IMPLEMENTASI ALAT BUKTI SEBAGAI KEKUATAN

IMPLEMENTASI ALAT BUKTI SEBAGAI
KEKUATAN PEMERIKSAAN GUGATAN
PERDATA DI PENGADILAN NEGERI MEDAN
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
KELOMPOK III

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2016

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah mahluk sosial yang tidak terlepas dengan interaksi
dengan sesama. Hubungan itu dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari,
antara lain dalam proses jual beli, hutang piutang, sewa menyewa, perkawinan,
pewarisan dan lain sebagainya. Setiap manusia diciptakan dengan kehendak yang
bebas dan oleh karena itu individu yang satu dengan yang lain pasti mempunyai
keinginan

yang

berbeda-beda.

Perbedaan

kepentingan

tersebut

dapat


menimbulkan suatu persoalan atau perselisihan yang berujung di pengadilan.
Untuk menuntut hak-hak yang lahir dari hubungan tersebut diperlukan tata cara
dan pengaturan agar penuntutan hak tersebut berjalan sesuai dengan hukum.
Indonesia adalah negara hukum, demikian ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai konsekuensi logis dari pengaturan tersebut,
maka seluruh tata kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia
harus berpedoman pada norma-norma hukum dalam hal ini berkaitan dengan
hukum perdata. Hukum perdata adalah hukum yang mengatur tentang segala
peraturan tentang hubungan antar perorangan dalam masyarakat.
Setiap orang harus mengetahui peraturan hukum yang telah ditetapkan,
tetapi dalam hubungan hukum yang telah terjadi mungkin timbul suatu keadaan di
mana pihak yang satu tidak memenuhi kewajibannya terhadap pihak yang lainnya
sehingga pihak lainnya merasa dirugikan haknya. Untuk mempertahankan haknya
dan memenuhi kewajibannya orang tidak boleh bertindak semaunya saja, tidak
boleh main hakim sendiri. Apabila para pihak yang bersangkutan tidak dapat
menyelesaikannya sendiri secara damai, dapat meminta bantuan kepada hakim.
Cara menyelesaikan melalui hakim diatur dalam hukum acara perdata. Hukum
acara perdata
Dalam hukum acara perdata, suatu sengketa baru dapat diperiksa dan
diselesaikan oleh hakim apabila sengketa tersebut diajukan oleh pihak yang

berkepentingan ke pengadilan. Suatu perkara (sengketa) perdata, terjadi akibat
adanya perbuatan melawan hukum dari pihak satu kepihak lainnya yang kemudian
oleh salah satu pihak yang dianggap telah mengalami kerugian akibat perbuatan

2

onrechmatigdaad tersebut1. Inisiatif dari pihak yang berkepentingan untuk
mengajukan ke pengadilan memang sangat diperlukan supaya sengketa tersebut
dapat diselesaikan. Tanpa adanya inisiatif dari pihak Penggugat, maka hakim tidak
akan ikut campur atau tidak akan memeriksa, mengadili dan menyelesaikan
sengketa tersebut. Dalam mengajukan gugatan, Penggugat sebelumnya harus
mengetahui apakah Pengadilan Negeri dimana gugatan itu diajukan berwenang
untuk memeriksa dan menyelesaikan gugatan tersebut seperti yang tercantum
dalam Pasal 118 HIR / 142 Rbg. Gugatan tersebut akan diproses sesuai dengan
prosedur yang ada, apabila Pengadilan Negeri dimana gugatan tersebut diajukan
berwenang. Hakim dalam memeriksa gugatan akan mengumpulkan semua hasil
pemeriksaan untuk menentukan hal-hal yang penting dan yang tidak penting.
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, hakim akan berusaha menemukan
peristiwanya. Hakim akan segera menjatuhkan putusannya sesuai dengan tuntutan
dari penggugat, apabila hakim telah mengetahui peristiwa yang terjadi dan telah

menemukan hukumnya.
Sebelum diadakan suatu vonis atau keputusan hakim, maka hakim
berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak. Apabila usahanya gagal, maka
hakim akan melakukan putusan berupa vonis dengan pertimbangan pemeriksaan
alat bukti yang di miliki oleh tergugat dan tergugat. Namun banyak masyarakat
indonesia yang belum paham bagaimana alat bukti yang lebih kuat di pengadilan.
Mereka kerap hanya membawa

saksi dari pihak masing-masing dan

mempertahankan pendapatnya di depan hakim.
Pembuktian yang dilakukan hakim dalam mengadili perkara adalah untuk
menentukan hubungan hukum yang sebenarnya terhadap pihak-pihak yang
berperkara. Tidak hanya kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa saja yang
dapat dibuktikan, akan tetapi adanya sesuatu hak yang dapat dibuktikan. Oleh
karena itu, semua peristiwa yang menimbulkan hak harus dibuktikan oleh yang
menuntun hak tersebut sedangkan peristiwa yang menghapuskan hak harus
dibuktikan oleh pihak yang menyangkal hak tersebut2. Untuk itu hakim tidak
1


2

As’adi, Edi. 2012. Hukum acara perdata dalam perspektif Mediasi (ADR) di Indonesia.
(Yogyakarta : Graha Ilmu). Hal. 99.
Samudera, Teguh. 2004. Hukum Pembuktian dalam acara perdata. (Bandung : PT.
Alumni). Hal. 9.

3

dapat menerima apa-apa yang telah dikemukakan oleh para pihak saja, tapi
diperlukan adanya bukti-bukti yang cukup untuk hal tersebut, yang dalam hukum
acara perdata dikenal dengan istilah pembuktian atau dikenal dengan beban
pembuktian (Bewijlast Leer) yang ditemui dalam pasal 163 HIR atau 283 RBG
1865 KUHPerdata yang berbunyi : “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia
mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun
membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa diwajibkan
membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.
Dari uraian di atas dapat dilihat betapa pentingnya fungsi pembuktian
dalam menyelesaikan sesuatu perkara perdata. Dapat dikatakan bahwa
pembuktian ini akan menentukan jalannya pemeriksaan sesuatu perkara perdata di

pengadilan. Oleh karena itu tim penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “Implementasi Alat Bukti Sebagai Kekuatan Pemeriksaan
Perdata Di Pengadilan Negeri Medan”.
B. Rumusan masalah
Dalam Berdasarkan paparan yang di buat di dalam latar belakang, maka
rumusan masalah adalah :
1. Bagaimanakah penggunaan alat-alat bukti pada perkara perdata di
Pengadilan Negeri Medan?
2. Bagaimanakah pelaksanaan pemeriksaan setempat dalam penyelesaian
perkara perdata di Pengadilan Negeri Medan?
3. Apakah kendala yang dihadapi pada pemeriksaan setempat terkait barang
bukti yang di bawa kedua belah pihak dalam penyelesaian perkara
perdata di Pengadilan Negeri Medan ?

I. KAJIAN TEORITIS
A. Pengertian Pembuktian
Pembuktian merupakan tahap yang khas dan menentukan pemenang
perkara dalam sengketa Perdata. Dalam acara pembuktian, para pihak mengajukan

4


peristiwa-peristiwa dan fakta-fakta yang menjadi dasar bagi gugatan penggugat
atau jawaban dari tergugat. Membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang
kebenaran dalil atau peristiwa dalam suatu sengketa di pengadilan. Menurut Prof.
Sudikno Mertokusumo, membuktikan memiliki beberapa pengertian sebagai
berikut3:
1. Membuktikan dalam arti logis, adalah pembuktian yang memberikan
kepastian secara mutlak, karean berlaku bagi setiap orang dan tidak
memungkinkan adanya bukti yang berlawanan. Dasar yang dianut dalam
pembuktian logis

adalah aksioma, aksioma dihubungkan menurut

ketentuan-ketentuan logika dengan pengamatan yang diperleh dari
pengalaman, sehingga diperoleh kesimpulan yang memberikan kepastian
yang mutlak.
2. Membuktikan

dalam


arti

konvensionil,

adalah

pembuktian

yang

memberikan kepastian tetapi tidak secara mutlak, melainkan kepastian yang
relative. Kepastian relative ada 2 tipe, yakni:
a. Convection intime yaitu kepastian yang didasarkan atas perasaan yang
bersifat intuisi.
b. Convection raisonnee yaitu kepastian yang didasarkan atas pertimbangan
akal.
3. Membuktikan dalam arti yuridis, berarti memberikan dasar yang memadai
bagi hakim yang memeriksa suatu perkara untuk membuat kepastian
tentang kebenaran dalil atau peristiwa yang diajukan.
Supomo4 menerangkan bahwa pembuktian mempunyai arti luas dan arti

terbatas. Di dalam arti luas membuktikan berarti memperkuat kesimpulan hakim
dengan syarat-syarat bukti yang sah. Di dalam arti yang terbatas membuktikan
hanya diperlukan apabila yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh
tergugat. Apabila yang tidak dibantah itu tidak perlu dibuktikan. Kebenaran dari
apa yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan Selanjutnya Menurut
Agustiningsih5, Pembuktian adalah salah satu cara untuk dapat mengetahui
3

4
5

Nasir, Muhammad. 2005.Hukum Acara Perdata. (Jakarta: Djamban), Hal. 139.
Soeikromo, Deasy. 2014. Proses Pembuktian Dan Penggunaan Alat-Alat Bukti Pada
Perkara Perdata Di Pengadilan. Vol.II/No.1/Januari-Maret /2014. Hal. 126
Agustiningsih, Dwi. 2008. Analisis kekuatan pembuktian keputusan desa dalam Proses
pemeriksaan sengketa perdata (studi kasus di pengadilan negeri sragen). (Surakarta :
Universitas Sebelas Maret). hal. 25.

5


kebenaran suatu peristiwa berdasarkan fakta-fakta yang ada di persidangan. Halhal yang harus dibuktikan hanyalah hal-hal yang menjadi perselisihan
(peristiwanya), yaitu segala apa yang diajukan oleh pihak yang satu tetapi
disangkal oleh pihak lain. jadi, pembuktian tersebut sangat penting dalam suatu
pemeriksaan untuk memberikan pertimbangan kepada hakim dalam menjatuhkan
sebuah keputusan. Tujuan Pembuktian bermakna memberikan kepastian kepada
hakim terhadap dalil atau peristiwa tertentu yang diajukan oleh para pihak dalam
suatu perkara. Selanjutnya hakim akan menggunakan dalil dan peristiwa tersebut
untuk dikostatir, diakualifisir, dan dikonstitutir, sehingga menjadi dasar putusan
yang akan dijatuhkan.
Bila dipandang dari segi praktik dalam berusaha untuk mencapai
kebenaran melalui pembuktian tersebut, maka pembuktian itu pada dasarnya dapat
dibagikan dan dibedakan melalui suatu badan formal yang melukiskannya seperti
berikut6:
Kebenaran yang dituju

Pembuktian formal
Pembuktian materiil

Pembuktian
Sifat halnya


Pembuktian positif
Pembuktian negatif

Penjelasan :
a. Pembuktian formal ialah pembuktian yang bertujuan untuk dapat
mewujudkan kebenaran formal dari dalil-dalil yang diajukan.
b. Pembuktian materiil ialah pembuktian yang bertujuan untuk dapat
mewujudkan kebenaran materiil dan dalil-dalil yang diajukan.
6

Halim, A. Ridwan. (2005). Hukum Acara Perdata dalam Tanya Jawab. (Bogor : Penerbit
Ghalia Indonesia). hal. 86-87

6

c. Pembuktian

positif

ialah

pembuktian

yang

dilaksanakan

untuk

membuktikan sesuatu yang bersifat positif atau ada.
d. Pembuktian negatif ialah pembuktian yang dilaksanakan

untuk

membuktikan sesuatu yang bersifat negatif atau tidak ada (ketiadaan).
Selain itu, pembuktian dilakukan dengan alat-alat bukti yang dapat di
bandingkan alat bukti dalam hukum acara perdata dengan alat bukti hukum acara
pidana sebagai berikut7.
Alat

bukti

Hukum

Alat Bukti Hukum acara Pidana

acara Perdata
(Pasal 164 HIR, 1866 Pasal 295 HIR

Pasal 184 KUHAP

BW)
Tulisan/ surat

Keterangan saksi

Keterangan saksi

Saksi-saksi

Surat-surat

Keterangan ahli

Persangkaan

Pengakuan

Surat

Pengakuan

Petunjuk-petunjuk

Penunjuk

Sumpah

Keterangan terdakwa

Dengan demikian menurut kelompok kami pembuktian adalah penyajian
alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh kedua belah pihak yang bersengketa
kepada hakim untuk memperkuat kebenaran pendapat mereka sehingga hakim
memperoleh kepastian untuk dijadikan dasar putusannya.

B. Hukum Pembuktian
Menurut Abdurrachman8 Hukum pembuktian merupakan bagian daripada
Hukum Acara dan memuat selain autran-aturan tata tertib cara bagaimana kedua
pihak

berperkara

harus

bertindak

dalam

saling

tukar

menukar

konklusi/kesimpulan dan mengajukan bahan-bahan bukti untuk menguatkan
kebenaran pendiriannya masing-masing memuat juga aturan-aturan cara
bagaimana hakim harus bertindak dalam meneliti apakah hubungan hukum yang
7

Sugeng, Bambang. 2012. Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh
Dokumen Litigasi. (Jakarta : Kencana Prenada). hal. 64
8
Abdurrachman. 2008. Hukum Acara Perdata.(Jakarta : Universitas Trisakti). hal. 71

7

diperselisihkan kedua pihak dalam perkara itu berdasarkan dalil-dalil dan bahanbahan bukti yang mereka ajukan benar-benar ada atau tidak untuk kemudian dapat
menetapkan pihak manakah yang dianggap berhasil dalam membuktikan
kebenaran pendiriannya. Dari keterangan

tersebut diatas nyatalah, bahwa

“pembuktian” semata-mata merupakan tugas hakim/Pengadilan dan pembuktian
hanya diperlukan apabila ada perselisihan pendirian antara kedua pihak berperkara
di muka hakim.
Selain itu Effendie dkk menyatakan bahwa hukum pembuktian ialah
hukum yang mengatur tentang macam-macam alat bukti yang sah, syarat-syarat
dan tata cara mengajukan alat bukti dan kewenangan hakim untk menolak serta
menilai hasil pembuktian9. Hukum pembuktian yang terdapat dalam Buku IV
KUHPerdata disusun khusus untuk acara contradictoir dalam bidang hukum harta
kekayaan di hadapan hakim perdata. Untuk acara declaratoir

atau peradilan

volunteer pada dasarnya tidak berlaku hukum pembuktian dari Buku IV
KUHPerdata, melainkan diperiksa secara analogis. Hukum pembuktian terdapat
dalam10:
1. HIR/RBg, yang belaku untuk pulau Jawa dan Madura.
2. RDS atau reglemen daerah seberang, yang berlaku untuk luar Jawa dan
Madura.
3. Buku IV BW yang berjudul pembuktian dan kadaluwarsa.
4. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang merupakan
pembuktian khusus.
Sistem hukum pembuktian yang dianut di Indonesia adalah sistem tertutup
dan terbatas dimana para pihak tidak bebas mengajukan jenis atau bentuk alat
bukti dalam proses penyelesaian perkara11. Undang-undang telah menentukan
secara tegas apa saja yang sah dan bernilai sebagai alat bukti. Pembatasan
kebebasan juga berlaku bagi hakim dimana hakim tidak bebas dan leluasa
menerima apa saja yang diajukan para pihak sebagai alat bukti. Apabila pihak
yang berperkara mengajukan alat bukti diluar ketentuan yang ada didalam
9

10

11

Effendie, Bachtiar, dkk. 2009. Surat Gugatan dan Hukum Pembuktian dalam Perkara
Perdata. (Bandung : Citra Aditya Bakti). Hal. 49.
Nasir, Muhammad. 2005.Hukum Acara Perdata. (Jakarta: Djamban), Hal.140.
Lestari Asri. 2014. Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik yang Dibuat Oleh Notaris Dalam
Pembuktian Perkara Perdata Dipengadilan Negeri Sleman. (Yogyakarta : Universitas
Atma Jaya Yogyakarta). hal. 8

8

undang-undang yang mengatur, hakim harus menolak dan mengesampingkanya
dalam penyelesaian perkara.
C.

Penilaian Pembuktian
Secara umum, hakim bebas untuk melakukan penilaian pembuktian,

sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya. Jadi pembuktian yang
merupakan penilaian terhadap kenyataan yang bersifat judex factie adalah hakim.
Dengan demikian bila perkara tersebut nantinya diteruskan ke kasasi, maka MA
tidak perlu melakukan penilaian pembuktian yang telah pernah. Pada umumnya,
sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, Hakim bebas untuk menilai
pembuktian. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang dapat mengikat Hakim
pada alat-alat bukti tertentu (misalnya alat bukti surat), sehingga Hakim tidak
bebas menilainya. Salah satu contohnya adalah alat bukti surat yang mempunyai
kekuatan pembuktian mengikat bagi Hakim maupun para pihak. Sebaliknya,
pembentuk undang-undang dapat menyerahkan dan memberi kebebasan pada
Hakim dalam menilai pembuktian terhadap alat bukti, misalnya keterangan saksi
yang mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, artinya 31 diserahkan pada
Hakim untuk menilai pembuktiannya, Hakim boleh terikat atau tidak pada
keterangan yang diberikan oleh saksi12.
Ada tiga teori yang lazim digunakan dalam menentukan keterikatan hakim
dan para pihak terhadap UU dalam membuktikan suatu peristiwa di persidangan
yaitu13:
1. Teori pembuktian bebas, dimana adanya kebebas bagi hakim tanpa adanya
ketentuan-ketentuan tertentu yang mengikat hakim, sehingga penilaian
pembuktian tergantung kepada seberapa dapat alat bukti yang diserahkan
kepada hakim tersebut.
2. Teori pembuktian negatif, artinya ketenuan ini harus membatasi pada
larangan terhadap hakim dalam melakukan sesuatu yang berkaitan dengan
pembuktian. Dengan kata lain, hakim di sini dilarang dengan pengecualian
(Pasal 169 HIR, 306 RBg, dan 1905 KUHPerdata).
12

13

Efa Laela Fakhriah, 2013. Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata. Cetakan
ke-2 (Bandung: PT Alumni), hal. 40.
Nasir, Muhammad. 2003. Hukum Acara Perdata. (Jakarta : Djambatan). hal. 145.

9

3. Teori pembuktian positif, teori ini menekankan pada perlunya perintah
terhadap hakim, di samping ada larangan. Di sini hakim diwajibkan, tetapi
D.

dengan syarat (Pasal 165 HIR, 285 RBg, 360 RBg, dan 1870 KUHPerdata).
Beban Pembuktian
Pada Pasal 163 HIR dan Pasal 283 RBg memberikan pedoman tentang

pembagian beban pembuktian. Dalam hal ini dijelaskan bahwa barangsiapa yang
mengaku memiliki suatu hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk
menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, diwajibkan
membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
Pembagian beban pembuktian merupakan tugas Hakim/Pengadilan sematamata, artinya bahwa Hakimlah yang akan menentukan apa yang harus dibuktikan
dan pihak mana yang akan memikul risiko beban pembuktian, maka oleh karena
itu Hakim harus bertindak adil dan menjaga adanya keseimbangan dalam
memberi beban untuk membuktikan, artinya bahwa Hakim dalam memberi beban
pembuktian tidak boleh berat sebelah. Untuk itu maka Hukum Pembuktian telah
menentukan, barang siapa mengaku mempunyai hak atau mengajukan suatu
peristiwa untuk menguatkan pengakuan haknya atau untuk membantah haknya
orang lain, maka orang itu harus membuktikan kebenaran haknya atau peristiwa
yang diajukannya (pasal 163 R.I.B./pasal 283 R.D.S.) dengan alasan, bahwa orang
yang mengemukakan sesuatu hal akan lebih mudah dapat membuktikan hal itu
daripada orang lain. Dalam hal pembuktian, hukum materiil sendiri tidak jarang
sudah menetapkan suatu beban pembuktian, sepertinya14:
1. Pasal 1244 B.W. yang membebankan pembuktian kepada pihak debitur
adanya keadaany yang memaksa.
2. Pasal 1365 B.W. yang membebankan pembuktian kepada sipenuntut ganti
rugi yang disebabkan suatu perbuatan melanggar hukum, adanya
kesalahan.
3. Pasal 1394 B.W. yang berbunyi: “siapa yang menunjukkan tiga kwitansi
terakhir

berturut-turut

dianggap

telah

membayar

semua

cicilan

sebelumnya”.
4. Pasal 1977 B.W. yang berbunyi: “barang siapa yang menguasai benda
bergerak dianggap sebagai pemiliknya”.
14

Abdurrachman. 2008. Hukum Acara Perdata. (Jakarta : Universitas Trisakti). hal. 72-74

10

Ada beberapa ketentuan khusus mengenai beban pembuktian, selain Pasal
163 HIR dan 283 RBg yakni Pasal 533 BW, 535 BW, dan 1244 KUHPerdata.
Menurut Prof.Sudikno Mertokusumo15, mengumakan lima teori pembebanan
pembuktian yang dapat dijadikan pedoman bagi hakim dalam melakukan hukum
pembuktian di pengadilan, yaitu:
1. Teori pembuktian yang bersifat menguatkan
Dasar pertimbangan teori adalah bahwa sesuatu hal yang negatif tidak
mungkin untuk dibuktikan (negative non sunt probanda). Peristiwa negative
tidak dapat menjadi dasar untuk suatu hak, meskipun pembuktiannya
dimungkinkan, sehingga tidak dapat dibebankan kepada seseorang.
2. Teori pembuktian subyektif
Suatu proses perdata bertujuan untuk mempertahankan hukum subyektif.
Barang siapa yang mengaku atau mengemukakan suatu hak, maka ia harus
membuktikannya. Dalam praktik, teori sering menimbulkan ketidak-adilan,
meskipun hal ini dapat diatasi dengan memberikan kelonggoran kepada
hakim untuk mengadakan pengadilan pembabasan pembuktian.
3. Teori hukum obyektif
Seorang penggugat yang mengajukan suatu gugatan berarti ia telah meminta
kepada hakim agar menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif
terhadap peristiwa yang diajukan. Oleh karena itu, penggugat harus
membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan tersebut. Selanjutnya
hakim akan mencari hukum objektif untuk diterapkan pada peristiwa
tersebut. Kelemahan teori ini adalah tidak dapat menjawab persoalanpersoalan yang tidak diatur oleh UU, sehingga teori ini cenderung bersifat
formalitas.
4. Teori hukum publik
Upaya mencari keadilan suatu peristiwa di pengadilan merupakan
kepantingan public. Oleh karena itu, hakim harus diberi wewenang yang
lebih besar untuk mencari kebenaran tersebut. Disamping itu para pihak ada
kewajiban yang bersifat hukum publik yaitu untuk membuktikan dengan
segala macam alat bukti. Kewajiban ini tentunyaharus disertai dengan
sanksi pidana.
5. Teori hukum acara
15

Nasir, Muhammad. 2003. Hukum Acara Perdata. (Jakarta : Djambatan). Hal. 147-149

11

Menutur teori ini, hakim harus membagikan beban pembuktian berdasarkan
kesamaan kkedudukan pihak. Oleh karena itu, hakim harus membagi beban
pembuktian para pihak secara seimbang dan patut.
E.

Alat-alat Bukti
Pembuktian merupakan tahap yang menentukan dalam proses perkara,

karena dari hasil pembuktian dapat diketahui benar atau tidaknya suatu gugatan
atau bantahan. Ahli hukum Subekti berpendapat tentang rumusan bukti dan alat
bukti yakni16 Bukti adalah sesuatu untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil
atau pendirian. Alat bukti, alat pembuktian, upaya pembuktian adalah alat yang
dipergunakan untuk membuktikan dalil-dalil suatu pihak di pengadilan, misalnya:
bukti tulisan, kesaksian, persangkaan, sumpah dan lain-lain. Pendapat serupa juga
disampaikan oleh Ahli Hukum Pidana, Andi Hamzah yang memberikan batasan
pengertian yang hampir sama tentang bukti dan alat bukti yaitu sebagai berikut17:
Bukti adalah sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil, pendirian
atau dakwaan. Alat-alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat yang
diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil, atau dalam perkara
pidana dakwaan di sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa,
kesaksian, keterangan ahli, surat dan petunjuk, dalam perkara perdata
termasuk persangkaan dan sumpah.
Jadi alat-alat bukti adalah bahan-bahan atau macam-macam yang dipakai
untuk pembuktian dalam suatu perkara perdata di depan persidangan pengadilan.
Pada acara perdata, Hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti
bahwa dalam pengambilan keputusan, Hakim harus tunduk dan berdasarkan alatalat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang saja yaitu sebagaimana
diatur dalam Pasal 164 HIR/ 284 RBg dan 1866 KUHPerdata. Di luar Pasal 164
HIR/284 RBg, terdapat alat bukti yang dapat dipergunakan untuk mengungkap
kebenaran terjadinya suatu peristiwa yang menjadi sengketa, yaitu pemeriksaan
setempat (descente) sebagaimana diatur dalam Pasal 153 HIR/180 RBg dan
keterangan ahli (expertise) yang diatur dalam Pasal 154 HIR/181 RBg. Alat bukti
16
17

Subekti, 2003. Kamus Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita), hal. 17.
Andi Hamzah. Kamus Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia), hal. 99.

12

atau yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai evidence, adalah informasi yang
digunakan untuk menetapkan kebenaran fakta-fakta hukum dalam suatu
penyelidikan atau persidangan. Paton dalam bukunya yang berjudul A Textbook of
Jurisprudence, seperti yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo menyebutkan,
bahwa alat bukti dapat bersifat oral, documentary, atau material. Alat bukti yang
bersifat oral, merupakan kata-kata yang diucapkan oleh seseorang dalam
persidangan. Alat bukti yang bersifat documentary, meliputi alat bukti surat atau
alat bukti tertulis. Alat bukti yang bersifat material, meliputi alat bukti berupa
barang selain dokumen18.

1.

Bukti Tertulis (Surat)
Pada asasnya, dalam persoalan perdata alat bukti berbentuk tlisan

merupakan alat bukti yang diutamakan atau alat bukti yang nomor satu
dibandingkan dengan alat bukti lainnya. Alat bukti dengan bentuk tertulis yang
disebut dengan surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang
dimaksud untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran
seseorang dan digunakan sebagai pembuktian 19. Alat bukti surat ini bahannya
biasanya terbuat dari kertas, karton, kain dan huruf yang digunakan bisa latin,
cina, arab, kanji, sansekerta. Alat bukti surat sering disebut dengan akta dan hal ini
diatur dalam Pasal 138 dan 165 – 176 HIR, Pasal 285 – 305 RBg, Pasal 1867 –
1894 KUHPerdata, Pasal 138 – 147 Rv, serta Ordonansi 1867 Nomor 29
mengenai ketentuan-ketentuan tentang kekuatan pembuktian daripada tulisantulisan di bawah tangan dari orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan
dengan mereka. Pada praktiknya, alat bukti surat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Akta Otentik
Menurut Pasal 286 RBg/165 HIR akta Otentik adalah suatu surat yang
dibuat menurut ketentuan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat
umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang
18
19

Sudikno Mertokusumo. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi enam (Yogyakarta:
Liberty). hal. 120.
Samudera, Teguh. 2004. Hukum Pembuktian dalam acara perdata. (Bandung : PT.
Alumni). Hal. 36.

13

cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang
mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang tersebut dalam surat
itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai
pemberitahuan saja tetapi yang tersebut kemudian hanya sekedar
diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan
dalam akta tersebut” Pejabat publik yang diberi wewenang oleh undangundang untuk membuat Akta Otentik, antara lain notaris, pegawai catatan
sipil, panitera pengadilan, dan juru sita. Di dalam melakukan
pekerjaannya, pejabat publik yang bersangkutan terikat pada syarat dan
ketentuan

undang-undang

mempercayai

keabsahan

sehingga
hasil

merupakan

pekerjaannya. Akta

jaminan
Otentik

untuk
dapat

diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu akta ambtelijk dan akta partij
(partai) yakni20 :
Akta ambtelijk adalah akta otentik yang dibuat oleh pejabat publik
yang diberi wewenang untuk itu, dimana dia menerangkan apa
yang dilihat, didengar, dan dilakukannya. Contoh: akta catatan
sipil, akta protes pada wesel, akta sertifikat kelulusan jenjang
pendidikan negeri. Akta partai adalah akta yang dibuat di hadapan
pejabat publik, yang menerangkan apa yang dilihat, didengar, dan
dilakukannya dan pihak-pihak yang berkepentingan mengakui
keterangan dalam akta tersebut dengan membubuhkan tanda tangan
mereka. Contohnya: akta jual beli tanah di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang sering di pakai sebagai sertifikat
tanah yang diterbitkan oleh kantor pemerintahan kabupaten/kota
setempat yang berwewenang untuk menandatangani sertifikat21,
akta pernikahan, dan akta pendirian perseroan terbatas.
b. Akta dibawah tangan
Akta dibawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian
oleh para pihak tanpa pejabat umum. Misalnya kuitansi dan perjanjian
20

21

Abdulkadir, Muhammad. 2008. Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra
Aditya Bakti). hal. 132.
Santoso. Urip. 2015. Perolehan Hak atas Tanah. (Jakarta : Kencana). hal. 162

14

sewa menyewa. Pengertian akta bawah tangan adalah sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 1874 KUHPerdata, Pasal 286 RBg. Menurut
pasal tersebut, akta dibawah tangan22:
-

Tulisan atau akta yang ditandatangani di bawah tangan;

-

Tidak dibuat dan ditandatangani di hadapan pejabat yang berwenang
(pejabat umum), tetapi dibuat sendiri oleh seseorang atau para pihak;

-

Secara khusus ada akta bawah tangan yang bersifat partai yang dibuat
oleh paling sedikit dua pihak.

c. Surat bukan akta
Surat bukan akta ialah setiap surat yang tidak sengaja dijadikan bukti
tentang suatu peristiwa dan atau tidak ditandatangani oleh pembuatnya.
Walaupun tulisan atau surat-surat yang bukan akta ini sengaja di buat oleh
yang bersangkutan, tapi pada dasarnya tidak dimaksudkan untuk alat bukti
dikemudian hari. Misalnya register-register dan surat rumah tangga.
2.

Bukti Saksi
Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 139 – 152 dan Pasal 162 – 172 HIR,

Pasal 165 – 179 dan Pasal 306 – 309 RBg, serta Pasal 1895 dan Pasal 1902 – 1908
KUHPerdata. Tidak selamanya sengketa perdata dapat dibuktikan dengan alat
bukti tulisan atau akta. Bahwa pembuktian dengan saksi dalam perkara perdata di
muka hakim diperkenankan dapat disimpulkan dari ketentuan dalam pasal 139 (1)
R.I.B yang berbunyi:
“Jika penggugat atau tergugat akan menguatkan kebenarannya dengan
saksi-saksi, akan tetapi saksi-saksi tidak dapat dibawa menurut pasal 121
R.I.B /pasal 145 R.D.S karena mereka tidak amu menghadap atau oleh
sebab lain, maka pengadilan menentukan hari siding kemudian untuk
memeriksa saksi itu dengan memerintahkan seorang pejabat yang
berwenang untuk memanggil saksi tersebut supaya menghadap pada hari
yang ditentukan”
Pada azasnya pembuktian dengan saksi baru diperlukan apabila bukti
dengan surat (tertulis) tidak ada (kurang lengkap) untuk mendukung dan
22

Asikin, Zainal. 2015. Hukum Acara Perdata Di Indonesia. (Jakarta : Prenadamedia
Group). hal. 125

15

menguatkan kebenaran dalil-dalil yang menjadi dasar pendiriannya para pihak
berperkara masing-masing. Saksi-saksi itu ada yang secara kebetulan melihat atau
mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan kebenarannya di muka hakim,
tetapi ada pula saksi-saksi yang sengaja diminta untuk datang menyaksikan suatu
perbuatan hukum yang sedang dilangsungkan, seperti: saksi diminta datang untuk
menyaksikan akad nikah atau pembagian warisan dan sebagainya23.

3.

Bukti Persangkaan
Persangkaan ialah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah

ada dan terbukti kenyataannya ke arah suatu peristiwa lain yang belum ada dan
belum terbukti kenyatannya misalnya: Dalam suatu gugatan perceraian yang
didasarkan atas alasan “perzinahan” biasanya sukar sekali pembuktiannya, karena
pada umumnya tidak mudah, bahkan tidak mungkin untuk mendapatkan saksi
yang melihat sendiri perbuatan zinah itu. Untuk dapat membuktikan peristiwa
perzinahan seperti tersebut di atas perlu sekali hakim menggunakan alat bukti
“persangkaan”. Menurut yurisprudensi yang sudah tetap, maka apabila sudah
dapat “dibuktikan” kenyatannya, bahwa adanya dua orang pria dan wanita, yang
bukan merupakan suami istri telah bersama-sama menginap dalam satu kamar
tidur, di mana hanya terdapat satu tempat tidur saja, sudah terdapat “persangkaan”
(kesimpulan yang ditarik dari peristiwa tersebut di atas, yang sudah terbukti
kenyataannya), bahwa mereka melakukan perzinahan. Cara pembuktian yang
sedemikian itu merupakan cara pembuktian yang ‘tidak langsung” artinya cara
pembuktian yang harus melalui perantaranya pembuktian kenyataannya peristiwaperistiwa lain. Dan yang berhak menarik kesimpulan tersebut hingga terdapatnya
“persangkaan” hanyalah hakim atau undang-undang24.
4.

Bukti Pengakuan
Dimasukkannya

“pengakuan”

dalam

golongan

alat-alat

bukti

menimbulkan berbagai pendapat dikalangan para ahli hukum. Ada yang
23
24

Abdurrachman. 2008. Hukum Acara Perdata.(Jakarta : Universitas Trisakti). hal. 82
Abdurrachman. 2008. Hukum Acara Perdata.(Jakarta : Universitas Trisakti). hal. 87-88.

16

berpendapat dikalangan para ahli hukum. Ada yang berpendapat, bahwa
sebenarnya tidak tepatlah untuk memasukkan “pengakuan” dalam golongan alatalat bukti, karena justru apabila dalil-dalil yang dikemukakan oleh satu pihak
diakui kebenaranoleh pihak lawan, maka yang mengemukakan dalil-dalilnya, atau
dalam kata-kata lain ia dibebaskan dari pembuktian (Prof. R. Subekti,S.H dalam
bukunya yang berjudul “Hukum Pembuktian”). Di samping itu ada pula yang
berpendapat, bahwa sudah tepatlah “pengakuan” dimasukkan dalam golongan
alat-alat bukti, karena menurut suatu pernyataan oleh salah satu pihak yang
berperkara dalam proses, suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring), sehingga
dengan demikian pengucapan pengakuan itu di muka hakimmerupakan suatu
perbuatan hukum(rechtshadeling), suatu perbuatan hukum yang menentukan
secara mutlak (beschikkingshandeling) dan oleh sebab itu maka mereka
berpendapat bahwa “pengakuan” yang diucapkan di muka hakimmerupakan alat
bukti yang menentukan dan hanya berlaku terhadap hal-hal yang dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang mengakui, misalnya :terhadap hak-hak kebendaan
(vermogensrechtrn) yang dimiliki sendiri atau yang perbuatan yang dilakukan
sendiri olehnya (Prof.Scholten dan Land Enggens)25.
5.

Bukti Sumpah
Dalam rangkaian alat-alat bukti yang tercantum dalam pasal 164

R.I.B/pasal 284 R.D.S. maka “sumpah” merupakan alat bukti yang kelima.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama dalam perkara perdata “sumpah”
yang diucapkan oleh salah satu pihak berperkara dipakai juga sebagai alat
pembuktian. Dalam hukum acara perdata kita jumpai adanya dua macam sumpah,
yaitu26:
a) Sumpah tambahan/penambah (suppletoire eed) diatur dalam pasal 155
R.I.B/pasal 182 R.D.S. merupakan suatu “sumpah” yang diperintahkan
oleh hakim kepada salah satu pihak berperkara dalam keadaan Apabila
kebenaran tuntutan penggugat atau kebenaran bantahan/penyangkalan
yang diajukan oleh tergugat terhadap tuntutan penggugat belum cukup
25
26

Abdurrachman. 2008. Hukum Acara Perdata.(Jakarta : Universitas Trisakti). hal. 90-91.
Abdurrachman. 2008. Hukum Acara Perdata.(Jakarta : Universitas Trisakti). hal. 96-97.

17

terbukti menurut hukum, tetapi sebaliknya tidak juga sepi dari adanya
bukti-bukti, artinya sudah ada sedikit bukti sebagai bukti permulaan (begin
van bewijs) dan sama sekali tidak ada jalan untuk menguatkannya dengan
alat bukti lain, maka hakim karena jabatannya (ambtshalve), dapat
memerintahkan salah satu pihak berperkara bersumpah dihadapannya
sebagai bukti tambahan, sehingga atas dasar sumpah tambahan tersebut
perkaranya

dapat

diputus

atau

dapat

ditentukan

jumlah

uang

yangdikabulkan. Tentang penilaian kekuatan pembuktian dari alat-alat
bukti yang sudah ada dan penentuannya sebagai permulaan pembuktian
termasuk wewenangya hakim pun siapa dari kedua pihak berperkara yang
akan diperintahkan untuk melakukan sumpah tambahan termasuk
wewenang dan kebijaksanaannya hakim yang memeriksa perkara itu.
b) Sumpah pemutus/penentu (litis deciore eed) yang diatur dalam pasal 156
R.I.B/pasal 183 R.D.S. merupakan sumpah yang dibebankan oleh pihak
yang satu kepada pihak lawan untuk menggantungkanpenyelesaian
perkaranya. “Sumpah pemutus/penentu” dapat dibebankan kepada pihak
lawan mengenal segala persengketaan dan pada setiap waktu selama
pemeriksaan perkara itu di pengadilan, jadi dapat dibebankan pada waktu
permulaan perkara itu diperiksa oleh pengadilan, atau pada waktu saling
tukar menukar kesimpulan/konklusi, bahkan dapat juga pada waktu
perkara akan diputus. Menurut kebiasaannya “sumpah pemutus”
dibebankan oelh pihak yang berkewajiban membuktikan kebenaran dalildalilnya, tetapi tidak mempunyai alat bukti apapun, kepada pihak lawan.
Isi “sumpah pemutus” dirumuskan sendiri oleh pihak yang hendak
membebankannya dan harus memuat perbuatan yang dilakukannya sendiri
oleh pihak yang dibebani sumpah itu dan harus meliputi seluruh peristiwa
yang menjadi perselisihan/sengketa dalam perkara itu sehingga sumpah
tersebut dapat menyelesaikan perkaranya secara tuntas (litis decisoire eed).
Oleh karena kelima macam bukti di atas dapat digunakan sebagai alat bukti,
maka peraturan perundangan mengatur cara pembuatan, penggunaan, dan

18

kekuataanya (nilainya) sebagai alat bukti. Menurut Rasaid 27, dalam praktek masih
ada satu macam bukti lain yang sering dipergunakan, yaitu pengetahuan Hakim,
adalah hal atau keadaan yang diketahuinya sendiri oleh Hakim dalam sidang,
misalnya Hakim melihat sendiri pada waktu melakukan pemeriksaan setempat.

F. Pemeriksaan Perdata
Pemeriksaan perdata dalam sidang, menurut ketentuan sistem reglemen
Indonesia berjalan secara lisan. Hakim mendengar kedua belah pihak, dan kedua
pihak tersebut memajukan segala sesuatu secara lisan, sedangkan panitera
pengadilan

mencatan

segala

pemerikasaan

dalam

sutu

catatan

sidang

(procesverbaal). Menurut pasal 132 Reglemen Indonesia, Hakim akan
memberikan penerangan selayaknya kepada kedua belah pihak dan akan
memperingatkan mereka tentang syarat-syarat hukum dan alat-alat bukti yang
dipergunakannya. Diantara tindakan hakim dalam pemeriksaan perkara, yang
penting ialah pemanggilan dan pendengaran saksi. Untuk tahapan dalam
pemeriksaan perdata akan dijelaskan dalam bagan berikut28.

27

28

Rasaid, M. Nur. 2005. Hukum Acara Perdata. (Jakarta : Sinar Grafika). hal. 37
Arto, H.A.Mukti. 2000. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama.
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar). hal. 85

19

Bagan Tahap-Tahap Pemeriksaan Perdata

Majelis Hukum

Penggugat

I

Upaya Damai

Pembedaan
Gugatan

Tergugat

II

III

Jawaban
Tergugat

IV

Replik

Duplik

V

Pembuktian Dari
Penggugat & Tergugat

VI

Kesimpulan Oleh
Penggugat & Tergugat
VII

Putusan Hakim

20

Keterangan :
1. Pada siding upaya perdamaian maka inisiatif perdamaian dapat timbul
dari hakim, penggugat atapun tergugat. Hakim harus secara aktif dan
sungguh-sungguh untuk mendamaikan para pihak. Apabila ternyata upaya
damai tidak berhasil, maka siding dapat dilanjutkan ke tahap pembacaan
gugatan.
2. Pada tahap pembacaan gugatan, maka pihak penggugat berhak meneliti
ulang apakah seluruh materi (dalil gugat dan petitum) sudah benar dan
lengkap. Hal-hal yang tercantum dalam surat gugat itulah yang menjai
acuan (obyek) pemeriksaan dan pemeriksaan tidak boleh keluar dari ruang
lingkup yang memuat dalam surat gugatan.
3. Pada tahap jawaban ini, pihak tergugat diberi kesempatan untuk membela
diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap penggugat melalui
hakim.
4. Pada tahap replik, penggugat dapat menegaskan kembali gugatannya yang
disangkal oleh tergugat dan juga mempertahankan diri atas seranganserangan oleh tergugat.
5. Pada tahap duplik, maka tergugat dapat menjelaskan kembali jawabannya
yang disangkal oleh penggugat. Replik dan duplik dapat diulang-ulang
sehingga hakim memandang cukup untuk itu yang kemudian dilanjutkan
dengan pembuktian.
6. Pada tahap pembuktian, maka penggugat mengajukan semua alat-alat
bukti untuk mendukung dalil-dalil gugat. Demikian pula tergugat juga
mendukung jawabannya (sanggahannya). Masing-masing pihak berhak
menilai alat bukti pihak lawannya.
7. Pada tahap kesimpulan, maka masing-masing pihak (penggugat dan
tergugat) mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan.
8. Pada tahap putusan, maka hakim menyampaikan segala pendapatnya
tentang perkara itu dan menyimpulkannya dalam amar putusan. Putusan
hakim untuk mengakhiri sengketa.
II. PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian

21

Data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini berupa data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung oleh peneliti
sebagai sumber pertamanya, melalui prosedur dan teknik pengambilan data
berupa wawancara di Pengadilan Negeri medan. Yang menjadi responden dalam
wawancara ini adalah Didik Setyo Handono, S.H, M.H yang merupakan hakim
Penitera muda bagian Perdata. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka,
literatur terkait, jurnal dan internet. Hasil penelitian yang diperoleh oleh kelompok
kami dimana lokasi penelitian berada di Pengadilan Negeri Medan Jln. Pengadilan
No. 8 Medan Petisah pada tanggal 1 Maret 2016. Hasil perolehan data yang kami
peroleh adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana menurut Bapak mengenai prinsip hukum acara perdata, siapa yang
mengajukan dalilnya maka dia harus membuktikan dalilnya dengan membawa
alat bukti dan pembuktian ke pengadilan?
Jawaban: Iya, itu terdapat dalam ketentuan pasal 1865 KUHPerdata yang
berbunyi “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai
sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun
membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa,
diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”. Jadi
dalam hal pengajuan dalil, maka penggugat harus membuktikan
dalilnya tersebut dengan membawa bukti-bukti.
2. Apakah ada penggugat yang hanya mengucapkan dalilnya saja tanpa membawa
alat bukti yang valid?
Jawaban: Tidak ada, karena semuanya harus mengajukan bukti. Sama seperti
yang dikemukakan di atas harus berpedoman kepada pasal 1865
KUHPerdata.
3. Dalam suatu perkara gugatan, bukti seperti apakah yang paling inti atau kuat
dalam suatu persidangan?
Jawaban: Alat bukti yang paling kuat itu yang pertama adalah surat (bukti
tertulis) yang asli agar lebih dipertimbangkan oleh hakim, dan yang
kedua adalah saksi ahli yaitu berbeda dengan saksi biasa yang dilihat
itu berdasarkan keahliannya. Dan sumpah bukanlah suatu bukti,
melainkan sumpah itu terikat dengan saksi, dan setiap orang yang
jadi saksi itu disumpah dan dilihat apakah dia ada hubungan kerabat
22

dengan si penggugat, kalau ada maka yang jadi saksi tersebut tidak
akan diperbolehkan, terkecuali bila dia memaksa maka akan diberi
keterangan. Hal ini dikhawatirkan akan memberikan kesaksian palsu
yang lebih mendukung keluarganya. Dan keterangan saksi tanpa
sumpah itu tidak memiliki kekuatan pembuktian yang mutlak dan
hanya menambah bukti semata.
4. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses pemeriksaan
perdata dalam perkara perdata?
Jawaban: Waktu yang dibutuhkan dalam proses persidangan itu dilihat dari
lokasinya, jika lokasinya berada di Medan maka waktunya maksimal
1 minggu, sedangkan bagi daerah di luar Medan itu maksimal 3
minggu. Hal ini dikarenakan pemberian waktu untuk lokasi si
penggugat dan si tergugat.
5. Bagaimana jika seorang tergugat/penggugat

tidak

menghadiri

suatu

persidangan?
Jawaban: Bagi si penggugat yang tidak menghadiri persidangan sebanyak dua
kali, maka gugatan tersebut akan gugur. Sedangkan bagi yang
tergugat apabila tidak memenuhi panggilan sebanyak dua kali, maka
ia akan ditinggal dan dianggap mengabaikannya serta kemenangan
akan mutlak pada penggugat. Dan apabila kedua belah pihak hadir,
maka akan dilakukan mediasi (pendamaian), maka kalau tidak bisa
didamaikan maka akan berlanjut pada proses seperti pembacaan
gugatan, jawaban, pembuktian oleh kedua belah pihak serta
kesimpulan berupa putusan hakim. Dan tenggang waktunya 5 bulan
untuk persidangan tersebut.
6. Dari sekian banyaknya orang yang berperkara, apakah ada yang berakhir
dengan cara mediasi (pendamaian) tersebut?
Jawaban: Tentunya ada. Akan tetapi tidak banyak atau sangat kecil
persentasinya,

karena

biasanya

penggugat

yang

membawa

perkaranya ke pengadilan telah melakukan meditasi oleh warga
setempat tetapi tidak mendapatkan hasil yang baik. Dalam pengajuan
perkara ke pengadilan ada juga dari pihak penggugat yang mencabut

23

gugatannya tersebut. Dalam pencabutan gugatan apabila belum
sampai pada jawaban oleh tergugat maka boleh langsung dicabut
gugatannya. Tetapi, apabila telah sampai pada tahap jawaban
diterima oleh tergugat, maka penggugat harus mendapatkan izin dari
tergugat.
7. Bagaimanakah cara melihat bahwa suatu bukti yang diajukan dalam
persidangan itu palsu?
Jawaban: Itu dapat dilihat sepanjang ada aslinya bukti tersebut, dan apabila
tidak ada yang menyatakan bahwa bukti itu palsu maka kita dapat
mempercayai bukti tersebut. Dan kalaupun ada bukti yang diduga
kuat palsu, maka harus dibuktikan kebenarannya.
8. Berapa jumlah minimal alat bukti yang harus dibawa dalam persidangan?
Jawaban : Minimal bukti yang harus dibawa dalam persidangan ialah suratsurat asli dan saksi yang telah di ambil sumpahnya. Dalam
pengambilan sumpah tersebut harus diperhatikan pula dengan ikatan
kekerabatan dengan yang bersengketa.
9. Berapakah batasan umur bagi orang yang akan dijadikan sebagai saksi yang
dapat disumpah?
Jawaban: Adapun batasan umur bagi saksi yang akan disumpah itu minimal
genap berumur 15 tahun, dalam keadaan sehat baik itu jasmani dan
rohaninya.
10. Apakah kendala yang dihadapi pada pemeriksaan dalam persidangan perkara
perdata di Pengadilan Negeri Medan ini?
Jawaban: Kendala yang sering dihadapi itu ialah dari pihak pengunjung
yang tidak disiplin waktu menghadiri persidangan, karena sering
membuat para hakim terganggu dan hilang konsentrasinya
dalam memutus perkara tersebut. Sedangkan kendala dari pihak
penggugat/tergugat ialah ketidakpahaman mereka terhadap apa
yang disampaikan oleh hakim.
11. Perkara dalam Perdata apasaja yang paling sering diajukan ke Pengadilan
Negeri Medan?
Jawaban: Perkara yang sering diajukan adalah perkara melawan hukum,
perceraian dan Merek. Dalam hal perceraian untuk agama Islam

24

dilakukan di Pengadilan Agama dan pada agama non Islam yaitu
Kristen, Hindu, Budha, Katolik dan Konghuchu.

2. Analisis Hasil Penelitian
Pembuktian merupakan tahap yang khas dan menentukan pemenang perkara
dalam sengketa Perdata. Dalam acara pembuktian, para pihak mengajukan
peristiwa-peristiwa dan fakta-fakta yang menjadi dasar bagi gugatan penggugat
atau jawaban dari tergugat. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh dari
narasumber, pada pembuktian dalil oleh penggugat seperti yang terdapat dalam
ketentuan pasal 1865 KUHPerdata yang berbunyi “Setiap orang yang mendalilkan
bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun
membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan
membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut” telah terlaksana dengan baik di
Pengadilan Negeri Medan. Hal ini dapat dilihat tidak adanya penggugat yang
tidak membawa barang bukti ke pengadilan saat membuat gugatan. Dalam
pembuktian tersebut alat bukti yang paling kuat adalah alat bukti tertulis yang asli
dan saksi. Saksi yang diutamakan adalah saksi yang memiliki keahlian khusus
sesuai dengan sengketa serta tersebut harus membuat sumpah sebelum di dengar
pernyataannya dan dipertimbangkan oleh hakim. Berdasarkan kajian teori tentang
sumpah, pernyataan dari narasumber bahwa sumpah bukanlah alat bukti
melainkan pendamping dalam persangkaan. Setiap orang yang jadi saksi itu
disumpah dan dilihat apakah dia ada hubungan kerabat dengan si penggugat,
kalau ada maka yang jadi saksi tersebut tidak akan diperbolehkan, terkecuali bila
dia memaksa maka akan diberi keterangan tetapi hanya sebagai bahan
pertimbangan hakim. Hal ini dikhawatirkan akan memberikan kesaksian palsu
yang lebih mendukung keluarganya. Dan keterangan saksi tanpa sumpah itu tidak
memiliki kekuatan pembuktian yang mutlak dan hanya menambah bukti semata.
Waktu yang dibutuhkan dalam proses persidangan itu dilihat dari lokasinya,
jika lokasinya berada di Medan maka waktunya maksimal 1 minggu, sedangkan
bagi daerah di luar Medan itu maksimal 3 minggu. Hal ini dikarenakan pemberian

25

waktu untuk lokasi si penggugat dan si tergugat. Bagi si penggugat yang tidak
menghadiri persidangan sebanyak dua kali, maka gugatan tersebut akan gugur.
Sedangkan bagi yang tergugat apabila tidak memenuhi panggilan sebanyak dua
kali, maka ia akan ditinggal dan dianggap mengabaikannya serta kemenangan
akan mutlak pada penggugat. Dan apabila kedua belah pihak hadir, maka akan
dilakukan mediasi (pendamaian), maka kalau tidak bisa didamaikan maka akan
berlanjut pada proses seperti pembacaan gugatan, jawaban, pembuktian oleh
kedua belah pihak serta kesimpulan berupa putusan hakim. Dan tenggang
waktunya 5 bulan untuk persidangan tersebut.
Dalam hal pendamaian (meditasi) Akan tetapi tidak banyak atau sangat kecil
persentasinya, karena biasanya penggugat yang membawa perkaranya ke
pengadilan telah melakukan meditasi oleh warga setempat tetapi tidak
mendapatkan hasil yang baik. Dalam pengajuan perkara ke pengadilan ada juga
dari pihak penggugat yang mencabut gugatannya tersebut. Dalam pencabutan
gugatan apabila belum sampai pada jawaban oleh tergugat maka boleh langsung
dicabut gugatannya. Tetapi, apabila telah sampai pada tahap jawaban diterima
oleh tergugat, maka penggugat harus mendapatkan izin dari tergugat. Adapun
batasan umur bagi saksi yang akan disumpah itu minimal genap berumur 15
tahun, dalam keadaan sehat baik itu jasmani dan rohaninya.
3. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa alat
bukti sebagai kekuatan pemeriksaan perdata sangat dibutuhkan dalam perkara
perdata dan dapat menentukan pemenang dalam perkara perdata. Dalam acara
pembuktian, para pihak mengajukan peristiwa-peristiwa dan fakta-fakta yang
menjadi dasar bagi gugatan penggugat atau jawaban dari tergugat. Dalam
pembuktian tersebut alat bukti yang paling kuat adalah alat bukti tertulis yang asli
dan saksi. Saksi yang diutamakan adalah saksi yang memiliki keahlian khusus
sesuai dengan sengketa serta tersebut harus membuat sumpah sebelum di dengar
pernyataannya dan dipertimbangkan oleh hakim. Sedangkan alat bukti sumpah

26

bukan sebagai alat bukti tetapi hanya digunakan sebagai pendamping dalam
persangkaan.
Tujuan Pembuktian bermakna memberikan kepastian kepada hakim
terhadap dalil atau peristiwa tertentu yang diajukan oleh para pihak dalam suatu
perkara. Selanjutnya hakim akan menggunakan dalil dan peristiwa tersebut untuk
dikostatir, diakualifisir, dan dikonstitutir, sehingga menjadi dasar putusan yang
akan dijatuhkan. Jadi, alat bukti dalam pemeriksaan perdata dapat menjadi
kekuatan dalam memenangkan suatu perkara perdata sehingga alat bukti harus
merupakan alat bukti yang asli. Berdasarkan kesimpulan tersebut, sebaiknya alat
bukti harus dipergunakan dalam pemeriksaan perkara perdata agar dapat
menunjukkan bahwa perkara perdata yang sedang diperiksa menemukan titik
terang atau petunjuk dalam hal pemeriksaan perkara perdata. Selain itu juga,
dengan adanya alat bukti dapat menentukan pemenang perkara perdata antara
penggugat ataupun tergugat.

27

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir, Muhammad. (2008). Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Abdurrachman. (2008). Hukum Acara Perdata. Jakarta : Universitas Trisakti.
Agustiningsih, Dwi. (2008). Analisis kekuatan pembuktian keputusan desa dalam
Proses pemeriksaan sengketa perdata (studi kasus di pengadilan negeri
sragen). Surakarta : Universitas Sebelas Maret.
Arto, H.A.Mukti. (2000). Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
As’adi, Edi. (2012). Hukum acara perdata dalam perspektif Mediasi (ADR) di
Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Asikin, Zainal. (2015). Hukum Acara Perdata Di Indonesia. Jakarta :
Prenadamedia Group.
Efa Laela Fakhriah. (2013). Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata.
Cetakan ke-2 (Bandung: PT Alumni).
Effendie, Bachtiar, dkk. (2009). Surat Gugatan dan Hukum Pembuktian dalam
Perkara Perdata. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Halim, A. Ridwan. (2005). Hukum Acara Perdata dalam Tanya Jawab. Bogor :
Penerbit Ghalia Indonesia.
Lestari Asri. (2014). Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik yang Dibuat Oleh Notaris
Dalam Pembuktian Perkara Perdata Dipengadilan Negeri Sleman.
Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Nasir