BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma - Peran Opinion Leader Dalam Masyarakat Hukum Adat(Studi Kasus Tentang Peran Opinion Leader Dalam Masyarakat Hukum Adat Batak Toba Di Desa Hutauruk, Kecamatan Sipoholon, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma

  Kekuatan dasar yang mampu mempertahankan eksistensi sebuah ilmu pengetahuan adalah paradigma. Paradigma memberikan sistematisasi dan sekaligus konstruksi cara pandang untuk menangkap objek realitas kebenaran yang ada pada seluruh bagian ilmu pengetahuan. Para ilmuwan juga sering mengidentifikasi paradigma sebagai perangkat “normal science”, yaitu sebuah konstruk yang menjadi wacana dalam temuan-temuan ilmiah. Paradigma akan membimbing seorang peneliti dalam merumuskan orientasinya dalam seluruh analisis-analisisnya. Paradigma dalam wilayah riset penelitian sebenarnya merupakan seperangkat konstruksi cara pandang dalam menetapkan nilai-nilai dan tujuan penelitian. (Naryawa, 2006:96)

  Meskipun tidak bisa disetarakan dengan seperangkat teori semata, paradigma memberikan arah tentang bagaimana pengetahuan harus didapat dan teori-teori apa yang seharusnya digunakan dalam sebuah penelitian. Paradigma juga bisa berarti sebuah ideologi berpikir dan sekaligus praktik sekelompok komunitas orang yang menganut suatu pandangan yang sama atas realitas, mereka memiliki seperangkat aturan dan kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian dan sekaligus menggunakan metode yang serupa. Tiadak adanya seperangkat dasar pemikiran yang tercermin pada sebuah paradigma, bisa dipastikan bahwa sebuah penelitian tertentu akan mengalami ketumpulan ataupun bias dalam penelitian. (Naryawa, 2006:96)

  Pada hakikatnya, paradigma memberikan batasan-batasan tertentu apa yang harus dikerjakan, dipilih dan diproritaskan dalam sebuah penelitian. Pada aspek lain, paradigma akan memberi rambu-rambu tentang apa yang harus dihindari dan tidak digunakan dalam penelitian. The Structure of Scientific Revolutions (1970) karya Thomas Kuhn, membawa sebuah jalan atas pemecahan permasalahan, yang selanjutnya memunculkan suatu pengertian yang baru, yaitu paradigma. Paradigma dalam pengertian ini lebih menunjuk pada sebuah model pada teori ilmu pengetahuan yang bisa berarti juga sebuah bangunan kerangka berpikir. Pengertian paradigma merujuk pada sistem asumsi-asumsi teori yang digunakan sebagai alat bantu untuk membangun pertanyaan ataupun perkiraan tentang fenomena yang diteliti. Singkatnya, paradigma merupakan sebuah gagasan atau pemikiran dasar yang akan mempengaruhi proses berpikir peneliti dan cara kerja juga cara bertindak dalam suatu penelitian yang dilakukan. (Naryawa, 2006:101)

  Paradigma di dalam Ilmu Komunikasi berdasarkan metodologi penelitian yang dikemukakan oleh Dedy N.Hidayat (Bungin, 2009:241) ada tiga, yaitu Paradigma Klasik (Classical Paradigm), Paradigma Kritis (Critical Paradigm), dan Paradigma Konstruktivisme (Constructivism Paradigm). Paradigma Klasik (gabungan dari paradigma ‘positivism’ dan ‘post-positivsm’) bersifat ‘interventionist’, yaitu melakukan hipotesis melalui laboratorium, eksperimen, atau survey eksplanatif dengan analisis kuantitatif. Objektivitas, validitas, dan realibilitas diutamakan dalam paradigma ini. (Naryawa, 2006:101) Paradigma Kritis lebih mengutamakan partisipasi aktif dalam penelitiannya. Artinya, peneliti dalam paradigma kritis disini mengutamakan analisis komprehensif, kontekstual, multilevel analisis, dan peneliti berperan sebagai aktivis atau partisipan. Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini sering sekali disebut sebagai paradigma produksi dan pertukaran makna. Konstruktivisme justru menganggap subjek (komunikan/decoder) sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosial. (Bungin, 2008: 241)

  Berdasarkan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian kualitatif, maka peneliti menggunakan paradigma konstruktivisme. Hal ini dikarenakan paradigma konstruktivisme adalah cara pandang yang melihat sebuah pengetahuan sebagai struktur konsep yang dibentuk. Melalui paradigma konstruktivisme yang memandang bahwa pengetahuan merupakan struktur konsep dari pengamat yang berlaku ini peneliti ingin melihat peran Opinion

  

Leader dalam Masyarakat Desa Hutauruk. Penelitian ini menekankan bagaimana

  pesan itu dikontruksi dan disampaikan kepada masyarakat melalui Opinion

  

Leader yang ada di Desa Hutauruk tersebut. Maka, untuk melihat hal tersebut,

  peneliti menggunakan cara pandang atau paradigma konstruktivisme sebagai bahan dasar untuk melakukan penelitian.

2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Komunikasi Pembangunan Sosial

  Definisi pembangunan yang ada secara umum saat ini bermula atau dipengaruhi oleh program pemerintah Amerika Serikat yang dicetuskan oleh Presiden Harry S. Truman pada tahun 1949. Presiden Harry S. Truman dalam pidatonya mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan melaksanakan suatu program baru yang tangguh berupa bantuan teknik dan keuangan bagi negara- negara miskin di dunia. Selanjutnya, dunia juga kemudian mengenal dengan apa yang disebut sebagai Marshall Plan yang merupakan program bantuan AS untuk membangun kembali negara-negara sekutunya di Eropa yang hancur akibat Perang Dunia II. Hal ini kemudian diikuti oleh negara-negara kaya lainnya, dan juga oleh sejumlah badan regional dan internasional yang memang dibentuk untuk keperluan itu. (Nasution, 2007:67)

  Negara yang baru merdeka pada umumnya memiliki situasi kehidupan yang sama, yaitu kehidupan sosial ekonomi yang merana, tingkat pendapatan masyarakat yang rendah, keadaan pendidikan yang menyedihkan, kondisi kesehatan yang parah dan sebagainya. Negara-negara seperti inilah yang disebut sebagai negara terbelakang (Underdeveloped), kurang maju (Less Developed), atau sebutan yang halus: “negara sedang berkembang”(Developing Countries). Melihat kondisi seperti itu, kemudian berkembang berbagai rencana pembangunan yang menjadi pegangan bagi negara-negara yang baru merdeka tersebut, yang memiliki tujuan yang sama, yaitu secepatnya mengejar ketinggalan dari negara maju, melalui pembangunan ekonomi yang mengikuti jejak negara- negara maju tersebut. (Nasution, 2007:68) Dalam pengertian sehari-hari yang sederhana, pembangunan merupakan usaha yang dilakukan oleh suatu masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Namun, untuk suatu pembahasan yang berlatar-belakang ilmiah, tentu harus diusahakan suatu pengertian yang kurang lebih menggambarkan apa yang dimaksudkan sebagai pembangunan, yang secara umum dapat diterima oleh mereka yang ikut membahasnya. Rogers (Zulkarimen 2007:82) mengartikan pembangunan sebagai proses-proses yang terjadi pada level atau tingkatan sistem sosial.

  Hagen (Nasution, 2007:83) mengemukakan bahwa dalam suatu komunikasi pembangunan diperlukan peningkatan dalam skala masyarakat bersamaa datangnya modernisasi. Pembesaran skala tersebut sekaligus mengurangi parokialisme atau wawasan yang sempit, dan berarti memperluas modernisasi. Maksudnya adalah bahwa pengenalan terhadap lebih dari satu komunitas dalam suatu masyarakat secara khusus, dan diversitas (keragaman) dalam komunikasi yang berlangsung pada suatu masyarakat secara umum, akan menyuburkan keluwesan mental warga masyarakat yang bersangkutan. Sebaliknya, homogenitas dalam komunikasi dan pembatasan pada suatu komunitas tunggal akan menyuburkan kekakuan (rigiditas) masyarakat tersebut.

  Hal senada juga diungkapkan oleh McClelland yang menyampaikan komentarnya paling orisinil dan provokatif adalah berhubungan langsung dengan masalah komunikasi, yakni perihal pentingnya opini publik bagi pembangunan (Frey, 1973). Dalam pembangunan ekonomi kekuatan yang merangkum masyarakat adalah bergerak dari tradisi yang melembaga ke opini publik yang dapat mengakomodir perubahan dan hubungan interpersonal yang spesifik serta fungsional. (Nasution, 2007:83)

  Peranan komunikasi dalam pembangunan tidak hanya berhenti sampai disitu saja, tetapi juga dapat dikembangkan dan diperpanjang, mengingat semakin kompleksnya tuntutan pembangunan itu sendiri. Pada saat ini, komunikasi dan pembangunan telah menjadi bagian penting dari seluruh aspek kehidupan manusia. Komunikasi dan pembangunan merupakan dua hal yang penting dalam perkembangan kehidupan masyarakat. Kedua hal tersebut dapat dikatakan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sudah menjadi bagian dari rangkaian aktivitas masyarakat sehari-hari. Dua hal ini pun bersifat dinamis, artinya terus berkembang dan tidak pernah berhenti pada suatu titik tertentu. Sejak penghujung 60-an, di kalangan ilmu komunikasi telah berkembang suatu spesialisasi mengenai penerapan teori dan konsep komunikasi secara khusus untuk keperluan pelaksanaan program pembangunan. Pengkhususan inilah yang disebut sebagai

  Komunikasi Pembangunan . (Nasution, 2007:62)

  Komunikasi pembangunan merupakan disiplin ilmu dan praktikum komunikasi dalam konteks negara-negara sedang berkembang, terutama kegiatan komunikasi untuk perubahan sosial yang berencana. Komunikasi pembangunan dimaksudkan untuk meningkatkan pembangunan manusiawi, komunikasi merupakan alat yang akan menghapuskan kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan. Hal yang paling utama dalam komunikasi pembangunan adalah mendidik dan memotivasi masyarakat, bukan sekedar memberi laporan yang tidak realistik dari fakta-fakta atau sekedar penonjolan diri. (Nasution, 2007:65)

  Tujuan utama komunikasi pembangunan adalah untuk menanamkan gagasan-gagasan, sikap mental, dan mengajarkan ketrampilan yang dibutuhkan oleh suatu negara berkembang. Secara pragmatis, Quebral (1973) merumuskan bahwa komunikasi pembangunan adalah komunikasi yang dilakukan untuk melaksanakan rencana pembangunan suatu negara. Konsep dan penerapan komunikasi pembanguan seperti yang terlihat saat ini, memang belum dirasakan sebagai sesuatu yang sempurna. Oleh karena itu, komunikasi pembangunan akan terus berkembang dan perkembangannya tersebut akan ditentukan oleh kecenderungan-kecenderungan yang terjadi di dalam pembangunan itu sendiri bersamaa para ilmuwan yang bergerak di bidang ini. (Nasution, 2007:70)

  Dalam mengaitkan peranan komunikasi dalam pembangunan diperlukan adanya tinjauan teoritis. Ada berbagai pendekatan teoritis yang dikemukakan dalam komunikasi pembangunan, salah satunya adalah strategi baru yang dikemukakan oleh Rogers dan Adhikarya (1978). Pendekatan yang dikemukakannya bahwa komunikasi antarmanusia, yaitu suatu pendekatan konvergensi yang didasarkan pada model komunikasi yang sirkular, menggantikan model linear yang umumnya dianut selama ini. Pendekatan konvergensi disini artinya hubungan bersifat timbal balik di antara partisipan komunikasi dalam hal pengertian, perhatian, kebutuhan, ataupun titik pandang.

  Selain itu, partisipasi semua pihak yang ikut serta dalam suatu proses komunikasi, demi tercapainya suatu fokus bersamaa dalam memandang permasalahan yang dihadapi juga penting dalam pandangan ini. Dengan kata lain, pendekatan ini bertolak dari dialog antarsemua pihak, dan bukan hanya atau lebih banyak ditentukan oleh salah satu pihak saja. Kesenjangan efek yang ditimbulkan oleh kekeliruan cara-cara komunikasi selama ini, ada prinsip-prinsip yang harus diterapkan dalam merancang strategi komunikasi pembangunan (Nasution, 2007:85), yaitu : 1.

  Penggunaan pesan yang dirancang khusus untuk khalayak yang spesifik.

  Sebagai misal, bila hendak menjangkau khalayak miskin pada perumusan pesan, tingkat bahasa, gaya penyajian, dan sebagainya, disusun begitu rupa agar dapat dimengerti dan serasi dengan kondisi mereka.

  2. Pendekatan “ceiling effect” yaitu dengan mengkomunikasikan pesan-pesan yang bagi golongan yang tidak dituju merupakan redundansi atau kecil manfaatnya, namun tetap berfaedah bagi golongan atau khalayak yang hendak dijangkau. Dengan cara ini, dimaksudkan agar golongan khalayak yang benar- benar berkepentingan tersebut mempunyai kesempatan untuk mengejar ketertinggalannya, dan dengan demikian diharapkan dapat mempersempit jarak efek komunikasi yang disinggung di bagian atas tadi.

  3. Penggunaan pendekatan “narrow casting” atau melokalisir penyampaian pesan bagi kepentingan khalayak. Lokalisasi di sini berarti disesuaikannya penyampaian informasi yang dimaksud dengan situasi kesempatan di mana khalayak berada.

4. Pemanfaatan saluran tradisional, yaitu berbagai bentuk pertunjukan rakyat

  yang sejak lama memang berfungsi sebagai saluran pesan yang akrab dengan masyarakat setempat.

  5. Pengenalan para pemimpin opini di kalangan lapisan masyarakat yang berkekurangan (disadvantage), dan meminta bantuan mereka untuk menolong mengkomunikasikan pesan-pesan pembangunan.

  6. Mengaktifkan keikutsertaan agen-agen perubahan yang berasal dari kalangan masyarakat sendiri sebagai petugas lembaga pembangunan yang beroperasi di kalangan rekan sejawat mereka sendiri.

7. Diciptakan dan dibina cara-cara atau mekanisme bagi keikutsertaan khalayak

  (sebagai pelaku pembangunan itu sendiri) dalam proses pembangunan, yaitu sejak tahap perencanaan sampai evaluasinya.

2.2.2 Teori Interaksionisme Simbolik

  Teori interaksionisme simbolik identik dengan pemikiran George Herbert Mead (1863-1931). Mead membuat pemikiran orisinal yaitu “The Theoretical

Perspective ” yang merupakan cikal bakal “Teori Interaksionisme Simbolik”.

  Pemikirannya tentang teori interaksionisme simbolik adalah bahwa setiap perilaku non-verbal dan verbal yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersamaa oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat penting. Masyarakat dalam pemahaman Mead tidak dilihat dalam skema teoritis, meski secara implisit ada. (Soeprapto, 2002:57)

  Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh orang lain, demikian pula perilaku orang tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka kita akan dapat mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang lain.

  Sesuai dengan pemikiran-pemikiran Mead, definisi singkat dari tiga ide dasar dari interaksi simbolik adalah: a

  Mind (Pikiran) : Kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain. b

  Self (Diri) : Kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolik adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan dunia luarnya. c

  Society (Masyarakat) : Hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu di tengah masyarakat, dan tiap individu sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya. (Ritzer dan Goodman, 2010:380).

  Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara lain :

  1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia Tema ini berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersamaa. Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert Blumer (1969) dimana asumsi- asumsi itu adalah sebagai berikut: Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka, Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.

  2. Pentingnya konsep mengenai diri (self concept) Tema kedua berfokus pada pentingnya ”Konsep diri” atau ”Self-Concept”.

  Pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan, menurut LaRossan & Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008: 101), antara lain: Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain dan konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku.

3. Hubungan antara individu dengan masyarakat

  Tema ini berfokus pada hubungan antara kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi- asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah:

  ¯ Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial ¯ Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial

2.2.3 Opinion Leader

  Beberapa sarjana yang mengadakan penelitian mengenai perubahan pendapat, sikap dan tingkah laku, termasuk juga di dalamnya tindak adopsi, telah menemukan suatu unsur yang besar sekali pengaruhnya dalam proses perubahan tersebut. Unsur tersebut merupakan tiga serangkai, yaitu personal contact

  (interpersonal communication), personal influence dan opinion leader.

  Stanley Bigman menetapkan urutan kepada unsur tiga serangkai ini dengan menyatakan, bahwa ada dua macam pengaruh dalam hal pembentukan pendapat, sikap dan tingkah laku. Yang pertama disebut prestige dan yang kedua adalah personal influence.

  Prestige ditumbuhkan oleh pemimpin resmi (Formal Leaders) seperti

  pejabat-pejabat pemerintah, pemimpin-pemimpin buruh atau perusahaan, jurnalis, guru-guru, pemimpin-pemimpin partai politik, organisasi dan sebagainya.

  

Personal Influence ditumbuhkan oleh Opinion Leaders yaitu orang berpengaruh

  yang tidak mempunyai kedudukan resmi di tengah-tengah masyarakat. Ia bisa seorang kenalan, seorang sahabat, seorang teman sepergaulan yang sering menjadi sumber pertanyaan bagi orang-orang di sekelilingnya untuk diminta nasihat dan pendapat.

  Menurut Bigman, ciri-ciri personal influence yang dijelmakan oleh opinion

  leader adalah sebagai berikut :

  1) Tidak terikat oleh ikatan otoritas apapun

  2) Ruang geraknya khusus mengenai sesuatu bidang atau lapangan tertentu dan jarang sekali adanya pengaruh yang meliputi beberapa bidang apalagi segala bidang

  3) Geraknya berlangsung berdasarkan pembicaraan yang bebas dan spontan di antara orang-orang yang sudah dikenal

  4) Tidak terikat oleh sesuatu bentuk organisasi apapun, karena hal tersebut berlangsung atas suatu network hubungan pribadi yang sifatnya informal dan tidak terorganisasi

  5) Kelangsungannya tidak nampak (invisible) dan tidak menonjol (inconspicuos)

  Untuk mengetahui sifat-sifat opinion leader lebih luas, Elihu Katz dan Paul Lazarsfeld dalam laporannya telah menginterview 800 orang wanita di Kota Decatur (Amerika Serikat) untuk mengetahui silang hubungan antara hubungan antara opinion leaders dan personal influence. Laporan tersebut adalah sebagai berikut: 1)

  Personal influence telah terjadi lebih banyak dan lebih efektif dibandingkankan dengan pengaruh yang disebabkan oleh media massa; nasihat-nasihat; sugesti dan pengaruh yang datangnya dari orang-orang sepergaulan besar seperti peranannya dalam pembentukan opini.

  2) Opinion leader keadaan sosialnya serba sama dengan orang-orang yang dipengaruhinya, misalnya dalam hal keputusan-keputusan untuk berbelanja, mode dan nonton film; wanita mempengaruhi wanita lainnya. Ini berarti, bahwa orang yang berpengaruh dan yang dipengaruhinya cenderung mempunyai kedudukan ekonomis yang sama.

  3) Mengenai soal-soal umum, kaum laki-laki (biasanya suami) memegang peranan yang amat penting dalam hal mengambil keputusan-keputusan

  4) Opinion leader dalam hal “berbelanja” lebih banyak terdiri dari wanita-wanita yang telah bersuami dengan keluarga banyak

  5) Opinion leader dalam hal mode lebih banyak terdiri dari orang-orang muda yang amat senang bergaya

  6) Opinion leader lebih banyak mengkonsumir media massa daripada non-

  opinion leader , dengan catatan bahwa opinion leader dalam suatu bidang

  lebih banyak membaca media massa dalam bidang itu 7)

  Penyebaran pengaruh cenderung terjadi dalam proses two step flow

  communication , yaitu first flow of communication melewati media massa,

  kemudian oleh opinion leader diteruskan di tengah-tengah lingkungannya dalam kegiatan second flow of communication 8)

  Seseorang yang menjadi opinion leader dalam suatu bidang nampaknya tidak menjadi opinion leader dalam bidang lain Peranan opinion leader dalam suatu kegiatan komunikasi adalah besar dan penting sekali karena mereka berfungsi penerus komunikasi lingkungannya masing-masing. Pada hakikatnya, mereka selalu meneruskan komunikasi yang bagaimanapun isinya. Sudah tentu akan meneruskan isi komunikasi yang sesuai dengan pendiriannya secara positif, sedangkan yang tidak sesuai akan diteruskannya secara negatif. Kedua-duanya diteruskan dengan versi serta imajinasinya masing-masing, kadang-kadang dikembangkan dengan tambahan- tambahan, tetapi sering pula dibuat cacat hingga mempunyai bentuk yang berlainan sama sekali.

  Para opinion leader ini tersebar dimana-mana di tiap bidang dan di tiap strata sosial dan bergerak menurut waktu dan caranya sendiri-sendiri secara bergelombang yang berlangsung dalam jaringan yang semakin lama semakin luas, dengan “multiplier effect” yang semakin tinggi pula. Bergeraknya opinion leader dalam jaringan ini berlangsung tanpa kita lihat dan tanpa kita ketahui, sehingga mereka sesungguhnya merupakan suatu invisible force dalam gelombang kelangsungan komunikasi.

  Sungguh pun opinion leader itu begitu penting peranannya dalam kelangsungan sesuatu komunikasi, namun kita tidak mungkin dapat mengikat atau melatih mereka dalam suatu jaringan organisasi. Sebab apabila halnya demikian, maka mereka dengan sendirinya akan kehilangan fungsinya sebagai opinion

  

leader dan bergantilah ia menjadi formal leader yang mungkin berfungsi sebagai

  kader, petugas, propagandis atau sebagainya dari sesuatu organisasi yang tunduk kepada garis organisasi yang bersangkutan.

  Mengenai hal tersebut, Stanley Bigman menyatakan bahwa tidak ada

  

opinion leader yang bergerak dalam suatu garis organisasi atau hirarki, jika di Uni

  Soviet opinion leader memang dilatih dan diorganisasikna dalam suatu sistem propaganda yang resmi, hal tersebut mungkin saja hanya terjadi di Uni Soviet sebab di negara tersebut segala sesuatunya memang diatur dalam jaringan pemerintah, yang sudah tentu sistemnya berlainan sekali dengan negara kita yang demokrasi ini. (Katz, 1953:97)

2.2.3.1 Karakteristik Opinion Leader

  Opinion Leader dalam kelompok mempunyai cara yang berbeda-beda

  dalam menyampaikan pesannya kepada komunikan untuk mendapatkan respon atau tanggapan tertentu dalam situasi tertentu pula. Kesesuaian maksud dari

  

Opinion Leader ini tergantung dari isi pesan dan feedback yang diharapkan dari

  komunikan. Selain itu faktor psikologis masing-masing Opinion Leader juga menentukan gaya dan caranya dalam mengelola penyampaian pesan. Dalam sebuah komunikasi, umpan balik merupakan bentuk khas dari sebuah pesan. Komunikasi disebut efektif jika umpan balik yang didapatkan sesuai dengan harapan komunikator.Oleh karena itu perlu seorang komunikator yang berkemampuan untuk mendapatkan kategori komunikasi efektif. Untuk itu karakteristik Opinion Leader dapat dibagi menjadi 6 (enam), yaitu : 1.

  The Controlling Style Dalam karakter Opinion Leader yang pertama adalah bersifat mengendalikan.

  Gaya mengendalikan ini ditandai dengan adanya satu kehendak atau maksud untuk membatasi, memaksa dan mengatur baik perilaku, pikiran dan tanggapan komunikan. Gaya ini dapat dikategorikan sebagai one step flow. Oleh karena itu Opinion Leader tidak berusaha untuk membicarakan gagasannya, namun lebih pada usaha agar gagasannya ini dilaksanakan seperti apa yang dikatakan dan diharapkan tanpa mendengarkan pikiran dari komunikan.

  2. The Equalitarian Style Gaya ini lebih mengutamakan kesamaan pikiran antara Opinion Leader dan komunikan. Dalam gaya ini tindak komunikasi dilakukan secara terbuka.

  Artinya setiap anggota dapat mengkomunikasikan gagasan ataupun pendapat dalam suasana yang rileks, santai dan informal. Dengan kondisi yang seperti ini diharapkan komunikasi akan mencapai kesepakatan dan pengertian bersamaa. Opinion Leader yang menggunakan pola two step flow ini merupakan orang-orang yang memiliki sikap kepedulian tinggi serta kemampuan membina hubungan baik dengan orang lain dalam lingkup hubungan pribadi maupun hubungan kerja. Oleh karena itu akan terbina empati dan kerjasama dalam setiap pengambilan keputusan terlebih dalam masalah yang kompleks.

  3. The Structuring Style Poin dalam gaya ini adalah penjadwalan tugas dan pekerjaan secara terstuktur.

  Seorang Opinion Leader yang menganut gaya ini lebih memanfaatkan pesan- pesan verbal secara lisan maupun tulisan agar memantapkan instruksi yang harus dilaksanakan oleh semua anggota komunikasi. Seorang Opinion Leader yang mampu membuat instruksi terstuktur adalah orang-orang yang mampu merencanakan pesan-pesan verbal untuk memantapkan tujuan organisasi, kerangka penugasan dan memberikan jawaban atas pertanyaan yang muncul.

  4. The Relinquising Style Gaya ini lebih dikenal dengan gaya komunikasi agresif, artinya pengirim pesan atau komunikator mengetahui bahwa lingkungannya berorientasi pada tindakan (action oriented). Komunikasi semacam ini seringkali dsipakai untuk mempengaruhi orang lain dan memiliki kecenderungan memaksa. Tujuan utama komunikasi dinamis ini adalah untuk menstimuli atau merangsang orang lain berbuat lebih baik dan lebih cepat dari saat itu. Untuk penggunaan gaya ini lebih cocok digunakan untuk mengatasi persoalan yang bersifat kritis namun tetap memperhatikan kemampuan yang cukup untuk menyelesaikan persoalan tersebut bersamaa-sama.

  5. The Dynamic Style Dalam sebuah komunikasi kelompok tidak semua hal dikuasai oleh Opinion

  

Leader , baik dalam percakapan hingga pengambilan keputusan. Bekerja sama

antara seluruh anggota lebih ditekankan dalam model komunikasi jenis ini.

  Komunikator tidak hanya membicarakan permasalahan tetapi juga meminta pendapat dari seluruh anggota komunikasi.Komunikasi ini lebih mencerminkan kesediaan untuk menerima saran, pendapat atau gagasan orang lain. Komunikator tidak memberi perintah meskipun ia memiliki hak untuk memberi perintah dan mengontrol orang lain. Untuk itu diperlukan komunikan yang berpengetahuan luas, teliti serta bersedia bertanggung jawab atas tugas yang dibebankan.

  6. The Withdrawal Style Deskripsi konkret dari gaya ini adalah independen atau berdiri sendiri dan menghindari komunikasi. Tujuannya adalah untuk mengalihkan persoalan yang tengah dihadapi oleh kelompok. Gaya ini memiliki kecenderungan untuk menghalangi berlangsungnya interaksi yang bermanfaat dan produktif. Akibat yang muncul jika gaya ini digunakan adalah melemahnya tindak komunikasi, artinya tidak ada keinginan dari orang-orang yang memakai gaya ini untuk berkomunikasi dengan orang lain, karena ada beberapa persoalan ataupun kesulitan antar pribadi yang dihadapi oleh orang-orang tersebut.

2.3 Model Teoritik

Gambar 2.1 Model Teoritis Penelitian

  ¯ Komunikasi

Peran Opinion Leader

Pembangunan

  ¯ Masyarakat ¯ Gaya Komunikasi

dalam Masyarakat Desa

cenderung

  Opinion Leader

Hutauruk

¯ Teori individualis

  Interaksionisme ¯ Pembangunan

  Simbolik berjalan lambat Masyarakat Desa Hutauruk, Kecamatan Sipoholon, Kabupaten

  Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Faktor-faktor yang mempengaruhi lunturnya Peran Opinion Leader dan lambatnya pembangunan serta cenderung individualisnya masyarakat

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gunung Berapi - Kajian Kandungan Mineral Kalium, Natrium Dan Kalsium Pada Sayuran Kubis (Brassica Oleracea L.) Yang Diperoleh Dari Lahan Hasil Pertanian Pasca Letusan Gunung Sinabung

0 0 17

DAFTAR ISI - Kajian Kandungan Mineral Kalium, Natrium Dan Kalsium Pada Sayuran Kubis (Brassica Oleracea L.) Yang Diperoleh Dari Lahan Hasil Pertanian Pasca Letusan Gunung Sinabung

0 0 12

BAB II PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banj

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

0 0 35

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1 Bank - Analisis Pengaruh Rasio Capital Adequacy Ratio (CAR), Non Peforming Loan (NPL), Operating Expenses/Operating Income (BOPO), Return On Asset (ROA), dan Net Interest Margin (NIM) Terhadap Loan to D

0 0 32

Efisiensi Lapang Dan Biaya Produksi Beberapa Alat Pengolahan Tanah Sawah Di Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat

0 0 27

Efisiensi Lapang Dan Biaya Produksi Beberapa Alat Pengolahan Tanah Sawah Di Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat

0 0 20

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu - Pengaruh Pelayanan Program KB dan Pembinaan Keluarga Oleh PLKB terhadap Pencapaian Peserta KB Aktif di Badan KB Kabupaten Simalungun Tahun 2013

1 0 58

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Pelayanan Program KB dan Pembinaan Keluarga Oleh PLKB terhadap Pencapaian Peserta KB Aktif di Badan KB Kabupaten Simalungun Tahun 2013

1 0 12

Peran Opinion Leader Dalam Masyarakat Hukum Adat(Studi Kasus Tentang Peran Opinion Leader Dalam Masyarakat Hukum Adat Batak Toba Di Desa Hutauruk, Kecamatan Sipoholon, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara)

0 0 13