (1) UU No. 12/2008 joncto UU No. 32/2004 menyebutkan, peserta pilkada adalah a) pasangan calon
yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol, dan, b) pasangan calon perseorangan yang didukung oleh
sejumlah orang.
Terlepas UUPA sebagai produk politik dan lex specialis yang telah menimbulkan polemik dan permasalahan
implementasi, hal ini tetap merupakan sebuah produk politik yang niscaya. Oleh karena itu, akan keliru bila
sebagian masyarakat Aceh mengatakan bahwa pelaksanaan pemerintahan di Aceh hanya mengacu UUPA,
meskipun lex specialis. Tentu saja, hal ini akan merugikan Aceh karena banyak mengandung kelemahan.
Sebaliknya, kalau merujuk UU umum juga tidak menguntungkan, karena menghilangkan kewenangan
khusus Aceh.

7

Dalam realitas politik hukum, fenomena ini menimbulkan ambiguitas implementasi. Menggunakan
UUPA semata tentu tidak menguntungkan, menggunakan UU umum malah merugikan kekhususan yang
ada. Kalaupun, ada aspirasi untuk me-review UUPA melalui legislative review (perubahan oleh DPR) atau
melalui judicial review (perubahan oleh Mahkamah Konstitusi), maka tetap saja akan memunculkan dua
kemungkinan. Pertama, UUPA akan lebih baik sebagaimana substansi MoU RI-GAM dan sebagaimana
aspirasi rakyat Aceh. Kedua, sebaliknya UUPA akan lebih buruk, mengingat alat uji revisi yang digunakan oleh
DPR atau MK adalah UUD 1945, bukannya MoU RI-GAM. Sebagaimana Pasal 24C ayat (1) UUD 1945,
amandemen ketiga, tahun 2001 joncto Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
menyebutkan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan
perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Meskipun, Pasal 269 menyebutkan, Rencana perubahan UUPA yang dilakukan oleh DPR terlebih dahulu
memerlukan konsultasi dan pertimbangan DPRA. Hal inilah yang perlu menjadi pertimbangan dalam melakukan
legislative review atau judicial review. Namun, kalau mengacu kepada asas-asas peraturan perundang-undangan
kelemahan yuridis materiil UUPA bukanlah persoalan. Karena, sebagaimana asas lex specialis derogate lex generalis
(peraturan yang khusus mengenyampingkan peraturan umum). Begitu juga sebaliknya, apabila dalam
peraturan yang khusus tidak diatur, maka mengikuti peraturan umum atau yang baru. Sebagaimana asas
lex posteriore derogate lex priori (peraturan yang datang kemudian dapat mengenyampingkan peraturan yang
sebelumnya sudah ada). Walaupun demikian, secara politik hukum asymetric autonomy hal ini merugikan Aceh,
karena banyak kewenangan khusus yang digantung dengan UU yang umum.

Solusi
Karena itu, alternatif agar tidak menimbulkan konsekuensi hukum yang dapat merugikan Aceh mau
tidak mau pemerintahan Aceh dan rakyatnya harus melakukan pendekatan politik dan hukum (politic and legal
approach) kepada pemerintah pusat. Secara politik (political approach), pertama, mensyaratkan adanya dukungan
seluruh komponen rakyat Aceh kepada pemerintahan Aceh dan sebaliknya keterbukaan pemerintahan Aceh
kepada rakyat Aceh.
Kedua, Pemerintah Aceh dan rakyat Aceh bersama-sama mendesak dan melakukan lobby kepada
pemerintah pusat agar secara konsisten bisa menerapkan UUPA sesuai MoU dan aspirasi rakyat. Ketiga,
secara lebih progresif, berkaitan dengan self government Aceh, agar diatur dalam konstitusi dasar Republik
Indoneisa atau UUD 1945 agar tidak menimbulkan kontradiksi dengan konstitusi. Sementara pendekatan
hukum (legal approach) meminta pemerintah segera menetapkan PP dan Perpres, serta merevisi UUPA sesuai
dengan konteks asymetric autonomy.

Referensi
Prang, A. J. (2008). Qanun Parlok Batal, Selanjutnya, Serambi Indonesia edisi 6 Agustus 2008 dan edisi
1 Agustus 2008.
-------------- (2010). UUPA Makin Runyam, Serambi Indonesia edisi 5 Januari 2010.
Peraturan Pemerintah tentang Partai Politik Lokal di Aceh, PP No. 20 Tahun 2007, LN No. 43
Tahun 2007, TLN No. 4708.
Peraturan Pemerintah tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian
Sekretaris Daerah Aceh dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota di Aceh, Perpres No. 58
Tahun 2009, LN No. 135 Tahun 2009.
Modeong, S. (2003). Teknik Perundang-Undangan di Indonesia, Jakrta: Penerbit Perca.
Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, UU No. 18 Tahun 2001, LN No. 114 Tahun 2001, TLN No. 4134.
Undang-Undang Pemerintahan Aceh, UU No. 11 Tahun 2006, LN No. 62 Tahun 2006, TLN No.
4633.

8

(Footnotes)
1 Peraturan Pemerintah tentang Partai Politik Lokal di Aceh, PP No. 20 Tahun 2007, LN No. 43 Tahun 2007,
TLN No. 4708.
2 Peraturan Pemerintah tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Sekretaris
Daerah Aceh dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota di Aceh, PP No. 58 Tahun 2009, LN No. 135 Tahun 2009.

9