Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi Dalam Menangani Pasien (Studi Kasus Tentang Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi yang Praktek Bersama dalam Menangani Pasien Anak di Kota Medan)

(1)

(Studi Kasus Tentang Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi yang Praktek Bersama dalam Menangani Pasien Anak di Kota Medan)

SKRIPSI

DEASY SONIA BR MELIALA 110904114

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KOMUNIKASI TERAPEUTIK DOKTER GIGI DALAM

MENANGANI PASIEN

(Studi Kasus Tentang Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi yang

Praktek Bersama dalam Menangani Pasien Anak di Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Sumatera Utara

DEASY SONIA BR MELIALA 110904114

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ii Universitas Sumatera Utara HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya

bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : Deasy Sonia Br M NIM : 110904114

Tanda Tangan :


(4)

iii Universitas Sumatera Utara Kemuliaan bagi Allah Bapa yang Maha Kuasa karena hanya oleh anugerah dan berkat-Nyalah saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Saya sangat bersyukur oleh karena kasih dan pertolongan-Nya dan dukungan orang-orang sekitar, saya dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU).

Dalam pengerjaan skripsi ini, saya menyadari keterbatasan saya dalam hal pengetahuan, pengalaman dan kelemahan lainnya sebagai mahasiswa. Namun, hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi saya untuk selalu berjuang memberikan yang terbaik sebagai mahasiswa. Saya menyadari penyelesain skripsi ini tidak terlepas dari dukungan, doa dan kerja sama dari berbagai pihak, baik dukungan moral maupun materil. Oleh sebab itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua saya yaitu Bapak Demuriah Milala dan Mama Kartini Sembiring, S.Pd yang telah memberikan semangat, dukungan, dan doa di dalam setiap keterbatasannya sebagai manusia, tetapi terus berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Demikian juga untuk kakak dan abang Denni Sarai Milala, Amd, drg. Della Novela Talenta Milala, dan Jhon Paskal Milala ST yang telah memberikan dukungan, doa dan semangat kepada saya. Juga untuk keponakan saya Dika, Farrel, Vayo, Sharon, Gladys dan Daffin yang senantiasa menghibur dan menyemangati saya. Kiranya kasih dan damai Tuhan senantiasa beserta kita selamanya.

2. Bapak Prof. Dr.Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Fatma Wardi Lubis, M.A selaku ketua Departemen Ilmu Komunikasi.


(5)

iv Universitas Sumatera Utara saya. Beliau yang telah memberikan pengajaran arahan, serta nasehat kepada penulis selama pengerjaan skripsi ini.

6. Seluruh dosen dan staf pengajar yang telah membimbing saya selama perkuliahan di Departemen Ilmu Komunikasi.

7. Seluruh informan dan pihak-pihak yang telah bersedia meluangkan waktunya dan membantu menyelesaikan skripsi ini.

8. Laboratorium Ilmu Komunikasi yang telah membantu saya mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

9. Staf administrasi kampus, kak Maya dan Pak Tangkas.

10.Para informan yaitu drg. Martha, drg. Berna, drg. Juli, drg. Cristy, drg. Ida, drg. Erni, drg. Ridwan, drg. Indira, drg. Afrida, Ibu Sity, Ibu Indri, Ibu Mery dan Kak Merta yang sudah berpartisipasi dalam skripsi ini. 11.Masmur Purba, SH yang telah menyemangati, mendoakan dan

membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

12.Yesie Meirisa dan Erawati Siagian yang telah menjadi teman terdekat penulis dan juga telah menyemangati dan membantu penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

13.Teman-teman Ilmu Komunikasi stambuk 2011 yang telah menjadi teman terbaik penulis, khususnya Zikra, Hans, Putri, Gita, Sebrina, Mira, Elsa, Sondang, terima kasih atas semangat dan bantuannya.

14.Rekan-rekan penulis yang tidak dapat dituliskan satu per satu.

Akhir kata penulis berharap agar Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberkati, melindungi dan melimpahkan kasih karunia-Nya kepada semua pihak yang sudah berpartisipasi dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu.

Medan, Maret 2015


(6)

v Universitas Sumatera Utara

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Deasy Sonia Br M

NIM : 110904114

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Sumatera Utara

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-ekslusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi dalam Menangani Pasien (Studi Kasus tentang Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi yang Praktek Bersama dalam Menangani Pasien Anak di Kota Medan).

Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengaihmediakan/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada Tanggal :

Yang Menyatakan


(7)

vi Universitas Sumatera Utara

Penelitian ini berjudul Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi yang Praktek Bersama dalam Menangani Pasien Anak di Kota Medan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses komunikasi terapeutik dokter gigi dalam menangani pasien anak, mengetahui manfaat pelaksanaan komunikasi terapeutik dan pelayanan dokter gigi kepada pasien anak, dan untuk mengetahui hambatan pelaksanaan komunikasi terapeutik di tempat praktek bersama dokter gigi di Kota Medan.

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus yaitu metode analisis data kualitatif yang menekankan pada kasus-kasus tertentu yang terjadi pada objek analisis. Dengan menggunakan teknik wawancara mendalam, diharapkan dapat mengumpulkan data sebanyak-banyaknya. Penelitian ini juga dilengkapi dengan teknik triangulasi untuk mengembangkan validitas data. Subjek penelitiannya adalah sembilan orang dokter gigi yang praktek bersama sebagai informan kunci dan tiga orang tua pasien dan seorang perawat gigi sebagai informan tambahan untuk memperkuat hasil penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi terapeutik dokter gigi dalam menangani pasien anak telah berjalan dengan lancar dan berhasil. Secara keseluruhan hal yang sangat dibutuhkan dokter gigi ketika melakukan komunikasi terapeutik adalah kesabaran, sikap yang ramah, hangat, bersahabat, empati dan mampu membawakan diri selayaknya anak-anak. Jika dokter gigi memiliki semua sifat tersebut, maka mereka dapat mengubah mindset anak tentang dokter gigi, mereka juga dapat mengurangi rasa takut anak dan pada akhirnya dapat mengubah sikap dan perilaku anak sesuai dengan yang diinginkan sehingga dapat dilakukan perawatan gigi dan mulut yang optimal.

Kata Kunci:


(8)

vii Universitas Sumatera Utara This research titled Therapeutic Communication of Dentist who Work Together when Handling Paediatric Patients in Medan, North Sumatera. The purposes of this research are to knowing about the process of dentist therapeutic communication when handling paediatric patients, and then to knowing the benefits of the implementation of therapeutic communication and dental services to paediatric patients, and to identify the barriers of the therapeutic communication implementation.

This research uses the case study method, that is a method of qualitative data analysis that emphasizes the specific cases that occurred on the object of analysis. By using the technique of in-depth interviews expected to collect the results as much as possible. This study is also equipped with a triangulation technique to develop the validity of the results. Subjects of this research are nine dentists who work together as core informants and three parents of patients and a dental nurse as addition informants to strengthening the research results.

The results of this research showed that dentist therapeutic communications when handling paediatric patients has been doing comfortly and successfully. Overall a very necessary thing when doing therapeutic communication is patience, friendly attitude, warm, friendly, empathetic and able to present themselves appropriately children. If a dentist has all of these properties, then they can change the mindset of a child about the dentist, they also can reduce the fear of the child and could ultimately change the attitudes and behavior of children in accordance with the desired order to take care of oral health.

Keywords:


(9)

8 Universitas Sumatera Utara

HALAMAN JUDUL………... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... ii

LEMBAR PENGESAHAN……… iii

KATA PENGANTAR………... iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………….. vi

ABSTRAK……….. vii

DAFTAR ISI……….. ix

DAFTAR GAMBAR………. xi

DAFTAR LAMPIRAN………... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah……….... 1

1.2 Fokus Masalah………. 6

1.3 Tujuan Penelitian………. 7

1.4 Manfaat Penelitian……….. 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian……… 9

2.2 Kajian Pustaka………. 10

2.2.1 Komunikasi Antar Pribadi……… 10

2.2.1.1 Defenisi Komunikasi Antar Pribadi……… 10

2.2.1.2 Tujuan Komunikasi Antar Pribadi………. . 10

2.2.1.3 Karakteristik Komunikasi Antar Pribadi…………. 11

2.2.1.4 Komunikasi Verbal dan Non Verbal………... 13

2.2.2 Komunikasi Terapeutik……… 15

2.2.2.1 Defenisi Komunikasi Terapeutik……… 15

2.2.2.2 Tujuan Komunikasi Terapeutik……….. 16

2.2.2.3 Teknik Komunikasi Terapeutik……….. 16

2.2.2.4 Fase Hubungan Komunikasi Terapeutik.………… 18

2.2.2.5 Prinsip-prinsip Komunikasi Terapeutik………….. 20

2.2.2.6 Sikap Komunikasi Terapeutik……… 21

2.3 Model Teoritis………. 22

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian……….. 23

3.2 Objek Penelitian………. 23


(10)

Universitas Sumatera Utara

3.4 Kerangka Analisis……….. 25

3.5 Teknik Pengumpulan Data………. 25

3.6 Teknik Analisis Data………. 27

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Subjek Penelitian……….. 31

4.2 Hasil Wawancara dan Pengamatan……….. 32

4.3 Pembahasan……….. 114

4.3.1 Proses Komunikasi Terapeutik... 115

4.3.2 Manfaat Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik... 119

4.3.3 Hambatan Komunikasi Terapeutik... 120

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan……….. 133

5.2 Saran………. 133

5.3 Implikasi Teoritis……….. 134

5.4 Implikasi Praktis………... 134

DAFTAR REFERENSI……….. 135 LAMPIRAN

Surat Izin Penelitian Biodata Peneliti Karakteristik Informan

Daftar Pertanyaan Wawancara Daftar Bimbingan Skripsi Foto Dokumentasi


(11)

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


(12)

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Izin Penelitian 2. Biodata Peneliti 3. Karakteristik Informan

4. Daftar Pertanyaan Wawancara 5. Daftar Bimbingan Skripsi 6. Foto Dokumentasi


(13)

vi Universitas Sumatera Utara

Penelitian ini berjudul Komunikasi Terapeutik Dokter Gigi yang Praktek Bersama dalam Menangani Pasien Anak di Kota Medan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses komunikasi terapeutik dokter gigi dalam menangani pasien anak, mengetahui manfaat pelaksanaan komunikasi terapeutik dan pelayanan dokter gigi kepada pasien anak, dan untuk mengetahui hambatan pelaksanaan komunikasi terapeutik di tempat praktek bersama dokter gigi di Kota Medan.

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus yaitu metode analisis data kualitatif yang menekankan pada kasus-kasus tertentu yang terjadi pada objek analisis. Dengan menggunakan teknik wawancara mendalam, diharapkan dapat mengumpulkan data sebanyak-banyaknya. Penelitian ini juga dilengkapi dengan teknik triangulasi untuk mengembangkan validitas data. Subjek penelitiannya adalah sembilan orang dokter gigi yang praktek bersama sebagai informan kunci dan tiga orang tua pasien dan seorang perawat gigi sebagai informan tambahan untuk memperkuat hasil penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi terapeutik dokter gigi dalam menangani pasien anak telah berjalan dengan lancar dan berhasil. Secara keseluruhan hal yang sangat dibutuhkan dokter gigi ketika melakukan komunikasi terapeutik adalah kesabaran, sikap yang ramah, hangat, bersahabat, empati dan mampu membawakan diri selayaknya anak-anak. Jika dokter gigi memiliki semua sifat tersebut, maka mereka dapat mengubah mindset anak tentang dokter gigi, mereka juga dapat mengurangi rasa takut anak dan pada akhirnya dapat mengubah sikap dan perilaku anak sesuai dengan yang diinginkan sehingga dapat dilakukan perawatan gigi dan mulut yang optimal.

Kata Kunci:


(14)

vii Universitas Sumatera Utara This research titled Therapeutic Communication of Dentist who Work Together when Handling Paediatric Patients in Medan, North Sumatera. The purposes of this research are to knowing about the process of dentist therapeutic communication when handling paediatric patients, and then to knowing the benefits of the implementation of therapeutic communication and dental services to paediatric patients, and to identify the barriers of the therapeutic communication implementation.

This research uses the case study method, that is a method of qualitative data analysis that emphasizes the specific cases that occurred on the object of analysis. By using the technique of in-depth interviews expected to collect the results as much as possible. This study is also equipped with a triangulation technique to develop the validity of the results. Subjects of this research are nine dentists who work together as core informants and three parents of patients and a dental nurse as addition informants to strengthening the research results.

The results of this research showed that dentist therapeutic communications when handling paediatric patients has been doing comfortly and successfully. Overall a very necessary thing when doing therapeutic communication is patience, friendly attitude, warm, friendly, empathetic and able to present themselves appropriately children. If a dentist has all of these properties, then they can change the mindset of a child about the dentist, they also can reduce the fear of the child and could ultimately change the attitudes and behavior of children in accordance with the desired order to take care of oral health.

Keywords:


(15)

Universitas Sumatera Utara BAB I

PENDAHULUAN

1.1Konteks Masalah

Seiring dengan perkembangan zaman, berbagai macam inovasi baru bermunculan dalam dunia kesehatan. Dewasa ini dunia kesehatan semakin mengutamakan komunikasi dalam proses penyembuhan yang dapat menunjang kesembuhan para pasiennya. Terdapat banyak metode pengobatan dengan menggunakan komunikasi terapeutik yang telah dilakukan kepada masyarakat luas. Terapeutik merupakan kata sifat yang dihubungkan dengan seni dari penyembuhan. Maka dapat diartikan bahwa terapeutik adalah segala sesuatu yang memfasilitasi proses penyembuhan. Sehingga komunikasi terapeutik itu adalah komunikasi yang direncanakan dan dilakukan untuk membantu penyembuhan/pemulihan pasien (Damaiyanti, 2008 : 11).

Komunikasi tentu sangat berperan penting dalam proses pengobatan dan pemulihan kondisi kesehatan pasien. Seluruh tenaga medis seperti dokter, perawat atau bidan harus dapat berkomunikasi dan berinteraksi langsung dengan pasien sehingga dapat melayaninya baik secara fisik maupun mental. Seorang dokter atau perawat biasanya akan melakukan tindakan medis semaksimal mungkin untuk dapat membantu mengobati pasiennya. Namun, tidak hanya usaha maksimal yang dibutuhkan oleh dokter dan perawat pada saat ini, mereka juga dituntut untuk memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik agar dapat lebih terbuka dalam berinteraksi dengan pasien. Terlebih lagi dalam ilmu kedokteran gigi dengan seorang anak sebagai pasiennya. Tentu ia harus dapat memahami psikologis pasiennya untuk dapat membujuk dan menghilangkan rasa takut dan cemas dalam diri anak tersebut. Komunikasi terapeutik digunakan oleh dokter gigi untuk membantu dan membimbing pasien agar dapat mengelola rasa takut dan kecemasan yang ada didalam dirinya.

Shannon dan Weaver (1949) menyatakan bahwa komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja ataupun tidak sengaja. Tidak terbatas pada bentuk komunikasi yang menggunakan


(16)

Universitas Sumatera Utara bahasa ataupun kata-kata (verbal), tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni, teknologi dan gerakan tubuh (Cangara, 2006 : 19). Sesuai dengan pengertian komunikasi diatas, seorang dokter gigi tentu dapat menjalin hubungan dan kedekatan dengan pasiennya dengan berinteraksi yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya. Hanya saja komunikasi yang biasa dipakai oleh ilmu kedokteran dalam membantu proses penyembuhan pasiennya dinamakan ‘Komunikasi Terapeutik’.

Proses komunikasi terapeutik dalam ilmu kedokteran gigi akan diawali dengan pemberian sugesti berupa pemberian kata-kata yang positif dan menenangkan kepada pasien. Setelah pasien merasa nyaman dan tenang, barulah dokter gigi mulai melakukan pengobatan dengan tindakan medis. Dalam menghadapi pasien anak, tentu seorang dokter tersebut harus dapat mengambil perhatian anak terlebih dahulu, kemudian mampu bersikap ramah sehingga anak akan merasa nyaman dengan dokter tersebut, dan kemudian barulah membujuk dia untuk menghilangkan rasa takut yang ada didalam dirinya dengan mengatakan bahwa proses pengobatan tersebut tidak akan menimbulkan rasa sakit yang lama dan proses penyembuhannya tidak akan berlangsung lama.

Kasus mengenai rasa cemas dan takut dalam diri anak jika berurusan dengan dokter gigi merupakan masalah yang sudah banyak terdapat di kehidupan masyarakat saat ini. Kemajuan zaman juga tidak dapat mengubah kebiasaan ini secara drastis karena melihat kehidupan modernisasi pada sekarang ini ternyata masih banyak anak-anak yang merasa sangat takut ketika diajak orang tuanya untuk pergi ke dokter gigi. Padahal kesehatan gigi dan mulut adalah kesehatan yang sangat perlu dijaga dari usia dini karena mulut adalah salah satu organ tubuh yang sangat berpengaruh dalam proses pencernaan di dalam tubuh sehingga jika kesehatannya terganggu maka akan berpengaruh juga terhadap proses pencernaan di dalam tubuh anak tersebut. Namun dengan hadirnya ilmu komunikasi terapeutik dalam ilmu kedokteran gigi diharapkan dapat mengubah citra dokter gigi yang tadinya dianggap sebagai seorang yang menakutkan, kini berubah menjadi sosok yang ramah dan bersahabat.

Rasa takut dan cemas yang ada dalam diri anak telah diakui selama bertahun-tahun membuat anak sering menunda dan menolak untuk melakukan


(17)

Universitas Sumatera Utara perawatan kesehatan gigi dan mulut mereka ke dokter gigi. Banyak anak yang merasa bingung ketika merasakan sakit gigi, karena disatu sisi ketika orang tuanya mengajak dia untuk berobat ke dokter gigi, ia akan merasa sangat takut untuk berurusan dengan seorang dokter gigi, namun disisi yang lain ia akan merasa sangat tersiksa untuk menahan rasa sakit pada giginya.

Salah satu aspek terpenting dalam mengatur rasa takut dan cemas anak dalam perawatan kesehatan gigi dan mulut yang dapat dilakukan oleh seorang dokter gigi adalah dengan mengontrol rasa sakit, karena dengan pengalaman yang tidak menyenangkan ketika melakukan perawatan gigi akan berdampak negatif terhadap perawatan giginya di masa mendatang. Bahkan pengalaman yang tidak menyenangkan ketika berobat ke dokter gigi, dapat menimbulkan rasa trauma dalam diri anak. Kebiasaan menunda perawatan gigi untuk menghindari rasa takut juga akan mengakibatkan semakin menurunnya tingkat kesehatan gigi dan mulut anak, dan terkadang menambah ketakutan dalam diri anak untuk berobat ke dokter gigi.

Umumnya perawatan gigi anak dimulai saat usia sekolah dasar, dimana banyak diantaranya mengalami pengalaman pertama yang kurang menyenangkan sehingga menumpuk menjadi suatu kecemasan yang berkembang menjadi rasa takut dan kemudian menetap hingga anak beranjak dewasa.

Perkembangan emosi tentunya sangat berhubungan dengan seluruh aspek perkembangan anak. Perkembangan sosial dan emosi anak merupakan hal yang mendasar dalam perkembangan kepribadiannya di masa yang akan datang. Setiap orang akan mempunyai emosi rasa senang, marah, kesal dalam menghadapi lingkunganya setiap hari.

Menurut Beaty (1994) ada beberapa emosi yang umum pada anak sebagai berikut : (a) kemarahan, terjadi saat keinginan tidak terpenuhi; (b) kasih sayang, sesuatu yang sangat dibutuhkan anak setiap saat; (c) cemburu, apabila ada hal yang dilakukan anak lain melebihi apa yang dia lakukan; (d) takut akan sesuatu yang baru, (e) sedih yang disebabkan hilangnya anggota keluarga, mainan, atau teman; dan (f) senang dan malu (Susanto, 2011). Setiap anak tentunya mengalami perkembangan emosi yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya.


(18)

Universitas Sumatera Utara Rasa cemas dan takut yang ada di dalam diri pasien anak, tentunya berpengaruh pada sikapnya ketika diajak untuk konsultasi ke dokter gigi oleh orangtuanya. Adapun sikap adalah cara seseorang menerima atau menolak sesuatu yang didasarkan pada cara dia memberikan penilaian terhadap objek tertentu yang berguna ataupun tidak bagi dirinya. Sikap seseorang dapat muncul sebagai hasil dari proses pengamatan dan dari apa yang diterima dan dipelajari melalui inderanya (Nuryanti, 2008 : 61). Pada umumnya, anak-anak akan menolak untuk pergi ke dokter gigi karena dipenuhi rasa takut dan cemas yang selalu dirasakannya.

Kecemasan terhadap perawatan gigi seringkali dinyatakan dengan penolakan perawatan gigi atau ketakutan terhadap dokter gigi. Banyak hal yang menyebabkan timbulnya kecemasan atau rasa takut anak terhadap perawatan gigi, antara lain: a) pengalaman negatif selama kunjungan ke dokter gigi sebelumnya, b) kesan negatif dari perawatan gigi yang didapatkan dari pengalaman keluarga atau temannya, c) perasaan yang asing selama perawatan gigi misalnya penggunaan sarung tangan, masker, pelindung mata oleh dokter gigi, takut jarum suntik, dan lain-lain, d) merasa diejek atau disalahkan oleh karena keadaan kesehatan rongga mulut yang tidak baik, e) bunyi dari alat-alat kedokteran gigi misalnya bunyi bur, ultra skeler, dan lain-lain, f) kecemasan yang tidak diketahui penyebabnya.

Rasa sakit dalam menjalani perawatan gigi sering disamakan persepsi oleh pasien, terutama pada masalah pertumbuhan gigi yang mengharuskan untuk dilakukannya pencabutan, penyakit gigi yang harus ditanggulangi dengan tindakan bedah, atau gigi yang harus dirawat melalui saluran akar. Oleh karenanya dokter gigi dianggap perlu untuk mengetahui cara mengontrol rasa sakit untuk membantu anak dalam menanggulangi situasi seperti ini baik sebelum dan sesudah perawatan. Adapun teknik yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan anastesi lokal atau obat anti sakit. Anastesi lokal adalah cara untuk menghilangkan rasa nyeri sementara dibagian tubuh tertentu tanpa menghilangkan tingkat kesadaran. Pencegahan rasa nyeri selama prosedur perawatan gigi dapat memelihara dan menjaga hubungan yang terjalin antara dokter gigi dengan pasien,


(19)

Universitas Sumatera Utara yaitu dalam membangun kepercayaan, menghilangkan rasa cemas dan takut pasien, dan juga memberikan sikap positif terhadap perawatan gigi.

Selain menggunakan anastesi lokal, ada satu cara yang sangat efektif yang dapat dilakukan seorang dokter gigi untuk menjalin hubungan dengan pasiennya, yaitu dengan menggunakan komunikasi. Rogers bersama D. Lawrence Kincaid (1981) melahirkan sebuah defenisi komunikasi, yaitu komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam (Cangara, 2006 : 19). Merujuk pada pengertian komunikasi di atas, seorang dokter tentu dapat menggunakan komunikasi sebagai ‘alat’ untuk mendekatkan diri dengan seorang pasiennya. Ia dan pasiennya dapat saling berbagi informasi untuk dapat saling mengerti satu sama lain sehingga pasien anak tersebut akan merasa nyaman dan menganggap dokter tersebut sebagai seorang teman dan bukan sebagai sosok yang patut untuk ditakuti.

Proses komunikasi terapeutik dalam ilmu kedokteran gigi akan diawali dengan pemberian sugesti berupa pemberian kata-kata yang positif dan menenangkan kepada pasien. Setelah pasien merasa nyaman dan tenang, barulah dokter gigi mulai melakukan pengobatan dengan tindakan medis. Dalam menghadapi pasien anak, tentu seorang dokter tersebut harus dapat mengambil perhatian anak terlebih dahulu. Kemudian mampu bersikap ramah sehingga anak akan merasa nyaman dengan dokter tersebut, dokter gigi harus mampu membujuk anak untuk menghilangkan rasa takut yang ada pada dirinya dengan mengatakan bahwa proses pengobatan tersebut tidak akan menimbulkan rasa sakit yang lama dan proses penyembuhannya juga tidak akan berlangsung lama.

Dalam memilih lokasi penelitian, peneliti sempat mengunjungi poli gigi Rumah Sakit Adam Malik Medan. Namun peneliti menemukan ada beberapa hambatan dalam mengurus surat izin penelitian di sana. Selain proses pengurusan surat izin yang memakan waktu lama, peneliti juga melihat bahwa pasien anak yang berobat disana jumlahnya sangat sedikit. Ketika peneliti menanyakan jumlah pasien per hari dan jumlah dokter gigi yang dinas di bagian poli gigi, pihak rumah sakit tidak bersedia memberikan data kepada peneliti karena tidak adanya surat izin penelitian. Oleh karenanya, peneliti memutuskan untuk menghitung


(20)

Universitas Sumatera Utara secara manual jumlah pasien yang mengantri di poli gigi rumah sakit tersebut. Hari Senin, Selasa, Rabu adalah hari dimana banyak pasien poli gigi yang datang mengantri. Peneliti kemudian bertanya kepada Ibu Sitepu, salah satu pasien yang mengantri di poli gigi terkait alasan beliau datang pada hari Senin. Beliau mengatakan jika datang hari Senin, biasanya dokter gigi yang dinas disini datang semua, jadi penanganannya bisa lebih cepat dan efektif.

Setelah meneliti selama tiga hari yaitu dari tanggal 23 Februari 2015 sampai tanggal 25 Februari 2015, peneliti kemudian mendapatkan jumlah pasien yaitu sebagai berikut : pada hari Senin ada 29 pasien yang mengantri, tetapi tidak ada satu pun pasien anak. Pada hari Selasa, ada sebanyak 23 pasien yang mengantri, dan tetap tidak ada pasien anak. Pada hari Rabu, hanya ada 18 pasien yang mengantri, dan pasien anak tetapi tidak ada.

Pada akhirnya peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian kepada dokter gigi yang praktek bersama, karena di tempat praktek bersama peneliti dapat langsung menemui dua orang atau lebih dokter gigi yang menangani pasien anak, sehingga peneliti dapat mengumpulkan data yang lengkap mengenai proses pelaksanaan komunikasi terapeutik ini di tempat praktek. Selain itu, di tempat prakteknya masing-masing dokter gigi akan dapat meluangkan waktunya lebih banyak untuk bercerita mengenai komunikasi terapeutik ini. Selanjutnya, peneliti dapat langsung melakukan observasi atau pengamatan mengenai komunikasi terapeutik antara dokter gigi dan pasien anak tersebut. Peneliti juga akan melakukan wawancara dengan orang tua pasien anak tersebut. Sehingga peneliti sangat berharap hasil penelitian akan lebih maksimal karena berhubungan langsung dengan dokter gigi dan orang tua pasien anak. Peneliti sangat tertarik untuk membahas topik ini, karena peneliti ingin mengetahui bagaimana sebenarnya proses komunikasi terapeutik ini dalam praktek bersama ataupun klinik bersama dokter gigi di Kota Medan.

1.2Fokus Masalah

Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan diatas, maka peneliti merumuskan fokus masalah dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana


(21)

Universitas Sumatera Utara pelaksanaan komunikasi terapeutik dokter gigi yang praktek bersama dalam menangani pasien anak di Kota Medan?”.

Secara mikro masalah yang ingin diteliti adalah:

1. Bagaimana proses komunikasi terapeutik dokter gigi dalam menangani pasien anak di Kota Medan?

2. Apa manfaat pelaksanaan komunikasi terapeutik dan pelayanan dokter gigi kepada pasien anak?

3. Apa hambatan dalam pelaksanaan komunikasi terapeutik yang dirasakan oleh dokter gigi dalam menangani pasien anak?

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui proses komunikasi terapeutik dokter gigi dalam menangani pasien anak di tempat praktek.

2. Untuk mengetahui manfaat pelaksanaan komunikasi terapeutik dan pelayanan dokter gigi kepada pasien anak.

3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam pelaksanaan komunikasi terapeutik oleh dokter gigi kepada pasien anak di tempat praktek.

1.4Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan mampu memperluas atau menambah khasanah penelitian komunikasi dan mampu memberikan konstribusi positif terhadap perkembangan ilmu mahasiswa, khususnya bagi mahasiswa Ilmu komunikasi FISIP USU.

2. Manfaat Teoritis

Penelitian ini untuk menerapkan ilmu yang sudah didapat selama menjadi mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU serta diharapkan mampu menambah pengetahuan dan memperluas wawasan peneliti mengenai komunikasi terapeutik antara dokter gigi dan pasien anak.


(22)

Universitas Sumatera Utara Melalui penelitian ini, diharapkan bisa memberikan pandangan dan pengetahuan kepada siapa saja mengenai komunikasi terapeutik antara dokter gigi dan pasien anak, baik mengenai prosesnya maupun manfaat yang didapatkan dari penerapan komunikasi terapeutik oleh doker gigi.


(23)

20 Universitas Sumatera Utara 2.1 Paradigma Kajian

Istilah konstruksi sosial atas realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya yang berjudul “The Social Constuction of Reality, a Treatise in The Sociological of Knowledge” (Bungin, 2006 : 189). Lalu ia kemudian menggambarkan proses sosial memalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.

Dalam aliran filsafat, konstruktivisme muncul sejak Socrates menemukan jiwa dan tubuh manysia dan sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Gagasan tersebut lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya. Ia juga mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta (Bungin, 2006 : 189).

Asumsi dasar dalam pendekatan konstruktivisme adalah realitas tidak dapat dibentuk seecara ilmiah, namun juga, turun karena campur tangan Tuhan. Tapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Pandangan konstruktivisme memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi. Sehingga realitas yang sama bisa ditanggapi, dimaknai dan dikonstruksi secara berbeda-beda oleh setiap orang karena setiap orang mempunyai pengalaman, pendidikan dan lingkungan sosial yang berbeda-beda.

Selain itu, paradigma konstruktivisme juga memandang realitas sebagai suatu bentukan secara simbolik melalui interaksi sosial. Keberadaan simbol ataupun bahasa menjadi penting dalam membentuk realitas. Dalam artian hanya melihat bagaimana bahasa dan simbol diproduksi dan direproduksi lewat berbagai hubungan yang terbatas antara sumber dan narasumber yang menyertai proses hubungan tersebut. Dalam bahasa sederhanya, hanya menyentuh level mikro (konsep diri sumber) dan level meso (lingkungan dimana sumber itu berada) dan


(24)

Universitas Sumatera Utara tidak menyentuh hingga level makro (sistem politik, budaya, ekonomi, dan lain-lain).

Konsentrasi analisis pada paradigma ini adalah menemukan bagaimana suatu peristiwa ataupun realitas dikonstruksi, dan dengan cara apa konstruksi itu dibentuk.

2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Komunikasi Antar Pribadi

2.2.1.1 Defenisi Komunikasi Antar Pribadi

Komunikasi memegang peranan penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Komunikasi antar pribadi merupakan salah satu bagian ilmu komunikasi yang membahas mengenai proses pertukaran pesan antar dua atau tiga orang baik secara tatap muka maupun melalui media. Melalui komunikasi antar pribadi manusia dapat mengenal dirinya sendiri dan orang lain, dia juga dapat mengetahui dunia luar, dan bisa menjalin hubungan yang lebih bermakna juga dapat memperoleh hiburan ataupun menghibur orang lain.

Menurut Joseph A. Devito komunikasi antar pribadi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika (Fajar, 2009 : 78). Berdasarkan defenisi tersebut, komunikasi antar pribadi dapat berlangsung antara dua orang atau lebih yang memang sedang berdua atau bertiga dalam suatu situasi tertentu ataupun antara dua atau tiga orang yang sedang dalam suatu kegiatan.

Fungsi komunikasi antar pribadi adalah mengendalikan lingkungan guna memperoleh imbalan-imbalan tertentu berupa fisik, ekonomi dan sosial. Keberhasilan yang relatif dalam melakukan pengendalian lingkungan melalui komunikasi menambah kemungkinan menjadi bahagia, kehidupan pribadi yang produktif. Kegagalan relatif mengarah kepada ketidakbahagiaan akhirnya bisa terjadi krisis identitas diri (Budyatna & Leila, 2012 : 27).

2.2.1.2 Tujuan Komunikasi Antar Pribadi Tujuan komunikasi antar pribadi adalah


(25)

Universitas Sumatera Utara 1) Mengenal diri sendiri dan orang lain

Melalui komunikasi antar pribadi kita dapat belajar mengenai bagaimana dan sejauhmana kita harus membuka diri pada orang lain, dan juga akan membuat kita mengetahui nilai, sikap dan prilaku orang lain.

2) Mengetahui dunia luar

Komunikasi antar pribadi memungkinkan kita untuk memahami lingkungan di sekitar kita dengan baik, yaitu tentang objek dan kejadian-kejadian orang lain.

3) Menciptakan dan memelihara hubungan menjadi bermakna

Dengan berkomunikasi antar pribadi kita dapat menciptakan dan memelihara hubungan dengan orang lain yang dapat membantu mengurangi kesepian dan ketegangan serta membuat kita merasa kita lebih positif tentang diri kita sendiri.

4) Mengubah sikap dan prilaku

Komunikasi antar pribadi sering digunakan untuk mempengaruhi orang lain dengan persuasi.

5) Bermain dan mencari hiburan

Bermain dan mencari hiburan sangat diperlukan dalam kehidupan manusia, karena bisa memberi suasana yang lepas.

6) Membantu

Komunikasi antar pribadi sering digunakan oleh psikiater dan ahli terapi untuk menolong orang lain (Fajar, 2009 : 78).

2.2.1.3 Karakteristik Komunikasi Antar Pribadi

Karakteristik komunikasi antar pribadi menurut Richard L. Weaver adalah a) Melibatkan paling sedikit dua orang

Komunikasi antar pribadi melibatkan paling sedikit dua orang. b) Adanya umpan balik atau feedback

Umpan balik merupakan pesan yang dikirim kembali oleh penerima kepada pembicara. Dalam komunikasi antar pribadi hampir selalu melibatkan umpang balik langsung. Sering kali bersifat segera, nyata dan berkesinambungan.

c) Tidak harus tatap muka

Bagi komunikasi antar pribadi yang sudah terbentuk, adanya saling pengertian antara dua individu, kehadiran fisik dalam berkomunikasi tidaklah terlalu penting, karena bisa melalui media seperti telepon, e-mail dan lain-lain. Tetapi menurut Weaver komunikasi tanpa interaksi tatap muka tidaklah ideal walaupun tidak harus dalam komunikasi antar pribadi. Bentuk idealnya memang adanya kehadiran fisik dalam berinteraksi secara antar pribadi, walaupun tanpa kehadiran fisik masih dimungkinkan.

d) Tidak harus bertujuan

Komunikasi antar pribadi tidak harus selalu disengaja atau dengan kesadaran.


(26)

Universitas Sumatera Utara Untuk dapat dianggap sebagai komunikasi antar pribadi yang benar, maka sebuah pesan harus menghasilkan atau memiliki efek atau pengaruh. Efek atau pengaruh tersebut tidak harus segera dan nyata, tetapi harus terjadi. f) Tidak harus melibatkan atau menggunakan kata-kata

Bahwa kita berkomunikasi tanpa kata-kata seperti pada komunikasi non verbal karena komunikasi non verbal memiliki makna yang jauh lebih besar dibandingkan kata-kata.

g) Dipengaruhi oleh konteks

Konteks merupakan tempat dimana pertemuan komunikasi terjadi termasuk apa yang mendahului dan mengikuti apa yang dikatakan. Konteks meliputi :

(1) Jasmaniah, seperti suhu udara, pencahayaan, jarak antara komunikator, pengaturan tempat dan waktu mengenai hari.

(2) Sosial, apakah komunikasi terjadi atau mengambil tempat diantara anggota keluarga, teman-teman, kenalan-kenalan, mitra kerja, atau orang asing mempengaruhi apa dan bagaiman pesan-pesan dibentuk, diberikan dan dimengerti.

(3) Historis, merupakan latar belakang yang diperoleh melalui peristiwa komunikasi sebelumnya antara para partisipan.

(4) Psikologis, meliputi suasana hati dan perasaan dimana setiap orang membawakannya kepada pertemuan antar pribadi.

(5) Keadaan kultural yang mengelilingi peristiwa komunikasi, seperti nila-nilai, keyakinan, makna, hierarki sosial agama dan lain-lain. h) Dipengaruhi oleh kegaduhan atau noise

(1) Kegaduhan/kebisingan eksternal berupa penglihatan, suara, dan rangsangan lainnya

(2) Kegaduhan internal berupa pikiran dan perasaan yang bersaing guna mendapatkan perhatian dan menggangu proses komunikasi.

(3) Kegaduhan semantic, berupa lambing-lambang tertentu yang menjauhkan kita dari pesan-pesan yang utama (Budyatna & Leila, 2012 : 15).

Dalam komunikasi antar pribadi terdapat proses transaksional yaitu adanya proses saling memberi dan menerima di antara pelaku yang terlibat dalam kegiatan komunikasi tersebut. Komunikasi antar pribadi dianggap sebagai suatu proses, dimana komunikasi antar pribadi merupakan rangkaian tindakan, kejadian dan kegiatan yang terjadi secara terus menerus atau bisa dikatakan dinamis, dimana semua hal yang tercakup dalam komunikasi tersebut selalu dalam keadaan yang berubah, baik itu pelaku, pesan maupun lingkungannya.

Sebagai suatu sistem, komponen-komponen yang ada dalam komunikasi antar pribadi saling terkait satu sama lain. Setiap komponen komunikasi antar pribadi mempunyai kaitan baik dengan komponen lain maupun dengan komponen secara keseluruhan. Oleh sebab itu, dalam komunikasi antar pribadi tidak ada


(27)

Universitas Sumatera Utara pengirim tanpa penerima, tidak ada pesan tanpa pengirim, dan tidak ada umpan balik tanpa penerima. Jika terdapat perubahan pada para pelaku komunikasi maka juga akan menyebabkan perubahan pada aspek lainnya.

2.2.1.4 Komunikasi Verbal dan Non Verbal

Komunikasi verbal adalah komunikasi yang dilakukan dengan menggunakan kata-kata, bicara ataupun tertulis. Komunikasi verbal merupakan bentuk komunikasi yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan dengan cara tertulis ataupun lisan. Komunikasi verbal menurut Dedy Mulyana adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata secara lisan dengan secara sadar dilakukan oleh manusia ntuk berhubungan dengan manusia lain (Fajar 2009:110).

Komunikasi verbal ini menempati porsi besar, karena pada kenyataannya ide-ide, pemikiran atau keputusan lebih mudah disampaikan secara verbal dibandingkan non verbal. Dengan harapan, seluruh komunikan (baik pendengar atau pembaca) bisa lebih mudah memahami pesan-pesan yang disampaikan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh dokter gigi dalam berkomunikasi secara verbal menurut Ellis dan Nowlis (1994) adalah

a. Penggunaan Bahasa

Dalam penggunaan bahasa oleh dokter gigi haruslah mempertimbangkan pendidikan pasien, tingkat pengalaman dan kemahiran pasien dalam berbahasa. Sebaiknya, dokter gigi menggunakan bahasa yang jelas, ringkas dan sederhana agar dapat lebih mudah dipahami oleh pasiennya.

b. Kecepatan

Kecepatan dalam berbicara juga merupakan sesuatu yang sangat berpengaruh dalam efektivitas komunikasi. Pada umumnya, orang yang sedang dalam keadaan cemas atau sibuk akan lupa untuk berhenti berbicara dan biasanya berbicara dengan sangat cepat. Hal ini tentu menyebabkan pendengar kurang bisa memahmi pesan yang disampaikan oleh komunikator. Untuk itu, seorang dokter gigi baiknya menggunakan kecepatan yang sesuai, agar pasien tersebut dapat mendengar dan memahami pesan yang disampaikan dengan baik.


(28)

Universitas Sumatera Utara Nada suara merupakan gambaran gaya dari ekspresi yag digunakan pada saat berbicara. Pasien yang mendengar pesan dengan suara lembut akan lebih mudah mengerti dan merasa nyaman dibandingkan pesan yang diterimanya dengan suara keras (Musliha & Siti Fatmawati, 2010: 14).

Salah satu komunikasi verbal yang sering dilakukan dokter gigi adalah wawancara. Wawancara digunakan oleh dokter gigi untuk mencari tahu penyakit-penyakit yang ada dalam diri pasiennya, dan kemudian untuk mengidentifikasi kebutuhan kesehatan pasiennya, dan lain-lain. Sedangkan komunikasi nonverbal merupakan komunikasi yang tidak kalah pentingnya. Banyak komunikator verbal tidak efektif dikarenakan oleh komunikator yang tidak menggunakan komunikasi non verbal dengan baik dalam waktu yang bersamaan. Melalui komunikasi non verbal dengan baik, orang bisa mengambil suatu kesimpulan mengenai perasaan senang, benci, cinta, sayang, dan lain-lain.

Edward T. Hall menamai komunikasi non verbal sebagai “bahasa diam” (silent language) dan “dimensi tersembunyi” (hidden dimension) suatu budaya (Mulyana, 2007 : 344). Dikatakan diam dan tersembunyi karena pesan-pesan non verbal tersebut, tertanam dalam konteks komunikasi. Selain isyarat situasional dan relasional dalam transaksi komunikasi, pesan non verbal juga memberi isyarat-isyarat kontekstual. Pesan non verbal kemudian membantu dalam menafsirkan seluruh makna komunikasi.

Tujuan komunikasi non verbal menurut Stuart dan Sundeen (1995) adalah a. Mengekspresikan emosi

b. Mengekspresikan tingkah laku interpersonal

c. Membangun, mengembangkan dan memelihara interaksi sosial d. Menunjukkan diri

e. Mendukung komunikasi verbal (Musliha & Siti Fatmawati, 2010 : 15). Komunikasi non verbal terdiri dari:

1. Kinesics

Kinesics merupakan komunikasi verbal yang melibatkan gerakan tubu, terdiri dari:

1) Ekspresi muka;

2) Gesture (gerak, isyarat, sikap); 3) Gerakan tubuh dan postur; 4) Gerak mata atau kontak mata. 2. Paralanguage


(29)

Universitas Sumatera Utara Vocal dapat membedakan emosi yang dirasakan oleh orang lain. Komponnen paralanguage adalah

1). Kualitas suara : irama, volume, kejernihan

2). Vocal tanpa bahasa : sedu sedan, mendengkur, tertawa, hembusan nafas panjang, dan lain-lain.

3. Proxemics

Proxemics membahas mengenai jarak hubungan dalam interaksi sosial. Menurut Hall Cit. Linberg proxemics terbagi 3 (dikutip dari Musliha & Siti Fatmawati, 2010) yaitu:

1) Jarak intim (sampai dengan 18 inchi)

2) Jarak personal ( 18 inchi sampai 4 kaki) untuk berinteraksi mengenai suatu urusan tetapi bukan kepada orang khusus atau tertentu.

3) Jarak public (lebih dari 12 kaki) untuk pembicaraan formal. 4. Sentuhan

Sentuhan adalah alat komunikasi yang sangat kuat, karena dapat menimbulkan reaksi positif dan negative tergantung dari orang yang terlibat dan lingkungan sekeliling interaksi tersebut.

5. Cultural Artifact

Artifact merupakan hal-hal yang ada dalam interaksi seseorang dengan orang lain yang mungkin bertindak sebagai rangsangan non verbal, seperti baju, perhiasan, kacamata, kosmetik, dan lain-lain.

6. Gaya berjalan

Gaya berjalan dapat menggambarkan kondisi fisik seseorang. Seseorang yang berjalan dengan lemas dan lunglai, hal itu menunjukkan bahwa tubuhnya dalam kondisi sakit.

7. Penampilan Fisik Umum

Pola nafas yang cepat menunjukkan seseorang dalam keadaan cemas, pipi bengkak menunjukkan adanya penyakit dalam gigi pasien (Musliha & Siti Fatmawati, 2010 : 16).

2.2.2 Komunikasi Terapeutik

2.2.2.1 Defenisi Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik sangatlah penting dalam membantu mempercepat proses penyembuhan pasien. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Musliha & Siti Fatmawati, 2010 : 111). Komunikasi terapeutik ini termasuk dalam komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antara tenaga kesehatan dengan pasiennya. Adapun yang menjadi persoalan yang mendasar dari komunikasi ini adalah adanya rasa saling membutuhkan antara tenaga kesehatan dengan pasien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi antar pribadi di antara tenaga kesehatan dengan pasien, dokter membantu dan pasien menerima bantuan.


(30)

Universitas Sumatera Utara Komunikasi terapeutik bukan pekerjaan yang bisa dikesampingkan, tetapi harus direncanakan, disengaja, dan merupakan tindakan yang professional. Akan tetapi jangan sampai karena terlalu asik bekerja, kemudian melupakan pasien sebagai manusia dengan beragam latar belakang dan masalahnya (Musliha & Siti Fatmawati, 2010 : 112).

Bagi seorang dokter gigi, sudah biasa menghadapi ketakutan pasien dalam menjalani perawatan gigi dan mulut mereka. Namun yang menjadi permasalahan adalah perbedaan cara menghadapi rasa takut pasien dewasa dan anak-anak. Dalam melayani pasien anak, seorang dokter gigi harus bisa bersikap lebih ramah dan bersabar, hal ini disebabkan lebih susahnya menghadapi rasa takut anak dibanding rasa takut orang dewasa. Komunikasi terapeutik sangatlah dibutuhkan oleh dokter dalam menghadapi rasa takut pasien anak.

2.2.2.2 Tujuan Komunikasi Terapeutik

Bila seorang dokter memiliki keterampilan berkomunikasi terapeutik yang baik, maka ia akan lebih mudah menjalin hubungan saling percaya dengan pasiennya, sehingga dapat lebih efektif lagi dalam mencapai tujuan perawatan kesehatan pasien tersebut, juga dapat memberikan kepuasan yang professional dalam diri pasien yang bersangkutan.

Kualitas pelayanan yang diberikan dokter kepada pasien sangat dipengaruhi oleh kualitas hubungan yang terjalin antara dokter dengan pasien, bila tenaga kesehatan tidak memperhatikan hal ini, hubungan antara dokter gigi dengan pasien tersebut bukanlah hubungan yang memberikan dampak terapeutik yang mempercepat kesembuhan pasien, namun hanya hubungan sosial yang biasa.

Menurut Purwanto tujuan komunikasi terapeutik adalah sebagai berikut: 1. Membantu pasien untuk memperjelas juga mengurangi beban perasaan dan

pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal yang diperlukan;

2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.

3. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri (Damaiyanti, 2008 : 11).

2.2.2.3 Teknik Komunikasi Terapeutik

Teknik komunikasi terapeutik kreatif pada anak adalah sebagai berikut : 1. Teknik Verbal


(31)

Universitas Sumatera Utara a. Pesan ‘Saya’

Nyatakan perasaan tentang perilaku dalam istilah ‘saya’. Hindari penggunaan kata ‘anda’ (kamu) yamg banyak.. Pesan ‘Anda’ adalah perlawanan yang menghakimi dan menghasut.

b. Teknik ‘Orang ketiga’

Teknik ini biasanya menggunakan orang terdekat pasien. Teknik ini kurang mengancam dibandingkan dengan menanyakan pada anak secara langsung bagaimana perasaannya, karena hal ini memberi kesempatan pada mereka untuk setuju atau tidak setuju tanpa merasa dibantah.

c. Respon ‘Fasilitatif’

Libatkan teknik mendengar dengan perhatian dan cerminkan kembali pada pasien perasaan dan isi pernyataan yang mereka ungkapkan. Respon yang dilakukan dokter gigi tidak menghakimi dan empati.

d. Storytelling (bercerita)

Gunakan bahasa anak untuk masuk ke dalam area berpikir mereka sementara menembus batasan kesadaran atau rasa takut anak. Teknik paling sederhana adalah dengan menjelaskan proses perawatan giginya dengan menggunakan kata-kata yang sederhana. e. Saling bercerita

Tunjukkan pikiran anak dan upayakan untuk mengubah persepsi anak atau rasa takutnya dengan menceritakan kembali suatu cerita yang berbeda (pendekatan yang lebih terapeutik dibandingkan bercerita). Dikatakan lebih efektif daripada bercerita karena melalui cara ini anak akan merasa lebih dekat dengan dokternya. f. Biblioterapi

Digunakan dalam proses terapeutik dan suportif. Beri kesempatan pada anak untuk mengeksplorasi kejadian yang serupa dengan mereka sendiri tetapi cukup berbeda. Anak diajak untuk menceritakan kembali isi buku tersebut sehingga dapat meringkas pesan moral atau arti dari cerita tersebut.

g. Dreams (mimpi)

Minta anak untuk menceritakan tentang mimpi-mimpi mereka dan kemudian gali bersamanya tentang kemungkinan arti mimpi tersebut. Hal ini dilakukan agar anak merasa diperhatikan oleh dokter tersebut.

h. Pertanyaan ‘Bagaimana jika’

Dorong anak untuk menggali situasi potensial dan untuk mempertimbangkan pilihan pemecahan masalah yang berbeda. Jika si anak tetap tidak mau melakukan perawatan gigi dan mulutnya meskipun sudah dilakukan pendekatan, dokter perlu melakukan metode ini.

i. Tiga harapan

Libatkan pertanyaan ‘Bila kamu memiliki tiga hal di dunia ini, hal apa sajakah itu?’ Bila anak menjawab, ‘semua harapan saya menjadi kenyataan’, lalu tanya kepadanya harapan khusus


(32)

Universitas Sumatera Utara tersebut. Hal ini dilakukan agar anak mau membuka dirinya kepada dokter (Damaiyanti, 2008 : 15).

2. Teknik Non Verbal a. Menulis

Merupakan pendekatan komunikasi alternatif untuk anak yang lebih besar dan orang dewasa. Jika pasien anak yang dihadapi sangat susah membuka dirinya dan bahkan jarang menjawab jika ditanya, sebaiknya dokter menggunakan cara ini, yaitu menyuruh pasien anak tersebut menulis apa-apa saja yang menjadi keluhannya.

b. Menggambar

Merupakan salah satu bentuk komunikasi paling dapat diterima baik non verbal (dari melihat gambar) maupun verbal (dari cerita anak tentang gambar). Gambar anak menceritakan semua tentang mereka, karena gambar ini adalah proyeksi diri mereka dari dalam. c. Magis

Gunakan trik magis sederhana untuk membantu membuat hubungan dengan anak, dorong kepatuhan dengan intervensi kesehatan, dan berikan distraksi efektif selama prosedur yang menyakitkan.

d. Play (bermain)

Merupakan bahasa umum dan ‘pekerjaan’ anak. Bermain dengan arahan mencakup arahan yang lebih spesifik, seperti memberi peralatan medis atau boneka untuk memfokuskan alasan, seperti menggali rasa takut anak terhadap injeksi atau menggali hubungan keluarga (Damaiyanti, 2008 : 19).

2.2.2.4 Fase Hubungan Komunikasi Terapeutik

Dalam melaksanakan komunikasi terapeutik ada beberapa tahap yang akan dilalui. Dan disetiap tahap tersebut, terdapat tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh tenaga kesehata, agar tujuan komunikasi terapeutik dapat tercapai. Adapun tahap-tahap tersebut adalah

a. Fase Preinteraksi

Tahap ini merupakan masa tenaga kesehatan untuk melakukan persiapan sebelum berinteraksi langsung dengan pasiennya. Seorang dokter gigi haruslah dapat mempersiapkan dirinya dengan baik, jika sedang mempunyai masalah, baiknya dokter melupakan terlebih dahulu masalah tersebut karena dapat mempengaruhi emosinya pada saat menghadapi pasien anak. Karena jika dengan emosi yang tidak stabil, seorang dokter


(33)

Universitas Sumatera Utara gigi tidak akan bisa sabar dalam menghadapi keluhan-keluhan dari pasien anak yang cenderung lebih cengeng dan rewel dibandingkan pasien dewasa.

Adapun tugas tenaga kesehatan pada fase ini adalah : a. Mengeksplorasi perasaan, harapan dan kecemasannya

b. Menganalisa kekuatan dan kelemahan diri, dengan analisa diri ia akan terlatih untuk memaksimalkan dirinya agar bernilai terapeutik bagi klien, jika merasa tidak siap maka perlu belajar kembali

c. Mengumpulkan data tentang klien, sebagai dasar dalam membuat rencana interaksi

d. Membuat rencana pertemuan secara tertulis, yang akan di implementasikan saat bertemu dengan klien (Musliha & Siti Fatmawati, 2010 : 116).

b. Fase Orientasi

Pada masa inilah kesempatan bagi tenaga kesehatan untuk menjalin hubungan yang baik dengan pasiennya, karena pada fase inilah ia akan membentuk citranya melalui pertemuan pertama dengan pasiennya. Baiknya pada fase ini, tenaga kesehatan memberikan sikap yang ramah dan menunjukkan sikap empatinya dalam menerima kedatangan pasien. Adapun tugas-tugas tenaga kesehatan pada tahap ini adalah :

a. Membina hubungan saling percaya, menunjukkan sikap penerimaan dan komunikasi terbuka. Misalnya seperti bersikap jujur, iklas, ramah, menepati janji dan menghargai pasiennya.

b. Merumuskan kontrak bersama pasien, seperti waktu pertemuan berikutnya.

c. Menggali perasaan dan pikiran serta mengidentifikasi masalah pasien. d. Merumuskan tujuan dengan klien, seperti proses yang akan dilalui

dalam pengobatan pasien Musliha & Siti Fatmawati, 2010 : 116). c. Fase Kerja

Tahap ini merupakan tahap yang paling penting, dimana dalam menjalani proses pengobatan pasien, seorang tenaga kesehatan juga harus tetap menerapkan komunikasi terapeutik. Teknik komunikasi terapeutik yang biasa digunakan oleh tenaga kesehatan adalah mendengarkan dengan aktif, refleksi, memberikan persepsi yang positif, dan kemudian membantu meyakinkan pasien bahwa pengobatan tersebut dapat membantu penyembuhan pasien.


(34)

Universitas Sumatera Utara d. Fase Terminasi

Terminasi merupakan tahap akhir dalam komunikasi terapaeutik ini dan akhir dari pertemuan antara dokter gigi dan pasiennya. Terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Terminasi sementara, berarti masih ada pertemuan lanjutan;

b. Terminasi akhir, terjadi bila pengobatan giginya sudah benar-benar sembuh dan tidak diperlu lagi melakukan perawatan rutin dengan dokter gigi yang bersangkutan (Musliha & Siti Fatmawati, 2010 : 117).

2.2.2.5 Prinsip-prinsip Komunikasi Terapeutik

Prinsip-prinsip komunikasi terapeutik menurut Carl Rogers adalah

1. Dokter gigi harus mengenal dirinya sendiri yang berarti menghayati, memahami dirinya sendiri serta nilai yang dianut.

2. Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling percaya dan saling menghargai.

3. Dokter gigi harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik maupun mental.

4. Dokter gigi harus menciptakan suasana yang memungkinkan pasien bebas berkembang tanpa rasa takut.

5. Dokter gigi harus dapat menciptakan suasana yang memungkinkan pasien memiliki motivasi untuk mengubah dirinya baik sikap, tingkah lakunya sehingga tumbuh makin matang dan dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.

6. Dokter gigi harus mampu menguasai perasaan sendiri secara bertahap untuk mengetahui dan mengatasi perasaan gembira, sedih, marah, keberhasilan, maupun frustasi.

7. Mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat mempertahankan konsistensinya.

8. Memahami betul arti empati sebagai tindakan yang terapeutik dan sebaliknya simpati bukan tindakan yang terapeutik.

9. Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar dari hubungan terapeutik.


(35)

Universitas Sumatera Utara 10.Mampu berperan sebagai role model agar dapat menunjukkan dan

meyakinkan orang lain tentang kesehatan, oleh karena itu dokter gigi perlu mempertahankan suatu keadaan sehat fisik terlebih giginya, mental, spiritual, dan gaya hidup.

11.Disarankan untuk mengeskpresikan perasaan bila dianggap mengganggu. 12.Altruisme untuk mendapatkan kepuasan dengan menolong orang lain

secara manusiawi.

13.Berpegang pada etika dengan cara berusaha sedapat mungkin mengambil keputusan berdasarkan prinsip kesejahteraan manusia.

14.Bertanggung jawab dalam dua dimensi yaitu tanggung jawab terhadap diri sendiri atas tindakan yang dilakukan dan tanggung jawab terhadap orang lain yaitu pasiennya (Damaiyanti, 2008 : 13).

2.2.2.6 Sikap Komunikasi Terapeutik

Menurut Egan terdapat lima sikap ataupun cara yang dapat dilakukan oleh dokter gigi yang dapat memfasilitasi komunikasi yang terapeutik, yaitu:

1. Berhadapan, arti dari posisi ini adalah menunjukkan bahwa dokter gigi tersebut sudah siap dalam melayani pasiennya.

2. Mempertahankan kontak mata. Dengan mempertahankan kontak mata dengan pasien, dapat membuktikan bahwa dokter gigi tersebut menghargai pasiennya dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.

3. Membungkuk ke arah klien, posisi ini menunjukkan bahwa dokter gigi sedang ingin memberitahukan sesuatu ataupun mendengar sesuatu dengan seksama.

4. Mempertahankan sikap terbuka, dengan tidak melipat tangan atau kaki berarti dokter gigi menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi.

5. Tetap rileks, dokter gigi harus tetap dapat menyeimbangkan antara ketegangan dan relaksasi dalam memberi respon kepada pasiennya (Musliha, 2010 : 121).


(36)

Universitas Sumatera Utara 2.3 Model Teoritis

Komunikasi Terapeutik

Gambar 2.1 Model Teoritis

DOKTER GIGI

PASIEN ANAK

PERAWATAN GIGI YANG OPTIMAL


(37)

34 Universitas Sumatera Utara 3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Penelitian ini tidak akan mengutamakan besarnya populasi atau sampling, bahkan sampling yang digunakan akan sangat terbatas, jika data yang terkumpul sudah sangat mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang sedang diteliti, maka tidak akan perlu mencari sampling lainnya. Penelitian kualitatif akan lebih menekankan persoalan kedalaman (kualitas) data bukan banyaknya (kuantitas) data (Krisyantono, 2007 : 58).

Metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data, yang salah satunya berbentuk deskriptif kualitatif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilakunya diamati. Penelitian kualitatif terdiri dari beberapa jenis, salah satunya adalah studi kasus. Ciri khas penelitian studi kasus pada penelitian kualitatif terletak pada studi kasus yang memiliki sifat yang lebih alami, holistik, dan unsur budaya serta didekati secara fenomenologi. Studi kasus merupakan kajian yang rinci atas suatu latar atau peristiwa tertentu.

Dalam penelitian studi kasus, seorang peneliti akan meneliti suatu individu atau unit sosial tertentu secara lebih mendalam (Prastowo, 2001). Studi kasus dalam penelitian ini akan membahas dan terpusat pada individu yang terkait dalam kegiatan penelitian ini, yaitu dokter gigi, orang tua dan pasien anak.

3.2 Objek Penelitian

Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah komunikasi terapeutik yang digunakan oleh dokter gigi dalam melayani pasien anak.

3.3 Lokasi Penelitian dan Subjek Penelitian

Lokasi penelitian kualitatif tentang studi kasus komunikasi terapeutik dokter gigi yang praktek bersama dalam menangani pasien anak adalah di Kota Medan.


(38)

Universitas Sumatera Utara Dalam penelitian kualitatif tidaklah menggunakan populasi seperti yang ada di penelitian kuantitaif. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa penelitian kualitatif lebih menekankan kepada kualitas dan bukan kepada kuantitas. Subjek penelitian dalam penelitian kualitatif adalah informan yaitu orang dalam penelitian. Informan juga akan dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian.

Kegunaan informan menurut Lincoln, Guba, Bogdan dan Biklen adalah 1. Membantu agar secepatnya dan tetap seteliti mungkin dapat

membenamkan diri dalam konteks setempat terutama bagi peneliti yang belum mengalami latihan etnografi.

2. Agar dalam waktu yang relatif singkat banyak informasi yang terjaring, sebagai sampling internal informan diharapkan untuk berbicara, bertukar pikiran, atau membandingkan suatu kejadian yang ditemukan dari subjek lainnya (Moleong 2006 : 132).

Subjek penelitian dalam studi kasus komunikasi terapeutik ini adalah dokter gigi yang praktek bersama, baik dua orang atau lebih dan juga orang tua dari pasien anak yang bersangkutan. Peneliti memilih dokter gigi yang praktek bersama karena dengan melakukan penelitian di tempat praktek bersama, peneliti dapat langsung mewawancarai dua orang atau lebih dokter gigi sekaligus dan dalam proses observasi pun peneliti akan dapat mengamati cara kerja dua orang atau lebih dokter gigi tersebut sekaligus, sehingga akan lebih efektif dan efisien. Pemilihan ini juga didasarkan kepada banyaknya jumlah dokter gigi yang ada di kota Medan, untuk itu peneliti memutuskan untuk melakukan pemilihan dokter gigi yang praktek bersama sebagai subjek penelitian agar subjek penelitian lebih spesifik.

Unit analisis adalah satuan yang diteliti yang bisa berupa individu, kelompok, benda atau suatu latar peristiwa sosial (Hamidi, 2004). Menurut Spradly, unit analisis meliputi tiga komponen, yakni actor (individu atau kelompok), Place (latar tempat peliputan data), dan activity (kegiatan atau sikap yang dilakukan individu dalam situasi terkait penelitian) maka berdasarkan komponen tersebut, unit analisis dalam penelitian ini adalah :

1. Para dokter gigi dan orang tua pasien anak di tempat praktek yang bersangkutan (Actor).


(39)

Universitas Sumatera Utara 3. Komunikasi Terapeutik antara dokter gigi dan pasien anak dalam

perawatan gigi anak yang optimal. (Activity) (Hamidi, 2004).

3.4 Kerangka Analisis Data

Analisis data kualitatif sesungguhnya sudah dimulai saat peneliti mulai mengumpulkan data, dengan cara memilah mana data yang sesungguhnya penting atau tidak. Di dalam penelitian lapangan bisa saja terjadi perubahan fokus penelitian karena peneliti memperoleh data yang sangat menarik. Ini bisa dilakukan karena perjalanan penelitian kualitatif bersifat siklus, sehingga fokus yang sudah didesain sejak awal bisa berubah di tengah jalan karena peneliti menemukan data yang sangat penting, yang sebelumnya tidak terbayangkan.

Analisi data kualitatif (Seiddel, 1998). Prosesnya berjalan sebagai berikut: a. Mencatat data yang dihasilkan di lapamhan, dengan hal itu diberi kode agar

sumber datanya tetap dapat ditelusuri.

b. Mengumpulkan, mengklasifikasikan, mensistensiska, membuat ikhtisar dan membuat indekanya,

c. Berfikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan membuat temuan-temuan umum.

Menurut Janice McDrury tahapan analisis data kualitatif adalah sebagai berikut :

1. Membaca / mempelajari data, menandai kata-kata kunci dan agagsan yang ada dalam data,

2. Mempelajari kata-kata kunci itu, berupaya menemukan tema-tema yang berasal dari data,

3. Menuliskan ‘model’ yang ditemukan,

4. Koding yang telah dilakukan (Moeloeng, 2006 : 248).

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :


(40)

Universitas Sumatera Utara a. Penelitian Lapangan

Data primer adalah data yang didapatkan dari sumber pertama atau tangan pertama di lapangan tempat penelitian.

1. Penelitian lapangan / Observasi

Kegiatan observasi ini merupakan pengamatan langsung yang dilakukan peneliti berkaitan dengan permasalahan yang sedang diamati. Pengamatan dapat mengoptimalkan kemampuan peneliti baik dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tidak sadar, kebiasaan dan sebagainya (Moelong, 2006: 175). Pengamatan langsung juga merupakan alat yang ampuh untuk mengetes suatu kebenaran karena dengan melakukan pengamatan, peneliti mendapatkan kesempatan untuk mengamati sendiri dan kemudian dapat mencatat perilaku dan kejadian yang terjadi sebagaimana adanya.

Jenis observasi yang dilakukan adalah observasi langsung, yaitu hanya melakukan observasi tanpa ikut melakukan seperti yang dilakukan informan. Observasi langsung merupakan proses pemilihan dan pencatatan serangkaian perilaku dan suasana yang berhubungan dengan kasus yang diteliti dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai sebelumnya. Observasi ini berguna untuk menjelaskan, memaparkan dan merinci gejala yang terjadi. Peneliti terlibat langsung dengan pihak-pihak yang diteliti. Adapun hal-hal yang akan diamati dalam penelitian ini adalah cara kerja dokter gigi, suasana hati pasien saat berkunjung ke tempat praktek dan bagaimana kerja sama orang tua pasien.

2. Wawancara mendalam (in-dept interview)

Wawancara mendalam adalah suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan agar mendapatkan data lengkap dan mendalam. Wawancara yang dimaksudkan disini adalah semua yang berkaitan dengan komunikasi terapeutik antara dokter gigi dengan pasien anak dalam menghadapi rasa takut anak. Sasaran wawancara disini adalah para dokter gigi yang praktek bersama dan juga orang tua pasien anak yang ada di tempat praktek dokter gigi yang bersangkutan.


(41)

Universitas Sumatera Utara Pada wawancara mendalam ini, pewawancara relatif tidak mempunyai kontrol atas respon informan, artinya bebas memberikan jawaban. Semua pertanyaan akan dipersiapkan guna mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai komunikasi terapeutik. Adapun bahan acuan pertanyaan yang dipersiapkan untuk dokter gigi akan membahas seputar cara dokter gigi dalam mengatasi rasa takut anak, cara dokter gigi dalam mendekatkan diri dengan pasien anak, manfaat pelaksanaan komunikasi terapeutik yang dirasakan dokter gigi, dan hambatan-hambatan yang dihadapi dokter gigi dalam menangani pasien anak. Sedangkan bahan acuan pertanyaan yang dipersiapkan untuk mewawancarai orang tua pasien adalah cara orang tua untuk mengajak anak ke dokter gigi, seberapa sulit orang tua mengajak anak ke dokter gigi, pendapat orang tua mengenai pelayanan dokter gigi dan bagaimana kerja sama orang tua saat anak sedang dirawat dokter gigi (untuk lebih jelasnya, daftar pertanyaan dapat dilihat di bagian lampiran).

b. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Data kepustakaan didapat dengan cara mempelajari dan mengumpulkan data melalui literatur sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian. Dari berbagai sumber bacaan yang dikumpulkan, seperti situs-situs, jurnal atau dokumentasi ilmiah lainnya, diharapakan peneliti bisa mendapatkan banyak data-data dan fakta-fakta yang dapat mendukung proses penelitian ini.

3.6 Teknik Analisis Data

Menurut Bogdan & Biklen (Moelong, 2006 : 248), analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Proses analisis data ditempuh melalui proses reduksi data. Reduksi data merupakan data yang diperoleh melalui observasi dan pengumpulan dokumen yang masih berupa uraian panjang dan perlu direduksi. Mereduksi kata diartikan


(42)

Universitas Sumatera Utara sebagai suatu proses pemilihan, pemusatan perhatian, pengabsahan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan di lapangan. Data-data tersebut akan dipisahkan sesuai dengan permasalahan yang dimunculkan.

Menurut Seiddel analisis data kualitatif memiliki tahapan sebagai berikut : 1. Mencatat hasil temuan di lapangan, diberi kode agar sumber datanya

tetap dapat ditelusuri.

2. Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, membuat ikhtisar dan membuat indeksnya.

3. Berpikir dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola hubungan-hubungan dan membuat temuan-temuan umum (Moelong, 2006 : 248).

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, maka dapat disederhanakan bahwa dalam penelitian ini, sejumlah data yang telah terkumpul melalui observasi, wawancara dan studi pustaka akan digabung menjadi satu, dan kemudian akan dicoba untuk membakukannya dengan mengolah serta memilah-milah menurut jenis-jenis ataupun golongan pokok bahasannya karena tidak jarang data yang diterima masih dalam bentuk uraian panjang maka untuk itu sangat diperlukan proses reduksi data.

Data yang telah terorganisir dan diabstraksi akan disajikan dan dianalisis dengan tidak menggunakan metode statistic (yaitu analisis yang berdasarkan pada perhitungan angka), tetapi dalam bentuk pernyataan yang akan dijabarkan secara deskriptif. Penyajian data yang dimaksudkan adalah sebagai langkah pengumpulan informasi yang tersusun dan memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Setelah melakukan reduksi dan menyajikan data, maka langkah selanjutnya adalah menarik kesimpulan. Kesimpulan yang dijabarkan tidak bersifat mutlak tetapi memiliki kemungkinan berubah setelah diperoleh data yang baru.

Langkah-langkah yg akan dilakukan oleh peneliti dalam analisi data adalah : a. Reduksi Data

Dalam melakukan penelitian, peneliti akan melakukan wawancara mendalam bagi setiap subjek penelitian. Setelah melakukan wawancara maka peneliti akan mendapatkan sejumlah data. Kemudian data tersebut akan ditulis dalam bentuk uraian atau laporan terperinci. Laporan yang disusun kemudian akan direduksi, dirangkum, difokuskan pada hal-hal


(43)

Universitas Sumatera Utara yang penting. Apabila data yang diperoleh dari informan memiliki banyak kesamaan maka peneliti akan mengklasifikasikan dan jawabannya akan di generalisasikan.

b. Display Data

Setelah peneliti melakukan reduksi data, maka data akan diklasifikasikan menurut pokok permasalahan dan dibuat dalam bentuk matriks agar dapat memudahkan peneliti untuk melihat hubungan antara suatu data dengan data lainnya.

c. Triangulasi Data

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moloeng, 2006 : 330)

Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda yaitu wawancara, observasi dan dokumen. Triangulasi ini selain digunakan untuk mengecek kebenaran data juga dilakukan untuk memperkaya data. Menurut Nasution, selain itu triangulasi juga dapat berguna untuk menyelidiki validitas tafsiran peneliti terhadap data, karena itu triangulasi bersifat reflektif (Nasution, 2003 : 115).

Adapun untuk mencapai kepercayaan itu, maka ditempuh langkah sebagai berikut :

- Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara - Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa

yang dikatakan secara pribadi.

- Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.

- Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan masyarakat dari berbagai kelas.

- Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.


(44)

Universitas Sumatera Utara d. Mengambil Kesimpulan

Pada bagian akhir penelitian ini setelah melakukan reduksi data dan display data, peneliti akan mermbuat kesimpulan berdasarkan data yang telah diperoleh yang disajikan dalam bentuk narasi. Dalam kasus ini kesimpulannya berupa penjelasan mengenai komunikasi terapeutik dokter gigi yang praktek bersama dalam melayani pasien anak di Kota Medan.


(45)

42 Universitas Sumatera Utara HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab IV ini, peneliti akan memaparkan hasil- hasil yang sudah ditemukan di lapangan, baik data yang telah didapatkan melalui wawancara mendalam dengan dokter gigi dan orang tua pasien anak dan juga data yang diperoleh dari pengamatan peneliti di tempat praktek ketika dokter gigi sedang menangani pasien anak.

4.1 Deskripsi Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menentukan sembilan orang dokter gigi yang praktek bersama di Kota Medan sebagai informan dalam penelitian ini. Namun, peneliti tidak hanya mewawancarai kesembilan dokter gigi tersebut tetapi juga mewawancarai seorang perawat gigi dan tiga orang tua pasien anak untuk melihat seberapa besar kepuasan mereka terhadap komunikasi terapeutik dokter gigi dalam membujuk-bujuk anak mereka.

Bukanlah hal yang mudah bagi peneliti untuk mencari dan menentukan ke-13 informan tersebut, karena sewaktu peneliti meminta izin penelitian ada tiga tempat praktek yang tidak memberikan izin bagi peneliti untuk melakukan penelitian di tempat tersebut. Hingga pada akhirnya peneliti memutuskan untuk mencari tempat praktek bersama dokter gigi yang lain. Dan peneliti pun mendapat izin untuk melakukan penelitian di empat tempat praktek bersama dokter gigi. Dengan demikian keseluruhan jumlah informan dalam penelitian ini ada sebanyak 13 (tiga belas) orang. Penelitian ini dimulai bulan Januari 2015 hingga Februari 2015. Karakteristik ke-13 informan tersebut dapat dilihat di bagian lampiran.


(46)

Universitas Sumatera Utara 4.2 Hasil Wawancara dan Pengamatan

Berikut adalah hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan peneliti terhadap informan penelitian.

Pada pukul 16.30 beliau datang ke tempat prakteknya karena kebetulan ada sales obat yang juga ingin bertemu dengannya. Lalu peneliti pun menyampaikan keinginan peneliti kepada beliau dan kemudian beliau langsung mengizinkannya. Dari informasi yang peneliti dapatkan dari proses wawancara Kasus Pertama :

Nama Informan : drg. Martha, Sp. Ort

Usia : 54 tahun

Alamat tempat praktek : Jln. Letjen Jamin Ginting No. 548, Pasar 1 Medan

Dokter gigi spesialis orthodonti inilah informan yang pertama sekali peneliti wawancarai, yaitu pada tanggal 27 Januari 2015. Peneliti sudah sampai di tempat praktek beliau pukul 16.00 tetapi tempat prakteknya belum dibuka. Sampai pada akhirnya pukul 16.15 perawatnya keluar dan membersihkan tempat praktek. Peneliti bertemu dengan dua orang perawat pada saat itu yang bekerja bersama beliau. Kemudian peneliti memberitahukan maksud dan tujuan peneliti datang kepada perawat tersebut dan dia meminta peneliti untuk menunggu drg. Martha karena pada saat itu beliau belum sampai di tempat prakteknya. Sambil menunggu kedatangan beliau, peneliti sempat berbincang-bincang dengan perawatnya, untuk menanyakan beberapa informasi mengenai dokter Martha. Perawatnya pun tampak dengan senang hati menjawab semua pertanyaan yang peneliti sampaikan. Dari perawatnya, peneliti mendapatkan info bahwa dokter ini sudah memiliki empat orang anak, tiga laki-laki dan satu perempuan. Beliau juga ditugaskan di Rumah Sakit Umum Kabanjahe, dan ternyata beliau membuka tempat prakteknya ini dua kali sehari, yaitu pada pukul 09.00-12.00 WIB dan juga pada pukul 16.00-20.00.


(47)

Universitas Sumatera Utara ternyata beliau dulunya membuka praktek di Kota Berastagi, namun ketika mengambil pendidikan spesialis di Fakultas Kedokteran Gigi USU maka beliau memutuskan untuk memindahkan tempat prakteknya ke Medan, di tempat praktek yang sekarang. Awalnya, beliau berkeinginan untuk membuka praktek di daerah Setia Budi, namun mengingat bahwa target pasarnya adalah mahasiswa, maka beliau akhirnya membuka tempat prakteknya di Jln. Jamin Ginting No. 548, Pasar 1 Padang Bulan Medan.

Setelah lulus dari spesialis orthodonti, beliau lebih memfokuskan pelayanannya di pasien yang ingin merapikan gigi, ataupun sering disebut pengguna behel. Itu sebabnya ketika peneliti menyampaikan judul penelitian ini kepada beliau, beliau tampaknya kurang tertarik dalam membahas topik ini karena beliau sudah jarang melayani pasien anak.

Melihat pasien umum juga masih sering datang ke tempat prakteknya, terkadang beliau merasa kelabakan dalam melayani pasien sehingga ia membutuhkan seorang rekan kerja yang dapat diajak untuk bekerja sama. Begitu mengetahui drg. Berna yang merupakan keponakannya juga sedang mencari tempat praktek, beliau pun menawarkan untuk membuka praktek bersama dan drg. Berna pun langsung menyetujuinya. Kesepakatan mereka dalam pembagian pasien adalah drg. Martha melayani pasien orthodonti dan drg. Berna melayani pasien umum.

“Sebenarnya tidak bisa dipastikan, mungkin tiga sampai empat oranglah perminggu. Tapi bisa juga seminggu itu tidak ada pasien anak.”

Drg. Martha menyampaikan bahwa jumlah pasien anak mereka per minggunya tidak bisa dipastikan. Terkadang ada tiga sampai empat orang perminggu dan terkadang tidak ada pasien anak yang datang. Hal ini disebabkan karena dokter ini bukanlah dokter gigi spesialis anak sehingga umur pasien yang dilayani pun beragam.

“Tergantung anaknya, kadang ada anak yang berani, dan kadang ada yang takut. Dan rasa takut itupun bermacam-macam, kadang


(48)

Universitas Sumatera Utara ada yang bisa dibujuk dan kadang ada yang tidak. Pola asuh orang

tua di rumah tentunya sangat mempengaruhi, ada orang tua yang dengan bijaksana memperkenalkan anaknya ke dokter gigi tetapi banyak juga orang tua yang sering mengancam anaknya dirumah jika tidak bisa dibilangi akan di bawa ke dokter agar disuntik. Hal ini tentunya membentuk image dokter yang menyeramkan di dalam pikiran anak. Banyak anak yang berpikiran kalau dokter itu identik dengan jarum suntik. Ini yang membuat dokter gigi harus bekerja keras dalam menangani pasien anak.”

Beliau juga mengatakan bahwa tidak semua pasien anak merasa takut ketika datang ke praktek dokter gigi, ada juga pasien anak yang tidak takut ketika diajak ke dokter gigi. Hal yang sangat berpengaruh terhadap rasa takut anak adalah bagaimana orang tua mampu menunjukkan kebijaksanaannya dalam memperkenalkan anaknya terhadap dunia kedokteran gigi. Kebiasaan orang tua ketika mengancam akan membawa anaknya untuk disuntik oleh dokter ketika ia berbuat salah juga dapat menimbulkan rasa takut anak terhadap dokter.

“Pasien anak disini kebanyakan terkena kasus gigi berlubang. Gigi yang berlubang sebaiknya dirawat terlebih dahulu. Karena gigi orang dewasa sekalipun kalau dalam keadaan sakit tidak bisa dicabut. Jadi biasanya akan dilakukan perawatan untuk membersihkan kuman-kumannya.”

Drg. Martha juga mengatakan bahwa kasus yang sering dihadapi pasien anak yang datang ke prakteknya adalah karies atau gigi berlubang. Mengingat umur pasien anak yang datang berkisar tiga sampai sepuluh tahun, maka gigi yang berlubang tidak boleh sembarang di cabut. Gigi tersebut haruslah dirawat terlebih dahulu, agar bisa menetralkan saraf sekaligus juga untuk membersihkan kuman-kuman yang ada di dalamnya.

“Kemarin ada pasien anak yang datang kesini bersama ibu dan adiknya. Kedua-duanya ingin mengobati gigi mereka yang sakit. Setelah memeriksanya ternyata giginya belum dicabut karena masih dalam keadaan yang sakit, jadi harus diberikan obat peringan rasa sakit dulu agar beberapa hari lagi bisa dicabut. Berbeda dengan kasus dirinya, ternyata adiknya memiliki penyakit jantung bawaan, saya lupa stadium berapa. Jadi saya meminta orang tuanya untuk membawanya dulu ke dokter jantung untuk memeriksakan kondisi jantung anaknya dan menyuruh dokternya untuk membuat surat pernyataan kalau si anak bisa menjalani pencabutan gigi. Agar nanti kalau terjadi apa-apa


(49)

Universitas Sumatera Utara dengan anak tersebut setelah melakukan pencabutan gigi, saya

tidak akan dituntut keluarganya.”

Ketika peneliti menanyakan bagaimana pengalaman beliau dalam menangani pasien anak yang tidak senormal anak biasanya, beliau pun langsung menceritakan bagaimana pengalamannya ketika melayani pasien yang mempunyai masalah khusus.

“Kalau dalam menghadapi pasien anak, kendala terbesar yaitu rasa takut anak, rata-rata sih begitu. Cuma kadar rasa takutnya aja yang berbeda-beda. Jadi yang dibutuhkan adalah bagaimana cara dokter gigi dalam membujuk anak tersebut. Tetapi kalau pengalaman yang saya ingat yaitu ketika menghadapi pasien anak yang punya penyakit jantung, untung saja orangtuanya memberitahu saya, kalau tidak mungkin hal buruk akan terjadi.”

Beliau menyampaikan sejauh ini belum ada pasien anak yang begitu berkesan ketika dilayani, karena pada umumnya masalah terbesar dalam menghadapi pasien anak adalah rasa takutnya, hanya yang membedakan adalah besar/kecilnya rasa takut tersebut. Namun ketika ditanyakan pengalaman yang paling berkesan dalam melayani pasien anak, beliau mengatakan ketika melayani pasien anak yang memiliki penyakit jantung yang sangat berbahaya jika orang tuanya tidak memberitahukannya terlebih dahulu.

“Ada juga beberapa orang tua yang saya jumpai mempunyai sifat yang tempramen. Dia mau memukul atau berlaku kasar kepada anaknya karena tidak sabar untuk membujuk anaknya. Tetapi sebenarnya sih tidak bisa, kalau memaksa anak dengan menggunakan kekesaran, sama saja rasa takut yang ada dalam dirinya tidak akan hilang. Bayangkan saja, anak yang sedang ketakutan justru malah dipukuli, bukannya diam malah si anak tambah menangis.”

Ada beberapa orang tua yang tidak sabar dalam membujuk anaknya, sehingga mendorong mereka tidak segan berlaku kasar di depan dokter gigi. Padahal drg. Martha sangat tidak setuju dengan sikap orang tua yang seperti itu, karena bukannya dapat menghilangkan rasa takut anak, tapi justru membuat rasa takut anak semakin besar. Tak heran jika pasien anak tersebut akan menangis lebih keras lagi ketika ia di pukul oleh orang tuanya, karena ia merasa terancam.


(50)

Universitas Sumatera Utara “Cara mendekatkan diri dengan anak biasanya dengan menggunakan komunikasi, misalnya dengan menanyakan nama, sekolah, dan kondisi mulutnya. Biasanya saya akan menggunakan panggilan tante atau bibi, agar anak merasa dekat dengan kita. Dalam kunjungan pertamanya, biasanya rasa takut anak lebih besar karena dia sama sekali belum pernah ke dokter gigi. Jadi biasanya saya akan memperkenalkan alat-alat yang saya gunakan, fungsinya untuk apa, dan saya juga akan menjelaskan tindakan apa yang akan saya lakukan terhadap mulut anak tersebut. Tentu kesabaran dokter gigi sangat berpengaruh dalam kesuksesan pengobatan gigi anak, karena dalam menghadapi anak yang sangat takut, bujukan dokter gigi sangat diperlukan. Juga dalam menghadapi pasien anak yang sangat ketakutan tetapi mau dirawat giginya, hendaknya dokter gigi menyembunyikan alat-alat yang menyeramkan anak, seperti jarum suntik, tang, dan lain-lain. Dan jika ingin digunakan, sebaiknya alat tersebut disimpan dipunggung dokter agar si anak tidak melihatnya.”

Pada fase orientasi dalam komunikasi terapeutik, dokter gigi memiliki kesempatan untuk membentuk citranya didepan pasien. Pada kesempatan inilah harusnya dokter gigi mampu bersikap ramah dan menunjukkan sikap empatinya dalam menerima kedatangan pasien. Drg. Martha menunjukkan sikap ramahnya dengan menggunakan panggilan tante atau bibi, agar pasien anaknya merasa lebih nyaman berkomunikasi dengan beliau.

Salah satu teknik komunikasi terapeutik adalah storytelling ataupun bercerita. Beliau juga menggunakan teknik ini untuk memperkenalkan semua nama dan fungsi alat-alat yang digunakannya sewaktu mengobati gigi anak. Hal ini dilakukan agar anak merasa tidak asing lagi dengan benda-benda tersebut.

Kesabaran juga diakui oleh dokter gigi ini sangat dibutuhkan dalam melayani pasien anak. Sebelum melakukan tindakan medis terhadap pasien anak, seorang dokter gigi harus mampu bersifat ramah dan bersahabat agar bisa lebih akrab lagi dengan pasien anak tersebut. Dalam kunjungan yang pertamanya, seorang anak harus dibuat senyaman mungkin dengan layanan dokter gigi agar kemudian tidak menumbuhkan rasa trauma dalam diri anak tersebut.

“Biasanya saya akan memberinya obat penghilang rasa sakit dulu. Kalau dalam kondisi yang sakit kan gigi tidak boleh dicabut karena dapat merusak sarafnya. Jadi diberikan obat penghilang rasa sakit dulu barulah beberapa hari kemudian datang lagi kesini. Kadang saya dan perawat juga sering menakut-nakuti anak,


(51)

Universitas Sumatera Utara misalnya dengan mengatakan kalau ada monster yang akan keluar

dari gigi yang busuk, tetapi jika itupun sudah tidak bisa lagi terkadang saya juga tidak sabar lagi membujuknya. Mungkin karena pengaruh umur saya juga ya, dalam menghadapi pasien anak yang sangat susah untuk dibujuk, kadang saya kehabisan kesabaran juga. Biasanya saya akan menyerahkannya kepada orang tuanya. Mungkin juga karena sudah terbiasa melayani pasien yang memasang behel, kan itu lebih enak ngerjainnya, jadi kalau harus membujuk-bujuk dan memakan waktu yang lama, saya terkadang malas membujuknya, maka saya serahkan ke orang tuanya.”

Gigi yang sedang dalam keadaan sakit tidak bisa dipaksa untuk dicabut, biasanya drg. Martha akan memberikan obat penghilang rasa sakit terlebih dahulu kepada pasien anaknya agar kemudian ketika giginya sudah tidak sakit lagi dapat dilakukan tindakan medis. Peneliti melihat bahwa dokter ini, kurang banyak menerapkan komunikasi terapeutik dalam proses pengobatan terhadap pasien anaknya. Beliau juga mengakui bahwa ia sering menakut-nakuti anak dengan mengatakan jika tidak dibersihkan maka akan ada monster yang keluar dari gigi yang busuk tersebut.

“Cara saya untuk memotivasi pasien anak biasanya dengan menyuruhnya untuk merawat kesehatan giginya, yaitu dengan rajin menyikat gigi minimal dua kali sehari agar kuman penyakit yang ada di mulut bisa dihilangkan.”

Ketika peneliti menanyakan kepada drg. Martha bagaimana cara beliau dalam memotivasi kesembuhan pasien, dia mengatakan dengan meningkatkan kesadaran anak akan pentingnya merawat kebersihan gigi dan mulut. Caranya dengan mengingatkan anak agar rajin menyikat gigi minimal dua kali sehari setelah sarapan pagi dan sebelum tidur malam.

“Biasanya dengan melakukan komunikasi terapeutik dapat mengurangi rasa takut anak, dengan melakukan komunikasi untuk mendekatkan diri dengan anak sekaligus juga membujuk-bujuk anak agar mau membuka mulutnya agar bisa diperiksa bagaimana keadaan giginya. Jadi, komunikasi sangat peting bagi dokter gigi agar bisa meluluhkan rasa takut anak.”


(1)

Universitas Sumatera Utara

Perumah an Buena Vista

Sumber: Wawancara dari tanggal 27 Januari 2015 sampai 26 Februari 2015


(2)

Biodata Peneliti

Nama : DEASY SONIA BR M

TEMPAT/TANGGAL LAHIR : KABANJAHE / 25 MARET 1993

JENIS KELAMIN : PEREMPUAN

AGAMA : KRISTEN PROTESTAN

ALAMAT : JLN. BERDIKARI NO. 56, PASAR 1,

PADANG BULAN MEDAN. NAMA ORANG TUA : DEMURIAH MELIALA

KARTINI BR SEMBIRING

ALAMAT ORANG TUA : JLN. NUSA INDAH NO. 7, SIMP. 6, KABANJAHE

PENDIDIKAN : SD SANTO XAVERIUS 3 KABANJAHE

SMP NEGERI 1 KABANJAHE SMA NEGERI 1 KABANJAHE


(3)

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Jl. Dr. A. Sofyan No. 1. Telp. (061) 8217168

NAMA : Deasy Sonia Br M LEMBAR CATATAN BIMBINGAN SKRIPSI

NIM : 110904114

PEMBIMBING : Lusianna A. Lubis, M.A., Ph.D

No. TGL. PERTEMUAN

PEMBAHASAN PARAF PEMBIMBING

1. 27 Oktober 2014 ACC Seminar Proposal 2. 29 Oktober 2014 Seminar Proposal 3. 3 Desember 2014 Revisi Bab I- III

4. 10 Desember 2014 Revisi beberapa bagian dari Bab II mengenai kajian pustaka dan

Model Teoritik 5. 17 Desember 2014 Menyusun daftar pertanyaan 6. 22 Desember 2014 Revisi daftar pertanyaan dan

revisi beberapa bagian Bab II- III 7. 15 Januari 2015 Revisi urutan teori, revisi Bab III mengenai metode penelitian dan

teknik pengumpulan data. 8. 19 Januari 2015 Revisi daftar pertanyaan

wawancara dan diizinkan turun ke lapangan.


(4)

9. 28 Januari 2015 Diskusi persiapan wawancara lapangan

10. 20 Februari 2015 Diskusi hasil wawancara dan ditugaskan untuk melanjutkan ke

bab IV

11. 13 Februari 2015 Revisi Bab IV dan ditugaskan menyusun Bab V


(5)

Universitas Sumatera Utara

FOTO DOKUMENTASI

Foto peneliti dan informan kedua Foto peneliti dan informan ketiga

Foto informan keempat dan kelima Foto informan keenam

Foto peneliti dengan informan ketujuh Foto peneliti dan informan kedelapan


(6)

Foto peneliti dengan informan kesembilan Foto anak dari informan ke-11