Peran Indonesia Sebagai Mediator Dalam K

Peran Indonesia Sebagai Mediator Dalam Konflik Asimetris Di Libya

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Individu Dalam
Mata Kuliah Politik Islam Global

Oleh:
Muhammad Darmawan Ardiansyah
NIM: 1112113000007

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014/2015

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Tiga tahun lalu, telah terjadi pergolakan politik di wilayah Timur Tengah dan Afrika
Utara. Pergolakan politik terjadi akibat ketidakpuasan masyarakat di wilayah tersebut
terhadap pemerintahan yang otoriter. Peristiwa ini lebih dikenal dengan Arab Spring1, yang
dimana pergolakan politik di suatu negara mempengaruhi kondisi politik di negara

sekitarnya, sehingga menyebabkan kekacauan politik yang berujung pada revolusi masif di
wilayah semenanjung Arab dan sekitarnya.
Salah satu konflik paling berdarah akibat peristiwa ini terjadi di Libya pada saat
pemerintahan Moammar Qadhafi berkuasa. Konflik Libya berawal dari adanya demonstrasi
besar-besaran menuntut dibebaskannya Fathi Terbil yang merupakan seorang pengacara dan
aktivis HAM.2 Selain itu, para demonstran juga menuntut penegakan HAM, demokrasi, serta
lengsernya rezim Qadhafi dari pemerintahan. Akan tetapi, demonstrasi yang terjadi pada
tanggal 15 Februari 2011 tersebut berubah menjadi ajang kerusuhan, dimana terjadi
bentrokan antara para demonstran dengan aparat.
Tindakan represif pemerintah Libya terhadap para demonstran yang berujung pada
jatuhnya korban jiwa menjadi awal dari cerita kejatuhan rezim Qadhafi. Pada tanggal 17
Februari 2011,3 rakyat Libya menyatakan bahwa tanggal tersebut menjadi “Hari Kemarahan”,
dimana seluruh rakyat Libya bersatu padu dalam menggulingkan rezim Qadhafi yang otoriter.
Sejak saat itulah terjadi perang saudara antara pihak sipil dan oposisi melawan pihak yang
pro rezim Qadhafi.
Perang yang tidak seimbang menimbulkan korban jiwa sangat banyak di pihak sipil dan
oposisi. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari masyarakat internasional terhadap kekejaman
rezim Qadhafi membantai rakyatnya sendiri. Sejak saat itu AS dan aliansi militernya
mengirimkan pasukan dan mendirikan pangkalan militer di kota Benghazi dan Tobruk yang
telah jatuh ke tangan oposisi.4


1 Primoz Manfreda,”Definition of the Arab Spring,” http://middleeast.about.com/. Diakses pada tanggal 30
Desember 2014, pukul 13:20.
2 Chris McGreal,”Dispatch from Libya: the courage of ordinary people standing up to Gaddafi,”
http://www.theguardian.com/. Diakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 13:24.
3 Salah Nasrawi,”Libya Protests: Anti-Government Protesters Killed During ‘Day of Rage’,”
http://www.huffingtonpost.com/. Diakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 13:28.
4 Yuli,”Pasukan AS disiagakan dekat Libya,” http://internasional.kompas.com/. Diakses pada tanggal 30
Desember 2014, pukul 13:36.

Semakin buruknya kondisi Libya dari hari ke hari menimbulkan keprihatinan yang
sangat mendalam di benak masyarakat internasional. Keprihatinan masyarakat internasional
mendapat respon dari dewan keamanan PBB. Akhirnya pada tanggal 17 Maret 2011 dewan
keamanan PBB mengeluarkan sebuah resolusi sebagai respon terhadap kondisi yang sedang
terhadap di Libya.5
Sejak dikeluarkannya Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1973 memberikan
legitimasi yang sah terhadap pihak asing untuk melakukan intervensi kemanusiaan di Libya.
NATO menjadi kendaraan bagi pihak asing dalam melakukan operasi yang dinamakan
“Operation Unified Protector”. Sejak saat itu rezim Qadhafi mendapat serangan yang masif
dari darat, laut, dan udara.6 Dikeluarkanya resolusi tersebut sebagai tindak lanjut dari

Resolusi Dewan Keamanan No. 1970 yang kurang efektif dalam menekan rezim Qadhafi
untuk menghentikan tindakan represifnya.7
Tindakan PBB dalam melegitimasi intervensi asing melalui NATO menimbulkan
permasalahan tersendiri. Seharusnya dengan adanya intervensi kemanusiaan di Libya oleh
pihak asing memberikan harapan baru untuk menatap masa depan yang lebih baik. Akan
tetapi, pada kenyataanya sejak kejatuhan rezim Qadhafi tiga tahun yang lalu, kondisi Libya
belum menunjukkan tanda-tanda menuju rekonstruksi ulang secara signifikan, baik secara
sosial maupun politik.
Bahkan, yang terjadi adalah persaingan dalam memperebutkan kekuasaan. 8 Persaingan
ini terjadi antara pihak-pihak yang sebelumnya tergabung dalam oposisi melawan rezim
Qadhafi. Perpecahan internal yang terjadi dalam kubu oposisi menambah daftar panjang
penderitaan rakyat Libya pasca lengsernya Qadhafi dari kursi pemerintahan. Padahal
seharusnya pihak-pihak tersebut bersatu untuk membangun kembali Libya pasca perang
saudara tersebut.
Keberhasilan intervensi NATO dalam menjatuhkan rezim Qadhafi menyebabkan
kekosongan pemerintahan di Libya. Kekosongan politik memberikan kesempatan bagi pihakpihak yang haus kekuasaan untuk mengisi kekosongan tersebut. Hal ini mengakibatkan
5 The Guardian Reporter,”UN security council resolution 1973 on Libya,” http://www.theguardian.com/. Diakses
pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 13;39.
6 Simon Rogers,”NATO operations in Libya: data journalism breaks down which country does what,”
http://www.theguardian.com/. Diakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 13:42.

7 Simon Adams,”Emergent Powers: India, Brazil, South Africa and R2P,” http://www.huffingtonpost.com/.
DIakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 13:45.
8 Muhaimin,”Semakin Kacau, Libya Bisa Menjadi Suriah kedua,” http://international.sindonews.com/. Diakses
pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 13:48.

perpecahan di pihak oposisi, yang berujung pada perang saudara baru pasca jatuhnya rezim
Qadhafi. Terbukti intervensi asing (militer) tidak selalu memberikan efek yang baik terhadap
penyelesaian sebuah konflik. Malah yang terjadi adalah menimbulkan konflik baru seperti
yang terjadi di Libya saat ini.
B. Kerangka Metodologis.
Dalam makalah ini, penulis menggunakan perspektif resolusi konflik. Adapun resolusi
konflik itu sendiri adalah metode dan proses penyelesaian konflik dengan cara yang damai. 9
Dengan kata lain, resolusi konflik merupakan sebuah cara dimana pihak yang sedang bertikai
mencoba untuk menyelesaikan konflik dengan cara mengkomunikasikan satu sama lain
mengenai perbedaan kepentingan yang mereka miliki, dengan berbagai bentuk cara dan
prosedur penyelesaian konflik yang sudah ditetapkan. Seperti negosiasi, diplomasi, mediasi
dan tahapan-tahapan dalam membangun sebuah perdamaian. Hal ini dilakukan untuk
menyelesaikan konflik dengan cara yang efektif dan efisien tanpa harus melakukan kontak
fisik seperti peperangan.
Selanjutnya, untuk menganalisa permasalahan ini penulis menggunakan metode

mediasi sebagai media/alat dalam menyelesaikan sebuah konflik. Pengertian dari mediasi itu
sendiri adalah sebuah bentuk usaha dalam menyelesaikan konflik dengan cara melibatkan
pihak ketiga. Dalam konteks ini pihak ketiga harus menjadi pihak netral dalam
mengkomunikasikan berbagai permasalahan di antara kedua belah pihak. Dengan kata lain,
dalam menyelesaikan sebuah konflik dibutuhkan peran mediator yang tidak memiliki
keberpihakan serta kepentingan apapun terhadap kedua pihak yang sedang berkonflik.10
C. Pertanyaan penelitian.
Dalam penelitian ini, penulis bertujuan untuk mengetahui seberapa besar potensi
Indonesia jika menjadi mediator dalam konflik asimetris yang terjadi di Libya. Berdasarkan
pengalaman historis Indonesia dalam menyelesaikan kasus-kasus pemberontakan serta
konflik-konflik etnis dalam negeri. Maka dari itu, penulis mengajukan pertanyaan penelitian
sebagai berikut:

9 Budi Siswantoro Satari,”

Konsep-konsep Umum Dalam Resolusi Konflik,” Presentasi disampaikan pada mata
kuliah Resolusi Konflik pertemuan ke - 4.
10 Budi Siswantoro Satari,”Proses Mediasi dan Negosiasi,” Presentasi disampaikan pada mata kuliah Resolusi
Konflik pertemuan ke - 8.


1. Seberapa besar potensi Indonesia sebagai mediator dalam menyelesaikan
konflik di Libya?
2. Hambatan apa saja yang mungkin muncul dalam penyelesaian konflik tersebut?
D. Studi Pustaka.
1. Skripsi yang ditulis oleh Sofyan Patrich Layuk yang berjudul “Intervensi Militer
NATO Dalam Krisis Politik Libya” tahun 2013. Dalam skripsi ini dijelaskan
mengenai apa saja yang melatar belakangi NATO melakukan intervensi militer ke
Libya. Salah satunya adalah tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh
Moammar Qadhafi terhadap para demonstran yang menuntutnya mundur dari kursi
pemerintahan.
Tindakan represif Qadhafi terhadap para demonstran yang menimbulkan korban jiwa
tidak membuat takut para demonstran. Justru dengan jatuhnya korban jiwa menjadi
pemicu semangat bagi para demonstran untuk melakukan revolusi pemerintahan
dengan cara menggulingkan rezim Qadhafi yang sangat otoriter. Hal ini
mengakibatkan munculnya gerakan-gerakan penentang yang tergabung dalam pihak
oposisi melawan rezim Qadhafi. Adanya ketidakseimbangan kekuatan antara dua
kubu yang menyebabkan banyaknya korban sipil berjatuhan menjadi alasan utama
NATO untuk melakukan intervensi kemanusiaan.
2. Skripsi yang kedua ditulis oleh Hudaf Mandhaga yang berjudul “Intervensi Amerika
Serikat Melalui Aliansi NATO Di Libya Pada Tahun 2011” tahun 2013. Dalam skripsi

ini dijelaskan mengenai sejarah hubungan bilateral antara AS dan Libya sebelum
terjadinya konflik di wilayah tersebut. Adanya gelombang pasang surut hubungan AS
dengan Libya mengakibatkan AS khawatir terhadap berbagai ancaman yang mungkin
saja timbul bagi kepentingannya di wilayah tersebut.
Gelombang Arab Spring menjadi pintu bagi AS untuk melindungi kepentingannya di
wilayah tersebut. Kondisi politik yang kacau di Libya dimanfaatkan oleh AS untuk
melindungi serta memasukkan kepentingan-kepentingannya dengan dalih intervensi
kemanusiaan. Melalui resolusi Dewan Keamanan PBB dengan cara mengendarai
NATO, AS melancarkan aksinya.
3. Jurnal yang ditulis oleh Fahlesa Munabari dan Surya Satria Mandala dengan judul
“Analisis Respon Tajuk Rencana Harian Jakarta Post dan New York Times Terhadap
Intervensi Militer Di Libya Tahun 2011” pada tahun 2012. Dalam jurnal ini dijelaskan
mengenai pengaruh dua media di atas terhadap kebijakan luar negeri Indonesia dan
kebijakan luar negeri AS dalam merespon konflik yang terjadi di Libya. Jurnal ini
menekankan bahwa ada mekanisme saling mempengaruhi antara pemerintah dan

media dalam pembentukan sebuah kebijakan luar negeri. Di mana kedua pihak
masing-masing memiliki kekuatan yang potensial dalam mempengaruhi satu sama
lain.
Dari studi pustaka di atas, makalah ini memiliki perbedaan dengan tulisan-tulisan

tersebut. Penulis mempunyai fokus terhadap potensi Indonesia sebagai mediator dalam
menyelesaikan konflik di Libya. Bukan intervensi militer seperti resolusi Dewan Keamanan
PBB yang malah menimbulkan masalah baru di wilayah tersebut. Dengan kata lain, penulis
ingin melihat seberapa efektif penyelesaian konflik Libya jika ditangani oleh Indonesia.
E. Asumsi Penelitian.
Sebenarnya potensi Indonesia dalam menyelesaikan konflik ini tidak terlalu besar. Hal
ini dapat kita lihat dari masih banyaknya terjadi konflik-konflik dalam negeri yang masih saja
berlangsung hingga saat ini. Akan tetapi berdasarkan pengalaman serta citra Indonesia di
mata internasional, penulis mengasumsikan bahwa Indonesia bisa memaksimalkan
potensinya sebagai mediator dalam menyelesaikan konflik asimetris yang terjadi di Libya.
Maka dari itu, hipotesis sementara penulis adalah bahwa Indonesia bisa menjadi mediator
yang handal jika Indonesia memiliki niat dan keinginan yang kuat dalam mencipatakan
perdamaian dunia, khususnya perdamaian di Libya.

ANALISA
A. Potensi Indonesia sebagai mediator dalam konflik Libya.
Konflik berdarah yang terjadi di Libya patut menjadi perhatian internasional pada saat
itu. Bagaimana tidak, ribuan rakyat sipil tewas di tangan pemimpinnya sendiri. Penyakit
otoriter yang telah melanda Libya berhujung pada kekacauan politik yang menyebabkan
perang saudara antara pihak oposisi dengan pihak rezim Qadhafi. Setelah kejatuhan rezim


Qadhafi pun konflik di Libya belum terselesaikan. Akibat dari adanya perebutan kekuasaan di
tengah kacaunya situasi politik yang melanda negeri tersebut.
Hal ini membuktikan bahwa intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh NATO
tidaklah efektif dan efisien dalam menyelesaikan konflik tersebut. Malah yang terjadi adalah
munculnya konflik baru di antara sesama pihak oposisi yang terpecah-belah. Maka dari itu,
dalam

menyelesaikan

konflik

tersebut

diperlukan

mediator

yang


handal

dalam

mengkomunikasikan solusi yang tepat dengan kedua belah pihak agar menghentikan konflik
di antara mereka. Indonesia dipandang sebagai salah satu negara yang mempunyai
kemampuan dalam hal itu.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim
terbesar di dunia.11 Selain itu Indonesia juga merupakan salah satu negara demokrasi terbesar
di dunia berdasarkan luas wilayahnya.12 Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi,
tentunya Indonesia mempunyai komitmen yang sangat besar dalam menjunjung tinggi nilainilai demokrasi dan HAM.
Komitmen Indonesia tersebut dapat kita lihat dari aktifnya Indonesia untuk
mengirimkan pasukan perdamaiannya ke wilayah-wilayah konflik di bawah wewenang
PBB,13 menjadi salah satu negara pencetus gerakan non-blok pada masa perang dingin, 14 serta
kondisi politik dalam negeri yang penuh dengan nilai-nilai demokratis walaupun Indonesia
masih tergolong belum lama merdeka. Terpilihnya kembali Indonesia sebagai anggota dewan
HAM PBB menunjukkan bahwa dunia internasional memiliki harapan yang besar terhadap
Indonesia untuk menegakkan nilai-nilai HAM yang sangat krusial.15
Dalam hal ini kita juga harus melihat posisi Indonesia dalam sistem Internasional. Perlu
diketahui bahwa Indonesia mempunyai posisi yang sangat strategis dalam sistem

internasional. Hal ini dapat kita lihat dari kontribusi Indonesia sebagai salah satu negara
pencetus dalam pembentukan berbagai organisasi, gerakan, maupun keanggotaannya dalam

11 BBC Reporter,”Indonesia Profile,” http://www.bbc.com/ . Diakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul
17:35.
12 Kate Lamb,”Five reasons why Inondesia’s presidential election matters,” http://www.theguardian.com/.
Diakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 17:38.
13 Nani Afrida,”Indonesia sends UNFIL mission to Lebanon,” http://www.thejakartapost.com/. Diakses pada
tanggal 30 Desember 2014, pukul 17:41.
14 Foreign Affairs Department Republic of Indonesia,”Non-Aligned Movement,” http://www.kemlu.go.id/.
Diakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 17:43.
15 UN News Centre,”General Assembly elects 15 members to UN Human Rights Council,” http://www.un.org/.
Diakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 17:46.

organisasi internasional seperti ASEAN, gerakan Non-Blok, OKI, G-20, OPEC (Keluar pada
tahun 2009), dan organisasi-organisasi internasional lainnya.
Selain dari keanggotaannya dalam organisasi internasional, Indonesia juga memiliki
hubungan yang sangat baik dengan negara-negara yang notabene merupakan pemain utama
dalam sistem internasional seperti AS, Cina, Rusia, Inggris, Jepang, dan negara-negara
lainnya. Yang terpenting adalah bahwa Indonesia memiliki hubungan yang baik dengan
negara-negara di Barat dan Timur yang merupakan rival pada masa perang dingin, serta
negara-negara di Timur Tengah yang menjadi pusat perhatian internasional pada saat ini.
Untuk menunjukkan betapa strategisnya posisi Indonesia dalam sistem internasional
dapat kita lihat dari pernyataan Menteri Luar Negeri Inggris, Bill Rammel yang menyatakan
bahwa Inggris mempunyai harapan yang sangat tinggi terhadap Indonesia untuk memainkan
peran yang sangat besar dalam penyelesaian konflik internasional, serta menjadi jembatan
komunikasi dan kekuatan penengah/mediator antara negara-negara Barat dan Timur Tengah.
Hal ini juga ditegaskan oleh Jusuf Kalla setelah kunjungannya ke negara-negara Barat
bahwa Barat menaruh harapan yang sangat besar agar Indonesia berperan aktif dalam
menyelesaikan konflik internasional, serta menjadi pemain penting dalam usaha untuk
menciptakan perdamaian di Timur Tengah dan sekaligus menjadi penengah dalam
memperbaiki hubungan antara Barat dengan dunia Islam. 16 Seperti yang telah kita ketahui,
sejak peristiwa serangan 9/11 terhadap AS oleh teroris, hubungan antara dunia Barat dan
dunia Islam mencapai puncaknya, akibat dari adanya dugaan keterkaitan antara Islam dan
terorisme.
Jika kita perhatikan lebih lanjut fakta-fakta di atas, bahwa sejak dahulu Barat dan Timur
Tengah/Dunia Islam, khususnya Libya, memiliki hubungan yang pasang surut dan cenderung
tidak stabil. Bahkan hubungan ini memuncak pasca terjadinya peristiwa serangan 9/11, di
mana AS dan sekutunya menggempur habis-habisan sebagian wilayah Timur Tengah sebagai
balasan atas peristiwa tersebut. Tentunya serangan tersebut memberikan trauma yang
mendalam khususnya bagi penduduk sipil. Bagaimana tidak, serangan tiada ampun yang
menyerang berbagai objek, fasilitas-fasilitas sipil pun dihancurkan karena diduga menjadi
tempat persembunyian para teroris.

16 Azyumardi Azra,”Indonesia Kekuatan Penengah,” http://bpi.fidkom.uinjkt.ac.id/. Diakses pada tanggal 30
Desember 2014, pukul 17:48.

Tentunya pasca serangan AS dan sekutunya ke Irak dan Afghanistan akan menimbulkan
ketakutan serupa bagi negara-negara di sekitarnya jika mengalami peristiwa serupa. Tidak
heran jika sebenarnya intervensi militer AS dan sekutunya ke Libya hanya akan menimbulkan
masalah baru di wilayah tersebut. Pastinya hal ini sangat tidak diinginkan oleh rezim
Qadhafi, sehingga kedatangan NATO menyebabkan perang yang lebih besar di Libya.
Di situlah terdapat celah bagi Indonesia untuk masuk sebagai pihak mediator dalam
menyelesaikan konflik tersebut. Apabila Indonesia masuk ke celah tersebut, sebelum
kedatangan NATO, maka kemungkinan hal ini akan lebih mudah diterima oleh pihak rezim
Qadhafi dan oposisi untuk mengkomunikasikan masalah mereka dalam meja perundingan.
Sehingga peristiwa-peristiwa berdarah semaksimal mungkin dapat dihindari dan dicegah agar
tidak terulang kembali seperti sebelumnya.
Kemungkinan Indonesia lebih bisa diterima oleh Libya dari pihak lain menurut penulis
adalah karena adanya kesamaan di antara kedua belah pihak. Sama-sama mayoritas
penduduknya beragama Islam. Selain itu juga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan
Palestina dari Israel melalui OKI, serta sama-sama menjadi anggota gerakan non-blok pada
saat perang dingin. Di samping itu adanya kerjasama bilateral dan hubungan diplomatik yang
sangat baik menjadi nilai tersendiri bagi Indonesia di mata Libya.
Dapat kita simpulkan dari sudut pandang tulisan di atas bahwa Indonesia mempunyai
potensi yang sangat besar sebagai mediator dalam penyelesaian konflik di Libya. Hubungan
antar negara yang dijalin oleh Indonesia dengan negara-negara Muslim, Barat, maupun Timur
yang sangat baik, komitmen Indonesia dalam mewujudkan perdamaian sesuai mandat UUD
45 dan piagam PBB, serta peran aktif Indonesia dalam berbagai organisasi internasional
cukup memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap potensi Indonesia sebagai
mediator dalam konflik tersebut.
B. Konflik dalam negeri: Modal Indonesia dalam menangani konflik di Libya.
Seperti yang telah kita ketahui, banyak sekali rintangan-rintangan yang dilalui
pemerintah Indonesia dalam menjaga keutuhan NKRI. Banyak sekali pemberontakanpemberontakan sipil di berbagai wilayah yang menuntut kemerdekaan dengan berbagai latar
belakang pokok permasalahan yang berbeda. Sebut saja pemberontakan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS), Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang
menuntut kemerdekaan dari pemerintah Indonesia yang sah.

Belum lagi konflik antar etnis yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia seperti,
konflik Sampit, Poso, Ambon, Lampung, Sampang sering mewarnai pemberitaan media di
Indonesia. Dengan kondisi yang terdiri dari berbagai etnis dan budaya tentunya tidak mudah
bagi Indonesia untuk mempertahankan keutuhan NKRI sampai saat ini. Dibutuhkan
kesabaran yang ekstra bagi pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan konflik dengan cara
damai, walaupun membutuhkan proses yang cukup lama untuk mencapai kata sepakat.
Karena jika Indonesia melakukannya dengan cara represif, maka yang terjadi adalah
tumbuhnya rasa dendam yang mungkin dapat menjadi bumerang bagi pemerintah Indonesia.
Mungkin peristiwa konflik yang lebih mirip seperti yang terjadi di Libya adalah
peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang menjadi tonggak reformasi di Indonesia. Sebenarnya
latar belakang permasalahan ini adalah krisis ekonomi yang menyebabkan inflasi keuangan.
Menyebabkan tingginya angka pengangguran dan masalah-masalah sosial lainnya. Lalu
terjadi spillover ke isu-isu lainnya yang menyebabkan terjadinya reformasi. Faktor ekonomi,
yakni kesejahteraan yang tidak merata juga menjadi pemicu awal dari terciptanya konflik di
Libya.
Mungkin dengan memanfaatkan pengalaman-pengalaman Indonesia dalam menangani
berbagai kasus konflik internal, dapat meningkatkan potensi Indonesia sebagai mediator
dalam konflik asimetris yang terjadi di Libya. Dalam hal ini Indonesia bisa menjadi konsultan
bagi Libya untuk memberikan nasihat serta saran yang mungkin bermanfaat dalam meredam
dan mencegah eskalasi konflik. Sehingga pertumpahan darah di Libya dapat segera
dihentikan dan tidak terulang lagi di masa depan.

KESIMPULAN
Konflik berdarah yang terjadi di Libya patut menjadi perhatian dunia internasional.
Akan tetapi intervensi militer yang dilakukan oleh pihak asing hanya menambah daftar
panjang penderitaan masyarakat Libya. Kegagalan intervensi pihak asing untuk menciptakan
perdamaian di wilayah tersebut menunjukkan bahwa intervensi militer adalah alat yang
paling tidak efektif dan efisien dalam menyelesaikan sebuah konflik.
Masyarakat internasional harus memahami itu, bahwa jalan kekerasan tidak akan selalu
membawa kebaikan. Harus dipikirkan apa yang salah dengan intervensi militer tersebut,

sehingga malah menciptakan konflik yang baru. Motif dibalik intervensi militer yang
dilakukan oleh AS dan sekutunya patut dipertanyakan ketulusannya. Apakah motif tersebut
murni untuk melindungi penduduk sipil Libya dari kekejaman rezim Qadhafi atau hanya
untuk melindungi dan menjaga kepentingan mereka di wilayah tersebut.
Penilaian dunia internasional terhadap Indonesia mengenai potensinya sebagai mediator
dalam konflik ini patut dihargai. Indonesia perlu memposisikan dirinya sebagai penyeimbang
dalam dunia internasional. Dalam hal ini bukan sebagai penyeimbang dari negara super
power lainnya, akan tetapi, penyeimbang antara dunia Barat dan dunia Islam. Seperti yang
telah disebutkan di atas, Indonesia mempunyai potensi tersebut, dengan harapan Indonesia
bisa menjadi penengah, perantara, atau apapun dalam konteks hubungan Barat dan Islam.
Dalam konteks di atas seharusnya Indonesia mengambil sikap berdasarkan
keputusannya sendiri. Bukan berdasarkan keputusan resolusi Dewan Keamanan PBB yang
cenderung kaku dan sangat konvensional. Maksud penulis disini bukan berarti menentang
keputusan tersebut, akan tetapi Indonesia mengambil inisiatif sendiri untuk menyelesaikan
konflik tersebut dengan tetap menghormati segala keputusan internasional tanpa
melanggarnya.
Untuk menyelesaikan konflik memang dibutuhkan inisiatif sendiri agar konflik tersebut
dapat ditangani secara efektif dan efisien. Jika Indonesia terlalu terpaku dengan segala
keputusan-keputusan internasional, maka dapat dipastikan bahwa Indonesia tidak akan bisa
memaksimalkan segala potensi yang dimilikinya dalam menyelesaikan konflik internasional,
khususnya konflik yang terjadi di Libya. Maka dari itu, seharusnya Indonesia keluar dari
kungkungan internasional yang penuh dengan kepentingan-kepentingan nasional dari negara
tertentu saja. Hal ini demi mewujudkan kepentingan bersama dunia internasional, yaitu
terciptanya perdamaian di seluruh wilayah di dunia ini.

DAFTAR PUSTAKA
Satari Siswantoro Budi, ”Konsep-konsep Umum Dalam Resolusi Konflik”, Presentasi
disampaikan pada mata kuliah Resolusi Konflik pertemuan ke-4.
Satari Siswantoro Budi, ”Proses Mediasi dan Negosiasi”, Presentasi disampaikan pada mata
kuliah Resolusi Konflik pertemuan ke-8.
Literatur Review:

Fahlesa Munabari, Surya Satria Mandala, ”Analisis Respon Tajuk Rencana Harian Jakarta
Post Dan New York Times Terhadap Intervensi Militer Di Libya Tahun 2011”, Jurnal
Ilmu Hubungan Internasional Universitas Budi Luhur, Vol. 7, No.1, 2012.
Hudaf Mandhaga, ”Intervensi Amerika Serikat Melalui Aliansi NATO Di Libya Pada Tahun
2011”, Skripsi ditulis pada tahun 2013, Program Studi Hubungan Internasional UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sofyan Patrich Layuk, ”Intervensi Militer NATO Dalam Krisis Politik Libya”, Skripsi ditulis
pada tahun 2013, Program Studi Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin.
Sumber Online:
Azra Azyumardi, ”Indonesia Kekuatan Penengah”, http://bpi.fidkom.uinjkt.ac.id/indonesiakekuatan-penengah/. Diakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 17:48.
Afrida Nani, ”Indonesia sends UNFIL mission to Lebanon”,
http://www.thejakartapost.com/news/2014/12/11/indonesia-sends-unfil-missionlebanon.html. Diakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 17:41.
Adams Simon, ”Emergent Powers: India, Brazil, South Africa and R2P”,
http://www.huffingtonpost.com/simon-adams/un-india-brazil-southafrica_b_1896975.html. DIakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 13:45.
BBC Reporter, ”Indonesia Profile”, http://www.bbc.com/news/world-asia-pacific-14921238.
Diakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 17:35.
Foreign Affairs Department Republic of Indonesia, ”Non-Aligned Movement”,
http://www.kemlu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?
Name=MultilateralCooperation&IDP=3&P=Multilateral&l=en. Diakses pada tanggal
30 Desember 2014, pukul 17:43.
Lamb Kate, ”Five reasons why Inondesia’s presidential election matters”,
http://www.theguardian.com/world/2014/jul/07/five-reasons-why-indonesiapresidential-election-matters. Diakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 17:38.
Manfreda Primoz, ”Definition of the Arab Spring”,
http://middleeast.about.com/od/humanrightsdemocracy/a/Definition-Of-The-ArabSpring.htm. Diakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 13:20.
McGreal Chris, ”Dispatch from Libya: the courage of ordinary people standing up to
Gaddafi”, http://www.theguardian.com/world/2011/apr/23/libya-benghazi-gaddafirevolution. Diakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 13:24.

Muhaimin, ”Semakin Kacau, Libya Bisa Menjadi Suriah kedua”,
http://international.sindonews.com/read/941747/44/semakin-kacau-libya-bisa-menjadisuriah-kedua-1419414376. Diakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 13:48.
Nasrawi Salah, ”Libya Protests: Anti-Government Protesters Killed During ‘Day of Rage’”,
http://www.huffingtonpost.com/2011/02/17/libya-protestsantigovern_0_n_824826.html. Diakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 13:28.
Rogers Simon, ”NATO operations in Libya: data journalism breaks down which country does
what”, http://www.theguardian.com/news/datablog/2011/may/22/nato-libya-datajournalism-operations-country. Diakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 13:42.
The Guardian Reporter, ”UN security council resolution 1973 on Libya”,
http://www.theguardian.com/world/2011/mar/17/un-security-council-resolution.
Diakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 13;39.
UN News Centre, ”General Assembly elects 15 members to UN Human Rights Council”,
http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=49133#.VI551cnt5Ks. Diakses pada
tanggal 30 Desember 2014, pukul 17:46.
Yuli, ”Pasukan AS disiagakan dekat Libya”,
http://internasional.kompas.com/read/2011/03/01/02213947/Pasukan.Amerika.Disiagak
an.Dekat.Libya. Diakses pada tanggal 30 Desember 2014, pukul 13:36.