SEJARAH dan DIPLOMASI di INDONESIA
SEJARAH DIPLOMASI INDONESIA
PADA MASA ORDE LAMA (1945-1966)
Sejarah diplomasi negara Indonesia sebenarnya telah berlangsung lama. Tonggak
penting munculnya diplomasi di Indonesia berawal dari diikrarkanya perasaan satu
bangsa, satu bahasa dan satu tanah air, yang merupakan dasar dari pembentukan
identitas nasional oleh para pemuda-pemudi Indonesia melalui sumpah pemuda,
yang diikrarkan dalam Konggres Pemuda II di Jakarta pada tanggal 28 oktober 1928.
Setelah munculnya peristiwa sumpah pemuda, yang merupakan tonggak terpenting
dalam mempersatukan rasa nasionalisme bangsa Indonesia, akhirnya pada tanggal
17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya, setelah
sehari sebelumnya Soekarno dan Hatta berunding dengan para pemuda di
Rengasdengklok mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia, memanfaatkan
momentum menyerahnya Jepang kepada sekutu tanggal 15 Agustus 1945. Dan
pada tanggal 19 Agustus 1945 ditetapkan menteri-menteri yang memimpin kabinet,
beserta kementrian yang menaunginya. Salah satu kementrian yang kelak akan
berpengaruh di bidang diplomasi adalah Kementrian Luar Negeri Republik
Indonesia, yang saat itu dipimpin oleh Ahmad Subardjo.
Meskipun Republik Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal
17 Agustus 1945, namun Belanda belum mengakui secara sah berdirinya Republik
Indonesia, dan mencoba kembali menguasai Indonesia dengan menggunakan
bantuan Inggris. Karena hal tersebut, pada periode 1945 hingga 1949 di Indonesia
muncul berbagai perlawanan fsik menentang agresi militer Belanda. Selain
perlawanan fsik yang dilakukan oleh rakyat Indonesia, dilakukan pula berbagai
usaha diplomasi dan berbagai perundingan yang berkaitan dengan perebutan
kekuasaan atas berbagai wilayah di Indonesia dan pengakuan kedaulatan Republik
Indonesia.
Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) sebagai organisasi internasional yang bertujuan
menjaga kedamaian dan ketertiban dunia tidak tinggal diam dengan hal ini. Dewan
Keamanan PBB mengirimkan misi perdamaian ke Indonesia, dan mengeluarkan
resolusi agar Belanda dan Indonesia segera menghentikan segala aktivitas militer.
PBB meminta agar Belanda membebaskan semua tahanan politik, pembentukan
suatu pemerintahan sementara dan pengakuan kedaulatan atas Republik Indonesia.
Akhirnya pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949 diselenggarakan
Konferensi Meja Bundar ( KMB ) di Den Haag, yang menjadi jalur pembuka
munculnya pengakuan kedaulatan Belanda atas Indonesia pada 27 Desember 1949.
Setelah resmi diakui kedaulatanya sebagai negara merdeka, Republik Indonesia
mulai menyusun kembali pemerintahan yang selama kurang lebih empat tahun,
dari tahun 1945 hingga 1949 berjuang mempertahankan kemerdekaan yang akan
direbut kembali oleh Belanda. Dan pada bulan Januari 1950 Presiden pertama
Republik Indonesia Soekarno melakukan kunjungan internasionalnya yang pertama
sebagai Presiden Republik Indonesia, yaitu mengadakan kunjungan ke India,
Pakistan, dan Birma.
Sebagai salah satu negara yang telah mendapatkan kedaulatan secara penuh,
Indonesia bergabung ke dalam keanggotaan PBB pada tahun 1950. Tepatnya pada
tanggal 27 September 1950, Majelis Umum PBB menerima Indonesia sebagai
anggota PBB. Pada tahun 1955, Indonesia kembali menunjukan eksistensinya di
dunia internasional dengan memprakarsai lahirnya Konferensi Asia Afrika (KAA),
bersama Burma, India, Pakistan dan Sri Lanka. Selain sebagai pemrakarsa Indonesia
juga berlaku sebagai tuan rumah Konferensi Asia Afrika yang dilangsungkan di
Bandung pada tanggal 18 sampai 25 April 1955.
Indonesia yang tidak ingin mengidentikan negaranya dengan blok barat maupun
blok timur, turut serta sebagai salah satu negara penggagas Konferensi Tingkat
Tinggi Negara-negara Non Blok (KTT Non Blok). Dan pada tahun 1961
diselenggarakan KTT Non Blok yang pertama di kota Beograd, Yugoslavia.KTT
tersebut dihadiri oleh beberapa negara berkembang yang tidak turut serta
menyertakan diri sebagai negara pendukung blok timur maupun blok barat.
Beberapa tahun berlalu setelah Indonesia mengikrarkan diri sebagai negara yang
memiliki pandangan politik luar negeri bebas aktif, Soekarno sebagai Presiden
Republik Indonesia mulai memanfaatkan kekuasaanya dengan melakukan beberapa
bentuk penyimpangan terhadap politik luar negeri bebas aktif yang ia ikrarkan
sendiri. Dengan diawali oleh sistem demokrasi terpimpin ala Soekarno, politik luar
negeri Indonesia yang semula bebas aktif perlahan mulai ia arahkan ke kiri, dan hal
ini memunculkan kecemburuan dari pihak barat.
Pada tahun 1961, Inggris mencoba menggabungkan wilayah koloninya di
semenanjung Malaka, Singapura dan Kalimantan Utara menjadi satu dalam Federasi
Malaysia. Rencana ini kemudian ditentang oleh Pemerintah Indonesia. Presiden
Soekarno berpendapat bahwa Federasi Malaysia merupakan Negara bentukan
Inggris, dan hal ini memungkinkan bagi Inggris untuk melakukan kontrol atas Asia
Tenggara khususnya Indonesia sebagai tetangga terdekat. Atas dasar tersebut
Indonesia mengambil sikap tegas untuk mengadakan konfrontasi dengan Malaysia.
Dan pada tanggal 3 Mei 1963, Presiden Soekarno mengumumkan perintah Dwi
Komando Rakyat (Dwikora) yang menjadi legitimasi munculnya penyerangan
terhadap Malaysia yang dilakukan oleh militer Indonesia.
Ketegangan hubungan Indonesia-Malaysia semakin ditegaskan oleh Presiden
Soekarno. Pada tanggal 7 Januari 1965, Presiden Soekarno mengumumkan
Indonesia keluar dari keanggotaan PBB. Keluarnya Indonesia dari PBB merupakan
reaksi atas ditetapkanya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan
PBB. Keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB berakibat pada tersisolasinya
Indonesia dari pergaulan masyarakat internasional.
Setelah menyatakan keluar dari keanggotaan PBB, Indonesia tidak tinggal diam.
Sikap tegas langsung diambil oleh Presiden Soekarno dengan membentuk kekuatan
baru, yaitu The New Emerging Force (NEFO) sebagai representasi negara-negara
dunia ketiga sebagai kekuatan baru untuk melawan kedigdayaan The Old
Establsihed Force (OLDEFO) yang berisikan negara-negara maju.
Jika kita urutkan pada beberapa era sebelumnya, sikap tegas Presiden Soekarno
melawan intervensi negara-negara barat telah banyak dilakukan. Pada kisaran
tahun 1960 saat Belanda mencoba menguasai Irian Barat, Republik Indonesia
memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda. Hal yang sama terjadi
pada tahun 1963 saat Inggris menyatakan kemerdekaan Federasi Malaysia,
hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dan Kerajaan Inggris berakhir. Dan
yang terakhir adalah pada saat dilangsungkanya Asian Games 1962 di Jakarta.
Indonesia sebagai tuan rumah menolak keikutsertaan Israel dan Taiwan dalam
ajang tersebut. Hal ini menimbulkan kemarahan dari pihak Komite Olimpiade
Internasional (IOC), yang mengakibatkan tidak direstuinya penyelenggaraan Asian
Games 1962 oleh IOC. Setahun kemudian Presiden Soekarno membalas dengan
menyatakan bahwa Indonesia keluar dari keanggotaan di IOC, dan membentuk
olimpiade tandingan yang bernama GANEFO. Indonesia sendiri tercatat sebagai
tuan rumah pertama sekaligus terakir kali dilangsungkanya GANEFO, yaitu di
Jakarta pada tahun 1963.
Memasuki penghujung tahun 1965 hubungan antara Indonesia semakin erat dengan
Cina. Dan di masa ini pula kesehatan Presiden Soekarno mulai mengalami
penurunan dan menjadi jalan pembuka bagi munculnya revolusi untuk
menggantikan posisi Presiden Soekarno sebagai penguasa tunggal Indonesia.
Akhirnya setelah memanfaatkan sebuah revolusi yang gagal dilaksanakan oleh
beberapa petinggi PKI pada 30 September 1965, Mayor Jendral Soeharto berhasil
menerima mandat dari Presiden Soekarno untuk mengatasi kondisi negara yang
sedang dilanda huru-hara melalui Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR).
Melalui surat itu pula Soeharto mulai mengadakan serangkaian operasi militer
untuk membersihkan negara dari bahaya gerakan komunis, dan menjadi legitimasi
bagi Soeharto untuk mendapatkan kekuasaan sebagai Presiden Republik Indonesia.
Setelah munculnya ketegangan antara Indonesia dan Malaysia sekitar tahun 1963
hingga 1964 yang memunculkan politik konfrontasi. Pada tanggal 11 Agustus 1965
disepakati normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia, dengan ditandatanganinya
sebuah persetujuan normalisasi hubungan antara Indonesia dan Malaysia oleh
masing-masing Menteri Luar Negeri di Jakarta. Dan pada tanggal 28 September
1965 Indonesia melalaui Menteri Luar Negeri Adam Malik menyatakan untuk aktif
kembali dalam keanggotaan PBB.
Dengan kembalinya Indonesia dalam keanggotaan PBB, berarti mengembalikan
pula misi Indonesia untuk turut serta menjalin kerja sama antar negara dan turut
serta dalam usaha mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia.Hingga saat ini
pun keterlibatan Indonesia dalam PBB masih terlihat. Selain aktif dalam
mengirimkan Pasukan Perdamaian Garuda, Indonesia pun sering mendapatkan
bantuan internasional dari PBB berkait dengan pendidikan, perekonomian,
kebudayaan maupun bencana alam yang sering melanda Indonesia. Dengan
demikian maka bisa dikatakan bahwa keterlibatan hubungan natara Indonesia dan
PBB memiliki hubungan timbal balik yang saling menguntungkan dalam
mewujudkan tujuan masing-masing lembaga, baik bagi Indonesia sebagai sebuah
negara maupun bagi PBB sebagai organisasi internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1988.30 Tahun Indonesia Merdeka (19501964) Jilid 1..Jakarta: PT Citra Lamtoro Gung Persada
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1988.30 Tahun Indonesia Merdeka (19651973) Jilid 2..Jakarta: PT Citra Lamtoro Gung Persada
Ricklefs, M.C .2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi
Wardaya, Baskara T. 2006. Bung Karno Menggugat “Dari Marhaen, CIA,
Pembantaian Massal 65 hingga G 30 S”. Yogyakarta: Galang Press
http://www.deplu.go.id/Pages/History.aspx?IDP=3&l=id ( diakses tanggal 25
November 2010. )
http://id.wikipedia.org/wiki/Konfrontasi_Indonesia-Malaysia ( diakses tanggal 25
November 2010. )
Periode Orde Lama dimulai ketika Presiden Soekarno menyatakan dekrit 1959 yang
berisi tentang pemberlakuan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi negara dan
menghapus UUD RIS. Akan tetapi secara teknis, Presiden Soekarno memimpin era
ini semenjak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Dengan demikian, ulasan
mengenai politik luar negeri RI pada era Orde Lama tidak bisa hanya dipantau
semenjak tahun 1959 semata, melainkan ditarik semenjak awal kemerdekaan
Republik Indonesia pada tahun 1945.
Dalam memimpin, Soekarno dipandang sebagai sosok yang sangat kontroversial
namun populer. Sejarahnya yang penuh dengan orasi kebangsaan yang mampu
membakar semangat segenap pemuda bangsa menunjukkan bahwa ia seorang
yang penuh percaya diri dan daya tarik. Di masanya, Soekarno merupakan sosok
pemimpin yang penuh inisiatif dan inovatif. Kekayaannya akan ide dan gagasan
baru didukung dengan keberanian dalam mengambil keputusan yang saat itu dinilai
tidak biasa. Salah satu tindakan Soekarno yang drastis dan populer pasca
kemerdekaan ialah nasionalisasi aset- aset negara yang dulu dimiliki Belanda juga
Jepang, serta melakukan sosialisasi kedaulatan Republik Indonesia sebagai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari Sabang sampai Merauke kepada dunia
internasional[1]. Hal ini menjadi agenda utama kebijakan luar negeri Soekarno yang
dilandasi dengan prinsip- prinsip pancasila sebagai ideologi negara dan amanat
UUD 1945 sebagai tolak ukur pembangunan pasca kemerdekaan yang anti
terhadap imperialism Barat.
Sikap anti Soekarno terhadap imperialisme Barat semakin kentara pada
tindakannya yang menyeru negara- negara di dunia untuk tidak tunduk terhadap
blok- blok yang saling berseteru di kala itu sehingga kemudian lahir Gerakan NonBlok yang diinisiasi dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non Blok di Bandung pada
tahun 1955[2]. Indonesia kemudian menjadi inisiator Gerakan Non- Blok yang
banyak mendorong kemerdekaan di negara- negara Asia- Afrika pada masa itu.
Banyaknya inisiatif yang muncul dari kebijakan luar negeri Indonesia pada masa itu
menunjukkan bahwa Soekarno secara serius mengagendakan pengakuan eksistensi
Indonesia di mata internasional dan pembentukan aliansi anti kolonialisme serta
imperialism Barat dalam setiap kebijakan luar negeri Indonesia. Hal ini selaras
dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia. Prinsip ini
dicetuskan oleh Muhammad Hatta melalui pidatonya di depan Komite Nasional
Indonesia Pusat pada tanggal 2 September 1948 yang berisikan pernyataan bahwa
Indonesia tidak boleh memihak baik ke Blok barat maupun Blok Timur dalam politik
internasional demi tercapainya cita- cita Indonesia Merdeka. Pidato yang kemudian
dikenal dengan judul Mendayung Di Antara Dua Karang ini meskipun esensinya
tidak lantas langsung dimasukkan ke dalam konstitusi negara, namun ia kemudian
menjadi landasan moral yang membentuk politik luar negeri Indonesia pada masa
itu.
Meskipun demikian, sejarah perjuangan Soekarno dalam merebut kemerdekaan
Indonesia dari kolonialisme Barat telah membentuk pandangan Soekarno menjadi
anti terhadap Barat. Sehingga secara sikap politik pun, Soekarno nampak
cenderung pro terhadap ideologi kiri atau timur. Kedekatan ini ditunjukan dengan
keberpihakan Soekarno terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kemudian
membawa Soekarno terhadap peristiwa pidato penyampaian pidato manifesto
politik (manipol) yang mengidentifkasikan imperialis barat sebagai musuh
nasional[3]. Hal ini ditunjukkan secara gamblang dalam ketidaksukaan Soekarno
terhadap keberadaan Belanda di Irian Barat. Tindakan militer kemudian diambil
untuk mengambil alih kembali Irian Barat ketika diplomasi dianggap gagal
membuat Belanda angkat kaki dari Irian Barat. Dukungan Amerika Serikat yang
kemudian didapatkan Soekarno muncul sebagai akibat konfrontasi kedekatan
Jakarta dengan Moskow.
Taktik yang konfrontatif ini kemudian digunakan kembali oleh Soekarno ketika
terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia akibat pembentukan negara
federasi Malaysia yang dianggap Indonesia pro terhadap imperialisme Barat. Hal ini
dianggap mengancam keberkembangan Nefos (New Emerging Forces) oleh Oldefos
(Old Established Forces), yakni dua kategorisasi negara yang dibentuk oleh
Soekarno. Berbagai kebijakan luar negeri kemudian muncul dengan landasan
kepentingan nasional yang berorientasi pada penguatan eksistensi Indonesia dan
Nefos. Salah satu tindakan yang paling terkenal ialah pembentukan poros Jakarta –
Peking dimana Indonesia pada saat itu menjadi sangat dekat dengan China. Tidak
hanya sampai di situ,Jakarta pada era tersebut digambarkan sebagai pusat
pemerintahan yang akrab dengan Moskow, Beijing dan Hanoi serta garang terhadap
Washington dan sekutu Barat[4]. Sebagai dampak, ruang gerak Indonesia di forum
internasional menjadi terbatas pada seputar negar- negara komunis semata. Hal ini
pun mencederai prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas- aktif.
Munculnya kebijakan Dwikora pada 3 Mei 1964 menunjukkan bahwa Soekarno
secara serius ingin menyingkirkan Barat dari seputar Indonesia karena dinilai dapat
memojokkan Indonesia. Kebijakan Dwikora tersebut berisi tentang perintah untuk
memperhebat ketahanan revolusi Indonesia dan untuk membantu perjuangan
rakyat Malaysia membebaskan diri dari neokolonialisme Inggris. Hal ini lantas
disusul dengan pencetusan Politik Mercusuar yang mendorong Indonesia untuk
tampil megah agar terlihat sebagai pemimpin Nefos yang mampu menerangi jalan
baru bagi negara- negara Nefos lainnya. Puncak sikap kontra Soekarno terhadap
Barat ditunjukkan dengan keluarnya Indonesia dari PBB pada tanggal 7 Januari
1965 sebagai bentuk ketidaksukaan Indonesia terhadap pengangkatan Malaysia
yang dinilai pro Barat sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Namun sayangnya kebijakan- kebijakan luar negeri yang diinisiasi Soekarno untuk
Indonesia rupanya kurang memperhatikan sektor domestic. Di kala Soekarno
dengan gencar melancarkan politik luar negeri yang garang, aktif dan militant,
kondisi perekonomian dalam negeri tampak morat- marit akibat infasi yang terjadi
secara terus- menerus, penghasilan negara merosot sedangkan pengeluaran untuk
proyek- proyek Politik Mercusuar seperti GANEFO (Games of The New Emerging
Forces) dan CONEFO ( Conference of The New Emerging Forces) terus
membengkak. Belum lagi kecamuk politik dalam negeri yang diwarnai dengan
bentrok antara militer dan PKI membuat situasi di Indonesia pada saat itu semakin
carut marut. Puncak kecarut- marutan ini ialah terjadinya peristiwa Gerakan 30
September 1965 yang kemudian membuat kepemimpinan Soekarno di Indonesia
melemah dan bahkan terpojok. Tahun 1968 menjadi akhir dari kepemimpinan
Presiden Soekarno di Indonesia yang dengan demikian mengakhiri pula era Orde
Lama di Indonesia.
Secara umum, kepentingan nasional yang terus menjadi agenda utama Indonesia di
era Orde Lama ialah kepentingan untuk menjaga kesatuan dan persatuan NKRI,
mempromosikan Indonesia sebagai negara berkekuatan yang baru merdeka,
menunjukkan eksistensi Indonesia di dunia internasional dan menunjukkan sikap
pro-perdamaian yang anti-kolonialisme Barat. Metode yang ditempuh Soekarno
untuk memenuhi kepentingan nasional ini sangat beragam, mulai dari cara
negosiasi, pengerahan kekuatan militer, containment, politik berdikari hingga
mengundang bantuan asing. Karakter utama yang banyak ditunjukkan politik luar
negeri Indonesia pada masa ini ialah karakter high profle yang tegas namun masih
belum terarah[5].
Meskipun banyak penyimpangan yang terjadi pada masa ini di mana prinsip moral
bebas- aktif politik luar negeri Indonesia justru dilangkahai oleh kedekatan
Indonesia terhadap blok Timur, namun tidak dipungkiri banyak keberhasilan yang
dicapai pada masa Orde Lama yang hingga kini imbas baiknya masih dapat
dirasakan. Sejumlah keberhasilan politik luar negeri pada era Orde Lama antara
lain:
1. Indonesia berhasil merebut kembali Irian Barat dari Belanda melalui jalur
diplomasi dan militer
2. Indonesia berhasil menginisiasi berdirinya Gerakan Non- Blok melalui KTT AsiaAfrika di Bandung pada tahun 1955
3. Indonesia berhasil menunjukkan eksistensi yang patut diperhitungkan oleh kedua
blok raksaksa dunia pada masa itu
Sejumlah halangan yang banyak mengusik keberlangsungan politik luar negeri
Indonesia pada era Orde Lama yaitu:
1. Baru terbentuknya NKRI sehingga masih banyak ancaman disintegrasi nasional
2. Instabilitas politik dan perekonomian domestic
3. Situasi Perang Dingin dan terbentuknya dua blok raksaksa dunia yang saling
berusaha mendominasi
4. Infrastruktur yang baru dibangun tidak sesuai dengan ambisi Soekarno untuk
segera membuat Indonesia menjadi negara adidaya
[1] http://umum.kompasiana.com/2010/01/31/sang-presiden-%E2%80%93kebijakan-politik-luar-dan-dalam-negeri-sambungan-menyerah-tanpa-syarat/
diakses pada 2 Januari 2013 pukul 03:04.
[2] http://politik.kompasiana.com/2011/01/16/periodisasi-politik-luar-negeriindonesia-dari-masa-orde-lama-hingga-masa-reformasi-335055.html diakses pada
30 Desember 2012 pukul 14:23
[3] http://rofuddarojat.wordpress.com/2011/11/03/284/ diakses pada 30 Desember
2012 pukul 21:47
[4] http://www.scribd.com/doc/24673774/Politik-Luar-Negeri-IndonesiaKebebasaktifan-Yang-Oportunis diakses pada 30 Desember 2012 pukul 21:17
[5]
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/01/change_and_continuity_in_i
ndonesia_foreign_policy.pdf diakses pada 24 Desember 2012 pukul 15:42.
PADA MASA ORDE LAMA (1945-1966)
Sejarah diplomasi negara Indonesia sebenarnya telah berlangsung lama. Tonggak
penting munculnya diplomasi di Indonesia berawal dari diikrarkanya perasaan satu
bangsa, satu bahasa dan satu tanah air, yang merupakan dasar dari pembentukan
identitas nasional oleh para pemuda-pemudi Indonesia melalui sumpah pemuda,
yang diikrarkan dalam Konggres Pemuda II di Jakarta pada tanggal 28 oktober 1928.
Setelah munculnya peristiwa sumpah pemuda, yang merupakan tonggak terpenting
dalam mempersatukan rasa nasionalisme bangsa Indonesia, akhirnya pada tanggal
17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya, setelah
sehari sebelumnya Soekarno dan Hatta berunding dengan para pemuda di
Rengasdengklok mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia, memanfaatkan
momentum menyerahnya Jepang kepada sekutu tanggal 15 Agustus 1945. Dan
pada tanggal 19 Agustus 1945 ditetapkan menteri-menteri yang memimpin kabinet,
beserta kementrian yang menaunginya. Salah satu kementrian yang kelak akan
berpengaruh di bidang diplomasi adalah Kementrian Luar Negeri Republik
Indonesia, yang saat itu dipimpin oleh Ahmad Subardjo.
Meskipun Republik Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal
17 Agustus 1945, namun Belanda belum mengakui secara sah berdirinya Republik
Indonesia, dan mencoba kembali menguasai Indonesia dengan menggunakan
bantuan Inggris. Karena hal tersebut, pada periode 1945 hingga 1949 di Indonesia
muncul berbagai perlawanan fsik menentang agresi militer Belanda. Selain
perlawanan fsik yang dilakukan oleh rakyat Indonesia, dilakukan pula berbagai
usaha diplomasi dan berbagai perundingan yang berkaitan dengan perebutan
kekuasaan atas berbagai wilayah di Indonesia dan pengakuan kedaulatan Republik
Indonesia.
Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) sebagai organisasi internasional yang bertujuan
menjaga kedamaian dan ketertiban dunia tidak tinggal diam dengan hal ini. Dewan
Keamanan PBB mengirimkan misi perdamaian ke Indonesia, dan mengeluarkan
resolusi agar Belanda dan Indonesia segera menghentikan segala aktivitas militer.
PBB meminta agar Belanda membebaskan semua tahanan politik, pembentukan
suatu pemerintahan sementara dan pengakuan kedaulatan atas Republik Indonesia.
Akhirnya pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949 diselenggarakan
Konferensi Meja Bundar ( KMB ) di Den Haag, yang menjadi jalur pembuka
munculnya pengakuan kedaulatan Belanda atas Indonesia pada 27 Desember 1949.
Setelah resmi diakui kedaulatanya sebagai negara merdeka, Republik Indonesia
mulai menyusun kembali pemerintahan yang selama kurang lebih empat tahun,
dari tahun 1945 hingga 1949 berjuang mempertahankan kemerdekaan yang akan
direbut kembali oleh Belanda. Dan pada bulan Januari 1950 Presiden pertama
Republik Indonesia Soekarno melakukan kunjungan internasionalnya yang pertama
sebagai Presiden Republik Indonesia, yaitu mengadakan kunjungan ke India,
Pakistan, dan Birma.
Sebagai salah satu negara yang telah mendapatkan kedaulatan secara penuh,
Indonesia bergabung ke dalam keanggotaan PBB pada tahun 1950. Tepatnya pada
tanggal 27 September 1950, Majelis Umum PBB menerima Indonesia sebagai
anggota PBB. Pada tahun 1955, Indonesia kembali menunjukan eksistensinya di
dunia internasional dengan memprakarsai lahirnya Konferensi Asia Afrika (KAA),
bersama Burma, India, Pakistan dan Sri Lanka. Selain sebagai pemrakarsa Indonesia
juga berlaku sebagai tuan rumah Konferensi Asia Afrika yang dilangsungkan di
Bandung pada tanggal 18 sampai 25 April 1955.
Indonesia yang tidak ingin mengidentikan negaranya dengan blok barat maupun
blok timur, turut serta sebagai salah satu negara penggagas Konferensi Tingkat
Tinggi Negara-negara Non Blok (KTT Non Blok). Dan pada tahun 1961
diselenggarakan KTT Non Blok yang pertama di kota Beograd, Yugoslavia.KTT
tersebut dihadiri oleh beberapa negara berkembang yang tidak turut serta
menyertakan diri sebagai negara pendukung blok timur maupun blok barat.
Beberapa tahun berlalu setelah Indonesia mengikrarkan diri sebagai negara yang
memiliki pandangan politik luar negeri bebas aktif, Soekarno sebagai Presiden
Republik Indonesia mulai memanfaatkan kekuasaanya dengan melakukan beberapa
bentuk penyimpangan terhadap politik luar negeri bebas aktif yang ia ikrarkan
sendiri. Dengan diawali oleh sistem demokrasi terpimpin ala Soekarno, politik luar
negeri Indonesia yang semula bebas aktif perlahan mulai ia arahkan ke kiri, dan hal
ini memunculkan kecemburuan dari pihak barat.
Pada tahun 1961, Inggris mencoba menggabungkan wilayah koloninya di
semenanjung Malaka, Singapura dan Kalimantan Utara menjadi satu dalam Federasi
Malaysia. Rencana ini kemudian ditentang oleh Pemerintah Indonesia. Presiden
Soekarno berpendapat bahwa Federasi Malaysia merupakan Negara bentukan
Inggris, dan hal ini memungkinkan bagi Inggris untuk melakukan kontrol atas Asia
Tenggara khususnya Indonesia sebagai tetangga terdekat. Atas dasar tersebut
Indonesia mengambil sikap tegas untuk mengadakan konfrontasi dengan Malaysia.
Dan pada tanggal 3 Mei 1963, Presiden Soekarno mengumumkan perintah Dwi
Komando Rakyat (Dwikora) yang menjadi legitimasi munculnya penyerangan
terhadap Malaysia yang dilakukan oleh militer Indonesia.
Ketegangan hubungan Indonesia-Malaysia semakin ditegaskan oleh Presiden
Soekarno. Pada tanggal 7 Januari 1965, Presiden Soekarno mengumumkan
Indonesia keluar dari keanggotaan PBB. Keluarnya Indonesia dari PBB merupakan
reaksi atas ditetapkanya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan
PBB. Keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB berakibat pada tersisolasinya
Indonesia dari pergaulan masyarakat internasional.
Setelah menyatakan keluar dari keanggotaan PBB, Indonesia tidak tinggal diam.
Sikap tegas langsung diambil oleh Presiden Soekarno dengan membentuk kekuatan
baru, yaitu The New Emerging Force (NEFO) sebagai representasi negara-negara
dunia ketiga sebagai kekuatan baru untuk melawan kedigdayaan The Old
Establsihed Force (OLDEFO) yang berisikan negara-negara maju.
Jika kita urutkan pada beberapa era sebelumnya, sikap tegas Presiden Soekarno
melawan intervensi negara-negara barat telah banyak dilakukan. Pada kisaran
tahun 1960 saat Belanda mencoba menguasai Irian Barat, Republik Indonesia
memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda. Hal yang sama terjadi
pada tahun 1963 saat Inggris menyatakan kemerdekaan Federasi Malaysia,
hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dan Kerajaan Inggris berakhir. Dan
yang terakhir adalah pada saat dilangsungkanya Asian Games 1962 di Jakarta.
Indonesia sebagai tuan rumah menolak keikutsertaan Israel dan Taiwan dalam
ajang tersebut. Hal ini menimbulkan kemarahan dari pihak Komite Olimpiade
Internasional (IOC), yang mengakibatkan tidak direstuinya penyelenggaraan Asian
Games 1962 oleh IOC. Setahun kemudian Presiden Soekarno membalas dengan
menyatakan bahwa Indonesia keluar dari keanggotaan di IOC, dan membentuk
olimpiade tandingan yang bernama GANEFO. Indonesia sendiri tercatat sebagai
tuan rumah pertama sekaligus terakir kali dilangsungkanya GANEFO, yaitu di
Jakarta pada tahun 1963.
Memasuki penghujung tahun 1965 hubungan antara Indonesia semakin erat dengan
Cina. Dan di masa ini pula kesehatan Presiden Soekarno mulai mengalami
penurunan dan menjadi jalan pembuka bagi munculnya revolusi untuk
menggantikan posisi Presiden Soekarno sebagai penguasa tunggal Indonesia.
Akhirnya setelah memanfaatkan sebuah revolusi yang gagal dilaksanakan oleh
beberapa petinggi PKI pada 30 September 1965, Mayor Jendral Soeharto berhasil
menerima mandat dari Presiden Soekarno untuk mengatasi kondisi negara yang
sedang dilanda huru-hara melalui Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR).
Melalui surat itu pula Soeharto mulai mengadakan serangkaian operasi militer
untuk membersihkan negara dari bahaya gerakan komunis, dan menjadi legitimasi
bagi Soeharto untuk mendapatkan kekuasaan sebagai Presiden Republik Indonesia.
Setelah munculnya ketegangan antara Indonesia dan Malaysia sekitar tahun 1963
hingga 1964 yang memunculkan politik konfrontasi. Pada tanggal 11 Agustus 1965
disepakati normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia, dengan ditandatanganinya
sebuah persetujuan normalisasi hubungan antara Indonesia dan Malaysia oleh
masing-masing Menteri Luar Negeri di Jakarta. Dan pada tanggal 28 September
1965 Indonesia melalaui Menteri Luar Negeri Adam Malik menyatakan untuk aktif
kembali dalam keanggotaan PBB.
Dengan kembalinya Indonesia dalam keanggotaan PBB, berarti mengembalikan
pula misi Indonesia untuk turut serta menjalin kerja sama antar negara dan turut
serta dalam usaha mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia.Hingga saat ini
pun keterlibatan Indonesia dalam PBB masih terlihat. Selain aktif dalam
mengirimkan Pasukan Perdamaian Garuda, Indonesia pun sering mendapatkan
bantuan internasional dari PBB berkait dengan pendidikan, perekonomian,
kebudayaan maupun bencana alam yang sering melanda Indonesia. Dengan
demikian maka bisa dikatakan bahwa keterlibatan hubungan natara Indonesia dan
PBB memiliki hubungan timbal balik yang saling menguntungkan dalam
mewujudkan tujuan masing-masing lembaga, baik bagi Indonesia sebagai sebuah
negara maupun bagi PBB sebagai organisasi internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1988.30 Tahun Indonesia Merdeka (19501964) Jilid 1..Jakarta: PT Citra Lamtoro Gung Persada
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1988.30 Tahun Indonesia Merdeka (19651973) Jilid 2..Jakarta: PT Citra Lamtoro Gung Persada
Ricklefs, M.C .2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi
Wardaya, Baskara T. 2006. Bung Karno Menggugat “Dari Marhaen, CIA,
Pembantaian Massal 65 hingga G 30 S”. Yogyakarta: Galang Press
http://www.deplu.go.id/Pages/History.aspx?IDP=3&l=id ( diakses tanggal 25
November 2010. )
http://id.wikipedia.org/wiki/Konfrontasi_Indonesia-Malaysia ( diakses tanggal 25
November 2010. )
Periode Orde Lama dimulai ketika Presiden Soekarno menyatakan dekrit 1959 yang
berisi tentang pemberlakuan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi negara dan
menghapus UUD RIS. Akan tetapi secara teknis, Presiden Soekarno memimpin era
ini semenjak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Dengan demikian, ulasan
mengenai politik luar negeri RI pada era Orde Lama tidak bisa hanya dipantau
semenjak tahun 1959 semata, melainkan ditarik semenjak awal kemerdekaan
Republik Indonesia pada tahun 1945.
Dalam memimpin, Soekarno dipandang sebagai sosok yang sangat kontroversial
namun populer. Sejarahnya yang penuh dengan orasi kebangsaan yang mampu
membakar semangat segenap pemuda bangsa menunjukkan bahwa ia seorang
yang penuh percaya diri dan daya tarik. Di masanya, Soekarno merupakan sosok
pemimpin yang penuh inisiatif dan inovatif. Kekayaannya akan ide dan gagasan
baru didukung dengan keberanian dalam mengambil keputusan yang saat itu dinilai
tidak biasa. Salah satu tindakan Soekarno yang drastis dan populer pasca
kemerdekaan ialah nasionalisasi aset- aset negara yang dulu dimiliki Belanda juga
Jepang, serta melakukan sosialisasi kedaulatan Republik Indonesia sebagai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari Sabang sampai Merauke kepada dunia
internasional[1]. Hal ini menjadi agenda utama kebijakan luar negeri Soekarno yang
dilandasi dengan prinsip- prinsip pancasila sebagai ideologi negara dan amanat
UUD 1945 sebagai tolak ukur pembangunan pasca kemerdekaan yang anti
terhadap imperialism Barat.
Sikap anti Soekarno terhadap imperialisme Barat semakin kentara pada
tindakannya yang menyeru negara- negara di dunia untuk tidak tunduk terhadap
blok- blok yang saling berseteru di kala itu sehingga kemudian lahir Gerakan NonBlok yang diinisiasi dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non Blok di Bandung pada
tahun 1955[2]. Indonesia kemudian menjadi inisiator Gerakan Non- Blok yang
banyak mendorong kemerdekaan di negara- negara Asia- Afrika pada masa itu.
Banyaknya inisiatif yang muncul dari kebijakan luar negeri Indonesia pada masa itu
menunjukkan bahwa Soekarno secara serius mengagendakan pengakuan eksistensi
Indonesia di mata internasional dan pembentukan aliansi anti kolonialisme serta
imperialism Barat dalam setiap kebijakan luar negeri Indonesia. Hal ini selaras
dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia. Prinsip ini
dicetuskan oleh Muhammad Hatta melalui pidatonya di depan Komite Nasional
Indonesia Pusat pada tanggal 2 September 1948 yang berisikan pernyataan bahwa
Indonesia tidak boleh memihak baik ke Blok barat maupun Blok Timur dalam politik
internasional demi tercapainya cita- cita Indonesia Merdeka. Pidato yang kemudian
dikenal dengan judul Mendayung Di Antara Dua Karang ini meskipun esensinya
tidak lantas langsung dimasukkan ke dalam konstitusi negara, namun ia kemudian
menjadi landasan moral yang membentuk politik luar negeri Indonesia pada masa
itu.
Meskipun demikian, sejarah perjuangan Soekarno dalam merebut kemerdekaan
Indonesia dari kolonialisme Barat telah membentuk pandangan Soekarno menjadi
anti terhadap Barat. Sehingga secara sikap politik pun, Soekarno nampak
cenderung pro terhadap ideologi kiri atau timur. Kedekatan ini ditunjukan dengan
keberpihakan Soekarno terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kemudian
membawa Soekarno terhadap peristiwa pidato penyampaian pidato manifesto
politik (manipol) yang mengidentifkasikan imperialis barat sebagai musuh
nasional[3]. Hal ini ditunjukkan secara gamblang dalam ketidaksukaan Soekarno
terhadap keberadaan Belanda di Irian Barat. Tindakan militer kemudian diambil
untuk mengambil alih kembali Irian Barat ketika diplomasi dianggap gagal
membuat Belanda angkat kaki dari Irian Barat. Dukungan Amerika Serikat yang
kemudian didapatkan Soekarno muncul sebagai akibat konfrontasi kedekatan
Jakarta dengan Moskow.
Taktik yang konfrontatif ini kemudian digunakan kembali oleh Soekarno ketika
terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia akibat pembentukan negara
federasi Malaysia yang dianggap Indonesia pro terhadap imperialisme Barat. Hal ini
dianggap mengancam keberkembangan Nefos (New Emerging Forces) oleh Oldefos
(Old Established Forces), yakni dua kategorisasi negara yang dibentuk oleh
Soekarno. Berbagai kebijakan luar negeri kemudian muncul dengan landasan
kepentingan nasional yang berorientasi pada penguatan eksistensi Indonesia dan
Nefos. Salah satu tindakan yang paling terkenal ialah pembentukan poros Jakarta –
Peking dimana Indonesia pada saat itu menjadi sangat dekat dengan China. Tidak
hanya sampai di situ,Jakarta pada era tersebut digambarkan sebagai pusat
pemerintahan yang akrab dengan Moskow, Beijing dan Hanoi serta garang terhadap
Washington dan sekutu Barat[4]. Sebagai dampak, ruang gerak Indonesia di forum
internasional menjadi terbatas pada seputar negar- negara komunis semata. Hal ini
pun mencederai prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas- aktif.
Munculnya kebijakan Dwikora pada 3 Mei 1964 menunjukkan bahwa Soekarno
secara serius ingin menyingkirkan Barat dari seputar Indonesia karena dinilai dapat
memojokkan Indonesia. Kebijakan Dwikora tersebut berisi tentang perintah untuk
memperhebat ketahanan revolusi Indonesia dan untuk membantu perjuangan
rakyat Malaysia membebaskan diri dari neokolonialisme Inggris. Hal ini lantas
disusul dengan pencetusan Politik Mercusuar yang mendorong Indonesia untuk
tampil megah agar terlihat sebagai pemimpin Nefos yang mampu menerangi jalan
baru bagi negara- negara Nefos lainnya. Puncak sikap kontra Soekarno terhadap
Barat ditunjukkan dengan keluarnya Indonesia dari PBB pada tanggal 7 Januari
1965 sebagai bentuk ketidaksukaan Indonesia terhadap pengangkatan Malaysia
yang dinilai pro Barat sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Namun sayangnya kebijakan- kebijakan luar negeri yang diinisiasi Soekarno untuk
Indonesia rupanya kurang memperhatikan sektor domestic. Di kala Soekarno
dengan gencar melancarkan politik luar negeri yang garang, aktif dan militant,
kondisi perekonomian dalam negeri tampak morat- marit akibat infasi yang terjadi
secara terus- menerus, penghasilan negara merosot sedangkan pengeluaran untuk
proyek- proyek Politik Mercusuar seperti GANEFO (Games of The New Emerging
Forces) dan CONEFO ( Conference of The New Emerging Forces) terus
membengkak. Belum lagi kecamuk politik dalam negeri yang diwarnai dengan
bentrok antara militer dan PKI membuat situasi di Indonesia pada saat itu semakin
carut marut. Puncak kecarut- marutan ini ialah terjadinya peristiwa Gerakan 30
September 1965 yang kemudian membuat kepemimpinan Soekarno di Indonesia
melemah dan bahkan terpojok. Tahun 1968 menjadi akhir dari kepemimpinan
Presiden Soekarno di Indonesia yang dengan demikian mengakhiri pula era Orde
Lama di Indonesia.
Secara umum, kepentingan nasional yang terus menjadi agenda utama Indonesia di
era Orde Lama ialah kepentingan untuk menjaga kesatuan dan persatuan NKRI,
mempromosikan Indonesia sebagai negara berkekuatan yang baru merdeka,
menunjukkan eksistensi Indonesia di dunia internasional dan menunjukkan sikap
pro-perdamaian yang anti-kolonialisme Barat. Metode yang ditempuh Soekarno
untuk memenuhi kepentingan nasional ini sangat beragam, mulai dari cara
negosiasi, pengerahan kekuatan militer, containment, politik berdikari hingga
mengundang bantuan asing. Karakter utama yang banyak ditunjukkan politik luar
negeri Indonesia pada masa ini ialah karakter high profle yang tegas namun masih
belum terarah[5].
Meskipun banyak penyimpangan yang terjadi pada masa ini di mana prinsip moral
bebas- aktif politik luar negeri Indonesia justru dilangkahai oleh kedekatan
Indonesia terhadap blok Timur, namun tidak dipungkiri banyak keberhasilan yang
dicapai pada masa Orde Lama yang hingga kini imbas baiknya masih dapat
dirasakan. Sejumlah keberhasilan politik luar negeri pada era Orde Lama antara
lain:
1. Indonesia berhasil merebut kembali Irian Barat dari Belanda melalui jalur
diplomasi dan militer
2. Indonesia berhasil menginisiasi berdirinya Gerakan Non- Blok melalui KTT AsiaAfrika di Bandung pada tahun 1955
3. Indonesia berhasil menunjukkan eksistensi yang patut diperhitungkan oleh kedua
blok raksaksa dunia pada masa itu
Sejumlah halangan yang banyak mengusik keberlangsungan politik luar negeri
Indonesia pada era Orde Lama yaitu:
1. Baru terbentuknya NKRI sehingga masih banyak ancaman disintegrasi nasional
2. Instabilitas politik dan perekonomian domestic
3. Situasi Perang Dingin dan terbentuknya dua blok raksaksa dunia yang saling
berusaha mendominasi
4. Infrastruktur yang baru dibangun tidak sesuai dengan ambisi Soekarno untuk
segera membuat Indonesia menjadi negara adidaya
[1] http://umum.kompasiana.com/2010/01/31/sang-presiden-%E2%80%93kebijakan-politik-luar-dan-dalam-negeri-sambungan-menyerah-tanpa-syarat/
diakses pada 2 Januari 2013 pukul 03:04.
[2] http://politik.kompasiana.com/2011/01/16/periodisasi-politik-luar-negeriindonesia-dari-masa-orde-lama-hingga-masa-reformasi-335055.html diakses pada
30 Desember 2012 pukul 14:23
[3] http://rofuddarojat.wordpress.com/2011/11/03/284/ diakses pada 30 Desember
2012 pukul 21:47
[4] http://www.scribd.com/doc/24673774/Politik-Luar-Negeri-IndonesiaKebebasaktifan-Yang-Oportunis diakses pada 30 Desember 2012 pukul 21:17
[5]
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/01/change_and_continuity_in_i
ndonesia_foreign_policy.pdf diakses pada 24 Desember 2012 pukul 15:42.