BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Eklamsia - Hubungan Skor The International Society For Thrombosis and Haemostasis DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) Terhadap Angka Kejadian DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) pada Pasien Eklamsia di Rumah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Eklamsia

  Eklamsia didefinisikan sebagai terjadinya kejang dan / atau koma yang tidak

dapat dijelaskan selama kehamilan atau setelah melahirkan pada pasien dengan

tanda dan gejala preeklamsia. Di dunia Barat, kejadian eklamsia dilaporkan berkisar

1 dalam 3.448 kehamilan. 1-3 insiden yang dilaporkan biasanya lebih tinggi di pusat-

pusat rujukan tersier, pada kehamilan multifetal, dan pada populasi tanpa prenatal

  12,13,14 care.

  2.1.1. Patofisiologi Patogenesis kejang pada eklamsia terus menjadi subyek penyelidikan dan

spekulasi yang ekstensif. Beberapa teori dan mekanisme telah diimplikasikan

sebagai faktor etiologi yang mungkin, namun tidak satupun yang terbukti secara

meyakinkan. Beberapa mekanisme etiologi yang terlibat dalam patogenesis kejang

pada eklamsia telah menyertakan vasokonstriksi serebral atau vasospasme

ensefalopati hipertensi, edema serebral atau infark, pendarahan otak, dan

ensefalopati metabolik. Namun, tidak jelas apakah temuan ini adalah penyebab atau

  14 efek dari kejang.

  2.1.2. Diagnosis Diagnosis eklamsia dapat dipastikan dengan adanya hipertensi, proteinuria,

dan kejang. Hipertensi dianggap sebagai ciri khas untuk diagnosis eklamsia.

  

Hipertensi dapat menjadi berat (setidaknya 160 mm Hg sistolik dan / atau setidaknya

  

110 mm Hg diastolik) di 20-54% dari kasus atau ringan (tekanan darah sistolik

antara 140 dan 160 mm Hg atau tekanan darah diastolik antara 90 dan 110 mm Hg)

pada 30-60% dari kasus. Selain itu, hipertensi berat lebih sering terjadi pada pasien

yang mengalami eklamsia antepartum (58%) dan mereka yang mengalami eklamsia

  14 pada 32 minggu kehamilan atau sebelumnya (71%) .

  Diagnosis eklamsia biasanya dikaitkan dengan proteinuria (setidaknya +1

pada dipstick) . Beberapa gejala klinis berpotensi membantu dalam penegakan

diagnosis eklamsia. Gejala-gejala ini dapat terjadi sebelum atau setelah onset

kejang, termasuk diantaranya sakit kepala oksipital atau frontal terus-menerus,

penglihatan kabur, fotofobia, nyeri epigastrium dan / atau kuadran kanan atas, dan

perubahan status mental. Pasien akan memiliki setidaknya satu dari gejala ini pada

59-75% dari kasus. Sakit kepala dilaporkan oleh 50-75% pasien, sedangkan

  14,15,16,17 perubahan visual dilaporkan 19-32% dari pasien.

2.1.3. Onset Terjadinya Eklamsia Kejang eklamsia dapat terjadi antepartum, intrapartum, atau postpartum.

  

Frekuensi kejang antepartum yang dilaporkan dari penelitian terbaru berkisar dari

38% menjadi 53%. Frekuensi eklamsia postpartum berkisar dari 11% menjadi 44% .

  

Meskipun kebanyakan kasus eklamsia postpartum terjadi dalam 48 jam pertama,

beberapa kasus dapat terjadi setelah 48 jam postpartum dan terdapat satu kasus

yang dilaporkan pada 23 hari postpartum. Evaluasi neurologis luas diperlukan untuk

menyingkirkan adanya patologi serebral lain. Evaluasi ini harus mencakup

pemeriksaan neurologis, pencitraan otak, pengujian serebrovaskular, pungsi lumbal,

dan tes darah. Hampir semua kasus (91%) eklamsia berkembang pada atau setelah

28 minggu. Kasus-kasus lainnya terjadi di antara minggu ke 21 dan 27 kehamilan

  

(7,5%) atau 20 minggu kehamilan (1,5%). Mereka juga harus memiliki evaluasi

medis dan neurologis luas untuk menyingkirkan patologi lain seperti tumor otak,

ensefalitis, meningitis, pendarahan otak atau tromboangitis otak, trombotik

  14,17,18 trombositopenia purpura, atau penyakit metabolik.

  Eklamsia postpartum lambat didefinisikan sebagai eklamsia yang terjadi pada

lebih dari 48 jam, tapi kurang dari 4 minggu, setelah persalinan. Pasien akan

memiliki tanda dan gejala yang konsisten dengan preeklamsia dengan disertai

kejang. Beberapa wanita akan menunjukkan gambaran klinis preeklamsia selama

persalinan atau segera setelah melahirkan (56%), sedangkan yang lain akan

menunjukkan temuan klinis untuk pertama kalinya lebih dari 48 jam setelah

melahirkan (44%). Maka, wanita yang mengalami kejang berhubungan dengan

hipertensi dan/atau proteinuria atau dengan nyeri kepala atau pandangan kabur

pada 48 jam setelah persalinan harus dipertimbangkan menderita eklamsia dan

  14,17,18 diberikan pengobatan yang sesuai.

2.1.4. Patologi Serebral Pada Eklamsia

  Penyebab eklamsia tidak diketahui, dan masih banyak pertanyaan yang

belum terjawab tentang patogenesis dari manifestasi serebralnya. Diagnosis

eklamsia tidak tergantung pada temuan atau diagnosis neurologis klinis tunggal.

Tanda-tanda neurologis fokal seperti hemiparesis atau penurunan kesadaran jarang

terjadi seperti yang dilaporkan dari penelitian di negara-negara berkembang.

  

Walaupun pasien eklamsia biasanya menunjukkan manifestasi berbagai kelainan

neurologis, termasuk kebutaan kortikal, defisit motor fokal, dan koma. Sebagian

besar dari mereka tidak menunjukkan defisit neurologis permanen. Kelainan

  

neurologis yang dijumpai biasanya hanya sementara hipoksia, iskemia, atau

  19 edema.

  Secara umum, EEG (electroencephalography) dijumpai abnormal dalam

mayoritas pasien eklamsia, tetapi kelainan ini tidak patognomonis untuk eklamsia.

  

Atas dasar temuan pencitraan otak, perhatian telah diarahkan untuk hipertensi

ensefalopati sebagai model untuk kelainan sistem saraf pusat pada eklamsia. Ada

kegagalan autoregulasi aliran darah serebral normal pada pasien dengan hipertensi

ensefalopati dan pada pasien dengan eklamsia. Dua teori telah diusulkan untuk

menjelaskan kelainan otak : dilatasi paksa dan vasospasme. Teori dilatasi paksa

menunjukkan bahwa lesi pada eklamsia disebabkan oleh hilangnya autoregulasi

serebrovaskular. Pada peningkatan tekanan arteri, vasokonstriksi serebral yang

normal pada awalnya terjadi. Namun, ketika batas atas autoregulasi tercapai,

vasodilatasi serebral mulai terjadi, memungkinkan hiperperfusi lokal dengan edema

interstitial atau vasogenik. Menurut teori vasospasme, overregulasi otak terjadi

sebagai respons terhadap hipertensi berat akut dengan iskemia yang dihasilkan,

edema sitotoksik, dan infark. Singkatnya, sebagian besar wanita dengan eklamsia

akan memiliki bukti edema vasogenik pada pencitraan otak. Hal ini menunjukkan

bahwa hipertensi ensefalopati memainkan peran sentral dalam patogenesis kejang

  14 pada eklamsia.

2.1.5. Keluaran Maternal dan Perinatal

  Meskipun eklamsia dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian ibu di

negara maju (0-1.8%), tingkat mortalitas adalah setinggi 14% di negara

berkembang. Angka kematian ibu yang tinggi yang dilaporkan dari negara-negara

berkembang didapati terutama pada pasien yang mengalami kejang di luar rumah

  

sakit dan mereka yang tidak memeriksakan dirinya selama kehamilan. Selain itu,

tingkat kematian yang tinggi dapat dikaitkan dengan kurangnya sumber daya dan

14 fasilitas perawatan intensif yang dibutuhkan untuk mengelola komplikasi eklamsia.

  Risiko terbesar kematian ditemukan di antara wanita dengan kehamilan pada

atau sebelum 28 minggu usia kehamilan. Kehamilan yang diperberat oleh eklamsia

juga terkait dengan peningkatan angka morbiditas maternal, seperti solusio plasenta

(7-10%), DIC (7-11%), edema paru (3-5%), gagal ginjal akut (5-9%), aspirasi

pneumonia (2-3%), dan cardiopulmonary arrest (2-5%). Sindrom gangguan

pernapasan dewasa dan perdarahan intraserebral adalah komplikasi yang jarang

ditemui. Risiko DIC (8%), hemolisis, peningkatan enzim hati, HELLP syndrome (10-

15%), dan hematoma hati (1%) adalah serupa pada pasien eklamsia dan

preeklamsia berat. Penting untuk dicatat bahwa komplikasi maternal secara

signifikan lebih tinggi di antara perempuan yang mengalami eklamsia antepartum,

  12,14,19 khususnya di antara mereka yang mengalami eklamsia jauh dari aterm.

2.2. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

2.2.1. Definisi

  Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah sindroma klinis yang

ditandai dengan aktivasi sitemik dari kaskade koagulasi secara terus menerus yang

mengarah pada pembentukan trombus intravaskular (berdampak pada suplai darah

ke berbagai organ) dan menurunnya trombosit dan faktor koagulasi (menyebabkan

  20 perdarahan).

  Kitchens (2009) menyatakan bahwa DIC merupakan karakteristik yang terjadi

akibat aktivasi sistemik pembekuan intravaskular. DIC merupakan hasil fisiologis dari

21 keadaan overstimulasi sistem pembekuan yang patologis.

  2.2.2. Insidensi

  Pada kasus kasus obstetri, seperti abrupsi plasenta dan emboli air ketuban, DIC terjadi pada lebih dari 50% kasus. Pada keadaan preeklamsi berat DIC terjadi

  20 pada 7% pasien.

  2.2.3. Patogenesis DIC

  Patogenesis DIC sangat kompleks dan terpusat pada pembentukan trombin secara in vivo. Komponen yang ikut berperan termasuk meningkatnya ekspresi dari

  

tissue factor, fungsi suboptimal sistem alami antikoagulan, disregulasi fibrinolisis dan

22,23 peningkatan kemampuan anionic phospholipid.

  8 Gambar 1.

  Proses terjadinya DIC.

  2.2.3.1. Terjadinya keadaan Hipertrombinemia

  Hal ini menunjukkan bahwa tissue factor (TF) pathway, lebih berperan dari pada contact factor pathway, dalam terciptanya suatu keadaan hipertrombinemia pada DIC, hal ini terlihat dalam suatu model eksperimental human endotoxemia. Dalam keadaan endotoxin-induced DIC, peningkatan mediator tumor necrosis factor (TNF) dan pelepasan interleukin (IL)-6 tidak menunjukkan perubahan apapun pada

  

contact system. Secara kontras, blokade TF/factor VIIa pathway memakai antibodi

  monoclonal TF yang secara langsung menghambat pembentukan trombin dan mencegah munculnya onset DIC. Aktivasi TF pathway bisa disebabkan oleh

  22 kerusakan jaringan, yang terjadi akibat trauma berat, septikemia atau kanker.

  Trauma yang berat, merangsang pelepasan fospolipid jaringan, hal ini akan mengaktivasi kaskade pembekuan. Sekali dikeluarkan, kompleks TF dan faktor VII, akan diaktivasi oleh faktor Xa membentuk kompleks TF/VIIa. Kompleks TF/VIIa mengaktifkan faktor IX dan X, menyebabkan pembentukan trombin. Trombin memiliki peranan penting untuk mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Trombin lalu mengaktifkan faktor V menjadi Va dan faktor VIII menjadi VIIIa, yang secara cepat

  22 memacu pembentukan trombin.

  2.2.3.2. Aktivasi Antikoagulan Physiologic

  Secara normal, kadar trombin diatur oleh anticoagulants antithrombin alami, protein C, dan TF pathway inhibitor (TFPI). Antitrombin dan protein C cenderung menurun dalam keadaan DIC. Kadar Antitrombin bisa menjadi lebih rendah akibat pemakaian untuk mengurangi trombin. Sebagai tambahan, interaksi pelepasan elastase dengan pelepasan neutrofil dalam keadaan septikemia, dan anoksia hepar yang terjadi mengakibatkan penurunan kadar antitrombin. Kadar C, salah satu inhibitor penting lainnya, juga dapat menurun hal ini berhubungan dengan kebocoran kapiler, berkurangnya sintesis akibat rusaknya hepar, dan/ atau pengurangan jumlah trombomodulin di permukaan pembuluh darah (down-regulation). Hal ini terjadi

  23

  karena pelepasan TNF- α dan pro-inflammatory cytokines lainnya.

2.2.3.3. Pengaruh Fibrinolisis pada kejadian DIC

  Suatu penelitian eksperimental terhadap DIC yang disebabkan sepsis menunjukkan peningkatan aktivitas fibrinolitik akibat pelepasan tissue plasminogen

  

activator (TPA) dari sel endotel. Hiperfibrinolisis yang terjadi diikuti oleh pelepasan

plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) secara cepat, hal ini akan menekan

  fibrinolisis, yang memiliki peran penting dalam patogenesis DIC. Mutasi dari fungsional gen PAI-1 (4G/5G polymorphism) juga terjadi pada DIC. Mutasi ini

  

23

meningkatkan jumlah PAI-1 dalam plasma.

  8 Gambar 2.

  Mekanisme terjadinya perdarahan pada DIC

2.2.3.4. Aktivasi dan Pelepasan

  Inflammatory Cytokines dalam patogenesis DIC

  Hal ini membuktikan bahwa aktivasi sistem pembekuan yang secara tidak langsung memicu kaskade inflamasi, karenanya hal ini secara bergantian memicu sintesis pro-inflammatory cytokines sel endothelial. Cytokines dan mediator inflamasi lainnya akan mengawali proses koagulasi. Inflammatory cytokine thrombin dan serine protease lainnya berikatan dengan protease-activated receptors pada permukaan sel, hal ini akan merangsang terjadinya inflamasi dan pembekuan.

  

Activated protein C (APC) telah diakui sebagai mediator respon anti inflamasi.

  Respon ini didapatkan dengan penghambatan produksi TNF, IL- 1β, IL-6, and IL-8 oleh endotoksin yang terbentuk. Karenanya, berkurangnya kadar protein C dapat memicu bahkan menimbulkan suatu pro-inflammatory state, yang menimbulkan

  23 reaksi koagulasi.

  Kebanyakan pasien DIC terdiagnosa lalu diterapi pada fase trombotik, dan telah terjadi perdarahan (hipokoagulabilitas) pada kasus DIC akut maupun kronis.

  Perdarahan hebat pada pasien DIC selalu terjadi setelah prosedur pencabutan gigi, operasi panggul, aneurisma aorta, leukemia , dan penyakit lainnya. Perdarahan akut

  23 yang hebat bisa terjadi pada pasien usia tua yang menderita DIC kronis.

  DIC, bisa juga digambarkan sebagai dua fase fenomena trombohemoragik, keadaan trombosis terkadang memicu perdarahan. Kondisi klinis yang mendasari keadaan DIC dapat menyebabkan hiperkoagulabilitas akibat aktivasi kaskade koagulasi dengan penurunan antikoagulasi alami, pembentukan pro-inflammatory

  

cytokines, dan abnormalitas fibrinolytic pathway. Status hiperkoagulasi, jika

  berlanjut, dapat menurunkan faktor pembekuan dan jumlah trombosit karena penggunaan, dan terkadang memicu terjadinya gangguan perdarahan (consumptive

  23 coagulopathy).

  DIC akut hanya terjadi jika mekanisme kompensasi hemostasis yang normal terjadi berlebihan. Aktivasi trombosit secara langsung pada keadaan septikemi dan viremia. Aktivasi trombosit terjadi karena kerusakan endotel pembuluh darah diikuti dengan pembentukan trombin melalui kaskade koagulasi. Kombinasi dari defisiensi faktor koagulasi, trombositopenia, menurunnya fungsi trombosit, dan terhambatnya aksi dari peningkatan FDPs (Fibrin Degragation Products), menimbulkan

  20 kecenderungan untuk terjadinya perdarahan yang luas dan terus menerus.

  DIC kronik atau yang sudah berkompensasi merupakan hasil dari stimulasi yang lemah atau pun berkurang. Pada beberapa pasien, penghancuran dan

  20 timbulnya faktor koagulasi dan jumlah trombosit masih seimbang.

2.2.4. DIC yang terkait dengan kejadian preklamsia, eklamsia, dan HELLP

  6,20 sindrom

  Preklamsia, eklamsia, dan HELLP sindrom sepertinya merupakan keadaan

progresif dari proses patofisiologi yang sama. Sayangnya, patofisiologinya sendiri

juga belum jelas. Hal ini semakin tidak jelas untuk proses kerusakan endotel yang

dapat mengaktivasi protein prokoagulan dan trombosit atau mungkin saja kerusakan

ini diawali oleh gangguan prokoagulan dan trombosit yang pada akhirnya akan

menghancurkan endotel; hal terakhir ini adalah keadaan yang lebih sering terjadi.

  

Jika seorang wanita mengalami eklamsia, kemungkinan wanita tersebut untuk

mengalami trombositopenia secara khusus adalah 18%, dan kemungkinan untuk

mengalami DIC sekitar 11%, dan untuk mengalami HELLP sindrom adalah sekitar

15%. Wanita dengan preeklamsia-eklamsia yang mengalami gangguan koagulasi

  

(trombositopenia, HELLP, atau DIC) , memiliki angka kematian sekitar 16% sampai

  6 50%, angka kematian bayi mencapai 40% bahkan lebih.

  Sekitar 16% preeklamsia dan eklamsia akan mengalami solusio plasenta,

yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya DIC dan kematian ibu dan janin.

  

Pada kasus eklamsia DIC terjadi terbatas pada mikrosirkulasi ginjal dan plasenta,

walaupun begitu setidaknya 10%-15% wanita akan berkembang menjadi sistemik

6 dan luas.

2.2.5. DIC yang terkait dengan kejadian Emboli Air Ketuban

  Air ketuban mengandung struktur dengan aktivitas menyerupai tromboplastin dalam jumlah tinggi, aktivitas prokoagulan ini meningkat seiring usia kehamilan. Air ketuban juga memiliki aktifitas antifibrinolitik yang relatif kuat, seperti penghambatan sistem fibrinolitik, aktifitas antifibrinolitik dari air ketuban ini juga meningkat seiring kehamilan. Penghambatan fibrinolitik merupakan faktor predisposisi pasien DIC untuk megalami fenomena trombotik yang luas karena penghambatan atau penghentian respon fibrinolitik sekunder yang terjadi pada pasien DIC. Respon fibrinolitik sekunder yang terjadi pada pasien DIC bertanggung jawab untuk proses perdarahan akibat penghancuran plasmin oleh beberapa faktor pembekuan yang juga menjaga sirkulasi tetap bebas dari bekuan darah (trombi).

  Tidak diketahui apakah air ketuban memiliki efek langsung terhadap pembuluh darah, atau efek ini terjadi akibat aktivasi dari prokoagulan dan trombosit.

  Endothelin-1, vasokonstriktor dan bronkokonstriktor, tampaknya dilepaskan secara sistemik dari skuamous sel pembuluh darah janin dan mungkin menambah

  6,24 keparahan gangguan hemodinamik yang terjadi dalam kasus emboli air ketuban. Aktivitas prokoagulan yang terkait dengan rasio lecithin/sphingomyelin (L/S) air ketuban selama kehamilan. Air ketuban secara invitro akan meningkatkan

  

prothrombin time, aktivasi thromboplastin time parsial, the Russell's viper venom

time, dan menurunnya kadar faktor VII dalam plasma. Karenanya, fungsi air ketuban

  sebagai total tromboplastin dan sebagai suatu pengganti aktivasi Tissue Factor. Air ketuban mengaktivasi sistem prokoagulan secara langsung dengan aktivasi faktor X, dengan ion kalsium dan faktor Xa. Faktor Xa adalah salah satu substansi trombogenik yang telah diketahui. Faktor Xa, berperan dalam munculnya faktor V dan sebagai penambahan fosfolipid (termasuk di permukaan air ketuban dan trombosit), secara cepat akan mempengaruhi perubahan protrombin menjadi trombin. Sekali trombin terbentuk, fibrinogen akan diubah menjadi fibrin. Pasien yang mengalami emboli air ketuban akan mengalami pembentukan platelet-fibrin mikrotrombi yang masuk ke dalam sirkulasi sistemik dan pulmoner. Sindroma DIC

  6,24 dihubungkan dengan trombosis mikrosirkuler, tromboembolisme, dan perdarahan.

2.2.6. DIC yang terkait dengan kejadian Solusio Plasenta

  Pada solusio plasenta yang terjadi adalah enzim plasenta atau enzim

jaringan, termasuk prokoagulan dan struktur yang menyerupai tromboplastin,

mungkin masuk ke dalam uterus lalu beredar ke aliran darah ibu, dan mengaktivasi

sistem koagulasi. Mempercepat proses kelahiran dapat menekan berkembangnya

  3,6 proses DIC, dan jarang sekali membutuhkan terapi lainnya.

  

Kematian Janin Dalam Kandungan yang berlangsung lama (Retained fetus

syndrome)

  Pada kasus sindroma kematian janin dalam kandungan yang lebih dari 5

minggu, kejadian DIC mendekati 50%. Kondisi awal biasanya DIC ringan yang

terkompensasi, yang lalu akan berkembang menjadi thrombohemorrhagic yang luas.

Pada keadaan ini jaringan nekrotik dari janin termasuk enzim yang terbentuk dari

jaringan nekrotik janin, masuk kedalam uterus lalu masuk ke sirkulasi ibu lalu secara

berlawanan mengaktivasi prokoagulan dan sistem fibrinolitik dan memicu DIC yang

  6 hebat.

  Pada beberapa wanita, sindroma DIC muncul setelah persalinan.

Patofisiologinya belum diketahui secara pasti tetapi diduga dari tidak baiknya

vaskularisasi plasenta terjadinya iskemi plasenta akan menyebabkan pelepasan

thromboxanes, angiotension, procoagulant prostaglandins, endothelin-1 and tumor

necrosis factor-alpha (TNF-alpha) kedalam sirkulasi sistemik. Munculnya DIC

mengawali terjadinya mikro dan makrotrombi, yang akan mempengaruhi sirkulasi

plasenta, ovarium, ginjal, hepar, dan serebral. Trombus yang terbentuk akan

menyebabkan kerusakan endotel, microangiopathic hemolytic anemia, dan berbagai

derajat kegagalan organ yang terkena trombus. Kegagalan end-organ termasuk hati,

ginjal, dan paru, edema atau infark serebri. Ruptur hepar merupakan hal yang bisa

  6 terjadi sewaktu-waktu bahkan dalam keadaan HELLP sindrom.

  Seperti yang telah dibahas dalam penatalaksanaan preklamsia, pemeriksaan

laboratorium awal untuk DIC sangat disarankan. Terapi biasanya dengan

mempercepat pelahiran, kontrol tekanan darah dan kontrol DIC, banyak yang

menunjukkan manfaat penggunaan steroid, plasma exchange atau plasmapheresis ,

  

yang terbukti baik pada beberapa kasus. Kematian ibu biasanya terjadi akibat DIC

  6 yang tidak terkontrol.

  Abortus

  Beberapa pasien yang di abortus, dengan pemakaian larutan saline, mengalami DIC. Pada beberapa kasus bahkan menjadi DIC yang hebat dan pada

  3,6 kasus DIC ini terkompensasi sampai proses aborsi selesai.

  Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan dalam menegakkan diagnosa dan untuk mengevaluasi pasien DIC, untuk melihat perubahan fungsi hemostasis dan untuk menilai kondisi pasien secara keseluruhan. Pemeriksaan yang dilakukan adalah skreening fungsi hemostasis, seperti prothrombin time (PT), activated partial

  

thromboplastin time (aPTT) atau jumlah trombosit, hasilnya akan menunjukkan

  derajat penggunaan dan aktivasi faktor koagulasi. Sebagai tambahan, pembentukan

  11 fibrin secara tidak langsung terpicu sebagai hasil penghancuran faktor koagulasi.

2.2.7. Menegakkan Diagnosa DIC

  Diagnosa utama : tidak ada pemeriksaan tunggal untuk penegakan diagnosa DIC. DIC adalah hasil dari kombinasi keadaan berikut ini :

  • Riwayat gangguan perdarahan, biasanya merupakan hasil sekunder untuk beberapa kasus.
  • Bukti klinis dari perdarahan yang dengan gambaran purpura ptechie dan mimisan pada pemeriksaan fisik.

  9

  • Gambaran laboratorium yang klasik berupa trombositopenia (<100 x10 /L), pemanjangan PT (thrombin time), APTT (activated partial thromboplastin time),

  25 dan TT (thrombin time), serta munculnya perubahan FDP / D-Dimer.

  2.2.7.1. Pemeriksaan Fisik

  Dapat dilihat adanya perdarahan pada kulit seperti ptechie, ekimosis, dari bekas suntikan atau tempat infus, atau pada mukosa, sering ditemukan pada DIC akut. Perdarahan ini bisa juga masif dan membahayakan, misalnya pada traktus gastrointestinal, paru, susunan saraf pusat, atau mata. Pasien dengan DIC kronik

  25 umumnya hanya disertai sedikit perdarahan pada kulit dan mukosa.

  Trombosis mikrovaskular dapat menyebabkan disfungsi organ yang luas. Pada kulit dapat berupa bula hemoragik, nekrosis akral, dan gangren. Trombosis vena dan arteri besar dapat terjadi, tetapi relatif jarang. Disfungsi organ akibat mikrotrombosis yang luas ini dapat berupa iskemia korteks ginjal, hipo1ksemia hingga perdarahan dan acute respiratory distress syndrome (ARDS) pada paru serta penurunan kesadaran. Disfungsi hati dengan ikterus dilaporkan terdapat pada 22-

  25 57% pasien dengan DIC.

  2.2.7.2. Diagnosa laboratorium

  Pada DIC akut sangat penting untuk mengetahui gambaran hasil laboratorium yang abnormal secara cepat dan akurat, sehingga kita dapat memberikan terapi yang tepat. Keadaan hemostasis abnormal yang paling penting adalah pemanjangan

  

thrombin time, hipofibrinogenemia, dan trombositopenia. Kadar fibrinogen di bawah

  9

  100 x10 /L, dan pemanjangan thrombin time melebihi dua kali nilai kontrol sudah

  2,27 dapat menegakkan diagnosa, terutama bila dijumpai perdarahan secara nyata.

  • - Pemeriksaan Laboratorium

  (A) Pemeriksaan darah rutin : hasil hapusan darah yang menunjukkan adanya schistocytosis pada 50% kasus. Bukti intravaskular hemolisis lainnya juga dijumpai, seperti peningkatan kadar serum lactic acid dehydrogenase (LDH) dan berkurangnya kadar heptoglobin. Trombositopenia merupakan tanda awal yang

  9

  selalu dijumpai pada DIC akut jumlah trombosit berkisar antara 50 sampai 100 /L

  27 trombositopenia yang terjadi mungkin hebat.

  (B) gangguan koagulasi. Activated partial thromboplastin time (APTT), Prothrombin

time (PT), Thrombin time (TT) memanjang pada sebagian besar pasien DIC akut.

  Pada awal gangguan dan DIC kronis, nilai APTT kemungkinan normal atau bahkan lebih singkat dibanding nilai normalnya. Kadar fibrinogen dalam plasma dan kadar faktor V dan XIII biasanya tampak menurun; fibrinogen dan faktor V biasanya akan berubah secara bersamaan. Pada sebagian besar pasien terutama yang mengalami solusio plasenta, kadar protrombin biasanya akan tetap normal, tetapi gambaran hipoprotrombinemia akan terlihat pada keadaan sepsis. Pada pasien DIC kronis,

  27 defisiensi protrombin jarang dijumpai, tetapi faktor X akan menurun jumlahnya.

  (C) Pemeriksan fibrinolisis: Aktivitas fibrinolitik menyebabkan peningkatan kadar kompleks fibrin dan kadar FDPs dalam sirkulasi. Kadar di atas 100 μg/ml biasanya dijumpai pada keadaan DIC akut (nilai normal <10

  μg/ml). Immunological assays untuk pemeriksaan antibodi monoklonal terhadap D-dimer lebih spesifik dibanding dengan pemeriksaan umum lainnya. Hasil false positive bisa dijumpai pada FDPs. Pemeriksaan FDPs tidak bisa untuk mendiagnosa DIC, karena kadarnya meningkat pada 85-100% pasien. Pemeriksaan kadar D-dimer lebih spesifik dalam mendiagnosa DIC, terutama untuk membedakan antara koagulopati akibat penyakit

  27 hati dengan DIC.

  

Bed side tests : Bed side tests yang dilakukan untuk mengevaluasi gangguan

  pembekuan darah, dapat memberikan banyak informasi yang membantu dalam menghadapi masalah yang terjadi. Bed side tests yang mungkin dilakukan adalah: i.

  

Bleeding time ii. Clotting time, iii. Clot observation (Weiber) test. iv. Serial clot lysis

  test v. blood film. Test penyaring : hitung jumlah trombosit (menurun), Bleeding time (meningkat), Prothrombin time (meningkat), APTT (bisa jadi menigkat), Thrombin

  27 time (meningkat), morfologi sel darah merah (schistocytes & microspherocytes).

  1

2.2.7.3. Pemeriksaan untuk koagulasi

  :

  Pemeriksaan Nilai Normal Alat Ukur

  Waktu Perdarahan 3-10 menit Jumlah trombosit, integritas vaskular

  3 Hitung Trombosit 150.000-400.000 /mm

  Waktu Protrombin 12-14 detik Faktor I,II,V,VII,X Partial Tromboplastin time 25-35 detik Faktor I,II,V,VIII,IX,X,XI,XII Thrombin time (TT) 12-20 detik Faktor I,II Fibrinogen 200-400 mg/dl Fibrin degradation <4 mcg/ml products (FDP)

  1

2.2.8. Perubahan koagulasi, antikoagulasi, dan protein fibrinolitik

  7

2.2.9. Kaskade Koagulasi dan Fibrinolisis

  Hal yang terpenting dalam menegakkan diagnosis DIC adalah sistem skoring

yang berdasarkan pengujian yang dapat dilakukan dengan cepat serta siap untuk

digunakan. Sistem skoring ini akan memungkinkan penegakan diagnosa lebih baik

dan menjadi standar referensi untuk keperluan diagnostik maupun terapeutik. Untuk

overt DIC, disarankan untuk menggunakan skor kumulatif 5 atau lebih dari

  Prothrombin Time (PT) yang memanjang, kadar fibrinogen dan trombosit

  7 yang berkurang, serta meningkatnya marker-marker yang terkait fibrin.

  Bakhtiari et al (2004) menemukan sensitivitas sebesar 91% dan spesifisitas

sebesar 97% dengan skor DIC menurut International Society of Thrombosis and

8 Hemostasis (ISTH). Sehubungan dengan relevansi terapeutik, analisa retrospektif

  

dari dua penelitian tentang sepsis, menggunakan data yang tidak disertai kadar

fibrinogen, mendapatkan hasil yang menggarisbawahi kekuatan prognostik skor DIC

9,10 menurut ISTH.

  Sistem skoring dari The International Society for Thrombosis and 12,27 Haemostasis (ISTH) memberikan penilaian objektif untuk DIC.

  Penilaian resiko :

  Apakah pasien memiliki penyakit penyerta yang berhubungan dengan overt DIC ? Jika YA : Lanjutkan

  • - Jika TIDAK : jangan gunakan algoritma ini
  • - Lakukan tes koagulasi global (PT, jumlah trombosit, fibrinogen, marker yang terkait

  fibrin)

  Beri skor hasil tes

  9

  9

  9

  • Jumlah trombosit (>100 · 10 /l = 0, <100 · 10 /l = 1, <50 · 10 /l = 2)
  • Peningkatan marker fibrin (contoh : D-dimer, produk degradasi fibrin) (tanpa peningkatan = 0, peningkatan moderat = 2, peningkatan bermakna = 3)

  24,25

  Kriteria peningkatan D-Dimer : Tanpa peningkatan (<0,5 µg/ml)

  • - -

  Peningkatan moderat (0,5-8,2 µg/ml) Peningkatan bermakna (>8,2 µg/ml)

  • - PT yang memanjang (<3 detik = 0, 3 - 6 detik = 1, >6 detik = 2)
    • Kadar fibrinogen (

  ≥1 g/l = 0, <1 g/l = 1)

  Hitung jumlah skor : ≥ 5  sesuai dengan overt DIC: Ulangi skoring setiap hari < 5

   sugestif untuk non-overt DIC: Ulangi skoring 1-2 hari kemudian

2.2.10. Tatalaksana

  DIC merupakan hasil akhir dari penyakit yang mendasari. Penggantian faktor koagulasi yang berkurang dan penggantian trombosit sangat mempengaruhi keadaan pasien DIC, tetapi penyembuhan sindroma ini tergantung pada terapi penyakit primernya. Kondisi DIC, walaupun terselubung, dapat menyebabkan perdarahan yang mematikan, dan membutuhkan penatalaksanaan gawat

  20,23 darurat.

  Hal ini mencakup :

  I. Deteksi dan eliminasi kasus primernya : ini merupakan dasar dari penatalaksanaan DIC. Menemukan penyebab utama dan berusaha untuk

  20 memperbaiki keadaan tersebut dengan segera.

  II. Tindakan suportif : tindakan untuk mengontrol gejala terberat, seperti perdarahan

  20 atau trombosis.

  III. Regimen Pengganti dan Profilaktik : Pencegahan berulangnya DIC kronis. Penatalaksanaan sangat bervariasi tergantung pada keadaan klinisnya. Pada pasien dengan komplikasi obstetri seperti solusio plasenta, kematian janin dalam kandungan, atau sepsis akut akibat bakteri, penyakit dasarnya cukup mudah untuk diatasi, melahirkan bayi dan

  20 plasenta atau pemberian antibiotik yang tepat dapat menurunkan sindroma DIC.

  DIC derajat ringan dan sedang mungkin tidak akan menyebabkan perdarahan, umumnya cukup di observasi tanpa pengobatan lebih lanjut. Kondisi ini tidak akan hilang sampai faktor pencetusnya dihilangkan, pasien DIC cenderung

  23 mati akibat penyakit dasarnya. Terapi suportif diberikan untuk mengatasi keadaan shock, asidosis, dan iskemi jaringan. Bantuan untuk kardiopulmoner, seperti inotropik, pemakaian darah, ventilasi yang baik, harus didapatkan pasien di kamar persalinan. Perfusi jaringan dan fungsi pernafasan harus dijaga dengan pemberian cairan intravena dan

  23 pemberian oksigen untuk mengatasi hipoksia.

  Suntikan antibiotik diberikan sesegera mungkin jika dicurigai ada infeksi bakteri. Pemantauan janin, pencatatan balans cairan ibu, dan pemeriksaan parameter koagulasi secara serial sangat diperlukan. Pasien terkadang membutuhkan komponen darah untuk menggantikan faktor koagulasi yang berkurang, trombosit dan inhibitor trombin alami dan plasmin dengan tujuan

  20,23 mengurangi perdarahan, sementara penyebab utama sedang diperbaiki.

  Pasien dengan keadaan kritis mungkin mengalami koagulopati, karena defisiensi vitamin K. Pemberian 10 mg vitamin K dilakukan dalam dua hari sebelum koagulopati menyebabkan DIC. Pasien DIC juga bisa mengalami defisiensi vitamin K karena peningkatan penggunaan, pemberian vitamin K untuk semua pasien yang diduga DIC akan memenuhi kebutuhan terhadap vitamin K. Beberapa dokter juga akan memberikan asam folat untuk mencegah terjadinya defisiensi folat yang akut

  20,23 yang akan mempengaruhi pembentukan trombosit.

  Kelahiran pervaginam jika mungkin dilakukan tanpa tindakan episiotomi, hal ini lebih baik dibandingkan persalinan secara seksio sesarea. Terjadinya koagulopati beberapa jam setelah persalinan menunjukkan keadaan sepsis, gangguan hati, sisa

  20,23 hasil konsepsi, atau gangguan koagulasi kongenital.

  Pasien yang awalnya mengalami DIC ringan dan tanpa gejala mungkin akan mulai berdarah setelah tindakan pembedahan. Contohnya pasien dengan DIC ringan tanpa perdarahan klinis, tercatat setelah mengalami abortus menggunakan salin atau prostaglandin. Terapi profilaksis menggunakan heparin akan mencegah berkambangnya sindroma DIC ringan dan pada beberapa pasien dengan kematian janin dalam kandungan yang membutuhkan tindakan pengeluaran janin secara operasi. Kebanyakan pasien dengan DIC derajat ringan dapat di tangani dengan

  20,23 pemberian plasma dan trombosit tanpa pemberian heparin.

2.2.10.1. Pemberian Obat - obatan

  Untuk DIC yang terjadi pada kehamilan tujuan pertama adalah mengenali komplikasi obstetrinya. Jika hal ini telah diatasi, maka DIC bisa dicegah. Terapi

  6,20 tambahan yang khusus diberikan jika dijumpai gangguan pembekuan.

  Terapi harus berdasarkan etiologi dan ditujukan untuk mengatasi penyakit utama. Terapi juga harus disesuaikan dengan usia, penyakit, keparahan, dan lokasi

  20 dari perdarahan/trombosis.

  Terapi DIC akut mencakup antikoagulan, komponen darah dan antifibrinolitiks. Parameter haemostasis dan koagulasi harus dinilai secara berkesinambungan selama penatalaksanaan. Dasar terapi tergantung pada kondisi

  23 klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium terhadap haemostasis.

  (A) Komponen darah :

  komponen darah digunakan untuk mengatasi parameter hemostatik yang abnormal. Produk ini hanya diberikan setelah terapi awal dan pemberian antikoagulan.

i) Packed red blood cells (washed) :

  lebih disukai dari pada whole blood karena volume nya lebih sedikit, komplikasi imun yang kecil dan cara penyimpanan yang mudah. Satu unit PRC akan meningkatkan haemoglobin sekitar 1g/dl atau meningkatkan hematokrit sekitar 3%.

  ii) Platelet Konsentrat :

  Pasien DIC, yang mengalami perdarahan dengan

  9 jumlah trombosit kurang dari 50x10 / L, harus mendapatkan transfusi trombosit.

  Pasien DIC mungkin membutuhkan jumlah trombosit yang lebih tinggi untuk mendapatkan proses haemostasis yang adekuat, pasien dengan keadaan trombositopenia tanpa gangguan fungsi trombosit (keadaan trombositopenia sendiri

  9 juga membutuhkan transfusi trombosit jika jumlah trombosit kurang dari 20x10 /L).

  9 Secara umum trombosit diberikan jika jumlah trombosit kurang dari 50x10 /l,

dengan perdarahan aktif. Dan trombosit diberikan jika terjadi perdarahan hebat

setelah transfusi menggunakan darah yang telah disimpan lama. Batasan yang lebih

  9

rendah (<30x10 /l) dipakai jika tidak ada perdarahan aktif. Tidak ada pernyataan

tentang pemberian faktor pembekuan seperti plasma jika tidak terdapat

  30 perdarahan. iii) Fresh Frozen Plasma (FFP):

  FFP mengandung semua faktor koagulasi dan inhibitornya, ATIII dan protein-C. 4 sampai 5 units FFP diberikan dengan tetesan cepat. Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) (10-20ml/kg) cukup bermanfaat pada

  

keadaan perdarahan aktif dan dijumpai pemanjangan PT dan aPTT, jika pemberian

FFP tidak mungkin dilakukan akibat adanya kelebihan cairan, pemberian

  21 Prothrombin Complex Concentrate (PCC) (25–30 U/kg)) dapat dipertimbangkan. iv) Cryoprecipitate:

  mengandung faktor VIIIc, vWF, fibrinogen, fibronectin dan sejumlah faktor XIII. Cryoprecipitate diberikan untuk meningkatkan kadar fibrinogen plasma mendekati 100-150 mg/dl. Sebagai panduan, 3 g fibrinogen diharapkan menigkatkan kadar dalam plasma mendekati 100 mg/dl. Penggantian fibrinogen harus disertai dengan cryoprecipitate. Setiap unit cryoprecipitate mengandung sekitar 200 mg fibrinogen.

  20 Tabel 1.

  Terapi Pengganti untuk pasien dengan gejala DIC.

B) Antikoagulan

  DIC harus ditatalaksana berdasarkan penyakit yang mendasarinya, yang

mungkin saja membutuhkan tindakan operasi maupun tidak, terapi antibiotik,

pemberian produk darah, terapi cairan, dan evakuasi uterus. Terapi suportif

antikoagulan diberikan untuk mengatasi gangguan koagulasi. Terapi yang diberikan

adalah heparin (bekerja sebagai anti trombin dan menghambat aktivasi Faktor X),

atau low molecular weight heparin (LMWH), danaparoid sodium, synthetic protease

inhibitor, antitrombin, human recombinant activated protein C, recombinant activated

factor VIIa, recombinant human soluble thrombomodulin, dan recombinant tissue

  5,21,23 factor pathway inhibitor. Antikoagulan digunakan untuk menterapi keadaan trombosis intravaskular jika perdarahan terus berlanjut atau pembekuan 4-6 jam setelah permulaan dari suportif

  22 terapi. i) Heparin:

  Heparin telah digunakan untuk terapi DIC pada kasus kematian

janin dalam kandungan, akibat aktivasi proses pembekuan. Walaupun efektifitas

terapi ini belum terbukti, tetapi dijumpai hasil yang bermanfaat. Ada beberapa

laporan tentang perbaikan hasil laboratorium yang sebelumnya terganggu, setelah

pemberian heparin. Tetapi hasilnya secara klinis tidak dapat dipastikan. Heparin

tidak dianjurkan pada pasien yang mengalami perdarahan atau yang memiliki rsiko

tinggi untuk mengalami perdarahan.

  Penggunaan heparin dalam terapi perdarahan masih kontroversial. Walaupun cukup logis untuk menekan pembentukan trombin dan mencegah penggunaan protein pembekuan, hal ini harus diberikan pada pasien yang mengalami trombosis

  23 atau terus mengalami perdarahan setelah pemberian plasma dan trombosit.

  Indikasi pemberian heparin dan dosisnya tidak memiliki ketentuan. Tidak ada bukti bahwa pemberian heparin akan menurunkan angka kematian dan kesakitan pada DIC akut. Heparin mungkin tidak efektif karena tetap diperlukan antitrombin-III untuk aktifitas antikoagulan, anti trombin-III biasanya menurun pada keadaan DIC.

  Keadaan DIC yang terkait dengan kehamilan heparin terbukti bermanfaat. Pada kematian janin dalam kandungan dengan sistem vaskuler yang utuh, heparin diberikan untuk menghentikan proses koagulasi dan trombositopenia selama

  21 beberapa hari sampai proses pelahiran yang aman memungkinkan. ii) Low molecular weight-heparin:

  komponen ini banyak dipakai dalam kehamilan karena regimen pemberian yang disukai dan tidak butuh pengawasan ketat dan resiko rendah terhadap perdarahan, trombositopenia dan osteoporosis.

  23 Antitrombin III dan Protein-C juga komponen yang menjanjikan.

iii) Antitrombin:

  adalah salah satu konsentrat faktor antikoagulasi, yang

digunakan sebagai terapi tunggal pada satu kasus DIC obstetri dengan kadar

antitrombin kurang dari 70%. Pada suatu randomized controlled trial, konsentrat

antitrombin atau plasebo diberikan kepada pasien preeklamsi berat (1500 U/hari

selama 7 hari) disertai pemberian unfractionated heparin. Perbaikan skor biofisikal

profil dan parameter koagulasi jelas terlihat pada kelompok yang diberikan

antitrombin, dan tidak dijumpai efek samping. Penelitian lebih lanjut masih

  20 diperlukan untuk memastikan kebenaran hal ini.

  P enggunaan konsentrat antitrombin cukup logis dalam penatalaksanaan DIC

  karena secara efektif dapat menghambat trombin. Efikasi antitrombin masih diragukan dalam penatalaksanaan DIC. Beberapa percobaan terhadap manusia menunjukkan manfaat, tetapi suatu multicenter randomized trial yang besar tidak menunjukkan penurunan kematian pasien sepsis yang diberikan konsentrat antitrombin. Kienast dan kawan kawan, telah melaporkan pemberian anti trombin dosis tinggi tanpa heparin dapat menurunkan kematian pada pasien DIC akibat

  23 sespsis. Penelitian ini masih butuh penelitian lebih lanjut untuk pembuktian.

2.2.10.2. Tatalaksana Perdarahan pada DIC

  Pasien DIC dengan kadar trombosit dan faktor pembekuan yang rendah dan menunjukkan perdarahan harus mendapatkan terapi tambahan. Terapi tambahan yang bisa diberikan adalah pemberian FFP, cryoprecipitate, dan trombosit (bila diperlukan). Para klinisi dianjurkan untuk berhati- hati dalam memakai FFP untuk pasien DIC, karena pemberian FFP dapat menyebabkan secara berlebihan dapat menyebabkan kegagalan jantung kongestif. Status pulmoner pasien yang

  23 mendapatkan FFP harus benar benar di awasi.

Dokumen yang terkait

Hubungan Skor The International Society For Thrombosis and Haemostasis DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) Terhadap Angka Kejadian DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) pada Pasien Eklamsia di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan

0 56 68

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vaginosis Bakterial 2.1.1. Definisi - Profil Skor Nugent Berdasarkan Pewarnaan Gram pada Pasien Vaginosis Bakterial di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dermatitis Kontak Alergi 2.1.1. Definisi - Hubungan Merokok dengan Kejadian Dermatitis Kontak Alergi

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rokok - Chapter II (545.1Kb)

0 1 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Stroke - Hubungan Tekanan Darah dengan Tingkat Keparahan pada Pasien Stroke Akut di RSUP H. Adam Malik

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis - Hubungan Kadar Nitric Oxide Serum Pasien Psoriasis Vulgaris dengan Skor Psoriasis Area and Severity Index

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biomarker pada Pneumonia - Hubungan Kadar Procalcitonin Saat Awal Masuk Pada Pasien Pneumonia Komunitas Terhadap Kematian 30 Hari

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Karakteristik - Hubungan Karakteristik Pasien dengan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisa di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 38

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Adenokarsinoma - Ekspresi Vimentin sebagai Petanda pada Adenokarsinoma Endometrium

0 0 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biomarker pada Pneumonia - Hubungan Kadar Procalcitonin saat Awal Masuk pada Pasien Pneumonia Komunitas Terhadap kematian 30 Hari

0 0 13