Makna Tato pada Anggota Komunitas Tato (Studi Fenomenologi Makna Tato Pada Anggota Komunitas Black Cat Tattoo)

(1)

MAKNA TATO PADA ANGGOTA KOMUNITAS TATO ( STUDI FENOMENOLOGI MAKNA TATO PADA ANGGOTA

KOMUNITAS BLACK CAT TATTOO)

SKRIPSI

ENDANG MURDANINGSIH 100904013

PROGRAM STUDI HUBUNGAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI MEDAN


(2)

MAKNA TATO PADA ANGGOTA KOMUNITAS TATO (STUDI FENOMENOLOGI MAKNA TATO PADA ANGGOTA

KOMUNITAS BLACK CAT TATTOO)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

ENDANG MURDANINGSIH

100904013

PROGRAM STUDI HUBUNGAN MASYARAKAT

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Endang Murdaningsih

NIM : 100904013

Departemen : Ilmu Komunikasi (HUMAS)

Judul Skripsi : Makna Tato Pada Anggota Komunitas Tato (Studi Fenomenologi Makna Tato Pada Anggota Komunitas Black Cat Tattoo)

Medan, September 2014

Dosen Pembimbing A.n Ketua Departemen,

Sekretaris

Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm Dra. Dayana, M. Si

NIP.197711062005011001 NIP. 196007281987032002

Dekan FISIP-USU,

Prof.Dr.Badaruddin, M.Si NIP.196805251992031002


(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip Maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat), maka saya bersedia diproses

sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : Endang Murdaningsih NIM : 100904013

Tanda Tangan :


(5)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh:

Nama : Endang Murdaningsih

NIM : 100904013

Departemen : Ilmu Komunikasi (HUMAS)

Judul Skripsi : Makna Tato Pada Anggota Komunitas Tato (Studi Fenomenologi Makna Tato Pada Anggota Komunitas Black Cat Tattoo)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji : ( )

Penguji : ( )

Penguji Utama : ( )

Ditetapkan di :

Tanggal :


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti ucapkan kehadirat Allah SWT, Rabb semesta alam, Pemilik Diri yang telah melimpahkan rahmat dan Hidayah-Nya, telah merancang skenario terindah dalam hidup peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Serta tidak lupa shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah menjadi teladan bagi kehidupan.

Penelitian skripsi ini berjudul “Makna Tato Pada Anggota Komunitas Tato (Studi Fenomenologi Makna Tato Pada Anggota Komunitas Black Cat Tattoo), merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan program sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Peneliti menyadari bahwa belajar adalah sebuah proses berkelanjutan yang tak kenal henti hingga akhir hidup. Begitupun dengan skripsi ini adalah bagian dari proses belajar peneliti, oleh karena itu peneliti menerima kritik dan saran yang membangun agar skripsi ini menjadi lebih baik.

Peneliti berterima kasih kepada orang tua peneliti, ayahanda Ismail, yang semangatnya dalam menghidupi keluarga menjadi motivasi terbesar bagi peneliti untuk menyelesaikan jenjang pendidikan. Ibunda Sri Fhitri Yani, yang tidak hanya menjadi Ibu bagi peneliti, tapi juga menjadi teman bercanda dan tempat berkeluh kesah. Terima kasih atas dukungan, nasehat, semangat dan do’a yang tiada putus-putusnya menemani peneliti hingga sampai di titik ini. Ucapan terima kasih juga peneliti sampaikan untuk adik-adik peneliti, Ella Dwi Yana dan si lucu Meisya Amanda Azahra, atas semangat yang telah banyak diberikan pada peneliti selama ini.

Pada akhirnya, skripsi ini juga tidak akan selesai dengan baik tanpa uluran tangan dan keikhlasan setiap hati yang telah terikat karena-Nya. Terima Kasih sedalam-dalamnya peneliti haturkan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan FISIP Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.


(7)

3. Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

4. Bapak Drs. Mukti Sitompul, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik peneliti.

5. Abangda Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang dengan sabar telah membimbing, meluangkan waktu dan memberi nasehat, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

6. Kak Emilia Ramadhani, S.Psi, S.Sos, MA sebagai kepala stasiun radio USUKOM, yang telah bersedia menjadi tempat diskusi peneliti dan banyak memberi saran serta nasehat kepada peneliti.

7. Seluruh Dosen Ilmu Komunikasi yang telah menuangkan ilmu, memberi pengajaran, membuka mata dan wawasan, tidak hanya di bangku kuliah, tetapi juga dalam diskusi sederhana.

8. Seluruh sahabat peneliti. Elta Mala Sari dan Sartini, yang senantiasa memberikan semangat kepada peneliti saat peneliti, memberikan banyak saran, nasehat serta motivasi. Semoga persahabatan ini tidak lekang oleh waktu.

9. Kak Windi, Icha, Cessi, Wanda, Agus, Melany, Audy, Wisnu, Apung, Endang, Pita, Ghina, Susan, Marjul, Adhe, Adin, Yasmine, Nana, Nani, Addina, Meiliza, Ray beserta rekan-rekan USUKOM lainnya yang telah menjadi keluarga kedua bagi peneliti. Terima kasih atas tawa, omelan dan dukungan kalian.

10. Kak Puan, terima kasih untuk diskusi singkat mengenai skripsi, atas saran dan nasehat yang diberikan kepada peneliti.

11.Untuk Kak Dwi dan Kak Wina, terima kasih atas diskusi singkat yang pernah kita lakukan, atas saran dan semangat yang diberikan. Semoga Kakak berdua selalu diberikan kebaikan oleh Allah SWT.

12. Kak Maya dan seluruh staf departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU yang telah membantu mengurus administrasi peneliti semasa kuliah.


(8)

13.Seluruh anggota Komunitas Black Cat Tattoo yang telah mengizinkan dan bersedia menjadi informan untuk penelitian ini, dengan berbagi pengalaman hidup kalian yang luar biasa.

14.Teman-teman Ilmu Komunikasi 2010, para senior dan junior. Terima kasih atas kebersamaan yang telah dibangun. Semoga ilmu kita benar-benar diaplikasikan di dunia nyata, bukan sekedar penghias ijazah saja. 15.Sahabat, keluarga, teman yang tidak mungkin disebutkan satu per satu,

tapi yakinlah, setiap kebaikan dan keikhlasan, Allah akan membalasnya dan mengumpulkan kita kembali, Insya Allah, di syurga-Nya kelak. Amin.

Akhir kata peneliti panjatkan doa dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala kekuatan dan kemudahan yang telah diberikan. Peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat dan menjadi inspirasi agar pendidikan di Indonesia lebih baik di masa yang akan datang.

Medan, September 2014 Peneliti


(9)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Endang Murdaningsih NIM : 100904013

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Sumatera Utara

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive

Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Makna Tato Pada

Anggota Komunitas Tato (Studi Fenomenologi Makna Tato Pada Anggota Komunitas Black Cat Tattoo), beserta perangkat yang ada jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data

(database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin

dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis atau pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada Tanggal : September 2014 Yang Menyatakan


(10)

ABSTRACT

This research entitled Phenomenological study of Meaning of Tattoos toward Tattoos Community members. The aims are to describe and express about the action from tattoo user in reflecting on their experiences, what the motive in using tattoo and meaning of tattoo from tattoo user in the community.There are six people that become informant and they all are members from Black Cat Tattoo Community.

This research using the trancendental phenomenological method that are on the paradigm of constructivism where the method be used four phase, bracketing, phenomenological reduction, imagine of variation, and synthesis meaning and essence. Researchers used four processes for recording the conditions in the field at the time of the research. Through the processes, it can be seen how the informant gave an overview of the action taken for reflecting on their experiences about tattoo, what their motive in using tattoo and subjective meanings of their tattoo to themselves. Data was collected through observation method, depth interview, documentation, and literature study.

Based on these research, researchers have obtained the result that the first that all of the informants have more or less same action on the meaning their experience. Three of the six informants choose to become a tattoo users only, while others are not just a user tattoos, but also a tattoo artist as their bussiness opportunities. The second, all of the informants have a different motive in using tattoos and obtained three categories of motives, for motive by reason of beautifulness, motive by reason of emulate his idol, and motive by reason of society. The third, all of the informants have rouhgly the same meaning with each other. Five of the six informants have the meaning that a tattoo is an expression of art and beautifullness, while the informants have the meaning that a tattoo is an identity.

Keyword: Meaning, Tattoo, Community, Black Cat Tattoo, Phenomenological Study


(11)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Studi Fenomenologi Makna Tato pada Anggota Komunitas Tato. Tujuannya adalah menggambarkan dan mengungkapkan tindakan individu pengguna tato dalam merefleksikan pengalamannya, motif dalam menggunakan tato serta makna tato dari individu pengguna tato di komunitas tersebut. Terdapat enam orang yang menjadi informan dan mereka semua adalah anggota komunitas Black Cat Tattoo.

Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi transendental yang berada pada paradigma konstruktivisme di mana dalam metode tersebut digunakan empat fase, yaitu fase epoche, reduksi fenomenologi, variasi imajinasi, dan sintesis makna dan esensi. Keempat proses tersebut dijadikan peneliti untuk merekam kondisi di lapangan pada saat penelitian. Lewat proses tersebut dapat diketahui bagaimana informan memberi gambaran mengenai tindakan yang dilakukan untuk mereflesikan pengalamannya tersebut, apa motif mereka dalam menggunakan tato serta pemaknaan subjektif mereka terhadap tato itu sendiri. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara mendalam, dokumentasi dan studi kepustakaan.

Berdasarkan penelitian tersebut, peneliti telah memperoleh hasil yaitu, yang pertama bahwa seluruh informan memiliki tindakan yang kurang lebih sama dalam memaknai pengalamannya. Tiga dari enam informan memilih menjadi pengguna tato saja, sementara sebagian lainnya tidak sekedar menjadi pengguna tato, tetapi juga menjadi seniman tato sebagai peluang bisnis mereka. Kedua, seluruh informan memiliki motif tindakan yang berbeda dalam menggunakan tato dan diperoleh tiga kategori motif yaitu motif dengan alasan keindahan, motif dengan alasan meniru idola serta motif dengan alasan pergaulan. Ketiga, seluruh informan memiliki pemaknaan yang kurang lebih sama satu dengan yang lain. Lima dari enam informan memiliki pemaknaan bahwa tato merupakan ekspresi seni dan keindahan, sementara satu orang informan memiliki pemaknaan bahwa tato merupakan identitas.


(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

LEMBAR PENGESAHAN... ii

KATA PENGANTAR... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... vi

ABSTRAK... vii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Konteks Masalah... 1

1.2Fokus Masalah... 7

1.3Tujuan Penelitian... 8

1.4Manfaat Penelitian... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian... 9

2.1.1 Paradigma Konstruktivisme... 12

2.1.2 Studi Fenomenologis... 14

2.2 Kajian Pustaka... 17

2.2.1 Fenomenologi... 17

2.2.2 Sejarah Fenomenologi... 18

2.2.3 Perkembangan Fenomenologi Saat ini... 20

2.2.4 Pendekatan Kualitatif Penelitian Fenomenologis... 24

2.2.5 Teori Interaksi Simbolik... 26

2.2.6 Teori Konstruksi Sosial Diri... 29

2.2.7 Teori Tindakan Beralasan... 32

2.2.8 Makna... 34

2.2.9 Tato... 36

2.2.10 Komunitas... 38

2.3 Model Teoritik... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian... 42

3.2 Objek Penelitian... 43

3.3 Subjek Penelitian... 43

3.4 Kerangka Analisis... 43

3.5 Teknik Pengumpulan Data... 44

3.5.1 Penentuan Informan... 46


(13)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil... 49

4.1.1 Komunitas Black Cat Tattoo... 49

4.1.2 Epoche... 50

4.1.3 Reduksi Fenomenologi... 52

4.1.4 Variasi Imajinasi... 63

4.1.5 Sintesis Makna dan Esensi... 66

4.1.6 Tindakan Anggota Komunitas “Black Cat Tattoo” Dalam Memaknai Pengalamannya Terkait Tato... 69

4.1.7 Motif Anggota Komunitas Menggunakan Tato... 70

4.1.8 Kesimpulan Tindakan, Motif Dan Pemaknaan Tato Pada Anggota Komunitas... 71

4.1.9 Kompilasi Epoche, Reduksi Fenomenologi, Variasi Imajinasi, dan Sintesis dan Esensi Makna Tindakan, Motif dan Pemaknaan Tato pada Anggota Komunitas BCT... 72

4.2 Pembahasan... 73

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan... 80

5.2 Saran... 82

5.2.1 Saran dalam Kaitan Bidang Akademis... 82

5.2.2 Saran dalam Kaitan Bidang Praktis... 82

DAFTAR REFERENSI LAMPIRAN


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


(15)

DAFTAR TABEL

1. Tabel I : Tindakan Anggota Komunitas “Black Cat Tattoo”

Dalam Merefleksikan Pengalamannya... 69 2. Tabel II : Motif Anggota Komunitas Menggunakan Tato... 70 3. Tabel III : Kesimpulan Tindakan, Motif Dan Pemaknaan Tato

Pada Anggota Komunitas... 71 4. Tabel IV : Kompilasi Epoche, Reduksi Fenomenologi, Variasi Imajinasi,

dan Sintesis dan Esensi Makna Tindakan, Motif dan Pemaknaan Tato pada Anggota Komunitas BCT... 72


(16)

DAFTAR LAMPIRAN • Transkrip Wawancara

• Dokumentasi

• Biografi Peneliti


(17)

ABSTRACT

This research entitled Phenomenological study of Meaning of Tattoos toward Tattoos Community members. The aims are to describe and express about the action from tattoo user in reflecting on their experiences, what the motive in using tattoo and meaning of tattoo from tattoo user in the community.There are six people that become informant and they all are members from Black Cat Tattoo Community.

This research using the trancendental phenomenological method that are on the paradigm of constructivism where the method be used four phase, bracketing, phenomenological reduction, imagine of variation, and synthesis meaning and essence. Researchers used four processes for recording the conditions in the field at the time of the research. Through the processes, it can be seen how the informant gave an overview of the action taken for reflecting on their experiences about tattoo, what their motive in using tattoo and subjective meanings of their tattoo to themselves. Data was collected through observation method, depth interview, documentation, and literature study.

Based on these research, researchers have obtained the result that the first that all of the informants have more or less same action on the meaning their experience. Three of the six informants choose to become a tattoo users only, while others are not just a user tattoos, but also a tattoo artist as their bussiness opportunities. The second, all of the informants have a different motive in using tattoos and obtained three categories of motives, for motive by reason of beautifulness, motive by reason of emulate his idol, and motive by reason of society. The third, all of the informants have rouhgly the same meaning with each other. Five of the six informants have the meaning that a tattoo is an expression of art and beautifullness, while the informants have the meaning that a tattoo is an identity.

Keyword: Meaning, Tattoo, Community, Black Cat Tattoo, Phenomenological Study


(18)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Studi Fenomenologi Makna Tato pada Anggota Komunitas Tato. Tujuannya adalah menggambarkan dan mengungkapkan tindakan individu pengguna tato dalam merefleksikan pengalamannya, motif dalam menggunakan tato serta makna tato dari individu pengguna tato di komunitas tersebut. Terdapat enam orang yang menjadi informan dan mereka semua adalah anggota komunitas Black Cat Tattoo.

Penelitian ini menggunakan metode fenomenologi transendental yang berada pada paradigma konstruktivisme di mana dalam metode tersebut digunakan empat fase, yaitu fase epoche, reduksi fenomenologi, variasi imajinasi, dan sintesis makna dan esensi. Keempat proses tersebut dijadikan peneliti untuk merekam kondisi di lapangan pada saat penelitian. Lewat proses tersebut dapat diketahui bagaimana informan memberi gambaran mengenai tindakan yang dilakukan untuk mereflesikan pengalamannya tersebut, apa motif mereka dalam menggunakan tato serta pemaknaan subjektif mereka terhadap tato itu sendiri. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara mendalam, dokumentasi dan studi kepustakaan.

Berdasarkan penelitian tersebut, peneliti telah memperoleh hasil yaitu, yang pertama bahwa seluruh informan memiliki tindakan yang kurang lebih sama dalam memaknai pengalamannya. Tiga dari enam informan memilih menjadi pengguna tato saja, sementara sebagian lainnya tidak sekedar menjadi pengguna tato, tetapi juga menjadi seniman tato sebagai peluang bisnis mereka. Kedua, seluruh informan memiliki motif tindakan yang berbeda dalam menggunakan tato dan diperoleh tiga kategori motif yaitu motif dengan alasan keindahan, motif dengan alasan meniru idola serta motif dengan alasan pergaulan. Ketiga, seluruh informan memiliki pemaknaan yang kurang lebih sama satu dengan yang lain. Lima dari enam informan memiliki pemaknaan bahwa tato merupakan ekspresi seni dan keindahan, sementara satu orang informan memiliki pemaknaan bahwa tato merupakan identitas.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Konteks Masalah

Banyaknya pemberitaan kriminal di berbagai media massa yang menyorot tajam pelaku kriminal dan berbagai tampilan yang dikenakannya, membuat publik semakin meyakini bahwa orang yang termasuk jahat adalah orang-orang yang ciri-ciri fisiknya seperti apa yang ditampilkan media massa tersebut. Salah satu yang banyak orang tahu adalah bahwa orang-orang kriminal itu dicirikan dengan adanya tato yang menempel di tubuh si pelaku kriminal. Hal tersebut menjadikan tato sebagai suatu yang buruk di mata publik. Tidak mengherankan bahwa pada akhirnya “masberto” alias manusia bertato yang hidup di suatu lingkungan masyarakat, mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan, seperti dikucilkan, dicemooh, bahkan diusir dari lingkungan tersebut.

Pada era Soeharto misalnya, di mana tato pernah mendapatkan citra yang negatif dari masyarakat. Pasalnya, saat itu operasi “Petrus” (penembakan misterius) sedang giat-giatnya dilakukan oleh aparat negara. Sasaran dari operasi “Petrus” ini adalah para preman, gali (gabungan anak liar), orang-orang yang dianggap berpotensi melakukan tindakan kriminal dan umumnya mereka yang bertato. Mereka diculik, dihajar, ditembak kemudian mayatnya di buang di berbagai tempat seperti di sungai, di tepi jalan, di perempatan dan ada juga di dekat pos siskamling. Tato yang awalnya merupakan wujud ekspresi diri dari penggunanya berubah menjadi sesuatu yang “lain” bagi negara. Negara pada saat itu beralasan bahwa penumpasan mereka didasari tujuan dari kontrol negara dalam rangka stabilitas keamanan yang dapat berdampak pada kontinuitas pembangunan negara.

Masyarakat yang sangat memegang kuat norma-norma sosial dan budaya, seperti masyarakat tradisional umumnya bertentangan dengan kenyataan yang dianggap “tidak normal”, dalam hal ini adalah manusia bertato. Ketidaksamaan maupun ketidakserasian nilai dan ideologi di antara mereka, menjadi pendorong munculnya deviasi. Deviasi memiliki arti sebagai tindakan penyimpangan perilaku yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat.


(20)

Tidak hanya dianggap bertentangan dengan norma-norma sosial masyarakat, ternyata tato juga mendapat tentangan keras dari agama. Misalnya dalam islam, mengubah sesuatu pemberian Allah SWT cenderung dikutuk misalnya tato, operasi plastik, menyambung rambut dan mencukur alis. Namun banyaknya larangan dari berbagai pihak, tak menyurutkan hasrat muda-mudi masa kini untuk menghiasi tubuhnya dengan tato.

Dijelaskan bahwa kata tato berasal dari bahasa Tahiti yakni “tattau” yang berarti menandai, dalam arti bahwa tubuh ditandai dengan menggunakan alat berburu yang runcing untuk memasukkan zat pewarna di bawah permukaan kulit. Proses penusukan jarum dengan tangan (manual) hingga kini masih terdapat di beberapa kebudayaan dunia seperti Samoa, Maori, Mentawai, Burma dan Thailand. Dalam bahasa Jawa, tato mempunyai makna yang nyaris sama meskipun berbeda, yakni kata “tatu” yang juga memiliki kesejajaran makna “luka” atau “bekas luka” yang menjadi sebuah tanda tertentu dengan kulit lainnya baik di tubuh sendiri maupun perbedaan tanda dengan tubuh milik orang lain (Olong, 2006: 84-85).

Di Indonesia tato muncul dari masyarakat yang ada di pedalaman, biasa disebut dengan masyarakat primitif. Masyarakat primitif ini masih sangat dekat dengan unsur-unsur magis yang dipercaya lewat leluhurnya, misalnya suku Mentawai, suku Dayak dan masih banyak lagi. Bagi mereka tato memiliki makna, tanda, simbol dan fungsi yang berbeda-beda.

Tato pada kaum perempuan suku Belu di Pulau Timor misalnya, tato dianggap sebagai simbol kecantikan yang diyakini dapat menarik lawan jenis. Karena penatoan yang dilakukan memakan biaya prosesi yang tidak sedikit, perayaan yang diadakan tersebut merupakan prestise tersendiri bagi yang mampu melakukannya. Uniknya, kaum perempuan suku Belu ini akan merasa malu jika tidak mentato tubuhnya karena kaum lelaki hanya akan memilih perempuan yang telah ditato.

Seiring berjalannya waktu dan arus informasi yang semakin deras dengan segala macam perkembangan zaman yang selalu up to date, lambat laun eksistensi maupun identitas tato yang sesungguhnya mulai terkikis dan berubah menjadi sebuah trend di kalangan masyarakat kota besar terutama anak-anak muda.


(21)

Anak-anak muda yang notabene selalu merasa penasaran dengan hal-hal baru, selalu ingin diperhatikan oleh lingkungan sekitarnya dengan apa yang ia miliki, sangat mudah terpengaruh oleh sesuatu yang belum dikenalnya dan dorongan untuk mencoba sering kali tidak terbendung. Pergaulan juga menjadi faktor penting dalam hal ini, biasanya bermula dari teman sebaya yang lebih dahulu mentato, akhirnya terpersuasi untuk mengikuti jejak temannya tersebut.

Erikson menyebutkan, dalam siklus kehidupan manusia akan mengalami delapan siklus. Pertama, tahap sensor mulut. Kedua, tahap otot anal. Ketiga, tahap locomotus genetis. Keempat, periode laten. Kelima, pubertas atau remaja.

Keenam, dewasa muda/akil baligh. Ketujuh, dewasa. Kedelapan, dewasa dan

masa tua. Dalam setiap peralihan yang disebut di atas, setiap manusia akan mengalami krisis identitas yang menimbulkan adanya kebutuhan dasar yang baru, kecemasan, kekhawatiran, resah, hingga ketakutan yang menyelimuti. Hal-hal tersebut jika tidak segera diatasi akan menyebabkan rusaknya kepribadian (Olong, 2006: 41).

Telah disinggung di atas bahwa peran media massa dalam membentuk opini negatif masyarakat tentang tato sangat kuat. Namun di sisi lain, melalui media massa anak-anak muda juga menyerap, meniru gaya idolanya yang bertato. Artis ataupun band-band metal luar negeri misalnya, mereka kerap menunjukkan bagian tubuhnya yang bertato saat tampil di depan publik. Idola dalam hal ini adalah seseorang yang menjadi sumber inspirasi untuk menunjukkan jati diri. Tidaklah mengherankan jika mereka begitu keranjingan sehingga rela memperlakukan tubuh sebagai kanvas tato merupakan pengorbanan. Mereka rela menderita sakit demi menyerupai penampilan idolanya.

Seperti yang diketahui bahwa mentato tubuh tidak hanya cukup bermodalkan rasa kesenangan dan keberanian. Hal yang terpenting saat akan memutuskan bertato adalah komitmen yang kuat pada diri sendiri. Tidak bisa begitu saja memperlakukan tubuh tanpa didasari rasa tanggung jawab. Setiap pengguna tato harusnya memikirkan secara matang mengenai keputusannya untuk bertato. Calon pengguna tato juga harus siap dengan resiko kesehatan yang akan dihadapi. Resiko itu bisa berupa iritasi kulit bahkan dalam jangka waktu lama bisa terkena kanker kulit. Selain itu, harus siap dengan keadaan lingkungan sekitarnya


(22)

apabila suatu saat nanti timbul permasalahan karena tatonya itu. Pertimbangan ataupun keputusan yang tidak matang akan berujung pada penyesalan semata. Mulai dari desain tato yang harus benar-benar cocok, siapa tattoo artist nya, studio tatonya, alat-alatnya steril atau tidak, semua tidak bisa lepas dari perhatian calon pengguna tato.

Perubahan tato ternyata tidak hanya pada identitasnya saja. Tato dahulunya mungkin hanya dimiliki oleh suku-suku primitif yang telah disebutkan di atas dan sejak era Orde Baru tato mengalami pergeseran nilai dan makna. Jika kembali ke masa lalu, Tato pada bagian tubuh mumi yang ditemukan di Mesir bermotifkan pola grafis yang sederhana dengan titik-titik yang saling berhubungan membentuk desain elips terletak di bagian bawah perut. Desain ini dimungkinkan bermakna sebagai lambang kesuburan pada seorang perempuan. Mumi perempuan tersebut bernama Amunet. Diperkirakan ia seorang pendeta perempuan yang bermadzhab pemuja Dewi Athor yang berkediaman di daerah Thebes. Tato pada masa lampau dalam setiap budaya yang berlainan, memiliki makna dan fungsi yang berbeda-beda pula (Olong, 2006: 99).

Suku Maori di New Zealand misalnya, membuat tato yang berbentuk ukir-ukiran spiral pada wajah dan pantat. Menurut budaya mereka ini adalah tanda bagi keturunan yang baik. Pada abad 300-900 SM, tato dan berbagai perhiasan tubuh

(body adornment) lainnya berkembang pesat pada suku Maya, Inca dan Aztec.

Perhiasan tubuh ini pada umumnya berfungsi sebagai ritual. Di Sudan suku Nuer menggunakan tato untuk menandai ritus laki-laki. Pada perempuan masyarakat suku bangsa Kirdi dan Lobi, Afrika Tengah, terdapat tato berukuran kecil di bagian wajah, tepatnya di mulut membentuk desain segitiga yang disebut

wobaade. Tato ini bertujuan menghindarkan diri dari gangguan setan. Penatoan pada bibir bagian atas bertujuan menghindarkan diri dari perdagangan budak. Suku Dai kuno percaya bahwa warna hitam dapat menghindarkan mereka dari serangan berbagai macam makhluk asing sehingga mereka menempatkan warna tersebut pada wajah sebagai rajah. Rajah pada laki-laki dianggap sebagai simbol keberanian, karena itu diletakkan di bagian tubuh yang mempunyai otot terkuat (Olong, 2006: 88-89).


(23)

Namun saat ini, tato menjadi lebih dianggap moderen dan jauh dari kesan kuno. Mulai dari desain, alat, proses penatoannya dan makna tato itu pun turut berubah. Tato dalam masyarakat kekinian, terutama muda-mudi dimaknai sebagai kebebasan tanpa ada aturan yang membelenggu mereka (campur tangan pemerintah), sebagai ajang ekspresi diri dan sebagai wujud kecintaan kepada idolanya yang menggunakan tato. Tato semakin populer manakala peralatan yang digunakan untuk mentato semakin canggih dan mampu meminimalisir rasa sakit, kemudian teknik penghilangan tato muncul sebagai pilihan bagi mereka yang ingin menghapus ataupun mengganti tato yang sebelumnya dengan tato yang baru.

Menjamurnya studio tato di kota-kota besar menunjukkan bahwa eksistensi tato perlahan sudah diterima oleh sebagian kalangan. Seiring dengan itu, bermunculan berbagai macam komunitas tato yang di dalamnya adalah para pengguna tato, baik seniman ataupun partisipan. Melalui komunitas yang mereka bentuk, mereka mampu menampilkan kreativitas yang dimiliki. Melalui kegiatan-kegiatan event, exhibition dan lain sebagainya, eksistensi mereka semakin terlihat dan sembari menegaskan bahwa tato saat ini bukan sesuatu yang negatif, bukan sesuatu yang kuno lagi, melainkan sebuah industri kreatif yang harus terus-menerus dikembangkan.

Komunitas tato juga menjadi wadah untuk berinteraksi dengan pengguna tato lainnya. Berbagi ilmu, berbagi pengalaman serta menguatkan solidaritas di antara sesamanya. Dalam komunitas, mereka bebas menuangkan karya tanpa ada pengendalian dan pengawasan dari siapapun. Dijelaskan dalam buku Olong, komunitas merupakan sebuah fase logis dari keadaan/fase liminalitas, karena setiap orang pasti mengalami masuk menjadi sebuah entitas komunitas. Keadaan ini membuat subjek mengalami hubungan antarpribadi yang antistruktur. Menurut Turner, antistruktur merupakan fenomena di mana tidak hadirnya sebuah struktur sosial yang berlaku, dalam arti bahwa di dalam komunitas tersebut justru berlaku nilai-nilai kesamaan antarindividu (egalitarian). Hubungan yang terjadi adalah antar subjek, bukan antara subjek dan objek, bergerak ke satu tujuan dan eksistensial (Olong, 2006: 59).


(24)

Meskipun memiliki visi misi yang sama tentang tato, tidak berarti setiap individu yang merupakan anggota komunitas memiliki makna dan pengalaman yang sama tentang tato. Setiap individu memiliki kisahnya tersendiri, bagaimana akhirnya ia bisa menjadi “masberto”. Pengalaman tersebut yang pada akhirnya menuntun mereka ingin seperti apa merefleksikannya. Perbedaan yang ada di antara mereka, lantas tidak menjadi masalah ketika bergabung menjadi suatu kelompok yang solid dalam suatu komunitas.

Salah satu komunitas tato di Kota Medan yaitu Black Cat Tattoo. Black Cat Tattoo adalah sebuah studio tato, distro anak muda dan sebuah komunitas. Awalnya studio tato tempat mereka biasa berkumpul ini, memiliki tempat/ruangan yang kecil dan hanya bisa digunakan untuk tempat membuat tato. Namun seiring berjalannya waktu, sang pemilik studio tato, tattoo artist, sekaligus pendiri komunitas BCT ini, memutuskan membuka sebuah distro anak muda yang mengharuskan mereka untuk pindah ke tempat yang lebih luas lagi pada 2010 lalu, yang tidak jauh dari studio tato yang dulu.

Menariknya, Black Cat Tattoo sudah cukup lama berdiri, tepatnya dari tahun 2002 hingga sekarang. Dalam kurun waktu tersebut, Black Cat Tattoo telah banyak memperoleh pengalaman serta perkembangan seputar tato yang selalu diikuti komunitas ini sehingga dengan itu peneliti yakin memperoleh data yang dibutuhkan dari masing-masing individu/anggota komunitas. Dengan lokasi yang cukup strategis yaitu di simpang jalan Dr. Mansyur dekat lampu merah, di mana juga banyak tempat tongkrongan anak-anak muda Kota Medan.

Black Cat Tattoo juga termasuk komunitas yang aktif mengikuti tattoo event. Black Cat Tattoo sendiri, tergabung dalam komunitas besar bernama Sumut Tattoo Artist atau disingkat STA, di mana tak hanya komunitas mereka saja yang ada di situ. Komunitas tato lain yang ada di Sumut seperti Siong Bali Tattoo Studio, Topan Tattoo, Hen’z Tattoo Arts, Kevinto Tattoo, Sam Tattoo, Taurus Tattoo Binjai, Reno Tattoo, Dod Tattoo, Riveth Tattoo, Apin Tattoo, Inqbal Bastardx Tattoo, Jack Bandits Tattoo serta masih banyak lagi (www.medanmagazine.com).

Saat peneliti melakukan pra penelitian ke sana, peneliti langsung berjumpa dengan pemiliknya yaitu Bang Pepen (nama akrab). Bang Pepen mengatakan


(25)

bahwa ia sudah terjun ke dunia tato sejak tahun 1996. Ia juga memberi informasi kepada peneliti bahwa komunitas ini tidak memiliki jumlah anggota yang tetap, karena pada dasarnya komunitas ini tidak bersifat mengikat layaknya sebuah organisasi. Komunitas ini dibentuk atas dasar kesamaan hobi, minat dan pandangan terhadap tato itu sendiri. Komunitas tersebut merupakan tempat yang cocok untuk menyalurkan jiwa seni dan kreatif para pecinta tato.

Peneliti dalam hal ini tidak memiliki tujuan untuk memberikan sebuah solusi terkait masalah tato, hanya penggambaran wacana dirasa peneliti jauh lebih penting untuk dapat dilihat masyarakat luas dalam memahami tato. Pemahaman yang baik mengenai tato, sedikitnya akan memberikan pengertian baru bagi orang-orang yang sadar bahwa tato ada dalam lingkungannya memiliki kandungan tersendiri untuk dimengerti. Baik buruknya pengguna tato, sebenarnya bukan menjadi sebuah tolok ukur. Pemahaman mengenai tato akan membantu masyarakat dan para pengguna tato untuk lebih memahami tato. Hanya yang perlu diingat, mentato adalah keputusan seumur hidup, untuk itu tato akan menceritakan mengenai apa, mengapa dan bagaimana makna tato tersebut melekat.

1.2 Fokus Masalah

Masalah merupakan pokok dari suatu penelitian. Tujuan dari fokus masalah adalah untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas, supaya masalah yang diteliti tidak meluas ke mana-mana. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui lebih jauh pengalaman pengguna tato terhadap fenomena tato dan makna tato pada diri penggunanya di komunitas tersebut. Berdasarkan pemaparan konteks masalah di atas, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana individu pengguna tato di komunitas “Black Cat Tattoo” merefleksikan pengalamannya ?

2. Bagaimana pemaknaan tato pada individu pengguna tato di komunitas “Black Cat Tattoo”?


(26)

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan adalah apa yang hendak kita capai. Dalam penelitian ini, peneliti memiliki tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan mengungkapkan tindakan individu pengguna tato di komunitas “Black Cat Tattoo” dalam merefleksikan pengalamannya.

2. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan mengungkapkan motif ataupun alasan dalam menggunakan tato.

3. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan mengungkapkan makna tato dari individu pengguna tato di komunitas “Black Cat Tattoo”.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan serta memperluas wawasan peneliti mengenai studi fenomenologi dalam meneliti fenomena sosial yang ada dalam suatu komunitas.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menarik peneliti lain untuk meneruskan penelitian di bidang Ilmu Komunikasi, khususnya mengenai makna tato pada penggunanya di suatu komunitas.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pikiran dan masukan kepada pihak-pihak yang membutuhkan pengetahuan yang berkenaan dengan penelitian ini.


(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1Paradigma

Paradigma penelitian kualitatif dilakukan melalui proses induktif, yaitu berangkat dari konsep khusus ke umum, konseptualisasi, kategorisasi dan deskripsi yang dikembangkan berdasarkan masalah yang terjadi di lokasi penelitian. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dapat dilakukan secara simultan dengan analisis data selama penelitian berlangsung. Selanjutnya, Patton mendefenisikan paradigma sebagai berikut (Patton dalam Ghony, 2012: 73):

“A paradigm is a world view, a general perspective, a way of breaking down the complexity of the real world. As much paradigms are deeply embedded in the socialization of adherents and practicioners telling them what is important, what is legitimate, what is reasonable. Paradigms are normative; they tell the practicioner what to do with out the necessity of long existencial or epistemological consideration. But it is this aspect of a paradigms that constitutes both its strength and its weakness-its strength in that it make action possible, its weakness in that very reason for action is hidden in the unquestioned assumptions of the paradigm.”

Jadi, menurut Patton yang dimaksud dengan paradigma dalam penelitian adalah suatu perspektif umum atau cara untuk memisah-misahkan dunia nyata yang kompleks, kemudian memberikan arti atau makna dan penafsiran-penafsiran. Paradigma itu lebih dari sekadar orientasi metodologi.

Paradigma bukan saja memungkinkan suatu disiplin ilmu dapat menjadikan berbagai fenomena menjadi masuk akal, melainkan juga memberikan suatu kerangka di mana fenomena tersebut dapat ditunjukkan sebagai sesuatu yang memang ada. Dalam arti yang paling nyata, untuk memahami paradigma, kita harus memahami proses bagaimana paradigma itu ditemukan. Artinya, bagaimana paradigma itu menjadi cara untuk melihat fenomena tertentu.

Paradigma kualitatif mencanangkan pendekatan humanistik untuk memahami realitas sosial para idealis, yang memberikan suatu tekanan pada pandangan yang terbuka tentang kehidupan sosial. Paradigma kualitatif memandang kehidupan sosial sebagai kreativitas bersama individu-individu. Kebersamaan inilah yang menghasilkan suatu realitas yang dipandang secara


(28)

objektif dan dapat diketahui oleh semua peserta yang melakukan interaksi sosial. Dasar dalam paradigma kualitatif dalam mengonseptualisasikan dunia sosial adalah pengembangan konsep-konsep dan teori-teori grounded dalam data. Artinya, konsep dan teori dibentuk berdasarkan data sehingga data merupakan sumber sekaligus verifikasi teori atau konsep tersebut. Konsep-konsep itu disebut sebagai first order concepts yang sangat penting untuk mengembangkan second

order concepts, yaitu konsep-konsep yang muncul pada saat mencoba

menerangkan fenomena sosial. Fokus pada makna-makna sosial dan penekanan bahwa makna-makna sosial tersebut hanya dapat dipahami dalam konteks interaksi antarindividu sehingga hal tersebut membedakan paradigma sosial ini dengan model ilmu pengetahuan alam.

Pendekatan kualitatif mempunyai asumsi bahwa pemahaman tingkah laku manusia itu tidak cukup diperoleh hanya dari surface behaviour, tetapi tidak kalah pentingnya adalah inner perspective of human behaviour, sebab dari sini akan diperoleh gambaran yang utuh tentang manusia dan dunianya. Secara singkat, paradigma kualitatif memiliki ciri-ciri fenomenologis, induktif, inner behaviour

dan holistik.

Penelitian kualitatif yang baik menyediakan pemerhatian deskriptif yang sistematis dan berdasarkan konteks. Pendekatan ini memberikan ruang bagi peneliti untuk mempelajari suatu sistem serta hubungan semua aktivitas dalam sistem tersebut yang dapat dilihat secara total dan bukan secara bagian saja. Paradigma penelitian kualitatif adalah pendekatan sistematis dan subjektif dalam menjelaskan pengalaman hidup berdasarkan kenyataan lapangan (empiris), bahkan terus berkembang di dunia sains dan pendidikan. Proses penelitian ini dijalankan melalui pemahaman tentang pengalaman manusia dalam aneka bentuk.

Penelitian kualitatif lebih berorientasi pada upaya memahami fenomena secara menyeluruh. Pendekatan semacam ini lebih konsisten dengan filosofi holistik di bidang sains sosial dan pendidikan. Penelitian kualitatif berangkat dari ilmu perilaku manusia dan ilmu sosial, hakikat dari holistik bagi manusia melalu penelahaannya terhadap orang-orang dalam interaksinya dengan latar sosial.

Menurut pendapat Maxwell (1996), kelebihan paradigma kualitatif antara lain (Ghony, 2012: 77):


(29)

a. Pemahaman makna, makna merujuk pada kognisi, afeksi, intensi dan apa saja yang berada di bawah payung participant’s perspectives (perspektif partisipan). Perspektif para informan tidak terbatas pada laporan mereka ihwal satu kejadian/fenomena, tetapi juga pada apa yang ada di balik perspektif itu. Peneliti bukan saja tertarik pada satu aspek fisik dari kejadian itu, melainkan juga bagaimana mereka memaknai semua itu dan bagaimana makna itu mempengaruhi tingkah laku informan. Fokus pada makna seperti itu sangatlah mendasar bagi mazhab interpretatif dalam studi ilmu sosial.

b. Pemahaman konteks tertentu, dalam penelitian kualitatif perilaku informan dilihat dalam konteks tertentu dan pengaruh konteks terhadap tingkah laku. Peneliti kualitatif lazimnya berkonsentrasi pada sejumlah orang atau situasi yang relatif sedikit dan perhatiannya terkuras habis-habisan pada analisis kekhasan kelompok atau situasi itu saja. Pengumpulan data dari banyak informan atau situasi tidaklah menarik bagi peneliti kualitatif. Justru dengan pisau kualitatif para peneliti mampu membedah kejadian, situasi, perilaku dan bagaimana semua itu dipengaruhi oleh sang situasi yang perkasa.

c. Identifikasi fenomena dan pengaruh yang tidak terduga. Bagi peneliti kualitatif, setiap informasi, kejadian, perilaku, suasana dan pengaruh baru adalah terhormat dan berpotensi sebagai data untuk menyokong hipotesis kerja.

d. Kemunculan teori berbasis data (grounded theory). Teori yang sudah jadi, pesanan atau apriori tidak mengesankan kaum naturalis karena teori ini akan kewalahan apabila disergap oleh informasi, kejadian, perilaku, suasana dan pengaruh baru dalam konteks baru.

e. Pemahaman proses, para peneliti naturalis berupaya untuk lebih memahami proses daripada produk kejadian atau kegiatan yang sedang diamati. Proses yang membantu perwujudan fenomena itulah yang paling berkesan, bukan fenomena itu sendiri.


(30)

2.1.1 Paradigma Konstruktivisme

Pemikiran konstruktivis bukan sesuatu yang baru. Ada yang merunutnya sampai pada Glambatista Vico (1710), seorang epistemolog dari Italia yang meyakini bahwa manusia adalah pencipta makna. Ia mengatakan “mengetahui berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu.” Hal ini bermakna bahwa mengetahui adalah merekonstruksi. Kant juga dianggap sebagai penggagas konstruktivis karena meyakini pengetahuan manusia adalah hasil olah rasio memanfaatkan bahan mentah dari indra. Manusialah yang secara aktif membangun dan merumuskan pengetahuan. Pemikiran ini dilanjutkan oleh Piaget dalam teori perkembangan kognitif. Ini tidak mengherankan karena Piaget adalah penganut NeoKanianisme. Psikologi Rusia, Vygotsky menajamkan konstruktivisme ini menjadi konstruktivisme sosial karena meyakini pemikiran dan perilaku anak turut ditentukan oleh relasi-relasi sosial di mana ia dibesarkan dan peran bahasa sangat penting di sini (Putra, 2013: 48))

Paradigma ini hampir merupakan antitesis terhadap paham yang menempatkan pentingnya pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atas ilmu pengetahuan. Secara tegas paham ini menyatakan bahwa positivisme dan post-postivisme keliru dalam mengungkapkan realitas dunia dan harus ditinggalkan serta digantikan oleh paham yang bersifat konstruktif. Secara ontologis, aliran ini menyatakan bahwa realitas itu ada dalam beragam bentuk konstruksi mental yang didasarkan pada pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik, serta tergantung pada sikap yang melakukannya. Karena itu, realitas yang diamati oleh seseorang tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang sebagaimana yang biasa dilakukan di kalangan positivis atau post-positivis. Atas dasar filosofis ini, aliran ini menyatakan bahwa hubungan epistemologis antara pengamat dan objek merupakan satu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil perpaduan di antar keduanya (Salim, 2006: 71).

Secara metodologis, aliran ini menerapkan metode hermenautika dan dialektika dalam proses mencapai kebenaran. Metode pertama dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat orang per orang yang diperoleh melalui metode pertama, untuk memperoleh suatu konsensus kebenaran yang disepakati bersama. Dengan demikian, hasil akhir dari suatu kebenaran


(31)

merupakan perpaduan pendapat yang bersifat relatif, subjektif dan spesifik mengenai hal-hal tertentu.

Tabel 1.1

TIGA PARADIGMA ILMU SOSIAL Positivisme dan

Post-positivisme

Konstruktivisme (Interpretif)

Teori Kritis

Menempatkan ilmu sosial seperti ilmu alam, yaitu metode terorganisir untuk mengkombinasikan

‘deductive logic’ melalui pengamatan empiris, agar mendapatkan konfirmasi tentang hukum kausalitas yang dapat digunakan memprediksi pola umum gejala sosial tertentu.

Memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis atas “socially meaningfull

action” melalui pengamatan

langsung terhadap aktor sosial dalam setting yang alamiah, agar dapat memahami dan menafsirkan bagaimana aktor sosial mencipta dan memelihara dunia sosial.

Mentakrifkan ilmu sosial sebagai proses kritis

mengungkap ‘the real

structure’ di balik ilusi dan

kebutuhan palsu yang ditampakkan dunia materi, guna mengembangkan kesadaran sosial untuk memperbaiki kondisi kehidupan subjek penelitian.

Contoh Teori Contoh Teori Contoh Teori

Ekonomi Politik Liberal Teori Modernisasi, teori pembangunan negara.

Interaksionisme simbolik (Iowa School).

Agenda Setting, Teori Fungsi Media.

Konstruktivisme Ekonomi Politik (Golding dan Murdock).

Fenomenologi, Etnometodologi.

Interaksi Simbolik (Chicago School).

Konstruksionisme (Social construction of reality Peter L. Berger).

Struktualisme Ekonomi Politik (Schudson).

Instrumentalisme Ekonomi Politik (Chomsky, Gramsci, dan Adorno).

Teori Tindakan Komunikasi (Jurgen Habermas).

(Sumber: Salim, 2006: 72)

Pada tradisi ilmu sosial interpretivisme, manusia lebih dipandang sebagai makhluk rohaniah. Dalam pandangan ini, manusia selaku makhluk sosial,


(32)

sehari-hari bukanlah “berperilaku” melainkan “bertindak”. Sebab istilah “perilaku” berkonotasi mekanistik alias bersifat otomatis. Padahal, “tingkah laku sosial” manusia senantiasa melibatkan niat tertentu, pertimbangan tertentu atau alasan-alasan tertentu. Dengan kata lain “tingkah laku sosial” manusia melibatkan kesadaran sosial tertentu. Itulah sebabnya (mengapa) Weber memunculkan istilah tindakan sosial (social action), dan buka perilaku sosial (social behavior).

Manusia itu bertindak, bukan berperilaku. Istilah bertindak (action) mempunyai konotasi tidak otomatis/mekanistik, melainkan melibatkan niat, kesadaran dan alasan-alasan tertentu. Ia bersifat intensional. Ia melibatkan makna dan interpretasi yang tersimpan di dalam diri sang manusia pelaku sesuatu tindakan (Bungin, 2003: 27)

2.1.2 Studi Fenomenologi

Sebuah penelitian fenomenologi adalah penelitian yang mencoba memahami persepsi masyarakat, perspekstif dan pemahaman dari situasi tertentu (atau fenomena). Dengan kata lain, sebuah penelitian fenomenologi mencoba untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana rasanya mengalami hal ini dan itu?”. Dengan melihat berbagai perspektif dari situasi yang sama, peneliti dapat memulai membuat beberapa generalisasi atas sebuah pengalaman dari perspektif

insider.

Fenomenologi sebagai metode penelitian dapat dipandang sebagai studi tentang fenomena, studi tentang sifat dan makna. Penelitian semacam ini terfokus pada cara bagaimana kita mempersepsi realitas yang tampak melalui pengalaman atau kesadaran. Jadi, tugas peneliti fenomenologi bertujuan menggambarkan tekstur pengalaman sehingga pengalaman itu sendiri makin kaya. Penelitian fenomenologi murni lebih menekankan pada penggambaran (deskripsi) daripada penjelasan atas semua hal, tetapi tetap memperhatikan sudut pandang yang bebas dari hipotesis atau praduga (Fouche dalam Sobur, 2013: 11).

Menurut Scheglof dan Sacks, dalam melakukan penelitian fenomenologi tugas peneliti adalah merekam kondisi sosial, sehingga memungkinkan untuk pendemonstrasian cara-cara yang dilakukan informan. Pada saat inilah peneliti membuat interpretasi tentang makna perbuatan dan pikiran mereka akan struktur


(33)

keadaan. Analisis terhadap tindakan informan ini merupakan teknik yang sering digunakan fenomenologi untuk menggambarkan bagaimana manusia berpikir tentang dirinya sendiri melalui pembicaraan. Selain itu juga untuk mengetahui bagaimana manusia berpikir tentang pembicaraan mereka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Dengan demikian analisis fenomenologi mempunyai prosedur yang sifatnya individual (Kuswarno, 2013: 48).

Berikut akan dikemukakan tahapan-tahapan penelitian fenomenologi transedental dari Husserl:

a. Epoche

Epoche berasal dari bahasa Yunani yang berarti “menjauh dari” dan “tidak memberikan suara”. Husserl menggunakan epoche untuk term bebas dari prasangka. Dengan epoche, kita menyampingkan penilaian, bias dan pertimbangan awal yang kita miliki terhadap suatu objek. Dengan kata lain, epoche adalah pemutusan hubungan dengan pengalaman dan pengetahuan, yang kita miliki sebelumnya.

Dalam penelitian fenomenologi, epoche ini harus mutlak ada. Terutama ketika menempatkan fenomena dalam tanda kurung (bracketing method).

Memisahkan fenomena dari keseharian dan dari unsur-unsur fisiknya dan ketika mengeluarkan “kemurnian” yang ada padanya. Jadi epoche adalah cara untuk melihat dan menjadi, sebuah sikap mental yang bebas.

Oleh karena epoche memberikan cara pandang yang sama sekali baru terhadap objek, maka dengan epoche kita dapat menciptakan ide, perasaan, kesadaran dan pemahaman yang baru. Epoche membuat kita masuk ke dalam dunia internal yang murni, sehingga memudahkan untuk pemahaman akan diri dan orang lain. Dengan demikian tantangan terbesar ketika melakukan epoche ini adalah terbuka atau jujur dengan diri sendiri. Terutama ketika membiarkan objek yang ada di depan kesadaran memasuki area kesadaran kita dan membuka dirinya sehingga kita dapat melihat kemurnian yang ada padanya. Tanpa dipengaruhi oleh segala hal yang ada dalam diri kita.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan orang lain, seperti persepsi, pilihan, penilaian dan perasaan orang lain harus dikesampingkan juga dalam epoche ini. Hanya persepsi dan tindakan sadar kitalah yang menjadi titik untuk


(34)

menemukan makna, pengetahuan dan kebenaran. Sehingga pada praktiknya, epoche memerlukan kehadiran, perhatian dan konsentrasi, demi mencapai cara pandang yang radikal.

b. Reduksi Fenomenologi

Ketika epoche adalah langkah awal untuk “memurnikan” objek dari pengalaman dan prasangka awal, maka tugas dari reduksi fenomenologi adalah menjelaskan dalam susunan bahasa bagaimana objek itu terlihat. Tidak hanya dalam term objek eksternal, namun juga kesadaran dalam tindakan internal, pengalaman, sedangkan tantangan ada pada pemenuhan sifat-sifat alamiah dan makna dari pengalaman.

Reduksi akan membawa kita kembali kepada bagaimana kita mengalami sesuatu. Memunculkan kembali sifat-sifat alamiahnya. Reduksi fenomenologi tidak hanya sebagai cara untuk melihat, namun juga cara untuk mendengar suatu fenomena dengan kesadaran hati-hati. Singkatnya reduksi adalah cara untuk melihat dan mendengar fenomena dalam tekstur dan makna aslinya.

c. Variasi Imajinasi

Tugas dari variasi imajinasi adalah mencari makna-makna yang mungkin dengan memanfaatkan imajinasi, kerangka rujukan, pemisahan dan pembalikan, serta pendekatan terhadap fenomena dari perspektif, posisi, peranan dan fungsi yang berbeda. Tujuannya tiada lain untuk mencapai deskripsi struktural dari sebuah pengalaman.

Target dari fase ini adalah makna dan bergantung dari intuisi sebagai jalan untuk mengintegrasikan struktur ke dalam esensi fenomena. Dalam berpikir imajinatif, kita dapat menemukan makna-makna potensial yang dapat membuat sesuatu yang asalnya tidak terlihat menjadi terlihat jelas. Membongkar hakikat fenomena dengan memfokuskannya pada kemungkinan-kemungkinan yang murni adalah inti dari variasi imajinatif.

Pada tahap ini, dunia dihilangkan, segala sesuatu menjadi mungkin. Segala pendukung dijauhkan dari fakta dan entitas yang dapat diukur dan diletakkan pada


(35)

makna dan hakikatnya. Dalam kondisi seperti ini, intuisi tidak lagi empiris namun murni imajinatif.

d. Sintetis Makna dan Esensi

Merupakan tahap akhir dalam penelitian fenomenologi. Fase ini adalah integrasi intuitif dasar-dasar deskripsi tekstural dan struktural ke dalam suatu pernyataan yang menggambarkan hakikat fenomena secara keseluruhan.

Husserl mendefinisikan esensi sebagai sesuatu yang umum dan berlaku universal, kondisi atau kualitas menjadi sesuatu tersebut. Esensi tidak pernah terungkap secara sempurna. Sintesis struktur tekstural yang fundamental akan mewakili esensi ini dalam waktu dan tempat tertentu dan sudut pandang imajinatif dan studi reflektif seseorang terhadap fenomena.

2.2Uraian Teoritis 2.2.1 Fenomenologi

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomai yang berarti “menampak”. Phainomenon merujuk pada “yang menampak”. Fenomena tiada lain adalah fakta yang disadari, dan masuk ke dalam pemahaman manusia. Jadi suatu objek itu ada dalam relasi dengan kesadaran. Fenomena bukanlah dirinya seperti tampak secara kasat mata, melainkan justru ada di depan kesadaran, dan disajikan dengan kesadaran pula. Berkaitan dengan hal ini, maka fenomenologi merefleksikan pengalaman langsung manusia, sejauh pengalaman itu secara intensif berhubungan dengan suatu objek (Kuswarno, 2013: 1).

Menurut The Oxford English Dictionary, yang dimaksud dengan fenomenologi adalah (a) the science which describes and classifies as distinct for being (ontology), dan (b) division of any science which describes and classifies its

phenomena. Jadi, fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan

dari sesuatu yang sudah menjadi, atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan mengklasifikasikan fenomena atau studi tentang fenomena. Dengan kata lain, fenomenologi mempelajari fenomena yang tampak di depan kita dan bagaimana penampakannya.


(36)

Dewasa ini fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode berpikir, yang mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa mempertanyakan penyebab dari fenomena itu, relitas objektifnya dan penampakannya. Fenomenologi tidak beranjak dari kebenaran fenomena seperti yang tampak apa adanya, namun sangat meyakini bahwa fenomena yang tampak itu, adalah objek yang penuh dengan makna transedental. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hakikat kebenaran, maka harus menerobos melampaui fenomena yang tampak itu.

Tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami kesadaran, pikiran dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau diterima secara estetis. Fenomenologi mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep-konsep penting, dalam kerangka intersubjektivitas. Intersubjektivitas karena pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain. Walaupun makna yang kita ciptakan dapat ditelusuri dalam tindakan, karya dan aktivitas yang kita lakukan, tetap saja ada peran orang lain di dalamnya (Kuswarno, 2013: 2).

2.2.2 Sejarah Fenomenologi

Dewasa ini, fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode berpikir yang mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa mempertanyakan penyebab dari fenomena tersebut serta realitas objektif dan penampakannya.

Fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat pertama kali dikembangkan di universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh Martin Heidegger dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia makhluk sadar atau jalan kehidupan subjek-subjek sadar (Kuswarno, 2009: 3).

Fenomenologi tidak dikenal setidaknya sampai menjelang abad 20. Abad ke-18 menjadi awal digunakannya istilah fenomenologi sebagai nama teori


(37)

tentang penampakan yang menjadi dasar pengetahuan empiris atau penampakan yang diterima secara inderawi. Istilah tersebut diperkenalkan oleh Johan Heinrich Lambert. Sesudah itu, filosofi Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan istilah fenomenologi dalam tulisannya. Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan fenomenologi untuk psikologi deskriptif, di mana menjadi awalnya Edmund Husserl mengambil istilah fenomenologi untuk pemikirannya mengenai “kesengajaan”.

Sebelum abad ke-18, pemikiran filsafat terbagi menjadi dua aliran yang saling bertentangan. Adalah aliran empiris yang percaya bahwa pengetahuan muncul dari penginderaan. Dengan demikian kita mengalami dunia dan melihat apa yang sedang terjadi. Bagi penganut empiris, sumber pengetahuan yang memadai itu adalah pengalaman. Akal yang dimiliki manusia bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan yang diterima oleh panca indera. Sedangkan di sisi lain terdapat aliran rasionalisme yang percaya bahwa pengetahuan timbul dari kekuatan pikiran manusia atau rasio. Hanya pengetahuan yang dipeoleh melalui akal lah yang memenuhi syarat untuk diakui sebagai pengetahuan ilmiah. Aliran ini juga mempercayai pengalaman hanya dapat dipakai untuk mengukuhkan kebenaran yang telah diperoleh oleh rasio. Akal tidak memerlukan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang benar sebab akal dapat menurunkaan kebenaran tersebut dari dirinya sendiri (Kuswarno, 2009: 3-4).

Dari dua pemikiran yang berbeda tersebut, Immanuel Kant muncul untuk menjembatani keduanya. Menurutnya, pengetahuan adalah apa yang tampak kepada kita atau fenomena. Sedangkan fenomena sendirinya dan merupakan hasil sintesis antara penginderaan dan bentuk konsep dari objek. Sejak pemikiran tersebut menyebar luas, fenomena menjadi titik awal pembahasan para filsuf pada abad ke-18 dan 19 terutama tentang bagaimana sebuah pengetahuan dibangun.

Fenomenologi bagi seorang Husserl adalah gabungan antara psikologi dan logika. Fenomenologi membangun penjelasan dan analisis psikologi tentang tipe-tipe aktivitas mentalsubjektif, pengalaman dan tindakan sadar. Namun, pemikiran Husserl tersebut masih membutuhkan penjelasan yang lebih lanjut khususnya mengenai “model kesengajaan”. Pada awalnya, Husserl mencoba untuk mengembangkan filsafat radikal atau aliran filsafat yang menggali akar-akar


(38)

pengetahuan dan pengalaman. Hal ini didorong oleh ketidakpercayaan terhadap aliran positivistik yang dinilai gagal memanfaatkan peluang membuat hidup lebih bermakna karena tidak mampu mempertimbangkan masalah nilai dan makna. Fenomenologi berangkat dari pola pikir subjektivisme yang tidak hanya memandang dari suatu objek yang tampaknamun berusaha menggali makna di balik setiap gejala tersebut (Kuswarno, 2009: 6).

Pada tahun-tahun berikutnya, pembahasan fenomenologi berkembang tidak hanya pada tataran “kesengajaan”, namun juga meluas kepada kesadaran sementara, intersubjektivitas, kesengajaan praktis dan konteks sosial dari tindakan manusia. Tulisan-tulisan Husserl memainkan peran yang amat besar dalam hal ini. Saat ini fenomenologi dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks, karena memiliki metode dan dasar filsafat yang komprehensif dan mandiri. Fenomenologi juga dikenal sebagai pelopor pemisah antara ilmu sosial dari ilmu alam, yang mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran dalam pengalaman pada akhirnya membuat makna dan menentukan isi dari penampakannya.

2.2.3 Perkembangan Fenomenologi saat ini

Saat ini fenomenologi lebih dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks, karena memiliki metode dan dasar filsafat yang komprehensif dan mandiri. Fenomenologi juga dikenal sebagai pelopor pemisahan ilmu sosial dan ilmu alam. Harus diakui, fenomenologi telah menjadi tonggak awal dan sandaran bagi perkembangan ilmu sosial hingga saat ini. Tanpanya, ilmu sosial masih berada di bawah cengkraman positivistik yang menyesatkan tentang pemahaman manusia dan realitas.

Sebagai disiplin ilmu, fenomenologi adalah studi yang mempelajari fenomena, seperti penampakan segala hal yang muncul dalam pengalaman kita, cara kita mengalami sesuatu dan makna yang kita miliki dalam pengalaman kita. Kenyataannya, fokus perhatian fenomenologi lebih luas dari sekedar fenomena yakni pengalaman sadar dari sudut pandang orang pertama (yang mengalaminya secara langsung).

Pada dasarnya fenomenologi mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran, yang terentang dari persepsi, gagasan, memori, imajinasi, emosi, hasrat, kemauan


(39)

sampai tindakan, baik itu tindakan sosial maupun dalam bentuk bahasa. Struktur dalam bentuk-bentuk kesadaran inilah yang oleh Husserl dinamakan dengan “kesengajaan” yang terhubung langsung dengan sesuatu. Struktur kesadaran dalam pengalaman ini yang pada akhirnya membuat makna dan menentukan isi dari pengalaman (content of experience). “Isi” ini sama sekali berbeda dengan “penampakannya” , karena sudah ada penambahan makna padanya. Adapun dasar struktur kesadaran yang disengaja, dapat ditemukan dalam analisis refleksi, termasuk menemukan bentuk-bentuk yang lebih jauh dari pengalaman (Kuswarno, 2013: 22).

Berikut adalah bentuk-bentuk laporan yang dapat dibangun melalui pendekatan fenomenologi:

1. Kesadaran temporal

2. Ruang kesadaran (persepsi)

3. Perhatian (misalnya kegiatan memfokuskan sesuatu dari hal kecil atau hal umum yang ada di sekelilingnya)

4. Kesadaran dari seseorang 5. Pengalaman sadar seseorang

6. “Diri” dalam peranan yang berbeda-beda (ketika berpikir atau bertindak)

7. Kesadaran akan gerakan dan kehadiran orang lain 8. Tujuan dan kesengajaan dari tindakan

9. Kesadaran akan orang lain (dalam bentuk empati, intersubjektif dan kolektivitas).

10.Aktivitas berbahasa (memahami makna orang lain dan komunikasi). 11.Interaksi sosial dan aktivitas sehari-hari dalam lingkungan budaya

tertentu.

Berkaitan dengan “kesengajaan”, diperlukan suatu kondisi atau latar belakang, yang memungkinkan bekerjanya struktur kesadaran dalam pengalaman. Kondisi tersebut mencakup perwujudan, keterampilan jasmani, konteks budaya, bahasa, praktek sosial dan aspek-aspek demografis dari sebuah aktivitas yang disengaja.


(40)

Fenomenologi akan membawa pemahaman dari pengalaman sadar, pada kondisi yang akan membantu memberi pengalaman “kesengajaan” tersebut. Dengan demikian, fenomenologi tradisional telah memfokuskan pada pengalaman subjektif, pengalaman praktis dan kondisi-kondisi sosial dari pengalaman tersebut. Fokus fenomenologi ini berbeda dengan Philosophy of Mind, yang menggarisbawahi kajiannya pada neural subtrate dari sebuah pengalaman. Yaitu bagaimana cara kerja pengalaman sadar, representasi mental atau kesengajaan dalam otak manusia. Oleh karena itu banyak juga kajian Philosophy of Mind yang justru adalah kajian dari fenomenologi. Misalnya saja kondisi kultural yang sepertinya lebih dekat dengan pengalaman dan merupakan konsep yang tidak asing dalam pemahaman diri, ketimbang kerja elektro kimia otak (Kuswarno, 2013: 23).

Walau demikian banyak sedikitnya ketergantungan manusia pada mekanika kuantum, ditentukan oleh kondisi fisik seseorang. Simpulan yang dapat diambil, sebagai sebuah disiplin ilmu, fenomenologi mempelajari struktur pengalaman sadar (dari sudut pandang orang pertama). Bersama dengan kondisi-kondisi yang relevan. Sehingga fenomenologi akan memimpin kita semua pada latar belakang dan kondisi-kondisi di balik sebuah pengalaman. Pusat dari struktur kesadaran adalah “kesengajaan”, yakni bagaimana makna dan isi pengalaman terhubung langsung dengan objek.

Berkenaan dengan sangat luasnya bidang kajian fenomenologi ini, maka kemudian tipe-tipe fenomenologi didefinisikan berdasarkan bidang kajian utama, metode dan hasilnya. Pengalaman sadar itu memiliki ciri-ciri yang istimewa, seperti harus mengalaminya sendiri, hidup bersama mereka dan memainkannya. Jadi tidak semua hal yang ada di dunia ini termasuk ke dalam pengalaman sadar. Hanya hal-hal yang kita alami dan kita kerjakan saja yang menjadi pengalaman sadar kita.

Fenomenologi tidak membuat karakteristik dari pengalaman, ketika pengalaman itu sedang dialami. Karena ketika sebuah pengalaman sedang dialami, maka ia akan menyita seluruh perhatian pada saat itu dan membuat bias kondisi-kondisi yang melatarbelakanginya. Pada hakikatnya kita mengklasifikasikan pengalaman berdasarkan aspek-aspek kesamaannya. Misalnya


(41)

ketika mendengar suatu lagu dan melihat matahari terbenam, kita langsung ingat dengan pengalaman-pengalaman romantis bersama dengan orang yang kita sayangi. Dengan demikian pada prakteknya, fenomenologi mengasumsikan “kesamaan” sebagai unsur utama dalam membuat klasifikasi pengalaman. Jadi fenomenologi lebih mencari kesamaan-kesamaan pengalaman yang bertahan, ketimbang pengalaman yang dengan cepat/mudah dilupakan (Kuswarno, 2013: 24).

Untuk menemukan berbagai kesamaan pengalaman itu, tentu saja memerlukan alat pengamatan yang khusus. Tidak bisa dengan pendekatan positivistik. Inilah awal mulanya fenomenologi berkembang, tidak hanya sebuah pemikiran filsafat, namun juga metode berpikir dan sebagai metode penelitian. Pada awalnya, fenomenologi klasik menggunakan tiga metode yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ketiga metode tersebut adalah:

1. Mendeskripsikan tipe-tipe pengalaman di masa lampau. Hal ini oleh Husserl dan Merleau-Ponty dinamakan dengan deskripsi murni dari pengalaman yang hidup (pure description of lived experience).

2. Menginterpretasikan tipe-tipe pengalaman tersebut, dengan menghubungkannya dengan aspek-aspek istimewa dari konteks yang melatarbelakanginya. Heidegger dan pengikutnya menyebut metode ini sebagai hermeneutik (seni memahami konteks, terutama konteks sosial dan bahasa).

3. Menganalisis bentuk dari setiap tipe pengalaman, untuk dielaborasi lebih lanjut.

Pada perkembangan fenomenologi selanjutnya, ketiga metode yang sudah disebutkan di atas pun mengalami penambahan, yakni:

4. Model logika semantik fenomenologi (logico sematinc model of phenomenology). Yaitu metode membuat spesifikasi kondisi-kondisi benar dari tipe-tipe berpikir (misalnya ketika mengatakan anjing mengejar kucing, bukan sebaliknya), atau kepuasan dari tipe-tipe kesengajaan (misalnya ketika berniat atau bermaksud untuk melompat).

5. Paradigma eksperimental syaraf kognitif (experimental paradigm of cognitive neuroscience). Yakni pembuatan desain percobaan empiris untuk


(42)

6. mengkonfirmasikan atau menyangkal aspek-aspek dalam pengalaman. Misalnya dengan percobaan khusus, otak bisa menghasilkan gelombang elektromagnetis tertentu bila disentuh pada area tertentu. Area-area dalam otak itulah yang langsung berhubungan dengan emosi dan pengalaman. Dengan demikian neurofenomenologi ini mengasumsikan bahwa pengalaman sadar itu terletak dalam aktivitas syaraf yang akan menghasilkan tindakan dalam situasi yang tepat. Jadi, neurofenomenologi ini adalah gabungan fenomenologi murni, biologi dan ilmu fisika.

2.2.4 Pendekatan Kualitatif Penelitian Fenomenologis

Pada dasarnya fenomenologi cenderung untuk menggunakan paradigma penelitian kualitatif sebagai landasan metodologisnya. Berikut ini perlu diuraikan sifat-sifat dasar penelitian kualitatif yang relevan menggambarkan posisi metodologis fenomenologi dan membedakannya dari penelitian kuantitatif (Kuswarno, 2013: 36):

(1) Menggali nilai-nilai dalam pengalaman dan kehidupan manusia.

(2) Fokus penelitian adalah pada keseluruhannya, bukan pada perbagian yang membentuk keseluruhan itu.

(3) Tujuan penelitian adalah menemukan makna-makna dan hakikat dari pengalaman, bukan sekedar mencari penjelasan atau mencari ukuran-ukuran dari realitas.

(4) Memperoleh gambaran kehidupan dari sudut pandang orang pertama, melalui wawancara formal dan nonformal.

(5) Data yang diperoleh adalah dasar dari pengetahuan ilmiah untuk memahami perilaku manusia.

(6) Pertanyaan yang dibuat merefleksikan kepentingan, keterlibatan dan komitmen pribadi dari peneliti.

(7) Melihat pengalaman dan perilaku sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, baik itu kesatuan antara subjek dan objek, maupun antara bagian dan keseluruhannya.


(43)

Sifat-sifat penelitian kualitatif tersebut, akan sejalan dengan ciri-ciri penelitian fenomenologi berikut ini:

(1) Fokus pada suatu yang nampak, kembali kepada yang sebenarnya (esensi), keluar dari rutinitas dan keluar dari apa yang diyakini sebagai kebenaran dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari, (2) Fenomenologi tertarik dengan keseluruhan, dengan mengamati

entitas dari berbagai sudut pandang dan perspektif, sampai didapat pandangan esensi dari pengalaman atau fenomena yang diamati. (3) Fenomenologi mencari makna dan hakikat dari penampakan,

dengan intuisi dan refleksi dalam tindakan sadar melalui pengalaman. Makna ini yang pada akhirnya membawa kepada ide, konsep, penilaian dan pemahaman yang hakiki.

(4) Fenomenologi mendeskripsikan pengalaman, bukan menjelaskan atau menganalisisnya. Sebuah deskripsi fenomenologi akan sangat dekat dengan kealamiahan (tekstur, kualitas dan sifat-sifat penunjang) dari sesuatu. Sehingga deskripsi akan mempertahankan fenomena itu seperti apa adanya dan menonjolkan sifat alamiah dan makna di baliknya. Selain itu, deskripsi juga akan membuat fenomena “hidup” dalam term yang akurat dan lengkap dengan kata lain sama “hidup”-nya antara yang tampak dalam kesadaran dengan yang terlihat oleh panca indra.

(5) Fenomenologi berakar pada pertanyaan-pertanyaan yang langsung berhubungan dengan makna dari fenomena yang diamati. Dengan demikian penelitian fenomenologi akan sangat dekat dengan fenomena yang diamati. Analoginya penelitian itu menjadi salah satu bagian puzzle dari sebuah kisah biografi.

(6) Integrasi dari subjek dan objek. Persepsi penelitian akan sebanding/sama dengan apa yang dilihatnya/didengarnya. Pengalaman akan suatu tindakan akan membuat objek menjadi subjek dan subjek menjadi objek.

(7) Investigasi yang dilakukan dalam kerangka intersubjektif, realitas adalah salah satu bagian dari proses secara keseluruhan.


(44)

(8) Data yang diperoleh (melalui berpikir, intuisi, refleksi dan penilaian) menjadi bukti-bukti utama dalam pengetahuan ilmiah. (9) Pertanyaan-pertanyaan penelitian harus dirumuskan dengan sangat

hati-hati. Setiap kata harus dipilih, di mana kata yang terpilih adalah kata yang paling utama, sehingga dapat menunjukkan makna yang utama pula.

Dengan demikian, fenomenologi sangat relevan menggunakan penelitian kualitatif ketimbang penelitian kuantitatif, dalam mengungkapkan realitas.

2.2.5 Teori Interaksi Simbolik

Paham mengenai interaksi simbolik (symbolic interactionism) adalah suatu cara berpikir mengenai pikiran (mind), diri dan masyarakat yang telah memberikan banyak kontribusi kepada tradisi sosiokultural dalam membangun teori komunikasi. Dengan menggunakan sosiologi sebagai fondasi, paham ini mengajarkan bahwa ketika manusia berinteraksi satu sama lainnya, mereka saling membagi makna untuk jangka waktu tertentu dan untuk tindakan tertentu (Morissan, 2013: 110).

Konsep teori interaksi simbolik ini diperkenalkan oleh Herbert Blumer sekitar tahun 1939. Dalam lingkup sosiologi, ide ini sebenarnya sudah lebih dahulu dikemukakan George Herbert Mead, tetapi kemudian dimodifikasi oleh Blumer guna mencapai tujuan tertentu. Teori ini memiliki ide yang baik, tetapi tidak terlalu dalam sebagaimana yang diajukan G.H.Mead. Karakteristik dasar teori ini adalah suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu. Interaksi yang terjadi antar-individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan (Wirawan, 2012: 109).

Realitas sosial merupakan rangkaian sosial yang terjadi pada beberapa individu dalam masyarakat. Interaksi yang dilakukan antar-individu itu berlangsung secara sadar. Interaksi simbolik juga berkaitan dengan gerak tubuh, antara lain suara atau vokal, gerakan fisik, ekspresi tubuh yang semuanya itu mempunyai maksud dan disebut dengan “simbol”. Teori interaksi simbolik sering


(45)

disebut juga sebagai teori sosiologi interpretatif. Selain itu teori ini ternyata sangat dipengaruhi oleh ilmu psikologi, khususnya psikologi sosial. Teori ini juga didasarkan pada persoalan konsep diri.

Pada awal perkembangannya, interaksi simbolik lebih menekankan studinya tentang perilaku manusia pada hubungan interpersonal, bukan pada keseluruhan kelompok atau masyarakat. Proporsi paling mendasar dari interaksi simbolik adalah perilaku dan interaksi manusia itu dapat dibedakan, karena ditampilkan lewat simbol dan maknanya. Mencari makna di balik yang sensual menjadi penting di dalam interaksi simbolik (Wirawan, 2012: 114).

Menurut paham interaksi simbolik, individu berinteraksi dengan individu lainnya sehingga menghasilkan suatu ide tertentu mengenai diri yang berupaya menjawab pertanyaan siapakah Anda sebagai manusia? Manford Kuhn menempatkan peran diri sebagai pusat kehidupan sosial. Menurutnya, rasa diri seseorang merupakan jantung komunikasi. Diri merupakan hal yang penting dalam interaksi. Misalnya seorang anak bersosialisasi melalui interaksi dengan orang tua, saudara dan masyarakat sekitarnya. Orang memahami dan berhubungan dengan berbagai hal atau objek melalui interaksi sosial (Morissan, 2013:111).

Suatu objek dapat berupa aspek tertentu dari realitas individu apakah itu suatu benda, kualitas, peristiwa, situasi atau keadaan. Satu-satunya syarat agar sesuatu menjadi objek adalah dengan cara memberikannya nama dan menunjukkannya secara simbolis. Dengan demikian suatu objek memiliki nilai sosial sehingga merupakan objek sosial (social object). Menurut pandangan ini, realitas adalah totalitas dari objek sosial dari seorang individu. Bagi Khun, penamaan objek adalah penting guna menyampaikan makna suatu objek.

Menurut Khun, komunikator melakukan percakapan dengan dirinya sendiri sebagai bagian dari proses interaksi. Dengan kata lain, kita berbicara dengan diri kita sendiri di dalam pikiran kita guna membuat perbedaan di antara benda-benda dan orang. Ketika seseorang membuat keputusan bagaimana bertingkah laku terhadap suatu objek sosial maka orang itu menciptakan apa yang disebut Kuhn “suatu rencana tindakan” (a plan of action) yang dipandu dengan sikap atau pernyataan verbal yang menunjukkan nilai-nilai terhadap mana tindakan itu akan diarahkan. Misalnya seorang mahasiswa yang ingin melanjutkan


(46)

kuliah harus terlebih dahulu membuat rencana tindakan yang dipandu oleh seperangkat-seperangkat nilai-nilai (sikap) positif dan negatif terhadap kuliah. Jika nilai positif lebih kuat maka ia akan melanjutkan kuliah, namun jika nilai-nilai negatif yang lebih dominan maka ia tidak akan melanjutkan kuliah (Morissan, 2013: 111-112).

Menurut pandangan interaksi simbolik, makna suatu objek sosial serta sikap dan rencana tindakan tidak merupakan sesuatu yang terisolasi satu sama lain. Makna muncul melalui interaksi manusia satu dengan yang lain. Orang-orang terdekat memberikan pengaruh besar dalam kehidupan kita. Mereka adalah orang-orang dengan siapa kita memiliki hubungan dan ikatan emosional seperti orang tua atau saudara. Mereka memperkenalkan kita dengan kata-kata baru, konsep-konsep tertentu atau kategori-kategori tertentu yang kesemuanya memberikan pengaruh kepada kita dalam melihat realitas. Orang terdekat membantu kita belajar membedakan antara diri kita dan orang lain sehingga kita terus memiliki sense of self.

Secara umum, ada enam proporsi yang dipakai dalam konsep interaksi simbolik, yaitu: (1) perilaku manusia mempunyai makna di balik yang menggejala; (2) pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumber pada interaksi sosial manusia; (3) masyarakat merupakan proses yang berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier dan tidak terduga; (4) perilaku manusia itu berlaku berdasar penafsiran fenomenologik, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan dan tujuan, bukan didasarkan atas proses mekanik dan otomatis; (5) konsep mental manusia berkembang; (6) perilaku manusia itu wajar dan konstruktif reaktif (Wirawan, 2012: 114).

Menurut Blumer, pokok pikiran interaksi simbolik ada tiga: (1) bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning); (2) makna itu berasal dari interaksi sosial seseorang dengan sesamanya; (3) makna itu diperlakukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran (interpretative process), yang digunakan orang dalam menghadapi sesuatu yang dijumpainya. Intinya, Blumer hendak mengatakan bahwa makna yang muncul dari interaksi tersebut tidak begitu saja diterima seseorang, kecuali setelah individu itu menafsirkan terlebih dahulu. Seseorang tidak serta merta memberikan reaksi manakala ia


(47)

mendapat rangsangan dari luar. Seseorang itu semestinya melakukan penilaian dan pertimbangan terlebih dahulu; rangsangan dari luar diseleksi melalui proses yang ia sebut dengan definisi atau penafsiran situasi. Definisi situasi ada dua macam yaitu: (1) definisi situasi yang dibuat secara spontan oleh individu; (2) definisi situasi yang dibuat oleh masyarakat (Wirawan, 2012: 115-116).

Definisi situasi yang dibuat oleh masyarakat merupakan aturan yang mengatur interaksi antarmanusia. Ada tiga jenis aturan yang mengatur perilaku manusia ketika mereka berinteraksi dengan orang lain, yang disebutkan oleh David A. Karp dan W.C. Yoels dalam bukunya Symbols, Selves, and Society:

Understanding Interaction (1979), yaitu: (1) aturan mengenai ruang; (2) aturan mengenai waktu; (3) aturan mengeni gerak dan sikap tubuh. Hall dan Hall (1971) mengemukakan bahwa komunikasi non verbal atau bahasa tubuh, yang menurutnya ada sebelum bahasa lisan, merupakan bentuk komunikasi yang pertama yang dipelajari manusia. Karp dan Yoels menyebutkan faktor-faktor yang memengaruhi interaksi, yaitu: (1) ciri yang dibawa sejak lahir, misalnya jenis kelamin, usia dan ras; (2) penampilan; (3) bentuk tubuh yang dipengaruhi oleh pakaian; dan (4) apa yang diucapkan oleh aktor (pelaku) (Wirawan, 2012: 116).

2.2.6 Teori Konstruksi Sosial Diri

Teori konstruksi sosial diri realitas merupakan ide atau prinsip utama dalam tradisi sosiokultural. Ide menyatakan bahwa dunia sosial kita tercipta karena adanya interaksi antara manusia. Cara bagaimana kita berkomunikasi sepanjang waktu mewujudkan pengertian kita mengenai pengalaman, termasuk ide kita mengenai diri kita sebagai manusia dan sebagai komunikator. Dengan demikian, setiap orang pada dasarnya memiliki teorinya masing-masing mengenal kehidupan. Teori itu menjadi model bagi manusia untuk memahami pengalaman hidupnya. Teori berkembang dan diperbaiki terus-menerus sepanjang waktu kehidupan manusia melalui berbagai interaksi (Morissan, 2013: 113-114).

Di antara para ahli sosial kontemporer yang membuat banyak asumsi mengenai konstruksi sosial adalah Rom Harre. Ia mengakui bahwa manusia memiliki aspek individual dan sosial dan seperti pengalaman lainnya, diri manusia dibentuk oleh teori pribadinya. Orang pada dasarnya mencoba untuk memahami


(48)

dirinya dengan menggunakan ide atau teori mengenai manusia (personhood) dan teori mengenai diri (selfhood).

Menurut Harre, manusia adalah makhluk yang terlihat atau diketahui secara publik serta memiliki sejumlah atribut dan sifat yang terbentuk di dalam kelompok budaya dan sosial. Misalnya masyarakat berkebudayaan barat (Eropa dan Amerika) pada umumnya memandang manusia sebagai makhluk otonom yang membuat pilihannya sendiri untuk mencapai tujuannya. Adapun diri adalah ide atau pandangan pribadi yang bersangkutan sebagai manusia. Dengan demikian, terdapat dua ide dalam hal ini, yaitu ide “saya sebagai manusia” yang bersifat publik dan ide mengenai “diri” yang bersifat pribadi atau privat (Morissan, 2013: 114).

Menurut pandangan ini, sifat manusia diatur oleh kebudayaan sedangkan sifat diri diatur oleh teori yang dimiliki orang bersangkutan mengenai dirinya sendiri sebagai salah satu anggota kebudayaan. Dengan demikian manusia sebagai makhluk pribadi (personal being), memiliki dua sisi yaitu sisi sebagai makhluk sosial dan sisi lainnya sebagai makhluk pribadi (diri).

Banyak masyarakat di dunia dengan kebudayaan tradisionalnya memiliki konsep tersendiri mengenai manusia yang dipandang sebagai perwujudan dari perannya dalam masyarakat seperti ibu, ayah, pendeta, petani dan dukun. Manusia secara umum dipandang sebagai manifestasi dari peran-peran tersebut. Sedangkan setiap orang akan memberi sifat, perasaan dan karakter tertentu terhadap dirinya, sebagai individu, sebagai individu di dalam suatu peran: “Saya bapaknya Yusuf, saya adalah seorang petani. Saya bapak yang baik dan petani yang baik.”

Teori mengenai diri dipelajari melalui pengalaman berinteraksi dengan orang lain. Seluruh pemikiran, keinginan dan emosi dipelajari melalui interaksi sosial. Namun teori mengenai diri ini berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya yang disebabkan kondisi sosial dan kebudayaan yang juga berbeda. Misalnya pada budaya masyarakat barat terdapat teori mengenai diri yang menekankan pada keseluruhan, tidak terbagi serta independen. Sebaliknya orang Jawa melihat diri mereka menjadi dua bagian yang independen yaitu perasaan yang berada dalam diri serta tingkah laku luar yang dapat diamati. Orang Maroko di Afrika Utara memiliki teori berbeda mengenai diri yaitu perwujudan


(49)

dari tempat dan situasi. Dengan demikian, identitas mereka selalu terikat kepada situasi di mana mereka berada .

Menurut teori ini, “diri” terdiri atas seperangkat elemen yang dapat ditinjau ke dalam tiga dimensi. Dimensi yang pertama adalah “dimensi penunjukan” (display) yaitu, apakah aspek dari diri itu dapat ditunjukkan kepada pihak luar (public) atau merupakan sesuatu yang bersifat privat. Misalnya, orang dapat menganggap emosinya sebagai sesuatu yang pribadi sementara kepribadiannya (personality) adalah berdimensi publik. Pada kebudayaan lain, emosi dapat dinilai sebagai memiliki dimensi publik (Morissan, 2013: 115).

Dimensi kedua adalah realisasi atau sumber, yaitu tingkatan atau derajat pada bagian atau wilayah tertentu dari “diri” yang dipercaya berasal dari dalam individu sendiri atau berasal dari luar. Dengan demikian terdapat elemen pada diri yang berasal dari internal ataupun eksternal. Elemen diri yang dipercaya berasal dari internal disebut dengan istilah individually realized atau “disadari sendiri” sedangkan elemen diri yang dipercaya berasal dari hubungan orang itu dengan kelompoknya disebut collectivelly realized atau “disadari bersama”. Misalnya, kata “tujuan” dapat dianggap sebagai sesuatu yang disadari sendiri karena merupakan sesuatu yang dimiliki individu. Sebaliknya kata “kerja sama” dapat dianggap sebagai sesuatu yang disadari bersama karena merupakan sesuatu yang hanya dapat dilakukan sebagai anggota dari suatu kelompok.

Dimensi ketiga disebut dengan “agen” (agency) yaitu derajat atau tingkatan kekuatan aktif yang ditimbulkan oleh diri. Elemen aktif merupakan tindakan yang dilakukan orang seperti “berbicara” atau “mendengarkan radio” atau “menonton televisi”. Diri seseorang bisa berbeda seperti emosi, kepribadian, tujuan dan kerja sama yang diberi makna secara berbeda di dalam tiga skema dimensi tadi. Misalnya, masyarakat Anglo-Saxon di Eropa Utara cenderung untuk memperlakukan emosi mereka sebagai sesuatu yang diperlihatkan secara pribadi

(privately displayed), disadari sendiri dan menjadikan emosi sebagi elemen pasif. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa emosi hanya terjadi kepada mereka dan di dalam diri mereka saja. Sebaliknya, masyarakat di Eropa Selatan memandang emosi sebagai bersifat publik, kolektif dan aktif. Dengan kata lain, mereka


(50)

percaya bahwa emosi adalah sesuatu yang mereka ciptakan sebagai suatu kelompok ditunjukkan bersama-sama.

Seluruh teori mengenai diri yang sudah dibahas tersebut memiliki tiga elemen yang sama. Pertama, semua teori itu membahas mengenai kesadaran diri

(self-consciousness), ini berarti bahwa orang memikirkan dirinya atau berbicara mengenai dirinya maka ia menunjukkan kesadaran dirinya. Dengan demikian terdapat dua hal dari kata “saya” yang harus diketahui yaitu “saya” sebagai diri yang “mengetahui” dan “saya” sebagai diri yang “diketahui” (known about).

Misalnya contoh berikut ini: “Saya tahu bahwa saya takut.” Saya yang pertama menunjukkan rasa menyadari (sense of being aware) dan saya kedua menunjukkan rasa menjadi orang yang takut.

Hal lain yang perlu ditambahkan mengenai ide tentang kesadaran diri atau

self-consciousness ini adalah mengenai bagian diri yang terdiri atas dua bagian yang disebut dengan “agen” dan “autobiografi”. Diri selalu dilihat memiliki kekuatan tertentu untuk melakukan berbagai hal. Manusia memandang diri mereka sebagai agen yang mampu memiliki keinginan dan dapat melakukan tindakan. Auto-biografi adalah suatu rasa memiliki pengalaman sejarah dan masa depan. Agen berperan ketika seseorang merencanakan sesuatu dan autobiografi berperan ketika orang itu menceritakan mengenai dirinya kepada orang lain.

2.2.7 Teori Tindakan Beralasan

Teori tindakan yang beralasan adalah sebuah teori yang menyatakan bahwa keputusan untuk melakukan tingkah laku tertentu adalah hasil dari sebuah proses rasional di mana pilihan tingkah laku dipertimbangkan, konsekuensi dan hasil dari setiap tingkah laku dievaluasi dan sebuah keputusan sudah dibuat, apakah akan bertingkah laku tertentu atau tidak. Kemudian keputusan ini direfleksikan dalam tujuan tingkah laku, yang sangat berpengaruh terhadap tingkah laku yang tampil (Baron, 2003: 135).

Teori ini juga menegaskan peran dari niat seseorang membentuk apakah sebuah perilaku akan terjadi dan teori ini secara tidak langsung menyatakan bahwa perilaku pada umumnya mengikuti niat dan tidak akan pernah terjadi tanpa niat. Niat seseorang juga dipengaruhi oleh sikap terhadap suatu perilaku, seperti


(1)

20.Bagaimana Anda menanggapinya? “gak ada...biasa aja, positif aja...”

21.Apa harapan Anda untuk eksistensi tato dan komunitasnya sekarang ini? “harapannya yaa semoga komunitas tato dan orang-orang bertato semakin diterima di masayrakat, lebih dihargai lah. Sekarang kan banyak orang yang istilahnya masih takut, masih kalo nengok orang bertato gak mau berkawan, takut deket..pikirannya yang aneh-aneh aja lah udah...”

Keterangan : Tato milik Ricky yang bergambar jamur di tangan kiri nya.


(2)

Dokumentasi lainnya

Keterangan : Studio Black Cat Tattoo di jalan dr. Mansyur Sumber foto : Black Cat Tattoo Studio

Keterangan : Beberapa tattoo event yang diikuti oleh Black Cat Tattoo Sumber foto : Black Cat Tattoo Studio


(3)

Keterangan : bersama dengan STA (Sumatera Utara Tattoo Artist) pada event “Merdeka Walk 8th Anniversary”

Sumber foto : Black Cat Tattoo Studio

Keterangan : Salah satu berita yang mengangkat pepen sebagai seniman tato yang cukup populer di kalangan turis mancanegara.


(4)

BIOGRAFI PENELITI

NAMA : ENDANG MURDANINGSIH

TEMPAT/TANGGAL LAHIR : MEDAN, 30 AGUSTUS 1992 JENIS KELAMIN : PEREMPUAN

AGAMA : ISLAM

ALAMAT : ASRAMA KODAM I/BB JL.AMPERA

BARAT

K-85 MEDAN-SUNGGAL ORANG TUA : ISMAIL

SRI FHITRI YANI JUMLAH SAUDARA : 2 ORANG YAITU:

• ELLA DWI YANA

• MEISYA AMANDA AZAHRA ALAMAT ORANGTUA : ASRAMA KODAM I/BB JL.AMPERA

BARAT

K-85 MEDAN-SUNGGAL

PENDIDIKAN : TK AISYIYAH BUSTANUL ATHFAL (1997-1998)

SD SULTAN ISKANDAR MUDA (1998-2004)

SMP SULTAN ISKANDAR MUDA (2004-2007)

SMA NEGERI 7 MEDAN (2007-2010)


(5)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Jl. Dr. A. Sofyan No.1 Telp. (061) 8217168

NO

LEMBAR CATATAN BIMBINGAN SKRIPSI

NAMA : Endang Murdaningsih NIM : 100904013

PEMBIMBING : Haris Wijaya S.Sos, M.Comm

TANGGAL PERTEMUAN PEMBAHASAN

1. 19 November 2013 ACC Seminar Proposal

2. 2 Desember 2013 Seminar Proposal

3. 17 Desember 2013 Penyerahan BAB I dan

ACC BAB I

4. 18 Maret 2014 Penyerahan BAB II dan

BAB III

5. 26 Agustus 2014 Penyerahan seluruh BAB

6. 12 September 2014 Revisi BAB I, BAB II,

BAB III, BAB IV

7. 16 September 2014 Revisi BAB IV dan BAB

V

8. 22 September 2014 ACC Sidang Meja Hijau

Diketahui oleh Dosen Pembimbing:

Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm NIP. 197711062005011001


(6)