Perspektif Hukum Tata Negara terhadap Ur

Perspektif Hukum Tata Negara terhadap Urgensi Pembentukan Pengawas Independen
untuk KPK
Polemik terkait terungkapnya kasus korupsi e-KTP yang diduga merugikan negara
senilai 2,3 triliun rupiah mulai ramai dibicarakan pada awal tahun 2017. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai menetapkan beberapa tersangka dalam kasus e-KTP
tersebut. Salah satu tersangka yang ditetapkan adalah Miriam Haryani yang merupakan
anggota komisi II DPR dari Fraksi Hati Nurani Rakyat (Hanura). Ia diduga dengan sengaja
tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan tidak benar dalam persidangan
tindak pidana korupsi e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto1. Miriam hayani dalam
pemeriksaan selanjutnya kemudian membeberkan sejumlah nama anggota DPR yang terlibat
dalam korupsi e-KTP. Hal ini kemudian yang memicu keguncangan dalam tubuh DPR
sehingga menimbulkan wacana untuk menggunakan hak angket terhadap KPK. Hak angket
terhadap KPK ini kemudian direalisasikan pada tanggal 28 April 2017.2 Penggunaan hak
angket ini kemudian dilanjutkan dengan dibentuknya panitia khusus (Pansus) terhadap KPK.
Hak angket sebenarnya merupakan hak yang secara konstitusional dimiliki DPR
dalam menjalankan fungsinya3.Hak angket merupakan hak DPR untuk melakukan
penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang
berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan4.
Terdapat beberapa perbedaan pendapat terkait keabsahan dari hak angket yang digunakan
DPR terhadap KPK ini. DPR menyatakan bahwa hak angket ini sah secara konstitusional

tetapi beberapa ahli tata negara yang salah satunya adalah Mahfud MD berpendapat bahwa
hak angket ini tidak sah secara konstitusional. Alasannya, karena KPK bukan merupakan
subjek dari Hak angket karena subjek dari hak angket adalah terhadap lembaga eksekutif
yaitu pemerintah dan pembuat kebijakan sedangkan KPK termasuk dalam lembaga yudikatif
karena kewenangannya adalah sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. 5Walaupun, beberapa
ahli tata negara sudah menyatakan bahwa hak angket terhadap KPK ini tidak sah tetapi DPR
tetap melanjutkannya dan diteruskan dengan membentuk pansus KPK. Hal ini kemudian
1https://nasional.tempo.co/read/863015/korupsi-e-ktp-kpk-menetapkan-miryam-s-haryani-sebagai-tersangka ,
diakses terakhir pada tgl 07 -02-2018 pukul 13.00
2https://nasional.tempo.co/read/872423/hak-angket-dpr-pimpinan-kpk-muaranya-pasti-pansus , diakses
terkahir pada tgl 07-02-2018 pukul 13.07
3 Lihat Pasal 20A ayat (2) UUD NRI 1945
4 Lihat Pasal 79 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
5https://nasional.tempo.co/read/892450/mahfud-md-dpr-tak-bisa-awasi-kpk-lewat-hak-angket, diakses
terkahir pada tanggal 07-02-2018 pukul 13.29

dibaca oleh publik sebagai upaya yang dilakukan DPR untuk melemahkan KPK. Dari
Beberapa usulan dan rekomendasi dari DPR terhadap KPK yang mengandung unsur
melemahkan KPK terdapat satu usulan yang cukup kontoversial yaitu terkait dengan
kelembagaan KPK yang bersifat independen dinilai menjadikan KPK sebagai lembaga

superbody dan justru memungkinkan adanya abuse of power sehingga perlu adanya pengawasan
terhadap KPK yang dilakukan oleh DPR dan juga lembaga independen. 6 Usulan tersebut banyak

dikritisi oleh masyarakat. Alasannya, karena usulan ini cenderung akan memperlemah KPK
yang notabene berkedudukan sebagai lembaga independen dan justru akan mempersempit
ruang gerak KPK dalam menangani kasus korupsi.
Berdasarkan hal itu maka penulis kemudian mempertanyakan terkait bagaimanakah
sebenarnya urgensi pembentukan pengawas independent untuk KPK? Apakah pembentukan
pengawas independen untuk KPK sudah tepat sesuai hukum ketatanegaraan yang berlaku di
Indonesia dan akan menguatkan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK?
Atau justru dibentuknya pengawas independen cenderung akan memperlemah KPK yang
notabene berkedudukan sebagai lembaga independen dan justru akan mempersempit ruang
gerak KPK dalam menangani kasus korupsi.Oleh karena itu, berdasarkan rumusan
pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian menggerakandiri penulis untuk menganalisa dan
mencoba mencari jawaban atas rumusan pertanyaan tersebut ditinjau perspekif hukum tata
negara.
Pengawasan ditinjau dari sisi hukum adminitrasi merupakan suatu bentuk upaya agar
fungsi pemerintahan dapat berjalan dengan baik dan menjamin terwujudnya pemerintahan
yang baik (good governance). 7 Pengawasan dalam mekanisme dibagi ke dalam dua bentuk,
yaitu berbentuk secara internal dan eskternal. Pengawasan secara internal merupakan

pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan yang secara struktur berada satu struktur
dengan badan yang diawasi8. Sedangkan, pengawasan secara eksternal merupakan
pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan yang secara struktur berada di luar dari badan
yang diawasi tersebut9. dihubungkan dengan pola pengawasan secara independen terhadap
KPK termasuk ke dalam pola pengawasan secara eksternal karena dilakukan oleh badan yang
bersifat independen dalam mengawasinya. Analisa terkait urgensi dibentuknya pengawas
independen bagi KPK selanjutnya dapat dilihat dari status kelembagaanKPK. Hal ini penting
6https://nasional.tempo.co/read/907688/11-temuan-pansus-hak-angket-dpr-soal-kpk, diakses terakhir pada
tanggal 07-12-2018 pukul 13.44
7 S.F. Marbun, Hukum Adminitrasi Negara II, Ctk. Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2013, Hlm. 2
8 Ibid, Hlm. 3
9 Ibid, Hlm. 4

untuk dijadikan acuan dasar terhadap tepat atau tidaknya diberikan pengawasan secara
ekseternal oleh lemabag independen terhadap KPK. Ditinjaudari perspektif historis
dibentuknya KPK maka KPK dibentuk sebagai buah dari amanat gerakan reformasi
Indonesia pada awal tahun 1999 untuk mewujudkan supremasi hukum, pemberantasan
korupsi serta mewujudkan good governance10. Salah satu amanat itu adalah digencarkannya
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme yang
kemudian dituangkan dalam Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan

Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. 11 Upaya pelaksanaan amanat
yang dituangkan dalam Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 kemudian dilanjutkan dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. UU Nomor 31 Tahun 1999 inilah yang secara langsung mengamanahkan
dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bersifat independen. 12
Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bersifat independen ini
kemudian baru terwujud pada tahun 2002 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan UU KPK tersebut maka
secara jelas disebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun13.
Terlihat jelas kedudukan KPK berdasarkan UU KPK tersebut yaitu sebagai lembaga negara
yang bersifat independen.
Pembahasan selanjutnya akan lebih diarahkan untuk meganalisa terkait pemahaman
mengenai lembaga negara independen untuk mengetahui kedudukan KPK sebagai lembaga
independen. Ditinjau dari perspektif historis, menurut Firmansyah Arifin dan Susan D. Baer
mengatakan bahwa lembaga negara independen hadir karena lembaga-lembaga negara yang
terlebih dulu ada kinerjanya dianggap tidak memuaskan14. Jimly Asshiddiqie mengatakan
bahwa

munculnya


lembaga

negara

independen

mencerminkan

kebutuhan

untuk

mendekonsentrasikan kekuasaan dari organ-organ konvensional pemerintahan, tempat
kekuasaan selama masa-masa sebelumnya terkonsentrasi.15 Berdasarkan pemahaman tersebut
maka sebenarnya KPK lahir karena lembaga-lembaga negara konvensional yang menangani
tindak pidana korupsi seperti kepolisian dan kejaksaan sudah tidak dipercaya lagi oleh publik.

10 Moh. Hatta, KPK dan Sistem Peradilan Pidana, Ctk. Pertama, Liberty, Yogyakarta, 2014, hlm. 17
11 Denny Indrayana, Jangan Bunuh KPK, Ctk. Pertama, Intrans Publishing, Malang, 2016. Hlm. 34

12 Lihat Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
13 Lihat Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK
14 Op. Cit, hlm. 50-51
15 Ibid, hlm. 51

Oleh karena itu, KPK dibentuk dan bersifat Independen sebagai lembaga penegak hukum
dalam perkara tindak pidana korupsi disamping kepolisian dan kejaksaan.
Pemahaman mengenai pengertian lembaga negara independen dikemukakan oleh
beberapa ahli tata negara. Milakovich dan Gordon mengatakan bahwa Independent
Regulatory Boards and Commissions (IRCs) atau bisa juga disebut sebagai lembaga negara
independen adalah lembaga negara yang tidak berada dibawah satu cabang kekuasaan pun,
tidak pula eksekutif, sehingga dalam melaksanakan tugasnya lebih leluasa dan tidak dapat
diintervensi.16 Senada dengan pendapat diatas, Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa lembaga
negara independen merupakan organ negara (state organs) yang diidealkan independen dan
karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif, namun
tetap mempunyai fungsi campur ketigannya.

17

Berdasarkan pemaknaan tersebut jelas bahwa


lembaga negara independen memiliki kedudukan tersendiri di luar cabang kekuasaan
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dasar hukum serta ruang lingkup Independensi dari
suatu lembaga negara independen ditentukan dan didasarkan kepada aturan hukum yang
mengatur lembaga tersebut18. Hal ini penting agar tidak ada intervensi dari cabang kekuasaan
lain.
Pemaknaan terkait indepensi dari suatu lembaga negara independen dalam lingkup
ketatanegaraan di Indonesia dapat dilihat dari putusan MK terhadap uji materi UndangUndang Komisi Yudisial19. Berdasarkan Putusan No. 005/PUU-IV/2006, MK memberika
tafsirannya terkait makna mandiri/independen yang dimiliki Komisi Yudisial Republik
Indonesia (KY RI). MK menafsirkan bahwa makna kemandirian KY RI harus dimaknai
sebagai kemandirian kelembagaan KY RI dalam mengambil keputusan terkait wewenangnya
dalam mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam
menjaga kehormatan hakim, bukan kemandirian yang bersifat perorangan.20 Artinya, KY RI
sebagai lembaga independen bebas dari campur tangan pengaruh kekuasaan cabang
kekuasaan yang lain dalam pengambilan keputusan terkait wewenangnya. Tetapi KY sebagai
lembaga negara independen tetap bisa melakukan koordinasi dengan lembaga negara lain dan
hal itu tidak mengurangi kemandirian KY RI. Berdasarkan pemahaman ini maka dapat
dianalogikan terhadap KPK yang notabene berkedudukan sebagai lembaga negara
independen juga.
16 Ibid, hlm. 47

17 Ibid, hlm. 48
18 Ibid, hlm 57
19 Zainal A. Mochtar, Lembaga Negara Independen, Ctk. Pertama, Rajagrafindo Persada, Depok, 2016, hlm. 43
20 Ibid, hlm. 44

Terkait dengan konsep pengawasan terhadap Lembaga negara Independen, Denny
Indrayana menyatakan bahwa lembaga negara yang bersifat independen bukan berarti tanpa
pengawasan. Walaupun sifat dari lembaga negara independen yang telah dipaparkan diatas
yaitu keududukannya berdiri diluar ketiga cabang kekuasaan dan memiliki kemandirian untuk
menentukan putusan sesuai dengan wewenangnya tetapi hal itu tetap perlu di kontrol. Tetapi
kontrol/pengawasan terhadap lembaga negara independen menurut Denny tepat dilakukan
dengan sistem pengawasan internal yang maksimal.21 Pengawasan eksternal tetap
dimungkinkan ada tetapi diminimalisir karena cenderung akan mempengaruhi independensi
dari lembaga negara independen itu. Zainil Arifin Mochtar memberikan teori mengenai ciri
dari lembaga independen yaitu salah satunya adalah terkait dengan pelaporan akan kinerjanya
yang seharusnya didekatkan dengan rakyat selaku pemegang kedaulatan negara, baik secara
langsung kepada masyarakat maupun secara tidak langsung melalui parlemen. 22 Berdasarkan
hal tersebut maka menjadi tidak relevan jika pengawasan terkait kinerja KPK diberikan
kepada suatu badan eksetrnal yang bersifat independen.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis berkesimpulan bahwa pengawasan

merupakan suatu hal penting yang harus dilakukan untuk terwujudnya suatu pemerintahan
yang baik begitu pula pengawasan terhadap KPK. Tetapi, jika dikaitkan dengan status
kelembagaan KPK yang bersifat independen maka menjadi tidak tepat jika bentuk/model
pengawasan terhadap KPK dilakukan oleh suatu pengawas independen. Alasannya, karena
kedudukan lembaga independen adalah berada di luar dari tiga cabang kekuasaan baik
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal ini dilandasi dasar yang kuat mengingat agar lembaga
independen tersebut tetap terjaga independensinya dalam menjalankan kewenangannya dan
menghindari intervensi dari cabang kekuasaan yang lain. Sedangkan dengan dibentuknya
pengawas independen bagi KPK maka hal itu sangat erat dan dimungkinkan masuknya
intervensi-intervensi terhadap KPK dalam menjalankan tugasnya sehingga makna indendensi
dari KPK menjadi luntur. Selain itu usulan dibentuknya pengawas independen juga tidak
sesuai dengan teori lembaga independen menurut Zainil Arifin Mochtar yang menyatakan
bahwa pelaporan kinerja suatu lembaga independen seharusnya secara langsung didekatkan
kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan atau secara tidak langsung kepada parlemen
sebagai perwakilan rakyat. Penulis memberikan saran agar semestinya pengawasan terhadap
KPK dilakukan melalui internal KPK dan secara langsung oleh rakyat atau dilakukan secara

21 Op.Cit, hlm. 50
22 Op, Cit, Hlm. 64


tidak langsung oleh parlemen/DPR tetapi dengan ketentuan dan mekanisme yang ketat agar
independensi dari KPK tidak luntur.