Buku Industri Telekomunikasi Libre 1

Seluler Indonesia

© Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia – 2014 Puslitbang SDPPI Kementerian Komunikasi dan Informatika

Sanksi Pelanggaran Pasal 44:

1. Barang

dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta

Peta dan Potensi Industri Perangkat Telekomunikasi Seluler Indonesia

Penulis: Riza Azmi, M.Kom (Puslitbang SDPPI)

Editor: Adi Indrayanto, PhD (Pusat Mikroelektronika ITB)

Puslitbang SDPPI – Badan Litbang SDM Kementerian Komunikasi dan Informatika

Peta dan Potensi Industri Perangkat Telekomunikasi Seluler Indonesia

Penulis:

Riza Azmi

Editor:

Adi Indrayanto, PhD

Design Sampul:

Ronaldi Wijaya

Layout Isi:

Riza Azmi

Penerbit:

Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Komunikasi dan Informatika Gedung B Lantai 4, Medan Merdeka Barat 9, Jakarta, 10110 e-mail : puslitbang.sdppi@mail.kominfo.go.id Telp./fax: +62 21 348 33640

Percetakan

Dicetak oleh PT. , isi diluar tanggung jawab Percetakan Cetakan pertama, Desember 2014. Kota: Jakarta, Indonesia Diterbitkan pertama kali oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia © Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Puslitbang SDPI – Kementerian

Kementerian Komunikasi dan Informatika 2014

Ringkasan Eksekutif

Perkembangan telekomunikasi di Indonesia berkontribusi positif dan langsung terhadap penerimaan negara baik dari sisi APBN maupun PNBP dengan rata- rata 10 Triliun rupiah setiap tahun. Namun jika dilihat dari sisi lain, perkembangan telekomunikasi menimbulkan defisit neraca perdagangan yang disebabkan oleh impor perangkat telekomunikasi yang relatif besar dibandingkan dengan penerimaan negara di sektor ini yaitu sekitar 24 Triliun rupiah. Studi ini bertujuan memetakan Industri perangkat handset telekomunikasi seluler dilihat dari value-chain industri ini dan melihat potensi industri lokal dalam rangka mengurangi defisit tersebut.

Dari hasil studi ini, Industri perangkat telekomunikasi Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi 3 entitas besar yaitu Industri Perangkat Customer Premises Equipment (CPE) Telekomunikasi, Industri Jaringan Telekomunikasi dan Industri Konten atau Over the Top. Secara elemen value-chain, Industri CPE telekomunikasi Indonesia sudah tergolong lengkap namun masih bertipe relational dimana ketergantungan kuat antara merk dan manufaktur. Untuk mengurangi biaya produksi, pemerintah perlu mendorongnya ke tipe value chain modular dengan mengintensifkan masing-masing value-chain.

Industri perangkat jaringan telekomunikasi Indonesia dapat dikategorikan masih bersifat hierarcy karena dimanufaktur dari hulu ke hilir (vertically integrated) serta dalam hal ini pasar sebagian besar dikuasai oleh penanam Industri perangkat jaringan telekomunikasi Indonesia dapat dikategorikan masih bersifat hierarcy karena dimanufaktur dari hulu ke hilir (vertically integrated) serta dalam hal ini pasar sebagian besar dikuasai oleh penanam

portofolio yang ada. Beberapa rekomendasi dari studi ini agar industri perangkat telekomunikasi

dapat berkembang yaitu dengan mendorong industri dari manufaktur ke industri berbasis inovasi salah satunya dengan mengubah kebijakan TKDN yang berbasis komponen menjadi TKDN berbasis inovasi. Selain itu, untuk mencegah tingginya degree of asimetry dalam value-chain industri ini pemerintah harus menggeser tipe value-chain di industri ini dengan mendorong tumbuhnya value-network seperti mendorong industri kreatif. Pemerintah juga perlu memberikan insentif melalui PNBP di sektor yang sama dengan skema Carrot Incentive. Selain itu, pemerintah perlu mensiasati barrier-to-entry dengan rekomendasi membuat konsorsium industri dan memasukkannya ke dalam industri pertahanan di bidang telekomunikasi.

Kata Kunci: rantai nilai, modularitas produk, jaringan nillai, industri perangkat handset telekomunikasi seluler

Sambutan Kepala Puslitbang SDPPI

Pada tahun 2014 ini, Puslitbang SDPPI, Kementerian Komunikasi dan Informatika

Perangkat Telekomunikasi Indonesia untuk melihat gambaran peta kekuatan dan kelemahan industri lokal dalam menyediakan perangkat telekomunikasi di dalam negeri. Walaupun kajian ini terlihat sepintas tidak terkait langsung dengan tugas pokok dan fungsi Kementerian, namun kami memberanikan diri mengambil langkah pertama kalinya menyusun peta dan roadmap industri telekomunikasi ini dalam membantu industri perangkat telekomunikasi menjadi tuan rumah di negara sendiri.

Adapun perangkat telekomunikasi yang dimaksud dalam kajian ini dibagi menjadi 2 yaitu perangkat handset telekomunikasi seperti handphone, tablet dan perangkat handset telekomunikasi seluler lainnya; serta perangkat jaringan telekomunikasi seluler seperti BTS. Pertimbangan penelitian ini membatasi pada 2 industri tersebut, dikarenakan pertama pasar untuk perangkat handset telekomunikasi bernilai sekitar 54 milyar dalam setahun atau terbesar untuk wilayah Asia-Tenggara; sementara penyediaan industri manufaktur lokal terkait perangkat ini masih sangat kecil. Kedua, karena perangkat jaringan telekomunikasi seluler merupakan perangkat vital yang sampai dengan saat ini pemainnya masih dikuasai Penanam Modal Asing.

Dalam penulisannya, Kami menyadari terdapat beberapa kekurangan dan membuka diri untuk masukan terkait kekurangan baik yang disengaja ataupun tidak disengaja dalam buku ini.

Demikian sambutan saya, semoga buku ini berguna untuk melihat peta dan potensi industri perangkat telekomunikasi seluler di Indonesia.

Jakarta, Desember 2014

Kepala Puslitbang SDPPI

Sunarno

Sambutan Kepala Badan Litbang SDM

Sebagaimana kita ketahui, pertumbuhan industri telekomunikasi di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat yang ditunjukkan dengan pertumbuhan jumlah pelanggan telekomunikasi terutama dari industri telekomunikasi bergerak seluler yang terus tumbuh pesat terutama sejak tahun 2006. Sampai dengan saat ini tercatat tidak kurang dari 300 juta pelanggan seluler di Indonesia atau meningkat 5 kali lipat dari 6 tahun yang lalu. Pertumbuhan industri telekomunikasi bergerak seluler ini pada satu sisi berdampak positif terhadap penerimaan negara bukan pajak yang disetorkan ke negara, namun di sisi lain, Industri untuk perangkat jaringan telekomunikasi terutama untuk perangkat jaringan seluler seperti BTS di Indonesia masih sebagian besar dikuasai oleh penanam modal asing, padahal di satu sisi merupakan perangkat vital telekomunikasi.

Terkait dengan hal tersebut, gambaran mengenai rantai nilai produksi dan kesiapan industri lokal perangkat jaringan telekomunikasi yang konprehensif diperlukan untuk melihat potensi lokal untuk industri ini. Pada prinsipnya, saya meyakini bahwa industri lokal mampu bersaing dalam membuat perangkat jaringan telekomunikasi.

Saya mengapresiasi terbitnya buku ini untuk melihat kondisi pasar industri ini menurut pandangan industri lokal, bagaimana kelebihan/kekurangan dan kesiapan industri perangkat telekomunikasi lokal; peluang dan tantangannya serta bagaimana kebutuhan dukungan Industri ini dari pemerintah.

Demikian sambutan dari Saya. Semoga buku ini berguna dan dapat memperkuat penyediaan perangkat infrastruktur telekomunikasi oleh anak- anak bangsa.

Jakarta, Desember 2014

Kepala Badan Litbang SDM

DR. Basuki Yusuf Iskandar

Latar Belakang

Pertumbuhan industri telekomunikasi di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan dari pertumbuhan jumlah pelanggan telekomunikasi terutama dari industri telekomunikasi bergerak seluler yang terus bertambah sejak tahun 2006. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan bahwa jumlah pelanggan pada industri ini tahun 2006 sebesar 63 juta pelanggan dimana 5 tahun setelahnya meningkat menjadi 211 juta pelanggan atau sebesar hampir 4 kali lipatnya [1].

Pertumbuhan industri telekomunikasi bergerak seluler ini juga berdampak positif terhadap penerimaan negara. Menurut Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika [2], kontribusi industri ini terhadap pendapatan negara pada tahun 2013 sebesar 0.76% penerimaan total negara atau sebesar 3.10% dari total PNBP ke negara. Peningkatan ini sebagian besar dipengaruhi oleh permintaan terhadap akses data mobile, sehingga sumbangan terhadap PNBP dari sektor permintaan lisensi frekuensi meningkat tajam. Sejak tahun 2008 sampai dengan 2013 dapat dilihat bahwa penerimaan dari PNBP frekuensi meningkat hampir 50% dimana pada tahun 2013 tercatat di sektor ini tercatat hampir 10,9 trilliun rupiah. Pada satu sisi sumbangan di sektor ini cukup besar, namun di sisi lain dibandingkan dengan penerimaan negara yang terkait dengan sektor ini, defisit perdagangan telekomunikasi yang ditimbulkan terkait perangat telekomunikasi ini cukup besar dikarenakan hampir sebagian besar Indonesia masih melakukan impor perangkat untuk memenuhi kebutuhan perangkat ini. Data dari Kementerian Perdagangan, nilai impor produk ini sebesar USD 2,09 milyar pada tahun 2012, meningkat pada tahun 2013 sebesar USD 2,5 milyar dan sampai dengan September 2014 sebesar USD 2,8 milyar.

Peningkatan industri telekomunikasi ini tidak lepas dari tingginya penetrasi seluler di Indonesia yaitu pada tahun 2010 sebesar 211 juta pelanggan. Dengan melihat asumsi bahwa pada tahun 2010 jumlah pelanggan sebesar 211 juta, maka diperkirakan jumlah handset untuk kategori industri ini paling tidak sebesar 211 juta handset yang telah beredar di pasaran, jika 1 pelanggan tersebut setidaknya memiliki 1 handset. Menurut badan survey GfK, sepanjang tahun 2012, Indonesia menempati posisi pertama di Asia Peningkatan industri telekomunikasi ini tidak lepas dari tingginya penetrasi seluler di Indonesia yaitu pada tahun 2010 sebesar 211 juta pelanggan. Dengan melihat asumsi bahwa pada tahun 2010 jumlah pelanggan sebesar 211 juta, maka diperkirakan jumlah handset untuk kategori industri ini paling tidak sebesar 211 juta handset yang telah beredar di pasaran, jika 1 pelanggan tersebut setidaknya memiliki 1 handset. Menurut badan survey GfK, sepanjang tahun 2012, Indonesia menempati posisi pertama di Asia

Pada satu sisi, hal tersebut dapat dinilai sebagai keuntungan tersendiri dimana Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar telekomunikasi di Indonesia, namun di sisi lain, Industri Telekomunikasi di Indonesia terutama industri manufaktur dapat dikatakan masih sangat rendah. Dari data [2] komposisi sertifikasi untuk perangkat telekomunikasi yang masuk ke Indonesia 99,04% merupakan produk manufaktur dari luar negeri dengan komposisi terbanyak 71.65% perangkat berasal dari negara Tiongkok sementara produk sertifikasi asli dari Indonesia hanya berjumlah 29 dari 5.503 perangkat telekomunikasi yang disertifikasi pada tahun tersebut.

Perkembangan industri telekomunikasi seluler ini selain sebagai pasar dari sisi handset telekomunikasi juga merupakan pasar besar dari perangkat jaringan telekomunikasi seperti Base Station Seluler. Hal ini dikarenakan selain pasar potensial dari sisi konsumen yang cukup besar juga luasnya wilayah Indonesia yang harus dicakup Operator Seluler. Jika dilihat komposisinya, pemain perangkat jaringan ini seluler ini sebagian besar terdiri dari luar negeri seperti Huawei,

dan Samsung Telecommunication.

Nokia Solution

Dari hal tersebut, pada satu sisi industri telekomunikasi tumbuh sangat pesat di Indonesia namun di sisi lain, jumlah perangkat telekomunikasi lebih banyak dari luar negeri, selain itu, data dan informasi mengenai Industri Telekomunikasi ini terutama dari sisi manufaktur, rantai produksi dan pemetaannya masih belum dapat ditemukan di Indonesia. Sehingga studi ini akan melihat peta Industri Telekomunikasi di Indonesia tersebut secara holistik, tidak hanya dari sisi manufaktur namun juga distributor dengan mengkaji pemetaan dengan melihat Value Chain Governanance [4] dari industri ini serta analisis Strength, Weakness, Threath and Opportunity dari industri ini.

Landasan Teori dan Metode Penyusunan

Tata Kelola Value-Chain

T ABEL 1 T EORI V ALUE -C HAIN [4]

Tipe Tata Kompleksitas

Derajat Kelola

koordinasi dan kemampuan asimetris

Menurut teori tata kelola value-chain [4], struktur value-chain dapat dilihat dari 3 faktor utama yaitu:

1. Kompleksitas Transaksi, yaitu informasi dan pengetahuan tentang proses dan spesifikasi produk

2. Kodifikasi Transaksi, yaitu informasi dan pengetahuan yang dapat diklasifikasikan secara jelas tugas dan fungsinya

3. Kapabilitas Supply, yaitu supplier potensial terkait permintaan kebutuhan Jika ketiga faktor tersebut dinilai dengan kategori Tinggi dan Rendah, maka

akan terdapat delapan kategori value-chain, dimana 5 diantaranya dapat dijelaskan dan secara umum terjadi saat ini (Tabel 1) yaitu Market, Modular, Relasional, Captive dan Hierarki. Jika dijelaskan lebih lanjut derajat koordinasi dan kemampuan bervariasi antara tipe Market (rendah) ke tipe hierarki (tinggi) sebagaimana pada Gambar 1, dimana hubungan antarelemen tersebut dijelaskan.

G AMBAR 1 T EORI V ALUE -C HAIN DAN H UBUNGAN ANTARA K ETIGA F AKTOR [4]

Value Chain dan Value Network Industri Telekomunikasi

G AMBAR 2 V ALUE C HAIN I NDUSTRI T ELEKOMUNIKASI [5]

Secara umum, generalisasi value-chain industri telekomunikasi dapat dibagi menjadi 3 elemen yaitu Manufaktur Perangkat Telekomunikasi, Operator dan Pelanggan [5]. Hubungan antara ke tiganya merupakan hubungan rantai supply dimana masing-masing independen satu dan lainnya yang menghasilkan nilai dan ketergantungan satu sama lain.

Terkait dengan manufaktur perangkat telekomunikasi, value chain industri perangkat telekomunikasi secara global mengikuti sistem Product Modularity. Hal ini dapat dijelaskan dengan teori tata kelola value chain [4], bahwa rumitnya penyediaan komponen dalam pembuatan perangkat ini, namun di sisi lain, dikarenakan tingginya permintaan terhadap produk ini menyebabkan banyaknya muncul penyedia komponen secara global seperti integrated circuit, software, dan pheriperalnya. Secara umum Value Chain dapat dipetakan ke dalam Industri Perangkat Telekomunikasi Global pada Gambar 3 yang secara umum terdiri dari pengembangan produk, platform, integrasi, produk dan layanan pelanggan [6].

G AMBAR 3 V ALUE C HAIN I NDUSTRI P ERANGKAT T ELEKOMUNIKASI G LOBAL [6]

Keterkaitan dalam rantai supply ini di industri perangkat jaringan telekomunikasi dapat dibagi sebagai suatu hubungan dari hulu ke hilir sebagaimana dalam Gambar 4, dimana masing-masing sub-system dalam Keterkaitan dalam rantai supply ini di industri perangkat jaringan telekomunikasi dapat dibagi sebagai suatu hubungan dari hulu ke hilir sebagaimana dalam Gambar 4, dimana masing-masing sub-system dalam

G AMBAR 4 V ALUE C HAIN T RADISIONAL I NDUSTRI J ARINGAN T ELEKOMUNIKASI [7]

Dengan luasnya aplikasi bisnis telekomunikasi terutama dengan adanya perubahan perilaku pasar, hubungan tersebut berubah dari Value Chain kepada Value Network [7]. Perbedaan antara keduanya dalam studi kasus penyelenggaraan telekomunikasi di Jepang [5] dan secara umum Value Network lebih menekankan untuk menjawab 7 perubahan perilaku pasar yaitu [7]:

1. Layanan berbasis transaksi (transaction) menjadi layanan berbasis hubungan (relationship)

2. Digerakkan oleh marketing (Marketing Push) menjadi keinginan pelanggan (Customer (subscriber) Pull)

3. Bertujuan untuk memperoleh pelanggan (Customer Acquisition) menjadi memperoleh keloyalan pelanggan ((Profitable) Customer Retention)

4. Mendapatkan pendapatan per pengguna (Average revenue per User) menjadi mendapatkan berapa keuntungan per-pengguna (Average Profit per User)

5. Berbasis ke platform layanan (Intelligence in Platform) ke fokus pada handset pintar (Intelligence in Handsets)

6. Memaksimalkan investasi (Investment in Infrastructure) menuju ke memaksimalkan kegunaan aset yang ada (Leveraging ke Assets)

7. Fokus ke teknologi (Technology) menjadi memaksimalkan layanan yang bisa disediakan teknologi (Content/Services)

Untuk menjawab perubahan ke tujuh perilaku tersebut secara cepat maka operator cenderung melakukan Service Level Aggrement untuk secara segera menciptakan value. Value Network sendiri cenderung dilakukan jika Untuk menjawab perubahan ke tujuh perilaku tersebut secara cepat maka operator cenderung melakukan Service Level Aggrement untuk secara segera menciptakan value. Value Network sendiri cenderung dilakukan jika

Product Modularity dalam Industri Perangkat Telekomunikasi

Product Modularity merupakan pembagian pekerjaan komponen industri yang fokus pada salah satu bidang dimana komponen tersebut dapat digabungkan [8]. Pembagian ini sebagai industri horizontal [9], yaitu industri yang fokus pada salah satu penyediaan komponen (Gambar 5). Dalam industri vertikal atau industri tradisional, vendor membuat keseluruhan perangkat dari hulu ke hilir. Dalam industri elektronika tradisional industri vertikal memiliki ciri memiliki departemen design, sistem operasi, perakitan, pemasaran sekaligus sebagai pemilik brand.

Design

Vendor 1

Vendor 2 Operating System

Manufacturing

Vendor 3

Vendor 4

Marketing

Vendor 1

Vendor 2

G AMBAR 5 V ERTICALLY I NTEGRATED VS . H ORIZONTALLY S PECIALIZED [9]

Spesialisasi industri ini akan lebih efektif jika perusahaan memiliki spesialisasi pembuatan komponen dengan melakukan koordinasi antar pembuat komponen tersebut [10]. Efisiensi tersebut juga bebas dari skala perusahaan, baik perusahaan skala besar maupun skala kecil [10]. Hubungan value-chain yang efektif dan efisien dengan profit perusahaan dijabarkan dalam model Spesialisasi industri ini akan lebih efektif jika perusahaan memiliki spesialisasi pembuatan komponen dengan melakukan koordinasi antar pembuat komponen tersebut [10]. Efisiensi tersebut juga bebas dari skala perusahaan, baik perusahaan skala besar maupun skala kecil [10]. Hubungan value-chain yang efektif dan efisien dengan profit perusahaan dijabarkan dalam model

Perusahaan-perusahaan yang melakukan pemisahaan fungsi ini diantaranya Apple, Microsoft dan HP [9]. Dalam prakteknya, produk iPhone dari Apple, tidak dimanufaktur oleh Apple sendiri. Dalam konteks ini, Apple hanya melakukan design house dan merancang tampilan produknya. Perusahaan yang melakukan manufaktur adalah Foxconn. Di negara-negara yang menjadi basis pasar Apple, pemasaran dilakukan oleh perusahaan lokal, sebagai contoh di Indonesia seperti PT. Global Teleshop, PT. Trikomsel atau PT. Erajaya selaku distributor.

Peta Operasional Industri Telekomuniasi berbasis e-TOM

eTOM Framework

Operation Map) merupakan framework yang jamak digunakan oleh Industri Telekomunikasi di dunia yang berasal dari TeleManagement Forum [13]. Framework ini mendeskripsikan unit-unit dasar yang dimiliki oleh perusahaan telekomunikasi. Secara umum eTOM terdiri dari 3 bagian besar yang dijabarkan pada eTOM level 0 (Gambar 6) yaitu Strategi, Infrastruktur dan Produk; Operasi; dan Manajemen Pendukung [13].

(Enhanced

Telecommunication

eTOM framework bekerja dengan proses dekomposisi dari level 0 secara global sampai dengan level 3 yang rinci menyebutkan fungsi masing-masing sub-sistem. Secara proses, eTOM tidak membatasi alur kerja masing-masing elemen, namun proses secara dinamis berubah sesuai dengan skenario tujuan perusahaan.

Dikaitkan dengan Value Chain[7], framework ini setidaknya menyediakan fungsi untuk menangani infrastruktur, billing dan dan layanan ke pelanggan, serta dapat mengadopsi perubahan dari Value Chain ke Value Network dengan adanya elemen Strategy, Infrastucture and Product (SIP). Dalam industri ini, hal yang berkaitan dengan industri perangkat jaringan telekomunikasi adalah elemen pada SIP yang menentukan kebutuhan perangkat jaringan.

G AMBAR 6 P ETA P ROSES DAN E LEMEN U MUM E T OM L EVEL 0 [13]

Metode Penyusunan Peta Industri Perangkat Telekomunikasi Seluler

Dalam memetakan Industri perangkat Telekomunikasi di Indonesia kajian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Model yang dibangung untuk memetakan industri perangkat handset telekomunikasi seluler menggunakan modifikasi Supply Chain Modularity [9] yang dapat dilihat Tabel 2 dan Tabel

3. Dari kerangka tersebut dilakukan analisis Strength, Weakness, Threath and Opportunity untuk melihat gambaran kondisi industri ini. Data dianalisis dengan menggunakan kerangka Supply Chain Governance [4].

Data primer pada penelitian ini didapatkan dengan wawancara mendalam kepada informan dari pihak industri perangkat handset telekomunikasi seluler yaitu

1. Pemilik brand/merk handset dan industri manufaktur, meliputi PT Aries Indo Global (AIG) dengan merk dagang EverCross, PT Maju Express Indonesia dengan merk dagang MITO, PT Supertone dengan merk dagang SPC, PT. Tiphone Mobile Indonesia dengan merk dagang TI- Phone, PT. Teletama Artha Mandiri dengan merk dagang Venera, PT. Zhou Internasional dengan merk dagang Asiafone, PT Arga Mas Lestari dengan merk dagang AdvanDigital, PT. Tata Sarana Mandiri dengan merk dagang IVIO, PT. SatNusa Persada (Design House handset) dan PT. Sarana Kencana Mulya dengan merk dagang Polytron.

2. Industri Perangkat Jaringan Telekomunikasi: PT Hariff Daya Tunggal Engineering, PT LEN Industri (Persero), PT Industri Telekomunikasi Indonesia, PT Xirka Silicon Technology, PT Compact Microwave Indonesia, Versatile Silicon, PT Teknologi Riset Global dan PT. Fusi Global Teknologi

3. Industri Eksisting yaitu Industri Perangkat Jaringan Telekomunikasi yang meliputi PT. Huawei Investment Indonesia, Nokia-Solution Network, dan Samsung Telecommunication.

Pemilihan kriteria informan yaitu mengetahui secara teknis pengembangan produk

instansi yang mempengaruhi kebijakan terkait industri. Hal ini dimaksudkan agar, setiap perubahan pada instansi tersebut dapat diperoleh dalam penelitian ini.

dan menduduki

Data sekunder didapatkan dengan penggalian data ke sumber-sumber terkait seperti: yaitu data impor perangkat handset telekomunikasi seluler dari Kementerian Perdagangan, data sertifikasi perangkat telekomunikasi dan data pelanggan telekomunikasi dari Direktorat Jenderal SDPPI, Kementerian Komunikasi dan Informatika, data peredaran perangkat telekomunikasi CPE di Indonesia yang didapat dari distributor perangkat telekomunikasi meliputi PT. Erajaya, PT. Trikomsel, PT. Global Teleshop, BlackBerry Indonesia dan PT. Apple Indonesia untuk melihat jumlah dan sumber data sekunder lainnya seperti GfK Indonesia dan GfK Asia-Pasifik untuk melihat data interpolasi peredaran jumlah perangkat telekomunikasi seluler.

T ABEL 2 K ERANGKA P ETA I NDUSTRI P ERANGKAT T ELEKOMUNIKASI

Radio Network Infrastructure

Sub sistem yang menyediakan infrastruktur jaringan radio

Billing Platform

Sub sistem yang menyediakan software penghitungan tarif

Network Solution Sub sistem pendukung manajemen infrastruktur dan strategi [13]

d ri In

o Ja

Service Management Sub sistem yang menyediakan dukungan layanan [13]

le Te

pengguna

Service Provider

Sub sistem sebagai pemegang merk dan lisensi

Chipset

Design House

[9] System Integrator

Arsitektur handset

Penggabungan platform, hardware dan software

E Component Suppliers

Penyedia komponen

C Manufacturing

[9] Brand Owner

Assembly produk

[9] Retailer

Pemilik merk

Investor penjual

Over the Top: Layanan Pendukung/Konten Konsumen

T ABEL 3 K ERANGKA A NALISIS I NDUSTRI CPE T ELEKOMUNIKASI

Nama Gangnes

Sub sistem pada value chain yang memproduksi chipset.

Design House

Design House

Sub sistem pada value chain yang menguasai arsitektur produk yang berhubungan dengan chipset. [9] Sub sistem pada value chain yang berhubungan dengan design tampilan suatu produk. Dengan asumsi sistem operasi

mengalami pengerucutan pada sistem operasi tertentu yaitu iOS, Android dan WindowsPhone [16], maka pada

D Operating

System

penelitian ini definisi Operating System diganti dengan definisi system integrator. Hal ini dikarenakan Operating System

System

Integrator

yang digunakan tidak dibuat sendiri oleh Sub-System sendiri namun telah disediakan dan dengan menitik beratkan vendor atau sub-system yang menguasai penggabungan sub-component dalam mendesign tampilan produk. System Integrator menggabungkan platform, software dan sistem. [14]

Component

Sub-system yang membuat komponen perangkat[15]. Komponen ini mencakup supply material (plastik, logam, gelas),

Suppliers

supply komponen (memory, baterai, core chip, display dan periferal) [17].

Sistem yang melakukan produksi [15], [9]

EM

Marketing

Brand Owner

Sistem yang memiliki brand dan melakukan pemasaran. [9]

Sub-elemen yang membeli produk dalam skala besar untuk menjualnya kembali [15]. Walaupun dalam rantai supply g sub-elemen ini tidak terlibat dalam proses produksi, namun keberadaannya sebagai pemegang modal berperan

sangat penting dalam skala ekonomi. Sub elemen ini juga didefinisikan sebagai marketing, penjualan dan layanan

purna jual pengguna. [14]

Gambaran Umum Industri Perangkat Telekomunikasi Indonesia

Industri Perangkat Customer Premises Equipment Telekomunikasi Seluler

Pangsa Pasar Perangkat CPE Telekomunikasi Seluler

SMARTPHONE VS FEATURED PHONE

SMARTPHONE OTHERS SMARTPHONE WINDOWS PHONE SMARTPHONE IOS SMARTPHONE A40 ASA TOUCH SMARTPHONE BLACKBERRY SMARTPHONE ANDROID

71 68 MOBILE PHONE

OCT12- JAN13-

APRL13-

JUL13-SEP13

OCT13-

Source: GfK Indonesia

DEC12 MAR13

JUN13

DEC13

G AMBAR 7 S EGMENTASI P ERANGKAT CPE DI I NDONESIA (S UMBER : G F K)

GfK melaporkan bahwa nilai pasar perangkat untuk CPE telekomunikasi sebesar 54 triliun rupiah selama satu tahun, dimana usia penggantian perangkat baru oleh pengguna memiliki umur paling lama 12 bulan [3]. Mereka melaporkan bahwa untuk wilayah Asia Tenggara, Indonesia merupakan pasar terbesar untuk kategori ini. Pada tahun 2013 impor ponsel mencapai 16.470 ton atau senilai dengan US$ 2,8 miliar atau Rp 33,4 triliun dengan negara asal impor terbesar yaitu Tiongkok dengan 13.116 ton atau US$ 1,6 miliar; Vietnam dengan 1.426 ton atau US$ 607,1 juta; Meksiko 239 ton atau US$ 203,6 juta; Taiwan sebesar 271 ton atau US$ 190,8 juta; India 432 ton atau US$ 56,5 juta; dan Hungaria dengan 63 ton atau US$ 51,5 juta. Sementara sisanya dari Korea, Hong Kong, Singapura, Kanada, Australia,

Thailand, Amerika Serikat dan negara lainnya [18].

SHARE PER PRICE SEGMENT

>3500000IDR - 4000000IDR

>3000000IDR - 3500000IDR >2500000IDR - 3000000IDR

>2000000IDR - 2500000IDR >1500000IDR - 2000000IDR >1000000IDR - 1500000IDR >750000IDR - 1000000IDR

33,5 >500000IDR - 750000IDR 33,2

>250000IDR - 500000IDR <=250000 IDR

Source: GfK Indonesia

G AMBAR 8 S EGMENTASI H ARGA CPE DI I NDONESIA (S UMBER : G F K I NDONESIA )

Industri ini lebih menarik dibandingkan industri elektronik lainnya dikarenakan pertama, dari sisi ukuran perangkat, relatif lebih mudah melakukan impor daripada memanufakturnya dalam negeri. Industri elektronik lainnya seperti mesin cuci, televisi atau kulkas, untuk menghemat biaya kirim lebih banyak dilakukan assembly di dalam negeri. Sehingga, importasi produk ini cenderung lebih besar dibandingkan jumlah manufakturnya di dalam negeri. Kedua, nilai pasar produk ini lebih besar dibandingkan dengan produk elektronik dengan usia pakai yang lebih cepat, dimana untuk produk elektronik sekitar 3 sampai dengan 4 tahun. Ketiga, dengan masuknya Indonesia dalam perjanjian Information Technology Agreement [19], Indonesia ikut serta dalam tariff cutting mechanism untuk bea masuk produk TIK, sehingga produk impor untuk kategori ini terutama produk handphone telekomunikasi bernilai 0, padahal jika komponen produk telekomunikasi dirakit di dalam negeri akan dikenai pajak sesuai dengan ketentuan berlaku. Sehingga, sangat efisien bagi sebuah perusahaan untuk membuatnya di luar negeri.

Dari sisi segmentasi harga, menurut laporan GfK yang dapat dilihat pada Gambar 7 secara umum dapat terlihat bahwa segmentasi perangkat ini menuju kepada segmentasi smartphone. Namun pada satu sisi, pasar untuk featured-phone dengan harga di bawah 1 juta merupakan tren yang sangat besar di Indonesia (Gambar 8). Sehingga, sebagian besar manufaktur lokal menyasar segmen ini. Hal tersebut dapat dilihat dari rentang harga produk telekomunikasi industri lokal yang masih menyasar featured-phone yang nilainya dibawah satu juta rupiah. Hal ini dapat dihubungkan dengan segmentasi produk ini sebesar 60% untuk pasar dibawah 1 juta rupiah pada Gambar 8.

Kondisi Impor Perangkat Telekomunikasi Seluler di Indonesia Beradasarkan data produk impor perangkat telekomunikasi dari Kementerian

Perdagangan bahwa nilai impor produk ini sebesar USD 7 milyar sepanjang tahun 2012 sampai dengan September 2014. Nilai impor ini naik sebesar 16,76% antara tahun 2012 sampai dengan 2013 dan 8,20% antara tahun 2013 sampai dengan September 2014. Walaupun nilai impor ini mengalami peningkatan, namun jumlah barang yang diimpor mengalami penurunan sebesar (-3,61)% antara tahun 2012 sampai dengan 2013 dan (-13,47)% antara tahun 2013 sampai dengan September 2014. Hal tersebut dikarenakan pergeseran preferensi pasar dari low-end ke middle-end.

SEGMENTASI PASAR CPE TELEKOMUNIKASI

Low-End; Low-End;

JAN-13 SD SEP-14

G AMBAR 9 S EGMENTASI P ASAR CPE T ELEKOMUNIKASI S ELULER (S UMBER : K EMENTERIAN P ERDAGANGAN SD S EPTEMBER 2014, DIOLAH )

Dari data impor tersebut yang dapat terlihat pada rekapitulias pada Gambar

9, dapat dilihat bahwa CPE telekomunikasi seluler untuk kategori middle-end masih menguasai produk impor ini yaitu hampir setengah dari produk impor. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa setiap tahunnya penurunan jumlah pasar high-end menuju ke segmentasi middle-end dan secara garis besar, pasar handset seluler lebih banyak untuk pasar Middle-End. Rekapitulasi ini dikategorikan jika nilai impor tersebut harga satuannya di bawah Rp 500.000 dikategorikan sebagai handset low-end, harga satuannya di antara Rp500.000 – Rp2.000.000 dikategorikan sebagai handset middle-end, dan harga satuannya di atas Rp2.000.000 dikategorikan sebagai handset high- end.

Produk Impor Berdasarkan Merk Terbesar

Market Share

Jumlah Handset

G AMBAR 10 P ANGSA P ASAR CPE T ELEKOMUNIKASI S ELULER B ERDASARKAN M ERK (S UMBER : K EMENTERIAN P ERDAGANGAN SD S EPTEMBER 2014, DIOLAH )

Data Kementerian Perdagangan, sejak tahun 2012 sampai dengan September 2014, tercatat 117 merk perangkat seluler dengan Market-Share yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Adapun merk dengan pangsa pasar terbesar yang dapat dilihat pada rekapitulasi Gambar 10 yaitu Samsung, Nokia, Blackberry, Apple, Smartfren, Lenovo, Cross/Ever Cross, Sony, Mito, Advan dan Oppo. Hampir setengah pangsa pasar produk ini dikuasai oleh produk dengan merk Samsung, namun dari sisi jumlah perangkat yang beredar 20% perangkat berasal dari Merk lokal Cross/EverCoss. Merk lokal dengan Band Coss/EverCross, Advan dan Mito walaupun masuk ke dalam 10 besar pangsa pasar dari sisi jumlah namun masih menyasar kategori low-end sehingga dari sisi market share lebih kecil. Sebagai perbandingan pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan antara prosentase Data Kementerian Perdagangan, sejak tahun 2012 sampai dengan September 2014, tercatat 117 merk perangkat seluler dengan Market-Share yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Adapun merk dengan pangsa pasar terbesar yang dapat dilihat pada rekapitulasi Gambar 10 yaitu Samsung, Nokia, Blackberry, Apple, Smartfren, Lenovo, Cross/Ever Cross, Sony, Mito, Advan dan Oppo. Hampir setengah pangsa pasar produk ini dikuasai oleh produk dengan merk Samsung, namun dari sisi jumlah perangkat yang beredar 20% perangkat berasal dari Merk lokal Cross/EverCoss. Merk lokal dengan Band Coss/EverCross, Advan dan Mito walaupun masuk ke dalam 10 besar pangsa pasar dari sisi jumlah namun masih menyasar kategori low-end sehingga dari sisi market share lebih kecil. Sebagai perbandingan pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan antara prosentase

sisi Market-Share (Tabel 4).

Market-Share Impor Perangkat Telekomunikasi

Seluler

VIET NAM

UNITED STATES

TAIWAN, PROVINCE OF CHINA

KOREA, REPUBLIC OF

HONG KONG

G AMBAR 11 M ARKET -S HARE IMPOR CPE BERDASARKAN A SAL N EGARA (S UMBER : K EMENTERIAN P ERDAGANGAN SD S EPTEMBER 2014, DIOLAH )

T ABEL 4 11 M ERK T ERBESAR B EREDAR DAN K ATEGORI

Merk

Kategori Market

(Sumber: Kementerian Perdagangan sd September 2014, diolah) Dengan melihat asal negara (Country of Origin) CPE telekomunikasi, dapat

dilihat pada Gambar 11 bahwa sebagian besar perangkat berasal dari Tiongkok sebesar 81% kemudian Vietnam sebesar 17%, namun dari sisi nilai impor, Tiongkok memiliki Market Share sebesar 60% sementara sepertiga lainnya berasal dari Vietnam. Hal ini menunjukkan bahwa Tiongkok merupakan basis manufaktur CPE telekomunikasi walaupun merk bukan berasal dari negara tersebut, dimana pemegang merk cenderung melakukan chain modularity untuk menghemat proses produksi mereka [9]. Dalam hal ini manufaktur dilakukan di Tiongkok dimana proses manufaktur lebih murah, sementara distribusi dengan mendirikan perusahaan lokal di Indonesia. Dari data tersebut, brand-brand lokal lebih banyak melakukan produksinya di luar negeri dibandingkan di dalam negeri.

Perbandingan impor tiap tahun berdasarkan asal negara ini ditunjukkan pada Gambar 11 dan Gambar 12, dimana selama 3 tahun terakhir, produk CPE lebih banyak berasal dari Tiongkok dengan rata-rata 57% dengan jumlah perangkat sebesar 84% dari seluruh total perangkat yang beredar. Di sisi lain, jika dilihat dari perkembangannya, perangkat CPE yang berasal dari Vietnam, baru memulai impornya sejak tahun 2013 dan menguasai Market-share terbesar ke dua. Impor pada negara ini merupakan produk impor merk Samsung yang di assembly di negara tersebut.

Jumlah Barang Perangkat Telekomunikasi

Seluler

VIET NAM

UNITED STATES

TAIWAN, PROVINCE OF CHINA

KOREA, REPUBLIC OF

HONG KONG

G AMBAR 12 J UMLAH P ERANGKAT YANG DIIMPOR BERDASARKAN A SAL N EGARA (S UMBER : K EMENTERIAN P ERDAGANGAN SD S EPTEMBER 2014, DIOLAH )

T ABEL 5 K ATEGORI H ANDSET B ERDASARKAN N EGARA

Negara 2012

Keseluruhan Pengimpor

HONG KONG

KOREA SELATAN

PROVINCE OF CHINA THAILAND

UNITED STATES

VIET NAM

Middle-End (Sumber: Kementerian Perdagangan sd September 2014, diolah)

Jika dilihat market share negara lainnya cenderung turun tiap tahunnya, hal ini dikarenakan tren dari perangkat CPE low-end dan high-end menuju ke middle end, sebagai contoh untuk impor dari negara Meksiko yang menyasar pasar High-End dan India yang menyasar pasar Low-End yang cenderung turun. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5 yang merupakan rata-rata jenis kategori perangkat dari negara tersebut. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa pergeseran kategori perangkat dari Tiongkok selama 3 tahun ini dari

produksi CPE low-end menjadi middle-end.

Industri Perangkat Jaringan Telekomunikasi

Industri Perangkat Jaringan Telekomunikasi terutama untuk jaringan bergerak seluler secara keseluruhan dikuasai oleh Penanam Modal Asing. Industri ini dapat dikategorikan sebagai industri dengan value chain hierarki [4] atau masih integrated terutama di sisi perangkat infrastruktur radio, dikarenakan masing-masing elemen dalam produk ini cenderung lebih susah untuk di bagi menjadi perkomponen dan memiliki Intellectual Property yang tinggi seperti Chipset, Cell, SingleRAN, dan RRU dengan sedikitnya pemain di industri ini dengan persaingan ketat antar-vendor secara internasional, sehingga vendor harus mengembangkan dan memanufakturnya secara in-house. Tercatat ada 6 pemain di industri ini yang beroperasi di Indonesia yaitu PT.

Huawei Investment Tech Indonesia, Nokia Solution Network, Ericsson, Samsung Telecommunication, dan ZTE Indonesia. Dari kelima pemain tersebut, market- share dikuasai oleh Huawei sebesar 60% sejak tahun 2008.

PT. Huawei Investment Tech Indonesia PT. Huawei Investment Tech Indonesia atau Huawei masuk ke Indonesia sejak

tahun 2002 dan mengambil alih market-share di industri ini sebesar 60% sejak tahun 2008. Strategi pasar Huawei ditempuh melalui harga yang sangat bersaing dan hampir gratis sehingga Huawei berhasil meningkatkan market- sharenya dimana harga perangkat tersebut dioptimalkan dengan penerimaan dari Managed-Services. Selain itu biaya upgrade dan maintenance dibebankan kepada pengguna.

Huawei merupakan Market-leading di Indsutri ini dimana secara global mengalokasikan untuk pengembangan dan riset sebesar 10% revenue. Selain itu dengan keuntungan pabrikan di negeri Tiongkok, dimana perusahaan dapat membuat perangkat lebih cepat dan lebih murah, maka Huawei selalu siap dengan permintaan dan kebutuhan user. Kelebihan lain dari Huawei adalah, mereka menguasai pangsa pasar untuk di daerah Jawa dan Sumatera, sehingga sangat memudahkan untuk pemasangan dan maintenance.

Dengan penguasaan Market-Sahre begitu besar perusahaan ini dapat menerapkan Locking-Market dimana perpindahan merk perangkat sangat membebani operator dari sisi migrasi ke perangkat baru dan juga dampak ke pelanggan, sehingga user cenderung akan tetap memakai satu merk yang memiliki kompatibilitas yang sama. Dengan harga perangkat akan jenuh ke satu titik, sehingga keuntungan Huawei adalah, mereka sudah menguasai pangsa pasar di bidang ini namun dengan harga yang relatif sama.

PT. Nokia Solutions Networks Indonesia Nokia Solution Network masuk ke Indonesia sejak1996 dengan nama Nokia

kemudian merger dengan Divisi jaringan Siemen dengan pembelian saham 70% menjadi Nokia-Siemens Network, kemudian tahun 2011 mengambil penuh saham menjadi Nokia Solution Network. Saat ini mereka hanya menguasai 20% pangsa pasar di produk ini.

NSN sendiri memiliki strategi dalam persaingan usaha di bidang ini yaitu dengan technologi-leading dengan menginvestasikan sebesar 14% untuk biaya R&D. Strategi ini ditempuh agar mereka mendapatkan user-based yang besar pada saat technology-deploy pertama seperti di LTE dan 5G. Dengan cara ini, mereka dapat mengunci user untuk menggunakan produk mereka selama 5 tahun dengan cara Managed Service dan penggantian alat. Strategi lain NSN ke depan dengan melihat tren Software Defined Radio dibandingkan Hardware-Based yang dapat menghemat biaya produksi.

Tantangan NSN dimana mereka mengusai pangsa pasar untuk daerah dengan infrastruktur transportasi yang sulit seperti di Kalimantan dan Papua, sehingga biaya transportasi dan sumber daya manusia yang besar.

PT. Ericsson Indonesia Ericsson didirikan oleh Lars Magnus Ericsson pada tahun 1876. Ericsson

merupakan anak perusahaan dari Telefonaktiebolaget LM Ericsson (perusahaan registrasi number 556016-0680) yang berpusat di Stockholm, Swedia. Ericsson telah hadir di 5 benua termasuk diantaranya di negara Australia, Amerika, China, Canada, Singapore, Thailand, Korea, Japan, German. Ericsson mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1907. Ericsson menyediakan infrastruktur untuk solusi dan layanan komunikasi tetap dan bergerak kepada pelanggannya. Ericsson memasok jaringan selular (NMT) pertama pada tahun 1987 dan merupakan pelopor dalam menyediakan jaringan bergerak digital (GSM 900) di tahun 1995 dan juga jaringan GSM 1800 di tahun 2000 [20].

Dalam bidang jaringan telekomunikasi, saat ini PT. Ericsson Indonesia berfokus pada jaringan 2G, 3G dan sudah siap mengimplementasikan teknologi LTE. Saat ini Ericsson sedang melakukan uji coba LTE bersama dengan operator XL.

PT. Samsung Telecommunication Indonesia PT. Samsung Telecommunication Indonesia (Samsung Telecommunication)

masuk ke pasar infrastruktur telekomunikasi Indonesia sejak tahun 2003. Sejak awal masuk, Samsung mengkhususkan pada pasar infrastruktur CDMA seperti untuk Flexi-Telkom dan Mobile8, dimana Samsung menjadi pemain tunggal untuk infrastruktur ini. Hal ini dikarenakan negara asal Samsung mengadopsi

CDMA sebagai teknologi dasar mereka dan pemain lainnya seperti NSN dan Ericson fokus pada infrastruktur 2G dan 3G.

Sejak masuknya Huawei dan ZTE yang juga ikut bermain pada pasar ini, Samsung hanya mendapatkan market-share sebesar 30%. Lini bisnis Samsung sekarang untuk mensupport perangkat pada operator Smart-Fren. Dikarenakan locking-user, maka sangat sulit untuk merebut kembali market- share yang ada dikarenakan migrasi merk perangkat membutuhkan effort yang lebih. Selain itu, Samsung tidak memiliki lini Managed Services dikarenakan pangsa pasarnya yang sangat kecil

Kelebihan Samsung fokus kepada kualitas perangkat, namun dari satu sisi mempengaruhi harga jual sehingga berimbas kepada kurang bersaingnya harga dengan perangkat Huawei dan ZTE. Saat ini Samsung menguasai pasar infrastruktur untuk wilayah Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi untuk perangkat CDMA.

Strategi dalam menghadapi persaingan ke depan adalah dengan 2 cara yaitu dengan menambah pangsa pasar dan penjualan dan menambah variasi produk seperti infrastruktur akses sehingga bisa melakukan cross- subsidy untuk harga perangkat infrastruktur telekomunikasi yang mereka jual

Dengan adanya roadmap dari Kementerian Kominfo untuk memigrasi SmartFren dan WCDMA850 ke teknoogi netral yang mengarah ke LTE, Samsung pada dasarnya akan mengikuti pola tersebut, namun jika persaingan di ranah LTE ini sangat ketat, maka dipastikan akan keluar dari pasar Indonesia dikarenakan harga pasar yang kurang sehat

PT. ZTE Indonesia PT. ZTE Indonesia (ZTE) mulai masuk ke pasar Indonesia pada tahun 1999, PT

ZTE Indonesia telah tumbuh menjadi salah satu anak perusahaan ZTE terbesar di luar negeri asaalnya dengan kantor pusat di Jakarta dan empat kantor regional di Kalimantan (Balikpapan & Banjarmasin), Sumatera (Medan), Sulawesi (Manado, Makassar), dan Jawa (Semarang, Bandung, dan Surabaya). Saat ini untuk perangkat jaringan telekomunikasi, ZTE Indonesia berfokus pada teknologi CDMA, 2G, 3G dan LTE. ZTE Indonesia juga menjalankan bisnis sebagai Managed Service Provider (MSP) di bidang telekomunikasi, yaitu menjalankan fungsi optimasi, monitoring, trouble shooting, network planning dan lain-lain bagi klien-kliennya.

Kebijakan Industri Perangkat Telekomunikasi

Ketentuan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN)

Peraturan Menteri Perindustrian Nomor: 16/M-IND/PER/2/2011 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri ini mulai berlaku pada tanggal 21 Februari 2011 serta menjadi pedoman seluruh produsen ponsel di tanah air. Peraturan Menteri ini digunakan dalam rangka peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan menciptakan pengembangan industrilisasi telepon seluler. Hal seiring dengan semakin meningkatnya volume impor produk tersebut yang tidak memenuhi standar, maka standar mutu dan teknis produk tersebut harus lebih diperhatikan demi melindungi kepentingan konsumen. Pada Pasal 1 ayat 1 di Peraturan menteri ini menyatakan produk dalam negeri adalah barang/jasa termasuk rancang bangun dan perekayasaan yang diproduksi atau dikerjakan oleh perusahaan yang berinvestasi dan berproduksi di Indonesia, yang dalam proses produksi atau pengerjaannya dimungkinkan penggunaan bahan baku/komponen impor.

Aturan TKDN mendefinisikan produk dalam negeri adalah barang yang diproduksi oleh perusahaan yang berinvestasi dan berproduksi di Indonesia (wilayah kedaulatan negara - NKRI). Tingkat komponen dalam negeri, yang selanjutnya disebut TKDN, didefinisikan sebagai besarnya komponen dalam negeri pada barang, jasa dan gabungan barang dan jasa. Komponen dalam negeri pada barang adalah penggunaan bahan baku, rancang bangun dan perekayasaan yang mengandung unsur manufaktur, fabrikasi, perakitan, dan penyelesaian akhir pekerjaan yang berasal dari dan dilaksanakan di dalam negeri. Sedangkan komponen dalam negeri pada jasa adalah penggunaan jasa sampai dengan penyerahan akhir dengan memanfaatkan tenaga kerja termasuk tenaga ahli, alat kerja termasuk perangkat lunak dan sarana pendukung yang berasal dari dan dilaksanakan di dalam negeri. Seperti telah ditunjukkan sebelumnya bahwa penetapan nilai TKDN didasarkan kriteria:

1. Untuk bahan material langsung berdasarkan negara asal barang;

2. Untuk alat kerja/fasilitas kerja berdasarkan kepemilikan dan negara asal;

3. Untuk tenaga kerja berdasarkan kewarganegaraan. Sementara itu, biaya bahan (material) langsung, biaya tenaga kerja

langsung dan biaya tidak langsung pabrik dihitung sampai di lokasi pengerjaan (pabrik workshop) untuk produk barang yang bersangkutan. Penetapan kriteria di atas sifatnya subyektif berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Hal ini memungkinkan nilai TKDN yang berbeda untuk produk yang sama tapi diproduksi oleh perusahaan yang berbeda.

Tata Cara Ketentuan Perizinan Impor Telepon Seluler, Komputer Genggam (Handheld), dan Komputer Tablet

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 82/M- DAG/PER/12/2012 Tentang Ketentuan Impor Telepon Seluler, Komputer Genggam (Handheld), dan Komputer Tablet ini mulai berlaku pada tanggal

1 Januari 2013 dan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 38/M-DAG/PER/8/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 82/M-DAG/PER/12/2012 Tentang Ketentuan Impor Telepon Seluler, Komputer Genggam (Handheld), dan Komputer Tablet ini mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus serta menjadi acuan seluruh distributor perusahaan elektronik di tanah air. Aturan ini diterbitkan guna mendukung Kesehatan, Keamanan, Keselamatan dan Lingkungan (K3L), serta industrialisasi telepon seluler dan komputer di masa yang akan datang. Seiring dengan semakin meningkatnya volume impor ketiga jenis produk tersebut yang tidak memenuhi standar, maka standar mutu dan teknis produk tersebut harus lebih diperhatikan demi melindungi kepentingan konsumen.

Kedua Peraturan Menteri Perdagangan tersebut diatas pada pasal 1 Ayat 4 menyatakan impor adalah kegiatan memasukan barang ke dalam Daerah Pabean. Artinya Peraturan Menteri Perdagangan itu dapat didefinisikan produk impor adalah produk yang dimasukan ke dalam Daerah Pabean, bukan dilihat dari negara asal produk.

Dalam Peraturan Menteri Perdagangan ini, setiap telepon seluler, komputer genggam dan komputer tablet yang diimpor harus memenuhi standar dan persyaratan teknis yang berlaku, Beberapa contoh syarat teknis yang ditetapkan, antara lain:

1. Syarat pelabelan serta manual dan kartu garansi purna jual dalam bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Standardisasi

Kementerian Perdagangan, dan standar teknis dari Kementerian Komunikasi dan Informatika.

2. Untuk dapat melakukan impor ketiga jenis produk tersebut, perusahaan harus mendapat penetapan Importir Terdaftar (IT) dan Persetujuan Impor (PI) Telepon Seluler, Komputer Genggam dan Komputer Tablet dari Menteri Perdagangan.

3. Untuk mendapatkan PI tersebut, Importer Terdaftar harus terlebih dahulu mendapatkan Tanda Pendaftaran Produk (TPP) Impor dari Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi (IUBTT), Kementerian Perindustrian, dan Sertifikat Alat dan Perangkat Telekomunikasi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika.