Memandang Penggunaan Azimat Produk Buday

Memandang Penggunaan Azimat (Produk Budaya) di
Indonesia Dengan Perspektif Etika Kristen
Oleh: Wisnu Kismoro, A.Md / FISKOM UKSW / Minat: Ilmu Budaya dan Sosial
kishmorowishnu@gmail.com

abstrak
Keberagaman tidak lagi menjadi hal asing di Indonesia. Perbedaanlah dasar atas adanya
keberagaman di negeri ini. dalam sebuah kata, “berbeda” tentu lebih memiliki pengartian
yakni adanya sebuah sekat-sekat atas suatu hal, namun akan berbeda ketika sebuah kata
“beragam” menggantikannya. Beragam lebih memberikan interpretasi kesatuan yang
mengikat hal-hal yang berbeda, dan Indonesia memiliki Pancasila sebagai tali pengikat atas
perbedaan yang ada di negara ini. Pada akhirnya agama menjadi jalan yang menuntun
masyarakat pemeluknya dalam upaya berkeimanan atau berkeyakinan. Menjadi hal lain
ketika kepercayaan menjadi sebuah pembicaraan, ini tentu beruang lingkup pada konteks
kepercayaan. Pada intinya kepercayaan merupakan istilah yang melingkupi perilaku
berbudaya oleh masyarakat, seperti halnya penggunaan benda bertuah (azimat), dan hal lain
sebagainya. Dan ini tentu tidaklah dapat dicampur adukkan dengan keyakinan, yang berinti
pada konsepsi keimanan atau keyakinan (perilaku hati) masyarakat. terkait perilaku
berbudaya sepertihalnya penggunaan benda bertuah (azimat) , kemudian tiap-tiap agama
tentu memiliki prespektif dan Kristen menjadi salah satu perspektiv terkait memandang hal
tersebut.

Kata Kunci : Kristen Memandang Azimat

Pendahuluan
1.

Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu Negara yang memiliki keunikan berupa
keberagaman, baik itu kebudayaan, agama, dan keyakinan. Letak keberagaman
budaya pada Negara ini terproyeksian dengan adanya berbagai suku dalam suatu
daerah hingga wilayah. Dalam sebuah daerah, keberagaman terproyeksikan dalam
bentuk bahasa dan ritual budaya. Atau dalam suatu wilayah, keberagaman
terproyeksikan dengan adanya berbagai macam suku. Keragaman ini kemudian
menjadi hal yang unik oleh kalangan masyarakat memahami keunikan (keberagaman)
secara toleransif. Namun menjadi sebuah permasalahan lain ketika hal ini tidak
dipahami sebagai keberagaman, melainkan sebagai perbedaan secara fanatik oleh
sekelompok masyarakat, yang kemudian menjadi pemicu adanya persengketaan atas

perbedaan dalam bentuk kekacauan perilaku masyarakat. Perang antar suku, perang
antar agama dalam satu Negara yang sama kemudian tidak jarang terjadi. Hal ini
tentu adalah dampak dari ketidak bijakan dalam memandang sebuah perbedaan yang

memang secara alami muncul dan ada dalam kehidupan.
Negara Indonesia sebagai Negara yang toleransif, kemudian membetuk
sebuah ideologi dengan maksud mampu merangkul perbedaan-perbedaan yang
memang ada di Negara ini dan memandang perbedaan sebagai keberagaman.
Sehingga persatuan terwujud tanpa mengabaikan adanya keberagaman yang melekat
pada elemen-elemen kebudayaan, kepercayaan, dan keyakinan. Dan kristen sebagai
salah satu agama dari enam agama yang diakui di Indonesia, tentu memiliki kapasitas
fikir secara bijak dalam memandang hal yang berbeda bukan sebagai perbedaan,
melainkan sebagai keberagaman, dan melalui etika Kristen penulis berusaha untuk
mengurai pemahaman tentang keyakinan dan kepercayaan yang secara alami lahir
secara beragam dalam kehidupan, yang kemudian “ Bagaimana Memandang
Penggunakan Azimat (Produk Budaya) di Indonesia Dengan Perspektif Etika
Kristen? ” menjadi sebuah permasalahan yang sedang dibahas dalam penulisan ini.
Kepercayaan dan keyakinan seringkali dianggap sama oleh masyarakat,
seolah kepercayaan ya agama, bukan hal lain. Ini tentu memiliki pengaruh dalam cara
berfikir atau memandang suatu fenomena budaya. Penulisan ini kemudian sedikit
menguraikan terkait kepercayaan dan keyakinan, yang kemudian memilih Kristen
sebagai persepktif dalam memandang fenomena penggunaan azimat (produk budaya)
oleh masyarakat.


ISI
1.

Asumsi Kepercayaan Dan Keyakinan Dalam Perilaku Kehidupan

Berbicara budaya dalam kehidupan masyarakat suatu daerah, maka tidak akan
pernah lepas dari kajian budaya. Budaya sendiri dipandang ada karena memiliki
bukti, dan bukti itu berwujud sebuah perilaku yang dilakukan oleh tiap-tiap individu
dalam suatu masyarakat. Perilaku masyarakat yang dilakukan oleh individu
didalamnya, tidak pernah lepas dari sebuah aturan yang memang telah disepakati, dan
aturan kehidupan ini melekat pada sebuah hal yang menjadi keyakinan dan
kepercayaan oleh pelaku sebuah perilaku. Kepercayaan disini memandang tentang
sebuah kebudayaan berdasarkan lingkungan sosial (suku). Agama kemudian menjadi

etika yang berisi norma-norma yang mengatur pemeluknya dalam berperilaku, baik
itu dalam konteks sosial, kepercayaan, bahkan pada konteks keyakinan. Dalam
kehidupan sehari-hari, keyakinan dan kepercayaan acapkali dianggap memiliki
makna yang sama atau memiliki satu arti, sehingga tidak jarang masih terdapat
masyarakat yang berpolitik terhadap agama untuk menganggap benar sebuah perilaku
yang individu lakukan. Dalam hal ini Percaya dan yakin, kemudian menjadi sebuah

perilaku yang sering kali disorot dalam konteks keagamaan, hal ini terjadi
dikarenakan agama sendiri tidak jarang dianggap sebagai hal yang menjadi hakim
atau hal yang mengatur mengenai baik dan buruk atau benar dan salah atas sebuah
perilaku individu dalam kehidupan. Pada akhirnya, agama pada dasarnya adalah
sebuah ajaran (dogma) yang membatasi atau menyekat nilai atas baik buruk pada
perilaku berkehidupan, dan yakin adalah berbicara mengenai konsep ketuhanan yang
melekat secara internal pada individu sebagai bentuk atau bukti berketuhanan.
Ketika berbicara mengenai keyakinan, kecenderungan konteks pembicaraan
adalah mengenai keagamaan dan ketuhanan, namun berbeda jika kita berbicara
mengenai kepercayaan, hal yang disorot cenderung mengenai kebudayaan yang
dalam lingkup sosial dalam kehidupan. Kepercayaan dan keyakinan pada akhirnya
memang bernaung pada payung yang sama, namun bagaimanapun juga, keyakinan
dan kepercayaan tetap memiliki sekat yang memisahkan mereka dalam ruang fikir
yang berbeda.
2.

Konsepsi Ketuhanan Masyarakat di Indonesia
Perkembangan fikir pada manusia berakar dari sebuah konsep keyakinan yang
melekat secara alami dalam dirinya, dan lahirnya keyakinan dalam diri manusia
seolah menjadi insting alami dalam diri manusia sendiri. Dalam kondisi-kondisi

tertentu manusia pada dasarnya akan mengingat suatu hal yang akan dijadikan rumah
dalam perilaku berfikir manusia, yaitu Tuhan. Namun ketuhanan seringkali menjadi
masalah ketika manusia sendiri sedang dalam ruang ketidaktahuan. Keberadaan
agama kemudian berperan dalam mengarahkan kepada konsep ketuhanan yang sesuai
dalam tiap agama-agama yang ada. Budaya kemudian menjadi kacamata yang tepat
ketika memandang Tuhan yang selama ini terlihat adalah sebuah simbol, salib, yesus,
Allah, Bhuda, dan Dewa. Konsepsi ketuhanan dalam kacamata budaya bada akhirnya
berpuncak pada sebuah keyakinan yang absurd atau tidak dapat terjangkau oleh indra
penglihatan, dan konsepsi ketuhanan manusia kemudian berpuncak kepada keyakinan
yang ada dalam diri manusia sendiri. Dalam antropologi kemudian dijelaskan sebagai
berikut :

a. Dinamisme
Istilah “Dinamisme” berasal dari bahasa Yunani “dunamos” yang istilah
Inggrisnya adalah “dynamis” yang diartikan ke dalam bahasa Indonesia dengan
kekuatan, kekuasaan, khasiat, atau daya. Jadi, dinamisme adalah sebuah
kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai kekuatan yang misterius. Pada
dasarnya, kehidupan manusia primitif tergantung pada alam yang ada disekitar
mereka sebab alamlah satu-satunya sumber kehidupan dan menjadi faktor yang
sangat dominan untuk survive.Namun, alam yang mereka dambakan itu kadangkadang tidak bersahabat. Air yang selama ini mereka anggap sangat bermanfaat

bagi kehidupan, tiba-tiba mendatangkan bencana, seperti banjir dan tanah longsor.
Tanah yang selama ini menyuburkan tanaman, tiba-tiba bergoyang dan
menghancurkan harta benda, dll.Hal seperti itulah yang menimbulkan suatu
kepercayaan dalam diri mereka bahwa alam memiliki kekuatan yang melebihi
kekuatan manusia. Dalam masyarakat tertentu, kekuatan itu ditanggulangi dengan
berbagai cara. Biasanya yang paling umum yang sudah menjadi tradisi masyarakat
primitif adalah memberikan tumbal atau kurban apakah itu hewan dan bahkan
manusia.
Menurut Harun Nasution bahwa bagi manusia primitif, yang tingkat
kebudayaannya yang masih relatif sangat rendah, setiap benda yang berada
disekelilingnya bisa mempunyai kekuatan batin yang misterius. Masyarakat
primitif memberi berbagai nama kepada kekuatan batin itu. Misalnya orang
Malanesia menyebutnya dengan “mana”, orang India dengan “shakti”, orang
Jepang dengan “kami”, orang Afrika dengan “oudah”, dan orang indian dengan
“wakan atau maniti”. Dalam kajian ilmu perbandingan Agama kekuatan batin ini
biasanya disebut dengan “mana”. Dalam istilah Indonesia disebut dengan “tuah”.
Mana ini dipahami sebagai kekuatan atau kesaktian yang terdapat pada pelbagai
benda, misalnya dalam api, batu, tumbuh-tumbuhan, pohon besar, hewan, dan juga
pada manusia. Akan tetapi kekuatan atau kesaktian itu tidak dibayangkan sebagai
suatu tokoh atau pribadi, jadi bersifat abstrak. Di sini perbedaannya dengan

animisme tampak jelas (yang akan dijelaskan pada bagian kedua), kedua-duanya
berkenan dengan cara tanggapan manusia terhadap kekuatan. Tetapi dalam
animisme kekuatan tersebut dianggap sebagai suatu kekuatan yang berpribadi,
sedangkan dinamisme adalah kekuatan yang tidak berpribadi.
Mana terdapat dalam segala apa yang mempunyai efek besar, efek yang menarik
perhatian. Kayu yang tak mau terbakar mempunyai mana, singa yang mempunyai

kekuatan yang luar biasa mempunyai mana. Manusia juga mempunyai mana,
perwira yang senantiasa menang dalam peperangan, ayah yang mempunyai anakanak yang luar biasa banyaknya, pemimpin yang bisa memecahkan segala
masalah-masalah yang dihadapi rakyatnya, semua orang ini mempunyai mana.
Benda-benda serupa ini semuanya dihormati, dan orang yang semasa hidupnya
mempunyai mana, sesuadah mati disembah agar mananya dapat membantu
manusia.
b. Animisme
Animisme berasal dari kata latin “anima” yang berarti jiwa atau roh. Bagi
masyarakat primitif, semua alam dipenuhi oleh roh-roh yang tak terhingga
banyaknya, tidak saja manusia atau binatang, tetapi benda-benda yang tidak hidup
juga memiliki roh, seperti tulang atau batu. Jadi, animisme adalah paham tentang
semua benda, baik makhluk hidup maupun benda mati mempunyai jiwa/roh. Akan
tetapi, walaupun masyarakat primitif telah percaya pada roh, roh atau jiwa itu bagi

mereka bukanlah roh sebagaimana yang kita ketahui. Mereka belum mampu
membayangkan roh yang bersifat immateri. Karena itu menurut mereka roh terdiri
atas materi yang sangat halus sekali. Sifat dari roh ini adalah mempunyai bentuk,
umur, dan mampu makan. Roh itu mempunyai kekuatan dan kehendak, bisa
merasa senang atau menjadi marah. Kalau marah, dia bisa membahayakan hidup
manusia. Oleh sebab itu, kerelaannya harus dicari dan harus diusahakan supaya ia
jangan marah. Cara merayu roh itu agar tidak marah dengan memberikan sesajian
berupa makanan atau memberikan kurban kepadanya. Jiwa atau roh menurut
kepercayaan mereka adalah daya kekuatan yang hidup yang dapat tinggal dalam
manusia, binatang, tumbuh-tuhan atau dalam segala yang ada. roh ini adalah
sejenis zat yang mempunyai mana, daya kekuatan, atau zat nyawa. Sebagai contoh
dalam badan manusia terdapat daya-daya kekuatan jiwa yang banyak sekali
jumlahnya, dalam rambut, kuku, darah, dan bahkan ludah. Zat nyawa itu dapat
dengan mudah meninggalkan badan, sehingga orang harus berhati-hati bila
memotong kuku, rambut, dsb. Daya kekuatan yang paling penting dalam badan
manusia adalah nafas, yang disebut dengan jiwa badan. Kepala dan organ
reproduksi dianggap sebagai tempat pengumpulan daya kekuatan jiwa yang paling
banyak.
Namun, kepercayaan masyarakat animisme tidak tersistematisasi dan absolut.
Roh-roh yang ada di alam berubah-ubah, sesuai dengan kebutuhan mereka. Karena

itu, mereka tidak seperti teolog, yang hanya memfokuskan pada wujud yang

mutlak yang mutlak. Masyarakat primitif sangat relatif dalam tindak-tanduk dan
cara berpikir. Sebab, bisa jadi suatu saat benda tertentu ditakuti dan disembah.
Pada waktu yang lain, benda itu tidak lagi ditakuti dan disembah karena dianggap
tidak memiliki kekuatan ghaib lagi. Para ahli agama berpendapat bahwa
dinamisme lebih dulu muncul daripada animisme. Dalam dinamisme belum ada
kepercayaan pada roh yang meninggal yang bisa menjalin persahabatan dengan
keluarga yang masih hidup. Sedangkan kepercayaan demikian baru muncul dalam
animisme. Dengan demikian, dinamisme lebih dulu muncul ketimbang animisme.
Dari animisme, kemudian meningkat menjadi politeisme, ke henoteisme, dan
terakhir monoteisme.
c.

Politheisme

Seperti dikatakan sebelumnya, bahwa politheisme adalah kelanjutan dari tahap
perkembangan kepercayaan animisme. Yang semula mempercayai semua benda
mempunyai roh, kemudian dipersonifikasikan lagi menjadi lebih konkret menjadi
dewa-dewa. Dewa-dewa ini dalam pengertian bahwa dari sekian banyak benda

yang mempunyai roh, ada yang kuat sehingga menimbulkan pengaruh pada alam
yang kemudian dijadikan simbol penyembahan atau peribadatan, untuk kemudian
diambil fungsinya dan diberi nama sesuai dengan fungsi tersebut, sehingga dewa
dalam politheisme lebih kecil jumlahnya daripada roh-roh yang disembah dalam
animisme. Seperti ada dewa yang bertugas menerangi alam, dinamakan dewa
matahari (Ra dalam agama Mesir kuno), ada dewa yang menurunkan hujan,
dinamakan dewa hujan (Indra dalam agama Veda). Ada dewa yang menetapkan
nasib baik dan buruk bagi manusia, dinamakan dewi keberuntungan (Fortuna
dalam agama Yunani kuno), ada dewa yang mengendalikan angin, disebut dewa
angin (Vata dalam agama veda kuno), dll.
Menurut Harun Nasution, sebagaimana juga dikutip dalam buku “Filsafat Agama”
karangan Amsal Bahtiar, perbedaan antara roh animisme dan dewa politeisme
adalah perbedaan dalam derajat kekuasaan. Dewa lebih berkuasa, lebih tinggi dan
mulia serta penyembahannya lebih umum, teratur, terus-menerus dan mempunyai
cara tertentu daripada roh. Perbedaan kedua adalah bahwa roh dalam animisme
belum memiliki kepribadian yang tetap dan bentuknya masih samar-samar. Hutan
lebat mempunyai roh, tetapi apa dan bagaimana roh itu tidak jelas. Fetis (benda
bertuah) mempunyai roh, tetapi tidak mempunyai kepridian yang jelas. Berbeda
halnya dengan dewa yang telah memiliki kepribadian, misal sebagai disebutkan di


atas, dewa matahari (Ra) sifatnya adalah menerangi alam, begitu juga dewa hujan
menurunkan hujan.
Salah satu agama yang secara sistematis punya konsep politheisme adalah agama
hindu, terutama pada periode zaman weda (1500 SM).Kitab Rigweda yang
nerupakan bagian dari kitab weda, banyak menyebutkan nama-nama dewa seperti
Indra, Waruna, Mitra, Nasatya, Dyaus (dewa langit), pertiwi (dewa bumi), Agni
(dewa api), soma (dewa minuman keras), surya (dewa matahari), Usas (dewa
fajar), Rudra (dewa petir), Saraswati (dewi ilmu pengetahuan), dll. Dari rigweda
ini terbukti bahwa bangsa arya (pelaku sejarah zaman wedha) adalah penyembah
bermacam-macam dewa sebagai personifikasi kekuatan alam dan kekuatan ghaib
yang menguasai segala kejadian dan peristiwa.
d.

Henotheisme dan Monotheisme

Henotheisme adalah kepercayaan yang tidak menyangkal adanya banyak Tuhan
atau Dewa, tetapi yang patut disembah dan dipuja hanya satu Tuhan yang paling
tinggi, berkuasa, dan mulia. Orang-orang yang berpikir lebih mendalam, sistem
kepercayaan politheisme tidak memuaskan. Kepercayaan kepada satu Tuhan lebih
mendatangkan kepuasan dan diterima akal sehat. Dari sini timbullah aliran yang
mengutamakan satu Dewa dari beberapa Dewa untuk disembah. Dewa/Tuhan ini
dianggap kepala atau bapak dari Tuhan-Tuhan yang lain. Umpamanya Zeus dalam
agama Yunani kuno atau Brahmana dalam agama Hindu.
Perkembangan dari politheisme ke Henotheisme yang cukup signifikan juga
terjadi pada agama Hindu. Sekalipun dalam agama ini didapati banyak sekali
Dewa, namun dalam perjalanan sejarahnya yang sangat panjang ada satu waktu di
mana agama ini tidak lagi bersifat politheis karena dewa tertentu yang sedang
dipuja dianggap sebagai dewa tertinggi yang memiliki segala kekuatan para dewa
yang lain. Max Muller juga menggunakan istilah Henotheisme dalam ketuhanan
agama Hindu, karena ada kecenderungan melukiskan semua kekuatan pada Tuhan
tertentu dan utama yang ada dalam pikiran para pemujanya. Paham selanjutnya
dari Henotheisme adalah monotheisme. Menurut beberapa ahli agama, agama
yahudi yang bercorak Henotheisme bisa meningkat menjadi monotheisme.
Yahweh kemudian dianggap lebih berkuasa dari Tuhan-tuhan agama lain.
Kemenangan Yahweh melawan musuh-musuhnya, tidak dianggap Tuhan lagi,
tetapi hanyalah setan. Yahweh kemudian tidak saja dianggap sebagai Tuhan
nasional, tetapi Tuhan pencipta semesta alam dan tuhan manusia seluruhnya.

Secara historis dikatakan bahwa monotheisme eksplisit, yaitu kepercayaan sematamata pada satu tuhan, yang dengan terang-terangan mengecualikan dewa-dewa
yang lain, merupakan pengakuan paling akhir. Karena dalam konteks politheisme,
kepercayaan kepada satu Tuhan selalu dinyatakan. Agama wahyu, seperti Kristen
dan Islam ditinjau dari konsep kepercayaan umat manusia adalah akhir dari
perkembangan kepercayaan. Namun agama Islam secara historis tidak mengalami
evolusi kepercayaan, sebab agama Islam, begitu juga Kristen adalah agama yang
diwahyukan dari Tuhan. Dalam agama Islam, ajaran monotheisme yang keras
ditunjukkan dengan jelas dalam Al-Quran. Dalam al-Quran banyak kutipan yang
memperlihatkan Allah sebagai satu-satunya Tuhan, dan dibicarakan dalam bagian
tersendiri, terpisah dari semua bagian dewa yang lain. Jelaslah bahwa suku-suku
pra Islam menghormati dewa-dewa partikular seperti al-Uzza, Manat, lata. Dalam
kesempatan-kesempatan yang biasa mereka lebih memuja dewa tersebut daripada
Allah; persembahan-persembahan lebih ditujukan kepada mereka daripada kepada
Allah. Tentu saja cukuplah bahwa Nabi Muhammad memandang diri sebagai
pembaharu yang mengajarkan kebenaran iman monotheisme. Beliau merumuskan
ajaran pokok dari iman Islam bahwa “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Bagi Nabi
Muhammad dan penduduk mekah ini berarti semua dewa yang mereka sembah,
Allah adalah satu-satunya Tuhan yang benar.
3.

Warisan Agama Dan Budaya

Ketika manusia lahir di dunia dan kemudian hidup diantara lingkungan sosial
manusia kemudian disebut sebagai anak. Secara umum, seorang anak dalam tumbuh
kembangnya akan melakukan sebuah proses sosial (belajar) baik secara sadar ataupun
tanpa disadari. Proses ini kemudian menghasilkan sebuah karakter baik dalam cara
berperilaku hingga cara perfikir. Dalam konstruksi kepribadian seorang anak hingga
dewasa, dipengaruhi oleh kondisi sosial lingkungannya, seperti keluarga, daerah
tempat tinggal, dan masyarakat sekitar. Apa yang dilihat, adalah apa yang diterima
oleh anak, dan pula apa yang diajakan, adalah hal yang menjadi salah satu komponen
dalam mengkonstruksi kepribadian anak. Hal ini kemudian terus terjadi dalam proses
perkembangan anak manusia (proses sosial). Keluarga menjadi lingkungan utama
dalam perkembangan anak, karena lingkungan ini adalah lingkungan internal anak
pada umumnya dalam kehidupan, maka proses sosial terbesar adalah pada lingkungan
ini. Dalam lingkungan ini, Ayah dan ibu tanpa disadari menjadi tentor dalam
pembentukan karakter anak. Bagaimana cara makan, cara tidur, berkomunikasi,
berkeyakinan, berkepercayaan, hingga kegiatan ritual, akan mengimitasi dari
bagaimana yang orang-orang terdekatnya lakukan, dan kemudian apapun itu akan

dikerjakan oleh anak secara repetitif dan tanpa disadari menjadi hal yang dapat
diterima dalam diri anak.
Agama menjadi salah satu komponen internal pada kepribadian manusia.
Agama secara tidak langsung mengatur dan membimbing pemeluknya untuk
berperilaku sebagaimana nilai-nilai yang telah menjadi ketentuan dalam ajaran agama
sendiri. Jika berbicara mengenai kebenaran dalam kehidupan, tiap agama pada
dasarnya memiliki pencapaian yang sama, dan yang berbeda adalah pada konsepsi
perilaku dan pemahaman tiap pemeluk agama itu sendiri. Pemeluk pada tiap-tiap
agama kemudian akan mendakwahkan agama mereka khususnya pada lingkungan
terkecil dalam kedihupan, yaitu keluarga. Dalam konsep keluarga sendiri, orang tua
menjadi figur yang memiliki peran dalam mengkondisikan bagaimana sebuah
keluarga sebaiknya. Kecenderungan mendakwahkan agama dalam keluarga inti oleh
orang tua adalah hal yang terjadi, berkeyakinan sama tidak jarang menjadi alasan atas
perilaku tersebut. Orang tua mengajarkan kepada anak, dan anak menjalankan ajaran
yang telah dibimbingkan kepada anak, menjadi salah satu bentuk pewarisan agama
dalam keluarga.
Berbeda dengan budaya yang memang lingkup perannya adalah kepada
masyarakat. Budaya lebih berfungsi sebagai kontrol sosial dalam teritori masyarakat,
yang mana ajaran dalam sebuah budaya berakar dari filsafat hidup kebudayaan itu
sendiri. Masyarakat tionghoa dalam berprilaku sosial, tentu akan menyeseuaikan
dengan nilai-nilai yang secara sepakat telah mengatur lingkungan hidup sosial
masyarakat tionghoa, ajaran taoisme meisalnya. Atau pada masyarakat jawa, dan
masyarakat lainnya, akan berperilaku sesuai ajaran atau nilai-nilai budaya yang
mengatur masyarakat pemeluknya.
4.

Azimat Dalam Perspektif Kristen

Berbicara budaya, maka berbicara perilaku repetitif yang terjadi dalam
lingkup masyarakat. jika dikaji dalam disiplin ilmu antropologi, secara garis besar
budaya menjadi salah satu kepercayaan yang selalu ada dalam pewarisan budaya,
oleh pelaku budaya kepada generasi selanjutnya. Kepercayaan ini kemudian tidak
jarang menjadi salah satu pedoman dalam berperilaku. Masuknya ajaran agama pada
wilayah – wilayah yang kental akan kebudayaan kemudian menjadi hal yang merubah
cara berfikir dalam berperilaku dalam kehidupan sehari-hari pada beberapa daerah
tertentu. Seolah reanaisansi terjadi, agama berperan dalam membimbing cara berfikir
yang menuntun pada konsep sebuah konsep yaitu keyakinan (iman), dan hal ini
kemudian mengubah (secara akulturatif) bentuk – bentuk ritual. Fenomena ini

menjadi bukti bahwa masuknya sebuah agama dalam lingkup kebudayaan terjadi
secara damai. Contoh, pada ritual sembahyangan 7 hari, 100 hari, hingga 1000 hari
pasca kematian anggota keluarga adalah ritual yang diwariskan oleh kebudayaan
nenek moyang. Ketika di ketemukan dengan iman Kristen, kemudian perilaku dalam
ritual berubah, yakni mantra (doa) yang dibaca, velue yang ada dalam konsep
keyakinan, menjadi berarah kepada konsep iman kristian, walaupun ritualnya adalah
bias dibilang adopsi (jika dipandang dari sudut kristian) dari budaya domestik.
Kepercayaan terhadap benda – benda bertuah pun salah satu hal yang dalam
warisan budaya. Defusi Kristen dalam sebuah kebudayaan memang tidak bisa
mengubah seluruh konsep perilaku budaya secara kukuh, budaya lama tetap tampak
dan hal ini memang sulit hilang, yang tidak menuntut kemungkinan juga terjadi pada
agama-agama lain yang ada di Indonesia. Kepercayaan terhadap benda bertuah
(azimat) menjadi perilaku yang jika dipandang dari perspektif budaya, bukanlah hal
yang harus dipermasalahkan. karna itu memang menjadi salah satu komponen
perilaku dalam budaya. Akan tetapi ketika dipandang dari sudut pandang kristiani,
tentu hal ini menjadi hal yang harus diperhatian. Hal ini dikarenakan perilaku budaya
yang satu ini tampak riskan, karena batasan antara berkepercayaan dan berkeyakinan
kemudian menjadi blur. Pembeda antara percaya dan menyakini benda bertuah sangat
tipis, sehingga hal ini berkemungkinan membawa kepada kemusyrikan. Dalam etika
Kristen hal ini menjadi salah satu perilaku yang masuk dalam pembahasan kaitannya
dengan takhayul. Kitab suci telah melarang dengan keras berkaitan dengan hal ini
yang mana dalam pengelompokannya seperti nujum, divinasi, nekromansi,
penggunaan jampi-jampi, magis dan sihir (UI 18:19; Yes 2:6; 8:9; : Yer 27:9-10; Kis
19:19), dan bahkan memerintahkan hukuman mati untuk para tukang sihir, cenayang,
dan tukang tenung (Kel 22:18; Im 20:27), dan sejauh takhayul adalah hasil dari
ketiadaan iman maka hal itu adalah dosa besar, (Karl, 2003:163). Perilaku
penggunaan azimat manjadi salah satu yang dekat dengan dosa, hal ini dikarenakan,
dalam fenomena yang ada beberapa masyarakat lebih menjawab bahwa “kami bukan
beriman kepada benda ini, yang kami imani tetap Tuhan, hanya saja Tuhan memiliki
kuasa member kami melalui benda ini”, namun sebagian ada yang menjawab bahwa
“akan tetapi hal tersebut lebih menarik kita pada iman atas benda tersebut, yang
menyebabkan kita malas untuk meminta kepada Tuhan (berdoa)”. Jika kita kritisi
kembali dan kita timbang, fenomena ini tentu menjadi lebih baik dan tepat jika
dianggap dosa, dan hal ini dikarenakan manusia bukanlah makhluk yang mampu
meletakkan dirinya pada satu prinsip, melainkan makhluk yang masih sering
melakukan pertimbangan dan kemudian prinsip manusia ber-evolusi dan evolusi

tersebut mengarah kepada hal yang menjadi sorotan dalam mempertimbangkan suatu
hal. Selain itu, mencegah terjadinya banyak kemusyrikan manjadi salah satu alasan
tepat menganggap dosa perilaku ini.

Kesimpulan
1.

Kesimpulan

Iman pada akhirnya menjadi hal penting yang memiliki kemampuan
membentuk diri (core) manusia. Keterbatasan manusia dalam menjaga kualitas iman
dalam dirinya kemudian menjadi sebuah permasalahan dalam kehidupan, dan
disitulah agama kemudian berperan. Agama sebagai hal yang berisi tentang nilai-nilai
yang menjadi patokan dalam berperilaku, tanpa manusia sadari menjadi sekat
sehingga manusia dalam perilakunya sehari-hari mengarah kepada konsep keimanan
yang diyakini. Antropologi sebuah ilmu yang menyoroti manusia dalam konteks
berkehidupan, kemudian menguraikan bagaimana manusia berkepercayaan atau
berkeyakinan yang terkover dalam animisme, dinamisme, politheisme, henotheisme
dan monotheisme. Agama kemudian menjadi kontrol dalam berperilaku sosial dalam
kehidupan manusia. Penggunaan azimat menjadi salah satu bentuk perilaku budaya,
yang kemudian hal ini dapat disoroti secara Kristen. Dalam menyoroti hal tersebut,
Kristen tentu berpedoman kepada alkitab sebagai mushaf atau bentuk fisik yang
menampung firman Tuhan. Dalam ajaran Kristen penggunaan azimat pada akhirnya
lebih tepat dianggap atau dihukumi sebagai perilaku dosa, yang mana hal ini telah
dibahas pada sub bab E dalam penulisan ini. Keriskanan mengenai berkeyakinan
ketika manusia dekat dengan perilaku budaya seperti penggunaan benda bertuah
misalnya, menjadi hal yang pada akhirnya harus diperhatikan. Hal ini tentu menjadi
sebuah permasalahan ketika manusia tidak mampu atau bisa membatasi atau
menciptakan sekat antara berkepercayaan dan berkeyakinan, sehingga menjadi sangat
tepat apabila perilaku ini dikategorikan atau dihukumi dosa secara Kristen.
2.

Saran

Bersudut pandang secara bijak dalam memahami sebuah fenomena menjadi
penting dalam kehidupan berbudaya, sepertihalnya di Indonesia yang memang
dikenal kental animism dan dinamismenya. Negara ini telah mengakui 6 agama yang
kemudian dinaungkan dalam pancasila, dan hal ini tanpa disadari telah
menyimpulkan bahwa yang utama adalah pancasila yang mengikat kebeneikaan
agama di negara ini, namun bukan berarti kita menutup diri dari kebudayaan yang

memang menjadi identitas masyarakat pemeluknya. Agama dan budaya saat ini tidak
lagi terbatasi oleh garis yang jelas, namun yang menjadi penting adalah berkeimanan
tanpa memandang sama tingkat imanensi orang lain secara sama.

Daftar Pustaka
Armstrong, Keren. 2011. Masa Depan Tuhan sanggahan terhadap fundamentalisme
dan atheisme. Bandung : Mizan Media Utama
Peschke SVD, Karl-Heinz. 2003. Etika Kristiani Jilid II Kewajiban Moral Dalam
Hidup Keagamaan. Surabaya : Ledalero
Peschke SVD, Karl-Heinz. 2003. Etika Kristiani Jilid IV Kewajiban Moral Dalam
Hidup Sosial. Surabaya : Ledalero