PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN BAHASA INDONES ID

PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
SISWA SEKOLAH DASAR

1. Hakikat Pembelajaran Bahasa Indonesia
Belajar adalah sebuah proses penambahan bagian demi bagian
informasi baru terhadap apa yang telah mereka ketahui dan kuasai
sebelumnya. Pengetahuan dibangun siswa melalui keterlibatan mereka secara
aktif dalam belajar atau apa yang dikenal dengan istilah John Dewey “belajar
sambil berbuat (learning by doing)”. Jadi keberhasilan pembelajaran tidak
terletak pada seberapa banyak materi atau informasi yang disampaikan guru
kepada siswa. Sementara ukuran utama keberhasilan pembelajaran terletak
pada seberapa jauh guru dapat melibatkan siswa secara aktif dalam belajar.
Siswa belajar dengan menggunakan tiga cara, yaitu melalui pengalaman
(dengan kegiatan langsung atau tidak langsung), pengamatan (melihat contoh
atau model), dan bahasa.
Halliday (1979, dalam goodman,dkk.,1987) menyatakan ada tiga tipe
belajar yang melibatkan bahasa yaitu;
1. belajar bahasa
Kemampuan ini melibatkan dua hal, yaitu (1) kemampuan untuk
menyampaikan pesan, baik secara lisan (melalui berbicara) maupun
tertulis (melalui menulis), serta (2) kemampuan memahami, menafsirkan

dan menerima pesan, baik yang disampaikan secara lisan (melalui
kegiatan menyimak) maupun tertulis (melalui kegiatan membaca).

1

2. belajar melalui bahasa
Seseorang menggunakan bahasa untuk mempelajari pengetahuan,
sikap, keterampilan.
3. belajar tentang bahasa
Seseorang mempelajari bahasa untuk mengetahui segala hal yang
terdapat pada suatu bahasa, seperti sejarah, sistem bahassa, kaidah
berbahasa, dan produk bahasa seperti sastra.
Apabila kita berbicara tentang kemampuan berbahasa maka wujud
kemampuan itu lazimnya diklasifikasikan menjadi empat macam:
1. kemampuan menyimak atau mendengarkan
Kemampuan memahami dan menafsirkan pesan yang disampaikan
secara lisan oleh orang lain.
2. kemampuan berbicara
Kemampuan untuk menyampaikan pesan secara lisan kepada orang
lain.

3. kemampuan membaca
Kemampuan untuk memahami dan menafsirkan pesan yang
disampaikan secara tertulis oleh pihak lain.
4.

kemampuan menulis.
Kemampuan menyampaikan pesan kepada pihak lain secara
tertulis.

2

Dari Penelitiannya Walter Loban (1976, dalam Tomkins dan
Hoskisson, 1995) menyimpulkan adanya hubungan antara keterampilan
berbahasa siswa dan keterampilan berbahasa dengan belajar,
pertama, siswa dengan kemampuan berbahsa lisan (menyimak dan
berbicara) yang kurang efektif cenderung kurang efektif puila kemampuan
berbahasa tulisnya (membaca dan menulis).
kedua, terdapat hubungan yang kuat antara kemampuan berbahasa siswa
dengan kemampuan akademik yang diperolehnya.
Cara pandang pembelajaran bahasa di sekolah dasar adalah sebagai


berikut:
1. imersi, yaitu pembelajaran bahasa dilakukan dengan ‘menerjunkam’
siswa secara langsung dalam kegiatan berbahsa yang dipelajarinya;
2. pengerjaan (employment), yaitu pembelajaran bahasa dilakukan
dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat aktif
dalam berbagai kegiatan berbahasa yang bermakna, fungsional dan
otentik;
3. demonstrasi, yaitu siswa belajar bahasa melaluio demonstrasi dengan
pemodelan dan dukungan yang disediakan guru;
4. tanggung jawab (responsibility), yaitu pembelajaran bahasa yang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih aktivitas
berbahasa yang akan dilakukannya;

3

5. uji coba (trial-error), yaitu pembelajaran bahasa yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan dari perspektif
atau sudut pandang siswa;
6. pengharapan (expectation), artinya siswa akan berupaya utuk sukses

atau berhasil dalam belajar jika ada merasa bahwa gurunya
mengharapkan dia menjadi sukses.
2. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia harus memperhatikan
karekteristik siswa. Hal ini digunakan untuk melihat kecenderungan dan
keinginan siswa dalam pembelajaran bahasa tersebut. Menurut Van Els
(1984:27) mengklasifikasikan karakteristik siswa atas empat bagian yakni (1)
umur siswa, (2) bakat, (3) pengetahuan siswa, (4) sikap yang meliputi minat,
motivasi, dan kepribadian. Komponen di atas sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan siswa dalam pembelajaran. Pembelajaran bahasa harus
memperhatikan tingkat perkembangan usia siswa. Hal ini berkaitan dengan
pemilihan materi atau contoh-contoh yang diberikan guru. Materi bahasa
Indonesia yang secara berjenjang diberikan di tingkat satuan pendidikan
menghendaki kemampuan guru menganalisis kebutuhan materi dengan baik.
Guru juga harus memahami bakat bahasa dan pengetahuan siswa.
Karakteristik yang sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa adalah
sikap meliputi minat, motivasi, dan kepribadian.

4


3. Problematika Pembelajaran Bahasa Indonesia
Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia bukan untuk menjadikan siswa
sebagai ahli bahasa. Kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa
Indonesia yang sesuai dengan keperluannya sendiri adalah tujuan siswa
belajar bahasa Indonesia. Siswa perlu diberi kesempatan untuk menambah
“pengalaman” berbahasa. Siswa membutuhkan “ruang” untuk membaca,
mendengar, menulis, dan berbicara melalui bahasa Indonesia. Bahasa
Indonesia yang baik dan benar harus dialami siswa secara nyata, bukan hanya
sebatas cita-cita dan slogan semata.
Belajar bahasa Indonesia bukanlah belajar pola dan kaidah. Siswa
perlu belajar cara mengemukakan pendapat pada saat dan waktu yang tepat.
Kompetensi siswa dalam berbahasa harus menjadi fokus pembelajaran. Siswa
mampu memahami ‘teks” secara keseluruhan, bukan “penggalan” unsurunsur dalam bahasa itu sendiri. Bahasa adalah keutuhan teks yang dialami
siswa. Harus diakui, kondisi pembelajaran bahasa Indonesia yang ada saat ini
sangat dipengaruhi oleh problematika makro dalam pembelajaran bahasa
Indonesia, antara lain sebagai berikut.
Kebijakan bahasa Indonesia yang berkembang saat ini terjebak pada politik
identitas semata. Bahasa Indonesia dianggap sebagai ornamen untuk
membangkitkan semangat nasionalisme tanpa diikuti langkah konkret untuk
membenahi sikap dan perilaku berbahasa pemakainya. Bahasa Indonesia

tidak mampu menjadi kekuatan vital dalam “mendampingi” proses perubahan
jati diri dan keilmuan bagi pemakainya.

5

Kurikulum pembelajaran bahasa Indonesia yang katanya sudah bagus hanya
menjadi simbol dalam memenuhi target penyesuaian pada tingkat satuan
pelajaran. Kurikulum tetap belum mampu menembus ruang-ruang kelas yang
menjadi sentral interaksi guru dan siswa dalam kegiatan belajar. Kurikulum
telah mengungkung kreativitas guru dalam interaksi belajar di kelas.
Sikap guru yang terlalu biasa, kurang positif terhadap bahasa Indonesia. Guru
tidak mampu mengemas materi belajar yang menarik da;am kegiatan belajar.
Bahasa Indonesia dianggap tidak memiliki nilai tambah bagi siswa. Bahkan,
tidak sedikit guru yang tidak bangga mengajar bahasa Indonesia. Kondisi ini
diperkeruh dengan kompetensi berbahasa guru yang belum mampu menjadi
model bagi siswa. Keteladanan guru dalam berbahasa, khususnya menulis dan
berbicara masih sangat langka.
Konsekuensinya, pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah saat ini terkesan
mengarah pada penguasaan materi pelajaran semata daripada kompetensi
berbahasa. Guru semakin dominan dalam kegiatan belajar di kelas. Hak

suswa untuk berbahasa relatif terabaikan. Terbaca indikasi kuat, arah
pembelajaran bahasa Indonesia hanya untuk memenuhi target kurikulum,
bukan memberdayakan kompetensi berbahasa siswa.
4. Realitas Pembelajaran Bahasa
Hari ini, tensi pembelajaran bahasa Indonesia makin mengalami
penurunan. Banyak guru yang semakin sibuk mengurus program “sertifikasi”
untuk mencapai kualitas kesejahteraan yang juga penting. Tanpa rasa pesimis,
sejujurnya, pembelajaran bahasa Indonesia semakin dihadapkan pada

6

tantangan yang semakin berat. Apalagi meniliki realitas berbahasa
masyarakat “di luar kelas” yang makin marak dan bergerak cepat, semakin
meninggalkan bahasa Indonesia pada level pembelajaran dan kurikulum.
Realitas pembelajaran saat ini dihadapkan pada kondisi berikut.
Pembelajaran

bahasa

Indonesia


berlangsung

monoton

dan

membosankan. Metode pembelajaran terkesan itu-itu saja, metode ceramah,
dikte, meringkas, membaca dalam hati, dan latihan/tugas yang evaluasinya
sering tidak dapat dipertanggungjawabkan. Belajar bahasa Indonesia tidak
diintegrasikan dengan pemanfaatan media seperti: film, video, lagu, gambar,
atau alam terbuka.
Siswa semakin malas belajar bahasa Indonesia. Sikap memandang
remeh dan acuh terhadap bahasa Indonesia “menyelimuti” sebagian besar
siswa. Gejalanya, siswa sering ngantuk, tidak bergairah, under estimate saat
mengikuti pelajaran bahasa Indonesia di kelas. Siswa tidak memiliki
kesadaran dan pemahaman yang cukup tentang pentingnya keterampilan
berbahasa dan tata bahasa praktis bahasa Indonesia.
Gejala bahasa “di luar kelas” makin “menyudutkan” pembelajaran
bahasa Indonesia. Fenomena bahasa jejaring sosial (facebook, twitter, bahasa

gaul, bahasa alay) dapat dianggap mengontaminasi perilaku bahasa siswa.
Siswa beranggapan bahasa Indonesia terlalu bersifat teoretik dan dipenuhi
kaidah, sedangkan dinamika perkembangan bahasa di masyarakat lebih
bersifat praktis dan berkembang pesat.

7

Sikap inferior atau rendah hati siswa dalam menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Siswa tidak mendapatkan “model” yang pas
dalam berbahasa Indonesia yang indah. Maka, siswa merasa lebih memiliki
“gengsi” apabila dapat menggunakan bahasa asing atau bahasa Inggris dalam
peristiwa tutur sehari-hari, baik secara lisan maupun tulis.
Realitas pembelajaran di atas patut menjadi perhatian semua pihak.
Jika tidak, bahasa Indonesia akan semakin tergerus eksistensinya di mata
pemakainya sendiri. Semua pihak harus menyadari “posisi” pembelajaran
bahasa Indonesia saat ini harus dievaluasi. Apapun jalan yang ditempuh,
pembelajaran bahasa Indonesia harus dikondisikan menjadi lebih “bergairah
dan antusias” dari sekarang!
5. Solusi
Apa yang harus kita lakukan terhadap pembelajaran bahasa Indonesia?

Kita, guru dan praktisi bahasa Indonesia semestinya lebih berkonsentrasi pada
aspek praktis pembelajaran bahasa Indonesia. Target pembelajaran bahasa
Indonesia hendaknya diarahkan pada 1) memiliki kompetensi berbahasa yang
memadai (membaca, menyimak, menulis, dan berbicara) dan 2) mampu
berpikir dan bernalar secara objektif .
Belajar bahasa bukan pada “pengetahuan bahasa” melainkan pada
“kemampuan berbahasa”. Berapa lama siswa membaca dalam sehari? Saat
kapan siswa menyimak dengan benar? Mampukah siswa menuliskan
pengalamannya? Kapan dan tentang apa siswa berbicara? Belajar bahasa

8

Indonesia harus lebih kontekstual dan menarik dengan dukungan kreativitas
guru sehingga evaluasi belajar pun dapat diukur siswa, bukan guru.
Guru dituntut memiliki orientasi pembelajaran bahasa Indonesia yang
lebih bersifat praktis. Sebagai solusinya, ada beberapa orientasi praktis yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Indonesia
di sekolah, antara lain: 1) proses pembelajaran harus bertumpu pada siswa,
bukan guru, 2) hanya menekankan pada kompetensi berbahasa siswa, 3)
menyederhanakan materi pelajaran, 4) melibatkan kreativitas guru, 5)

evaluasi belajar yang dapat diukur siswa, dan 6) menerapkan metode
pembelajaran yang menarik dan menyenangkan.
Tentu, masih banyak cara untuk meningkatkan kualitas pembelajaran
bahasa Indonesia. Sejauh dilandasi semangat dan kegairahan dalam belajar
bahasa Indonesia pasti akan memberi implikasi yang positif untuk semua
pihak; untuk siswa, guru, maupun tujuan pembelajaran. Kali ini, kita perlu
melibatkan hati dalam belajar bahasa Indonesia, tidak hanya pikiran. Sikap,
kompetensi, penguasaan materi, dan cara mengajar menjadi aspek terpenting
dalam menggairahkan pembelajaran bahasa Indonesia ke depan. Biarkan
bahasa Indonesia menemukan kembali kedahsyatannya!
Daftar Pustaka
http://bahasa.kompasiana.com/2012/12/21/pembelajaran-bahasa-indonesiake-mana-arahnya--512720.html, diakses tanggal 7 November 2013.
Van Els, Theo. 1984. Applied Linguistics and the Learning and Teaching of
Foreign Language. Auchland: Edward Arnold.

9