BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM ASURANSI DI INDONESIA A. Sejarah Asuransi di Indonesia - Aspek Hukum Penggunaan Jasa Asuransi Oleh Bank Sebagai Pengalihan Resiko Dalam Pemberian Kredit(Studi Pada Pt. Bank Sumut Cabang Lima Puluh)

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM ASURANSI DI INDONESIA A. Sejarah Asuransi di Indonesia Asuransi atau pertanggungan timbul karena kebutuhan manusia. Seperti

  telah dimaklumi, bahwa dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini, manusia selalu dihadapkan kepada sesuatu yang tidak pasti, yang mungkin menguntungkan, tetapi mungkin pula sebaliknya. Manusia mengharapkan keamanan atas harta benda mereka, mengharapkan kesehatan dan kesejahteraan tidak kurang sesuatu apa pun, namun manusia hanya dapat berusaha, tetapi Tuhan Yang Maha Kuasa yang menentukan segalanya. Oleh karena itu, setiap insan tanpa kecuali di alam fana ini selalu menghadapi berbagai resiko yang merupakan sifat hakiki manusia yang menunjukkan ketidakberdayaannya dibandingkan Sang Maha Pencipta. Kemungkinan menderita kerugian yang dimaksud sebagai

   resiko.

  Sejarah mencatat bahwa masuknya kegiatan asuransi di Indonesia mengikuti keberhasilan bangsa Belanda dalam sektor perkebunan dan perdagangan di negeri jajahannya yaitu Indonesia. Pada awalnya, kegiatan asuransi memiliki tujuan yang terbatas yaitu untuk melindungi kepentingan Belanda, Inggris, dan bangsa Eropa lainnya yang melakukan kegiatan perdagangan dan perkebunan di Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan jaminan terhadap keberlangsungan usahanya, tentu diperlukan adanya asuransi. 10 Man S. Sastrawidjaja, Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Alumni, Cetakan ke- 1, Bandung, 1997, hlm 1-2.

  18 Perkembangan kegiatan asuransi di Indonesia terbagi dalam 3 (tiga) kurun waktu yaitu masa penjajahan, masa setelah Perang Dunia II, dan masa setelah kemerdekaan. Pada masa penjajahan Belanda, dengan sistem monopoli yang diterapkan mengakibatkan perkembangan kegiatan asuransi terbatas pada kegiatan dagang dan kepentingan bangsa Belanda, Inggris, dan bangsa Eropa lainnya. Manfaat dan peranan asuransi belum dikenal oleh masyarakat, lebih-lebih oleh masyarakat pribumi. Jenis asuransi yang paling berkembang pada waktu itu masih sangat terbatas dan sebagian besar terdiri dari asuransi kebakaran dan pengangkutan.

  Pada masa penjajahan Jepang, kegiatan asuransi sama sekali tidak mengalami perkembangan. Selama terjadinya Perang Dunia II kegiatan perasuransian di Indonesia praktis terhenti, terutama karena ditutupnya perusahaan-perusahaan asuransi milik Belanda dan Inggris. Setelah Perang Dunia

  II berakhir, perusahaan-perusahaan asuransi Belanda dan Inggris kembali beroperasi di Indonesia dengan mendirikan suatu badan usaha asuransi kolektif yang bernama Bataviasche Verzekerings Unie (BVU). Setelah kemerdekaan RI, pemerintah melakukan nasionalisasi atas sejumlah asuransi termasuk Assurantie

  

Maatshappij De Nederlandern , sebuah perusahaan asuransi umum milik kolonial

  Belanda dan Bloom Vander milik Inggris yang diubah menjadi PT. Umum Internasional Underwriters (UIU) dan PT. Asuransi Bendasraya.

  Kedua perusahaan hasil tindak lanjut nasionalisasi ini bertujuan untuk memberikan manfaat yang maksimal kepada masyarakat dan memperkokoh keamanan serta perekonomian negara. Adapun kebijakan nasionalisasi tersebut dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui Keputusan Menteri Keuangan No.764/MK/IV/12/1972 tertanggal 9 Desember 1972, pemerintah Indonesia memutuskan untuk melakukan merger antara PT. Asuransi Bendasraya dan PT. Umum Internasional Underwriters (UIU) menjadi PT Asuransi Jasa Indonesia sebagai sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di

   bidang usaha Asuransi Umum.

  Kemudian pada tahun 1953, berdirilah suatu perusahaan reasuransi profesional swasta bernama Maskapai Reasuransi Indonesia (Marein) yang disusul dengan berdirinya PT. Reasuransi Umum Indonesia (IndoRe) sebagai perusahaan reasuransi milik pemerintah. Pada awal pemerintahan Orde Baru, pemerintah Indonesia memberikan izin pengoperasian kembali kepada perusahaan-perusahaan asuransi asing, yang meninggalkan Indonesia ketika terjadinya aksi pembebasan Irian Barat (sekarang Papua) serta konfrontasi terhadap Malaysia. Akan tetapi, hal ini hanya terbatas pada 12 perusahaan asing dalam bidang asuransi umum, sedangkan perusahaan asuransi jiwa tetap dilarang beroperasi di Indonesia.

  Peristiwa penting lainnya yang terjadi dalam sejarah asuransi di Indonesia pada masa setelah kemerdekaan antara lain adalah diselenggarakannya Kongres Asuransi Nasional Seluruh Indonesia (KANSI) yang pertama pada tanggal 25-30 11 Riwayat Singkat. (online). Tersedia di http://jasindo.co.id/content/company-

  Jasindo, profile/riwayat. (diakses pada tanggal 18 Nopember 2014, pukul 16.00 WIB) Nopember 1956 di Bogor. Kongres tersebut bertujuan untuk menyumbangkan pendapat yang bermanfaat bagi perekonomian nasional, mengatasi sistem perekonomian peninggalan kolonial, realisasi konkrit dari pembatalan Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) dan meningkatkan kesadaran berasuransi. Hasil Kongres tersebut melahirkan kesepakatan untuk mendirikan Dewan Asuransi Nasional (DAI) pada tanggal 01 Pebruari 1957.

  Pada awalnya anggota DAI terbatas pada perusahaan-perusahaan nasional saja. Dinamika politik nasional membuat kegiatan DAI dibekukan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1963 dan aktif kembali pada 13 Juli 1967. Pada tahun 1971 DAI berubah menjadi organisasi tunggal bagi semua perusahaan asuransi dan reasuransi di Indonesia. Pada tahun 2002, DAI berubah menjadi Federasi Asosiasi Perasuransian Indonesia (FAPI) yang menaungi semua asosiasi usaha perasuransian di Indonesia menyusul pendirian Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Asosiasi Asuransi Jaminan Sosial Indonesia (AAJSI), Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI), dan bergabungnya Asosiasi Pialang Asuransi dan Reasuransi Indonesia (ABAI) serta Asosiasi Adjuster Asuransi Indonesia (AAAI) ke dalam FAPI. Di samping itu, ke-6 anggota tersebut, Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI) dan Ikatan Eksekutif Asuransi Indonesia (ISEA) diterima sebagai anggota kehormatan. Pada Juli 2010, disebabkan adanya kendala dalam pengesahan Anggaran Dasar FAPI, nama FAPI diganti kembali menjadi

12 Dewan Asuransi Indonesia (DAI).

  Di Indonesia, asuransi sebagai sebuah bisnis pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. Undang- Undang ini menggantikan Ordonnantie op het Levensverzekering bedrijf (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 101). Pelaksanaan Undang-Undang Usaha Perasuransian ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 yang kemudian diubah dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999. Setelah itu, dilakukan perubahan kedua kalinya dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 dan terakhir pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992. Peraturan Pemerintah tersebut diikuti oleh berbagai peraturan lain dibawahnya yang mengatur pengelolaan, pembinaan, dan pengawasan bisnis asuransi di Indonesia.

B. Pengertian dan Dasar Hukum Asuransi di Indonesia

  Asuransi berasal dari kata verzekering (Belanda) yang berarti pertanggungan atau asuransi. Istilah pertanggungan umum dipakai dalam literatur hukum dan kurikulum perguruan tinggi ilmu hukum di Indonesia. Sedangkan istilah asuransi yang berasal dari istilah assurantie (Belanda) atau insurance (Inggris) banyak dipakai dalam praktik dunia bisnis. Bagi yang memakai istilah

  Verzekering , maka perusahaan sebagai pihak penanggung disebut “verzekeraar” 12 Junaedy Ganie, Hukum Asuransi Indonesia, Sinar Grafika, Cetakan ke2, Jakarta, 2013, hlm 37.

  dan tertanggung disebut “verzekerde”. Sedangkan bagi yang menggunakan istilah

  

Insurance , maka pihak penanggung disebut “the insurer” dan pihak tertanggung

disebut “ the insured”.

  Dari istilah-istilah tersebut lahirlah istilah hukum pertanggungan atau hukum asuransi. Dalam bahasa Belanda disebut Verzekering Recht dan dalam bahasa Inggris disebut Insurance Law. Pada praktiknya di masyarakat istilah asuransi lebih populer dan lebih sering digunakan jika dibandingkan dengan istilah pertanggungan. Dengan menyebutkan asuransi masyarakat dapat langsung mengerti apa maksud dari istilah tersebut, sedangkan istilah pertanggungan masih memerlukan penjelasan lebih lanjut agar masyarakat awam paham akan istilah yang dimaksud.

  Dalam membicarakan asuransi, maka terdapat beraneka ragam pendapat para sarjana. Menurut Wirjono Prodjodikoro, asuransi berarti pertanggungan.

  Dalam asuransi terlibat dua pihak, yang satu sanggup akan menanggung atau menjamin, bahwa pihak lain akan mendapat penggantian dari suatu kerugian, yang mungkin akan diderita selaku akibat dari suatu peristiwa, yang semula belum

   tentu akan terjadinya atau semula belum dapat ditentukan saat akan terjadinya.

  Selanjutnya, D. Sutanto mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan asuransi adalah peniadaan resiko kerugian yang datangnya tak terduga sebelumnya yang menimpa seseorang dengan cara menggabungkan sejumlah besar orang atau manusia yang menghadapi resiko yang sama dan mereka itu

13 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi Indonesia, Intermasa, Jakarta, 1982, hlm. 5.

  membayar premi yang besarnya cukup untuk menutup kerugian yang mungkin

   menimpa orang diantara mereka.

  Masih mengenai pengertian asuransi, Santoso Poejosubroto memberikan definisi asuransi pada umumnya adalah perjanjian timbal balik dalam mana pihak penanggung dengan mana menerima premi, mengikatkan dirinya untuk memberikan pembayaran kepada pengambil asuransi atau orang yang di tunjuk, karena terjadinya suatu peristiwa yang belum pasti disebutkan dalam perjanjian baik karena pengambil asuransi atau tertunjuk menderita kerugian yang disebabkan oleh peristiwa tadi mengenai hidup kesehatan atau validitet seorang

   penanggung.

  Pengertian asuransi beserta pengaturannya diatur dalam beberapa peraturan yang merupakan dasar hukum pelaksanaan asuransi di Indonesia, antara lain yaitu: 1.

  Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) Pengaturan mengenai asuransi pada umumnya dalam KUHD terdapat di dalam Buku I Bab 9 dan Bab 10, dan Buku II Bab 9 dan Bab 10 yang

  

  pengaturannya sebagai berikut: Buku I Bab 9 : mengatur tentang Asuransi pada umumnya.

  Buku I Bab 10 : mengatur asuransi terhadap bahaya kebakaran, terhadap 14 D. Sutanto, Ikhtisar Tentang Pengertian dan Perkembangan Asuransi Jiwa, Yayasan Darmasiswa Bumi Putera 1912, Jakarta, 1995, hlm. 1. 15 Santoso Poejosubroto, Beberapa Aspek Tentang Hukum Pertanggungan Jiwa di Indonesia , Barata, Jakarta, 1969, hlm. 82. 16 Abdul Muis, Hukum Asuransi dan Bentuk-bentuk Perasuransian, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Cetakan ke-2, Medan, 2005, hlm 5. bahaya yang mengancam hasil pertanian di sawah dan tentang asuransi jiwa.

  Buku I Bab 10 ini dibagi dalam beberapa bagian yaitu : − Bagian pertama : mengatur asuransi terhadap bahaya kebakaran.

  − Bagian kedua : mengatur asuransi terhadap bahaya-bahaya yang mengancam hasil- hasil pertanian di sawah.

  − Bagian ketiga : mengatur asuransi jiwa. Buku II Bab 9 : mengatur asuransi terhadap bahaya-bahaya laut dan bahaya- bahaya perbudakan.

  Buku II Bab 9 ini dibagi dalam beberapa bagian yaitu : − Bagian pertama : mengatur tentang bentuk dan isi asuransi.

  − Bagian kedua : mengatur tentang anggaran dari barang-barang yang diasuransikan.

  − Bagian ketiga : mengatur tentang awal dan akhir bahaya.

  − Bagian keempat : mengatur tentang hak dan kewajiban-kewajiban penanggung dan tertanggung.

  − Bagian kelima : mengatur tentang abandonnemen. − Bagian keenam : mengatur tentang kewajiban-kewajiban dan hak-hak makelar di dalam asuransi laut.

  Buku II Bab 10 : mengatur tentang asuransi terhadap bahaya-bahaya pengangkutan di darat dan sungai-sungai serta perairan pedalaman.

  Dalam Pasal 246 KUHD disebutkan bahwa asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak pasti.

  Pengertian tersebut menunjukkan bahwa asuransi merupakan suatu perikatan timbal balik antara penanggung yang memberikan jaminan dan dengan tertanggung yang memberikan imbalan pembayaran premi asuransi. Pengertian dalam Pasal 246 KUHD tersebut hanya mengatur penggantian kerugian kepada tertanggung dimana objeknya adalah harta kekayaan sehingga asuransi jiwa tidaklah termasuk dalam rumusan Pasal 246 KUHD, karena jiwa manusia bukanlah harta kekayaan. Pengaturan asuransi dalam KUHD meliputi hal-hal berikut ini: a.

  Asas-asas asuransi b. Perjanjian asuransi c. Unsur-unsur asuransi d. Syarat-syarat asuransi e. Jenis-jenis asuransi 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian

  Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 memberikan pengertian asuransi secara lengkap, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa:

  “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih, dengan nama pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung, karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.” Rumusan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 ternyata lebih luas jika dibandingkan dengan rumusan Pasal 246 KUHD karena tidak hanya melingkupi asuransi kerugian, tetapi juga asuransi jiwa. Dengan demikian, objek asuransi tidak hanya meliputi harta kekayaan, tetapi juga jiwa/raga manusia.

  Untuk memahami lebih lanjut , berikut ini disajikan perbandingan antara rumusan

   Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 dan Pasal 246 KUHD : 1.

  Definisi dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 meliputi asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Asuransi kerugian dibuktikan oleh kalimat “penggantian karena kerugian, kerusakan, kehilangan keuntungan yang diharapkan. Asuransi jiwa dibuktikan oleh bagian kalimat “memberikan pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang”. 17 Bagian ini tidak ada dalam definisi Pasal 246 KUHD.

  Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-4, Bandung, 2006, hlm11-12.

  2. Definisi dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 secara eksplisit meliputi juga asuransi untuk kepentingan pihak ketiga. Hal ini terdapat dalam bagian kalimat “ tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga”.

  Bagian ini tidak terdapat dalam definisi Pasal 246 KUHD.

  3. Definisi dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 meliputi objek asuransi berupa benda, kepentingan yang melekat atas benda, sejumlah uang dan jiwa manusia. Objek asuransi berupa jiwa manusia tidak terdapat dalam definisi Pasal 246 KUHD.

  4. Definisi dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 meliputi evenemen berupa peristiwa yang menimbulkan kerugian pada benda objek asuransi dan peristiwa meninggalnya seseorang. Peristiwa meninggalnya seseorang tidak terdapat dalam definisi Pasal 246 KUHD.

  Pengaturan usaha perasuransian dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 terdiri dari 13 (tiga belas) bab dan 28 (dua puluh delapan) pasal dengan

  

  rincian substansi sebagai berikut : a.

  Bidang usaha perasuransian meliputi kegiatan: 1)

  Usaha asuransi, dan 2) Usaha penunjang asuransi.

  b.

  Jenis usaha perasuransian sebagai meliputi: 1)

  Usaha asuransi terdiri dari: asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi.

  18 Ibid, hlm 18-19.

  2) Usaha penunjang asuransi terdiri dari: pialang asuransi, pialang reasuransi, penilai kerugian asuransi, konsultan aktuaria, dan agen asuransi.

  c.

  Perusahaan Perasuransian meliputi: 1) Perusahaan Asuransi Kerugian. 2) Perusahaan Asuransi Jiwa. 3) Perusahaan Reasuransi. 4) Perusahaan Pialang Asuransi. 5) Perusahaan Pialang Reasuransi. 6) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi. 7) Perusahaan Konsultan Aktuaria. 8) Perusahaan Agen Asuransi.

  d.

  Bentuk hukum usaha perasuransian terdiri dari: 1) Perusahaan Perseroan (Persero). 2) Koperasi. 3) Perseroan Terbatas. 4) Usaha Bersama (mutual).

  e.

  Kepemilikan Perusahaan Perasuransian oleh: 1) Warga Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia. 2)

  Warga Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia bersama dengan perusahaan perasuransian yang tunduk pada hukum asing.

  f.

  Perizinan usaha perasuransian oleh Menteri Keuangan. g.

  Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian oleh Menteri Keuangan mengenai: 1)

  Kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, dan Perusahaan Reasuransi.

2) Penyelenggaraan usaha perasuransian dan modal usaha.

  h.

  Kepailitan dan likuidasi Perusahaan Asuransi melalui keputusan Pengadilan Niaga. i.

  Ketentuan sanksi pidana dan sanksi administratif meliputi: 1)

  Sanksi pidana karena kejahatan: menjalankan usaha perasuransian tanpa izin, menggelapkan premi asuransi, menggelapkan kekayaan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi, menerima atau menadah atau membeli kekayaan Perusahaan Asuransi hasil penggelapan, pemalsuan dokumen Perusahaan Asuransi, Reasuransi. 2)

  Sanksi administratif berupa: ganti kerugian, denda administratif, peringatan, pembatasan kegiatan usaha, pencabutan izin usaha perusahaan.

3. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

  Menurut KUHPerdata, perjanjian asuransi diklasifikasi sebagai perjanjian untung-untungan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1774 sebagai berikut: Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung dari suatu kejadian yang belum tentu. Demikian adalah: Perjanjian pertanggungan; Bunga cagak hidup; Perjudian dan pertaruhan, Perjanjian yang pertama diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

  Meskipun asuransi dan perjudian ditempatkan dalam pasal yang sama sebagai perjanjian untung-untungan, namun antara kedua perbuatan itu terdapat perbedaan yang prinsipil. Menurut Sri Rejeki Hartono, penggolongan perjanjian asuransi secara umum oleh KUHPerdata sebagai salah satu bentuk perjanjian sama sekali tidak tepat dan bertentangan dengan prinsip-prinsip perjanjian asuransi. Alasannya yaitu karakteristik perjanjian untung-untungan adalah berdasarkan kemungkinan yang sangat bersifat spekulatif dengan tujuan utama hanya kepentingan keuangan, sementara perjanjian asuransi pada dasarnya mempunyai tujuan yang lebih pasti, yaitu memperalihkan resiko yang sudah ada yang berkaitan pada kemanfaatan ekonomi tertentu sehingga tetap berada dalam

   posisi yang sama.

  Dapat dikatakan bahwa asuransi yang pada dasarnya berisikan hak dan kewajiban para pihak sebagai akibat dari perjanjian pengalihan dan penerimaan resiko oleh para pihak, merupakan objek hukum perdata. Namun apabila tidak ditentukan lain dalam KUHD sebagai suatu ketentuan yang bersifat khusus, maka asuransi sebagai sebuah perjanjian harus tunduk kepada KUHPerdata.

19 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 81.

4. Peraturan Perundang-Undangan Lain

  Di samping ketiga peraturan di atas, asuransi juga diatur dalam beberapa perauran perundang-undangan lainnya, antara lain yaitu: a)

  Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian

  b) Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 1988 Tentang Usaha di Bidang Asuransi Kerugian.

  c) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1249 Tahun 1988 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Usaha di Bidang Asuransi Kerugian.

  d) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 423 Tahun 2003 Tentang Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian.

  e) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 425 Tahun 2003 Tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi.

  f) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 426 Tahun 2003 Tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.

C. Subjek dan Objek Asuransi 1.

  Subjek Asuransi Untuk mengetahui subjek hukum asuransi atau pihak-pihak yang terlibat dalam asuransi, maka perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari subjek hukum itu sendiri sebab asuransi juga sama halnya dengan perjanjian lainnya dimana salah satu sahnya perjanjian tersebut harus dibuat oleh pihak–pihak yang memenuhi kriteria sebagai subjek hukum yaitu cakap hukum.

  Subjek hukum itu sendiri adalah segala sesuatu pendukung hak dan kewajiban yang terdiri dari manusia dan badan hukum. Jadi, setiap subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum, salah satunya ialah mengadakan perjanjian. Pada dasarnya, manusia dikatakan sebagai subjek hukum pada saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia. Bahkan seorang anak yang masih berada dalam kandungan ibunya dapat dikatakan

   sebagai subjek hukum bilamana kepentingannya mengkehendaki.

  Walaupun menurut hukum, setiap orang tiada terkecuali dapat memiliki hak-hak, akan tetapi di dalam hukum tidaklah semua orang diperbolehkan bertindak sendiri di dalam melaksanakan hak-haknya itu. Ada beberapa golongan orang yang oleh hukum telah dinyatakan “tidak cakap” atau “kurang cakap” untuk bertindak sendiri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum (mereka disebut

  

  Mereka yang oleh hukum dinyatakan tidak cakap hukum atau tidak cakap bertindak di dalam hukum yaitu: a.

  Orang yang masih di bawah umur (belum dewasa) atau belum mencapai usia 21 tahun.

  b.

  Orang yang tidak sehat pikirannya, pemabuk dan pemboros yaitu mereka 20 yang berada di bawah pengampuan. 21 Lihat Pasal 2 KUHPerdata C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,

  Cetakan ke-12, Jakarta, 2002, hlm 118.

  Menurut Pasal 246 KUHD, salah satu unsur asuransi yang termuat dalam definisi asuransi yaitu adanya subjek asuransi. Adapun pihak-pihak yang berkedudukan sebagai subjek asuransi yang dimaksud dalam Pasal 246 KUHD tersebut, antara lain yaitu: a.

  Pihak Tertanggung Pihak Tertanggung sebagai orang–orang yang berkepentingan mengadakan perjanjian asuransi adalah sebagai pihak yang berkewajiban untuk membayar premi kepada penanggung, sekaligus atau berangsur– angsur, dengan tujuan akan mendapat penggantian atas kerugian yang mungkin akan dideritanya akibat dari suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi.

  b.

  Pihak Penanggung Pihak Penanggung adalah pihak terhadapnya resiko tersebut dialihkan, yang seharusnya dipikul sendiri oleh tertanggung karena menderita suatu kerugian atas suatu peristiwa yang tidak tentu. Resiko ini hanya dialihkan kepada penanggung bila adanya premi yang diberikan oleh tertanggung.

  Jadi, dengan adanya premi ini, pihak penanggung mengikatkan dirinya untu menanggung resiko yang seharusnya ditanggung oleh pihak tertanggung. Namun, dari defenisi asuransi yang diberikan oleh KUHD dan Undang-

  Undang Nomor 2 Tahun 1992, terdapat perbedaan yaitu KUHD menyebutkan bahwa asuransi hanyalah melibatkan 2 pihak saja yaitu penanggung (perusahaan asuransi) dan juga pihak tertanggung (yang membayar premi asuransi).

  Sedangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 menyebutkan bahwa perjanjian asuransi tidak hanya melibatkan 2 pihak saja (penanggung dan tertangung) tetapi juga melibatkan pihak ketiga dalam hal pertanggungjawaban hukum.

  Lebih lanjut dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 disebutkan bahwa usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk: a.

  Perusahaan Perseroan (Persero) b. Koperasi c. Perseroan Terbatas (PT) d. Usaha Bersama (Mutual)

  Dengan kata lain, bahwa penanggung harus berstatus badan hukum yang berbentuk Perusahaan Perseroan (Persero), Koperasi, Perseroan Terbatas (PT) atau Usaha Bersama (Mutual). Sedangkan tertanggung dapat berstatus perseorangan, persekutuan atau badan hukum, baik sebagai perusahaan maupun bukan perusahaan. Tertanggung berstatus sebagai pemilik atau pihak yang berkepentingan atas harta benda yang diasuransikan.

2. Objek Asuransi

  Benda asuransi adalah benda yang menjadi objek perjanjian asuransi (object of insurance). Benda asuransi adalah harta kekayaan yang mepunyai nilai ekonomi, yang dapat dihargai dengan sejumlah uang. Benda asuransi selalu berwujud, misalnya gedung pertokoan, rumah, kapal. Benda asuransi selalu diancam bahaya atau peristwa yang terjadinya itu tidak pasti. Ancaman bahaya itu mungkin terjadi yang mengakibatkan benda asuransi dapat rusak, hilang, musnah

   atau berkurang nilainya.

  Objek asuransi diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992. Undang-undang ini menyebutkan bahwa objek asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum serta semua kepentingan lainnnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan atau berkurang nilainya. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa objek asuransi tidak selamanya harus berwujud, tetapi ada juga objek asuransi jumlah yang bukan berupa benda melainkan jiwa atau raga manusia yang terancam peristiwa penyebab kematian atau kecelakaan.

  Objek asuransi jumlah tersebut tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi sejumlah uang diberikan oleh penanggung sebagai santunan apabila peristiwa yang mengancam jiwa dan raga tertanggung terjadi. Penetapan sejumlah uang santunan tersebut hanya untuk tujuan praktis, yaitu untuk memudahkan perhitungan pembayaran santunan yang jumlahnya sudah diatur sebelumnya dalam perjanjian asuransi tersebut ataupun dalam undang-undang.

  Objek asuransi dikenal pula dengan sebutan “kepentingan”. Kepentingan merupakan unsur penting dalam perjanjian asuransi sesuai dengan yang telah diatur dalam Pasal 250 KUHD, dimana disebutkan bahwa apabila pada waktu diadakannya pertanggungan, seorang tertanggung tidak mempunyai suatu kepentingan atas benda yang dipertanggungkan itu, maka penanggung tidak berkewajiban memberi ganti rugi. 22 Abdulkadir Muhammad, op.cit, hlm 87.

  Mengingat pentingnya unsur kepentingan sebagai objek dalam suatu perjanjian asuransi, maka dalam Pasal 268 KUHD juga mengatur mengenai kriteria dari kepentingan dalam suatu perjanjian asuransi, Kriteria tersebut antara lain: a.

  Harus ada dalam setiap asuransi (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250); b. Harus dapat dinilai dengan uang; c. Harus diancam oleh bahaya; d. Harus tidak dikecualikan oleh undang-undang, artinya tidak bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan.

  Tidak adanya kepentingan dapat mengakibatkan tertanggung tidak berhak menuntut penanggung atas pembayaran ganti rugi apabila peristiwa yang diperjanjikan terjadi, walaupun tertanggung telah membayar premi kepada penanggung. Dengan kata lain, setiap asuransi yang diadakan tanpa adanya kepentingan tertanggung dianggap tidak pernah ada sehingga tidak ada hak dan kewajiban yang ditimbulkan oleh asuransi tersebut.

D. Tujuan, Fungsi dan Sifat Asuransi 1.

  Tujuan Asuransi Tujuan dari semua asuransi ialah menutup semua kerugian diderita selaku akibat dari suatu peristiwa yang bersangkutan dan yang belum dapat ditentukan

   semula akan terjadi atau tidak.

23 Wirjono Prodjodikoro, op.cit, hlm 4.

  Menurut Abdulkadir Muhammad, tujuan asuransi secara umum antara

  

  lain sebagai berikut: a.

  Teori Pengalihan Resiko Menurut teori pengalihan resiko (risk transfer theory), tertanggung menyadari bahwa ada ancaman bahaya terhadap harta kekayaan miliknya atau terhadap jiwanya. Tertanggung sebagai pihak yang terancam bahaya merasa berat memikul beban resiko yang sewaktu-waktu dapat terjadi.

  Untuk mengurangi atau menghilangkan beban resiko tersebut, pihak tertanggung berupaya mencari jalan kalau ada pihak lain yang bersedia mengambil alih beban resiko ancaman bahaya dan dia sanggup membayar kontra prestasi yang disebut premi

  Sehingga dapat dikatakan bahwa tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan resiko yang mengancam harta kekayaan atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak itu pula resiko beralih kepada penanggung.

  b.

  Pembayaran Ganti Kerugian Dalam praktiknya tidak senantiasa bahaya yang mengancam itu sungguh-sungguh terjadi. Jika pada suatu ketika sungguh-sungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (resiko berubah menjadi kerugian), maka pada tertanggung yang bersangkutan akan dibayarkan ganti kerugian 24 seimbang dengan jumlah asuransinya.

  Abdulkadir Muhammad, op.cit, hlm 12-16.

  Dalam praktiknya kerugian yang ditimbulkan itu bersifat sebagian (partial loss), tidak semuanya berupa kerugian total (total loss). Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi yang bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sungguh-sungguh dideritanya. Kerugian yang diganti oleh penanggung itu hanya sebagian kecil dari jumlah premi yang diterima dari seluruh tertanggung.

  Berbeda dengan asuransi kerugian, pada asuransi jiwa apabila dalam jangka waktu asuransi terjadi peristiwa kematian atau kecelakaan yang menimpa diri tertanggung, maka penanggung akan membayar jumlah asuransi yang telah disepakati bersama seperti tercantum dalam polis.

  Jumlah asuransi yang disepakati itu merupakan dasar perhitungan premi dan untuk memudahkan penanggung membayar sejumlah uang akibat terjadinya peristiwa kematian atau kecelakaan. Jadi, pembayaran sejumlah uang itu bukan sebagai ganti kerugian, karena jiwa atau raga manusia bukan harta kekayaan dan tidak dapat dinilai dengan uang.

  c.

  Pembayaran Santunan Asuransi kerugian dan asuransi jiwa diadakan berdasarkan perjanjian bebas (sukarela) antara penanggung dan tertanggung (voluntary

  

insurance ). Akan tetapi, undang-undang mengatur asuransi yang bersifat

  wajib (compulsory insurance), artinya tertanggung terikat dengan penanggung karena perintah undang-undang, bukan karena perjanjian.

  Asuransi sejenis ini disebut asuransi sosial (social security

  

insurance ). Asuransi sosial bertujuan melindungi masyarakat dari ancaman bahaya kecelakaan yang mengakibatkan atau cacat tubuh. Dengan membayar sejumlah kontribusi (semacam premi), tertanggung berhak memperoleh perlindungan dari ancaman bahaya. Tertanggung yang membayar kontribusi tersebut adalah mereka yang terikat pada suatu hubungan hukum tertentu yang ditetapkan undang-undang, misalnya hubungan kerja, dan penumpang angkutan umum.

  Jadi, tujuan mengadakan asuransi sosial menurut pembentuk undang-undang adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat, dan mereka yang terkena musibah diberi santunan sejumlah uang.

  d.

  Kesejahteraan Anggota Apabila beberapa orang berhimpun dalam suatu perkumpulan dan membayar kontribusi (iuran) kepada perkumpulan, maka perkumpulan itu berkedudukan sebagai penanggung, sedangkan anggota perkumpulan berkedudukan sebagai tertanggung. Jika terjadi peristiwa yang mengakibatkan kerugian atau kematian bagi anggota (tertanggung), perkumpulan akan membayar sejumlah uang kepada anggota (tertanggung) yang bersangkutan.

  Penyetoran uang iuran oleh anggota perkumpulan (semacam premi oleh tertanggung) merupakan pengumpulan dana untuk kesejahteraan anggotanya atau untuk mengurus kepentingan anggotanya, misalnya bantuan biaya upacara bagi anggota yang mengadakan selamatan, bantuan biaya penguburan bagi anggota yang meninggal dunia, dan biaya perawatan bagi anggota yang mengalami kecelakaan atau sakit.

  Asuransi kesejahteraan seperti ini lebih sesuai apabila dikelola oleh perkumpulan Koperasi atau Usaha Bersama karena sesuai benar dengan asas dan tujuan kedua badan hukum tersebut.

2. Fungsi Asuransi

  Disamping sebagai bentuk pengendalian risiko (secara finansial), asuransi juga memiliki berbagai manfaat yang diklasifikasikan ke dalam beberapa fungsi

  

  sebagai berikut: a.

  Fungsi Utama (Primer) 1)

  Pengalihan Resiko Sebagai sarana atau mekanisme pengalihan kemungkinan resiko atau kerugian (chance of loss) dari tertanggung sebagai ”Original Risk Bearer” kepada satu atau beberapa penanggung (a risk transfer mechanism). Sehingga ketidakpastian (uncertainty) yang berupa kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat suatu peristiwa tidak terduga, akan berubah menjadi proteksi asuransi yang pasti (certainty) merubah kerugian menjadi ganti rugi atau santunan klaim dengan syarat pembayaran premi.

  2) Penghimpun Dana

  Sebagai penghimpun dana dari masyarakat (pemegang polis) yang akan dibayarkan kepada mereka yang mengalami musibah, dana yang 25 dihimpun tersebut berupa premi atau biaya asuransi yang dibayar oleh

  (online). Tersedia di Asuransi Binagriya, Fungsi dan Tujuan Asuransi. (diakses pada tanggal 25 Nopember 2014, pukul 15.00 WIB) tertanggung kepada penanggung, dikelola sedemikian rupa sehingga dana tersebut berkemang, yang kelak akan akan dipergunakan untuk membayar kerugian yang mungkin akan diderita salah seorang tertanggung. 3)

  Premi Seimbang Untuk mengatur sedemikian rupa sehingga pembayaran premi yang dilakukan oleh masing–masing tertanggung adalah seimbang dan wajar dibandingkan dengan resiko yang dialihkannya kepada penanggung (equitable premium). Dan besar kecilnya premi yang harus dibayarkan tertanggung dihitung berdasarkan suatu tarif premi (rate of premium) dikalikan dengan Nilai Pertanggungan.

  b.

  Fungsi Tambahan (Sekunder) 1)

  Export Terselubung (invisible export) Sebagai penjualan terselubung komoditas atau barang-barang tak nyata (intangible product) keluar negeri.

  2) Perangsang Pertumbuhan Ekonomi (stimulus ekonomi)

  Adalah untuk merangsang pertumbuhan usaha, mencegah kerugian, pengendalian kerugian, memiliki manfaat sosial dan sebagai tabungan.

  3) Sarana tabungan investasi dana dan invisible earnings. 4) Sarana pencegah dan pengendalian kerugian.

  3. Sifat Asuransi Asuransi atau pertanggungan di Indonesia sebenarnya berasal dari Hukum

  Barat, baik dalam pengertian maupun dalam bentuknya. Asuransi sebagai bentuk hukum di Indonesia yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

  

  yang mempunyai beberapa sifat sebagai berikut: a.

  Sifat Perjanjian Semua asuransi berupa perjanjian tertentu, yaitu suatu pemufakatan antara dua pihak atau lebih dengan maksud akan mencapai suatu tujuan, dimana seorang atau lebih berjanji terhadap seorang lain atau lebih (Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

  b.

  Sifat Timbal Balik Persetujuan asuransi atau pertanggungan merupakan suatu persetujuan timbal balik (Wederkerige Overeenkomst), yang berarti bahwa masing-masing pihak berjanji akan melakukan sesuatu bagi pihak lain.

  Pihak terjamin berjanji akan membayar uang premi, pihak penjamin berjanji akan membayar sejumlah uang (uang asuransi) kepada pihak terjamin, apabila suatu peristiwa tertentu terjadi.

  c.

  Sifat Konsensual Persetujuan asuransi atau pertangungan merupakan suatu persetujuan yang bersifat konsensual, yaitu sudah dianggap terbentuk dengan adanya kata sepakat antara kedua belah pihak.

  d.

  Sifat Perkumpulan Jenis asuransi yang bersifat perkumpulan (Vereeniging) adalah asuransi saling menjamin yang terbentuk diantara para terjamin selaku 26 anggota. Asuransi seperti ini disebutkan dalam pasal 286 KUHD yang Wirjono Prodjodikoro, op.cit, hlm 10. menyatakan bahwa asuransi itu takluk pada persetujuannya dan peraturannya.

  Perkumpulan asuransi diatur dalam Pasal 1635, 1654 dan 1655 KUHPerdata, yang dapat disimpulkan bahwa perkumpulan asuransi saling menjamin merupakan “Zadelijk Lichaam” yang artinya asuransi dalam masyarakat dapat bertindak selaku orang dan dapat mengadakan segala perhubungan hukum dengan orang lain secara sah.

  Perkumpulan asuransi dapat bertindak ke dalam dan ke luar, yaitu ke dalam dapat mengadakan persetujuan asuransi dengan para anggota selaku terjamin, dan ke luar dengan perbuatan hukum lainnya, persetujuan ini takluk pada ketentuan KUHD, baik dengan anggota sendiri maupun dengan orang lain.

  e.

  Sifat Perusahaan Asuransi yang mengatur sifat perusahaan adalah asuransi secara premi dimana diadakan antara pihak penjamin dan pihak terjamin, tanpa ikatan hukum diantara terjamin dengan orang lain yang juga menjadi pihak terjamin terhadap si penjamin.

  Dalam hal ini pihak penjamin biasanya bukan seorang individu, melainkan suatu badan yang bersifat perusahaan, yang memperhitungkan untung rugi dalam tindakannya. Selain itu, Emmy Pangaribuan mengemukakan bahwa sifat-sifat asuransi

  

  atau pertanggungan yang terkandung dalam Pasal 246 KUHD, ialah: a.

  Bahwa pertanggungan itu pada asasnya adalah suatu perjanjian penggantian kerugian (schadevergoeding atau indemniteitscontract).

  Dalam hal ini jelas bahwa penanggung mengikatkan diri untuk mengganti kerugian karena pihak tertanggung menderita kerugian dan yang diganti itu seimbang dengan kerugian yang sungguh-sungguh diderita.

  b.

  Bahwa pertanggungan itu adalah suatu perjanjian bersyarat, artinya bahwa kewajiban mengganti rugi dari penanggung hanya dilaksanakan kalau peristiwa yang tidak tertentu atas mana diadakan pertanggungan itu terjadi. Jadi pelaksanaan kewajiban mengganti rugi digantungkan pada satu syarat.

  c.

  Pertanggungan adalah suatu perjanjian timbal balik, artinya: bahwa kewajiban penanggung mengganti rugi di hadapkan dengan kewajiban tertanggung membayar premi walaupun dengan pengertian bahwa kewajiban membayar premi itu tidak bersyaratan atau tidak digantungkan pada satu syarat.

  d.

  Bahwa kerugian yang diderita adalah sebagai akibat dari peristiwa tidak tertentu atas mana diadakan pertanggungan. Di sini harus 27 terdapat hubungan sebab dan akibat di antara peristiwa dan kerugian.

  Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan dan Perkembangannya, Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1990, hlm 22-24.

E. Penggolongan Jenis Asuransi

  Jenis usaha perasuransian menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 meliputi Usaha Asuransi dan Usaha Penunjang Usaha Asuransi. Usaha Asuransi dikelompokkan ke dalam 3 jenis, antara lain yaitu : a.

  Usaha Asuransi Kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan resiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti. Perusahaan Asuransi Kerugian hanya dapat menyelenggrakan usaha dalam bidang asuransi kerugian, termasuk reasuransi.

  b.

  Usaha Asuransi Jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan resiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan. Perusahaan Asuransi Jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha dalam bidang asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan diri, dan usaha anuitas, serta menjadi pendiri dan pengurus dana pensiun sesuai dengan peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.

  c.

  Usaha Reasuransi yang memberikan jasa dalam pertangunggan ulang terhadap resiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa. Perusahaan Reasuransi ini hanya dapat menyelenggarakan usaha pertangunggan ulang.

  Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan asuransi hanya dapat menjalankan jenis usaha asuransi yang telah ditetapkan, sehingga tidak ada perusahaan asuransi yang menjalankan usaha asuransi kerugian dan usaha asuransi jiwa secara sekaligus. Demikian juga halnya dengan Perusahaan Reasuransi yang tidak dimungkinkan untuk menjalankan usaha asuransi kerugian maupun usaha asuransi jiwa, artinya hanya dapat menjalankan usaha asuransi ulang.

  Sama halnya dengan Usaha Asuransi, Usaha Penunjang Usaha Asuransi juga terdiri dari beberapa jenis usaha, yaitu: a.

  Usaha Pialang Asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung. Perusahaan Pialang Asuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili tertanggung dalam rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi.

  b.

  Usaha Pialang Reasuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi. Perusahaan Pialang Reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili perusahaan asuransi dalam rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi.

  c.

  Usaha Penilai Kerugian Asuransi yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada objek asuransi yang dipertanggungkan.

  Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha jasa penilaian kerugian atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada objek asuransi kerugian.

  d.

  Usaha Konsultan Aktuaria yang memberikan jasa konsultasi aktuaria.

  Perusahaan Konsultan Aktuaria hanya dapat menyelenggarakan usaha jasa di bidang aktuaria.

  e.

  Usaha Agen Asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama tertanggung.

  Perusahaan Agen Asuransi hanya dapat memberikan jasa pemasaran asuransi bagi satu perusahaan asuransi yang memiliki izin usaha dari Menteri.

F. Berakhirnya Asuransi

  Sebelum membahas mengenai berakhirnya asuransi, dimana yang dimaksud oleh penulis adalah suatu perjanjian asuransi, maka ada baiknya penulis membahas mengenai terjadinya perjanjian asuransi terlebih dahulu. Sebagaimana kita ketahui bahwa setelah perjanjian asuransi dibuat oleh pihak tertanggung dengan pihak penanggung, maka perjanjian itu otomatis mengikat kedua belah pihak. Mengenai terjadinya asuransi kita dapat mempelajarinya melalui 2 (dua) teori perjanjian yang terkenal dalam ilmu hukum. Kedua teori perjanjian tersebut antara lain, yaitu :

1. Teori Tawar-Menawar (Bargaining Theory)

  Menurut teori ini, setiap perjanjian hanya akan terjadi antara kedua pihak apabila penawaran (offer) dari pihak yang satu dihadapkan dengan penerimaan (acceptance) oleh pihak lainnya dan sebaliknya. Ketika ada kecocokan atau kesesuaian antara penawaran dengan penerimaan di antara para pihak maka diharapkan akan menciptakan kesepakatan kedua belah pihak untuk mengadakan perjanjian.

  Keunggulan teori ini adalah kepastian hukum yang diciptakan berdasarkan kesepakatan yang dicapai oleh kedua belah pihak, dimana dalam asuransi kedua belah pihak yaitu penanggung dan tertanggung. Sedangkan kelemahan dari teori ini adalah adanya ketimpangan kedudukan, dimana penanggung selalu berkedudukan lebih kuat daripada tertanggung karena penanggung lebih mengetahui mengenai resiko dan kerugian akibat peristiwa tidak pasti (evenemen) yang mungkin terjadi.

  Meskipun penawaran dan penerimaan dalam suatu perjanjian tidak diatur secara rinci dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992, tetapi kesepakatan yang merupakan hasil dari tawar-menawar tersebut ada diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata sebagai salah satu syarat sah perjanjian. Sehingga unsur tawar- menawar dalam teori ini dapat diterima sebagai faktor terjadinya suatu perjanjian termasuk juga perjanjian asuransi.

2. Teori Penerimaan (Acceptance Theory)

  Menurut teori penerimaan, terjadinya perjanjian bergantung pada kondisi konkret yang dibuktikan oleh perbuatan nyata (menerima) atau dokumen perbuatan hukum (bukti menerima). Melalui perbuatan nyata atau dokumen perbuatan hukum, baru dapat diketahui saat terjadinya perjanjian, yaitu tempat, hari, dan tanggal penerimaan itu dilakukan atau dokumen sebagai bukti penerimaan itu ditandatangani oleh para pihak. Berdasarkan teori penerimaan, perjanjian asuransi terjadi dan mengikat para pihak pada saat penawaran penanggung sungguh-sungguh diterima oleh tertanggung. Sungguh-sungguh diterima artinya tertanggung menerima keseluruhan penawaran tertulis dari penanggung walaupun ia belum membaca atau mengerti isi dari penawaran tersebut dan penerimaan itu dibuktikan oleh tindakan nyata tertanggung, biasanya dengan menandatangani suatu pernyataan yang telah disediakan oleh penanggung yang disebut nota persetujuan (cover

  

note ). Kemudian berdasarkan nota persetujuan tersebut, penanggung membuat

suatu akta perjanjian asuransi yang disebut polis asuransi.

  Keunggulan teori ini adalah saat terjadi dan mengikatnya perjanjian bagi para pihak dapat diketahui dengan jelas dan pasti sehingga mulai dipenuhinya kewajiban dan akibat hukumnya dapat dipastikan. Sedangkan kelemahan teori ini yaitu, setelah pihak tertanggung menyatakan penerimaan dan menandatangani nota persetujuan tersebut maka ia wajib menerima segala konsekuensi yuridis yang tertera dalam nota tersebut meskipun tertanggung sendiri tidak memahami isinya.

  Berdasarkan kedua teori di atas, dapat disimpulkan bahwa asuransi sudah terjadi sejak tercapai kesepakatan antara tertanggung dan penanggung, bahkan

  

  sebelum polisnya ditandatangani. Hak dan kewajiban tertanggung dan penanggung timbul sejak kesepakatan berdasarkan nota persetujuan. Meskipun demikian, keberadaan polis sangat penting yaitu sebagai alat bukti tertulis untuk membuktikan bahwa asuransi telah terjadi. 28 Lihat Pasal 257 KUHD