BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dasar Perpajakan - Analisis Pengaruh Surat Teguran, Surat Paksa Dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) Terhadap Efektivitas Penagihan Pajak (Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak Medan Kota
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Dasar Perpajakan
Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus
menerus dan bergerak secara berkesinambungan. Pembangunan nasional
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materiil maupun
spiritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut maka perlu perhatian
utama ditujukan kepada masalah pembiayaan pembangunan.
Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau
negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang
berasal dari dalam negara berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai
pembangunan yang berguna baik untuk kepentingan bersama.
2.1.1
Pengertian Pajak
Pengertian pajak menurut Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah sebagai berikut:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undangundang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”
Pengertian pajak menurut buku Leroy Beaulieu yang berjudul Traite
de la Science des Finances, 1906:
L’impot et la contribution, soit directe soit dissimule, que La
Puissance Publique exige des habitants ou des biens subvenir aux
depenses du Government.
(“Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang
dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang,
untuk menutup belanja pemerintah”.)
Karianton (2013:6) mengemukakan pengertian pajak menurut
Soemitro yang dapat dilihat dari dua aspek yaitu aspek ekonomis dan aspek
hukum. Pengertian pajak dari aspek ekonomis yaitu peralihan kekayaan dari
swasta kepada sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat
dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dapat
ditunjukkan, digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan sebagai
pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada di
luar bidang keuangan negara. Sedangkan dari aspek hukum, pajak adalah
perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan seseorang
memenuhi syarat-syarat sesuai undang-undang untuk membayar uang kepada
negara yang dapat dipaksakan tanpa mendapatkan suatu imbalan yang secara
langsung dapat ditunjuk, dan digunakan untuk membiayai pengeluaranpengeluaran negara.
Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik unsur-unsur utama
dalam pajak yaitu subyek pajak, obyek pajak, beserta tarif pajak. Subyek
pajak adalah kepada siapa pajak tersebut dikenakan, obyek pajak adalah atas
apa pajak tersebut dapat dikenakan, sementara tarif pajak adalah seberapa
besar pajak yang akan dibebankan kepada subyek pajak atas obyek pajaknya.
2.1.2
Fungsi Pajak
Menurut Erly Suandy dalam buku “Hukum Pajak” (2011:12) ada 2
fungsi pajak, yaitu:
a) Fungsi Finansial (Budgetair)
Pajak berfungsi memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas
negara, dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.
b) Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik di
bidang ekonomi, sosial, maupun politik dengan tujuan tertentu. Pajak
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dapat dilihat dalam
contoh sebagai berikut:
a. Pemberian insentif pajak (misalnya tax holiday, penyusutan dipercepat)
dalam rangka meningkatkan investasi baik investasi dalam negeri maupun
investasi asing.
b. Pengenaan pajak ekspor untuk produk-produk tertentu dalam rangka
memenuhi kebutuhan dalam negeri.
c. Pengenaan bea masuk dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk
produk-produk impor tertentu dalam rangka melindungi produk-produk
dalam negeri.
Di samping kedua fungsi di atas, pajak masih mempunyai tujuantujuan lain seperti untuk redistribusi pendapatan dan menanggulangi inflasi.
2.1.3 Pengelompokan Pajak
Pengelompokan pajak dibagi menjadi beberapa bagian yaitu :
1. Menurut golongannya
a) Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipakai sendiri oleh wajib
pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh : Pajak Penghasilan.
b) Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak
Pertambahan Nilai.
2. Menurut sifatnya
a) Pajak Subyektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subyeknya, dalam arti memperhatikan keadaan dari wajib pajak.
Contoh : Pajak Penghasilan.
b) Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada obyeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. Menurut lembaga pemungutannya
a) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pusat dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh : PPh, PPN, dan
PPnBM dan Bea Materai.
b) Pajak Daerah, yaitu pajak yang digunakan oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : PBB,
PKB, Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Reklame, Pajak Penerangan
Jalan dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
2.1.4 Tata Cara Pemungutan Pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan tiga stelsel yaitu :
1. Stelsel Nyata (Riel Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata),
sehingga pemungutan baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak.
Kelebihan dari stelsel ini pajak yang dikenakan realistis, sesuai dengan
yang seharusnya dibayarkan oleh wajib pajak. Sedangkan kelemahan dari
stelsel ini pajak baru dapat dibayarkan setelah penghasilan diketahui pada
akhir periode.
2. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh
undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan
tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan
besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan
dari
sistem ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus
menunggu akhir tahun. Sedangkan kekurangan dari sistem ini terkadang
besarnya pajak yang dibayar tidak sesuai dengan besarnya pajak yang
seharusnya dibayarkan.
3. Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.
Stelsel ini mengombinasikan kelebihan-kelebihan dari stelsel nyata dan
stelsel anggapan. Dalam stelsel ini, besarnya pajak dihitung sesuai
anggapan seperti pada stelsel anggapan, besarnya penghasilan dalam tahun
berjalan dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pajak dapat
dibayarkan pada awal tahun pajak. Akan tetapi pada akhir tahun besarnya
pajak disesuaikan dengan kenyataan yang harus dibayarkan. Apabila
ternyata pajak yang dibayarkan kurang, maka wajib pajak harus
menambahnya, dan apabila yang dibayarkan berlebih maka wajib pajak
berhak untuk mengambil kelebihan tersebut.
2.1.5 Sistem Pemungutan Pajak
Dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan pajak
yaitu :
1. Official Assessment System
Sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pemerintah
(petugas pajak) untuk menentukan besarnya pajak terhutang wajib pajak.
Sistem pemungutan pajak ini sudah tidak berlaku lagi setelah reformasi
perpajakan pada tahun 1983. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalah
(i) pajak terhutang dihitung oleh petugas pajak, (ii) wajib pajak bersifat
pasif, dan (iii) hutang pajak timbul setelah petugas pajak menghitung pajak
yang terhutang dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak.
2. Self Assessment System
Sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada wajib pajak
untuk menghitung sendiri, melaporkan sendiri, dan membayar sendiri
pajak yang terhutang yang seharusnya dibayar. Ciri-ciri sistem
pemungutan pajak ini adalah (i) pajak terhutang dihitung sendiri oleh
wajib pajak, (ii) wajib pajak bersifat aktif dengan melaporkan dan
membayar sendiri pajak terhutang yang seharusnya dibayar, dan (iii)
pemerintah tidak perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak setiap saat
kecuali oleh kasus-kasus tertentu saja seperti wajib pajak terlambat
melaporkan atau membayar pajak terhutang atau terdapat pajak yang
seharusnya dibayar tetapi tidak dibayar.
3. With Holding System
Sistem pengumutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga
(bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Ciri-ciri sistem
pemungutan pajak ini adalahwewenang menentukan besarnya pajak yang
terutang ada pada pihak ketiga.
2.1.6 Tarif Pajak
Tarif pajak dibagi kedalam 4 jenis, yaitu:
1. Tarif proporsional atau sebanding, berupa persentase yang tetap, terhadap
berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang
terutang proposional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.
Contoh: Untuk PPN terhadap barang kena pajak dikenakan tarif 10%
Jumlah Penjualan
Tarif
Pajak
Rp. 500.000,-
10%
Rp. 50.000,-
Rp. 1.000.000,-
10%
Rp. 100.000,-
Rp. 5.000.000,-
10%
Rp. 500.000,-
Rp. 10.000.000,-
10%
Rp. 1.000.000,-
2. Tarif tetap, berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah
yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
Contoh: Pajak materai atau bea materai yang besar tarifnya tidak berubah
(tetap) dengan tarif senilai Rp. 3.000,- atau Rp. 6.000,-.
3. Tarif progresif, dimana persentase tarif yang digunakan semakin besar bila
jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
Contoh: Untuk Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi
dikenakan tarif progresif yaitu;
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp. 50.000.000,-
5%
Diatas Rp. 50.000.000,- s/d Rp. 250.000.000,-
15%
Diatas Rp. 250.000.000,- s/d Rp. 500.000.000,-
25%
Diatas Rp. 500.000.000,-
30%
4. Tarif degresif, dimana persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila
jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
Contoh: Untuk Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi
dikenakan tarif degresif yaitu;
2.1.7
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 10.000.000,-
30%
di atas Rp 10.000.000,- sampai dengan Rp 50.000.000,-
28%
di atas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 100.000.000,-
26%
di atas Rp 100.000.000,-
24%
Pembayaran Pajak
Mekanisme pembayaran pajak bagi Wajib Pajak dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1.
Membayar sendiri pajak yang terutang:
a. Pembayaran
angsuran
PPh
setiap
bulan
(PPh
Pasal
25)
Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran Pajak Penghasilan secara
angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak
dalam melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Wajib
Pajak diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada
akhir tahun dengan membayar sendiri angsuran pajak tersebut setiap
bulan.
Khusus
untuk
Wajib
Pajak
Orang
Pribadi
yang
sumber
penghasilannya dari usaha dan pekerjaan bebas, pembayaran angsuran
PPh Pasal 25 terbagi atas 2 yaitu:
1.
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu (OPPT).
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah wajib
pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha penjualan
barang baik secara grosir maupun eceran dan usaha
penyerahan jasa, yang mempunyai satu atau lebih tempat
usaha termasuk yang memiliki tempat usaha yang berbeda
dengan tempat tinggal.
Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak OPPT : 0,75% x jumlah
peredaran usaha (omset) setiap bulan dari masing-masing
tempat usaha
2.
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi
Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT).
Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu
(OPSPT) adalah Orang Pribadi yang melakukan kegiatan
usaha tanpa melalui tempat usaha misalnya sebagai pekerja
bebas atau sebagai karyawan.
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak OPSPT :
Penghasilan Kena Pajak x Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a
UU PPh : 12 bulan.
Tarif Pasal 17 ayat (1) a UU PPh adalah :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,-
5%
Diatas Rp. 50.000.000,- s/d Rp. 250.000.000,-
15%
Diatas Rp. 250.000.000,- s/d Rp. 500.000.000,-
25%
Diatas Rp. 500.000.000,-
30%
b. Untuk Wajib Pajak Badan, besarnya pembayaran Angsuran PPh 25
yang terutang diperoleh dari penghasilan kena pajak dikalikan dengan
tarif PPh yang diatur di Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang Undang
Pajak Penghasilan. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU
PPh adalah 25%.
Khusus untuk Wajib Pajak badan yang peredaran bruto setahun
sampai dengan Rp. 50.000.000.000,- mendapat fasilitas berupa
pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan
ayat (2a) UU PPh, yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari
peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000,2. Membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh
Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26).
Pihak lain disini adalah:
Pemberi penghasilan;
Pemberi kerja; atau
Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.
3. Membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh pihak
yang ditunjuk pemerintah.
Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau penggantian atau nilai ekspor atau
nilai lainnya.
4. Pembayaran pajak-pajak lainnya:
o
Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang (SPPT).
Tarif PBB terdiri dari 2 tarif yaitu:
a. 1/1000 dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOPnya kurang dari Rp. 1.000.000.000,-
b. 2/1000, dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOPnya kurang dari Rp. 1.000.000.000,o
Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang dapat
dilakukan dengan cara menggunakan benda meterai berupa meterai
tempel atau kertas bermeterai atau dengan cara lain seperti menggunakan
mesin teraan.
Meterai tempel yang terutang untuk dokumen yang menyebut jumlah
(kuitansi) diatas Rp. 250.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,- adalah Rp.
3.000,-. Untuk dokumen yang menyebut jumlah diatas Rp. 1.000.000,dan surat-surat perjanjian, terutang materai tempel sebesar Rp. 6.000,-.
5. Pemotongan / Pemungutan Pajak
Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan
yang dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan
oleh pihak pemberi penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak
yang ditunjuk berdasarkan ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut,
antara lain yang ditunjuk tersebut adalah badan pemerintah, subjek pajak
badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Untuk subjek pajak badan dalam
negeri, maka diwajibkan juga sebagai pemotong/pemungutan pajak.
Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah: PPh Pasal 21, PPh Pasal 22,
PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15 dan PPN dan
PPn BM. Penjelasan lebih lanjut dari masing-masing pajak tersebut adalah
sebagai berikut:
a. PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan kepada oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam
negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan.
Misalnya pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh
perusahaan pemberi kerja. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk oleh
UU Perpajakan sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang
dibayarkan kepada karyawannya maupun yang bukan karyawannya.
Wajib Pajak perseorangan dapat juga ditunjuk sebagai pemotong PPh
Pasal 21 sepanjang ada penunjukannya dari KPP tempat Wajib Pajak
terdaftar. Selain diwajibkan memotong PPh Pasal 21, Wajib Pajak
perseorangan bisa juga dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas
penghasilan yang diterimanya.
b. PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak
tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sehubungan dengan
pembayaran atas penyerahan barang (seperti penyerahan barang oleh
rekanan kepada bendaharawan pemerintah), impor barang dan kegiatan
usaha di bidang-bidang tertentu serta penjualan barang yang tergolong
sangat mewah.
Pemungutan PPh Pasal 22 ini antara lain adalah:
1.
Pemungutan PPh atas pembelian barang oleh instansi Pemerintah;
2.
Pemungutan PPh atas kegiatan impor barang;
3.
Pemungutan PPh atas produksi barang-barang tertentu misalnya
produksi baja, kertas, rokok, dan otomotif;
4.
Pemungutan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri
atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir di bidang
perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari pedagang
pengumpul;
5.
Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewah.
Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat
juga sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 22.
c. PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden,
bunga, royalti, sewa, dan jasa kepada WP badan dalam negeri, dan BUT.
Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23,
sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong
PPh Pasal 23. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak menerima
penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan
pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh
Pasal 23, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan
dipotong
PPh
Pasal
23
oleh
si
pihak
pemotong
tersebut.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 23 atas jasa
tertentu (jasa servis mesin atau komputer) yang pemotongannya
dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.
d. PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden,
bunga, royalti, hadiah dan penghasilan lainnya kepada WP luar negeri.
Wajib Pajak baik yang berbentuk perseorangan maupun badan ditunjuk
untuk memotong PPh Pasal 26.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 26 atas
penghasilan tertentu (royalti) yang dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk
badan.
e. PPh Final (Pasal 4 ayat (2))
Pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu seperti sewa tanah
dan/atau bangunan, jasa konstruksi, pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dan lainnya. Yang dimaksud final disini bahwa pajak yang
dipotong, dipungut oleh pihak pemberi penghasilan atau dibayar sendiri
oleh pihak penerima penghasilan, penghitungan pajaknya sudah selesai
dan tidak dapat dikreditkan lagi dalam penghitungan Pajak Penghasilan
pada SPT Tahunan.
Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat
(2), sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong
PPh Pasal 4 ayat (2). Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak
menerima penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 4
ayat (2) dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan
pemotong PPh Pasal 4 ayat (2), maka atas penghasilan yang diterima
Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) oleh si pihak pemotong
tersebut. Namun, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang
merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi penghasilan
adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut
wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut.
f. PPh Pasal 15 adalah pemotongan pajak penghasilan yang dilakukan oleh
pihak pemberi penghasilan kepada Wajib Pajak tertentu yang
menggunakan norma penghitungan khusus.
Wajib Pajak tertentu tersebut adalah perusahaan pelayaran atau
penerbangan international, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan
pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing,
perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun guna serah.
Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15,
sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong
PPh Pasal 15. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak menerima
penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 15 dan
pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh
Pasal 15, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan
dipotong PPh Pasal 15 oleh si pihak pemotong tersebut. Namun, apabila
Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 15
dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong),
maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 15 tersebut.
g. PPN dan PPnBM adalah pemungutan PPN dan PPnBM oleh Pengusaha
Kena Pajak (PKP) atau Pemungutan yang ditunjuk (misalnya Bendahara
Pemerintah) atas pengkonsumsian barang dan/atau jasa kena pajak.
Pengusaha Kena Pajak yang ditunjuk untuk memungut PPN dan PPnBM
adalah pengusaha yang memiliki peredaran bruto (omzet) melebihi Rp.
4.800.000.000,- (empat miliar delapan ratus juta rupiah) selama 1 (satu)
tahun bukuatau pengusaha yang memilih sendiri untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Wajib Pajak baik berbentuk perseorangan maupun badan yang telah
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, wajib memungut PPN dan
juga PPnBM (bila barangnya yang diserahkan tergolong mewah) dari
pembeli atau pemakai jasanya. Wajib Pajak juga wajib membayar PPN
dan PPnBM bila mengkonsumsi barang atau jasa dari Pengusaha Kena
Pajak.
Apabila pihak-pihak yang diberi kewajiban oleh Undang-Undang Perpajakan
untuk melakukan pemotongan/pemungutan tidak melakukan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, maka dapat dikenakan sanksi administrasi
berupa bunga 2% dan kenaikan 100%.
2.2
Tinjauan Umum Tentang Penagihan Pajak
2.2.1 Pengertian penagihan pajak
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1997
Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, pengertian penagihan pajak
adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan
biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan
penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan
pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual
barang yang telah disita.
Dasar hukum penagihan pajak sesuai dengan undang-undang pasal 18
ayat 1 UU No. 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No.9
tahun 1994 dan UU No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan menyatakan dasar adanya tindakan penagihan pajak dan hak
negara untuk melakukan penagihan pajak berawal dari adanya utang pajak
yang jatuh tempo, belum atau kurang bayar. Dalam pelaksanaannya,
penagihan pajak terbagi dua yaitu:
1. Penagihan Pajak Pasif
Penagihan pajak pasif dilakukan dengan menggunakan Surat Tagihan
Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambah (SKPKBT), Surat Keputusan
Pembetulan (SKP), Surat Keputusan Keberatan (SKK), Surat Keputusan
Banding (SKB) yang menyebabkan pajak terutang menjadi bertambah
lebih besar. Jika dalam jangka waktu 30 hari utang pajak masih belum
dilunasi, maka tujuh hari setelah jatuh tempo akan diikuti dengan
penagihan pajak secara aktif yang dimulai dengan Surat Teguran.
2. Penagihan Pajak Aktif
Penagihan pajak aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pajak pasif,
dimana dalam upaya penagihan ini fiskus/pejabat juru sita berperan aktif
dalam arti bukan mengirimkan surat tagihan atau surat ketetapan pajak
melainkan akan diikuti dengan tindakan sita dan dilanjutkan dengan
pelaksanaan lelang. Jurusita pajak adalah pelaksanaan tindakan penagihan
pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan
Surat Paksa, penyitaan, dan penyanderaan.
Menurut undang-undang perpajakan Ikatan Akuntansi Indonesia, pada
penagihan PBB untuk pajak terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran
tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2%
sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran
untuk jangka waktu paling lama 24 bulan.
2.2.2
Penanggung Pajak
Menurut pasal 1 angka 3 UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan UU No.19 Tahun
2000 (UU PPSP):
“Penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan yang
bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang
menjalankan hak atau memenuhi kewajiban wajib pajak menurut
ketentuan perundang-undangan perpajakan”.
2.2.3 Pejabat dan Juru sita Pajak
Mardiasmo (2006:113) menyatakan bahwa;
“Pejabat adalah yang berwenang mengangkat dan memberhentikan
juru sita pajak, menerbitkan perintah penagihan seketika dan
sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP),
surat pencabutan sita, pengumumkan lelang, surat penentuan harga
limit, pembatalan lelang, surat perintah penyanderaan, dan surat lain
yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan
penaggung pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak
menurut undang-undang dan peraturan daerah”.
Menteri keuangan berwenang menunjuk pejabat untuk penagihan
pajak pusat, dilain sisi, kepala daerah berwenang menunjuk pejabat untuk
penagihan pajak daerah.
Penyitaan dilakukan oleh jurusita. Tugas keseluruhan dari jurusita
adalah melaksanakan surat perintah penagihan seketikda dan sekaligus,
memberitahukan
Surat
Paksa,
melaksanakan
penyitaan
atas
barang
penanggung pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan
melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan
(Karianton, 2013:124)
2.2.4
Penagihan Pajak dengan Surat Teguran
Surat Teguran, surat peringatan atau surat lainnya sejenis adalah surat
yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada
wajib pajak untuk melunasi utang pajaknya. Surat Teguran, surat peringatan
atau surat lain yang sejenis diterbitkan apabila penanggung pajak tidak
melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran.
Pengertian surat lain yang sejenis, meliputi surat atau bentuk lain yang
fungsinya sama dengan Surat Teguran atau surat peringatan dalam upaya
penagihan pajaksebelum Surat Paksa diterbitkan. Surat Teguran tidak
diterbitkan terhadap penanggung pajak
yang telah disetujui untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya. Jika dalam jangka waktu
30 hari utang pajak masih belum dilunasi, maka tujuh hari setelah jatuh tempo
akan dimulai penagihan pajak secara aktif dengan Surat Teguran.
2.2.5 Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
Surat Paksa diterbitkan apabila:
1) Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah
diterbitkan Surat Teguran atau surat peringatan atau surat lain yang
sejenis.
2) Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan
sekaligus.
3) Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagai mana tercantum
dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran
pajak.
Surat Paksa diberitahukan oleh jurusita pajak dengan pernyataan dan
penyerahan salinan Surat Paksa kepada penanggung pajak. Mengingat Surat
Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama
dengan grosse akte, yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, maka pemberitahuan kepada penanggung pajak
dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa dan kedua belah pihak
menandatangani berita acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah
diberitahukan.
2.2.6 Penagihan Seketika dan Sekaligus
Pengertian penagihan seketika dan sekaligus adalah penagihan pajak
tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran terhadap seluruh utang
pajak dan semua jenis pajak, masa pajak dan tahun pajak. Jurusita pajak
melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal
jatuh tempo pembayaran berdasarkan surat perintah penagihan seketika dan
sekaligus yang diterbitkan oleh pejabat apabila:
a. Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya
atau berniat untuk itu.
b. Penanggung pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasai
dalam rangka memberhentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau
pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia.
c. Terhadap tanda-tanda bahwa penanggung pajak akan membubarkan badan
usahanya, atau penggabungan badan usahanya, atau memindahtangankan
perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan
bentuk lainya.
d. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
e. Terjadi penyitaan atas barang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau
terdapat tanda-tanda kepailitan. Penyampaian surat perintah penagihan
seketika dan sekaligus dilaksanakan secara langsung oleh jurusita pajak
kepada penanggung pajak.
2.2.7 Penyitaan
Penyitaan terhadap barang milik penanggung pajak dilaksanakan oleh
jurusita pajak berdasarkan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) yang
diterbitkan oleh pejabat. Penyitaan dilaksanakan terhadap barang milik
penanggung pajak yang berada ditempat tinggal, tempat usaha, tempat
kedudukan, atau ditempat lain termasuk yang termasuk penguasanya berada
ditangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu.
Penyitaan
dapat
dilaksanakan
penanggung pajak yang dapat berupa:
terhadap
barang-barang
milik
1) Barang bergerak, termasuk mobil, perusahaan, uang tunai dan deposito
berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk yang
disamakan dengan itu, obligasi saham atau surat berharga lainya, piutang
dan penyerahan modal pada perusaan lain, dan atau
2) Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal atau isi
kantor tertentu.
Barang yang dikecualikan dari penyitaan:
1) Pakaian dan tempat tidur berserta perlengkapannya yang digunakan oleh
penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tunggakannya.
2) Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta
peralatan memasak yang berada dirumah.
3) Perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari
negara.
4) Buku-buku yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaan penanggung
pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan,
dan keilmuan.
5) Peralatan
dalam
melaksanakan
keadaan
pekerjaan
jalan
atau
yang
usaha
masih
digunakan
untuk
sehari-hari
dengan
jumlah
seluruhnya tidak lebih dari Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
6) Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh penanggung pajak dan
keluarga yang menjadi tanggungannya.
Pada dasarnya penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan barang
bergerak, namun dalam keadaan tertentu penyitaan dapat dilaksanakan
langsung terhadap barang tidak bergerak tanpa melaksanakan penyitaan
terhadap barang bergerak. Dengan permisalan,
jurusita pajak tidak
menjumpai barang bergerak yang dapat dijadikan obyek sita, atau barang
bergerak yang dijumpainya tidak mempunyai nilai, atau harganya tidak
memadai jika dibandingkan dengan utang pajaknya.
2.2.8 Penyitaan Tambahan
Penyitaan tambahan dilakukan jika terdapat kondisi dimana barang
yang disita nilainya tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan
utang pajak dan hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk
melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.
2.2.9 Pencabutan Sita
Pencabutan sita dilaksanakan apabila penanggung pajak telah
melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak atau berdasarkan putusan
pengadilan atau putusan badan peradilan pajak atau ditetapkan lain dengan
Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.
2.2.10 Lelang
Apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah
dilaksanakan penyitaan, pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara
lelang terhadap barang yang disita melalui kantor lelang. Sekalipun
penanggung pajak telah melunasi utang pajak tetapi belum melunasi biaya
penagihan pajak, penjualan secara lelang terhadap barang yang telah disita
tetap dapat dilaksanakan. Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun
keberatan yang dilakukan wajib pajak belum memperoleh keputusan
keberatan, lelang juga tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri oleh wajib
pajak. Disisi lain, pejabat jurusita pajak tidak diperbolehkan untuk membeli
barang sitaan yang dilelang. Larangan ini berlaku juga terhadap istri, keluarga
sedarah dan dalam keturunan garis lurus, serta anak angkat.
Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang berupa:
1) Uang tunai dan surat-surat berharga (deposito, tabungan, saldo rekening
koran, giro atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu) obligasi,
saham, piutang, penyertaan modal dan surat berharga lainnya.
2) Barang yang mudah rusak atau cepat busuk.
Apabila penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak setelah 14 (empat belas) hari sejak penyitaan barang yang
penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang, pejabat segera
menggunakan, menjual, dan atau memindah bukukan barang sitaan untuk
pelunasan biaya penagihan pajak dan utang pajak. Yang dimaksud dengan
“menggunakan” adalah menyetor ke kas negara atau ke kas daerah.
2.3
Tunggakan Pajak
Pencairan tunggakan pajak merupakan usaha-usaha yang telah
diambil oleh fiskus dalam rangka mencairkan pajak yang terutang yang
belum dibayar oleh wajib pajak oleh suatu hal. Untuk mengurangi besarnya
tunggakan pajak, telah diambil langkah-langkah antara lain dengan:
1.
Pelunasan Tunggakan
Pelunasan tunggakan dilakukan oleh wajib pajak sebelum atau sesudah
tanggal jatuh tempo pembayaran Surat Tagihan Pajak (STP), Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambah (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan (SKP), Surat
Keputusan Keberatan (SKK), dan Putusan Banding.
2.
Meningkatkan Pelaksanaan Kegiatan Penagihan
Sejak berlaku undang-undang perpajakan, Direktorat Jendral Pajak
meningkatkan
pelaksanaan
kegiatan
melalui
penagihan
dengan
menerbitkan STP, SKPKB, SKPKBT, SKK, SKP dan putusan banding
kepada para wajib pajak yang mempunyai tunggakan, selain itu Direktorat
Jenderal Pajak juga mengeluarkan Surat Teguran, Surat Paksa, Surat
Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP). Serta Surat Pelelangan.
3.
Peningkatan Penyelesaian Permohonan Keberatan
Proses penyelesaian keberatan berhubungan erat dengan pencairan
tunggakan karena apabila keberatan tersebut tidak diterima maka akan
menunda pembayaran pajak yang terutang. Sebaliknya bila keberatan itu
diterima seluruhnya maka tunggakan pajak dapat dicairkan dengan
sendirinya melalui proses.
4.
Penghapusan Piutang Pajak
Maksud
dari
penghapusan
piutang
pajak
adalah
untuk
dapat
memperkirakan secara efektif besarnya saldo piutang yang masih dapat
ditagih atau dicairkan.
2.3.1
Penyebab Timbulnya Tunggakan Pajak
Ada beberapa hal-hal yang menyebabkan timbulnya tunggakan pajak
karena adanya:
1. Penetapan Pajak
Sesuai dengan Undang-Undang No.16 tahun 2000 sebagai perubahan dari
Undang-Undang No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, bahwa produk dari penetapan pajak adalah STP / SKPKB /
SKPKBT.
2. Kesulitan Likuiditas
Masalah perpajakan mempunyai kaitan yang erat dengan keadaan
perekonomian. Apabila perekonomian Indonesia baik, maka wajib pajak
dapat membayar kewajiban perpajakannya dengan baik. Sebaliknya
apabila keadaan perekonomian semakin memburuk maka wajib pajak akan
mengalami kesulitan likuiditas. Dengan demikian apabila sudah ada Surat
Ketetapan Pajak maka belum tentu wajib pajak yang bersangkutan tidak
akan menimbulkan tunggakan pajak.
3. Keadaan Geografis
Mengingat wajib pajak tersebar di seluruh Indonesia maka menyebabkan
adanya kesulitan untuk mengadakan komunikasi dengan lancar dan
pelaksanaan penagihan dengan cepat. Hal ini akan membutuhkan waktu
yang lama, terutama dalam hal penyampaian Surat Paksa yang harus
dilaksanakan langsung oleh jurusita pajak kepada wajib pajak dimana
jurusita pajak dapat melihat langsung adanya objek yang disita, dan dalam
hal ini pula jumlah pajak akan menjadi tunggakan pajak.
2.4
Efektivitas
Pengertian efektivitas pada dasarnya berhubungan dengan pencapaian
tujuan atau target kebijakan. Mardiasmo mengemukakan bahwa efektivitas
merupakan hubungan antara keluarandengan tujuan atau sasaran yang harus
dicapai. Kegiatan operasional dikatakan efektifa pabila proses kegiatan
mencapai tujuan dan sasaran akhir kebijakan.
N. Anthony (2004:14) mendefinisikan efektivitas sebagai berikut;
“Efektivitas merupakan hubungan antar output yang dihasilkan oleh
pusat pertanggungjawaban dengan tujuan jangka pendek
(objektivitas), semakin besar output yang dikontribusikan terhadap
jangka pendek perusahaan, maka semakin efektiflah unit tersebut.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah
kemampuan suatu unit kerja untuk mencapai tujuan perusahaan yang diukur
dengan membandingkan realisasi terhadap target yang direncanakan. Dalam
konteks perpajakan, yang digunakan untuk mengukur efektivitas adalah
perbandingan realisasi pajak terhadap target pajak yang dapat dirumuskan
dengan:
Efektivitas
2.5
=
Realisasi Pajak
Target Pajak
x 100%
Penelitian Terdahulu
Pitnawati
(2009)
melakukan
penelitian
mengenai
efektivitas
pelaksanaan penagihan aktif dalam pencairan tunggakan pajak pada KPP
Pasar Minggu, Jakarta dengan menggunakan teknik analisis kualitatif. Hasil
dari penelitian ini menunjukkan pelaksanaan penagihan aktifdalam pencairan
tunggakan pajak pada KPP Pratama Jakarta Pasar Minggu efektif yaitu
sebesar 87%. Faktor-faktor yang mempengaruhi pencairan tunggakan pajak
terhadap pelaksanaan penagihan aktif pada KPP Pasar Minggu adalah:
a. Faktor sistem Surat Teguran: Dengan Surat Teguran yang tidak perlu
diterbitkan bila wajib pajak menyetujui pembayaran secara angsuran 100%
dari responden merasa sangat sesuai. Sedangkan dengan Surat Teguran
dilayangkan
pada
wajib
pajak
sampai
tanggal
jatuh
tempo,
78,7%responden merasa sesuai.
b. Faktor sistem Surat Paksa: Sebesar 97,2% dari responden merasa sangat
sesuai dengan Surat Paksa diterbitkan apabila penanggung pajak tidak
memenuhi
ketentuan
sebagai
mana
tercantum
dalam
keputusan
persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Sedangkan
dengan pemberitahuan Surat Paksa diterbitkan oleh juru sita pajak dengan
pernyataan dan penyerahaan salinan Surat Paksa kepada penanggung
pajak, 95,1% responden merasa sesuai.
c. Faktor penagihan seketika dan sekaligus: Dengan penagihan seketika dan
sekaligus penagihan pajak tidak menunggu tanggal jatuh tempo.
Nana Adriana (2012) telah melakukan penelitian mengenai efektivitas
penagihan pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa terhadap penerimaan
pajak pada KPP Pratama Makassar Selatan. Teknik analisis yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa penagihan pajak dengan Surat Paksa di KPP Pratama
Makassar Selatan tergolong tidak efektif baik ditinjau dari segi jumlah lembar
maupun nilai nominal yang tertera dalam Surat Teguran dan Surat Paksa.
Penyebab pencairan Surat Paksa tidak mencapai 100% antara lain
penanggung pajak tidak mengakui adanya utang pajak, penanggung pajak
tidak mampu melunasi utang pajaknya, penanggung pajak mengajukan
permohonan
angsuran
pembayaran
karena
kondisi
keuangan
tidak
memungkinkan jika dibayarkan sekaligus, penanggung pajak mengajukan
keberatan atas jumlah tunggakan pajaknya, dan penanggung pajak lalai.
Mala Rizkika Velayati (2012) juga telah melakukan penelitian
mengenai analisis efektivitas dan kontribusi tindakan penagihan pajak aktif
dengan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagai upaya pencairan tunggakan
pajak, dengan menggunakan teknik analisis deskriptif. Hasil dari penelitian
ini menunjukkan bahwa penagihan pajak aktif dengan Surat Teguran di
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Batu dari tahun 2010-2012 tergolong tidak
efektif baik dilihat dari jumlah lembar maupun nilai nominal yang tertera
dalam Surat Teguran. Penyebabnya antara lain Wajib Pajak lalai dalam
melaksanakan kewajibannya untuk melunasi utang pajak, tidak mampu untuk
melunasi utang pajak, dan tempat tinggal Wajib Pajak tidak dapat ditemui.
Selain itu, penagihan pajak aktif dengan Surat Paksa di tahun 2010 dan 2012
termasuk kategori efektivitas yang tidak efektif, namun pada tahun 2011
tingkat efektivitasnya tergolong dalam kategori sangat efektif dalam hal nilai
nominal maupun nilai yang tertera dalam Surat Paksa. Pencairan tunggakan
pajak dengan Surat Paksa belum bisa tercapai sepenuhnya dikarenakan
adakalanya
Wajib
Pajak
mengajukan
keberatan
ataupun
angsuran
pembayaran atas utang pajak tersebut. Penelitian ini juga menunjukkan
kontribusi penagihan pajak aktif dengan Surat Teguran dan Surat Paksa di
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Batu di tahun 2010-2012 tergolong dalam
kriteria sangat kurang terhadap penerimaan pajak. Penagihan pajak aktif
mempunyai tingkat kontribusi dengan persentase kurang dari 10%.
Agustinus Paseleng (2013) juga telah melakukan penelitian mengenai
efektivitas penagihan pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa terhadap
penerimaan pajak penghasilan pada KPP Pratama Manado. Penelitian ini
menggunakan teknik analisis statistik deskriptif. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa penagihan tunggakan pajak penghasilan dengan Surat
Teguran dan Surat Paksa pada KPP Pratama manado berdasarkan pengujian
dengan formula efektivitas dan klasifikasi pengukuran efektivitas, tergolong
tidak efektif karena memiliki persentase efektivitas berada di bawah 60%.
Hasil lain dari penelitian ini adalah dimana kontribusi penagihan pajak
dengan Surat Teguran dan Surat Paksa terhadap penerimaan pajak
penghasilan di KPP Pratama Manado tergolong sangat kurang karena rasio
kontribusinya berada pada kisaran 0,00% s.d. 10 %.
Irigandi (2014)
telah melakukan penelitian mengenai pengaruh
penagihan pajak dengan Surat Paksa terhadap pencairan tunggakan pajak
pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kayu Agung. Beliau menggunakan
teknik analisis kuantitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan antara penagihan pajak dengan Surat Paksa
terhadap pencairan tunggakan pajak.
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu
No.
Peneliti
Variabel
Dependen
(Y)
Variabel
Independen
(X)
Pelaksanaan
Penagihan
aktif
(melalui
Surat
Teguran,
Surat Paksa,
Penagihan
Seketika
dan
Sekaligus)
Surat
Teguran,
Surat Paksa
1.
Pitnawati
(2009)
Pencairan
Tunggakan
Pajak
2.
Nana
Adriana
(2012)
Penerimaan
Pajak
3.
Mala
Rizkika
Velayati
(2012)
Pencairan
Tunggakan
Pajak
Surat
Teguran,
Surat Paksa
Analisis
Deskriptif
Kualitatif
Hasil
Pelaksanaan penagihan
aktif dalam pencairan
tunggakan pajak dengan
menggunakan
Surat
Teguran, Surat Paksa
dan Penagihan Seketika
dan Sekaligus pada KPP
Pratama Jakarta Pasar
Minggu
tergolong
efektif.
Deskriptif Penagihan pajak dengan
Komparatif di
KPP
Pratama
Makassar
Selatan
tergolong tidak efektif
baik ditinjau dari segi
jumlah lembar maupun
nilai nominal yang
tertera dalam Surat
Teguran
dan
Surat
Paksa.
Deskriptif 1. Penagihan
pajak
Komparatif
aktif dengan Surat
Teguran di Kantor
Pelayanan
Pajak
Pratama Batu dari
tahun
2010-2012
tergolong
tidak
efektif baik dilihat
dari jumlah lembar
maupun
nilai
nominal yang tertera
dalam
Surat
Teguran.
2. Penagihan
pajak
aktif dengan Surat
4.
Agustinus Penerimaan Surat
Paseleng Pajak
Teguran,
(2013)
Penghasilan Surat Paksa
Statistik
Deskriptif
Paksa di tahun 2010
dan 2012 termasuk
kategori efektivitas
yang tidak efektif,
namun pada tahun
2011
tingkat
efektivitasnya
tergolong
dalam
kategori
sangat
efektif dalam hal
nilai
nominal
maupun nilai yang
tertera dalam Surat
Paksa.
1. Penagihan tunggakan
pajak
penghasilan
dengan
Surat
Teguran dan Surat
Paksa pada KPP
Pratama
manado
berdasarkan
pengujian
dengan
formula efektivitas
dan
klasifikasi
pengukuran
efektivitas, tergolong
tidak efektif karena
memiliki persentase
efektivitas berada di
bawah 60%.
2. Kontribusi penagihan
pajak dengan Surat
Teguran dan Surat
Paksa
terhadap
penerimaan
pajak
penghasilan di KPP
Pratama
Manado
berdasarkan
pengujian
dengan
formula
rasio
penerimaan
tunggakan pajak dan
5.
Irigandi
(2014)
Pencairan
Tunggakan
Pajak
Surat Paksa
Deskriptif
Kuantitatif
klasifikasi
kriteria
kontribusi, tergolong
sangat kurang.
Terdapat pengaruh yang
signifikan
antara
penagihan pajak dengan
Surat Paksa terhadap
pencairan
tunggakan
pajak.
Sumber: Berbagai Jurnal
2.6
Kerangka Konseptual
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
Surat Teguran
(X1)
H0
Surat Paksa
Efektivitas Penagihan
Pajak
(X2)
(Y)
H1
Surat Perintah Melakukan
Penyitaan (SPMP)
(X3)
2.7
Perumusan Hipotesis
Hipotesis Penelitian
H0
: Pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa dan Surat
Pelaksanaan Melakukan Penyitaan (SPMP) secara simultan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap efektivitas penagihan pajak pada KPP Medan Kota pada periode
2012-2014.
H1
: Pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa dan Surat
Pelaksanaan Melakukan Penyitaan (SPMP) secara simultan tidak memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap efektivitas penagihan pajak pada KPP Medan Kota pada
periode 2012-2014.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep Dasar Perpajakan
Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus
menerus dan bergerak secara berkesinambungan. Pembangunan nasional
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materiil maupun
spiritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut maka perlu perhatian
utama ditujukan kepada masalah pembiayaan pembangunan.
Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau
negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang
berasal dari dalam negara berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai
pembangunan yang berguna baik untuk kepentingan bersama.
2.1.1
Pengertian Pajak
Pengertian pajak menurut Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah sebagai berikut:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undangundang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.”
Pengertian pajak menurut buku Leroy Beaulieu yang berjudul Traite
de la Science des Finances, 1906:
L’impot et la contribution, soit directe soit dissimule, que La
Puissance Publique exige des habitants ou des biens subvenir aux
depenses du Government.
(“Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang
dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang,
untuk menutup belanja pemerintah”.)
Karianton (2013:6) mengemukakan pengertian pajak menurut
Soemitro yang dapat dilihat dari dua aspek yaitu aspek ekonomis dan aspek
hukum. Pengertian pajak dari aspek ekonomis yaitu peralihan kekayaan dari
swasta kepada sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat
dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dapat
ditunjukkan, digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan sebagai
pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada di
luar bidang keuangan negara. Sedangkan dari aspek hukum, pajak adalah
perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan seseorang
memenuhi syarat-syarat sesuai undang-undang untuk membayar uang kepada
negara yang dapat dipaksakan tanpa mendapatkan suatu imbalan yang secara
langsung dapat ditunjuk, dan digunakan untuk membiayai pengeluaranpengeluaran negara.
Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik unsur-unsur utama
dalam pajak yaitu subyek pajak, obyek pajak, beserta tarif pajak. Subyek
pajak adalah kepada siapa pajak tersebut dikenakan, obyek pajak adalah atas
apa pajak tersebut dapat dikenakan, sementara tarif pajak adalah seberapa
besar pajak yang akan dibebankan kepada subyek pajak atas obyek pajaknya.
2.1.2
Fungsi Pajak
Menurut Erly Suandy dalam buku “Hukum Pajak” (2011:12) ada 2
fungsi pajak, yaitu:
a) Fungsi Finansial (Budgetair)
Pajak berfungsi memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas
negara, dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.
b) Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik di
bidang ekonomi, sosial, maupun politik dengan tujuan tertentu. Pajak
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dapat dilihat dalam
contoh sebagai berikut:
a. Pemberian insentif pajak (misalnya tax holiday, penyusutan dipercepat)
dalam rangka meningkatkan investasi baik investasi dalam negeri maupun
investasi asing.
b. Pengenaan pajak ekspor untuk produk-produk tertentu dalam rangka
memenuhi kebutuhan dalam negeri.
c. Pengenaan bea masuk dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk
produk-produk impor tertentu dalam rangka melindungi produk-produk
dalam negeri.
Di samping kedua fungsi di atas, pajak masih mempunyai tujuantujuan lain seperti untuk redistribusi pendapatan dan menanggulangi inflasi.
2.1.3 Pengelompokan Pajak
Pengelompokan pajak dibagi menjadi beberapa bagian yaitu :
1. Menurut golongannya
a) Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipakai sendiri oleh wajib
pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh : Pajak Penghasilan.
b) Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak
Pertambahan Nilai.
2. Menurut sifatnya
a) Pajak Subyektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subyeknya, dalam arti memperhatikan keadaan dari wajib pajak.
Contoh : Pajak Penghasilan.
b) Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada obyeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. Menurut lembaga pemungutannya
a) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pusat dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh : PPh, PPN, dan
PPnBM dan Bea Materai.
b) Pajak Daerah, yaitu pajak yang digunakan oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : PBB,
PKB, Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Reklame, Pajak Penerangan
Jalan dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.
2.1.4 Tata Cara Pemungutan Pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan tiga stelsel yaitu :
1. Stelsel Nyata (Riel Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata),
sehingga pemungutan baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak.
Kelebihan dari stelsel ini pajak yang dikenakan realistis, sesuai dengan
yang seharusnya dibayarkan oleh wajib pajak. Sedangkan kelemahan dari
stelsel ini pajak baru dapat dibayarkan setelah penghasilan diketahui pada
akhir periode.
2. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh
undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan
tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan
besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan
dari
sistem ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus
menunggu akhir tahun. Sedangkan kekurangan dari sistem ini terkadang
besarnya pajak yang dibayar tidak sesuai dengan besarnya pajak yang
seharusnya dibayarkan.
3. Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan.
Stelsel ini mengombinasikan kelebihan-kelebihan dari stelsel nyata dan
stelsel anggapan. Dalam stelsel ini, besarnya pajak dihitung sesuai
anggapan seperti pada stelsel anggapan, besarnya penghasilan dalam tahun
berjalan dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pajak dapat
dibayarkan pada awal tahun pajak. Akan tetapi pada akhir tahun besarnya
pajak disesuaikan dengan kenyataan yang harus dibayarkan. Apabila
ternyata pajak yang dibayarkan kurang, maka wajib pajak harus
menambahnya, dan apabila yang dibayarkan berlebih maka wajib pajak
berhak untuk mengambil kelebihan tersebut.
2.1.5 Sistem Pemungutan Pajak
Dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan pajak
yaitu :
1. Official Assessment System
Sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pemerintah
(petugas pajak) untuk menentukan besarnya pajak terhutang wajib pajak.
Sistem pemungutan pajak ini sudah tidak berlaku lagi setelah reformasi
perpajakan pada tahun 1983. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalah
(i) pajak terhutang dihitung oleh petugas pajak, (ii) wajib pajak bersifat
pasif, dan (iii) hutang pajak timbul setelah petugas pajak menghitung pajak
yang terhutang dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak.
2. Self Assessment System
Sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada wajib pajak
untuk menghitung sendiri, melaporkan sendiri, dan membayar sendiri
pajak yang terhutang yang seharusnya dibayar. Ciri-ciri sistem
pemungutan pajak ini adalah (i) pajak terhutang dihitung sendiri oleh
wajib pajak, (ii) wajib pajak bersifat aktif dengan melaporkan dan
membayar sendiri pajak terhutang yang seharusnya dibayar, dan (iii)
pemerintah tidak perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak setiap saat
kecuali oleh kasus-kasus tertentu saja seperti wajib pajak terlambat
melaporkan atau membayar pajak terhutang atau terdapat pajak yang
seharusnya dibayar tetapi tidak dibayar.
3. With Holding System
Sistem pengumutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga
(bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk
menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Ciri-ciri sistem
pemungutan pajak ini adalahwewenang menentukan besarnya pajak yang
terutang ada pada pihak ketiga.
2.1.6 Tarif Pajak
Tarif pajak dibagi kedalam 4 jenis, yaitu:
1. Tarif proporsional atau sebanding, berupa persentase yang tetap, terhadap
berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang
terutang proposional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.
Contoh: Untuk PPN terhadap barang kena pajak dikenakan tarif 10%
Jumlah Penjualan
Tarif
Pajak
Rp. 500.000,-
10%
Rp. 50.000,-
Rp. 1.000.000,-
10%
Rp. 100.000,-
Rp. 5.000.000,-
10%
Rp. 500.000,-
Rp. 10.000.000,-
10%
Rp. 1.000.000,-
2. Tarif tetap, berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah
yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
Contoh: Pajak materai atau bea materai yang besar tarifnya tidak berubah
(tetap) dengan tarif senilai Rp. 3.000,- atau Rp. 6.000,-.
3. Tarif progresif, dimana persentase tarif yang digunakan semakin besar bila
jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
Contoh: Untuk Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi
dikenakan tarif progresif yaitu;
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp. 50.000.000,-
5%
Diatas Rp. 50.000.000,- s/d Rp. 250.000.000,-
15%
Diatas Rp. 250.000.000,- s/d Rp. 500.000.000,-
25%
Diatas Rp. 500.000.000,-
30%
4. Tarif degresif, dimana persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila
jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
Contoh: Untuk Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi
dikenakan tarif degresif yaitu;
2.1.7
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 10.000.000,-
30%
di atas Rp 10.000.000,- sampai dengan Rp 50.000.000,-
28%
di atas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 100.000.000,-
26%
di atas Rp 100.000.000,-
24%
Pembayaran Pajak
Mekanisme pembayaran pajak bagi Wajib Pajak dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1.
Membayar sendiri pajak yang terutang:
a. Pembayaran
angsuran
PPh
setiap
bulan
(PPh
Pasal
25)
Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran Pajak Penghasilan secara
angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak
dalam melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Wajib
Pajak diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada
akhir tahun dengan membayar sendiri angsuran pajak tersebut setiap
bulan.
Khusus
untuk
Wajib
Pajak
Orang
Pribadi
yang
sumber
penghasilannya dari usaha dan pekerjaan bebas, pembayaran angsuran
PPh Pasal 25 terbagi atas 2 yaitu:
1.
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu (OPPT).
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah wajib
pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha penjualan
barang baik secara grosir maupun eceran dan usaha
penyerahan jasa, yang mempunyai satu atau lebih tempat
usaha termasuk yang memiliki tempat usaha yang berbeda
dengan tempat tinggal.
Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak OPPT : 0,75% x jumlah
peredaran usaha (omset) setiap bulan dari masing-masing
tempat usaha
2.
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi
Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT).
Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu
(OPSPT) adalah Orang Pribadi yang melakukan kegiatan
usaha tanpa melalui tempat usaha misalnya sebagai pekerja
bebas atau sebagai karyawan.
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak OPSPT :
Penghasilan Kena Pajak x Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a
UU PPh : 12 bulan.
Tarif Pasal 17 ayat (1) a UU PPh adalah :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,-
5%
Diatas Rp. 50.000.000,- s/d Rp. 250.000.000,-
15%
Diatas Rp. 250.000.000,- s/d Rp. 500.000.000,-
25%
Diatas Rp. 500.000.000,-
30%
b. Untuk Wajib Pajak Badan, besarnya pembayaran Angsuran PPh 25
yang terutang diperoleh dari penghasilan kena pajak dikalikan dengan
tarif PPh yang diatur di Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang Undang
Pajak Penghasilan. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU
PPh adalah 25%.
Khusus untuk Wajib Pajak badan yang peredaran bruto setahun
sampai dengan Rp. 50.000.000.000,- mendapat fasilitas berupa
pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan
ayat (2a) UU PPh, yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari
peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000,2. Membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh
Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26).
Pihak lain disini adalah:
Pemberi penghasilan;
Pemberi kerja; atau
Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.
3. Membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh pihak
yang ditunjuk pemerintah.
Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau penggantian atau nilai ekspor atau
nilai lainnya.
4. Pembayaran pajak-pajak lainnya:
o
Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan
Pajak Terutang (SPPT).
Tarif PBB terdiri dari 2 tarif yaitu:
a. 1/1000 dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOPnya kurang dari Rp. 1.000.000.000,-
b. 2/1000, dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOPnya kurang dari Rp. 1.000.000.000,o
Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang dapat
dilakukan dengan cara menggunakan benda meterai berupa meterai
tempel atau kertas bermeterai atau dengan cara lain seperti menggunakan
mesin teraan.
Meterai tempel yang terutang untuk dokumen yang menyebut jumlah
(kuitansi) diatas Rp. 250.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,- adalah Rp.
3.000,-. Untuk dokumen yang menyebut jumlah diatas Rp. 1.000.000,dan surat-surat perjanjian, terutang materai tempel sebesar Rp. 6.000,-.
5. Pemotongan / Pemungutan Pajak
Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan
yang dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan
oleh pihak pemberi penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak
yang ditunjuk berdasarkan ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut,
antara lain yang ditunjuk tersebut adalah badan pemerintah, subjek pajak
badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Untuk subjek pajak badan dalam
negeri, maka diwajibkan juga sebagai pemotong/pemungutan pajak.
Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah: PPh Pasal 21, PPh Pasal 22,
PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15 dan PPN dan
PPn BM. Penjelasan lebih lanjut dari masing-masing pajak tersebut adalah
sebagai berikut:
a. PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan kepada oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam
negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan.
Misalnya pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh
perusahaan pemberi kerja. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk oleh
UU Perpajakan sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang
dibayarkan kepada karyawannya maupun yang bukan karyawannya.
Wajib Pajak perseorangan dapat juga ditunjuk sebagai pemotong PPh
Pasal 21 sepanjang ada penunjukannya dari KPP tempat Wajib Pajak
terdaftar. Selain diwajibkan memotong PPh Pasal 21, Wajib Pajak
perseorangan bisa juga dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas
penghasilan yang diterimanya.
b. PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak
tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sehubungan dengan
pembayaran atas penyerahan barang (seperti penyerahan barang oleh
rekanan kepada bendaharawan pemerintah), impor barang dan kegiatan
usaha di bidang-bidang tertentu serta penjualan barang yang tergolong
sangat mewah.
Pemungutan PPh Pasal 22 ini antara lain adalah:
1.
Pemungutan PPh atas pembelian barang oleh instansi Pemerintah;
2.
Pemungutan PPh atas kegiatan impor barang;
3.
Pemungutan PPh atas produksi barang-barang tertentu misalnya
produksi baja, kertas, rokok, dan otomotif;
4.
Pemungutan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri
atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir di bidang
perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari pedagang
pengumpul;
5.
Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewah.
Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat
juga sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 22.
c. PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden,
bunga, royalti, sewa, dan jasa kepada WP badan dalam negeri, dan BUT.
Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23,
sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong
PPh Pasal 23. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak menerima
penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan
pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh
Pasal 23, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan
dipotong
PPh
Pasal
23
oleh
si
pihak
pemotong
tersebut.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 23 atas jasa
tertentu (jasa servis mesin atau komputer) yang pemotongannya
dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.
d. PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden,
bunga, royalti, hadiah dan penghasilan lainnya kepada WP luar negeri.
Wajib Pajak baik yang berbentuk perseorangan maupun badan ditunjuk
untuk memotong PPh Pasal 26.
Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 26 atas
penghasilan tertentu (royalti) yang dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk
badan.
e. PPh Final (Pasal 4 ayat (2))
Pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan
sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu seperti sewa tanah
dan/atau bangunan, jasa konstruksi, pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan dan lainnya. Yang dimaksud final disini bahwa pajak yang
dipotong, dipungut oleh pihak pemberi penghasilan atau dibayar sendiri
oleh pihak penerima penghasilan, penghitungan pajaknya sudah selesai
dan tidak dapat dikreditkan lagi dalam penghitungan Pajak Penghasilan
pada SPT Tahunan.
Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat
(2), sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong
PPh Pasal 4 ayat (2). Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak
menerima penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 4
ayat (2) dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan
pemotong PPh Pasal 4 ayat (2), maka atas penghasilan yang diterima
Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) oleh si pihak pemotong
tersebut. Namun, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang
merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi penghasilan
adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut
wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut.
f. PPh Pasal 15 adalah pemotongan pajak penghasilan yang dilakukan oleh
pihak pemberi penghasilan kepada Wajib Pajak tertentu yang
menggunakan norma penghitungan khusus.
Wajib Pajak tertentu tersebut adalah perusahaan pelayaran atau
penerbangan international, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan
pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing,
perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun guna serah.
Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15,
sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong
PPh Pasal 15. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak menerima
penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 15 dan
pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh
Pasal 15, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan
dipotong PPh Pasal 15 oleh si pihak pemotong tersebut. Namun, apabila
Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 15
dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong),
maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 15 tersebut.
g. PPN dan PPnBM adalah pemungutan PPN dan PPnBM oleh Pengusaha
Kena Pajak (PKP) atau Pemungutan yang ditunjuk (misalnya Bendahara
Pemerintah) atas pengkonsumsian barang dan/atau jasa kena pajak.
Pengusaha Kena Pajak yang ditunjuk untuk memungut PPN dan PPnBM
adalah pengusaha yang memiliki peredaran bruto (omzet) melebihi Rp.
4.800.000.000,- (empat miliar delapan ratus juta rupiah) selama 1 (satu)
tahun bukuatau pengusaha yang memilih sendiri untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Wajib Pajak baik berbentuk perseorangan maupun badan yang telah
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, wajib memungut PPN dan
juga PPnBM (bila barangnya yang diserahkan tergolong mewah) dari
pembeli atau pemakai jasanya. Wajib Pajak juga wajib membayar PPN
dan PPnBM bila mengkonsumsi barang atau jasa dari Pengusaha Kena
Pajak.
Apabila pihak-pihak yang diberi kewajiban oleh Undang-Undang Perpajakan
untuk melakukan pemotongan/pemungutan tidak melakukan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, maka dapat dikenakan sanksi administrasi
berupa bunga 2% dan kenaikan 100%.
2.2
Tinjauan Umum Tentang Penagihan Pajak
2.2.1 Pengertian penagihan pajak
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1997
Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, pengertian penagihan pajak
adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan
biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan
penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan
pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual
barang yang telah disita.
Dasar hukum penagihan pajak sesuai dengan undang-undang pasal 18
ayat 1 UU No. 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No.9
tahun 1994 dan UU No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan menyatakan dasar adanya tindakan penagihan pajak dan hak
negara untuk melakukan penagihan pajak berawal dari adanya utang pajak
yang jatuh tempo, belum atau kurang bayar. Dalam pelaksanaannya,
penagihan pajak terbagi dua yaitu:
1. Penagihan Pajak Pasif
Penagihan pajak pasif dilakukan dengan menggunakan Surat Tagihan
Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambah (SKPKBT), Surat Keputusan
Pembetulan (SKP), Surat Keputusan Keberatan (SKK), Surat Keputusan
Banding (SKB) yang menyebabkan pajak terutang menjadi bertambah
lebih besar. Jika dalam jangka waktu 30 hari utang pajak masih belum
dilunasi, maka tujuh hari setelah jatuh tempo akan diikuti dengan
penagihan pajak secara aktif yang dimulai dengan Surat Teguran.
2. Penagihan Pajak Aktif
Penagihan pajak aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pajak pasif,
dimana dalam upaya penagihan ini fiskus/pejabat juru sita berperan aktif
dalam arti bukan mengirimkan surat tagihan atau surat ketetapan pajak
melainkan akan diikuti dengan tindakan sita dan dilanjutkan dengan
pelaksanaan lelang. Jurusita pajak adalah pelaksanaan tindakan penagihan
pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan
Surat Paksa, penyitaan, dan penyanderaan.
Menurut undang-undang perpajakan Ikatan Akuntansi Indonesia, pada
penagihan PBB untuk pajak terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran
tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2%
sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran
untuk jangka waktu paling lama 24 bulan.
2.2.2
Penanggung Pajak
Menurut pasal 1 angka 3 UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan UU No.19 Tahun
2000 (UU PPSP):
“Penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan yang
bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang
menjalankan hak atau memenuhi kewajiban wajib pajak menurut
ketentuan perundang-undangan perpajakan”.
2.2.3 Pejabat dan Juru sita Pajak
Mardiasmo (2006:113) menyatakan bahwa;
“Pejabat adalah yang berwenang mengangkat dan memberhentikan
juru sita pajak, menerbitkan perintah penagihan seketika dan
sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP),
surat pencabutan sita, pengumumkan lelang, surat penentuan harga
limit, pembatalan lelang, surat perintah penyanderaan, dan surat lain
yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan
penaggung pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak
menurut undang-undang dan peraturan daerah”.
Menteri keuangan berwenang menunjuk pejabat untuk penagihan
pajak pusat, dilain sisi, kepala daerah berwenang menunjuk pejabat untuk
penagihan pajak daerah.
Penyitaan dilakukan oleh jurusita. Tugas keseluruhan dari jurusita
adalah melaksanakan surat perintah penagihan seketikda dan sekaligus,
memberitahukan
Surat
Paksa,
melaksanakan
penyitaan
atas
barang
penanggung pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan
melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan
(Karianton, 2013:124)
2.2.4
Penagihan Pajak dengan Surat Teguran
Surat Teguran, surat peringatan atau surat lainnya sejenis adalah surat
yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada
wajib pajak untuk melunasi utang pajaknya. Surat Teguran, surat peringatan
atau surat lain yang sejenis diterbitkan apabila penanggung pajak tidak
melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran.
Pengertian surat lain yang sejenis, meliputi surat atau bentuk lain yang
fungsinya sama dengan Surat Teguran atau surat peringatan dalam upaya
penagihan pajaksebelum Surat Paksa diterbitkan. Surat Teguran tidak
diterbitkan terhadap penanggung pajak
yang telah disetujui untuk
mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya. Jika dalam jangka waktu
30 hari utang pajak masih belum dilunasi, maka tujuh hari setelah jatuh tempo
akan dimulai penagihan pajak secara aktif dengan Surat Teguran.
2.2.5 Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
Surat Paksa diterbitkan apabila:
1) Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah
diterbitkan Surat Teguran atau surat peringatan atau surat lain yang
sejenis.
2) Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan
sekaligus.
3) Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagai mana tercantum
dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran
pajak.
Surat Paksa diberitahukan oleh jurusita pajak dengan pernyataan dan
penyerahan salinan Surat Paksa kepada penanggung pajak. Mengingat Surat
Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama
dengan grosse akte, yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, maka pemberitahuan kepada penanggung pajak
dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa dan kedua belah pihak
menandatangani berita acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah
diberitahukan.
2.2.6 Penagihan Seketika dan Sekaligus
Pengertian penagihan seketika dan sekaligus adalah penagihan pajak
tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran terhadap seluruh utang
pajak dan semua jenis pajak, masa pajak dan tahun pajak. Jurusita pajak
melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal
jatuh tempo pembayaran berdasarkan surat perintah penagihan seketika dan
sekaligus yang diterbitkan oleh pejabat apabila:
a. Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya
atau berniat untuk itu.
b. Penanggung pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasai
dalam rangka memberhentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau
pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia.
c. Terhadap tanda-tanda bahwa penanggung pajak akan membubarkan badan
usahanya, atau penggabungan badan usahanya, atau memindahtangankan
perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan
bentuk lainya.
d. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
e. Terjadi penyitaan atas barang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau
terdapat tanda-tanda kepailitan. Penyampaian surat perintah penagihan
seketika dan sekaligus dilaksanakan secara langsung oleh jurusita pajak
kepada penanggung pajak.
2.2.7 Penyitaan
Penyitaan terhadap barang milik penanggung pajak dilaksanakan oleh
jurusita pajak berdasarkan Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) yang
diterbitkan oleh pejabat. Penyitaan dilaksanakan terhadap barang milik
penanggung pajak yang berada ditempat tinggal, tempat usaha, tempat
kedudukan, atau ditempat lain termasuk yang termasuk penguasanya berada
ditangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu.
Penyitaan
dapat
dilaksanakan
penanggung pajak yang dapat berupa:
terhadap
barang-barang
milik
1) Barang bergerak, termasuk mobil, perusahaan, uang tunai dan deposito
berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk yang
disamakan dengan itu, obligasi saham atau surat berharga lainya, piutang
dan penyerahan modal pada perusaan lain, dan atau
2) Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal atau isi
kantor tertentu.
Barang yang dikecualikan dari penyitaan:
1) Pakaian dan tempat tidur berserta perlengkapannya yang digunakan oleh
penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tunggakannya.
2) Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta
peralatan memasak yang berada dirumah.
3) Perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari
negara.
4) Buku-buku yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaan penanggung
pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan,
dan keilmuan.
5) Peralatan
dalam
melaksanakan
keadaan
pekerjaan
jalan
atau
yang
usaha
masih
digunakan
untuk
sehari-hari
dengan
jumlah
seluruhnya tidak lebih dari Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
6) Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh penanggung pajak dan
keluarga yang menjadi tanggungannya.
Pada dasarnya penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan barang
bergerak, namun dalam keadaan tertentu penyitaan dapat dilaksanakan
langsung terhadap barang tidak bergerak tanpa melaksanakan penyitaan
terhadap barang bergerak. Dengan permisalan,
jurusita pajak tidak
menjumpai barang bergerak yang dapat dijadikan obyek sita, atau barang
bergerak yang dijumpainya tidak mempunyai nilai, atau harganya tidak
memadai jika dibandingkan dengan utang pajaknya.
2.2.8 Penyitaan Tambahan
Penyitaan tambahan dilakukan jika terdapat kondisi dimana barang
yang disita nilainya tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan
utang pajak dan hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk
melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.
2.2.9 Pencabutan Sita
Pencabutan sita dilaksanakan apabila penanggung pajak telah
melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak atau berdasarkan putusan
pengadilan atau putusan badan peradilan pajak atau ditetapkan lain dengan
Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.
2.2.10 Lelang
Apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah
dilaksanakan penyitaan, pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara
lelang terhadap barang yang disita melalui kantor lelang. Sekalipun
penanggung pajak telah melunasi utang pajak tetapi belum melunasi biaya
penagihan pajak, penjualan secara lelang terhadap barang yang telah disita
tetap dapat dilaksanakan. Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun
keberatan yang dilakukan wajib pajak belum memperoleh keputusan
keberatan, lelang juga tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri oleh wajib
pajak. Disisi lain, pejabat jurusita pajak tidak diperbolehkan untuk membeli
barang sitaan yang dilelang. Larangan ini berlaku juga terhadap istri, keluarga
sedarah dan dalam keturunan garis lurus, serta anak angkat.
Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang berupa:
1) Uang tunai dan surat-surat berharga (deposito, tabungan, saldo rekening
koran, giro atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu) obligasi,
saham, piutang, penyertaan modal dan surat berharga lainnya.
2) Barang yang mudah rusak atau cepat busuk.
Apabila penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak setelah 14 (empat belas) hari sejak penyitaan barang yang
penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang, pejabat segera
menggunakan, menjual, dan atau memindah bukukan barang sitaan untuk
pelunasan biaya penagihan pajak dan utang pajak. Yang dimaksud dengan
“menggunakan” adalah menyetor ke kas negara atau ke kas daerah.
2.3
Tunggakan Pajak
Pencairan tunggakan pajak merupakan usaha-usaha yang telah
diambil oleh fiskus dalam rangka mencairkan pajak yang terutang yang
belum dibayar oleh wajib pajak oleh suatu hal. Untuk mengurangi besarnya
tunggakan pajak, telah diambil langkah-langkah antara lain dengan:
1.
Pelunasan Tunggakan
Pelunasan tunggakan dilakukan oleh wajib pajak sebelum atau sesudah
tanggal jatuh tempo pembayaran Surat Tagihan Pajak (STP), Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambah (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan (SKP), Surat
Keputusan Keberatan (SKK), dan Putusan Banding.
2.
Meningkatkan Pelaksanaan Kegiatan Penagihan
Sejak berlaku undang-undang perpajakan, Direktorat Jendral Pajak
meningkatkan
pelaksanaan
kegiatan
melalui
penagihan
dengan
menerbitkan STP, SKPKB, SKPKBT, SKK, SKP dan putusan banding
kepada para wajib pajak yang mempunyai tunggakan, selain itu Direktorat
Jenderal Pajak juga mengeluarkan Surat Teguran, Surat Paksa, Surat
Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP). Serta Surat Pelelangan.
3.
Peningkatan Penyelesaian Permohonan Keberatan
Proses penyelesaian keberatan berhubungan erat dengan pencairan
tunggakan karena apabila keberatan tersebut tidak diterima maka akan
menunda pembayaran pajak yang terutang. Sebaliknya bila keberatan itu
diterima seluruhnya maka tunggakan pajak dapat dicairkan dengan
sendirinya melalui proses.
4.
Penghapusan Piutang Pajak
Maksud
dari
penghapusan
piutang
pajak
adalah
untuk
dapat
memperkirakan secara efektif besarnya saldo piutang yang masih dapat
ditagih atau dicairkan.
2.3.1
Penyebab Timbulnya Tunggakan Pajak
Ada beberapa hal-hal yang menyebabkan timbulnya tunggakan pajak
karena adanya:
1. Penetapan Pajak
Sesuai dengan Undang-Undang No.16 tahun 2000 sebagai perubahan dari
Undang-Undang No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, bahwa produk dari penetapan pajak adalah STP / SKPKB /
SKPKBT.
2. Kesulitan Likuiditas
Masalah perpajakan mempunyai kaitan yang erat dengan keadaan
perekonomian. Apabila perekonomian Indonesia baik, maka wajib pajak
dapat membayar kewajiban perpajakannya dengan baik. Sebaliknya
apabila keadaan perekonomian semakin memburuk maka wajib pajak akan
mengalami kesulitan likuiditas. Dengan demikian apabila sudah ada Surat
Ketetapan Pajak maka belum tentu wajib pajak yang bersangkutan tidak
akan menimbulkan tunggakan pajak.
3. Keadaan Geografis
Mengingat wajib pajak tersebar di seluruh Indonesia maka menyebabkan
adanya kesulitan untuk mengadakan komunikasi dengan lancar dan
pelaksanaan penagihan dengan cepat. Hal ini akan membutuhkan waktu
yang lama, terutama dalam hal penyampaian Surat Paksa yang harus
dilaksanakan langsung oleh jurusita pajak kepada wajib pajak dimana
jurusita pajak dapat melihat langsung adanya objek yang disita, dan dalam
hal ini pula jumlah pajak akan menjadi tunggakan pajak.
2.4
Efektivitas
Pengertian efektivitas pada dasarnya berhubungan dengan pencapaian
tujuan atau target kebijakan. Mardiasmo mengemukakan bahwa efektivitas
merupakan hubungan antara keluarandengan tujuan atau sasaran yang harus
dicapai. Kegiatan operasional dikatakan efektifa pabila proses kegiatan
mencapai tujuan dan sasaran akhir kebijakan.
N. Anthony (2004:14) mendefinisikan efektivitas sebagai berikut;
“Efektivitas merupakan hubungan antar output yang dihasilkan oleh
pusat pertanggungjawaban dengan tujuan jangka pendek
(objektivitas), semakin besar output yang dikontribusikan terhadap
jangka pendek perusahaan, maka semakin efektiflah unit tersebut.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah
kemampuan suatu unit kerja untuk mencapai tujuan perusahaan yang diukur
dengan membandingkan realisasi terhadap target yang direncanakan. Dalam
konteks perpajakan, yang digunakan untuk mengukur efektivitas adalah
perbandingan realisasi pajak terhadap target pajak yang dapat dirumuskan
dengan:
Efektivitas
2.5
=
Realisasi Pajak
Target Pajak
x 100%
Penelitian Terdahulu
Pitnawati
(2009)
melakukan
penelitian
mengenai
efektivitas
pelaksanaan penagihan aktif dalam pencairan tunggakan pajak pada KPP
Pasar Minggu, Jakarta dengan menggunakan teknik analisis kualitatif. Hasil
dari penelitian ini menunjukkan pelaksanaan penagihan aktifdalam pencairan
tunggakan pajak pada KPP Pratama Jakarta Pasar Minggu efektif yaitu
sebesar 87%. Faktor-faktor yang mempengaruhi pencairan tunggakan pajak
terhadap pelaksanaan penagihan aktif pada KPP Pasar Minggu adalah:
a. Faktor sistem Surat Teguran: Dengan Surat Teguran yang tidak perlu
diterbitkan bila wajib pajak menyetujui pembayaran secara angsuran 100%
dari responden merasa sangat sesuai. Sedangkan dengan Surat Teguran
dilayangkan
pada
wajib
pajak
sampai
tanggal
jatuh
tempo,
78,7%responden merasa sesuai.
b. Faktor sistem Surat Paksa: Sebesar 97,2% dari responden merasa sangat
sesuai dengan Surat Paksa diterbitkan apabila penanggung pajak tidak
memenuhi
ketentuan
sebagai
mana
tercantum
dalam
keputusan
persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Sedangkan
dengan pemberitahuan Surat Paksa diterbitkan oleh juru sita pajak dengan
pernyataan dan penyerahaan salinan Surat Paksa kepada penanggung
pajak, 95,1% responden merasa sesuai.
c. Faktor penagihan seketika dan sekaligus: Dengan penagihan seketika dan
sekaligus penagihan pajak tidak menunggu tanggal jatuh tempo.
Nana Adriana (2012) telah melakukan penelitian mengenai efektivitas
penagihan pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa terhadap penerimaan
pajak pada KPP Pratama Makassar Selatan. Teknik analisis yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa penagihan pajak dengan Surat Paksa di KPP Pratama
Makassar Selatan tergolong tidak efektif baik ditinjau dari segi jumlah lembar
maupun nilai nominal yang tertera dalam Surat Teguran dan Surat Paksa.
Penyebab pencairan Surat Paksa tidak mencapai 100% antara lain
penanggung pajak tidak mengakui adanya utang pajak, penanggung pajak
tidak mampu melunasi utang pajaknya, penanggung pajak mengajukan
permohonan
angsuran
pembayaran
karena
kondisi
keuangan
tidak
memungkinkan jika dibayarkan sekaligus, penanggung pajak mengajukan
keberatan atas jumlah tunggakan pajaknya, dan penanggung pajak lalai.
Mala Rizkika Velayati (2012) juga telah melakukan penelitian
mengenai analisis efektivitas dan kontribusi tindakan penagihan pajak aktif
dengan Surat Teguran dan Surat Paksa sebagai upaya pencairan tunggakan
pajak, dengan menggunakan teknik analisis deskriptif. Hasil dari penelitian
ini menunjukkan bahwa penagihan pajak aktif dengan Surat Teguran di
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Batu dari tahun 2010-2012 tergolong tidak
efektif baik dilihat dari jumlah lembar maupun nilai nominal yang tertera
dalam Surat Teguran. Penyebabnya antara lain Wajib Pajak lalai dalam
melaksanakan kewajibannya untuk melunasi utang pajak, tidak mampu untuk
melunasi utang pajak, dan tempat tinggal Wajib Pajak tidak dapat ditemui.
Selain itu, penagihan pajak aktif dengan Surat Paksa di tahun 2010 dan 2012
termasuk kategori efektivitas yang tidak efektif, namun pada tahun 2011
tingkat efektivitasnya tergolong dalam kategori sangat efektif dalam hal nilai
nominal maupun nilai yang tertera dalam Surat Paksa. Pencairan tunggakan
pajak dengan Surat Paksa belum bisa tercapai sepenuhnya dikarenakan
adakalanya
Wajib
Pajak
mengajukan
keberatan
ataupun
angsuran
pembayaran atas utang pajak tersebut. Penelitian ini juga menunjukkan
kontribusi penagihan pajak aktif dengan Surat Teguran dan Surat Paksa di
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Batu di tahun 2010-2012 tergolong dalam
kriteria sangat kurang terhadap penerimaan pajak. Penagihan pajak aktif
mempunyai tingkat kontribusi dengan persentase kurang dari 10%.
Agustinus Paseleng (2013) juga telah melakukan penelitian mengenai
efektivitas penagihan pajak dengan Surat Teguran dan Surat Paksa terhadap
penerimaan pajak penghasilan pada KPP Pratama Manado. Penelitian ini
menggunakan teknik analisis statistik deskriptif. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa penagihan tunggakan pajak penghasilan dengan Surat
Teguran dan Surat Paksa pada KPP Pratama manado berdasarkan pengujian
dengan formula efektivitas dan klasifikasi pengukuran efektivitas, tergolong
tidak efektif karena memiliki persentase efektivitas berada di bawah 60%.
Hasil lain dari penelitian ini adalah dimana kontribusi penagihan pajak
dengan Surat Teguran dan Surat Paksa terhadap penerimaan pajak
penghasilan di KPP Pratama Manado tergolong sangat kurang karena rasio
kontribusinya berada pada kisaran 0,00% s.d. 10 %.
Irigandi (2014)
telah melakukan penelitian mengenai pengaruh
penagihan pajak dengan Surat Paksa terhadap pencairan tunggakan pajak
pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kayu Agung. Beliau menggunakan
teknik analisis kuantitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan antara penagihan pajak dengan Surat Paksa
terhadap pencairan tunggakan pajak.
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu
No.
Peneliti
Variabel
Dependen
(Y)
Variabel
Independen
(X)
Pelaksanaan
Penagihan
aktif
(melalui
Surat
Teguran,
Surat Paksa,
Penagihan
Seketika
dan
Sekaligus)
Surat
Teguran,
Surat Paksa
1.
Pitnawati
(2009)
Pencairan
Tunggakan
Pajak
2.
Nana
Adriana
(2012)
Penerimaan
Pajak
3.
Mala
Rizkika
Velayati
(2012)
Pencairan
Tunggakan
Pajak
Surat
Teguran,
Surat Paksa
Analisis
Deskriptif
Kualitatif
Hasil
Pelaksanaan penagihan
aktif dalam pencairan
tunggakan pajak dengan
menggunakan
Surat
Teguran, Surat Paksa
dan Penagihan Seketika
dan Sekaligus pada KPP
Pratama Jakarta Pasar
Minggu
tergolong
efektif.
Deskriptif Penagihan pajak dengan
Komparatif di
KPP
Pratama
Makassar
Selatan
tergolong tidak efektif
baik ditinjau dari segi
jumlah lembar maupun
nilai nominal yang
tertera dalam Surat
Teguran
dan
Surat
Paksa.
Deskriptif 1. Penagihan
pajak
Komparatif
aktif dengan Surat
Teguran di Kantor
Pelayanan
Pajak
Pratama Batu dari
tahun
2010-2012
tergolong
tidak
efektif baik dilihat
dari jumlah lembar
maupun
nilai
nominal yang tertera
dalam
Surat
Teguran.
2. Penagihan
pajak
aktif dengan Surat
4.
Agustinus Penerimaan Surat
Paseleng Pajak
Teguran,
(2013)
Penghasilan Surat Paksa
Statistik
Deskriptif
Paksa di tahun 2010
dan 2012 termasuk
kategori efektivitas
yang tidak efektif,
namun pada tahun
2011
tingkat
efektivitasnya
tergolong
dalam
kategori
sangat
efektif dalam hal
nilai
nominal
maupun nilai yang
tertera dalam Surat
Paksa.
1. Penagihan tunggakan
pajak
penghasilan
dengan
Surat
Teguran dan Surat
Paksa pada KPP
Pratama
manado
berdasarkan
pengujian
dengan
formula efektivitas
dan
klasifikasi
pengukuran
efektivitas, tergolong
tidak efektif karena
memiliki persentase
efektivitas berada di
bawah 60%.
2. Kontribusi penagihan
pajak dengan Surat
Teguran dan Surat
Paksa
terhadap
penerimaan
pajak
penghasilan di KPP
Pratama
Manado
berdasarkan
pengujian
dengan
formula
rasio
penerimaan
tunggakan pajak dan
5.
Irigandi
(2014)
Pencairan
Tunggakan
Pajak
Surat Paksa
Deskriptif
Kuantitatif
klasifikasi
kriteria
kontribusi, tergolong
sangat kurang.
Terdapat pengaruh yang
signifikan
antara
penagihan pajak dengan
Surat Paksa terhadap
pencairan
tunggakan
pajak.
Sumber: Berbagai Jurnal
2.6
Kerangka Konseptual
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
Surat Teguran
(X1)
H0
Surat Paksa
Efektivitas Penagihan
Pajak
(X2)
(Y)
H1
Surat Perintah Melakukan
Penyitaan (SPMP)
(X3)
2.7
Perumusan Hipotesis
Hipotesis Penelitian
H0
: Pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa dan Surat
Pelaksanaan Melakukan Penyitaan (SPMP) secara simultan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap efektivitas penagihan pajak pada KPP Medan Kota pada periode
2012-2014.
H1
: Pelaksanaan penagihan pajak dengan Surat Teguran, Surat Paksa dan Surat
Pelaksanaan Melakukan Penyitaan (SPMP) secara simultan tidak memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap efektivitas penagihan pajak pada KPP Medan Kota pada
periode 2012-2014.