BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Nilai Titik Potong D-Dimer Sebagai Penanda Terjadinya Trombosis Vena Dalam pada Pasien Kanker Ovarium sebelum Operasi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. KANKER OVARIUM

2.1.1. EPIDEMIOLOGI

  Kanker ovarium adalah penyebab utama kematian akibat kanker di Amerika Serikat, terutama karsinoma jenis epitel. Meskipun mayoritas kanker ovarium adalah jenis epitel, kanker ovarium dapat juga berasal dari sel lain yang terdapat di ovarium, akan tetapi angka kejadian

  1,16 tumor ovarium non-epitelial kecil.

  Kanker ovarium jarang ditemukan pada usia di bawah 40 tahun. Angka kejadian meningkat dengan makin tuanya usia; dari 15-16 per 100.000 pada usia 40-44 tahun, menjadi paling tinggi dengan angka 57 per 100.000 pada usia 70-74 tahun. Usia median saat diagnosis

  16 adalah 63 tahun dan 48% penderita berusia di atas 65 tahun.

  Karena belum ada metode skrining yang efektif untuk kanker ovarium, 70% kasus ditemukan pada keadaan yang sudah lanjut yakni setelah tumor menyebar jauh di luar ovarium, sehingga angka kematian akibat kanker ovarium ini cukup tinggi. Satu penelitian melaporkan meningkatnya 5-year survival rate dengan makin akuratnya tindakan surgical staging yang

  16 dilakukan.

  Stadium Five-year Survival rate (%)

  Semua stadium 36 – 42 Stadium I 70 – 100

  Stadium II 55 – 63 Stadium III 10 – 27

  Stadium IV 3 – 15

  16 Tabel 2.1. Five-year survival rate kanker ovarium berdasarkan stadium

2.1.2. GEJALA DAN TANDA

  Karena pada stadium dini gejala-gejala kanker ovarium tidak khas, lebih dari 70% penderita kanker ovarium ditemukan sudah dalam stadium lanjut. Mayoritas penderita kanker ovarium jenis epitel tidak menunjukkan gejala sampai periode waktu tertentu. Pada stadium awal kanker ovarium ini muncul dengan gejala-gejala tidak khas. Bila penderita dalam usia perimenopause, keluhan mereka adalah haid yang tidak teratur. Bila masa tumor telah menekan kandung kemih atau rektum, keluhan sering berkemih dan konstipasi akan muncul. Kadang- kadang gejala seperti distensi perut sebelah bawah, rasa tertekan, dan nyeri dapat pula ditemukan. Pada stadium lanjut gejala-gejala yang ditemukan umumnya berkaitan dengan

  16 adanya asites, metastasis ke omentum (omental cake), atau metastasis ke usus.

  Tanda paling penting adanya kanker ovarium adalah ditemukannya massa tumor di pelvis. Bila tumor tersebut padat, bentuknya ireguler dan terfiksir ke dinding panggul, keganasan perlu dicurigai. Bila di bagian atas abdomen ditemukan juga massa dan disertai asites, keganasan hampir dapat dipastikan. Menurut Piver perhatian khusus harus diberikan jika ditemukan kista ovarium berdiameter > 5 cm, karena pada 95% kasus kanker ovarium, tumornya berdiameter > 5 cm. Dengan demikian, bila tumor sebesar ini ditemukan pada pemeriksaan pelvis, evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan untuk menyingkirkan keganasan, khususnya pada wanita yang telah berusia > 40 tahun. Jika ditemukan massa kistik berukuran 5 – 7 cm pada usia reproduktif kemungkinan kista tersebut suatu kista fungsional yang akan mengalami regresi dalam masa 4 – 6 minggu kemudian. Bilateralitas pada kista jinak hanya ditemukan pada 5% kasus, sedangkan pada kista ganas ditemukan pada 25% kasus. Oleh karena itu, jika ditemukan kista ovarium bilateral harus dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan untuk menyingkirkan keganasan termasuk

  16 pada penderita yang masih berusia muda.

  Berek mengambil batasan ukuran kista 8 cm, jika kista tersebut berukuran > 8 cm, sangat mungkin kista tersebut suatu neoplasma, bukan kista fungsional. Kista yang berukuran < 8 cm, dapat dianggap sebagai kista fungsional jika pada pemeriksaan ginekologi ditemukan kista yang mudah digerakkan, kistik, unilateral, dan permukaan rata. Jika massa tersebut dicurigai ganas, dengan tanda-tanda massa besar, dominan padat, lengket dengan sekitarnya, dan bentuknya tidak teratur, tindakan laparotomi harus dilakukan. Pada saat operasi kemungkinan keganasan dapat pula diprediksi dengan memperhatikan beberapa penampilan makroskopis dari tumor ovarium

  16 seperti dalam tabel berikut.

  Jinak Ganas

  Unilateral Bilateral Kapsul utuh Kapsul pecah

  Bebas dari perlengketan Adanya perlengketan dengan organ sekitar Permukaan licin Pertumbuhan abnormal di permukaan tumor

  Tidak ada asites Asites hemoragik Peritoneum licin Ada metastasis di peritoneum

  Seluruh permukaan tumor viabel Ada bagian-bagian yang nekrotik dan berdarah Tumor kistik Padat atau kistik dengan bagian-bagian padat

  Permukaan dalam kista licin Terdapat pertumbuhan papiler intra kista Bentuk tumor seragam Bentuk tumor bermacam-macam

  16 Tabel 2.2. Tampilan makroskopik tumor ovarium jinak dan ganas

2.1.3. STADIUM

  Stadium kanker ovarium disusun menurut keadaan yang ditemukan pada operasi eksplorasi, atau laparotomy surgical staging. Stadium tersebut menurut International Federation

  16,17

  of Gynecologist and Obstetricians (FIGO) tahun 2000 adalah seperti dalam tabel berikut:

  Stadium Keterangan

  I Tumor terbatas pada ovarium

  IA Tumor terbatas pada satu ovarium, kapsul tumor utuh, tidak ada pertumbuhan di permukaan ovarium, tidak ada sel tumor pada cairan asites ataupun pada bilasan cairan di rongga peritoneum

  IB Tumor terbatas pada dua ovarium, tidak ada pertumbuhan tumor pada permukaan kapsul, tidak ada sel tumor pada cairan asites ataupun pada bilasan cairan di rongga peritoneum

  IC Tumor terbatas pada satu atau dua dengan salah satu faktor dari kapsul tumor yang pecah, pertumbuhan tumor pada permukaan kapsul, ditemukan sel tumor ganas pada cairan asites ataupun bilasan rongga peritoneum

  II Tumor pada satu atau dua ovarium dengan perluasan di pelvis

  IIA Tumor meluas ke uterus dan atau ke tuba tanpa sel tumor di cairan asites ataupun bilasan rongga peritoneum

  IIB Tumor meluas ke jaringan organ pelvis lainnya tanpa sel tumor di cairan asites ataupun bilasan rongga peritoneum

  IIC Perluasan di pelvis (IIA atau IIB) dengan ditemukan sel tumor di cairan asites atau bilasan rongga peritoneum

  III Tumor pada satu atau dua ovarium disertai dengan perluasan tumor pada rongga peritoneum di luar pelvis dengan atau metastasis ke kelenjar getah bening regional

  IIIA Metastasis mikroskopis di luar pelvis

  IIIB Metastasis makroskopis di luar pelvis dengan besarnya lesi metastasis yang kurang atau sama dengan 2 sentimeter

  IIIC Metastasis makroskopis di luar pelvis dengan besarnya lesi metastasis yang lebih dari 2 sentimeter dan atau metastasis ke kelenjar getah bening regional

  IV Metastasis jauh ( di luar rongga peritoneum )

Tabel 2.3. Stadium kanker ovarium menurut International Federation of Gynecology and

17 Obstetrics (FIGO) 2000.

2.1.4. DIAGNOSIS

  Diagnosis kanker ovarium memerlukan pemeriksaan histopatologi jaringan yang diperoleh melalui tindakan laparotomi eksplorasi. Selain dari anamnesa dan pemeriksaan fisik ginekologi yang dilakukan, pemeriksaan pembantu dapat pula dilakukan, yaitu :

  • Ultrasonografi (USG)

  USG adalah cara pemeriksaan non-invasif yang relatif murah. Dengan USG dapat secara tegas dibedakan tumor kistik dengan tumor yang padat. Pada tumor dengan bagian-bagian padat (echogenik) persentase keganasan makin meningkat. Sebaliknya, pada tumor kistik tanpa

  16

  ekointernal (anechoic) kemungkinan keganasan menurun. Pada umumnya, tumor ganas ovarium mempunyai gambaran multilokulasi, komponen padat atau echogenik dan mempunyai

  18 septa yang tebal dengan area nodular.

  Pemakaian USG transvaginal color Doppler dapat membedakan tumor ovarium jinak dengan tumor ovarium ganas. Modalitas ini didasarkan kepada analisis gelombang suara Doppler (resistance index atau RI, pulsatility index atau PI, dan velocity) dari pembuluh-pembuluh darah pada tumor yang menunjukkan peningkatan arus darah diastolik dan perbedaan kecepatan arus

  16 darah sistolik dan diastolik. Keganasan dicurigai jika RI < 0,4.

  • Computed Tomography Scanning (CT-Scan)

  Pemakaian CT-Scan untuk diagnosis tumor ovarium juga sangat bermanfaat. Dengan CT- Scan dapat diketahui ukuran tumor primer, adanya metastasis ke hepar, dan kelenjar getah bening, asites, dan penyebaran ke dinding perut. Akan tetapi, CT-Scan kurang disenangi karena (1) resiko radiasi, (2) resiko reaksi alergi terhadap zat kontras, (3) kurang tegas dalam

  16 membedakan tumor kistik dengan tumor padat, dan (4) biayanya mahal.

  • Magnetic Resonance Imaging (MRI)

  Jika dibandingkan dengan CT-Scan, MRI tidak lebih baik dalam hal diagnostik, menggambarkan penjalaran penyakit, dan menentukan lokasi tumor di abdomen atau pelvis. CT-

  16 Scan lebih dianjurkan dalam evaluasi kanker ovarium.

  • Pemeriksaan tumor marker (CA-125)

  Pada tahun 1981, Bast dan kawan-kawan pertama kali mendeskripsikan CA 125, suatu glikoprotein yang dikenal oleh antibodi monoklonal murine OC 125 sebagai penanda untuk keganasan epitel. CA 125 merupakan penanda tumor yang paling sering digunakan untuk kanker

  19

  ovarium. CA 125 adalah antigen yang dihasilkan oleh epitel coelom dan epitel amnion. Pada orang dewasa CA 125 dihasilkan oleh epitel coelom (sel mesotelial pleura, perikardium, dan peritoneum) dan epitel saluran muller (tuba, endometrium, dan endoserviks). Permukaan epitel ovarium fetus dan dewasa tidak menghasilkan CA 125, kecuali kista inklusi, permukaan epitel ovarium yang mengalami metaplasia, dan yang mengalami pertumbuhan papiler. Kadar normal paling tinggi yang disepakati untuk CA 125 adalah 35 U/ml. Untuk penderita yang telah mengalami menopause atau histerektomi, kadar normalnya lebih rendah, yaitu 20 U/ml dan 26 U/ml. Pada 83% penderita kanker ovarium epitelial, kadar CA 125 adalah > 35 U/ml. Kadar CA 125 yang meningkat ditemukan pada 50% kanker ovarium stadium I dan pada 90% penderita

  16 kanker ovarium epitelial stadium lanjut.

  Pemeriksaan kadar CA 125 ini mempunyai spesifisitas dan positive predictive value yang rendah. Hal ini karena pada kanker lain seperti kanker pankreas, kanker mamae, kanker kandung kemih, kanker liverm dan kanker paru, kadar CA 125 juga meningkat. Di samping itu, pada keadaan bukan kanker seperti divertikulitis, mioma uteri, endometriosis, kista jinak ovarium, abses tubovarium, sindroma hiperstimulasi ovarium, kehamilan ektopik, kehamilan, dan

  16 menstruasi, kadar CA 125 juga meningkat.

  • Indeks Risiko Keganasan (IRK)

  Jacob dan kawan-kawan pada tahun 1990, membuat indeks risiko keganasan (IRK) berdasarkan kadar serum CA 125, status menopause, dan hasil ultrasonografi, dan merekomendasikan penggunaannya untuk membedakan tumor jinak atau ganas dari tumor ovarium. Dari hasil penelitian Jacob dan kawan-kawan, dengan menggunakan indeks risiko keganasan (IRK) dengan skor IRK = 200, sensitivitasnya adalah 85,4% dan spesifisitasnya adalah 96,9%. Hasil ini lebih akurat diibandingkan dengan penggunaan ultrasonografi dan serum

  20,21 CA 125 secara sendiri-sendiri.

  Indeks resiko keganasan menurut Jacob dan kawan-kawan (IRK) dihitung dengan

  20,21

  menggunakan rumus:

  IRK = U x M x Serum CA 125 Keterangan : U = hasil ultrasonografi dimana karakteristik ultrasonografi yang dijumpai :

  • multilokulasi kista ovarium
  • komponen solid pada tumor ovarium

  • lesi bilateral
  • asites
  • adanya bukti metastasis intra abdomen Nilai U = 0, jika tidak dijumpai karakteristik ultrasonografi di atas Nilai U = 1, jika dijumpai salah satu karakteristik ultrasonografi di atas Nilai U = 3, jika dijumpai dua hingga lima karakteristik ultrasonografi di atas M = status menopause Nilai M = 1, jika belum menopause

  Nilai M = 3, jika sudah menopause Serum CA 125 = kadar serum penanda tumor CA 125 dalam U/ml

  Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) menggunakan Indeks Risiko

  Keganasan (IRK) sebagi cara yang efektif triase wanita untuk dikelompokkan menjadi risiko

  22 rendah, sedang, atau tinggi.

  Risiko Indeks Risiko Keganasan

  Rendah < 25

  Sedang 25 – 250 Tinggi

  > 250

  22 Tabel 2.4. Risiko keganasan berdasarkan Indeks Risiko Keganasan

  IRK ini bisa digunakan untuk merujuk pasien ke pusat onkologi untuk mendapat

  23 pengobatan yang lebih sesuai dan terapi pembedahan yang lebih efektif.

2.1.5. PROGNOSIS Penanganan kanker ovarium sampai saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan.

  Kanker ovarium memiliki prognosa yang buruk, dan selain itu seringkali hal ini disertai dengan komplikasi terjadinya deep venous thrombosis (DVT) yang juga dapat berakibat fatal. Karena gejala yang tidak spesifik sampai terjadi metastase, pasien sering datang dengan keadaan kanker ovarium yang sudah lanjut pada lebih dari dua pertiga kasus (sekitar 70%), dan keadaan lanjut ini tampaknya berhubungan dengan resiko yang lebih besar untuk terjadinya kejadian tromboembolisme. Dalam beberapa tahun terakhir, dijumpai hubungan peningkatan terjadinya

   1,3,4,6 DVT dengan tindakan operasi dan prosedur terapi yang ada sekarang.

DEEP VEIN THROMBOSIS (DVT) 2.2.

2.2.1. DEFINISI

  Venous thromboembolic disease (VTE) merupakan suatu istilah yang mencakup deep

  (DVT) dan pulmonary embolism (PE), atau kombinasi dari keduanya. DVT

  vein thrombosis

  merupakan suatu kondisi pada pembuluh darah dimana terbentuk bekuan darah di vena dalam pada sistem sirkulasi vena dalam. PE terjadi apabila sebagian dari trombus atau bekuan darah tadi terlepas atau terpisah dari dinding vena, dan pindah melalui aliran pembuluh darah menuju

  7,24 arteri pulmonal.

  DVT ini paling sering dijumpai (70-80%) pada vena proksimal (di atas atau proximal dari lutut), terutama vena poplitea dan vena femoralis. DVT pada daerah ini merupakan resiko tinggi untuk terjadinya emboli paru. Selain itu, DVT juga dapat terjadi di bawah atau distal dari lutut (vena di daerah betis), yaitu pada vena tibialis anterior, vena perineal, dan vena tibialis posterior. Namun DVT pada daerah ini jarang terjadi dan merupakan resiko rendah untuk terjadinya

  25,26 emboli paru.

  25,26

Gambar 2.1. Anatomi Vena Ekstremitas Bawah

  2.2.2. PREVALENSI

  DVT bukan merupakan keadaan yang jarang terjadi. Sekitar 900.000 orang didiagnosa dengan VTE setiap tahunnya, dengan 1 dari 20 warga Amerika pernah mengalami DVT sepanjang hidupnya. Beberapa penelitian epidemiologi memperkirakan insidensi tahunan sebanyak 80 kasus dari 100.000. Resiko absolut dari terjadinya DVT pada pasien-pasien rawat inap yang tidak menerima profilaksis terbilang lebih tinggi, dengan insidensi bervariasi dari 10 sampai 80%. Walaupun diagnosis dari DVT dapat dihubungkan dengan angka morbiditas yang tinggi, konsekuensi yang paling berbahaya dari VTE adalah PE. Sebanyak 10% dari kematian di rumah sakit dapat disebabkan oleh emboli paru, sehingga PE merupakan penyebab kematian di

  7 rumah sakit yang dapat dicegah yang paling tinggi di Amerika.

  2.2.3. PATOFISIOLOGI

  Berdasarkan triad of Virchow’s terdapat tiga faktor yang berperan dalam patofisiologi trombosis, yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah, dan perubahan daya beku darah. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan, tetapi besarnya peranan masing-masing faktor tidak sama. Pada trombosis arteri faktor yang paling penting adalah kelainan dinding pembuluh darah, sedangkan pada trombosis vena yang terpenting adalah adanya stasis dan hiperkoagulabilitas. Berbagai kelainan koagulasi dan trombosit baik yang bersifat herediter

  11,27,28 maupun yang didapat bisa menimbulkan hiperkoagulabilitas dan menyebabkan DVT.

  2.2.3.a.PERUBAHAN ALIRAN DARAH

  Pada vena, aliran darah cenderung lambat, bahkan dapat terjadi stasis pada vena di tungkai yang mengalami immobilisasi. Stasis ini mengakibatkan gangguan mekanisme pembersih sehingga menimbulkan akumulasi faktor-faktor pembekuan yang aktif. Trombosis vena biasanya mulai di tempat yang mengalami stasis, misalnya pada daerah antara dinding vena dan katup yang disebut valve-pocket thrombi. Kecepatan aliran darah dipengaruhi oleh viskositas darah. Menurut Verstraete faktor-faktor yang menentukan viskositas darah adalah nilai hematokrit, kemampuan eritrosit untuk berubah bentuk, serta kadar fibrinogen dan protein-

  11 protein lain yang bermolekul besar.

  2.2.3.b.PERANAN PEMBULUH DARAH

  Pada trombosis vena, kerusakan endotel tidak memegang peranan penting, kecuali pada trombosis vena femoralis yang terjadi setelah operasi panggul. Pada operasi ini terjadi kerusakan jaringan yang luas dan melibatkan vena. Selain efek mekanik tindakan operasi, pemakaian alat protese juga dapat merusak dinding vena dan kerusakan ini berlangsung relatif lama. Penurunan tonus vena yang terjadi pada kehamilan dan pemakaian pil kontrasepsi akan menimbulkan stasis

  11 sehingga memudahkan terjadinya trombosis. Diduga hal ini karena efek estrogen.

  2.2.3.c.PERUBAHAN DAYA BEKU DARAH

  Dalam keadaan normal, terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan darah dan sistem fibrinolisis maupun antara kedua sistem tersebut. Kecenderungan trombosis timbul bila aktivitas sistem pembekuan darah meningkat dan atau aktivitas sistem fibrinolisis menurun. Menurut beberapa peneliti, darah penderita trombosis lebih cepat membeku dibandingkan orang

  11 normal. Keadaan tersebut disebut hiperkoagulabilitas.

2.2.4. TANDA DAN GEJALA

  Pada kebanyakan pasien, DVT muncul tanpa tanda dan gejala, ataupun sangat tersamar, sehingga pasien tidak menyadari bahwa kondisi ini ada. Ketika tanda dan gejala sudah ada, intensitas dan berbagai gejala berhubungan langsung dengan derajat dari obstruksi aliran vena

  7 dan inflamasi dari dinding pembuluh darah.

  Tanda dan gejala yang sering dijumpai dari DVT termasuk pembengkakan yang tiba-tiba dari salah satu ekstremitas, kemerahan atau perubahan warna kulit, rasa panas di daerah yang terlibat, nyeri yang diperparah dengan aktivitas tetapi tidak hilang setelah istirahat, sedikit

  7 demam, dan takikardia.

  Emboli paru merupakan suatu keadaan yang mengancam nyawa karena terbentuknya emboli dapat menghalangi aliran darah pulmonal. Hal ini dapat menyebabkan syok kardiogenik yang diikuti dengan kegagalan sirkulasi hingga kematian. Lebih dari 60% emboli paru tidak terdiagnosa secara klinis, dan kematian dapat terjadi dalam waktu yang singkat sekitar 30 menit. Emboli paru yang simptomatis biasanya dikarakteristikkan dengan nafas yang memendek, hipoksia, takikardia, nyeri dada pleuritis, hemoptisis, hipotensi, kelelahan, atau kegagalan

  7 sirkulasi perifer.

2.2.5. KOMPLIKASI

  Emboli paru merupakan komplikasi yang paling segera dan signifikan dari DVT. Emboli paru dapat dideteksi pada lebih dari 50% pasien dengan diagnosa DVT. Lebih dari 80% pasien yang telah dikonfirmasi diagnosa emboli paru memiliki DVT asimptomatik. Walaupun emboli paru merupakan penyebab terbesar mortalitas yang berhubungan dengan DVT, komplikasi lain

  7 juga dapat muncul.

  Komplikasi lain yang penting adalah DVT rekuren dan post-thrombotic syndrome. Lebih dari 30% pasien dapat mengalami DVT rekuren dalam waktu delapan tahun setelah diagnosa awal. Banyak pasien dengan DVT rekuren memerlukan terapi jangka panjang, jika tidak seumur hidup, untuk menangani keadaan ini. Post-thrombotic syndrome (PTS) merupakan komplikasi lain dari DVT yang terjadi pada lebih kurang 29% pasien dengan DVT simptomatis dalam kurun waktu 8 tahun setelah kejadian awal. PTS biasanya terjadi secara sekunder akibat kerusakan katup vena, yang memicu hipertensi vena dan dapat mempengaruhi integritas dari sistem vaskular pada ekstremitas bawah. Gejala primer dari PTS termasuk nyeri, varikosa vena, edema,

  7 ektasia vena, indurasi, dan ulserasi.

2.2.6. DIAGNOSIS

  Resiko klinis, kecurigaan, dan probabilitas dapat memperingatkan praktisi untuk kemungkinan DVT. Diagnosis kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan kinis dan hasil dari pemeriksaan diagnostik. Identifikasi dari resiko DVT berhubungan dengan faktor patofisiologis berdasarkan hipotesis dari Rudolph Virchow lebih dari 100 tahun yang lalu. Virchow percaya bahwa terbentuknya suatu trombosis merupakan hasil langsung dari interaksi berbagai faktor, termasuk statis vena, kerusakan endotel pembuluh darah dan hiperkoagulabilits dari darah. Kondisi dan faktor predisposisi yang merepresentasikan ketiga aspek penelitian Virchow tadi adalah adanya DVT sebelumnya atau riwayat keluarga trombosis, gangguan koagulasi, usia di

  2

  atas 55 tahun (insiden meningkat dengan usia), kegemukan (BMI > 25 kg/m ), imobilitas (tirah baring atau duduk untuk jangka waktu yang lama), trauma mayor, riwayat operasi, kanker, terapi kanker (hormonal, kemoterapi, atau radioterapi), merokok, sepsis berat, hipertensi,

  7,24,29,30 hiperlipidemia, kehamilan atau masa postpartum.

  11,31

Tabel 2.5. Faktor risiko DVT Sebagai tambahan dari beberapa keadaan spesifik, intervensi dan penanganan klinis juga dapat meningkatkan resiko terbentuknya DVT. Pada pasien-pasien yang dilakukan tindakan pembedahan, insiden dari DVT dipengaruhi selain oleh faktor-faktor yang sudah ada seperti disebut di atas, juga faktor-faktor yang berhubungan dengan prosedur operasi sendiri, termasuk lokasi, teknik, dan durasi dari prosedur; jenis anestesi, adanya infeksi, dan derajat imobilisasi setelah operasi. Resiko tromboembolisme vena pada pasien-pasien yang dilakukan tindakan pembedahan pada kasus ginekologi yang tidak mendapat profilaksis diperkirakan sekitar 2%

  7,29 sampai 80%.

  29 Tabel 2.6. Tingkatan risiko tromboembolisme pada pasien operasi tanpa profilaksis

  Sebagai tambahan untuk evaluasi klinis kemungkinan, faktor rIsiko, dan adanya gejala, digunakan juga skoring untuk membantu menentukan diagnosa DVT. Skoring yang sering

  7 digunakan dan sudah tervalidasi adalah Modified Wells Score.

  7 Tabel 2.7. Modified Wells Score

  Diagnosis secara klinis tidak sensitif dan tidak akurat karena tanda dan gejala dari DVT bisa tidak spesifik. Tidak dapat diterima untuk mendiagnosis DVT atau PE hanya secara klinis dan memberikan terapi antikoagulan tanpa dilakukannya konfirmasi dengan pemeriksaan objektif. Berbagai algoritma diagnostik yang non-invasif dan efektif dari segi biaya telah dievaluasi. Suatu penanda atau marker laboratorium tunggal yang dapat mengkonfirmasi diagnosis atau menyingkirkan penyakit ini, dalam hal ini D-Dimer, dapat dianggap sebagai suatu

  32 kemajuan yang baik dalam bidang medis.

  Beberapa evaluasi diagnostik yang digunakan untuk menegakkan atau menyingkirkan

  7,14,33

  diagnosis dari DVT, termasuk pemeriksaan:

  • D-Dimer

  D-Dimer yang menggambarkan degradasi fibrin di dalam darah, sering digunakan sebagai pemeriksaan awal adanya DVT. Penelitian klinis mendukung hipotesa bahwa kadar D-Dimer yang rendah dapat menyingkirkan DVT pada pasien-pasien dengan resiko rendah sampai sedang dan skor Well kurang dari 2. Perlu diingat bahwa spesifisitas D-Dimer untuk menyingkirkan DVT tinggi (96%), namun karena sensitivitas D-Dimer untuk menegakkan DVT rendah (40%), hasil dari pemeriksaan ini lebih terbatas untuk menyingkirkan daripada menegakkan diagnosis

  7,14,32,33

  DVT. Kadar D-Dimer serum yang dianggap normal atau negatif untuk DVT adalah kurang dari 500 ng/mL, sementara kadar D-Dimer 500 ng/mL atau lebih dianggap sebagai positif

  34

  untuk DVT. Beberapa penelitian lain menyebutkan batasan kadar D-Dimer yang lebih rendah

  12

  yaitu 400 ng/mL sebagai batasan untuk menegakkan atau menyingkirkan adanya DVT. Namun pemeriksaan D-Dimer dengan nilai cut-off sebesar 500 ng/mL mempunyai spesifisitas paling

  11 tinggi yaitu lebih kurang 99% untuk menyingkirkan adanya DVT.

  • Ultrasonografi Ultrasonografi duplex dengan kompresi merupakan suatu pemeriksaan non invasif yang sensitif dan spesifik untuk diagnosis DVT dengan sensitifitas untuk thrombosis vena proximal mencapai 97%. Ultraonografi menjadi alat diagnostik yang baik, yang banyak digunakan saat ini

  7,14,32,33 sebagai standar untuk menegakkan DVT.

  • Magnetic Resonance Imaging (MRI)

  MRI sensitif dan spesifik dalam menegakkan trombosis pada vena pelvis. Biaya MRI cukup mahal, dan alat ini tidak boleh digunakan pada pasien-pasien dengan alat pacu jantung atau implan metal lain, namun MRI dapat menjadi pilihan diagnostik yang efektif pada beberapa

  7,14,33 pasien.

  • Contrast venography

  Venografi dengan kontras dapat mendeteksi trombus pada betis dan paha, serta dapat menegakkan atau menyingkirkan diagnosa DVT pada beberapa keadaan dimana pemeriksaan lain tidak dapat memberi kesimpulan. Tetapi masalah biaya merupakan kontroversi, selain itu venografi ini membutuhkan suatu fasilitas radiologi yang lengkap. Beberapa dokter menganggap venorafi sebagai prosedur yang invasif dan mahal. Sebagai tambahan, kontras pada venografi dapat menjadi penyebab dari DVT pada pasien yang menjalani prosedur diagnostik ini. Selain itu, berbagai alasan lain seperti adanya reaksi alergi, kesulitan secara teknis, penelitian yang tidak adekuat, variabilitas dan kurang tersedianya interobserver menyebabkan pemeriksaan ini menjadi kontraindikasi atau tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostik pada 20%-25% pasien. Walaupun dulu venografi pernah dianggap sebagai standar baku (gold standard) untuk mendiagnosis DVT, namun saat ini alat ini semakin jarang digunakan. Penelitian-penelitian telah menetapkan bahwa venografi ini telah digantikan perannya sebagai pilihan lini pertama sebagai

  32,35

  pemeriksaan diagnostik untuk DVT. Pemeriksaan venografi ini masih dianggap sebagai gold

  

standard untuk menegakkan DVT sampai tahun 1995, namun setelah itu dengan dilakukannya

7,14,33,34 berbagai penelitian, USG duplex telah diakui secara luas perannya sebagai gold standard.

  The American Academy of Family Physicians dan American College of Physicians

  mengeluarkan suatu pedoman (guideline) untuk diagnosis VTE (termasuk DVT dan PE) berdasarkan ulasan sistematis berbasis bukti (evidence based systematic review) dari berbagai penelitian yang pernah dilaporkan. Rekomendasi pedoman ini berdasarkan penelitan meta- analisa atau ulasan dari Evidence-based Practice Centers (EPC). Pedoman yang dikeluarkan

  15

  adalah : 1.

  Rekomendasi I : Prediksi klinis yang tervalidasi dapat memperhitungkan kemungkinan VTE, dan menjadi dasar dari pemeriksaan lanjutan.

  Bukti yang ada menunjukkan bahwa penggunaan prediksi secara klinis yang sudah tervalidasi dapat menentukan kemungkinan penyakit ini. Skor prediksi Wells untuk menilai DVT dan PE telah tervalidasi dan digunakan secara luas untuk menentukan kemungkinan VTE sebelum dilakukannya pemeriksaan lanjutan. Penggunaan skor Wells dapat dipercaya lebih baik pada pasien-pasien dengan usia lebih muda tanpa komorbid atau riwayat adanya VTE dibandingkan pasien lain. Klinisi perlu melakukan penliaian klinis pada kasus-kasus dimana pasien memiliki usia yang lebih tua dan memiliki

  15 komorbid.

  2. Rekomendasi II : Pada pasien-pasien tertentu dengan resiko rendah untuk DVT atau PE berdasarkan penilaian skor Wells, diperlukan dilakukan pemeriksaan D-Dimer, dan jika hasilnya negatif, kemungkinan untuk terjadinya VTE rendah. Pada pasien dengan kelompok resiko rendah berdasarkan kriteria skor Wells, nilai dari pemeriksaan D-Dimer yang negatif untuk VTE memiliki spesifisitas dan negative

  predictive value yang tinggi untuk mengurangi diperlukannya dilakukan pemeriksaan

  tambahan. Pemeriksaan D-Dimer memiliki negative predictive value paling tinggi ketika digunakan untuk menyingkirkan VTE pada pasien dengan usia lebih muda tanpa adanya komorbid atau riwayat VTE, dan dengan durasi gejala yang pendek. Pada pasien dengan usia lebih tua, yang berhubungan dengan komorbid, dan memiliki gejala dengan durasi yang lama, pemeriksaan D-Dimer sendiri mungkin tidak cukup untuk menyingkirkan adanya VTE.

  15

3. Rekomendasi III : Ultrasonografi direkomendasikan pada pasien dengan resiko sedang sampai tinggi untuk menilai adanya DVT pada ekstremitas bawah.

  Penggunaan USG dalam diagnostik thrombosis pada vena proximal dari tungkai bawah direkomendasikan pada pasien dengan kelompok resiko sedang sampai tinggi berdasarkan kriteria skor Wells. Pada pasien dengan adanya DVT yang terbatas pada betis penggunaan USG kurang sensitif, diperlukan pemeriksaan USG ulangan ataupun jika diperlukan dilakukan venografi pada pasien yang dicurigai memiliki DVT pada betis dimana USG memberi hasil negatif dan pemeriksaan USG yang dilakukan tidak adekuat atau memberi hasil tersamar.

15 Beberapa peneliti merekomendasikan dilakukannya USG ulangan apabila pada

  pemeriksaan pertama USG memberikan gambaran negatif DVT. Pemeriksaan USG ulangan ini dilakukan di antara hari 1 sampai hari ke-14 setelah dilakukannya pemeriksaan pertama. Namun hal ini memerlukan biaya tambahan dan memberikan rasa tidak pasti pada pasien karena pemeriksaan yang dianggap sama oleh pasien dilakukan berulang. Selain itu, dari berbagai penelitian dijumpai adanya DVT pada pemeriksaan kedua sangat jarang hanya berkisar 0,6% sampai 1,2%. Oleh karena alasan ini, banyak peneliti yang menyarankan bahwa pemeriksaan USG ulangan tidak perlu dilakukan.

35 Bernardi dkk. menyatakan bahwa pada pasien-pasien

  dengan pemeriksaan USG yang menunjukkan hasil negatif dan memiliki kadar D-Dimer yang normal, pemeriksaan USG ulangan ataupun pemeriksaan tambahan lain yaitu venografi tidak perlu dilakukan, karena dari penelitiannya ditemukan bahwa selama follow-up DVT hanya terjadi pada 0,2% dari keseluruhan pasien, sementara DVT dijumpai pada 9% pasien dengan D- Dimer yang positif.

  36

2.3. D-DIMER SEBAGAI PENANDA DVT

  Trombosis vena mengaktivasi sistem koagulasi dan fibrinolisis, dan menghasilkan peningkatan kadar serum penanda secara kolektif yang disebut produk fibrin. Selama proses pembentukan trombus, fibrinogen dikonversi menjadi monomer fibrin yang secara luas berikatan dengan jaringan polimer. Ikatan fibrin ini membentuk suatu daerah polimer yang disebut “D- Domain”. D-domain ini berhubungan secara kovalen dan membentuk suatu gambaran fibrin

  32 spesifik dari trombus, yang tidak ditemukan pada fibrinogen.

  Polimer fibrin terdegradasi oleh plasmin dalam proses fibrinolitik. Satu produk akhir dari pemecahan fibrin (fibrinolisis) adalah D-Domain yang berikatan secara kovalen, yang disebut D- Dimer. Antibodi monoklonal dari D-Dimer telah ditemukan, dan dapat membedakan bekuan spesifik fibrin dari fibrin yang tidak berikatan seperti fibrinogen. Penting untuk mengetahui bahwa antibodi ini spesifik untuk bekuan fibrin yang baru terbentuk maupun produk dari fibrinolisis. Karakteristik yang spesifik dari antibodi D-Dimer ini menjelaskan spesifisitas yang

  32 tinggi terhadap thromboembolisme vena.

  Kadar antigen D-Dimer akan meningkat pada fase pembentukan fibrin, dan juga pada tahap fibrinolisis. Proses fibrinolisis yang terus berlangsung pada DVT dan PE menyebabkan kadar D-Dimer akan tetap meningkat. Kadar D-Dimer berhubungan dengan adanya bekuan fibrin tanpa memandang lokasinya. Pada berbagai kondisi medis lain seperti adanya trauma, tindakan pembedahan, perdarahan, kanker, sepsis atau kondisi lain yang berhubungan dengan aktivasi sistem koagulasi dan pembentukan bekuan fibrin, kadar D-Dimer akan meningkat. Beberapa hal inilah yang dapat mempengaruhi sensitivitas dari kadar D-Dimer pada pemeriksaan

  32 thromboembolisme vena.

  Diperkenalkannya pemeriksaan D-Dimer pada algoritme diagnostik dari DVT atau PE telah diterima secara luas, namun klinisi harus mengingat batasan dari pemeriksaan ini. Pemeriksaan D-Dimer ini spesifik tetapi relatif tidak sensitif. Nilai yang paling penting dari

  32,39,40,41,42,43,44 pemeriksaan ini adalah untuk menyingkirkan diagnosis DVT atau PE.

  Spesifisitas dari pemeriksaan D-Dimer ini harus mendekati 100% untuk dapat secara efektif menyingkirkan DVT pada kelompok pasien dengan risiko tinggi yang dicurigai DVT atau PE. Sementara pada kelompok pasien dengan risiko rendah, spesifisitas yang lebih rendah, sekitar 80%, dapat menyingkirkan diagnosis dengan baik, dengan negative predictive value

  32 sebesar 98%.

  Dimasukkannya pemeriksaan D-Dimer ke dalam algoritme diagnostik untuk DVT telah dievaluasi pada berbagai penelitian yang berbeda. Dalam mengevaluasi suatu penelitian mengenai hal ini, perlu diperhatikan populasi dari sampel yang ada. Penelitian klinis yang menganalisa hasil dengan kelompok risiko yang spesifik adalah yang paling baik. Penelitian yang menggabungkan seluruh faktor risiko ke dalam suatu kelompok sampel sulit untuk

  32 diinterpretasikan.

  Ginsberg mengevaluasi pemeriksaan D-Dimer pada 398 pasien dengan sangkaan DVT menggunakan kriteria skor Well. Pada pasien dengan kelompok resiko rendah, hanya 1/178 pasien dengan hasil D-Dimer negatif yang memiliki DVT. Secara keseluruhan negative

  39

predictive value dari pemeriksaan ini didapat sebesar 97,2%. Anderson dkk mengevaluasi 214

  pasien dengan sangkaan DVT. Seluruh pasien menjalani pemeriksaan D-Dimer, evaluasi dengan USG, dan follow up selama 3 bulan. Spesifisitas dari pemeriksaan D-Dimer pada pasien dengan kelompok risiko rendah diperoleh sebesar 100% dengan negative predictive value 100%.

  Sementara negative predictive value pada risiko sedang adalah 94,1% dan pada risiko tinggi adalah 86,7%. Secara keseluruhan diperoleh negative predictive value sebesar 96,9%. Penelitian

  40

  ini menyimpulkan bahwa hasil D-Dimer yang negatif dapat menyingkirkan adanya DVT. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Aschwanden pada 343 pasien dengan sangkaan DVT secara

  41

  klinis. Van der Graaf mengevaluasi 13 penelitian berbeda mengenai pemeriksaan D-Dimer pada pasien-pasien dengan sangkaan DVT, dengan dilakukannya venografi untuk mengevaluasi adanya DVT. 50% pasien dalam penelitian ini memiliki DVT, suatu prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan penelitian-penelitian lain. Dijumpai 2 penelitian yang memiliki spesifisitas D- Dimer mencapai 100%. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemeriksaan D-Dimer dapat

  42

  dipercaya untuk menyingkirkan DVT pada semua pasien. Kemampuan pemeriksaan D-Dimer tunggal untuk menyingkirkan DVT juga dievaluasi dalam suatu penelitian Franco-Canadian yang melibatkan 474 pasien dengan sangkaan DVT. USG dilakukan pada semua pasien. Hanya 1,6% dari seluruh pasien dengan DVT yang dapat tidak terdiagnosa dengan pemeriksaan D-Dimer yang negatif, dan tidak ada pasien dengan DVT pada vena proximal yang luput dari pemeriksaan

43 D-dimer ini. Bates pada suatu penelitian retrospektif mengevaluasi D-Dimer pada 595 pasien

  dengan sangkaan DVT. Spesifisitas pada kelompok risiko rendah adalah 100% dan pada kelompok risiko sedang adalah 98%. Angka negative predictive value pada kedua kelompok

  44

  adalah 99%. Dari seluruh penelitian yang ada ini, dapat disimpulkan bahwa potensi dari pemeriksaan D-Dimer sebagai pemeriksaan laboratorium tunggal untuk menyingkirkan diagnosis

32 DVT terbukti dapat dipercaya.

  32 Tabel 2.8. Hasil dari berbagai penelitian mengenai D-dimer untuk diagnostik DVT

  Namun ternyata kadar D-Dimer ini dapat meningkat pada beberapa keadaan atau penyakit lain, sehingga peran D-Dimer dalam mendiagnosis DVT ini lebih kepada untuk menyingkirkan adanya DVT daripada untuk menegakkan adanya DVT, atau dengan kata lain D- Dimer ini digunakan sebagai prediktor negatif dari DVT. Dimana artinya apabila tidak dijumpai kenaikan dari kadar D-Dimer, maka dapat disimpulkan tidak terjadi proses trombosis dan adanya DVT. Sebaliknya, apabila dijumpai kenaikan dari kadar DVT, dapat dikatakan bahwa kemungkinan terjadi suatu proses trombosis, yang dapat disebabkan oleh DVT, namun juga dapat disebabkan oleh kondisi atau penyakit lain. Beberapa penyakit dan kondisi yang dapat

  13

  meningkatkan kadar dari D-Dimer ini tanpa adanya DVT adalah :

  • Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
  • Kehamilan - Trauma

  • Kanker - Tindakan Pembedahan - Diabetes - Hematoma - Terapi trombolitik
  • Thrombosis arteri
  • Usia tua (> 55 tahun)
  • Pasien rawat inap yang lama berbaring (1 minggu)

2.4. USG UNTUK MENEGAKKAN DVT

  Alur diagnostik yang direkomendasikan saat ini untuk menegakkan DVT adalah dengan menggunakan USG duplex dengan gambaran B-mode, sebagai pilihan lini pertama. Hampir seluruh pasien dengan kecurigaan DVT dapat disingkirkan ataupun ditegakkan dengan

  32

  pemeriksaan ini. Penelitian oleh Goodacre dkk. pada tahun 2006 yang membandingkan penggunaan USG dengan venografi memperoleh sensitifitas USG untuk DVT proksimal sebesar

  26

  96% dan spesifisitas sebesar 94%. Penelitian meta-analisa pada tahun 2007 menunjukkan sensitivitas sebesar 89% sampai 96% dan spesifisitas sebesar 94% sampai 99% dari USG untuk diagnosis thrombosis pada vena proksimal dari ekstremitas bawah. Seluruh penelitian dalam

  15 ulasan ini menggunakan venografi dengan kontras untuk mengkonfirmasi adanya DVT.

  Ultrasonografi kompresi atau USG duplex pada sistem vena merupakan prosedur diagnostik yang menggunakan sistem ultrasonografi B-mode dengan resolusi tinggi dan transduser 3-MHz sampai 7,5-MHz untuk menghasilkan suatu gambaran dari vena yang diperiksa. Pasien dibaringkan dalam posisi supine dengan tungkai bawah yang akan diperiksa dirotasikan ke lateral. Kompresi diberikan dari transduser ke bagian yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan kompresi pada dua titik poin yaitu vena femoralis dan vena poplitea dengan

  12,25,26,37 gambaran transversal.

Gambar 2.2. Sistem USG B-mode resolusi tinggi dan transduser datar yang digunakan untuk

  25

  menilai adanya DVT Pemeriksaan dimulai dari di bawah ligamen inguinal. Pertama dilakukan identifikasi vena femoralis komunis pada penampang melintang. Vena femoralis komunis ini berada dekat dengan arteri femoralis komunis. Dilakukan tekanan untuk melihat kemampuan kompresi dari vena femoralis komunis. Selanjutnya tekanan dipindahkan perlahan 1 cm demi 1 cm hingga tercapai

  

sapheno-femoral junction. Probe diarahkan lebih distal untuk melihat percabangan vena

  femoralis komunis menjadi vena femoralis superfisial dan vena femoralis dalam. Setelah itu transduser diletakkan di fossa poplitea tepat di belakang lutut untuk menilai vena poplitea. Apabila vena yang diperiksa dapat dikompresi (kolaps) secara penuh, maka pemeriksaan dianggap negatif atau normal. Sebaliknya, jika vena yang diperiksa tidak dapat dikompresi (tidak kolaps) pada saat prosedur, pemeriksaan dianggap positif atau dijumpai DVT. Hasil pemeriksaan tidak dapat dipakai sebagai diagnostik apabila gambaran USG tidak jelas atau vena tidak terlihat. Kompresi vena paling mudah didapat pada vena besar dari paha dan bagian posterior dari lutut. USG dengan kompresi ini secara universal dianggap sebagai pemeriksaan diagnostik lini pertama untuk pasien-pasien dengan sangkaan DVT pada kelompok risiko sedang sampai

  12,25,26,37 tinggi.

  25 Gambar 2.3. Pemeriksaan USG kompresi pada DVT

  Ada beberapa keadaan yang dapat menjadi gangguan pada pemeriksaan USG untuk

  26

  menilai adanya DVT, yaitu :

  • Variasi Anatomi Dijumpai vena femoralis ganda pada 32,5% dan 42% memiliki lebih dari 1 vena poplitea pada fosa poplitea.
  • Aspek Teknis Kelenjar getah bening dapat disalah interpretasikan sebagai vena yang mengalami trombus. Arteri normal yang tidak dapat dikompresi juga bisa disalah interpretasikan sebagai vena.
  • Kesulitan Fisik Adanya emfisema, atau luka laserasi, atau bekas luka operasi menyebabkan kompresi pada daerah yang akan diperiksa tidak dapat dilakukan.

2.5. DVT PADA KANKER OVARIUM

  Hubungan antara kanker dan penyakit tromboembolisme pertama kali dilaporkan pada tahun 1800-an oleh Trousseau. Hubungan ini, ditemukan lebih dari satu abad yang lalu, disebabkan oleh variasi dari kelainan hemostasis, termasuk di dalamnya peningkatan agregasi platelet, aktivasi dari kaskade koagulasi, perubahan dalam sistem fibrinolitik, dan berkurangnya sintesa dari protein antikoagulan. Resiko dari penyakit tromboembolisme pada pasien-pasien

  2,43 kanker meningkat dengan dilakukannya tindakan pembedahan dan kemoterapi.

  2.5.1. PREVALENSI

  Prevalensi dari tromboembolisme vena pada pasien-pasien kanker diperkirakan berkisar antara 10% - 20%. Yasnil dkk (2010) menemukan kejadian DVT sekitar 25% (5 dari 20 subjek)

  8

  pada penderita kanker ovarium dalam penelitian sebelumnya. Levitan dkk, menemukan bahwa pasien-pasien kanker mempunyai kemungkinan kumulatif yang lebih tinggi untuk rawat inap karena deep venous thromboembolism (DVT) dan/atau pulmonary embolism (PE) daripada pasien-pasien tanpa keganasan. Pada penelitian yang sama, ditemukan bahwa insidensi dari DVT / PE lebih tinggi pada beberapa kanker tertentu dibandingkan dengan yang lain. Insidensi paling tinggi dari DVT / PE paling tinggi ditemukan pada pasien-pasien dengan keganasan pada ovarium, otak, pankreas, lambung, ginjal, dan limfoma. Sementara insidensi DVT / PE paling rendah ditemukan pada keganasan kepala dan leher, kandung kemih, payudara, esofagus, uterus,

  43,44,45,46 dan serviks.

  Di RSUP Haji Adam Malik Medan pernah dilakukan penelitian mengenai prevalensi DVT pada pasien-pasien tumor ginekologi, dan dijumpai terjadinya DVT pada tumor ginekologi secara keseluruhan adalah sebesar 16,5%, dan proporsi kejadian DVT pada tumor ganas ginekologi adalah 24,7% (resiko relatif 9,3; artinya penderita tumor ganas ginekologi kemungkinan menderita DVT 9,3 kali lipat bila dibandingkan dengan penderita tumor jinak

  8 ginekologi), dimana prevalensi kanker ovarium adalah sebesar 35,3%.

  2.5.2. PATOFISIOLOGI

  Sebelumnya, penelitian fokus pada bagaimana tumor dapat mengaktivasi koagulasi darah dan bagaimana mengatasinya. Namun saat ini, mekanisme yang mendasari bagaimana faktor koagulan mendorong pertumbuhan, invasi, metastasis, dan angiogenesis dari sel tumor telah menjadi topik yang hangat pada penelitian di bidang kanker. Beberapa faktor koagulasi yang berperan dalam progresi tumor telah diteliti. Laporan paling banyak pada protein koagulan dan interaksi kanker termasuk faktor III (tissue factor [TF] ), TF-factor VIIa, faktor Xa, reseptor faktor IIa (trombin) – faktor II (disebut juga proase-activated reseptor [PARs] ), dan faktor XIIIa

  2 – faktor Ia (fibrin).

Tabel 2.9. Faktor-faktor koagulasi dan protein regulasi yang berhubungan dengan kanker

  2

  ovarium Kaskade koagulasi darah dapat diaktifkan oleh mekanisme yang berbeda dengan tingkat yang berbeda pada pasien-pasien kanker. Perbedaan ini mulai dari peningkatan yang sedikit dari pemeriksaan laboratorium sampai memberikan gejala trombosis yang jelas. Lebih dari 50% pasien kanker dan 90% pada metastasis memiliki gangguan hemostasis. Gangguan ini dapat mencerminkan dominannya jalur prokoagulan, yang menyebabkan generasi trombin dan

  2 hiperkoagulasi.

  43 Gambar 2.4. Diagram kaskade koagulasi darah (PL = platelet, TF = tissue factor).

  Walaupun faktor-faktor non spesifik seperti stasis dapat berperan dalam mengaktivasi koagulasi pada pasien-pasien kanker, koagulasi lebih sering disebabkan oleh mekanisme tumor-

  

specific yang menyebabkan gumpalan bekuan darah. Kaskade mekanisme ini melibatkan reaksi

  aktivasi faktor pembekuan yang mengikuti jalur intrinsik dan ekstrinsik. Kedua jalur ini bertemu pada akhirnya dimana faktor pembekuan terakhir adalah trombin (faktor IIa). Trombin mengkonversi fibrinogen (protein larut) menjadi fibrin yang tidak larut. Faktor XIII mengkatalisa ikatan kovalen untuk memperkuat pembekuan fibrin. Ada sejumlah cara dimana interaksi antara

  43 sel kanker dan sistem hemostasis dapat terjadi.

Gambar 2.5. Regulasi dari fungsi prokoagulan sel tumor dan sel endotelial dalam patogenesis

  43

  trombosis kanker Gambar di atas menunjukkan jalur utama dimana terjadi interaksi antara sel tumor dan

  

43

  sistem hemostasis. Sel tumor mengekspresikan: 1.

  Prokoagulan seluler (tissue factor [TF], cancer procoagulant [CP]; reseptor faktor V) yang mengaktivasi kaskade pembekuan

  2. Protein fibrinolisis (urokinase-type plasminogen activator [u-PA]; tissue type

  plasminogen activator [t-PA]; plasminogen activation inhibitor [PAI] dan urokinase- type plasminogen activator receptor [uPAR]

  3. Sitokin, termasuk IL-1 dan TNF, yang merangsang trombogenisitas endotel

  43 Rickles dan Falanga mengklasifikasikan interaksi ini menjadi: 1.

  Sintesa mediator peptida dan polipeptida (prokoagulan, protein fibrinolotik, dan sitokin)

2. Interaksi selular langsung

  Cancer procoagulant merupakan suatu aktivator dari faktor X dan bekerja pada molekul

  pada tempat yang berbeda dengan aktivator faktor X yang lain. Tissue factor (TF), dimana pada berbagai jenis sel kanker di ekspresikan lebih banyak, merupakan aktivator seluler utama dari koagulasi. Kombinasi dari TF dan faktor VIIa menghasilkan efek prokoagulan serta efek nonprokoagulan seperti angiogenesis. Tissue factor pathway inhibitor (TFPI), dimana produksinya distimulasi oleh Low Molecular Weight Heparin (LMWH) dan Unfractioned