PERBEDAAN KEJADIAN POSTPARTUM BLUES PADA PERSALINAN SEKSIO SESARIA DAN PERSALINAN SPONTAN SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

PERBEDAAN KEJADIAN POSTPARTUM BLUES PADA PERSALINAN SEKSIO SESARIA DAN PERSALINAN SPONTAN SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran FIFIANA DEWI PERMATASARI G0008213

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2011

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Melahirkan seorang anak dapat menyebabkan suatu perubahan besar yang melibatkan gejolak fisik dan emosional yang cukup berarti. Perubahan fisiologis tubuh dan rasa sakit yang diderita mengakibatkan perasaan tegang. Perasaan bahagia yang timbul sering kali juga diiringi dengan perasaan was- was, takut, dan panik karena perasaan gelisah menghadapi kenyataan akan hadirnya tangis bayi dalam keluarga ataupun khawatir terhadap kesehatan dan keadaan bayi yang akan lahir. Menjadi seorang ibu juga berarti melepas identitas masa lalu seorang perempuan, melepas masa anak dan remaja yang begitu menyenangkan dan merubahnya menjadi masa yang penuh tanggung jawab (Marshall, 2004). Pada masa itu perempuan dituntut untuk mampu merawat dan membesarkan anaknya menjadi pribadi yang baik dengan tetap mempertahankan peranan sebelumnya. Tanggung jawab besar inilah yang sering memicu perempuan mengalami depresi setelah persalinannya (Suhemi, 2009).

Perempuan setelah melahirkan dapat mengalami simptom yang mirip dengan simptom depresi pasca melahirkan, yang dikenal dengan postpartum blues, yang dialami hampir 80 persen perempuan yang baru melahirkan. Hal ini berbeda dengan depresi pasca melahirkan karena postpartum blues hanya gangguan yang dialami paling lama enam minggu dan intensitas terjadinya

pada jangka waktunya dan segi intensitasnya. Depresi postpartum terjadi secara konstan dan terus-menerus, sedangkan pada postpartum blues lebih ringan. Perempuan yang mengalami postpartum blues masih bisa menikmati tidur nyenyak apabila dijauhkan dari kewajiban mengurus bayinya. Selain itu, hiburan tertentu masih dapat mengembalikan kegembiraannya (Handi, 2004). Postpartum blues maupun depresi postpartum dapat terjadi pada perempuan manapun tanpa mempertimbangkan usia, ras, agama, tingkat pendidikan, maupun latar belakang sosial ekonomi, dan dapat dialami lagi pada kehamilan selanjutnya (Barsky, 2006).

Penelitian ini penting dilakukan karena gangguan postpartum blues pada ibu pasca persalinan masih dianggap sebagai hal yang wajar sehingga seringkali terabaikan dan tidak tertangani dengan baik (Iskandar, 2004). Selain ibu merasa enggan menceritakan gejala-gejala yang dirasakannya, hal ini terjadi karena pihak penyedia layanan kesehatan biasanya menganggap masalah ibu hanya sekedar “aktivitas hormon” atau menganggapnya sebagai postpartum blues yang bersifat sementara saja dan akan hilang dengan sendirinya (Beck, 1999). Meskipun pihak penyedia layanan kesehatan memiliki program yang berkesinambungan terkait dengan kesehatan fisik ibu dan bayi, namun tidak semua yang memberikan perhatian lebih pada kesehatan psikologis ibu. Padahal perempuan mempunyai kebutuhan khusus karena kodratnya untuk haid, hamil, melahirkan, dan menyusui sehingga memerlukan pemeliharaan yang lebih intensif dalam hidupnya, baik fisik Penelitian ini penting dilakukan karena gangguan postpartum blues pada ibu pasca persalinan masih dianggap sebagai hal yang wajar sehingga seringkali terabaikan dan tidak tertangani dengan baik (Iskandar, 2004). Selain ibu merasa enggan menceritakan gejala-gejala yang dirasakannya, hal ini terjadi karena pihak penyedia layanan kesehatan biasanya menganggap masalah ibu hanya sekedar “aktivitas hormon” atau menganggapnya sebagai postpartum blues yang bersifat sementara saja dan akan hilang dengan sendirinya (Beck, 1999). Meskipun pihak penyedia layanan kesehatan memiliki program yang berkesinambungan terkait dengan kesehatan fisik ibu dan bayi, namun tidak semua yang memberikan perhatian lebih pada kesehatan psikologis ibu. Padahal perempuan mempunyai kebutuhan khusus karena kodratnya untuk haid, hamil, melahirkan, dan menyusui sehingga memerlukan pemeliharaan yang lebih intensif dalam hidupnya, baik fisik

Lebih lanjut, tingkat keparahan gejala maupun dampak terjadinya depresi postpartum menjadikan gangguan ini tidak dapat diabaikan. Penanganan terhadapnya baru akan menjadi perhatian lebih dan membutuhkan intervensi dari pihak-pihak profesional karena akan mempunyai dampak lebih buruk terutama dalam hubungan perkawinan dengan suami dan dengan anaknya (Iskandar, 2004).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa penting mengadakan suatu penelitian untuk mengetahui perbedaan postpartum blues antara persalinan seksio sesaria dan spontan karena diharapkan dapat memberikan pandangan yang representatif tentang status kesehatan mental perempuan pasca persalinan sehingga dapat digunakan sebagai dasar bahwa intervensi khusus perlu diberikan pada perempuan pasca persalinan baik dengan persalinan spontan ataupun dengan seksio sesaria.

B. Perumusan Masalah

Adakah perbedaan kejadian postpartum blues antara persalinan seksio sesaria dan spontan?

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan kejadian postpartum blues antara persalinan dengan seksio sesaria dan persalinan spontan.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritik Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu Obstetri Ginekologi tentang perbedaan postpartum blues antara persalinan seksio sesaria dan spontan.

2. Manfaat terapan Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dilakukannya pencegahan postpartum blues dengan intervensi khusus pada pasien pasca persalinan.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Postpartum Blues

a. Definisi Postpartum blues merupakan suatu keadaan sebagai akibat dari proses melahirkan dan merupakan suatu transisi perasaan yang dialami perempuan pasca melahirkan yang umumnya terjadi, yang berlangsung singkat dan bukan suatu masalah yang serius (Henshaw, 2003). Postpartum blues merupakan hal yang umum terjadi pada perempuan pasca melahirkan dan akan hilang dengan sendirinya sebelum mencapai hari kesepuluh (Kennerly, 1989). Seorang perempuan yang mengalami postpartum blues di satu minggu pertama dan tidak kunjung hilang hingga kurun waktu dua minggu setelah melahirkan berisiko dua setengah kali lipat mengalami depresi postpartum dua bulan berikutnya (Iskandar, 2004).

b. Etiologi Faktor hormonal seringkali disebut sebagai faktor utama yang dapat memicu timbulnya postpartum blues. Faktor ini melibatkan terjadinya perubahan kadar sejumlah hormon dalam tubuh ibu pasca persalinan, yaitu menurunnya kadar hormon progesteron, hormon estrogen, ketidakstabilan kelenjar tiroid, dan menurunnya tingkat

faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam terjadinya postpartum blues seperti harapan persalinan yang tidak sesuai dengan kenyataan, adanya perasaan kecewa dengan keadaan fisik dirinya juga bayinya, kelelahan akibat proses persalinan yang baru dilaluinya, kesibukan mengurus bayi dan perasaan ibu yang merasa tidak mampu atau khawatir akan tanggung jawab barunya sebagai ibu, kurangnya dukungan dari suami dan orang-orang sekitar, terganggu dengan penampilan tubuhnya yang masih tampak gemuk, dan kekhawatiran pada keadaan sosial ekonomi yang membuat ibu harus kembali bekerja setelah melahirkan (Kennerly, 1989).

Faktor penyebab depresi dapat secara buatan dibagi menjadi faktor biologis, faktor genetika dan faktor psikososial. Faktor biologis berasal dari biogenik amin, norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood . Faktor neurotransmitter norepinefrin yang dinyatakan oleh penelitian ilmiah dasar antara turunnya regulasi reseptor b-adrenergik dan respon antidepresan secara klinis memungkinkan indikasi peran sistem noradrenergik dalam depresi. Sedangkan penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan beberapa pasien yang bunuh diri (depresi) memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah di dalam cairan serebrospinal dan juga konsentrasi tempat ambilan serotonin di trombosit. Data tertentu juga menyatakan bahwa aktivitas dopamin Faktor penyebab depresi dapat secara buatan dibagi menjadi faktor biologis, faktor genetika dan faktor psikososial. Faktor biologis berasal dari biogenik amin, norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood . Faktor neurotransmitter norepinefrin yang dinyatakan oleh penelitian ilmiah dasar antara turunnya regulasi reseptor b-adrenergik dan respon antidepresan secara klinis memungkinkan indikasi peran sistem noradrenergik dalam depresi. Sedangkan penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan beberapa pasien yang bunuh diri (depresi) memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah di dalam cairan serebrospinal dan juga konsentrasi tempat ambilan serotonin di trombosit. Data tertentu juga menyatakan bahwa aktivitas dopamin

Faktor neurokimia lainnya seperti GABA (Gama Amino Buteric Acid) dan neuroaktif peptida (terutama vasopressin dan opiate endogen) telah dilibatkan dalam patofisiologi gangguan mood (Sadock, 2005). Sedangkan hipothalamus adalah pusat regulasi neuroendokrin dan menerima rangsangan neuronal yang menggunakan neurotransmitter biogenic amin. Bermacam-macam disregulasi endokrin dijumpai pada pasien gangguan mood (Sadock, 2005; Durand, 2007). Salah satu hormon yang diduga memiliki peranan adalah CRH (Corticotropin Releasing Hormon ) (Yim, 2009).

Faktor genetika juga berpengaruh, pada penelitian twin studies menunjukkan bahwa anak kembar identik memiliki kemungkinan dua sampai tiga kali lebih tinggi untuk menunjukkan gangguan suasana perasaan dibanding dengan kembar fraternal (Durand, 2007).

Meskipun depresi dapat terjadi pada setiap manusia dengan pola kepribadian apapun, tetapi manusia dengan tipe kepribadian dependen- oral, obsesif-kompulsif, histerikal memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami depresi. Faktor psikoanalitik dan psikodinamik juga berperan mempengaruhi episode pertama gangguan mood. Dalam percobaan

secara berulang maka binatang akan menyerah dan tidak melakukan usaha sama sekali untuk menghidari kejutan yang diberika padanya dan pada manusia depresi juga ditemukan ketidakberdayaan yang mirip. Hal ini membuktikan bahwa ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness ) juga berpengaruh. Hal terakhir yang berpengaruh adalah interpretasi yang keliru (misinterpretation) kognitif yang sering menyebabkan distorsi negatif pengalaman hidup, penilaian diri yang negatif, pesimisme, dan keputusasaan selanjutnya dapat menyebabkan perasaan depresi. (Durand, 2007)

c. Diagnosis dan Skrining Postpartum Blues

Postpartum blues diukur dengan menggunakan Blues Questionnaire yang berdasarkan teori postpartum blues dari Kennerley & Gath. Kuesioner ini terdiri dari 28 item gejala postpartum blues dengan pilihan jawaban “Ya” dan “Tidak”. Untuk “Ya” diberi skor 1 dan “Tidak” diberi skor “0”. Gejala yang ada pada Blues Questionnaire yaitu meneteskan air mata, semangat yang berkurang, mudah lupa, cemas, emosi yang berlebihan, semangat yang berubah-ubah, kelelahan, kesulitan untuk menunjukkan perasaan, ingin merasa sendiri, hampa, mudah gugup, terlalu sensitif, emosi yang naik turun, membayangkan sesuatu, menyesal pada diri sendiri, merasakan sangat sedih, cepat marah, menangis terus menerus, tidak bahagia, tidak mempunyai harapan, tidak merasa gembira, penurunan konsentrasi, penurunan Postpartum blues diukur dengan menggunakan Blues Questionnaire yang berdasarkan teori postpartum blues dari Kennerley & Gath. Kuesioner ini terdiri dari 28 item gejala postpartum blues dengan pilihan jawaban “Ya” dan “Tidak”. Untuk “Ya” diberi skor 1 dan “Tidak” diberi skor “0”. Gejala yang ada pada Blues Questionnaire yaitu meneteskan air mata, semangat yang berkurang, mudah lupa, cemas, emosi yang berlebihan, semangat yang berubah-ubah, kelelahan, kesulitan untuk menunjukkan perasaan, ingin merasa sendiri, hampa, mudah gugup, terlalu sensitif, emosi yang naik turun, membayangkan sesuatu, menyesal pada diri sendiri, merasakan sangat sedih, cepat marah, menangis terus menerus, tidak bahagia, tidak mempunyai harapan, tidak merasa gembira, penurunan konsentrasi, penurunan

2. Persalinan (Partus)

a. Definisi Persalinan (partus) adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri) yang dapat hidup ke dunia luar, dari lahir melalui jalan lahir atau jalan lain. Persalinan terjadi karena keterlibatan berbagai faktor, salah satunya adalah hormon. Teori penurunan hormon menyebutkan bahwa pada 1-2 minggu sebelum persalinan mulai terjadi penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron. Progesteron bekerja sebagai penenang otot polos rahim dan akan menyebabkan kontraksi pembuluh darah sehingga timbul his bila kadar progesteron turun (Mochtar, 1998).

b. Persalinan Spontan Persalinan spontan adalah proses lahirnya bayi dengan presentasi belakang kepala dengan tenaga ibu sendiri, tanpa bantuan alat-alat atau pertolongan istimewa serta tidak melukai ibu dan bayi yang umumnya berlangsung kurang dari 24 jam (Winkjosastro, 2007).

(pembukaan) adalah waktu untuk pembukaan serviks sampai menjadi pembukaan lengkap 10 cm. Kala ini ditandai dengan keluarnya lendir bercampur darah (bloody show) karena serviks mulai membuka (dilatasi) dan mendatar (effacement). Kala II (pengeluaran janin) dimulai saat pembukaan sudah lengkap dan berakhir sampai bayi dilahirkan. Pada fase ini his terkoordinir, kuat, cepat, dan lebih lama, kira-kira 2-3 menit sekali. Setelah bayi lahir, kontraksi uterus istirahat sebentar. Selanjutnya dimulai kala III, yaitu waktu pelepasan dan pengeluaran plasenta dan selaput janin. Kala IV merupakan kala terakhir yang merupakan periode pengawasan 1 jam setelah bayi dan uri lahir untuk mengamati keadaan ibu terutama terhadap bahaya perdarah postpartum (Mochtar, 1998; Mansjoer, 1999; Winkjosastro, 2007).

c. Seksio sesaria Seksio sesaria adalah suatu persalinan buatan di mana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Winkjosastro, 2007). Persalinan ini dilakukan dengan beberapa indikasi baik dari ibu maupun janin. Disproporsi kepala panggul, plasenta previa, tumor pelvis (obstruksi jalan lahir), kelainan tenaga atau kelainan his, ruptura uteri imminent (mengancam), serta kegagalan persalinan yaitu persalinan tidak maju dan tidak ada pembukaan, disebabkan serviks yang kaku, sering terjadi pada ibu primi tua atau

indikasi pada ibu sehingga perlu dilakukan seksio sesaria. Sedangkan, janin besar (> 4000 gram), kelainan gerak, gawat janin, janin kelelahan dan tidak ada kemajuan dalam persalinan, serta hidrocepalus merupakan indikasi pada janin sehingga perlu dilakukan seksio sesaria. Selain itu, ada pertimbangan lain yang digunakan sebagai indikasi seksio sesaria yaitu ibu dengan risiko tinggi persalinan. Apabila telah mengalami seksio sesaria atau menjalani operasi kandungan sebelumnya karena ruptura uteri, sebaiknya persalinan berikutnya juga dengan seksio sesaria untuk menghindari terjadinya ruptura uteri saat kontraksi uterus pada persalinan spontan (Mochtar, 1998; Winkjosastro, 2007).

Komplikasi yang terjadi pada tindakan ini menyebabkan trauma jaringan baik pada ibu maupun janin. Trauma jaringan (fisik) pada ibu dapat mengakibatkan nyeri pasca seksio sesaria akut yang dapat berkembang menjadi nyeri pasca persalinan kronik. Keadaan ini dapat mengganggu kondisi fisik dan psikologis sang ibu (Eisenach, 2008). Perawatan di rumah sakit yang lebih lama, biaya yang lebih mahal, serta penundaan ke aktivitas normal yang lebih lama dapat memperparah gangguan psikologis pada ibu, yaitu depresi pasca persalinan (Patel, 2005; Sword, 2009).

Kondisi pasca persalinan disebut juga masa nifas (peurperium), yaitu kondisi di mana masa pulih kembali, mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti pra-hamil. Lama masa ini adalah 6-8 minggu (Mansjoer,1999).

Setelah kelahiran, pembuluh darah mengalami obliterasi akibat perubahan hialin, dan pembuluh – pembuluh yang lebih kecil menggantikannya. Uterus secara berangsur-angsur menjadi kecil (involusi) sehingga kembali seperti sebelum hamil. Kontraksi rahim yang terjadi 2-4 hari pasca persalinan menyebabkan rasa sakit (after pains). Pada masa awal nifas, peluruhan jaringan desidua menyebabkan keluarnya discharge vagina dalam jumlah bervariasi yang disebut lokhia. Secara mikroskopis, lokhia terdiri atas eritrosit, serpihan desidua, sel – sel epitel, dan bakteri. Selama beberapa hari pertama setelah melahirkan, kandungan darah dalam lokhia cukup banyak sehingga warnanya merah, lokhia rubra. Setelah 3 atau 4 hari, lokhia menjadi sangat memucat yang kemudian disebut sebagai lokhia serosa. Setelah sekitar 10 hari, akibat campuran leukosit dan berkurangnya kandungan cairan, lokhia menjadi berwarna putih atau putih kekuning – kuningan, yang disebut sebagai lokhia alba (Winkjosastro, 2007).

Puting susu, areola, duktus & lobus membesar, vaskularisasi meningkat (Breast Engorgement). Keadaan payudara pada 2 hari pertama nifas sama dengan keadaan dalam kehamilan. Pada waktu ini buah dada Puting susu, areola, duktus & lobus membesar, vaskularisasi meningkat (Breast Engorgement). Keadaan payudara pada 2 hari pertama nifas sama dengan keadaan dalam kehamilan. Pada waktu ini buah dada

Kandung kemih masa nifas mempunyai kapasitas yang bertambah besar dan relatif tidak sensitif terhadap tekanan cairan intravesika. Overdistensi pengosongan yang tidak sempurna dan urine residual yang berlebihan sering dijumpai. Hal ini diduga karena pengaruh anestesi terutama anestesi regional dan gangguan temporer fungsi saraf kandung kemih. Ureter dan pelvis renalis yang mengalami dilatasi akan kembali ke keadaan sebelum hamil mulai dari minggu ke 2 sampai ke 8 setelah kelahiran (Ambarwati, 2008).

Selama proses kehamilan dan persalinan terdapat perubahan pada sistem endokrin. Hormon-hormon yang berperan pada proses tersebut, antara lain hormon plasenta, hormon pituitary, hipotalamik pituitary ovarium, hormon oksitosin, dan hormon estrogen dan progesteron (Ambarwati, 2008; Saleha 2009).

Perubahan sistem muskuloskeletal terjadi pada saat umur kehamilan semakin bertambah. Adaptasi muskuloskelatal ini mencakup: peningkatan berat badan, bergesernya pusat akibat pembesaran rahim, Perubahan sistem muskuloskeletal terjadi pada saat umur kehamilan semakin bertambah. Adaptasi muskuloskelatal ini mencakup: peningkatan berat badan, bergesernya pusat akibat pembesaran rahim,

Selain itu terdapat perubahan pada dinding perut dan peritoneum. Dinding perut akan longgar pasca persalinan. Keadaan ini akan pulih kembali dalam 6 minggu. Selama masa kehamilan, kulit abdomen akan melebar, melonggar dan mengendur hingga berbulan-bulan. Otot-otot dari dinding abdomen dapat kembali normal kembali dalam beberapa minggu pasca melahirkan dengan latihan postnatal. Striae pada dinding abdomen tidak dapat menghilang sempurna melainkan membentuk garis lurus yang samar. Setelah janin lahir, ligamen-ligamen, diafragma pelvis dan fasia yang meregang sewaktu kehamilan dan partus berangsur-angsur menciut kembali seperti sediakala. Tidak jarang ligamentum rotundum menjadi kendor yang mengakibatkan letak uterus menjadi retrofleksi (Ambarwati, 2008).

Biasanya ibu mengalami obstipasi setelah persalinan. Hal ini disebabkan karena pada waktu melahirkan alat pencernaan mendapat tekanan yang menyebabkan kolon menjadi kosong, pengeluaran cairan yang berlebihan pada waktu persalinan (dehidrasi), kurang makan, haemoroid, laserasi jalan lahir. (Ambarwati, 2008).

Satu hari (24jam) postpartum suhu badan akan naik sedikit (37,5°C - 38°C) sebagai akibat kerja keras waktu melahirkan, kehilangan cairan

Biasanya pada hari ketiga suhu badan naik lagi karena adanya pembentukan ASI, buah dada menjadi bengkak, berwarna merah karena banyaknya ASI. Bila suhu tidak turun kemungkinan adanya infeksi pada endometrium, mastitis, tractus genitalis atau sistem lain. Denyut nadi normal pada orang dewasa 60-80 kali permenit. Setelah melahirkan denyut nadi itu akan lebih cepat. Kemungkinan tekanan darah akan rendah setelah ibu melahirkan karena ada perdarahan. Tekanan darah tinggi pada postpartum dapat menandakan terjadinya preeklampsi postpartum (Ambarwati, 2008).

Keadaan pernafasan selalu berhubungan dengan keadaan suhu dan denyut nadi. Bila suhu nadi tidak normal, pernafasan juga akan mengikutinya, kecuali ada gangguan khusus pada saluran nafas (Ambarwati, 2008).

Pada persalinan pervaginam, biasanya perempuan kehilangan darah sekitar 300 – 400 cc. Bila kelahiran melalui seksio sesarea, maka kehilangan darah dapat dua kali lipat. Perubahan terdiri dari volume darah dan hematokrit. Bila persalinan pervaginam, hematokrit akan naik dan pada seksio sesaria, hematokrit cenderung stabil dan kembali normal setelah 4-6 minggu. Setelah persalinan, shunt akan hilang dengan tiba-tiba. Volume darah ibu relatif akan bertambah. Keadaan ini akan menimbulkan beban pada jantung. Keadaan ini dapat diatasi dengan mekanisme kompensasi dengan timbulnya haemokonsentrasi sehingga volume darah

postpartum (Ambarwati, 2008). Selama minggu-minggu terakhir kehamilan, kadar fibrinogen dan plasma serta faktor-faktor pembekuan darah meningkat. Pada hari pertama postpartum, kadar fibrinogen dan plasma akan sedikit menurun tetapi darah lebih mengental dengan peningkatan viskositas sehingga meningkatkan faktor pembekuan darah. Leukositosis yang meningkat di mana jumlah sel darah putih dapat mencapai 15.000 selama persalinan akan tetap tinggi dalam beberapa hari pertama dari masa postpartum. Jumlah sel darah putih tersebut masih bisa naik lagi sampai 25.000 atau 30.000 tanpa adanya kondisi patologis jika perempuan tersebut mengalami persalinan lama. Jumlah hemoglobine, hematokrit dan eritrosit akan sangat bervariasi pada awal-awal masa postpartum sebagai akibat dari volume darah, volume plasenta dan tingkat volume darah yang berubah-ubah. Semua tingkatan ini akan dipengaruhi oleh status gizi dan hidrasi perempuan tersebut. Kira-kira selama kelahiran dan masa postpartum terjadi kehilangan darah sekitar 200-500 ml. Penurunan volume dan peningkatan sel darah pada kehamilan diasosiasikan dengan peningkatan hematokrit dan hemoglobine pada hari ke 3-7 postpartum dan akan kembali normal dalam 4-5 minggu postpartum (Ambarwati, 2008).

Dalam menjalani adaptasi pada pasca persalinan, ibu akan mengalami fase sebagai berikut (Ambarwati, 2008; Maulana, 2008; Suhemi, 2009).

Fase ini adalah periode ketergantungan yang berlangsung pada hari pertama sampai hari kedua setelah melahirkan. Pada saat itu fokus perhatian ibu terutama pada dirinya sendiri. Pengalaman selama proses persalinan sering berulang diceritakannya. Hal ini membuat cenderung ibu menjadi pasif terhadap lingkungannya.

b. Fase taking hold

Periode yang berlangsung antara 3-10 hari setelah melahirkan. Pada fase ini ibu merasa khawatir akan ketidakmampuannya dan rasa tanggung jawabnya dalam merawat bayi. Pada fase ini ibu memerlukan dukungan karena saat ini merupakan kesempatan yang baik untuk menerima berbagai penyuluhan dalam merawat diri dan bayinya sehingga timbul percaya diri.

c. Fase letting go.

Fase ini adalah saat sang ibu menerima tanggung jawab akan peran barunya yang berlangsung sepuluh hari setelah melahirkan. Ibu sudah dapat menyesuaikan diri, merawat diri dan bayinya sudah meningkat.

4. Perubahan Emosional Pasca Melahirkan

Secara umum terdapat tiga jenis reaksi emosional yang dijumpai pada perempuan pasca persalinan yaitu Maternity blues atau postpartum Secara umum terdapat tiga jenis reaksi emosional yang dijumpai pada perempuan pasca persalinan yaitu Maternity blues atau postpartum

Psikosis pasca persalinan bisa dikatakan sebagai bentuk paling berat dari depresi pasca persalinan karena sudah ditandai dengan adanya ketidakmampuan membedakan antara realita (kenyataan) dan khayalan. Tanda dan gejala yang dialami oleh seseorang yang mengalaminya antara lain adalah waham. Waham adalah keyakinan yang salah (tidak sesuai dengan kenyataan, budaya dan norma yang berlaku) yang tetap dipertahankan walaupun telah dikoreksi dan diberikan bukti-bukti. Gejala lain yaitu terjadinya gangguan atau distorsi persepsi, yang antara lain berupa ilusi dan halusinasi atau adanya perilaku yang tidak wajar, yang berupa antara lain gaduh gelisah, marah-marah tanpa sebab, mengamuk, mencelakai diri sendiri atau orang lain (Marshall, 2004; Hay, 2009).

Gejala dan tanda postpartum blues yang muncul antara lain meneteskan air mata, semangat yang berkurang, mudah lupa, cemas, emosi yang berlebihan, semangat yang berubah-ubah, kelelahan, kesulitan menunjukkan perasaan, ingin merasa sendiri, hampa/tidak dapat merasakan apa-apa, mudah gugup, terlalu sensitif, emosi yang naik turun, gelisah, membayangkan sesuatu, menyesal pada diri sendiri, merasakan sangat sedih, cepat marah, menangis terus menerus, tidak bahagia, tidak mempunyai harapan, tidak merasa gembira, penurunan konsentrasi, penurunan keceriaan, berhati-hati/waspada, ketidaknyamanan, tidak percaya diri, dan merasa tidak tenang (Kennerly, 1989).

persalinan, dan depresi pasca persalinan juga mampu berkembang menjadi psikosis pasca persalinan. Dalam hal ini, depresi pasca persalinan didefiniskan sebagai suatu depresi yang ditemukan pada wanita setelah melahirkan, yang terjadi dalam kurun waktu 4 hingga 6 minggu. Hal ini dapat berlangsung hingga beberapa bulan bahkan beberapa tahun bila tidak diatasi (Dorheim, 2009).

Ketererangan:

Garis lurus: faktor yang secara langsung mempengaruhi postpartum blues Garis putus-putus: faktor luar yang tidak dapat dikendalikan yang turut

Pengalaman persalinan

Persalinan spontan Persalinan seksio sesaria

- Perubahan fisik - Perubahan psikologis

1. Nyeri pasca persalinan

2. Perawatan

3. Biaya

4. Penundaan ke aktivitas normal

1.Nyeri pasca persalinan lebih parah

2.Perawatan lebih lama 3.Biaya lebih mahal 4.Penundaan ke

aktivitas normal lebih lama

Postpartum blues (+)/(-)

Postpartum blues

a. Hormon (+)/(-)

b. Kepribadian

c. Kondisi kehamilan

d. Riwayat menyusui

e. Sosial ekonomi

f. Dukungan suami dan keluarga

Kejadian postpartum blues lebih banyak pada persalinan dengan seksio sesarea dibandingkan persalinan spontan.

METODE PENELITIAN

A. Jenis penelitian

Penelitian yang akan dilakukan merupakan observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Dalam penelitian ini, variabel bebas dan terikat dinilai secara simultan pada saat yang sama. Jadi tidak ada follow up pada penelitian ini (Arief, 2008).

B. Lokasi penelitian

Penelitian dilakukan di UPTD RS Daerah Banjarsari dan Rumah Bersalin Fitri Candra Wonogiri. .C. Subjek penelitian Populasi adalah keseluruhan subjek dalam penelitian (Arikunto, 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah pasien pasca persalinan yang menjalani rawat inap di Bangsal Perawatan Kebidanan dan Kandungan di RS Daerah Banjarsari dan Rumah Bersalin Fitri Candra Wonogiri.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian adalah non random purposive quota sampling , yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti (Sugiono, 2007).

1. Kriteria inklusi

a. Umur 20-35 tahun

b. Jenis persalinan spontan atau seksio sesaria

c. Umur kehamilan aterm (36-42 minggu) c. Umur kehamilan aterm (36-42 minggu)

f. Apgar Score ≥7

2. Kriteria eksklusi

a. Skor L-MMPI > 10

b. Komplikasi obstetri (preeklampsia, plasenta previa)

c. Kelainan konginetal mayor

D. Teknik sampling

Pengambilan sampel dilakukan secara teknik non random purposive quota sampling . Non random purposive quota sampling adalah suatu cara pengambilan dari suatu populasi di mana untuk mendapatkan sampel tersebut, peneliti memberikan kriteria inklusi yang dianggap sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini digunakan 66 pasien dari UPTD RS Daerah Banjarsari dan Rumah Bersalin Fitri Candra, di mana 33 pasien dengan persalinan normal dan 33 adalah pasien dengan seksio sesaria. Berdasarkan dalil rule of thumb jumlah minimal sampel yang dapat dipertanggungjawabkan secara statistik, sudah disepakati dan merupakan kelaziman bagi para ahli statistik adalah 30 orang. Jumlah tersebut disetujui karena sudah mendekati distribusi normal. Dan untuk mengantisipasi kemungkinan berkurangnya sampel maka digunakan rumus n’ = n/1-L. di mana n’ = ukuran sampel setelah revisi, n = ukuran sampel asli, L = non response rate/subjek yang hilang. Bila diantisipasi ada 10% subjek yang

2006). Jadi jumlah sampel 66 dianggap sudah representatif dalam penelitian ini.

E. Identifikasi variabel

1. Variabel bebas

: persalinan spontan dan

seksio sesaria

2. Variabel terikat

: postpartum blues

3. Variabel luar

a. Variabel terkendali

: kejujuran.

b. Variabel tidak terkendali : kepribadian, hormon, sosial ekonomi

F. Definisi operasional variabel

1. Persalinan spontan

a. Definisi Persalinan spontan adalah proses lahirnya bayi dengan presentasi belakang kepala dengan tenaga ibu sendiri, tanpa bantuan alat-alat atau pertolongan istimewa serta tidak melukai ibu dan bayi yang umumnya berlangsung kurang dari 24 jam (Winkjosastro, 2007).

b. Alat ukur : rekam medik

c. Skala : nominal

2. Persalinan seksio sesarea

a. Definisi Suatu persalinan buatan di mana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram (Winkjosastro, 2007).

3. Postpartum Blues

a. Definisi

Suatu keadaan sebagai akibat dari proses melahirkan dan merupakan suatu transisi perasaan yang dialami perempuan pasca melahirkan yang umumnya terjadi, yang berlangsung singkat dan bukan suatu masalah yang serius (Henshaw, 2003).

Alat ukur : kuesioner Blues Questionnaire

b. Cara pengukuran

Pengisian kuesioner Blues Questionnaire dilakukan sendiri oleh responden dengan didampingi peneliti dan hasil yang diperoleh akan dinilai dengan skor tertentu.

c. Skala : nominal

G. Instrumen Penelitian

1. Instrumen Lembar persetujuan dan identitas pribadi

2. Skala Inventori Lie Scale Minnesota Multiphasic Personality Inventory (L-MMPI) Menurut Graham dalam Handi (2004) instrumen ini digunakan untuk menguji kejujuran responden dalam menjawab pertanyaan yang ada pada kuesioner penelitian. Skala L-MMPI berisi 15 butir pernyataan untuk dijawab responden dengan ”ya” bila butir pertanyaan dalam L-MMPI sesuai dengan perasaan dan keadaan responden, dan ”tidak” bila tidak 2. Skala Inventori Lie Scale Minnesota Multiphasic Personality Inventory (L-MMPI) Menurut Graham dalam Handi (2004) instrumen ini digunakan untuk menguji kejujuran responden dalam menjawab pertanyaan yang ada pada kuesioner penelitian. Skala L-MMPI berisi 15 butir pernyataan untuk dijawab responden dengan ”ya” bila butir pertanyaan dalam L-MMPI sesuai dengan perasaan dan keadaan responden, dan ”tidak” bila tidak

3. Blues Questionnaire

Kuesioner ini terdiri dari 28 item gejala postpartum blues dengan pilihan jawaban “Ya” dan “Tidak”. Untuk “Ya” diberi skor 1 dan “Tidak” diberi skor “0”. Postpartum blues dibagi menjadi 7 kelas, di mana masing masing kelas jumlah gejalanya tidak sama. Seseorang dianggap mengalami postpartum blues bila terdapat dua belas gejala dalam pengisian kuesioner. Blues Questionnaire merupakan alat ukur sistematis untuk mengetahui gangguan postpartum blues dan telah diuji validitasnya.

H. Protokol penelitian

I. Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan uji Chi-Square dan diolah dengan menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17 for Windows.

Kuesioner L-MMPI

Persalinan spontan Persalinan seksio sesaria

Sampel

Kuesioner L-MMPI

Blues questionnair Blues questionnair

Postpartum blues

Tidak postpartum

Uji Chi-Square

Tidak postpartum blues

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian analtik observational dengan pendekatan cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah pasien pasca persalinan yang menjalani rawat inap di Bangsal Perawatan Kebidanan dan Kandungan di UPTD RS Daerah Banjarsari dan Rumah Bersalin Fitri Candra Wonogiri. Pengambilan sampel dilakukan secara teknik non random purposive quota sampling. Dalam penelitian ini digunakan 66 pasien di Bangsal Perawatan UPF Kebidanan dan Kandungan UPTD RS Daerah Banjarsari dan Rumah Bersalin Fitri Candra, di mana 33 pasien dengan persalinan normal dan 33 lainnya adalah pasien dengan persalinan seksio sesaria.

Dari penelitian yang dilakukan dengan pengambilan data dan pengisian kuesioner pada pasien persalinan spontan dan persalinan seksio sesaria diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel IV.1 Distribusi Data Responden Berdasarkan Usia

Usia

Seksio sesaria

prosentase Spontan

Prosentase

20-29 tahun

30 90,91 % 30-35 tahun

Dari tabel IV. diketahui bahwa berdasarkan usia responden pada kelompok usia 20-29 tahun pada persalinan seksio sesaria sebanyak 84,85 % sedangkan persalinan spontan sebanyak 90,91 %. Kelompok usia 30-35 tahun sebanyak pada persalinan seksio sesaria sebanyak 15,15 % sedangkan persalinan spontan sebanyak 9,09 %. Rerata usia persalinan pada seksio sesaria adalah 25,57 tahun sedangkan pada persalinan spontan adalah 23,45 tahun.

Tabel IV.2 Distribusi Responden Berdasarkan Penghasilan

Penghasilan

Seksio sesaria

Prosentase Spontan

Prosentase

<Rp 1.000.000

26 78,79 % ≥Rp 1.000.000

7 21,21 % Jumlah

Tabel IV.3 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Persalinan.

Spontan Seksio sesario

Dari tabel IV.3 diketahui jumlah responden dengan persalinan spontan sebanyak 33 orang (50,00 %) dan responden dengan persalinan seksio sesaria sebanyak 33 orang (50,00 %).

Tabel IV.4 Distribusi Responden Berdasarkan Postpartum Blues.

Postpartum Blues

Jumlah

Prosentase

Ada Tidak

Jumlah

B. Analisis Data.

Untuk mengetahui perbedaan kejadian postpartum blues pada persalinan seksio sesario dan persalinan spontan uji statistik Chi Kuadrat. Tabel 5. Tabulasi Silang Hasil Penelitian

Tidak Postpartum Blues

Postpartum Blues

Total

Persalinan SC Count (%

of Total)

Persalinan Spontan

Count (% of Total)

Count (% of Total)

Dari penelitian diperoleh hasil pada tabulasi silang responden dengan persalinan seksio sesaria yang tidak mengalami postpartum blues sebanyak 14 orang (21,2%) dan ada (mengalami) postpartum blues sebanyak 19 orang (28,8%). Sedangkan responden dengan persalinan spontan yang tidak mengalami postpartum blues sebanyak 24 orang (36,40%) dan ada (mengalami) postpartum blues sebanyak 9 orang (13,6%). Dari hasil perhitungan dengan SPSS diperoleh nilai c² hitung sebesar 6,203 dengan p-value sebesar 0,01, dengan df 1 c² tabel

sebesar 3,8. Oleh karena c²hitung (6,203) > c²tabel (3,8) atau p value (0.01) < 0,05 (a) maka Ho ditolak, sehingga dapat dinyatakan ada perbedaan yang sebesar 3,8. Oleh karena c²hitung (6,203) > c²tabel (3,8) atau p value (0.01) < 0,05 (a) maka Ho ditolak, sehingga dapat dinyatakan ada perbedaan yang

PEMBAHASAN

Pospartum blues terdiri dari 28 gejala yang dibagi menjadi 7 kelas, di mana masing-masing kelas jumlah gejalanya tidak sama. Seorang dikatakan mengalami postpartum blues jika terdapat 12 gejala dari 28 gejala yang ada. Dari tabel IV.5 tabulasi silang hasil penelitian sebagian besar kejadian postpartum blues dialami pada persalinan seksio sesaria yaitu sebesar 28,80 % sedangkan pada persalinan spontan sebesar 13,60 %. Hasil penelitian sesuai dengan penelitian dari Gonidakis (2007), sekitar 71,3 % perempuan yang baru melahirkan di Yunani mengalami postpartum blues di tiga hari pertama postpartum .

Persalinan seksio sesaria adalah suatu persalinan buatan di mana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram. Selain itu ada pertimbangan lain yang digunakan sebagai indikasi seksio sesaria yaitu ibu dengan risiko tinggi persalinan. Komplikasi yang terjadi pada tindakan ini menyebabkan trauma jaringan baik pada ibu maupun janin. Trauma jaringan (fisik) pada ibu dapat mengakibatkan nyeri pasca seksio sesaria akut yang dapat mengganggu kondisi fisik dan psikologis sang ibu. Menurut Patel (2005) dan Sword (2009) menyatakan bahwa perawatan di rumah sakit yang lebih lama, biaya yang lebih mahal, serta penundaan ke aktivitas normal yang

pasca persalinan. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Cury (2008), postpartum blues yang muncul pada perempuan post operatif (SC) terlihat lebih nyata dibandingkan dengan perempuan yang melahirkan secara normal. Perbedaan sangat nyata terlihat dari waktu munculnya gejala postpartum blues. Pada perempuan yang melahirkan secara normal, gejala postpartum blues terlihat memuncak di hari ke tiga dan empat, sedangkan pada perempuan post SC gejala-gejala postpartum blues muncul segera setelah operasi dan menghilang secara progresif.

Menurut Iles (1989), perempuan yang menjalani kelahiran dengan SC lebih berisiko mengalami gangguan mood setelah melahirkan di awal masa postpartum dibandingkan perempuan yang menjalani persalinan spontan. Hal tersebut karena stres akibat proses pembedahan yang dilakukan, yang mengakibatkan perubahan pada sistem endokrin dan psikologis di masa puerpurium sehingga berakibat berkembangnya postpartum blues yang lebih nyata terlihat (Stig, 2001).

Postpartum blues yang muncul pada perempuan yang baru melahirkan karena perubahan hormonal setelah melahirkan, yaitu pengaruh perubahan hormon estrogen dan progesteron (Kennerley, 1989). Menurut Levy (1987), pada perempuan post SC, postpartum blues ini muncul karena pengaruh hormon kortisol. Hormon kortisol ini seperti diketahui meningkat selama hamil dan setelah operasi yang berakibat pada perubahan mood. Disforia yang Postpartum blues yang muncul pada perempuan yang baru melahirkan karena perubahan hormonal setelah melahirkan, yaitu pengaruh perubahan hormon estrogen dan progesteron (Kennerley, 1989). Menurut Levy (1987), pada perempuan post SC, postpartum blues ini muncul karena pengaruh hormon kortisol. Hormon kortisol ini seperti diketahui meningkat selama hamil dan setelah operasi yang berakibat pada perubahan mood. Disforia yang

Hasil penelitian Isdinawati (2000) menyebutkan kecenderungan depresi postpartum perempuan primipara lebih tinggi dibandingkan perempuan multipara. Perempuan primipara belum mempunyai pengalaman dalam merawat anak sehingga timbul rasa takut dan khawatir melakukan kesalahan dalam merawat bayi. Begitu pula dalam melakukan tugas sebagai seorang ibu, wanita primipara merasa bingung, lebih terbebani, dan merasa kebebasannya berkurang dengan hadirnya seorang anak (Isdinawati, 2000)

Menurut Freudenthal (1999), postpartum blues yang dialami seorang perempuan setelah melahirkan terjadi karena sedikit atau tidak ada sama sekali bantuan dalam merawat anak. Hal tersebut dapat terjadi pada setiap perempuan, baik pada perempuan primipara maupun multipara. Postpartum blues yang dialami perempuan setelah melahirkan juga disebabkan kurangnya pengetahuan perempuan yang baru melahirkan terhadap tugas-tugas baru yang harus dijalani sebagai seorang ibu (Hunker, 2007).

Menurut Fisher (1997) bahwa perempuan yang menjalani seksio sesaria emergency akan mengalami perasaan gagal dan penurunan harga diri lebih besar karena tidak dapat melahirkan dengan normal serta tidak memiliki

dibandingkan perempuan yang menjalani seksio sesaria elektif. Perempuan yang menjalani seksio sesaria elektif, persiapan telah dipersiapkan sebelumnya karena mendapat informasi dari tenaga kesehatan. Perempuan yang menjalani seksio sesaria elektif akan menerima informasi mengenai proses seksio sesaria, waktu yang dibutuhkan, dan risiko yang kemungkinan muncul setelahnya dari staf kesehatan sewaktu pemeriksaan antenatal care. Proses informasi yang diterima akan membuat wanita yang menjalani seksio sesaria elektif mempersiapkan diri lebih baik secara fisik maupun mental serta proses penyembuhannya akan lebih cepat dan tidak menimbulkan trauma yang berat seperti pada wanita yang menjalani seksio sesaria emergency (Churcill, 2005).

Perempuan yang menjalani seksio sesaria emergency tidak mengetahui sebelumnya bahwa kehamilannya harus diakhiri dengan seksio sesaria. Pemberitahuan bahwa proses persalinan akan dilakukan dengan seksio sesaria dilakukan sesaat sebelum proses operasi, sehingga perempuan yang menjalani seksio sesaria emergency tidak dapat mengantisipasi perasaannya (Churcill, 2005). Perempuan yang mejalani seksio sesaria emergency tidak memiliki persiapan dan pengetahuan yang cukup mengenai seksio sesaria dan dampak yang ditimbulkan setelah seksio sesaria. Seorang perempuan yang menjalani seksio sesaria emergency akan merasa lebih takut akan kematian atau terluka, takut kehilangan bayinya, serta kehilangan kesadaran seterusnya akibat Perempuan yang menjalani seksio sesaria emergency tidak mengetahui sebelumnya bahwa kehamilannya harus diakhiri dengan seksio sesaria. Pemberitahuan bahwa proses persalinan akan dilakukan dengan seksio sesaria dilakukan sesaat sebelum proses operasi, sehingga perempuan yang menjalani seksio sesaria emergency tidak dapat mengantisipasi perasaannya (Churcill, 2005). Perempuan yang mejalani seksio sesaria emergency tidak memiliki persiapan dan pengetahuan yang cukup mengenai seksio sesaria dan dampak yang ditimbulkan setelah seksio sesaria. Seorang perempuan yang menjalani seksio sesaria emergency akan merasa lebih takut akan kematian atau terluka, takut kehilangan bayinya, serta kehilangan kesadaran seterusnya akibat

Trauma akan kelahiran dengan proses operasi tanpa pemberitahuan sebelumnya merupakan salah satu penyebab postpartum blues. Selain karena trauma, proses pemisahan dengan bayi yang baru dilahirkan yang belum diantisipasi sebelumnya membuat kekhawatiran perempuan yang menjalani seksio sesaria emergency bertambah. Sebagian besar perempuan yang menjalani SC, mempunyai masalah pada keadaan ibu dan bayinya sehingga keadaan keduanya setelah proses persalinan akan dipisahkan sampai keadaan keduanya stabil. Banyak wanita yang merasa cemas dan khawatir dengan keadaan fisik bayinya (Hunker, 2007).

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Iles (1989) yang dilakukan di RS Oxford, kelas postpartum blues yang paling dominan pada wanita post operasi adalah kelas retardasi (retardation) dan kelas kepercayaan diri. Kedua kelas tersebut memuncak di hari pertama dan kedua, selanjutnya menurun sampai hari ke sepuluh. Hal tersebut bertentangan dengan penelitian yang dilakukan Kennerly dan Gath (1989) menyebutkan, bahwa gejala postpartum blues yang paling sering muncul pada wanita yang baru melahirkan berada dalam kelas primary blues dan retardasi di mana masing-masing proporsinya adalah 36 %.

Penelitian Kane melaporkan, bahwa sekitar 64 % perempuan baru saja

(Henshaw, 2003). Penelitian dari Herlina (2008) menyebutkan, sekitar 7 orang (18,92%) dari 37 orang perempuan postpartum mengalami depresi ringan (postpartum blues) dengan menunjukkan gejala-gejala seperti kelelahan, mudah tersinggung dan mudah menangis tanpa alasan yang jelas.

Banyak perempuan yang baru melahirkan mengalami perasaan bahagia dan disforia dalam waktu bersamaan (Henshaw, 2003). Penelitian dari Cury (2008) dengan Stein’s Scale menjelaskan, sekitar 50% perempuan mengalami postpartum blues mengalami gejala mudah meneteskan air mata dan perasaan sangat sedih. Penelitian dari Okano dan Nomura cit Rohde (1997) menjelaskan bahwa gejala yang sering muncul di hari ke tiga sampai hari ke lima antara lain kelelahan, emosi yang naik turun, dan mudah meneteskan air mata.

Pada penelitian ini didapatkan tingginya gejala ketidaknyamanan, kelelahan, dan kegelisahan. Penelitian yang dilakukan oleh Levy (1987) menyebutkan, gejala yang paling banyak muncul pada perempuan post operasi yang mengalami postpartum blues adalah ketidaknyamanan (89%), kelelahan (86%) dan kegelisahan (70%) dengan menggunakan Blues Rating Questionnaire oleh Stein. Ketidaknyamanan disebabkan adanya luka di dearah pembedahan yang menyebabkan rasa nyeri lebih hebat yang dirasakan dibandingkan

persalinan normal. Ketidaknyamanan juga membuat para perempuan post operasi pembedahan persalinan normal. Ketidaknyamanan juga membuat para perempuan post operasi pembedahan

Sekitar 15-80% perempuan yang sedang berada di masa puerpurium mengalami perasaan yang sangat sedih dan mudah meneteskan airmata. Ketidaknyamanan fisik, stres sementara yang dialami setelah melahirkan dan gangguan psikologis akibat perubahan hormonal yang menyebabkan munculnya gejala-gejala tersebut. Sering meneteskan air mata dialami sekitar 50-80% perempuan yang baru melahirkan. Perasaan meneteskan air mata ini merupakan perasaan bahagia atas kelahiran sang bayi dengan selamat dan air mata yang menetes sering tidak disadari oleh para perempuan (Henshaw, 2003).

Postpartum blues yang muncul di masa puerperium tidak muncul begitu saja tanpa sebab. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi munculnya postpartum blues . Menurut Kennerly dan Gath (1989) terdapat hubungan yang signifikan antara postpartum blues dengan riwayat penyakit obstetrik. Riwayat penyakit obstetrik yang biasanya ditemukan adalah abortus di awal kehamilan, adanya penyakit penyerta selama kehamilan, model persalinan yang dilakukan serta komplikasi yang ditemukan pada ibu dan bayi, seperti kelelahan dan Postpartum blues yang muncul di masa puerperium tidak muncul begitu saja tanpa sebab. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi munculnya postpartum blues . Menurut Kennerly dan Gath (1989) terdapat hubungan yang signifikan antara postpartum blues dengan riwayat penyakit obstetrik. Riwayat penyakit obstetrik yang biasanya ditemukan adalah abortus di awal kehamilan, adanya penyakit penyerta selama kehamilan, model persalinan yang dilakukan serta komplikasi yang ditemukan pada ibu dan bayi, seperti kelelahan dan