Sejarah penyebaran Islam di Tanah Karo

Kapan Islam Masuk ke Tanah Karo

Studi mengenai Islam di Tanah Karo adalah sebuah pembahasan yang sangat menarik.
Apabila kita membaca sejarah perkembangan Islam di Aceh, maka nampaklah bahwa
Islam telah menjadi agama sebagian penduduk di Tanah Karo, khususnya mereka yang
mendiami wilayah yang menjadi bagian dari Kerajaan Aceh saat itu, seperti Langkat,
Medan dan daerah sekitar pegunungan Gayo dan Alas dan lain sebagainya.
Namun, bila diadakan pembahasan secara khusus tentang sejarah Islam di Tanah Karo
maka banyak orang yang membuatnya bermula dari abad ke-18 M. Hal itu dapat
dimaklumi karena orang-orang Karo yang menjadi subjek dalam Kerajaan Aceh, benarbenar terasimilasi kepada masyarakat kerajaan tersebut. Sehingga banyak orang yang
terjebak dalam asumsi bahwa yang dinamakan Tanah Karo dan orang Karo adalah sisa
masyarakat yang belum memeluk Islam di tempat terisolir.
Padahal, sejarawan bersikap plin-plan, saat membahas sejarah berdirinya kota Medan. Di
sana di dapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa pendiri kota tersebut adalah orang
Karo yang kebetulan Muslim bernama Guru Patimpus yang tahun pendiriannya adalah
1590. Orang-orang Karo diyakini sebelumnya telah banyak memeluk agama Islam akibat
interaksi dengan para intelektual, saudagar dan pelaut Muslim yang singgah di pesisir
Sumatera Utara dalam pelayaran mengarungi Selat Malaka. Baik itu di masa kejayaan
Haru Wampu maupun Haru Delitua.
Oleh karena itulah, tidak salah mengatakan bahwa Islam telah dikenal di Tanah Karo
sejak dua atau tiga abad sebelumnya, dan bisa saja juga diperkuat dengan akibat dari

konstelasi politik di Aceh, khususnya di daerah antara sungai Samudera dan Pasai.
Menurut sejarah, antara tahun 1275-1286 M, merupakan tahun-tahun penting bagi daerah
pesisir timur Sumatera Utara. Di tahun inilah Kesultanan Daya Pasai, sebuah kesultanan
yang disinyalir dipengaruhi secara budaya oleh pemerintahan Dinasti Fatimiyah di Mesir,
memperluas daerah kekuasaannya dan mendirikan pemerintahan bawahan di Bandar
Kalipah. Pemerintahan ini yang dikenal bernama Kesultanan Bandar Kalipah, disinyalir
menjadi faktor utama dalam memperkenalkan Islam secara institusional kepada orangorang Karo yang bermukim di wilayah tersebut. Secara geografis, penduduk Karo terdiri
dari dua kelompok masyarakat; pegunungan dan pesisir.
Pemerintahan pertama dipegang oleh Muhammad al-Kamil dengan gelar Sultan
Muhammad al-Kamil Perkasa Alam. Daerah kekuasaan kesultanan ini meliputi daerahdaerah antara Sungai Deli dan Sungai Asahan, yang kebanyakan merupakan orang-orang
Karo. Konon, kepiawaian Muhammad al-Kamil, yang dikenal kemudian dengan nama
Sultan Muhammadsyah, beserta permaisurinya Putri Ratna Hussin masih dikenang
sampai sekarang.
Kesultanan Bandar Kalipah diyakini kemudian mengalami kegoncangan politik akibat
perubahan-perubahan kekuatan di Selat Malaka dengan munculnya Majapahit di pihak

lokal dan Mesir, Arab, Persia, India dan Cina di pihak asing.
Saat Kesultanan Daya Pasai berhasil dikuasasi oleh kekuatan baru yakni Kesultanan
Samudera Pasai, Sultan Muhammad al-Kamil Perkasa Alam, Sultan Bandar Kalipah,
segera mengambil sebuah kebijakan penting dengan menyatakan kemerdekaan negaranya

dari dominasi kekuatan manapun, pada tahun 1286.
Pada saat itu pula, Kesultanan Samudera Pasai, yang didirikan oleh orang Batak yang
masuk Islam bernama Merah Silu alias Malik al-Shaleh, mengklaim semua daerah
bawahan Daya Pasai menjadi bagian dari wilayah kekuasaannya. Akibatnya, perang
antara kedua pasukan tidak terelakkan. Pasukan Samudera Pasai berhasil menguasai
Bandar Kalipah dan Sultan Muhammad al-Kamil Perkasa Alam bersama permaisurinya
dan pasukannya mengungsi ke Muar Malaya dan di sana mereka mendirikan kekuasaan
baru yang bernama Kesultanan Muar Malaya. Di Semenanjung Malaysia ini, mereka
berhasil membangun sebuah pemerintahan yang mapan, sekitar satu abad sebelum
munculnya Kesultanan Malaka yang terkenal itu pada tahun 1383 M.
Pada masa pemerintahan Kesultanan Samudera Pasai ini, orang-orang Karo semakin
terlibat dalam pembangunan kebudayaan dan peradaban Islam, khususnya mazhab syafii,
sesuai dengan mazhab yang dianut oleh kesultanan baru tersebut.
Setelah empat belas tahun, orang-orang Karo berada dalam pemerintahan Samudera
Pasai, sekitar tahun 1300 M pasukan Kesultanan Dehli dari India, mencoba masuk ke
Selat Malaka dan menguasai daerah-daerah sekitar Sungai Deli sampai ke Delitua.
Selama lima puluh, orang-orang India tersebut memimpin sebuah provinsi bawahan dari
India bersama orang-orang Karo.
Pasukan dari India ini, setelah itu mengundurkan diri akibat perubahan pemerintahan di
negaranya dari tangan Sultan Kilzi ke Sultan Taklak pada tahun 1350 M. Selama lima

puluh tahun tersebut, persatuan budaya antara orang-orang Karo dengan India
menghasilkan sebuah harmonitas dengan peninggalan-peninggalan sejarah, berupa
kuburan dan makam, yang sampai sekarang masih terdapat di sekitar Sungai Deli, sebuah
peninggalan yang dihormati oleh orang Melayu maupun Karo.
Sementara itu, orang-orang Karo di luar Delitua, khususnya di Kerajaan Haru Wampu,
dan daerah lainnnya terpaksa mengalami krisis politik yang mendalam saat wilayahwilayah tersebut dikuasasi oleh tentara Majapahit. Perang antara pasukan Majapahit dan
Samudera Pasai tidak terelakkan pada tahun 1339 M. Puncaknya, pasukan Samudera
Pasai dipimpim oleh Panglima Mula Setia memukul mundur pasukan Majapahit yang
membuat pos di Tamiang. Tentara Majapahit kacau balau melarikan diri.
Paska krisis politik yang mencekam tersebut, pembangunan di Kesultanan Samudera
Pasai berangsur pulih dan kemajuan peradaban dapat ditingkatkan. Di masa inilah
diyakini banyak orang-orang Karo yang turun dari pegunungan mulai banyak mengenal
Islam saat berinteraksi dengan masyarakat asing yang singgah. Salah satu ilmuwan yang
singgah di Kesultanan Samudera Pasai adalah Ibn Batutah pada tahun 1345 M.

Banyak juga tokoh-tokoh yang dikenal pada zaman setelah itu (1451 M) di antaranya,
Datuk Sahilan yang dikenang sebagai tokoh yang memperkenalkan Islam kepada orangorang Batak di daerah-daerah Sungai Asahan sampai ke Simalungun, Kisaran, Tinjauan,
Perdagangan, Bandar, Tanjung Kasau, Bedagai, Sungai Karang dan Bangun Purba. Datuk
Sahilan merupakan ulama Melayu yang memperkenalkan Islam ke pedalaman daeah
Batak.

Orang-orang Karo semakin banyak yang berpendidikan dan semakin banyak pula yang
terlibat sebagai elit-elit pada masyarakat, baik di bidang pendidikan, agama maupun
politik. Puncaknya, pada tahun 1497 M, seorang Karo bernama Manang Sukka, yang
menjadi panglima pada kesultanan kecil salah satu kesultanan yang akhirnya membentuk
Kesultanan Aceh Darussalam, menjadi menantu sang Sultan.
Dia bersama tiga iparnya, para putera mahkota, memperluas Kesultanan baru tersebut
sampai meliputi hampir semua wilayah Sumatera. Ketiga iparnya itu adalah Sultan Ali
Mughayat Syah, Laksamana Tuanku Burhanuddin Syah dan Laksamana Tuanku
Ibrahimsyah.

Guru Patimpus???
Guru Patimpus lahir di Aji Jahe. Dia mendengar kabar ada seorang datang dari Jawi
(bahasa Jawi bahasa Pasai Aceh, kemudian dikenal dengan bahasa Melayu tulisan Arab.
Orang yang datang dari Jawi itu adalah orang dari Pasai keturunan Said yang berdiam di
kota Bangun. Orang itu sangat dihormati penduduk di Kota Bangun kemudian diangkat
menjadi Datuk Kota Bangun yang dikenal sangat tinggi ilmunya. Banyak sekali
perbuatannya yang dinilai ajaib-ajaib.
Guru Patimpus sangat ingin berjumpa dengan Datuk Kota Bangun untuk mengadu
kekuatan ilmunya. Guru Patimpus beserta rakyatnya turun melalui Sungai Babura,
akhirnya sampailah di Kuala Sungai Sikambing. Di tempat ini Guru Patimpus tinggal

selama 3 bulan, kemudian pergi ke Kota Bangun untuk menjumpai Datok Kota Bangun.
Konon ceritanya dalam mengadu kekuatan ilmu, siapa yang kalah harus mengikuti yang
memang. Dalam adu kekuatan ini, berkat bantuan Allah SWT Guru Patimpus kalah dan
dia memeluk agama Islam, sebelumnya beragama Perbegu. Dia belajar agama Islam dari
Datuk Kota Bangun. Dia selalu pergi dan kembali ke Kuala Sungai Sikambing pergi ke
gunung dan ke Kota Bangun melewati Pulo Berayan yang waktu itu di bawah kekuasaan
Raja Marga Tarigan keturunan Panglima Hali. Dalam persinggahan di Pulo Berayan,
rupanya Guru Patimpus terpikat hatinya kepada puteri Raja Pulo Berayan yang cantik.
Akhirnya kawin dengan puteri Raja Pulo Berayan itu, kemudian mereka pindah dan
membuka hutan kemudian menjadi Kampung Medan.
Dari perkawinan dengan puteri Raja Pulo Berayan lahirlah dua orang anak lelaki, seorang

bernama Kolok dan seorang lagi bernama Kecik. Kedua putera Guru Patimpus ini pergi
ke Aceh untuk belajar agama Islam. Kedua putera Guru Patimpus ini hafal AlQur'an,
karena itu Raja Aceh memberi nama untuk yang tua Kolok Hafiz, dan adiknya Kecik
Hafiz.
Menurut silsilah yang ditulis dalam bahasa Karo di atas kulit Alin itu, Hafiz Muda
kemudian menggantikan orang tuanya Guru Patimpus, menjadi Raja XII Kuta. Putera
Guru Patimpus dari ibu yang lain bernama Bagelit turun dari gunung menuntut hak dari
ayahandanya yaitu daerah XII Kuta. Setelah puteranya Bagelit memeluk agama Islam

daerah XII Kuta yang batasnya dari laut sampai ke gunung dibagi dua. Kepada Bagelit
diberi kekuasaan dari Kampung Medan sampai ke gunung. Akhirnya kekuasaan Bagelit
dikenal dengan Urung Sukapiring. Sedangkan Hafiz Muda tetap menjadi Raja XII Kuta
berkedudukan di Kampung Medan. Waktu itu Medan adalah sekitar Jalan Sungai Deli
sampai Sei Sikambing (Petisah Kampung Silalas). Guru Patimpus dan puteranya Hafiz
Muda yang menjadikan Kampung Medan sebagai pusat pemerintahannya.
Menurut silsilah dan riwayat Hamparan Perak (XII Kuta) Guru Patimpus belajar agama
Islam pada Datuk Kota Bangun. Menurut catatan sejarah Datuk Kota Bangun adalah
seorang ulama besar, tapi tidak disebut namanya. Apakah Datuk Kota Bangun itu adalah
Imam Siddik bin Abdullah yang meninggal 22 Juni 1590? Pertanyaan ini barang kali ahli
sejarah dapat menjawabnya. Di masa dulu ulama–ulama besar lebih dikenal dengan
menyebut nama tempat ulama itu berdomisili.
Menurut Prof. J.P. Moquette dan Tengku Luckman Sinar, SH, makam Imam Siddik bin
Abdullah terdapat di Perkebunan Klumpang. Pada batu nisannya tertulis ulama dari Aceh
Imam Siddik bin Abdullah meninggal 23 Syakban 998H (22 Juni 1590)