Agama Kecamatan Pondok Suguh

BAB IV
PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN
PONDOK SUGUH KABAPATEN MUKOMUKO PROVINSI BENGKULU
1. Penyebab Dicatatnya Pernikahan di Bawah Umur di Kantor Urusan

Agama Kecamatan Pondok Suguh
Setelah melakukan penelitian, perkawinan bagi anak yang
masih di bawah umur yang bisa dicatatkan di KUA Kecamatan Pondok
Suguh adalah anak yang masih di bawah umur yang sudah dapat
dispensasi pernikahan dari Pengadilan Agama, dan anak yang masih di
bawah umur yang melanggar hukum adat karena paksaan Kepala Adat
dan Kepala Desa setempat (Sumardi, 2017).
Anak yang masih di bawah umur yang melanggar hukum adat
menurut Dayat sebagai salah satu Kepala Adat di Kecamatan Pondok
Suguh adalah :
Hukum adat nan wajib dinikahkan kaluenyung dilanggar adulah
nan partamo hamil sebelum nyung nikah, kadau kalau ketahuan
babuek maksiat atau berkhalwat, katigu kalaue nyung ketahuan
paing busik dengan mete kemudian balik tengak malam mako
kalau bagi uhang nan melanggar hukum ko wajib di nikahkan
dengan mamayah dendung (Dayat, 2017).

Maksudnya adalah jika seseorang yang melanggar hukum adat
seperti hamil di luar nikah, ketahuan berbuat maksiat atau berduaan
ditempat sunyi, dan pulang tengah malam dengan pasangannya yang
belum sah maka wajib dinikahkan meskipun masih di bawah umur.
Sumardi selaku kepala KUA Kecamatan Pondok Suguh
memberikan penjelasan mengenai perkawinan di bawah umur ini :
Anak yang nikah di bawah umur tu kebijakan kami tapi idak
kebijakan kami bae itu dek banyak pertimbangan pulo kami
ndak nikahkannyo kalau idak dinikahkan kito takut kelak tajadi
idak-idak, selain tu kami nikahkan tujuannyo supayo mereka tu
lebih tanggung jawab lagi dan idak mengulangnyo lagi, biasonyo
kasus yang semacam iko karano inyo melanggar hukum adat.
(Sumardi, 2017).

65

66

Data di atas menjelaskan bahwa terkhusus anak yang di bawah
umur yang melanggar hukum adat adalah suatu kebijakan yang diambil

oleh pihak KUA Kecamatan Pondok Suguh. Kebijakan ini diambil karena
biasanya anak yang di bawah umur yang dinikahkan itu melanggar hukum
adatnya. Selain itu kebijakan ini bertujuan untuk menjaga dan membuat
anak yang menikah tersebut merasa mempunyai tanggung jawab terhadap
apa yang telah dilakukan, bukan hanya untuk anak yang menikah itu saja,
tapi pencatatan pernikahan ini juga bertujuan agar orang tua dari anak
tersebut ikut serta menjaga dan membimbing mereka dalam menjalankan
rumah tangganya, (Sumardi, 2017).
Kebijakan ini diambil oleh pihak KUA karena adanya anak
yang masih di bawah umur melanggar hukum adat mereka dinikahkan,
namun pernikahan tersebut tidak tercatat sehingga setelah menikah
sekitar empat atau lima bulan setelah pernikahan banyak terjadi
perceraian. Hal itu terjadi karena suami atau laki-laki dari pernikahan
merasa tidak bertanggung jawab terhadap isterinya, dan kejadian seperti
ini tidak bisa dituntut secara hukum karena pernikahannya tidak tercatat
sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum.
Dengan tercatatnya pernikahan tersebut maka pihak yang
menikah dan keluarganya akan merasa lebih bertanggung jawab terhadap
pernikahan yang dilakukan karena mempunyai kekuatan hukum dan bisa
dituntut apabila terjadi pelanggaran terhadap perjanjian pernikahan.

Disamping itu, dengan tercatatnya pernikahan tersebut pihak KUA bisa
memberikan informasi, pemahaman dan pembinaan kepada calon
mempelai sewaktu menikah tentang hak dan kewajiban suami isteri,
bahkan bukan hanya kepada calon mempelai, pemahaman dan pembinaan
juga diberikan kepada orang tuanya agar menjaga, membina, serta
membantu anaknya dalam menjalakan rumah tangganya.

Informasi,

pemahaman dan pembinaan ini bertujuan agar berkurangnya angka
perceraian dan juga berkurangnya pernikahan di bawah umur. Pernikahan

67

seperti ini melanggar hukum, yang seharusnya anak yang masih di bawah
umur tersebut jika ingin menikah sesuai dengan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan harus mendapatkan dispensasi dari
Pengadilan Agama terlebih dahulu. Namun ini adalah suatu kebijakan yang
diambil oleh pihak KUA agar berkurangnya pernikahan di bawah umur,
dan membuat anak atau orang tua tersebut lebih bertanggung jawab.

Sehingga dengan begitu pernikahan di bawah umur akan berkurang dan
anak-anak yang putus sekolah pun akan menjadi berkurang. Hal ini sesuai
dengan diungkapan Sumardi :
Sebenarnyo iko yo melanggar undang-undang perkawinan, dan
kamipun tau itu salah seharusnyo urang tu ngurus dispensasi
perkawinan ke Pengadilan Agamo tapi cakmano lagi kalau idak
dilakukan akan banyak lagi kasus-kasus ko, jadi iko adolah
salah-satu caro kami untuk menguranggi perkawinan dibawah
umur, disamping tu bertujuan agar perkawinan mereka tu
menjago perkawinannyo (Sumardi, 2017).
Adapun faktor penyebab dicatatnya perkawinan di bawah
umur di KUA Kecamatan Pondok Suguh ini adalah:
1.1.

Karena adanya paksaan dari pemuka adat di Kecamatan Pondok
Suguh, paksaan yang dimaksud di sini adalah seperti ancaman yang
diberikan kepada pihak KUA jika tidak mau menikahkan pasangan
yang direkomendasikannya tersebut (Sumardi, 2017). Menurut
pengakuan dari Kepala KUA Kecamatan Pondok Suguh hal ini pernah
mengakibatkan pertengkaran antara pihak KUA dengan pemuka adat

di Kecamatan Pondok Suguh pada tahun 2010 dikarenakan pihak KUA
enggan menikahkan pasangan yang masih di bawah umur yang belum
melengkapi persyaratan. Sehingga pada waktu itu pemuka adat dari
Desa Pondok Suguh marah dan melakukan perbuatan yang tidak baik
terhadap KUA Kecamatan Pondok Suguh seperti merusak Kantor KUA
dan isinya. Bukan hanya itu, mereka membuat pernyataan dengan

68

mengumpulkan tanda tangan satu desa dan di bawa ke Kantor
Kemenag untuk menghentikan atau memindahkan Kepala KUA
Kecamatan

Pondok

Suguh

ternyata

usaha


mereka

tersebut

membuahkan hasil Kepala KUA pada waktu itu dipindahkan tugasnya
ke KUA lain, Jadi untuk menghindari keributan atau pertingkaian agar
tidak terulang lagi, maka pihak KUA mengambil kebijakan mau
menikahkan anak di bawah umur dengan syarat atas permintaan
Kepala Desa dan Kepala Adat setempat (Sumardi, 2017).
Paksaan yang diberikan para pemuka adat disini dikarenakan ada
orang yang masih di bawah umur yang melanggar hukum adat dan
mereka wajib dinikahkan secepat mungkin. Di Kecamatan Pondok
Suguh setiap desanya memiliki beberapa adat yang harus di patuhi,
dimana jika ada yang melanggar hukum adat seperti pasangan
tersebut hamil di luar nikah, pasangan yang pergi main pada malam
harinya dan pulang lewat dari jam dua belas malam, atau karena
didapati pasangan tersebut berduaan dan berbuat maksiat. Bagi
mereka


yang melanggar hukum adat yang seperti ini wajib

dinikahkan dan membayar denda. Pernikahan seperti ini sangat
mendesak untuk dilakukan karena jika tidak segera dilakukan maka
pihak keluarga akan menanggung beban moral/aib berkepanjangan
jika tidak segera dinikahkan, disamping itu dikhawatirkan akan
berbuat maksiat berkepanjangan atau bahkan bisa bunuh diri karena
malu, oleh karena itu ini adalah salah satu penyebab bersedianya KUA
Kecamatan Pondok Suguh untuk menikahkan anak yang masih di
bawah umur (Sumardi, 2017).
1.2.

Karena jauhnya Pengadilan Agama dari Kabupaten Mukomuko ke
Kabupaten Bengkulu Utara dengan jarak tempuh 214,8 km atau 6 jam
perjalanan darat, sehingga perkawinan ini terpaksa dilakukan oleh
KUA Kecaman Pondok Suguh. Pihak KUA mengambil kebijakan ini
karena pernikahan tersebut sangat mendesak untuk dilakukan,

69


sedangkan untuk mengurus dispensasi perkawinan ke Pengadilan
Agama sangat jauh, dan menempuh proses yang panjang dan sidang
keliling tidak ada dilakukan oleh pihak Pengadilan Agama Arga
Makmur

sehingga

jika

tidak

segera

dilakukan

pernikahan

dikhawatirkan pasangan ini berbuat maksiat ataupun lainnya seperti
bunuh diri karena menanggung beban moral/ aib berkepanjangan di
masyarakat. Kendala Pengadilan Agama yang jauh ini dikarenakan

untuk wilayah Kabupaten Mukomuko sendiri belum adanya
Pengadilan

Agama.

Untuk

Kabupaten

Mukomuko

Pengadilan

Agamanya masih menumpang ke Kabupaten Bengkulu Utara yang
terletak di Arga Makmur, sampai saat sekarang ini untuk
pembangunan

Pengadilan

Agama


Mukomuko

masih

dalam

perencanaan hal ini dikarenakan Kabupaten Mukomuko sendiri
merupakan masih kabupaten yang baru hasil dari pemekaran pada
tahun 2003, jadi untuk sementara waktu jika ada yang ingin menurus
masalah perkawinan, kewarisan, wakaf ataupun lainnya harus ke
Pengadilan Agama Arga Makmur terlebih dahulu, untuk menuju ke
Pengadilan Arga Makmur tersebut memiliki jarah tempuh sejauh
214,8 km yang cukup lama yang hanya bisa dilalui melalui kendaraan
jalur darat. Biasanya jarak antara Kabupaten Mukomuko dan Arga
Makmur jika dilalui dengan kendaraan roda dua atau empat bisa
memakan waktu sekitar 6 jam perjalanan, sehingga ini menjadi salah
satu alasan KUA Kecamatan Pondok Suguh mau menikahkan pasangan
yang masih di bawah umur (Sumardi, 2017).
1.3.


Karena masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang tatacara
perkawinan menurut hukum yang ada di Indonesia. Hal ini dapat
dilihat dengan banyaknya anak-anak yang putus sekolah, banyak
anak-anak yang ikut orang tuanya bertani, dan kurangnya sosialisasi
tentang hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia oleh penyuluh
agama KUA Kecamatan Pondok Suguh kalaupun ada ini jarang

70

dilakukan dalam setahun bisa satu atau dua kali saja di adakan. Oleh
karena itu kebijakan ini juga diambil oleh KUA Kecamatan Pondok
Suguh untuk mengurangi angka pernikahan di bawah umur dan
perceraian yang diakibatkan kurangnya pemahaman masyarakat
tentang perkawinan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
Sehingga dengan dicatatnya perkawinan tersebut pihak KUA bisa
memberi informasi, pemahaman ataupun arahan kepada mereka
mengenai tanggung jawab suami atau isteri dalam pernikahan dan
bagaimana seharusnya sikap orang tua terhadap anaknya yang
menikah di bawah umur. Di samping itu dengan tercatatnya
pernikahan ini bisa juga membuat mereka lebih merasa bertanggung
jawab terhadap pernikahannya karena jika terjadi pelanggaran selama
pernikahannya bisa diproses secara hukum (Sumardi, 2017).

2. Sanksi Terhadap Pegawai Kantor Urusan Agama Kecamatan Pondok
Suguh Yang Mencatatkan Perkawinan di Bawah Umur
Pegawai Kantor Urusan Agama Kecamatan Pondok Suguh yang
dimaksud disini adalah Kepala KUA, Penghulu, PPN ataupun lainnya yang
bertugas di KUA Kecamatan Pondok Suguh dapat dikenai sanksi apabila
melakukan pelanggaran, di KUA Kecamatan Pondok Suguh sendiri
sebenarnya sudah terjadi pelanggaran yaitu menikahkan anak yang masih
di bawah umur sebelum adanya bukti dispensasi dari Pengadilan Agama,
namun sampai saat sekarang ini pegawai KUA Kecamatan Pondok Suguh
belum mendapatkan sanksi, ini dikarenakan perkara atau pelanggaran
yang dilakukannya merupakan jenis pelanggaran tindak pidana delik
aduan.
Delik aduan menurut Samidjo adalah suatu delik yang diadili
apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan melakukannya, bila
tidak ada pengaduan maka jaksa tidak akan melakukan penuntutan
(Samidjo 1985, 156). Sedangkan menurut P. A. F Lamintang tindak pidana

71

yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang
dirugikan (Lamintang 2010, 207). Jadi delik
aduan adalah perbuatan pidana yang hanya dapat diproses secara hukum
apabila orang yang dirugikan melakukan pengaduan kepada yang
berwajib, tampa pengaduan dari korban atau orang yang dirugikan karena
delik / perbuatan tersebut tidak dapat di proses. Maka selama perbuatan
tersebut tidak dilaporkan pegawai KUA tersebut tidak akan dapat sanksi.
Akan tetapi secara normatif pegawai KUA tersebut tetap melakukan
pelanggaran dan dapat hukuman atau sanksi.
Secara normatif pegawai pencatat nikah yang melakukan
pelanggaran sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, dapat diancam hukuman kurungan selama-lamanya tiga
bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500 (tujuh ribu lima ratus
rupiah). Hal ini terdapat dalam pasal 45 ayat (1) poin (b) menjelaskan
bahwa Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang di atur dalam
pasal 6, 7, 8, 9, 10 (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini di hukum
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 7,500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). Adapun pasalpasal tersebut adalah
Pasal 6
1) Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan
telah dipenuhi dan apakah tidak terhadapat halangan perkawinan
menurut undang-undang.
2) Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1) pegawai
pencatat meneliti pula:
a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai.
Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir padat
dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asalusul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang
setingkat dengan itu
b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan
tempat tinggal orang tua calon mempelai.

72

c.

d.
e.
f.

g.

h.

Izin tertulis/izin pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(2), (3), (4), dan (5) undang-undang, apabila salah seorang calon
mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun.
Izin pengadilan sebagai dimaksud Pasal 4 Undang-Undang, dalam hal
calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri.
Dispensasi pengadilan/pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2)
Undang-Undang.
Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal
perceraian: surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk
kedua kalinya atau lebih.
Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAN/
PENGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya
anggota Angkatan Bersenjata.
Surat kuasa autentik atau dibawa tangan yang disahkan oleh
Pegawai Pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau
keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang
penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.

Pasal 7
1) Hasil penelitian sebagai dimaksud pasal 6, oleh Pegawai Pencatat ditulis
dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.
2) Apabila, ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan
sebagaimana dimaksud undang-undang dan atau belum dipenuhinya
persyaratan tersebut dalam pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini,
keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada
orang tua atau kepada wakilnya.
Pasal 8
Setelah dipenuhi tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada
sesuatu halangan perkawinan, pegawai pencatat menyelenggarakan
pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan
dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang
ditetapkan pada kantor pencatatan perkawinan pada suatu tempat yang
sudah ditentukan pada kantor pencatatan perkawinan pada suatu tempat
yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
Pasal 9
Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat:
a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari
calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai, apabila salah
seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan
atau suami mereka terdahulu.
b. Hari, tanggal, dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.
Pasal 10
1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari ke sepuluh sejak pengumuman
kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud
dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.

73

Pasal 11
1) Sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan sesuai dengan ketentuanketentuan pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai
menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai
Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
2) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu,
selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat
yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang
mewakilinya.
3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah
tercatat secara resmi.
Pasal 13
1) Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua) helai pertama disimpan
oleh Pegawai Pencatat, helai Kedua disimpan pada Panitera Pengadilan
dalam wilayah Kantor Pencatat Perkawinan itu berada.
2) Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta
perkawinan.
Pasal 44
Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang
suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan
seperti yang dimaksud dalam pasal 43.
Secara keseluruhan pelanggaran oleh Pegawai Pencatat Nikah
dapat terjadi, lebih banyak kepada kejujuran dan ketelitian kerja mereka,
baik terhadap hal-hal yang bersifat normatif berupa persyaratan
perkawinan, maupun teknis seperti ketelitian mengisi formulir-formulir
tertentu, demi terciptanya tertib administrasi dan hukum.
Di KUA Kecamatan Pondok Suguh yang terjadi adalah
pencatatan perkawinan anak yang masih di bawah umur yang belum
mendapatkan dispensasi dari Pengadilan Agama. Sedangkan dalam
Peraturan Pemeritah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 Ayat (2)
menyatakan: Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan
perkawinan sebagaimana dimaksud undang-undang dan atau belum
dipenuhinya persyaratan tersebut dalam pasal 6 ayat (2) Peraturan
Pemerintah ini, keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai
atau kepada orang tua atau kepada wakilnya. Jadi seharusnya KUA
Kecamatan Pondok Suguh tidak boleh mencatatkan perkawinan tersebut

74

sebelum adanya bukti dispensasi dari Pengadilan Agama sebagaimana
yang telah di jelaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal
7. Hal ini jelas melanggar Undang-Undang Pernikahan. Oleh karena itu
Pegawai Pencatat Nikah

di KUA Kecamatan Pondok Suguh yang

melakukan pelanggaran ini dapat dijatuhkan hukuman sebagaimana yang
telah disebutkan dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975

tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Pasal 45 ayat (1) bagian (b) yaitu dapat dijatuhkan dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggitingginya Rp. 7, 500, -.