MEMBACA DENGAN TELINGA BUKU SEKOLAH AUDI

MEMBACA DENGAN TELINGA:
BUKU SEKOLAH AUDIO (BSA)

Sunarto
Pengembang Teknologi Pembelajaran Madya

Dipaparkan dalam Simposium Pengembang Teknologi Pembelajaran

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
BALAI PENGEMBANGAN MEDIA RADIO PENDIDIKAN
DAN KEBUDAYAAN
2018

MEMBACA DENGAN TELINGA:
BUKU SEKOLAH AUDIO (BSA)

Sunarto
Pengembang Teknologi Pembelajaran Madya

Abstrak
Buku adalah jendela dunia, dengan membaca sebagai kuncinya. Di era digital ini,

buku mengalami metamorfosis yang menghadirkan keragamannya. Hal ini sejalan
dengan tuntutan kebutuhan manusia moderen pada cara-cara alternatif dalam
mengakses informasi.
Buku audio (audiobook) lahir sebagai salah satu bentuk metamorfosis buku. Buku
dimaksud didefinisikan sebagai “buku berbicara” yang berbentuk rekaman audio
digital dari buku cetak konvensional.
Pada tahun 2013 Balai Pengembangan Media Radio Pendidikan (BPMRP)
mengembangkan sebuah model buku audio untuk sekolah yang dinamakan buku
sekolah audio (BSA). BSA didedikasikan sebagai solusi alternatif terhadap
kelangkaan buku pelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik tunanetra.
Pada awalnya BSA dikembangkan sebagai bentuk alih media dari buku sekolah
elektronik (BSE) yang direkomendasikan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Tulisan ini merupakan kajian deskriptif tentang BSA sebagai sebuah “buku
berbicara” yang menawarkan cara “membaca dengan telinga” bagi peserta didik
tunanetra.
Kata kunci: buku sekolah audio.

Abstract


The book is a window to the world, with reading as a key. In this digital era,
metamorphosed of book presents its’ diversities. This is in line with the demands of
modern people on alternative ways to access the information.
Audiobooks was born as a form of metamorphosis of books. Audiobooks defined as
"talking books" contains digital audio recordings of a conventional printed book.

Membaca Dengan Telinga-Buku Sekolah Audio-Sunarto

Halaman 2

In 2013 the Media Radio Development Center for Education (BPMRP) develop a
model of audiobooks for schools, called school audiobooks (BSA). BSA is dedicated
as an alternative solution of the lack of school books for students with visual
impairments. BSA was originally developed as school audiobooks from the
electronic schoolbooks (BSE) recommended by the Ministry of Education and
Culture.
This paper is a descriptive study of the BSA as a "talking book" that offers a way to
"read by ear" for students with visual impairments.
Keywords: school audiobooks.


Pendahuluan
Setiap warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama untuk
mendapatkan pendidikan yang layak. Dengan mendapatkan pendidikan yang layak,
maka warga negara dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya. Hak
untuk mendapatkan pendidikan yang layak, telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 31
ayat (1) bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pasal 28 C
ayat (1) setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan demi kesejahteraan umat manusia.
Peserta didik tunanetra sebagai bagian dari warga negara Indonesia
mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak,
mengembangkan diri, dan meningkatkan kualitas hidupnya. Tetapi pemenuhan
hak-hak peserta didik tunanetra dimaksud sampai saat ini masih belum terpenuhi
secara optimal. Fasilitas dan layanan pendidikan untuk mereka masih minim
(Sunarto, 2013).

Membaca Dengan Telinga-Buku Sekolah Audio-Sunarto

Halaman 3


Kurangnya sumber belajar menjadi salah satu sebab peserta didik tunanetra
menjadi subjek marginal dalam pendidikan. Sumber belajar yang dirancang dan
tersedia di dunia pendidikan lebih banyak yang bersifat visual, sehingga lebih
banyak menguntungkan bagi peserta didik normal. Sebagai contoh, di kebanyakan
sekolah akan lebih mudah dijumpai sumber belajar seperti buku pelajaran
konvensional.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua peserta didik
memiliki kemampuan untuk mengakses informasi pelajaran dari sumber belajar
visual. Di samping itu, secara teoritik tidak semua materi pelajaran efektif
disampaikan dengan menggunakan sumber belajar visual. Bahkan dari perspektif
ilmu pendidikan, gaya belajar (learning style)--yang mengklasifikasikan peserta
didik menjadi kelompok bergaya belajar auditori, visual, dan kinestetik--juga turut
mempengaruhi efektif tidaknya penyerapan informasi pelajaran.
Peserta didik tunanetra yang hanya mengandalkan indera pendengaran dan
perabaan untuk menyerap informasi dan ilmu pengetahuan justru kurang
mendapatkan perhatian. Sehingga dalam kesehariannya mereka lebih banyak
dipaksa menggunakan sumber belajar khususnya buku konvensional yang
dirancang untuk peserta didik berpenglihatan normal.
Akibatnya muncul kesulitan lain dalam proses penyampaian materi dalam

pembelajaran untuk peserta didik tunanetra. Guru harus beberapa kali mengulang
membacakan materi belajar yang terdapat dalam buku pelajaran konvensional.
Sehingga waktu pelajaran seringkali habis hanya untuk membacakan dan
mendiktekan buku. Hal ini menjadikan pembelajaran menjadi kurang efesien.

Membaca Dengan Telinga-Buku Sekolah Audio-Sunarto

Halaman 4

Tidak dipungkiri ada beberapa sekolah luar biasa untuk peserta didik
tunanetra yang telah memiliki dan memanfaatkan buku Braille. Namun demikian
pada kenyataannya sekolah dengan kemampuan seperti itu tidaklah banyak. Masih
banyak sekolah luar bisa yang tidak mampu menyediakan buku pelajaran Braille.
Kondisi ini dilatarbelakangi oleh keterbatasan kemampuan sekolah untuk
menyiapkan buku pelajaran Braille.
Sekedar sebagai informasi, bahwa penyediaan buku Braille memerlukan
biaya yang relatif lebih besar dibandingkan buku konvensional. Sebagai gambaran,
satu halaman buku pelajaran konvensional (buku cetak) akan menjadi sekitar empat
halaman buku Braille.
Dengan kondisi riil sebagaimana digambarkan di atas menyebabkan guru

yang mengajar peserta didik tunanetra mengalami kelelahan karena terus-menerus
harus membacakan buku pelajaran. Bahkan bila guru tidak hadir mengajar, maka
peserta didik tunanetra yang bersangkutan tidak dapat menerima materi pelajaran.
Ketergantungan peserta didik tunanetra terhadap peran guru sebagai pembaca buku
pelajaran di banyak sekolah luar bisa masih sangat dominan.
Buku menjadi ikon penting dalam dunia pendidikan dan pembelajaran.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua peserta didik dapat
mengakses informasi secara mandiri dari buku konvensional. Hal inilah yang
melatarbelakangi lahirnya gagasan tentang perlunya segera dikembangkan buku
pelajaran alternatif yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik
tunanetra. Peserta didik tunanetra membutuhkan buku yang dapat dibaca dengan
telinganya.

Membaca Dengan Telinga-Buku Sekolah Audio-Sunarto

Halaman 5

Perkembangan teknologi digital dewasa ini memberikan pilihan untuk
menjawab kebutuhan buku yang dapat dibaca oleh peserta didik tunanetra dengan
menggunakan telinganya secara mandiri. Balai Pengembangan Media Radio

Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (BPMRP Kemendikbud)
telah mengembangkan sebuah model bernama Buku Sekolah Audio (BSA).
Tulisan ini mengkaji secara deskriptif tentang BSA sebagai salah satu
bentuk buku yang menawarkan cara membaca dengan telinga yang sesuai dengan
karakteristik peserta didik tunanetra dan/atau peserta didik yang bergaya belajar
auditori.

Teori dan Metode
Ada sejumlah penelitian yang menyimpulkan bahwa secara akademik
peserta didik tunanetra mendapatkan nilai yang hampir sama dengan peserta didik
normal dalam hal berhitung, informasi dan kosakata. Namun demikian peserta didik
tunanetra cenderung memiliki kemampuan yang kurang dalam hal pemahaman
(comprehension) dan persamaan. Terkait dengan penguasaan kosakata, peserta
didik tunanetra cenderung pada kata-kata yang sifatnya definitif (Subagya, 2013).
Hasil penelitian semacam itu melahirkan gagasan untuk menciptakan buku
berbicara digital (digital talking book) atau buku audio (audiobook) yang dapat
dibaca dengan telinga peserta didik tunanetra secara mandiri. Dengan buku audio
dimaksud diharapkan hasil belajar peserta didik tunanetra dapat ditingkatkan secara
lebih optimal.


Membaca Dengan Telinga-Buku Sekolah Audio-Sunarto

Halaman 6

Secara etimologis, kata audiobook terdiri dari dua kata gabungan bahasa
Inggris yaitu kata audio yang berarti “suara”, dan kata book yang artinya “buku”.
Dari dua kata yang digabungkan tersebut, audiobook diterjemahkan secara bebas
sebagai “buku audio”, “buku bersuara”, atau “buku berbicara.”
Pada prinsipnya, audiobook hadir sebagai bentuk lain dari sebuah buku
konvensional. Selama ini, buku konvensional yang dikenal luas di masyarakat
adalah buku cetak yang diterbitkan untuk keperluan tertentu. Buku cetak sendiri
sifatnya visual, sehingga hanya dapat dibaca oleh orang berpenglihatan normal.
Buku pelajaran cetak merupakan bentuk paling umum dari buku konvensional
untuk pendidikan yang dikenal luas. Sedangkan audiobook adalah buku yang
dibaca dengan cara mendengar atau dibaca dengan telinga. Audiobook nyaman
dimanfaatkan oleh penyandang tunanetra dan orang yang bergaya belajar auditori.
Dengan adanya buku audio, peserta didik tunanetra yang selama ini hanya
bergantung pada pembacaan buku oleh orang lain—yaitu guru di sekolah dan/atau
orang tua di rumah)--dan buku Braille, kini mereka dapat secara lebih mandiri
“membaca buku pelajaran dengan telinganya menggunakan buku audio.

Buku audio biasanya berisikan isi buku yang dibaca dan direkam.
Pembacaan dalam rekaman buku cetak yang dialihmediakan menjadi buku audio
dapat dilakukan dengan dua pilihan teknik pembacaan yang dapat dipilih dan
dikombinasikan. Adapun teknik pembacaan dimaksud meliputi teknik pembacaan
yang persis sama dengan teks yang ada di buku yang bersangkutan, dan teknik
pembacaan isi buku yang terlebih dulu sudah dinarasikan sesuai kebutuhan
pengguna buku audio dimaksud.

Membaca Dengan Telinga-Buku Sekolah Audio-Sunarto

Halaman 7

Penyajian buku audio dapat juga diimprovisasikan sehingga tidak akan
membosankan bagi “pembacanya”. Pengolahan kata menjadi bahasa verbal dapat
menjadikan buku audio lebih menarik jika dilakukan secara inovatif dan kreatif.
Dengan demikian, maka buku audio tidak hanya dapat diakses oleh peserta
didik tunanetra semata, namun bagi orang yang tidak memiliki masalah penglihatan
pun, buku audio dapat menjadi alternatif dalam menikmati isi sebuah buku.
Kebanyakan buku audio yang didengarkan oleh orang berpenglihatan normal antara
lain berupa novel, buku cerita maupun buku-buku yang laris di pasaran.

Sebagai buku elektronik berteknologi digital, pembuatan buku audio
membutuhkan perangkat perekaman audio digital. Sedangkan untuk “membaca
dengan telinga” sebuah buku audio, diperlukan perangkat seperti digital talking
book player (DTB player), komputer, atau smartphone.

DTB Player

Komputer

Smartphone

Pembacaan BSA menggunakan DTB player memang ideal, karena
perangkat dimaksud dirancang untuk menjalankan buku berbicara digital.

Membaca Dengan Telinga-Buku Sekolah Audio-Sunarto

Halaman 8

Sedangkan untuk alat pemutar BSA berupa komputer perlu adanya instalasi screen
reader seperti AMIS, TAB player , dan lain-lain).


Demikian juga halnya dengan perangkat pemutar BSA berupa smartphone
memerlukan instalasi screen reader seperti (1) Darwin Reader format Android, Go
Read, dan Daisy 2.02 untuk sistem operasi Android, (2) Daisy2Go untuk sistem

operasi Symbian, (3) Read2Go, Daisyworm, InDaisy Reader , Voice Dream Reader ,
Daisylezer on iTunes, Learning Ally Audio app, Voice of Daisy Light, dan Voice of
Daisy untuk sistem operasi IOS. Beberapa di antara aplikasi mobile tersebut dapat

diunduh dan digunakan secara gratis.

Hasil/Pembahasan
Beberapa hal yang ada dalam buku cetak yang dialihmediakan menjadi
buku audio perlu memperhatikan beberapa hal menyangkut teknik pembacaan buku
sumber dan produksi buku berbicaranya.
Pembacaan buku sumber pada saat rekaman perlu memperhatikan beberapa
ketentuan berikut ini.
1. Judul pada halaman sampul buku dibacakan. Sedangkan nama penulis buku
pada halaman sampul buku dan nama-nama asing dieja. Pembacaan gelar
dibacakan secara lengkap, bukan sebagai suatu akronim.
Contoh:
Prof. Dr. Ir. Sugiyono P., M.Si. dibaca: Profesor Doktor Insinyur Sugiyono
P. M.Si.

Membaca Dengan Telinga-Buku Sekolah Audio-Sunarto

Halaman 9

2. Jika gelar seseorang itu berkaitan dengan materi yang disampaikan, gelar
perlu dibaca ulang dengan cara dieja.
Contoh:
Prof. Dr. Ir. Sugiyono P., M.Si dibaca: Profesor Doktor Insinyur Sugiyono
P., M.Si dieja P besar r-o-f kecil titik d besar r kecil titik I besar r kecil titik
Sugiyono P besar titik koma M besar titik S besar i kecil titik.
3. Kata pengantar buku dibacakan.
4. Daftar isi buku dibacakan.
5. Kata-kata yang pengucapannya berbeda dengan tulisannya (asing, istilah
asing, serapan, dan lain-lain) perlu dieja.
6. Penarasian gambar:
a. Gambar yang mendukung isi buku harus dinarasikan (misalnya peta
konsep, grafik, denah, tabel, dan sebagainya) sesuai keterangan gambar
yang ada.
Pada halaman yang bergambar:
1) Ketika ada kalimat yang menunjuk gambar, penarasiannya
dilakukan setelah teks yang mengarah ke gambar.
Adapun urutannya adalah sebagai berikut:








teks
kalimat mengarah ke gambar
judul/keterangan gambar
gambar yang dinarasikan

Membaca Dengan Telinga-Buku Sekolah Audio-Sunarto

Halaman 10



setelah penarasian gambar, ada kata penghubung “lanjutan teks”
(jika ada teks lanjutannya).

2) Jika tidak ada kalimat yang menunjuk pada gambar, penarasian
dilakukan setelah selesai satu materi/subbab yang terkait gambar,
dengan langsung menyebut:


gambar, nomor gambar, judul/keterangan gambar, dan sumber
gambar (jika ada).



setelah penarasian gambar, ada kata penghubung “lanjutan teks”
(jika ada teks lanjutannya).

b. Gambar yang tidak mendukung materi, cukup diberi keterangan sesuai
dengan keterangan gambar yang ada di buku sumber dengan tujuan
untuk memudahkan merunut gambar. Sedangkan gambar yang tidak
mendukung materi dan tidak bernomor dapat dihilangkan.
7. Halaman dibacakan setiap kali pergantian halaman.
8. Bagi materi-materi berupa gambar yang sulit dinarasikan, perlu adanya
media taktual untuk memperjelas gambar, dengan ukuran minimal A4 dan
maksimal 1 depa.
9. Dimungkinkan untuk mengubah atau menghilangkan sebagian teks atau
gambar pada buku, apabila tidak bermakna atau tidak mendukung materi.
Hasil rekaman audio tersebut selanjutnya diproses menjadi buku audio
menggunakan aplikasi DTB. Aplikasi ini yang memungkinkan BSA yang
dikembangkan dapat dicara menggunakan telinga secara mudah. Adapun
kemudahan navigasi pintas dalam BSA meliputi membuka dan/atau menutup buku,

Membaca Dengan Telinga-Buku Sekolah Audio-Sunarto

Halaman 11

pindah ke (frase, halaman, bagian, bahkan halaman) sebelumnya atau berikutnya,
menuju halaman yang dikehendaki, mempercepat atau memperlambat pembacaan,
serta melanjutkan dan/atau menghentikan pembacaan buku.

Simpulan dan Saran
Simpulan
Dari kajian deskriptif ini dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya peserta
didik tunanetra dapat membaca sebuah buku dengan menggunakan indera
pendengarannya. Prasyarat yang harus dipenuhi adalah dengan mengalihmediakan
buku cetak menjadi buku audio. Dengan menggunakan teknologi buku berbicara
digital, maka BSA dengan mudah dapat dibaca oleh peserta didik tunanetra
menggunakan indera pendengarannya, semudah orang berpenglihatan normal
membaca buku konvensional.

Saran
Pengembangan BSA oleh BPMRP Kemendikbud masih terbatas sebagai model
buku yang dibaca dengan telinga sehingga perlu perlu dukungan berbagai pihak,
baik dari elemen ahli medianya, ahli bahasa, maupun para praktisi pendidikan luar
biasa. Dukungan dan kerjasama berbagai pihak terkait diharapkan dapat
memperkaya ragam buku yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan dan
pembelajaran

Membaca Dengan Telinga-Buku Sekolah Audio-Sunarto

Halaman 12

Daftar Pustaka
Subagya. 2013. Strategi Media Audio Tunanetra. Makalah paparan disampaikan
dalam Lokakarya Pengembangan Buku Sekolah Audio (BSA) untuk
Tunanetra. Yogyakarta: Balai Pengembangan Media Radio Pendidikan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayan (BPMRP Kemendikbud).
Sunarto. 2013. Rancangan Model Buku Sekolah Audio untuk Tunanetra. Makalah
paparan disampaikan dalam Lokakarya Pengembangan Buku Sekolah Audio
(BSA) untuk Tunanetra. Yogyakarta: Balai Pengembangan Media Radio
Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayan (BPMRP
Kemendikbud).
Sunarto. 2013. Laporan Hasil Analisis Kebutuhan Model Buku Sekolah Audio
untuk Tunanetra. Makalah paparan disampaikan dalam Lokakarya
Perancangan Buku Sekolah Audio (BSA) untuk Tunanetra. Yogyakarta: Balai
Pengembangan Media Radio Pendidikan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayan (BPMRP Kemendikbud).

Membaca Dengan Telinga-Buku Sekolah Audio-Sunarto

Halaman 13