BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah - Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi Dalam Menangani Pasien (Studi Kasus Tentang Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi yang Praktek Bersama dalam Menangani Pasien Anak di Kota Medan)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

  Seiring dengan perkembangan zaman, berbagai macam inovasi baru bermunculan dalam dunia kesehatan. Dewasa ini dunia kesehatan semakin mengutamakan komunikasi dalam proses penyembuhan yang dapat menunjang kesembuhan para pasiennya. Terdapat banyak metode pengobatan dengan menggunakan komunikasi terapeutik yang telah dilakukan kepada masyarakat luas. Terapeutik merupakan kata sifat yang dihubungkan dengan seni dari penyembuhan. Maka dapat diartikan bahwa terapeutik adalah segala sesuatu yang memfasilitasi proses penyembuhan. Sehingga komunikasi terapeutik itu adalah komunikasi yang direncanakan dan dilakukan untuk membantu penyembuhan/pemulihan pasien (Damaiyanti, 2008 : 11).

  Komunikasi tentu sangat berperan penting dalam proses pengobatan dan pemulihan kondisi kesehatan pasien. Seluruh tenaga medis seperti dokter, perawat atau bidan harus dapat berkomunikasi dan berinteraksi langsung dengan pasien sehingga dapat melayaninya baik secara fisik maupun mental. Seorang dokter atau perawat biasanya akan melakukan tindakan medis semaksimal mungkin untuk dapat membantu mengobati pasiennya. Namun, tidak hanya usaha maksimal yang dibutuhkan oleh dokter dan perawat pada saat ini, mereka juga dituntut untuk memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik agar dapat lebih terbuka dalam berinteraksi dengan pasien. Terlebih lagi dalam ilmu kedokteran gigi dengan seorang anak sebagai pasiennya. Tentu ia harus dapat memahami psikologis pasiennya untuk dapat membujuk dan menghilangkan rasa takut dan cemas dalam diri anak tersebut. Komunikasi terapeutik digunakan oleh dokter gigi untuk membantu dan membimbing pasien agar dapat mengelola rasa takut dan kecemasan yang ada didalam dirinya.

  Shannon dan Weaver (1949) menyatakan bahwa komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja ataupun tidak sengaja. Tidak terbatas pada bentuk komunikasi yang menggunakan bahasa ataupun kata-kata (verbal), tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni, teknologi dan gerakan tubuh (Cangara, 2006 : 19). Sesuai dengan pengertian komunikasi diatas, seorang dokter gigi tentu dapat menjalin hubungan dan kedekatan dengan pasiennya dengan berinteraksi yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya. Hanya saja komunikasi yang biasa dipakai oleh ilmu kedokteran dalam membantu proses penyembuhan pasiennya dinamakan ‘Komunikasi Terapeutik’.

  Proses komunikasi terapeutik dalam ilmu kedokteran gigi akan diawali dengan pemberian sugesti berupa pemberian kata-kata yang positif dan menenangkan kepada pasien. Setelah pasien merasa nyaman dan tenang, barulah dokter gigi mulai melakukan pengobatan dengan tindakan medis. Dalam menghadapi pasien anak, tentu seorang dokter tersebut harus dapat mengambil perhatian anak terlebih dahulu, kemudian mampu bersikap ramah sehingga anak akan merasa nyaman dengan dokter tersebut, dan kemudian barulah membujuk dia untuk menghilangkan rasa takut yang ada didalam dirinya dengan mengatakan bahwa proses pengobatan tersebut tidak akan menimbulkan rasa sakit yang lama dan proses penyembuhannya tidak akan berlangsung lama.

  Kasus mengenai rasa cemas dan takut dalam diri anak jika berurusan dengan dokter gigi merupakan masalah yang sudah banyak terdapat di kehidupan masyarakat saat ini. Kemajuan zaman juga tidak dapat mengubah kebiasaan ini secara drastis karena melihat kehidupan modernisasi pada sekarang ini ternyata masih banyak anak-anak yang merasa sangat takut ketika diajak orang tuanya untuk pergi ke dokter gigi. Padahal kesehatan gigi dan mulut adalah kesehatan yang sangat perlu dijaga dari usia dini karena mulut adalah salah satu organ tubuh yang sangat berpengaruh dalam proses pencernaan di dalam tubuh sehingga jika kesehatannya terganggu maka akan berpengaruh juga terhadap proses pencernaan di dalam tubuh anak tersebut. Namun dengan hadirnya ilmu komunikasi terapeutik dalam ilmu kedokteran gigi diharapkan dapat mengubah citra dokter gigi yang tadinya dianggap sebagai seorang yang menakutkan, kini berubah menjadi sosok yang ramah dan bersahabat.

  Rasa takut dan cemas yang ada dalam diri anak telah diakui selama bertahun-tahun membuat anak sering menunda dan menolak untuk melakukan perawatan kesehatan gigi dan mulut mereka ke dokter gigi. Banyak anak yang merasa bingung ketika merasakan sakit gigi, karena disatu sisi ketika orang tuanya mengajak dia untuk berobat ke dokter gigi, ia akan merasa sangat takut untuk berurusan dengan seorang dokter gigi, namun disisi yang lain ia akan merasa sangat tersiksa untuk menahan rasa sakit pada giginya.

  Salah satu aspek terpenting dalam mengatur rasa takut dan cemas anak dalam perawatan kesehatan gigi dan mulut yang dapat dilakukan oleh seorang dokter gigi adalah dengan mengontrol rasa sakit, karena dengan pengalaman yang tidak menyenangkan ketika melakukan perawatan gigi akan berdampak negatif terhadap perawatan giginya di masa mendatang. Bahkan pengalaman yang tidak menyenangkan ketika berobat ke dokter gigi, dapat menimbulkan rasa trauma dalam diri anak. Kebiasaan menunda perawatan gigi untuk menghindari rasa takut juga akan mengakibatkan semakin menurunnya tingkat kesehatan gigi dan mulut anak, dan terkadang menambah ketakutan dalam diri anak untuk berobat ke dokter gigi.

  Umumnya perawatan gigi anak dimulai saat usia sekolah dasar, dimana banyak diantaranya mengalami pengalaman pertama yang kurang menyenangkan sehingga menumpuk menjadi suatu kecemasan yang berkembang menjadi rasa takut dan kemudian menetap hingga anak beranjak dewasa.

  Perkembangan emosi tentunya sangat berhubungan dengan seluruh aspek perkembangan anak. Perkembangan sosial dan emosi anak merupakan hal yang mendasar dalam perkembangan kepribadiannya di masa yang akan datang. Setiap orang akan mempunyai emosi rasa senang, marah, kesal dalam menghadapi lingkunganya setiap hari.

  Menurut Beaty (1994) ada beberapa emosi yang umum pada anak sebagai berikut : (a) kemarahan, terjadi saat keinginan tidak terpenuhi; (b) kasih sayang, sesuatu yang sangat dibutuhkan anak setiap saat; (c) cemburu, apabila ada hal yang dilakukan anak lain melebihi apa yang dia lakukan; (d) takut akan sesuatu yang baru, (e) sedih yang disebabkan hilangnya anggota keluarga, mainan, atau teman; dan (f) senang dan malu (Susanto, 2011). Setiap anak tentunya mengalami perkembangan emosi yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya.

  Rasa cemas dan takut yang ada di dalam diri pasien anak, tentunya berpengaruh pada sikapnya ketika diajak untuk konsultasi ke dokter gigi oleh orangtuanya. Adapun sikap adalah cara seseorang menerima atau menolak sesuatu yang didasarkan pada cara dia memberikan penilaian terhadap objek tertentu yang berguna ataupun tidak bagi dirinya. Sikap seseorang dapat muncul sebagai hasil dari proses pengamatan dan dari apa yang diterima dan dipelajari melalui inderanya (Nuryanti, 2008 : 61). Pada umumnya, anak-anak akan menolak untuk pergi ke dokter gigi karena dipenuhi rasa takut dan cemas yang selalu dirasakannya.

  Kecemasan terhadap perawatan gigi seringkali dinyatakan dengan penolakan perawatan gigi atau ketakutan terhadap dokter gigi. Banyak hal yang menyebabkan timbulnya kecemasan atau rasa takut anak terhadap perawatan gigi, antara lain: a) pengalaman negatif selama kunjungan ke dokter gigi sebelumnya, b) kesan negatif dari perawatan gigi yang didapatkan dari pengalaman keluarga atau temannya, c) perasaan yang asing selama perawatan gigi misalnya penggunaan sarung tangan, masker, pelindung mata oleh dokter gigi, takut jarum suntik, dan lain-lain, d) merasa diejek atau disalahkan oleh karena keadaan kesehatan rongga mulut yang tidak baik, e) bunyi dari alat-alat kedokteran gigi misalnya bunyi bur, ultra skeler, dan lain-lain, f) kecemasan yang tidak diketahui penyebabnya.

  Rasa sakit dalam menjalani perawatan gigi sering disamakan persepsi oleh pasien, terutama pada masalah pertumbuhan gigi yang mengharuskan untuk dilakukannya pencabutan, penyakit gigi yang harus ditanggulangi dengan tindakan bedah, atau gigi yang harus dirawat melalui saluran akar. Oleh karenanya dokter gigi dianggap perlu untuk mengetahui cara mengontrol rasa sakit untuk membantu anak dalam menanggulangi situasi seperti ini baik sebelum dan sesudah perawatan. Adapun teknik yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan anastesi lokal atau obat anti sakit. Anastesi lokal adalah cara untuk menghilangkan rasa nyeri sementara dibagian tubuh tertentu tanpa menghilangkan tingkat kesadaran. Pencegahan rasa nyeri selama prosedur perawatan gigi dapat memelihara dan menjaga hubungan yang terjalin antara dokter gigi dengan pasien, yaitu dalam membangun kepercayaan, menghilangkan rasa cemas dan takut pasien, dan juga memberikan sikap positif terhadap perawatan gigi.

  Selain menggunakan anastesi lokal, ada satu cara yang sangat efektif yang dapat dilakukan seorang dokter gigi untuk menjalin hubungan dengan pasiennya, yaitu dengan menggunakan komunikasi. Rogers bersama D. Lawrence Kincaid (1981) melahirkan sebuah defenisi komunikasi, yaitu komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam (Cangara, 2006 : 19). Merujuk pada pengertian komunikasi di atas, seorang dokter tentu dapat menggunakan komunikasi sebagai ‘alat’ untuk mendekatkan diri dengan seorang pasiennya. Ia dan pasiennya dapat saling berbagi informasi untuk dapat saling mengerti satu sama lain sehingga pasien anak tersebut akan merasa nyaman dan menganggap dokter tersebut sebagai seorang teman dan bukan sebagai sosok yang patut untuk ditakuti.

  Proses komunikasi terapeutik dalam ilmu kedokteran gigi akan diawali dengan pemberian sugesti berupa pemberian kata-kata yang positif dan menenangkan kepada pasien. Setelah pasien merasa nyaman dan tenang, barulah dokter gigi mulai melakukan pengobatan dengan tindakan medis. Dalam menghadapi pasien anak, tentu seorang dokter tersebut harus dapat mengambil perhatian anak terlebih dahulu. Kemudian mampu bersikap ramah sehingga anak akan merasa nyaman dengan dokter tersebut, dokter gigi harus mampu membujuk anak untuk menghilangkan rasa takut yang ada pada dirinya dengan mengatakan bahwa proses pengobatan tersebut tidak akan menimbulkan rasa sakit yang lama dan proses penyembuhannya juga tidak akan berlangsung lama.

  Dalam memilih lokasi penelitian, peneliti sempat mengunjungi poli gigi Rumah Sakit Adam Malik Medan. Namun peneliti menemukan ada beberapa hambatan dalam mengurus surat izin penelitian di sana. Selain proses pengurusan surat izin yang memakan waktu lama, peneliti juga melihat bahwa pasien anak yang berobat disana jumlahnya sangat sedikit. Ketika peneliti menanyakan jumlah pasien per hari dan jumlah dokter gigi yang dinas di bagian poli gigi, pihak rumah sakit tidak bersedia memberikan data kepada peneliti karena tidak adanya surat izin penelitian. Oleh karenanya, peneliti memutuskan untuk menghitung secara manual jumlah pasien yang mengantri di poli gigi rumah sakit tersebut. Hari Senin, Selasa, Rabu adalah hari dimana banyak pasien poli gigi yang datang mengantri. Peneliti kemudian bertanya kepada Ibu Sitepu, salah satu pasien yang mengantri di poli gigi terkait alasan beliau datang pada hari Senin. Beliau mengatakan jika datang hari Senin, biasanya dokter gigi yang dinas disini datang semua, jadi penanganannya bisa lebih cepat dan efektif.

  Setelah meneliti selama tiga hari yaitu dari tanggal 23 Februari 2015 sampai tanggal 25 Februari 2015, peneliti kemudian mendapatkan jumlah pasien yaitu sebagai berikut : pada hari Senin ada 29 pasien yang mengantri, tetapi tidak ada satu pun pasien anak. Pada hari Selasa, ada sebanyak 23 pasien yang mengantri, dan tetap tidak ada pasien anak. Pada hari Rabu, hanya ada 18 pasien yang mengantri, dan pasien anak tetapi tidak ada.

  Pada akhirnya peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian kepada dokter gigi yang praktek bersama, karena di tempat praktek bersama peneliti dapat langsung menemui dua orang atau lebih dokter gigi yang menangani pasien anak, sehingga peneliti dapat mengumpulkan data yang lengkap mengenai proses pelaksanaan komunikasi terapeutik ini di tempat praktek. Selain itu, di tempat prakteknya masing-masing dokter gigi akan dapat meluangkan waktunya lebih banyak untuk bercerita mengenai komunikasi terapeutik ini. Selanjutnya, peneliti dapat langsung melakukan observasi atau pengamatan mengenai komunikasi terapeutik antara dokter gigi dan pasien anak tersebut. Peneliti juga akan melakukan wawancara dengan orang tua pasien anak tersebut. Sehingga peneliti sangat berharap hasil penelitian akan lebih maksimal karena berhubungan langsung dengan dokter gigi dan orang tua pasien anak. Peneliti sangat tertarik untuk membahas topik ini, karena peneliti ingin mengetahui bagaimana sebenarnya proses komunikasi terapeutik ini dalam praktek bersama ataupun klinik bersama dokter gigi di Kota Medan.

1.2 Fokus Masalah

  Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan diatas, maka peneliti merumuskan fokus masalah dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana pelaksanaan komunikasi terapeutik dokter gigi yang praktek bersama dalam menangani pasien anak di Kota Medan?”.

  Secara mikro masalah yang ingin diteliti adalah: 1. Bagaimana proses komunikasi terapeutik dokter gigi dalam menangani pasien anak di Kota Medan?

  2. Apa manfaat pelaksanaan komunikasi terapeutik dan pelayanan dokter gigi kepada pasien anak?

  3. Apa hambatan dalam pelaksanaan komunikasi terapeutik yang dirasakan oleh dokter gigi dalam menangani pasien anak?

1.3 Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui proses komunikasi terapeutik dokter gigi dalam menangani pasien anak di tempat praktek.

  2. Untuk mengetahui manfaat pelaksanaan komunikasi terapeutik dan pelayanan dokter gigi kepada pasien anak.

  3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam pelaksanaan komunikasi terapeutik oleh dokter gigi kepada pasien anak di tempat praktek.

1.4 Manfaat Penelitian

  Adapun manfaat penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1.

  Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan mampu memperluas atau menambah khasanah penelitian komunikasi dan mampu memberikan konstribusi positif terhadap perkembangan ilmu mahasiswa, khususnya bagi mahasiswa Ilmu komunikasi FISIP USU.

  2. Manfaat Teoritis Penelitian ini untuk menerapkan ilmu yang sudah didapat selama menjadi mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU serta diharapkan mampu menambah pengetahuan dan memperluas wawasan peneliti mengenai komunikasi terapeutik antara dokter gigi dan pasien anak.

  3. Manfaat Praktis

  Melalui penelitian ini, diharapkan bisa memberikan pandangan dan pengetahuan kepada siapa saja mengenai komunikasi terapeutik antara dokter gigi dan pasien anak, baik mengenai prosesnya maupun manfaat yang didapatkan dari penerapan komunikasi terapeutik oleh doker gigi.