Tindak tutur deklaratif bahasa batak Toba anak usia 4-5 tahun kajian : Psikolinguistik Interaksionis

(1)

Tindak Tutur Deklaratif Bahasa Batak Toba Anak Usia 4

5

tahun: Kajian Psikolinguistik Interaksionis

Skripsi

Oleh

Melda Juennipa Gultom

100701061

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

TINDAK TUTUR DEKLARATIF BAHASA BATAK TOBA ANAK USIA 4 – 5 TAHUN KAJIAN: PSIKOLINGUISTIK INTERAKSIONIS

MELDA JUENNIPA GULTOM NIM 100701061

Skripsi ini diajukan untuk melengkapai persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I

Dr. Gustianingsih, M.Hum. NIP 19640828 198903 2 001

Pembimbing II

Drs. Amhar Kudadiri, M.Hum. NIP 19600725 198601 1 002

DepartemenSastra Indonesia Ketua,

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. NIP 19620925 198903 1 017


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar yang saya peroleh.

Medan, Juni 2014

Hormat Saya,

Melda Juennipa Gultom


(4)

TINDAK TUTUR DEKLARATIF BAHASA BATAK TOBA ANAK USIA 4 – 5 TAHUN: KAJIAN PSIKOLINGUISTIK INTERAKSIONIS

Oleh Melda Juennipa Gultom

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tindak tutur deklaratif bahasa batak toba anak usia 4-5 tahun berdasarkan kajian psikolinguistik interaksionis. Penelitian ini menggunakan teori kesantunan berbahasa. Dalam penelitian ini mengkaji tentang tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun pada PAUD Mawar Motung serta hubungannya dengan kesantunan berbahasa. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun pada PAUD Mawar Motung serta mendeskripsikan hubungan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun dengan kesantunan berbahasa. Dalam pengumpulan data digunakan metode metode simak dengan teknik sadap, teknik simak libat cakap, dan teknik catat. Kemudian, dalam mengkaji data digunakan metode padan dan metode agih. Metode padan yang digunakan dalam menganalisis data data adalah metode padan referensial yang alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa dan metode padan pragmatis yang alat penentunya adalah mitra wicara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya pemahaman tuturan deklaratif anak usia 4–5 tahun pada PAUD Mawar Motung terhadap psikolinguistik interaksionis anak. Dalam menanggapi atau merespon tuturan deklatatif, anak usia prasekolah melakukannya dalam dua bentuk utama yaitu mengiyakan atau menolak. Dalam mengiyakan atau menyetujui tuturan deklaratif anak melakukannya dalam dua cara yaitu secara verbal dan non verbal. Pemahaman tersebut terlihat pada kemampuan memahami tindak tutur deklaratif serta bagaimana anak mulai menguasai prinsip kesantunan. Beberapa bentuk strategi yang digunakan oleh anak kaitannya agar penolakannya terdengar santun adalah dengan menggunakan penolakan secara tidak langsung. Pada penelitian ini agar penolakannya terdengar santun mereka menggunakan penolakan secara tidak langsung dengan cara memberikan alasan, menggunakan diksi pilihan nama dan memberikan alternatif pilihan lain.

Kata kunci: Tindak Tutur Deklaratif, Bahasa Batak Toba, Usia 4 – 5 Tahun, Psikolinguistik Interaksionis


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK PRAKATA

DAFTAR ISI ... i

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Batasan Masalah ... 7

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 7

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 8

1.4.2.1 Manfaat Teoretis ... 8

1.4.2.2 Manfaat Praktis ... 8

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ... 9

2.1.1 Pendidikan Anak Usia Dini ... ... 9

2.1.2 Bahasa Batak Toba ... 10

2.2 Landasan Teori ... 11

2.2.1 Tindak Tutur ... ... 11

2.2.2 Psikolinguistik ... 13

2.2.3 Pemerolehan Bahasa .... ... 14

2.2.4 Psikolinguistik Interaksionis ... ... 15

2.2.5 Teori Kesantunan ... ... 15


(6)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian ... ... 23

3.1.1 Lokasi Penelitian ... 23

3.1.2 Waktu Penelitian ... 23

3.2 Sumber Data ... 23

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 24

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data ... 25

BAB IV PEMBAHASAN 4.1Tindak Tutur Deklaratif Bahasa Batak Toba Anak Usia 4 – 5 Tahun pada PAUD Mawar Motung 32 4.2Hubungan Tindak Tutur Deklaratif Bahasa Batak Toba Anak Usia 4 – 5 Tahun dengan Kesantunan Berbahasa... 46

4.2.1 Kesantunsaan Positif dengan Menggunakan Diksi Pilihan Nama ... 47

4.2.2 Kesantunan Positif dengan Menghindari Pertentangan dengan Lawan Tutur ... 49

4.2.3 Kesantunan Positif dengan Membuat Persepsi bahwa Penutur Memahami Keinginan Lawan Tutur ... 52

4.2.4 Kesantunan Positif dengan Berusaha Melibatkan Penutur dan Lawan Tutur dalam Suatu Kegiatan Tertentu ... 54

4.2.5 Kesantunan Positif dengan Penawaran ... 55

4.2.6 Kesantunan Positif dengan Memberikan dan Meminta Alasan ... 56

4.2.7 Kesantunan Positif dengan Memberikan Perhatian Khusus pada Lawan Tutur ... 60

4.2.8 Kesantunan Negatif dengan Tidak Menyebutkan Penutur dan Pendengar ... 60

4.2.9 Kesantunan Negatif Memakai Ujaran Tidak Langung dengan Penawaran ... 61

4.2.10 Kesantunan Negatif dengan Meminta Maaf ... 62

BAB V PENUTUP... 64


(7)

5.2 Saran ... 66 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BIODATA ANAK


(8)

TINDAK TUTUR DEKLARATIF BAHASA BATAK TOBA ANAK USIA 4 – 5 TAHUN: KAJIAN PSIKOLINGUISTIK INTERAKSIONIS

Oleh Melda Juennipa Gultom

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tindak tutur deklaratif bahasa batak toba anak usia 4-5 tahun berdasarkan kajian psikolinguistik interaksionis. Penelitian ini menggunakan teori kesantunan berbahasa. Dalam penelitian ini mengkaji tentang tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun pada PAUD Mawar Motung serta hubungannya dengan kesantunan berbahasa. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun pada PAUD Mawar Motung serta mendeskripsikan hubungan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun dengan kesantunan berbahasa. Dalam pengumpulan data digunakan metode metode simak dengan teknik sadap, teknik simak libat cakap, dan teknik catat. Kemudian, dalam mengkaji data digunakan metode padan dan metode agih. Metode padan yang digunakan dalam menganalisis data data adalah metode padan referensial yang alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa dan metode padan pragmatis yang alat penentunya adalah mitra wicara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya pemahaman tuturan deklaratif anak usia 4–5 tahun pada PAUD Mawar Motung terhadap psikolinguistik interaksionis anak. Dalam menanggapi atau merespon tuturan deklatatif, anak usia prasekolah melakukannya dalam dua bentuk utama yaitu mengiyakan atau menolak. Dalam mengiyakan atau menyetujui tuturan deklaratif anak melakukannya dalam dua cara yaitu secara verbal dan non verbal. Pemahaman tersebut terlihat pada kemampuan memahami tindak tutur deklaratif serta bagaimana anak mulai menguasai prinsip kesantunan. Beberapa bentuk strategi yang digunakan oleh anak kaitannya agar penolakannya terdengar santun adalah dengan menggunakan penolakan secara tidak langsung. Pada penelitian ini agar penolakannya terdengar santun mereka menggunakan penolakan secara tidak langsung dengan cara memberikan alasan, menggunakan diksi pilihan nama dan memberikan alternatif pilihan lain.

Kata kunci: Tindak Tutur Deklaratif, Bahasa Batak Toba, Usia 4 – 5 Tahun, Psikolinguistik Interaksionis


(9)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Tindak tutur terdapat dalam komunikasi berbahasa. Tindak tutur merupakan tindakan yang terjadi dalam setiap proses komunikasi dengan menggunakan bahasa. Tindak tutur merupakan produk dari suatu ujaran kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi bahasa yang menentukan makna kalimat. Bahasa sendiri berfungsi sebagai sarana komunikasi serta sebagai sarana integrasi dan adaptasi. Kehidupan sosial ditandai oleh adanya komunikasi antarindividu maupun individu dengan kelompok melalui proses interaksi yang menggunakan bahasa sebagai media. Selain itu bahasa juga sebagai media bagi manusia untuk mengungkapkan segala bentuk emosi dan pikirannya. Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seorang anak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya (Simanjuntak:1987:157).

Penggunaan bahasa untuk bersosialisasi tidak terlepas dari faktor-faktor penentu tindak komunikasi serta prinsip-prinsip kesantunan dan direalisasikan dalam tindak tutur komunikasi. Dalam penilaian kesantunan berbahasa minimal ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu bagaimana kita bertutur dan dengan siapa kita bertutur. Hakikatnya kesantunan berbahasa adalah etika kita dalam bersosioalisasi di sekolah ataupun masyarakat dengan penggunaan bahasa dan pemilihan kata yang baik, dengan memerhatikan di mana, kapan, kepada siapa, dengan tujuan apa kita berbicara secara santun. Setyawati (2013) menyebutkan hal tersebut senada dengan pendapat Wijana (1996: 11), bahwa bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk


(10)

menyatakan maksud yang sama. Sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Budaya kita menilai berbicara dengan menggunakan bahasa yang santun akan memperlihatkan sejati kita sebagai manusia yang beretika, berpendidikan, dan berbudaya yang mendapat penghargaan sebagai manusia yang baik.

Faktor-faktor penentu tindak komunikasi anak serta prinsip-prinsip kesantunan sangat penting dalam realisasi komunikasi pada masa pra sekolah. Kondisi ideal yang diharapkan seperti di atas kadang kala berbenturan dengan kenyataan yang terjadi. Masih sering dijumpai penutur menggunakan kalimat yang sering tidak sesuai dengan etika dan tutur kata yang sopan. Kondisi tersebut disebabkan oleh faktor kebiasaan yang dilakukan di rumah, lingkungan, maupun teman sepergaulan. Oleh karena itu, orangtua atau tenaga pendidik harus berupaya untuk selalu menggunakan bahasa yang santun. Sikap dan tuturan pendidik mempunyai pengaruh yang besar terhadap sikap dan tuturan anak. Oleh karena itulah tindak tutur yang santun sangat penting pada anak usia dini (PAUD).

Pendidikan Anak Usia Dini menjadi sangat penting mengingat potensi kecerdasan dan dasar-dasar perilaku seseorang terbentuk pada rentang usia ini. Sedemikian pentingnya masa ini sehingga usia dini sering disebut the golden age (usia emas) (dalam Purwanto:2009). Biasanya mereka menggunakan bahasa melalui berbagai cara, seperti bernyanyi, bertanya, atau kegiatan interaksi lainnya (seperti dialog dengan guru maupun teman-temannya). Pada era globalisasi ini proses tindak tutur bahasa memegang peranan penting karena dengan bahasa manusia melakukan komunikasi.

Menurut Austin (1955) (dalam Yuniarti 2010) yang kemudian dikembangkan oleh Searle (1975) ketika seseorang berbicara, ia tidak hanya mengucapkan sebuah ujaran tetapi ia juga melakukan tindakan dengan ujarannya tersebut. Teori ini kemudian dikenal sebagai Speech Act (Tindak Tutur). Ketika seseorang berujar atau mengeluarkan ujaran (speech), ia


(11)

memiliki maksud-maksud tertentu yang berdampak pada lawan tuturnya. Austin menggolongkan teori tindak tutur (speech act) menjadi tiga yaitu: locutionary act, illocutionary act, dan perlocutionary act. Searle (1975) , selanjutnya mengklasifikasi tindak tutur ke dalam lima jenis yaitu: representatives, directives, expressives, commisives dan declaration.

Selanjutnya, Searle (1975) (dalam Yuniarti 2010), mengklasifikasi bahwa tindak tutur deklaratif berfungsi untuk menginformasikan kepada mitra tutur atau bahkan kepada publik tentang sesuatu hal dan kemungkinan berpengaruh pada kehidupan. Kaitannya dengan anak-anak, tindak tutur terkait dengan kemampuan anak baik dalam hal kompetensi maupun performansi. Kompetensi anak terhadap tindak tutur berpengaruh pada performansinya, yaitu kemampuannya dalam memahami maksud tindak tutur, dan kemungkinan anak tersebut mampu memproduksi tindak tutur tersebut.

Menurut Chaer (2003: 167), ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung secara alamiah. Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performansi. Kompetensi tidak diperoleh secara berasingan, melainkan diperoleh secara bersamaan sesuai dengan perkembangan usia anak.

Selanjutnya menurut Chaer (2003: 167), proses performansi sendiri memiliki dua tahap, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan atau proses menghasilkan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian mengamati atau kemampuan mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan kalimat-kalimat itu sendiri. Kedua proses ini selanjutnya menjadi kompetensi linguistik kanak-kanak. Jadi, kemampuan


(12)

linguistik terdiri atas kemampuan memahami dan kemampuan melahirkan atau menerbitkan kalimat-kalimat baru yang dalam linguistik transformasi generatif disebut perlakuan atau pelaksaan bahasa atau performansi.

Pendekatan interaksionis adalah gabungan dari dua pendekatan yakni perpaduan antara faktor internal dan eksternal dalam proses pemerolehan dan pembelajaran berbahasa (Roza 2009). Pandangan ini menganggap bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pembelajar dengan lingkungan bahasa. Hubungan antara keduanya adalah hasil interaksi aktual antara pembelajar dengan orang lain. Titik awal pendekatan ini adalah kemampuan kognitif manusia dalam menemukan sruktur bahasa di sekitarnya. Proses pemerolehan dan pembelajaran dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya (Simanjuntak,1990:110). Perkembangan intelektual anak yang biasa juga ditandai dengan perkembangan kognitif oleh Piaget ditandai dengan: masa sensomotorik (0–2 tahun), masa praoperasional (2–7 tahun), masa oprerasional konkret (7–12 tahun), masa formal operasional (kurang lebih 12 tahun ke atas), masa abstrak formal (kurang lebih 17 tahun ke atas) (Semiawan 2002: 50).

Pada anak usia prasekolah (4–5 tahun), kompetensi dan performansinya terhadap tindak tutur tentu saja berbeda dengan orang dewasa. Perkembangan pemerolehan bahasa pertama anak pada masa prasekolah berlangsung seiring dengan perkembangan pralinguistiknya. Dardjowijoyo (2005:57) menambahkan bahwa anak memiliki tahapan-tahapan tersendiri dalam memeroleh bahasanya, termasuk di dalamnya kemampuan pragmatik (tentu saja dengan tindak tuturnya).

Tindak tutur deklaratif yang berfungsi mempengaruhi mitra tutur untuk melakukan seperti yang diujarkan penutur tentu saja banyak dilakukan di sebuah kelompok bermain. Di kelompok usia ini, tentu saja ada beberapa strategi tindak tutur deklaratif yang dilakukan oleh pengasuh agar ujarannya lebih mudah dipahami oleh peserta didiknya dan tentu saja lebih


(13)

mudah direspon oleh peserta didik agar melakukan sesuatu sesuai tuturan. Seperti halnya kemampuan anak dalam merespon atau memahami tindak tutur deklaratif, kemampuan menerbitkan atau kemampuan memproduksi tindak tutur deklaratif juga perlu diperhatikan. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian ini bermaksud meneliti bagaimana anak usia pra sekolah (4–5 tahun) memahami dan menerbitkan tindak tutur deklaratif dan kaitannya dengan kesantunan berbahasa.

Penelitian tentang tindak tutur deklaratif memang sudah banyak dilakukan oleh banyak peneliti dengan kesantunan berbahasa. Namun demikian penelitian tersebut lebih banyak menggunakan orang dewasa sebagai objek penelitiannya. Sementara penelitian mengenai tuturan deklaratif dengan objek anak-anak belum banyak dilakukan terutama dalam bahasa Batak Toba. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya memfokuskan objeknya pada tuturan deklaratif anak usia pra sekolah (usia 4 – 5 tahun).

Anak-anak di PAUD Mawar Motung yang berusia 4–5 tahun telah mampu

mengembangkan keterampilan berbicara melalui percakapan sederhana. Bahasa Batak Toba menjadi aset kekayaan linguistik kebudayaan Indonesia. Bahasa ini mempunyai peranan dan tugas yang sama dengan bahasa daerah lain terhadap perkembangan bahasa Indonesia, baik dari segi faktor penunjang maupun sebagai sumber bahan khususnya untuk menambah kosa kata bahasa Indonesia. Hal ini yang membuat penulis tertarik sehingga memilih judul Tindak Tutur Deklaratif Bahasa Batak Toba Anak Usia 4–5 tahun: Kajian Psikolinguistik Interaksionis serta melihat bagaimana hubungan tindak tutur anak dengan kesantunan berbahasa.


(14)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan di atas, maka masalah yang akan diteliti adalah:

1. Bagaimanakah tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun pada PAUD Mawar Motung?

2. Bagaimakanah hubungan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun dengan kesantunan berbahasa?

1.3Batasan masalah

Batasan masalah merupakan uraian terhadap masalah yang akan diteliti, sehingga penelitian yang akan dilakukan dapat efektif dan efesien. Melihat banyaknya jenis tindak tutur dalam bahasa, penelitian ini hanya membahas tentang tindak tutur deklaratif yang digunakan anak-anak usia 4–5 tahun bagi penutur bahasa Batak Toba pada PAUD Mawar

Motung, Kecamatan Ajibata Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Anak usia 4–5 tahun

ini sehat jasmani dan rohani serta menggunakan bahasa Batak Toba untuk berkomunikasi dengan Ibu dan saudara-saudarnya baik di rumah maupun di sekolah dengan guru dan teman-temannya.

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan identifikasi dan rumusan masalah penelitian yang telah diungkapkan, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan:

1. Mendeskripsikan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun pada PAUD Mawar Motung

2. Mendeskripsikan hubungan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun dengan kesantunan berbahasa.


(15)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk semua pihak yang bersangkutan dalam penelitian ini, baik manfaat secara praktis maupun secara teoretis:

1.4.2.1 Manfaat Teoretis

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang tindak tutur bahasa Batak Toba pada anak usia 4–5 tahun.

2. Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca dalam memahami

penelitian.

3. Menambah sumber referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian yang berkaitan dengan tindak tutur deklaratif pada anak-anak.

1.4.2.2Manfaat Praktis

1. Penelitian ini dapat dijadikan sumber acuan bagi peneliti selanjutnya tentang tindak tutur deklaratif bahasa-bahasa daerah.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan dan masukan bagi orang tua yang memiliki anak usia 4–5 tahun.

3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru tentang tindak tutur anak usia 4–5tahun di luar Departemen Sastra Indonesia.


(16)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Dalam penelitian, ada beberapa konsep dasar yang berkaitan dengan topik penelitian yang pada intinya dibangun untuk menunjang teori yang diterapkan. Beberapa konsep tersebut diantaranya mengacu pada judul atau topik penelitian. Dalam penelitian ini ada beberapa konsep dasar yang dijadikan sebagai acuan yaitu:

2.1.1 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

Yusuf (2000:162) (dalam Yuniarti 2010) mengemukakan bahwa anak usia prasekolah merupakan fase perkembangan individu sekitar 2–6 tahun atau sering disebut sebagai usia Taman Kanak-kanak (TK). Masa ini diperinci lagi kedalam dua masa, yaitu: 1) masa vital, karena pada usia ini individu menggunakan fungsi biologisnya untuk menemukan berbagai hal dalam dunianya, dan 2) masa estetik karena pada masa ini dianggap sebagai masa perkembangan rasa keindahan.

Early childhood atau kadang dinamakan usia prasekolah adalah periode dari akhir masa bayi sampai umur lima atau enam tahun. Selama periode ini, anak menjadi makin mandiri, siap untuk bersekolah (seperti mulai belajar untuk mengikuti perintah dan mengidentifikasi huruf) dan banyak menghabiskan waktu bersama teman. Selepas taman kanak-kanak biasanya dianggap sebagai batas berakhirnya periode ini.

Bermain juga merupakan cara yang paling baik untuk mengembangkan kemampuan anak didik. Dalam masa prasekolah, bermain merupakan cara alamiah untuk menemukan lingkungan, orang lain, dan dirinya sendiri. Pada prinsipnya, bermain mengandung rasa senang dan tanpa paksaan serta lebih mementingkan proses dari pada hasil akhir. Bermain adalah medium, di mana si anak mencobakan diri, bukan saja dalam fantasinya tetapi juga benar nyata secara aktif (Semiawan, 2008:22).


(17)

2.1.2 Bahasa Batak Toba

Bahasa Batak Toba hingga saat ini masih merupakan alat komunikasi sehari-hari antarwarga masyarakat penturnya. Masyarakat Batak Toba akan lebih mudah dalam menyampaikan maksud dan perasaan jika menggunakan Bahasa Batak Toba kepada masyarakat penuturnya. Dalam dialognya penutur sering menggunakan ungkapan-ungkapan guna menjalin hubungan antar penutur dan lawan tuturnya. Jalinan komunikasi tersebut dapat berupa salam, mengakrabkan hubungan, dan dapat sebagai basa-basi pergaulan.

Bahasa Batak Toba digunakan sebagai alat komunikasi oleh masyarakat penuturnya yang tersebar di beberapa kabupaten, yaitu: Kabupaten Daerah Tingkat II Samosir yang berpusat di Pangururan, Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Utara yang berpusat di Tarutung, dan Kabupaten Daerah Tingkat II Humbang Hasundutan yang berpusat di Dolok Sanggul serta kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir yang berpusat di Balige. Tempat fokus penelitian peneliti tepatnya di daerah Motung Kec. Ajibata di Desa Lumban Bagasan yang masih penutur asli bahasa Batak Toba.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Tindak Tutur

Tindak tutur atau tindak bahasa adalah bagian dari peristiwa tutur (speech event) yang merupakan fenomena aktual dalam situasi tutur (Rohmadi, 2004 : 7). (Widyahening 2013) mengatakan ada beberapa defenisi tentang tindak tutur yang dikemukakan oleh para ahli pragmatik. Searle (16:1969) memberi batasan tindak tutur sebagai suatu tanggapan atau penghasilan kalimat dalam kondisi tertentu yang bisa berupa kegiatan menyatakan, memerintah, menjawab pertanyaan, berjanji, dan sebagainya. Chaer dan Leonie (2004:50) menyatakan bahwa tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Yule (8:2006) menyatakan bahwa tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang


(18)

ditampilkan lewat tuturan dan dalam bahasa Inggris secara umum diberi label yang lebih khusus, misalnya permintaan maaf, keluhan, pujian, undangan, janji atau permohonan.

Begitupun dengan Searle (dalam Tampubolon 2013) yang membagi tindak tutur dalam lima kategori yaitu representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklaratif, diantaranya:

1) Representatif (disebut juga asertif)

Merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya. Misalnya mengatakan, melaporkan, dan menyebutkan.

2) Direktif

Merupakan tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar lawan tutur tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu. Misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang.

3) Ekspresif

Merupakan tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan dalam tuturan itu. Misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik, dan menyelak.

4) Komisif

Merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Misalnya berjanji, bersumpah, dan mengancam.

5) Deklaratif

Merupakan tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dsb.) yang baru. Misalnya memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan memberi maaf.


(19)

Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Tindakan dalam tuturan akan terlihat dari makna tuturan. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah aktivitas dengan menuturkan sesuatu. Tindak tutur yang memiliki maksud tertentu tersebut tidak dapat dipisahkan dari konsep situasi tutur. Konsep tersebut memperjelas pengertian tindak tutur sebagai suatu tindakan yang menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur.

2.2.2 Psikolinguistik

Menurut Clark dan Clarck (1977) (dalam Dardjowidjojo 2005:7) psikologi bahasa berkaitan dengan tiga hal utama :komprehensi ,produksi, dan pemerolehan bahasa. Secara etimologi kata psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan kata linguistik yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing- masing berdiri sendiri dengan prosedur dan metode yang berlainan. Namun keduanya sama-sama meneliti bahasa sebagai obyek formalnya. Kedua obyek tersebut memiliki materi yang berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji perilaku berbahasa atau proses berbahasa (Chaer 2003:5). Psikolinguistik menguraikan proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarkannya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia (Chaer 2003:5). Maka secara teoretis tujuan utama psikolinguistik adalah mencari satu teori bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakekat bahasa dan pemerolehannya. Dengan kata lain, psikolinguistik mencoba menerangkan hakekat struktur bahasa dan bagaimana struktur itu diperoleh, digunakan pada waktu bertutur dan pada waktu memahami kalimat-kalimat penuturan itu (Chaer 2003:6). Dikaitkan dengan komunikasi, psikolinguistik memusatkan perhatian pada modifikasi pesan selama berlangsungnya komunikasi dalam hubungan dengan ujaran dan penerimaan atau pemahaman ujaran dalam situasi tertentu.


(20)

2.2.3 Pemerolehan Bahasa

Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seorang anak ketika anak memperoleh bahasa pertama bahasa ibunya. Pemerolehan biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language learning). Pembelajaran bahasa adalah proses-proses yang terjadi pada waktu seorang anak mempelajari bahasa kedua, setelah anak memperoleh bahasa pertamanya. Jadi pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167).

Pemerolehan Bahasa merupakan proses yang dilakaukan manusia untuk mendapatkan kemampuan bahasa, menangkap, menghasilkan, dan menggunakan kata untuk pemahaman dan komunikasi. Kapasitas ini melibatkan berbagai kemampuan seperti sintaksis, fonetik, dan kosakata yang luas. Pemerolehan bahasa biasanya merujuk pada pemerolehan bahasa pertama yang mengkaji pemerolehan anak terhadap bahasa ibu mereka dan bukan pemerolehan bahasa kedua yang mengkaji pemerolehan bahasa tambahan oleh anak-anak atau orang dewasa. Kemampuan memperoleh bahasa pertama merupakan ‘kemampuan berbahasa’ (language faculty) bawaan (innateness) manusia yang diberikan kepada setiap anak yang baru lahir (Cahyono 1995; 273).

2.2.4Psikolinguistik Interaksionis

(Roza 2009) mengemukakan bahwa Psikolinguistik Interaksionis adalah gabungan dari dua pendekatan yakni perpaduan antara faktor internal dan eksternal dalam proses pemerolehan dan pembelajaran berbahasa. Pandangan ini menganggap bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental anak dengan lingkungan bahasa. Hubungan antara keduanya adalah hasil interaksi aktual antara pembelajar dengan orang lain. Titik awal pendekatan ini adalah kemampuan kognitif manusia dalam menemukan sruktur bahasa di sekitarnya. Proses pemerolehan dan pembelajaran dipengaruhi oleh lingkungan


(21)

sekitarnya (Simanjuntak,1990:110). Kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami hal yang dipelajarinya.

Kompetensi dan Performansi merupakan hal yang berkaitan dengan tata bahasa transformasi sebagai dasar kajian psikolinguistik yang juga berhubungan dengan psikologi interaksionis anak. Kompetensi tata bahasa inilah yang menjadi pengetahuan bahasa penutur bahasa itu yang memungkinkan dia melakukan performansi bahasa itu, yang terdiri dari menuturkan kalimat-kalimat dan memahami kalimat-kalimat yang didengarnya (Simanjuntak 2009:57).

2.2.5 Teori Kesantunan

Dalam berinteraksi dengan menggunakan bahasa terdapat kesantunan berbahasa, atau disebut dengan kesantunan saja (Hasibuan 2005). Beberapa linguis memaparkan teori kesantunan, seperti Lakoff (1972), Brown dan Levinson (1987) dan Leech (1983). Penelitian ini menggunakan teori Brown dan Levinson sebagai alat untuk menganalisis kesantunan yang ada pada tindak tutur deklaratif.

Menurut Brown dan Levinson dalam (Yuniarti 2010), teori kesantunan berbahasa berkisar pada nosi muka (face) yang dibagi menjadi muka negatif dan muka positif. Muka negatif adalah keinginan individu agar setiap keinginannya tidak dihalangi oleh pihak lain. Sedang muka positif adalah keinginan setiap penutur agar dia dapat diterima atau disenangi oleh pihak lain (dalamYule:1996). Dikatakan oleh Brown dan Levinson bahwa konsep tentang muka ini bersifat universal dan secara alamiah terdapat berbagai tuturan yang cenderung merupakan tindakan yang tidak menyenangkan (Face Threatening Act).

Menurut Brown dan Levinson sebuah tindak ujaran atau tindak tutur dapat merupakan ancaman terhadap muka yang disebut sebagai facethreatening act (FTA). Karena ada dua sisi muka yang terancam yaitu muka negatif dan muka positif, kesantunanpun dibagi dua yaitu


(22)

kesantunan negatif (untuk menjaga muka negatif) dan kesantunan positif (untuk menjaga muka positif). Brown dan Levinson (dalam Yuniarti 2010) merangkum beberapa tindakan yang melanggar muka negatif meliputi:

a. Ungkapan mengenai perintah dan permintaan, saran, nasihat, peringatan, ancaman, tantangan.

b. Ungkapan mengenai tawaran atau janji.

c. Ungkapan mengenai pujian, ungkapan perasaan negatif yang kuat seperti kebencian, kemarahan.

Tindakan yang mengancam muka positif lawan meliputi:

a. Ungkapan mengenai ketidaksetujuan, kritik, tindakan merendahkan atau yang mempermalukan, keluhan, kemarahan, dakwaan, penghinaan.

b. Ungkapan mengenai pertentangan, ketidaksetujuan atau tantangan.

c. Ungkapan emosi yang tidak terkontrol yang membuat lawan tutur menjadi takut atau dipermalukan.

d. Ungkapan yang tidak sopan, menyebutkan hal-hal yang tidak sesuai dengan situasi, yaitu penutur tidak menghargai nilai-nilai lawan tutur.

e. Ungkapan kabar buruk mengenai lawan tutur, menyombongkan berita baik, tidak menyenangkan lawan tutur dan tidak mebgindahkan perasaan lawan tutur.

f. Ungkapan mengenai hal-hal yang membahayakan, memecah belah pendapat, menciptakan atmosfir yang memiliki potensi untuk mengancam muka lawan tutur.


(23)

g. Ungkapan yang tidak kooperatif antara penutur terhadap lawan tutur, menyela pembicaraan lawan tutur, tidak menunjukan kepedulian pada lawan tutur.

h. Ungkapan yang menunjukan sebutan atau sesuatu pada lawan tutur pada perjumpaan pertama. Dalam situasi ini mungkin penutur membuat identifikasi yang keliru pada lawan tutur sehingga dapat mempermalukan lawan tutur baik sengaja atau tidak.

Brown dan Levinson memberikan beberapa strategi yang digunakan untuk meminimalkan ancaman terhadap muka negatif maupun muka positif agar ujaran terdengar santun. Strategi untuk meminimalkan ancaman terhadap muka positif antara lain:

a. Memberikan perhatian khusus pada lawan tutur; ”Wah, rambut baru ya?bagus sekali. Eh, boleh pinjam printer tidak?”

b. Melebihkan rasa ketertarikan, persetujuan, simpati pada lawan tutur; “Rumah anda benar-benar bersih sekali.”

c. Meningkatkan rasa tertarik pada lawan tutur untuk terlibat dalam pembicaraan; “Anda tahu maksud saya kan?”

d. Menggunakan penanda yang menunjukan kesamaan jati diri atau kelompok; “Kamu mau

membantuku kan, Sobat?

e. Mencari persetujuan lawan; “Benar tidak, ide itu luar biasa.”

f. Menghindari pertentangan dengan lawan tutur; “Ya, idemu cukup bagus.”

g. Menimbulkan persepsi sejumlah persamaan penutur dan lawan tutur; “Ya aku tahu, pasti sakit sekali rasanya kan?”


(24)

i. Membuat persepsi bahwa penutur memahami keinginan lawan tutur; “Aku tahu kamu tidak suka nonton film, tapi film ini bagus. Tontonlah.”

j. Membuat penawaran dan janji; “Kapan-kapan saya mampir.”

k. Menunjukan rasa optimisme; “Saya yakin kamu pasti dapat dipercaya.”

l. Berusaha melibatkan penutur dan lawan tutur dalam suatu kegiatan tertentu; “Ayo kita istirahat dulu sejenak.”

m. Memberikan dan meminta alasan; “Bagaimana kalau kita ke pantai saja, lebih santai.” n. Menawarkan suatu tindakan timbal balik; “Saya akan meminjami kamu buku, kalau kamu

juga mau meinjami aku majalahmu.”

o. Memberikan simpati pada lawan tutur; “Kalau ada yang dapat aku bantu?”

Sedangkan beberapa strategi untuk meminimalkan ancaman terhadap muka negatif antara lain:

a. Pakailah ujaran tak langsung; ”Dapatkah engkau menolongku?”

b. Pakailah pagar (hedge); ”Aku agak ragu, tapi bisakah kau menolongku?”

c. Tunjukan pesimisme; ”Aku sebenarnya mau minta tolong sama kamu, tapi aku takut

merepotkanmu.”

d. Minimalkan paksaan; ”Bolehkah aku merepotkanmu sebentar?”

e. Berikan penghormatan; ”Aku ingin minta tolong sama kamu, karena aku tahu kamu satu-satunya orang yang bisa saya mintai tolong dalam hal ini.”


(25)

g. Pakailah bentuk impersonal (yaitu dengan tidak menyebutkan penutur dan pendengar); ”Aku rasa setiap orang mengalami masa-masa sulit.”

h. Ujarkan tindak tutur itu sebagai ketentuan yang bersifat umum; ”Keadaan ekonomi

sekarang ini sungguh sulit”.

2.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki atau mempelajari) Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:1198). Pustaka adalah kitab, buku, buku primbon, (KBBI 2003: 912).

Yuniarti (2010) dalam Thesisnya yang berjudul Kompetensi Tindak Tutur Direktif Anak Usia Prasekolah ( Kajian Pada Kelompok Bermain Anak Cerdas P2PNFI Regional II Semarang), membahas tentang mengidentifikasi realisasi bentuk pemahaman anak usia prasekolah terhadap Tindak Tutur Direktif (TTD), mengidentifikasi realisasi bentuk-bentuk TTD yang diterbitkan oleh anak usia prasekolah, dan mengidentifikasi keterkaitan perkembangan pemahaman serta penerbitan TTD anak usia prasekolah tersebut dengan kesantunan.

Penelitian tentang bahasa di lingkungan taman kanak-kanak telah dilakukan oleh Gustianingsih (2002). Penelitiannya yang membahas Pemerolehan Kalimat Majemuk Bahasa Indonesia pada Anak Usia Taman Kanak-Kanak, menunjukkan bahwa anak usia taman kanak-kanak telah memperoleh kemampuan sintaksis dalam menyusun kalimat majemuk. Temuan ini akan menjadi gambaran pemerolehan bahasa terhadap fungsi tindak tutur anak secara sintaksis.

Stiawati (2012) dalam artikelnya yang berjudul Kompetensi Tindak Tutur Direktif Anak Usia Prasekolah. Penelitian tersebut bertujuan mengkaji kompetensi tindak direktif anak usia prasekolah. Data berupa tuturan-tuturan yang berisi bentuk, fungsi, dan strategi tindak direktif. Subjek penelitian adalah anak usia 3;0 – 5;0 tahun dari keluarga terdidik. Ancangan


(26)

teori yang digunakan adalah teori Pragmatik dan Etnografi Komunikasi. Analisis data menggunakan model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak usia prasekolah sudah menggunakan diantaranya: empat belas kompetensi bentuk tindak direktif, enam kompetensi fungsi tindak direktif; dan kompetensi strategi tindak direktif secara langsung dan tidak langsung.

Hutabarat (2011) dalam Tesisnya yang berjudul Pemerolehan Sintaksis Bahasa Indonesia Anak Usia Dua Tahun dan Tiga Tahun Di Padang Bulan Medan, yaitu bagaimana anak-anak pada tahun pertama kehidupannya anak-anak mulai meniru kata-kata yang mereka dengar dari lingkungan sekitarnya dan dapat dikatakan pada saat itulah anak mulai menghasilkan “kata-kata pertama” mereka. Penelitian dilakukan berdasarkan teori biologis -kognitif Chomsky yang menyatakan bahwa setiap anak dilahirkan dengan potensi biologis untuk bahasa dan pemerolehan serta perkembangan bahasa terjadi bukan karena potensi biologis tersebut saja tetapi juga karena adanya lingkungan bahasa yang mendukung.

Selanjutnya, Nasution (2009) dengan judul penelitian Kemampuan Berbahasa Anak Usia 3–4 Tahun (Prasekolah) di Play Group Tunas Mekar Medan: Tinjauan Psikolinguistik, penelitian ini memaparkan bahwa anak usia 3–4 tahun telah memperoleh kemampuan fonologis, sintaksis, maupun semantik. Penelitian ini menginformasikan bahwa anak pada usia itu telah mampu menguasai kalimat-kalimat secara bertahap mulai dari bentuk kalimat yang sederhana hingga bentuk kalimat yang kompleks.

Taningsih (2006) mengamati pentingnya Mengembangkan Kemampuan bahasa Anak

usia (4–6 tahun) melalui Bercerita. Dalam tulisannya, dipaparkan bahwa cerita mendorong anak bukan saja senang menyimak cerita , tetapi juga senang bercerita atau berbicara. Anak belajar tentang tata cara berdialog dan bernarasi sehingga terstimulasi/terangsang untuk menirukannya. Kemampuan pragmatik terstimulasi melalui bercerita karena dalam cerita ada negosiasi dan pola tindak-tutur yang baik seperti menyuruh, melarang, berjanji, mematuhi


(27)

larangan, dan memuji. Kajian ini menjadi referensi penelitian dalam mengamati tindak tutur anak taman kanak-kanak yang menjadi subjek peneliti.

Marpaung (2006) dalam skripsinya yang berjudul Pemerolahan Bahasa Batak Toba

Anak Usia 1–5 Tahun, menyimpulkan bahwa tahap-tahap perkembangan pemerolehan bahasa

anak, adalah tahap holofrastik (tahap linguistik pertama), tahap ucapan-ucapan dua kata, tahap perkembangan tata bahasa, tahap tata bahasa menjelang dewasa dalam bahasa Batak Toba.

Selanjutnya, Nasution (2009) dalam Thesisnya yang berjudul Kemampuan Berbahasa Anak Usia 3-4 tahun di Play Group Tunas Mekar Medan: Tinjauan Psikolingustik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak usia prasekolah terlibat dalam tindak tutur.


(28)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.1.1 Lokasi Penelitian

Lokasi adalah letak atau tempat (Alwi, dkk 2003: 680). Yang menjadi lokasi penelitian ini adalah PAUD Mawar Motung, Kecamatan Ajibata Kabupaten Toba Samosir. 3.1.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada tanggal 10 Februari 2014 – 10 Maret 2014. 3.2 Sumber Data

Sumber data adalah subjek dari mana data itu diperoleh (KBBI, 2003: 994). Sumber data dalam penelitian ini adalah tuturan deklaratif dari anak PAUD Mawar yang berada di Desa Motung, Kec. Ajibata Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara yang berusia empat sampai lima tahun. Penulis mengambil 9 anak untuk dijadikan sebagai narasumber, lima orang berjenis kelamin perempuan dan empat orang berjenis kelamin laki-laki. Setiap anak yang diteliti harus memenuhi kriteria-kriteria diantaranya, berusia 4–5 tahun, merupakan penduduk setempat, sehat jasmani dan rohani, beserta bahasa pertamanya adalah bahasa Batak Toba.

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah penyediaan dan pengklasifikasian data. Metode pengumpulan data adalah cara yang dilakukan untuk mengumpulkan data. Metode adalah cara yang harus dilaksanakan, sedangkan teknik adalah cara melaksanakan metode (Sudaryanto 1993:9). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak. Disebut “metode simak” atau “penyimakan” karena memang berupa penyimakan: dilakukan dengan menyimak, yaitu menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993:133). Metode


(29)

dilakukan dengan menyimak tuturan yang akan disampaikan oleh anak usia 4–5 tahun oleh anak-anak PAUD Mawar Motung Kec. Ajibata Kabupaten Toba Samosir.

Adapun teknik dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik sadap. Pada praktiknya, penyimakan atau metode simak itu diwujudkan dengan penyadapan, maksudnya menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang (Sudaryanto, 1993: 133).

Metode simak memiliki teknik lanjutan yaitu teknik simak libat cakap (Sudaryanto, 1993: 134). Peneliti terlibat langsung dalam dialog, konversasi, imbal wicara atau ikut serta dalam proses pembicaraan anak-anak yang saling berbicara. Hal ini berarti bahwa yang diperhatikan oleh peneliti bukan isi pembicaraan melainkan tuturan deklaratif serta hubungan tuturan deklaratif dengan kesantunan berbahasa yang digunakan. Kemudian dilanjutkan dengan teknik catat sebagai teknik lanjutan akhir dari metode simak. Dalam hal ini penulis melakukan pencatatan terhadap data relevan yang sesuai dengan sasaran dan tujuan penelitian. Teknik pencatatan dilakukan dengan mencatat kata-kata yang diucapkan oleh para informan.

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul, mulailah diadakan analisis terhadap data untuk menyelesaikan permasalahan penelitian yang telah ditetapkan. Analisis data merupakan upaya sang peneliti menangani langsung masalah yang terkandung dalam data (Sudaryanto, 1993:6). Sudaryanto (1993) mengelompokkan metode analisis data ke dalam dua jenis berdasarkan alat penentunya, yaitu metode padan dan metode agih.

Dalam penggunaan, metode analisis data yang dipilih harus sesuai dengan satuan kebahasaan yang diangkat sebagai objek analisis. Metode padan adalah metode analisis bahasa yang alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan, sedangkan metode agih adalah metode analisis bahasa dengan alat penentu yang berasal dari bahasa itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 13; Mahsun, 2005: 120).


(30)

Metode padan yang digunakan dalam menganalisis data penelitian ini adalah metode pada referensial yang alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa dan metode padan pragmatis yang alat penentunya adalah mitra wicara. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi, misalnya, satuan kebahasaan menurut reaksi atau akibat yang terjadi atau timbul pada lawan atau mitra wicaranya ketika satuan kebahasaan itu dituturkan oleh pembicara. Pada penelitian ini metode ini digunakan untuk mengidentifikasi tindak tutur deklaratif anak.

Strategi-strategi yang digunakan oleh anak usia 4–5 tahun dalam menanggapi tindak tutur deklaratif tersebut di antaranya dengan mengiyakan/menyetujui tindak tutur deklaratif tersebut tanpa membantah, menyetujui dengan memunculkan ujaran tertentu dan melakukan penolakan terhadap tindak tutur yang diungkapkan ole penutur.

Contoh:

(1). Konteks: Oliv meminta izin kepada Dwi bahwa ia ingin bergabung bermain dengan Dwi.

Situasi : Di luar ruangan situasi tidak formal

Oliv : “boi do Ahu dohot marmeam?”

(boleh saya ikut bermain?)

Dwi : “Boi”

(Bisa)

Kalimat (1) di atas dapat diidentifikasi sebagai izin. Kalimat tersebut jika dituturkan mengakibatkan mitra wicara memunculkan reaksi menerima permintaan izin Dwi tersebut. Metode yang digunakan untuk mengidentikasi kalimat tersebut adalah metode pragmatis


(31)

karena penentunya adalah mitra wicara. Oliv meminta untuk bermain bergabung dengan Dwi dan Dwi mengizinkan untuk bergabung bersama.

Pada tuturan (1) Oliv telah mampu menuturkan tuturan deklaratif kepada Dwi. Tuturan (1) mengidentifikasikan tuturan langsung yang sopan ketika Dwi mampu menghargai nilai-nilai lawan tuturnya dan sesuai dengan situasi dan menerima permintaan izin Oliv untuk bergabung bermain dengannya.

Berikut merupakan contoh tuturan bentuk reaksi penolakan secara tidak langsung yang terjadi:

(2). Konteks : Oliv mengajak Dwi bermain di luar karena pelajaran telah selesai.

Situasi : Di dalam ruangan kelas dan dalam situasi tidak formal, karena pelajaran telah selesai.

Oliv : “Dwi, eta marmeam i luar”

(Dwi, ayo bermain di luar)

Dwi : “manggabbar dope ahu”

(Aku masih menggambar)

Kalimat (2) di atas jika di tuturkan mengakibatkan mitra wicara (Dwi) memberikan reaksi menolak secara tidak langsung dengan tidak harus mengikuti ajakan temannya (Oliv) untuk bermain di luar karena ia sedang menggambar.

Pada tuturan (2) di atas, Oliv dan Dwi mampu menuturkan tuturan deklaratif. Tuturan (2) juga mengidentifikasikan tuturan tidak langsung yang dituturkan oleh Dwi dengan alasan sebagaimana terlihat pada konteks di atas lebih pada penolakan. Strategi penolakan secara


(32)

tidak langsung agar penolakannya terdengar santun dilakukan dengan cara memberikan alasan. Dwi merasa bahwa ajakan Oliv tidak harus diikuti karena ia sedang asik menggambar.

Psikolinguistik interaksionis diantara kedua anak yaitu Oliv dan Dwi menyebutkan terjadinya interaksi yang positif antara Oliv dan Dwi.

Contoh di bawah ini mengiyakan/menyetujui dengan bentuk verbal berupa pertanyaan sebagai berikut:

(3). Konteks : Pengasuh membatalkan mata pelajaran melukis.

Situasi : Di dalam ruangan kelas dalam situasi formal

Pengasuh: “Anak-anak hu songonari dang saut hita mangalukis da” (Anak-anak ku hari ini kita tidak jadi melukis ya)

Murid : “Dang saut Miss?”

(Tidak jadi Miss?)

Pada kalimat (3) di atas, anak memberikan tanggapan mengiyakan atau menyetujui pembatalan melukis dari pengasuh dengan menerbitkan ujaran. Pada tuturan (3) anak menuturkan tuturan deklaratif kepada pengasuh dengan menggunakan Miss. Tuturan Miss adalah salah satu sapaan kesantunan dalam memanggil seorang guru atau pengasuh anak. Tuturan (3) juga mengidentifikasikan tuturan yang santun mengiyakan/menyetujui dengan bentuk verbal dengan berupa pertanyaan. Pada konteks di atas anak tersebut menanggapi tindak tutur deklaratif yang diujarkan dengan menanyakan untuk mempertegas tindak tutur deklaratif dari pengasuh. Hal ini berarti anak memahami maksud tindak tutur yang disampaikan pengasuh.


(33)

Psikolinguistik interaksionis di atas menyebutkan juga terjadinya interaksi yang positif antara anak dengan guru (Miss) dan begitu juga sebaliknya dalam lingkungan formal serta menunjukkan bahwa kognitif anak bekerja dengan baik, karena anak masih mengerti tuturan yang disampaikan pengasuh (Miss) kepadanya .

Di bawah ini juga merupakan contoh identifikasi tuturan langsung yang santun dan meminta persetujuan:

(4) Konteks : Oliv menyatakan kepada pengasuh (Miss) bahwa ia tidak bisa bermain di luar ruangan karena sedang hujan.

Situasi : Di dalam ruangan

Dwi :“Miss dang boi hami marmeam i luar ala ro udan.” (Miss, kami tidak bisa bermain di luar karena hujan).

Pengasuh : “Olo nak hu” (Iya anak ku)

Pada tuturan (4) di atas dapat diidentifikasi sebagai tuturan deklaratif larangan yang dituturkan oleh anak. Kalimat tersebut jika dituturkan mengakibatkan mitra wicara memunculkan reaksi mengiyakan atas laragan yang di produksi anak.

Tutruran (4) juga mengidentifikasikan tuturan langsung yang santun dan meminta persetujuan “tidak boleh keluar ruangan, karena sedang hujan”. Tuturan (4) ini menunjukkan bahwa kognitif anak bekerja dengan baik, karena anak masih mengingat nasehat yang disampaikan pengasuh (Miss) kepadanya. Jika hari hijan tidak boleh bermain di luar, karena dapat mengakibatkan sakit.

Psikolinguistik interaksionis di atas menyebutkan juga terjadinya interaksi yang positif antara anak dengan pengasuh (Miss) dan antara Misss dengan anak yang baik dalam


(34)

lingkungan formal di sekolah. Hal ini sekaligus menjawab masalah nomor 2 dalam proposal ini.

Selanjutnya, setelah data dianalisis adalah menyajikan hasil analisis data. Dalam pelaksanaannya, hasil analisis data dapat disajikan secara informal dan formal (Sudaryanto, 1993:43).

Penyajian hasil analisis data secara formal adalah penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kaidah kebahasaan. Kaidah itu dapat berbentuk rumus, bagan/diagram, tabel dan gambar (Kesuma, 2007:73) dalam (Yuniarti 2010). Selanjutnya untuk memudahkan, penyajian kaidah itu didahului atau diikuti oleh penyajian yang bersifat informal.

Penyajian hasil analisis data secara informal adalah penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:145). Dalam penyajian hasil analisis ini, rumus atau kaidah disampaikan dengan menggunakan kata-kata biasa, kata-kata yang apabila dibaca dengan serta merta dapat langsung dipahami. Pada penelitian ini hasil analisis data disajikan secara informal karena analisis dilakukan secara kualitatif dengan uraian penjelasan kata-kata yang mudah dipahami.

Pada contoh di atas anak usia 4–5 tahun menunjukkan adanya pemahaman dalam proses pemerolehan dan pembelajaran berbahasa secara internal dan ekternal walaupun tidak terlalu mencolok. Perkembangan tersebut berbentuk gradasi pada kemampuan anak memahami tindak tutur deklaratif. Pemahaman anak lebih pada bagaimana anak mulai menguasai prinsip kesantuan. Beberapa bentuk strategi yang digunakan oleh anak kaitannya agar penerimaannya atau penolakannya terdengar santun adalah dengan menggunakan penolakan secara langsung dan tidak langsung dengan memberikan alternatif pilihan lain agar penerimaannya atau penolakannya terdengar santun.


(35)

Jadi, berdasarkan hasil contoh di atas struktur Language Acquisition Device (LAD) atau alat pemerolehan bahasa yang ada pada anak bekerja dengan baik. Secara kognitif anak telah mengetahui dan dapat menyampailkan tuturan yang santun dalam bentuk modus tuturan deklaratif serta kemampuan kompetensi tuturan anak berjalan seiring dengan kemampuan performansinya.


(36)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Tindak Tutur Deklaratif Bahasa Batak Toba Anak Usia 4 – 5 Tahun pada PAUD

Mawar Motung.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, hasil penelitian ini didasarkan pada pengamatan terhadap sembilan anak, lima orang berjenis kelamin perempuan dan empat orang berjenis kelamin laki-laki. Pada bagian ini, hasil penelitian akan menjelaskan bagaimana pemerolehan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4-5 tahun Pada PAUD Mawar Motung terhadap yang diujarkan oleh pengasuh maupun teman lain ketika sedang terjadi proses interaksi belajar di kelompok bermain tersebut serta mendeskripsikan hubungan tindak tutur deklaratif bahasa Batak Toba anak usia 4–5 tahun PAUD Mawar Motung dengan kesantunan berbahasa.

Dalam proses perkembangan, semua anak yang normal pasti akan memperoleh suatu bahasa yang ilmiah. Dengan kata lain, setiap anak yang normal atau pertumbuhannya wajar, memperoleh suatu bahasa yaitu, “bahasa pertama” atau “bahasa ibu” dalam tahun-tahun pertama kehidupannya di dunia. Bahasa ibu atau native language adalah bahasa pertama yang dikuasai atau diperoleh anak (Dardjowidjojo, 2003:241). Bahasa inilah yang awalnya dikenal dan dipergunakan anak dalam kehidupannya sehari-hari sebagai alat komunikasi.

(5). Tuturan deklaratif mengiyakan secara verbal berupa jawaban pertanyaan adalah sebagai berikut:

Konteks : Miss (pengasuh) meminta murid untuk menggambar bendera Indonesia.

Situasi : Di dalam ruangan kelas situasi formal Adryan : Di gusting do bendera on Miss?


(37)

(Miss digunting benderanya?). Kian : Olo (sambil mengangguk).

‘Iya’

Miss : Olo Dryan. ‘Iya Dryan’

Pada konteks (5) di atas sebenarnya pengasuh menyuruh murid untuk menggambar bendera Indonesia. Kian menjawab pertanyaan Adryan terhadap pengasuh karena bendera tersebut harus digunting, kemudian Miss (pengasuh) juga membenarkan jawaban Kian. Bentuk Tindak Tutur Deklaratif yang diujarkan adalah dengan bentuk pertanyaan kemudian ditanggapi oleh anak dengan menjawab pertanyaan.

(6). Tuturan deklaratif mengiyakan secara tidak langsung dengan penegasan/dukungan. Bentuk mengiyakan secara tidak langsung dengan penegasan atau dukungan terlihat pada contoh berikut:

Konteks : Miss (pengasuh) meminta murid untuk menggambar bendera Indonesia.

Situasi : Di dalam ruangan kelas situasi formal

Miss : Nunga sae Dwi?

‘Sudah selesai Dwi?’

Dwi : Nunga Miss. ‘Sudah Miss’

Adryan : Nga sae au, satokkin do sae. ‘Sudah selesai Aku, cepat selesai’

Konteks tututan (6) di atas adalah pengasuh menanyakan Dwi apakah sudah selesai menggambar bendera Indosesia dan ditanggapi oleh Dwi. Selain itu, Adryan juga


(38)

memberikan dukungan atau penegasan atas tindak tutur deklaratif yang diujarkan oleh pengasuh.

(7) Tuturan deklaratif menolak secara langsung dengan menyalahkan orang lain. Bentuk menolak secara langsung dengan menyalahkan orang lain seperti terlihat pada contoh berikut:

Konteks : Miss (pengasuh) menyuruh murid untuk tidak menggangu temannya yang sedang menggambar bendera.

Situasi : Di dalam ruangan kelas situasi formal

Farel : (mengambil gunting dan sengaja menggunting rambut Adryan) Miss : Unang di gunting obut ni donganna Farel.

‘Jangan digunting rambut temannya Farel’ Adrysn : So botak annon.

‘Jangan nanti jadi botak’

Konteks tuturan (7) di atas adalah pengasuh meminta Farel supaya tidak menggunting rambut Irwan. Irwan menyalahkan Adryan karena jika Farel menggunting rambut Adryan bisa menyebabkan rambutnya menjadi botak.

(8). Tuturan deklaratif mengiyakan dengan bentuk verbal berupa pertanyaan sebagai berikut: Konteks : Miss (pengasuh) menyuruh murid untuk menuliskan nama di buku

masing-masing murid setelah selesai menggambar bendera. Situasi : Di dalam ruangan kelas situasi formal

Miss : Baen goar na di buku na da.

‘Jangan lupa menulis nama di bukunya ya’


(39)

‘Bagaimana menulis nama saya Miss?’

Miss : Huruf “F” parjolo Farel (sambil menuliskannya di papan tulis). ‘Dimulai huruf “F” Farel’

Farel : ooo.. songon i do? ‘ooo.. seperti itu?’

Konteks tuturan (8) di atas adalah anak menanggapi tindak tutur deklaratif yang diujarkan dengan menanyakan untuk mempertegas maksud tindak tutur deklaratif.

(9). Tuturan deklaratif mengiyakan secara tidak langsung dengan pertanyaan terdapat pada contoh berikut:

Konteks : Miss (pengasuh) menggambar bendera sebanyak 5 buah di papan tulis dengan ukuran yang berbeda.

Situasi : Di dalam ruangan situasi formal Miss : Di gambar di buku na da nak.. ‘Di lukis di bukunya ya nak..’

Kian : ai balga ma i ? (menunjuk bendera yang berukuran paling besar). ‘Besar sekali itu?’

Konteks tuturan (9) di atas menyiratkan tindak tutur deklaratif pengasuh ditanggapi oleh anak dengan membuat pertanyaan penegasan.

(10). Tuturan deklaratif mengiyakan secara verbal berupa jawaban pertanyaan adalah sebagai berikut:

Konteks : Miss (pengasuh) menanyakan kondisi Irwan karena sedang memegang pipinya.

Situasi : Di dalam ruangan situasi formal


(40)

‘Kamu kenapa Adryan? Kamu sakit?’

Adryan : Daong Miss, accit ngingi hu mangallang permen au. ‘Tidak Miss, gigi saya sakit karena makan permen’

Konteks tuturan deklaratif di atas adalah pengasuh menyuruh anak untuk tidak mengganggu teman yang lain ketika temannya tersebut sedang melakukan suatu kegiatan. Bentuk Tindak Tutur Deklaratif yang diujarkan adalah dengan bentuk pertanyaan kemudian ditanggapi oleh anak dengan menjawab pertanyaan.

(11). Respon ini diberikan oleh anak untuk bertindak tutur deklaratif yang berisi tentang sesuatu makna yang terdengar menyenangkan. Misalnya pada contoh ujaran berikut:

Konteks : Murid-murid sedang menggambar bendera di buku mereka masing-masing. Situasi : Di dalam ruangan situasi formal

Glestia : Bagak benderam Tari. ‘Tari benderamu cantik’ Tari : (tersenyum).

Ujaran tersebut mengandung makna pujian yang dilontarkan oleh Glestia kepada Tari tentang lukisannya yang bagus dan Tari mengiyakan dalam bentuk tindakan non verbal “senyuman”.

(12). Tuturan deklaratif mengiyakan secara langsung dengan pernyataan kemampuan atau kesanggupan. Mengiyakan secara langsung dengan pernyataan kemampuan terlihat pada contoh berikut:

Konteks : Murid-murid sedang menggambar bendera di buku mereka masing-masing. Situasi : Di dalam ruangan situasi formal

Adryan : Tari boi do di gambar ho?

‘Bisa kamu menggambarnya Tari?’ Tari : Boi.


(41)

‘Bisa’

Konteks di atas menjelaskan seorang anak (Adryan) bertanya kepada anak lainnya dengan menggunakan bentuk kalimat tanya dengan penanda pernyataan kesanggupan (ditandai dengan kata ’boi’) yang artinya adalah ‘bisa’ sehingga ditanggapi oleh anak (Tari) dengan menggunakan pernyataan kesanggupan pula.

(13). Tuturan deklaratif penolakan dengan menggunakan kata penolakan langsung.

Bentuk penolakan secara verbal dengan menggunakan kata penolakan terlihat pada contoh berikut:

Konteks :Pengasuh mempersilakan anak-anak untuk minum selesai melakukan olahraga.

Situasi : Diluar ruangan situasi tidak formal Miss : Nga boi minum da.

‘Sudah bisa minum ya..’ Wanto : Dang naeng minum au.

Aku tidak ingin minum’

Pada konteks di atas, pengasuh sebenarnya mempersilahkan anak untuk beristirahat dan minum selesai melakukan olahraga, kemudian ditanggapi oleh anak (Wanto) yang tidak ingin minum dengan menggunakan kata penolakan (ditandai dengan kata ’dang’) yang artinya adalah “tidak”.

(14). Tututran deklaratif bentuk tanggapan mengiyakan secara verbal dengan menawarkan bantuan terlihat pada contoh berikut:

Konteks :Murid-murid sedang menggambar bendera di buku mereka masing-masing. Situasi : Di dalam ruangan situasi formal

Glestia : Miss dang muat di buku ku. ‘Miss tidak muat di buku saya’


(42)

Wanto : Idia asa hubaen. ‘Sini saya gambar’

Konteks tuturan (14) di atas menjelaskan pengasuh meminta anak untuk menggambar bendera. Pada tuturan di atas Glestia dan Wanto telah mampu menuturkan tuturan deklaratif. Pada tuturan di atas Wanto menanggapi dengan manawarkan bantuan untuk membantu Glestia menggambar bendera di buku Glestia.

(15). Tuturan deklaratif bentuk mengiyakan secara verbal berupa jawaban pertanyaan adalah sebagai berikut:

Konteks : Murid-murid membuat tiang bendera dari tusuk gigi Situasi : Di dalam ruangan situasi formal

Miss : Aha do on? (menunjukkan tusuk gigi kepada murid-murid) ‘Ini namanya apa?’

Murid : Sumpit. ‘Sumpit’ Miss : Sumpit do on? ‘Ini sumpit?’ Adryan : Tusuk ngingi Miss. ‘Tusuk gigi Miss’

Pada konteks di atas sebenarnya pengasuh menyuruh anak membuat tiang bendera dari tusuk gigi. Bentuk tuturan deklaratif yang diujarkan adalah dalam bentuk pertanyaan kemudian ditanggapi oleh anak dengan menjawab pertanyaan.


(43)

Bentuk mengiyakan dengan melakukan tindakan seperti yang diperintahkan, misalnya terjadi pada bentuk tuturan deklaratif untuk melakukan suatu kegiatan. Seperti pada contoh ujran berikut:

Konteks : Murid-murid membuat tiang bendera dari tusuk gigi Situasi : Di dalam ruangan situasi formal

Tari : Miss nion benderaku (memberikan benderanya kepada pengasuh mengggunakan tanga kiri).

‘Miss ini bendera saya’

Miss : Pakke tangan kiri do mangalean? ‘Kalau memberi pakai tangan kiri?’

Tari : (Menggantinya dengan menggunakan tangan kanan).

Konteks di atas menjelaskan pengasuh menggunakan jenis tuturan deklaratif melarang Tari supaya mengganti tangan kanannya untuk memberikan bendera kepada Miss (pengasuh) dan anak menanggapinya dengan melakukan tindakan seperti yang dimaksud dalam tuturan deklaratif.

(17). Tuturan deklaratif menolak secara tidak langsung dengan memberikan alasan.

Menolak secara tidak langsung dengan memberikan alasan antara lain dijumpai pada tuturan deklaratif berikut ini:

Konteks : Murid-murid membuat tiang bendera dari tusuk gigi Situasi : Di dalam ruangan situasi formal

Kian : Lokkot tangan hu Miss (menunjukkan sisa lem di tangannya bekas menempel gambar benderanya dengan tusuk gigi dan membersihkannya dengan bajunya).

‘Miss tangan saya lengket’


(44)

‘Ia, tapi jangan di lap ke bajunya ya’ Kian : Boi do annon hu cuci.

‘Nanti bisa saya cuci’

Konteks tuturan deklaratif di atas adalah pengasuh melarang Kian untuk tidak menggosokkan tangan karena sisa lem yang masih menempel di tangan Kian, namun Kian memberikan alasan bahwa di akan mencucinya di rumah.

(18). Tuturan deklaratif bentuk pernyataan penolakan tidak langsung dengan alasan.

Bentuk tuturan deklaratif pernyataan penolakan dengan menggunakan alasan terlihat pada contoh berikut:

Konteks :Peneliti bertanya kepada anak saat sedang waktu bermain

Situasi : Di luar ruangan situasi tidak formal

Peneliti : Ise do goar mu dek? ‘Siapa nama adek?’ Oliv : Lidya Oliviana. ‘Lidya Olivia’

Peneliti : Bagak goarmu ate dek. Boru aha ho dek? ‘Cantik sekali nama adek, Boru apa adek?’

Oliv : Tokkin do hami marmeam ( pergi menemui teman-temannya). ‘Waktu bermain-main kami hanya sebentar’

Konteks di atas menjelaskan peneliti menanyakan anak marga anak. Namun demikian ada anak yang menolak dengan memberikan alasan bahwa ia ingin bermain bersama teman-temannya karena waktu bermain hanya sebentar.


(45)

Tuturan deklaratif bentuk penolakan berupa jawaban adalah sebagai berikut: Konteks : Murid-murid sedang belajar dengan tema baru.

Situasi : Di dalam ruangan situasi formal

Miss : Molo disukkun oma annon di jabu tema di sikkola, aha? ‘Kalau nanti mama menanyakan tema hari ini disekolah, apa?’ Kian : Dang huboto Miss.

‘Tidak tahu Miss’

Konteks tuturan di atas menjelaskan pengasuh (Miss) menanyakan anak (Kian) tentang tema apa yang dipelajari di sekolah jika orangtua menanyakannya di rumah. Kian menjawab pertanyaan pengasuh dengan penolakan. Bentuk Tindak Tutur Deklaratif yang diujarkan adalah dengan bentuk pertanyaan kemudian ditanggapi oleh anak dengan menjawab pertanyaan bahwa Kian tidak tahu tema yang dipelajari.

(20). Diam tanpa bicara.

Tanggapan anak terhadap tuturan deklaratif dengan cara non verbal ini banyak dilakukan oleh anak usia 4 – 5 tahun. Umumnya mereka mengerti tuturan deklaratif yang diujarkan penutur, dan tanpa membantah mereka merespon secara positif maksud dari tuturan yang diujarkan pengasuh. Seperti pada contoh ujaran berikut:

Konteks : Murid-murid sedang belajar dengan tema “Tanah Air” Situasi : Di dalam ruangan situasi formal

Miss : Aha do beda ni desa dohot kota? ‘Apa beda desa dengan kota?’ Murid : (diam).


(46)

Miss : Molo di desa kan godang pohon alai otik jabu, dohot mobil. Molo di kota godang jabu, godang mobil ale otik do pohon. Di gambar di buku na da nak.

‘Kalau di desa banyak pohon tapi sedikit rumah dan mobil. Kalau di kota banyak rumah, sedikit mobil tapi sedikit pohon. Lukis di bukunya ya nak’ Ujaran di atas memiliki daya yang cukup untuk membuat mitra tutur melakukan seperti yang diujarkan penutur tanpa membantah dan mereka merespon secara positif maksud maksud dari tuturan yang di ujarkan pengasuh.

(21). Tuturan deklaratif mengiyakan secara tidak langsung dengan penegasan/dukungan Bentuk mengiyakan secara tidak langsung dengan penegasan atau dukungan terlihat pada contoh berikut:

Konteks : Pengasuh meminta anak menyimpang sandal ke rak sepatu Situasi : Tidak formal

Miss : Molo sipatu disimpan di rak da nak.. ‘Sepatu disimpan di rak ya nak..’ Aldi : Au nakking hubaen do di rak. ‘Aku tadi menaruhnya di rak’

Konteks tuturan di atas menjelaskan pengasuh meminta anak menyimpan sepatu ketika akan memasuki ruangan belajar ke tempatnya dan ditanggapi oleh anak dengan memberikan dukungan atas tuturan deklaratif yang diujarkan oleh pengasuh.


(47)

4.2 Hubungan Tindak Tutur Deklaratif Bahasa Batak Toba Anak Usia 4 – 5 tahun dengan Kesantunan Berbahasa.

KBBI (1990: 781) memberikan pengertian bahwa santun berarti: halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sopan; sabar; dan tenang. Kesantunan, dalam konteks yang lebih luas, tidak merujuk kepada kesantunan berbahasa semata-mata tetapi juga merujuk kepada aspek nonverval seperti tingkah laku, mimik muka, dan nada suara. Dalam hal ini Lakoff (1975) mendefinisikan kesantunan sebagai perlakuan yang mengurangi pergeseran dalam suatu interaksi. Hal ini berarti kesantunan tujuannya untuk menghindari konflik. Dalam konteks kesantunan berbahasa menurut Omar (2000) (dalam Setyawati 2013:173) mengaitkannya dengan penggunaan bahasa sehari-hari yang tidak menimbulkan kegusaran, kemarahan dan rasa tersinggung pada pihak pendengar. Keadaan yang demikian akan menimbulkan suasana hubungan yang harmoni antara penutur dan mitra tutur.

Hakikat kesantunan berbahasa adalah etika kita dalam bersosioalisasi di masyarakat dengan penggunaan bahasa dan pemilihan kata yang baik, dengan memerhatikan di mana, kapan, kepada siapa, dengan tujuan apa kita berbicara secara santun. Hal tersebut senada dengan pendapat Wijana (1996: 11), bahwa bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Budaya kita menilai berbicara dengan menggunakan bahasa yang santun akan memperlihatkan sejati kita sebagai manusia itu beretika, berpendidikan, dan berbudaya yang mendapat penghargaan sebagai manusia yang baik.


(48)

4.2.1 Kesantunsaan Positif dengan Menggunakan Diksi Pilihan Nama

(1). Tuturan deklaratif mengiyakan secara verbal berupa jawaban pertanyaan tuturan deklaratif adalah sebagai berikut:

Konteks : Miss (pengasuh) meminta murid untuk menggambar bendera Indonesia.

Situasi : Di dalam ruangan kelas situasi formal Adryan : Di gusting do bendera on Miss?

‘Miss digunting benderanya?’ Kian : Olo (sambil mengangguk).

‘Iya’

Miss : Olo Dryan. ‘Iya Dryan’

Tuturan deklaratif di atas, diidentifikasi sebagai tuturan yang santun mengiyakan/menyetujui dengan bentuk verbal sebagai berupa jawaban pertanyaan. Konteks tuturan di atas tersebut menjelaskan anak menanggapi tuturan deklaratif yang diujarkan salah seorang anak (Adryan) yang kemudian dijawab oleh anak yang lain (Kian). Pada tuturan tersebut Kian menjawab pertanyaan Adryan dengan menggunakan diksi pilihan nama. Tuturan diksi pilihan nama merupakan salah satu sapaan kesantunan dalam memanggil seorang teman.

(2). Tuturan deklaratif mengiyakan secara tidak langsung dengan penegasan/dukungan. Bentuk mengiyakan secara tidak langsung dengan penegasan atau dukungan terlihat pada contoh berikut:

Konteks : Miss (pengasuh) meminta murid untuk menggambar bendera Indonesia.

Situasi : Di dalam ruangan kelas situasi formal


(49)

‘Sudah selesai Dwi?’

Dwi : Nunga Miss. ‘Sudah Miss’

Adryan : Nga sae au, satokkin do sae. ‘Sudah selesai Aku, cepat selesai’

Tuturan deklaratif di atas menjelaskan anak memberikan tanggapan mengiyakan pertanyaan pengasuh dengan menerbitkan ujaran. Pada tuturan tersebut di atas anak menuturkan tuturan deklaratif kepada pengasuh dengan menggunakan Miss. Tuturan Miss juga adalah salah satu sapaan kesantunan dalam memanggil seorang guru atau pengasuh anak.

(3). Tuturan deklaratif penolakan berupa jawaban pertanyaan adalah sebagai berikut: Konteks : Murid-murid sedang belajar dengan tema baru.

Situasi : Di dalam ruangan situasi formal

Miss : Molo disukkun oma annon di jabu tema di sikkola, aha? ‘Kalau nanti mama menanyakan tema hari ini disekolah, apa?’ Kian : Dang huboto Miss.

‘Tidak tahu Miss’

Konteks tuturan deklaratif di atas diidentifikasi sebagai tuturan santun karena walaupun anak (Kian) tidak mengetahui tema yang dipelajari tetapi tetap menggunakan diksi pilihan nama untuk memanggil pengasuh (Miss).

Psikolinguistik Interaksionis tuturan (1), (2) dan (3) di atas menyebutkan terjadinya interaksi positif pembelajaran dan pemerolehan bahasa antara anak yang satu dengan anak yang lainnya juga antara anak dengan pengasuh (Miss).


(50)

4.2.2 Kesantunan Positif dengan Menghindari Pertentangan dengan Lawan Tutur

(4). Tuturan deklaratif menolak secara langsung dengan menyalahkan orang lain. Bentuk menolak secara langsung dengan menyalahkan orang lain seperti terlihat pada contoh berikut: Konteks :Miss (pengasuh) menyuruh murid untuk tidak menggangu temannya yang

sedang menggambar bendera.

Situasi : Di dalam ruangan kelas situasi formal

Farel : (mengambil gunting dan sengaja menggunting rambut Adryan) Miss : Unang di gunting obut ni donganna Farel.

‘Jangan digunting rambut temannya Farel’ Adrysn : So botak annon.

‘Jangan nanti jadi botak’

Pada tuturan di atas diidentifikasi sebagai tuturan langsung yang dituturkan oleh Adryan dengan alasan sebagaimana terlihat pada konteks di atas adalah penolakan. Strategi penolakan secara langsung agar penolakannya terdengar santun adalah dengan memberikan alasan bahwa Farel tidak boleh menggunting rambut Adryan karena bisa menyebabkan Adryan menjadi botak.

(5). Tuturan deklaratif penolakan langsung dengan menggunakan kata penolakan.

Tuturan deklaratif penolakan secara verbal dengan menggunakan kata penolakan terlihat pada contoh berikut:

Konteks: Pengasuh mempersilakan anak-anak untuk minum selesai melakukan olahraga.

Situasi : Diluar ruangan situasi tidak formal Miss : Nga boi minum da.


(51)

Wanto : Dang naeng minum au. ‘Aku tidak ingin minum’

Tuturan deklaratif di atas diidentifikasi sebagai tuturan yang santun karena anak (Wanto) mampu menghormati atau menghargai pengasuh (Miss) walaupun melakukan penolakan langsung.

(6). Tuturan deklaratif menolak secara tidak langsung dengan memberikan alasan.

Tututran deklaratif menolak secara tidak langsung dengan memberikan alasan antara lain dijumpai pada tuturan deklaratif berikut ini:

Konteks : Murid-murid membuat tiang bendera dari tusuk gigi Situasi : Di dalam ruangan situasi formal

Kian : Lokkot tangan hu Miss (menunjukkan sisa lem di tangannya bekas menempel gambar benderanya dengan tusuk gigi dan membersihkannya dengan bajunya).

‘Miss tangan saya lengket’

Miss : Olo, ale unang tu baju mi di lap ho. ‘Ia, tapi jangan di lap ke bajunya ya’ Kian : Boi do annon hu cuci.

‘Nanti bisa saya cuci’

Tuturan deklaratif penolakan secara tidak langsung pada tuturan di atas yang dilakukan oleh anak (Kian) dengan alasan sebagaimana terlihat pada konteks di atas lebih pada usaha pembelaan diri. Pada konteks tersebut anak tersebut merasa bahwa yang diujarkan oleh pengasuhnya tidak harus diikuti karena sepengetahuannya di rumah anak tersebut bisa mencuci baju bekas lem tersebut.


(52)

Tututran deklaratif pernyataan penolakan dengan menggunakan alasan terlihat pada contoh berikut:

Konteks :Peneliti bertanya kepada anak saat sedang waktu bermain

Situasi : Di luar ruangan situasi tidak formal

Peneliti : Ise do goar mu dek? ‘Siapa nama adek?’ Oliv : Lidya Oliviana. ‘Lidya Olivia’

Peneliti : Bagak goarmu ate dek. Boru aha ho dek? ‘Cantik sekali nama adek, Boru apa adek?’

Oliv : Tokkin do hami marmeam ( pergi menemui teman-temannya). ‘Waktu bermain-main kami hanya sebentar’

Strategi yang digunakan oleh anak (Oliv) agar penolakannya terdengar santun adalah dengan menggunakan penolakan secara tidak langsung. Agar penolakannya terdengar santun Oliv menggunakan penolakan ketika ditanya oleh peneliti dengan memberikan alasan waktu istirahat atau waktu bermain-main hanya sebentar.

Psikolinguistik Interaksionis anak pada tuturan (3), (4), (5), dan (6) di atas menunjukkan adanya interaksi positif dalam pemerolehan dan pembelajaran bahasa serta kemampuan mental dan lingkungan bahasa anak serta menunjukkan bahwa kognitif anak bekerja dengan baik karena lawan tutur mampu memahami tuturan yang disampikan oleh penutur.

4.2.3 Kesantunan Positif dengan Membuat Persepsi bahwa Penutur Memahami

Keinginan Lawan Tutur


(53)

Konteks : Miss (pengasuh) menyuruh murid untuk menuliskan nama di buku masing-masing murid setelah selesai menggambar bendera.

Situasi : Di dalam ruangan kelas situasi formal

Miss : Baen goar na di buku na da.

‘Jangan lupa menulis nama di bukunya ya’

Farel : Songon dia goar hu Miss?

‘Bagaimana menulis nama saya Miss?’

Miss : Huruf “F” parjolo Farel (sambil menuliskannya di papan tulis). ‘Dimulai huruf “F” Farel’

Farel : ooo.. songon i do? ‘ooo.. seperti itu?’

Tuturan deklaratif di atas diidentifikasi sebagai kalimat yang santun karena anak memakai ujaran tak langsung kepada pengasuh serta menggunakan diksi nama kepada pengasuh menggunakan Miss yang merupakan salah satu sapaan kesantunan. Pada konteks di atas juga anak menanggapi tindak tutur deklaratif yang diujarkan dengan menanyakan kembali untuk mempertegas tindak tutur deklaratif dari pengasuh.

(9). Tuturan deklaratif mengiyakan secara tidak langsung dengan penegasan/dukungan

Bentuk mengiyakan secara tidak langsung dengan penegasan atau dukungan terlihat pada contoh berikut:

Konteks : Pengasuh meminta anak menyimpang sandal ke rak sepatu Situasi : Tidak formal

Miss : Molo sipatu disimpan di rak da nak.. ‘Sepatu disimpan di rak ya nak..’


(54)

Aldi : Au nakking hubaen do di rak. ‘Aku tadi menaruhnya di rak’

Tuturan di atas diidentifikasi sebagai tuturan yang santun karena Aldi mampu memahami maksud pengaush. Agar tuturan terdengar santun Aldi mengiyakan ujaran pengasuh dengan penegasan bahwa ia menyimpan sepatunya di rak sepatu.

Psikolinguistik Interaksionis tuturan di atas menunjukkan kompetensi dan performansi bahasa yang baik karena Language Acquisition Device (LAD) atau alat pemerolehan bahasa yang ada pada anak bekerja dengan baik. Secara kognitif anak telah mengetahui dan dapat menyampailkan tuturan yang santun dalam bentuk modus tuturan deklaratif serta kemampuan kompetensi tuturan anak berjalan seiring dengan kemampuan performansinya.

4.2.4 Kesantunan Positif dengan Berusaha Melibatkan Penutur dan Lawan Tutur

Dalam Suatu Kegiatan Tertentu

(10). Tuturan deklaratif mengiyakan secara verbal dengan menawarkan bantuan terlihat pada contoh berikut:

Konteks : Murid-murid sedang menggambar bendera di buku mereka masing-masing. Situasi : Di dalam ruangan situasi formal

Glestia : Miss dang muat di buku ku. ‘Miss tidak muat di buku saya’ Wanto : Idia asa hubaen.

‘Sini saya gambar’

Tuturan di atas diidentifikasi sebagai tuturan yang santun karena pada tuturan tersebut seorang anak (Wanto) telah mampu menawarkan bantuan terhadap seorang anak yang lainnya (Glestia) untuk menggambar bendera di buku Glestia karena Glestia belum bisa menggambar bendera dengan benar.


(55)

(11). Tuturan deklaratif mengiyakan secara langsung dengan pernyataan kemampuan atau kesanggupan. Mengiyakan secara langsung dengan pernyataan kemampuan terlihat pada contoh berikut:

Konteks : Murid-murid sedang menggambar bendera. Situasi : Di dalam ruangan situasi formal

Adryan : Tari boi do di gambar ho? ‘Bisa kamu menggambarnya Tari?’ Tari : Boi.

‘Bisa’

Tuturan deklaratif di atas mengidentifikasikan tuturan langsung yang santun ketika Tari mampu menghargai nilai-nilai lawan tuturnya sesuai dengan situasi dan menolak secara tidak langsung atas tawaran Adryan untuk membantunya menggambar bendera dan menyatakan kemampuan atau kesanggupan untuk menggambarnya.

Psikolinguistik interaksionis anak dalam tuturan (10) dan (11) di atas menyebutkan juga terjadinya interaksi positif antara penutur dan lawan tutur dalam melakukan suatu kegiatan.

4.2.5 Kesantunan Positif dengan Penawaran

(12). Tuturan deklaratif menolak secara tidak langsung dengan pertanyaan terdapat pada contoh berikut:

Kontek : Miss (pengasuh) menggambar bendera sebanyak 5 buah di papan tulis dengan ukuran yang berbeda.

Situasi : Di dalam ruangan situasi formal Miss : Di gambar di buku na da nak.. ‘Di lukis di bukunya ya nak..’


(1)

5.2Saran

Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi keilmuan kebahasaan khususnya pada penelitian tindak tutur yang berkaitan dengan psikolinguistik, sehingga dapat lebih mendalam. Penelitian ini menyarankan perlunya mengkaji, penelitian terhadap tindak tutur yang berbeda untuk anak usia pra sekolah. Penelitian terhadap perilaku pertuturan anak menggunakan komponen bahasa yang berbeda, tidak hanya berdasarkan jenis-jenis tindak tutur tetapi juga perilaku pertuturan yang dikaji berdasarkan jenis-jenis tindak tutur yang dilakukan terhadap bahasa lain, misalnya bahasa ibu (daerah) lainnya dari anak usia pra sekolah, penelitian mengenai tindak tutur pada anak yang memfokuskan pada perbedaan gender serta penelitian lebih lanjut tentang perilaku pertuturan anak dikaji berdasarkan jenis-jenis tindak tutur perlu dilakukan pada responden yang lebih banyak.

Penelitian juga diharapkan mampu menambah wawasan dan pengetahuan bagi orangtua yang memiliki anak usia 4–5 tahun sebagai orang terdekat dengan anak dan terus melatihnya untuk bertutur dengan lebih baik, baik dalam konteks bahasa Batak Toba maupun dalam konteks bahasa Indonesia, begitupun hendaknya dalam berkomunikasi bisa mencontohkan tindak tutur dalam bahasa Batak Toba. Orang tua memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada anak agar anak mampu merangkai kata menjadi kalimat sesuai dengan yang ingin disampaikannya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, dkk. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Gustianingsih. 2002. “Pemerolehan Kalimat Majemuk Bahasa Indonesia pada Anak Usia Taman Kanak-Kanak”. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Hasibuan, Namsyah Hot. 2005. Perangkat Tindak Tutur dan Siasat kesantunan Berbahasa

(Data Bahasa Mandailing). LOGAT Volume 1: 87-95.

Hutabarat. 2011. “Sintaksis Bahasa Indonesia Anak Usia Dua Tahun dan Tiga Tahun Di Padang Bulan Medan”. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Leech, Geoffrey. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.

Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Marpaung, H. 2006. “Pemerolahan Bahasa Batak Toba Anak Usia 1-5 Tahun”. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Nasution, P. 2009. “Kemampuan Berbahasa Anak Usia 3-4 Tahun (Prasekolah) di Play Group Tunas Mekar Medan: Tinjauan Psikolinguistik”. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Purwanto, Edi Sulis. 2009. “ Upaya Guru Dalam Melatih Kemandirian Anak usia Dini di TK Islami Ar-Rahmah Papringan Yogyakarta”. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.


(3)

Roza, Ilvan. 2009. Kasus Pemerolehan Bahasa Jepang. Jurnal Bahasa dan Seni Vol.10 No.2. Semiawan, R Conny. 2002. Belajar dan Pembelajaran Prasekolah dan Sekolah Dasar.

Macanan Jaya Cemerlang. Jakarta.

Setyawati, R. 2013. Kesantunan Berbahasa dalam Pembelajaran di Kelas. Fungsional Penerbit Balai Bahasa Jawa Tengah. Artikel.

Simanjuntak, Mangantar. 2009. Pengantar Neuropsikolinguistik Menelusuri Bahasa, Pemerolehan Bahasa, dan Hubungan Bahasa dengan Otak. Medan: Perpustakaaan Nasional Republik Indonesia.

Sudaryanto. (1993). Metode dan Aneka Teknik Penelitian Bahasa. Yogyakarta. Duta Wacana University Press.

Taningsih. 2006. “Mengembangkan Kemampuan bahasa Anak usia (4-6 tahun) melalui Bercerita”. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.

Utari Subyakto, Sri dan Nababan. 2002. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Widyahening, CH Evi Tri. 2011. Pentingnya Tindak Tutur Kesantunan Siswa Kepada Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Artikel Vol. 7 No.3: Widya Wacana.

Yuniarti. 2010.”Kompetensi Tindak Tutur Direktif Anak Usia Prasekolah ( Kajian Pada Kelompok Bermain Anak Cerdas P2PNFI Regipnal II Semarang”. Thesis. Semarang: Universitas Diponegoro.


(4)

LAMPIRAN

1. Nama : Kian Sodikin Sitorus Usia : 5 tahun

Nama orang tua

Ayah : Jannes Sitorus

Ibu : Hotmaida br. Sitinjak Pekerjaan : Petani

2. Nama : Eigh Wanto Sinurat Usia : 5 tahun

Nama orang tua

Ayah : Rissar Sinurat

Ibu : Saurli Agustina br. Damanik Pekerjaan : Petani

3. Nama : Dwi Arta Nainggolan Usia : 5 tahun

Nama orang tua

Ayah : Harianto Nainggolan Ibu : Nurti Manurung Pekerjaan : PNS

4. Nama : Adryan Manurung Usia : 4 tahun

Nama orang tua


(5)

Ibu : Romasi Sirait Pekerjaan : Petani

5. Nama : Susi Suntari Manurung Usia : 4 Tahun

Nama orang tua

Ayah : Gumba Manurung

Ibu : Dermawan Sibarani

Pekerjaan : Petani

6. Nama : Farel Manurung

Usia : 5 Tahun

Nama orang tua

Ayah : Sahadat Manurung Ibu : Marlina Sianturi Pekerjaan : Petani

7. Nama : Glestia Ambarita

Usia : 5 Tahun

Nama orang tua

Ayah : Panata Herianto Ambarita Ibu : Lestari br. Sinaga

Pekerjaan : Petani

8. Nama : Lidya Olivia Manurung

Usia : 5 Tahun

Nama orang tua

Ayah : Kombet Manurung


(6)

Pekerjaan : Petani

9. Nama : Hartati Krisna Idamayanti br. Ambarita

Usia : 4 Tahun

Nama orang tua

Ayah : Nahor Ambarita Ibu : Rinaria br. Sitorus Pekerjaan : Petani