Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Money Laundering dengan Kejahatan Asal Penipuan (Analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1329K/PID/2012)

  BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hakekatnya manusia hidup untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingannya masing-masing, sedangkan hukum adalah suatu gejala sosial budaya yang berfungsi untuk menerapkan kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan tertentu terhadap individu-individu dalam masyarakat. Apabila hukum yang berlaku di dalam masyarakat tidak sesuai dengan kebutuhan- kebutuhan serta kepentingan-kepentingannya, maka ia akan mencari jalan keluar serta mencoba untuk menyimpang dari aturan-aturan yang ada. Segala bentuk tingkah laku yang menyimpang yang mengganggu serta merugikan dalam kehidupan bermasyarakat tersebut diartikan oleh masyarakat sebagai sikap dan perilaku jahat. Misalnya tindak pidana penipuan.

  Pada umumnya tindak pidana penipuan sudah diatur dalam Pasal 378 sampai dengan Pasal 394 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

  Sebagaimana dirumuskan Pasal 378 KUHP, penipuan berarti perbuatan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau kebohongan yang dapat menyebabkan orang lain dengan mudah menyerahkan barang, uang atau

   kekayaannya.

  Kejahatan yang terjadi tentu saja menimbulkan kerugian-kerugian baik kerugian yang bersifat ekonomi materiil maupun yang bersifat immateriil yang 1 Lihat Pasal 378 sampai dengan 394 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. menyangkut rasa aman dan tenteram dalam kehidupan bermasyarakat. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi kejahatan, namun kejahatan tidak hidup manusia dan perkembangan tekhnologi yang semakin canggih sehingga menyebabkan tumbuh dan berkembangnya pola dan ragam kejahatan yang muncul. Kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan atau menghasilkan harta kekayaan yang sangat besar jumlahnya.

  Harta kekayaan yang berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana tersebut pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan karena apabila langsung digunakan, akan mudah dilacak oleh penegak hukum mengenai sumber diperolehnya harta kekayaan tersebut. Biasanya para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan, terutama ke dalam sistem perbankan. Apalagi didukung oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi telah menyebabkan terintegrasinya sistem keuangan termasuk sistem perbankan dengan menawarkan mekanisme lalu lintas dana dalam skala nasional maupun internasional dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.

  Keadaan demikian dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal usul dana yang diperoleh dari hasil illegal yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Pada umumnya perbuatan demikian merupakan dana dari hasil tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang beberapa dekade ini mendapatkan perhatian ekstra dari dunia internasional, karena dimensi dan implikasinya yang melanggar batas-

   batas Negara.

  pun sangat besar bagi kelangsungan perekonomian, sosial dan budaya suatu bangsa. Sehingga tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang oleh banyak kalangan dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary

  

crime ) sehingga keduanya mempunyai pengaturan khusus dalam sistem

  perundang-undangan. Bagaimanapun bentuknya, perbuatan-perbuatan pidana itu

   bersifat merugikan masyarakat dan anti sosial.

  Pencucian uang (Money Laundering) adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana at melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.

  Pendapat lain yang berkembang menyatakan bahwa money laundering adalah suatu cara atau proses untuk mengubah uang yang berasal dari sumber ilegal (haram) sehingga menjadi halal. Dalam Undang –undang Republik Indonesia Nomor. 8 tahun 2010 disebutkan bahwa Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur –unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang–undang ini, dengan hasil tindakk pidana berupa harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana asal sebagai mana disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) yaitu: 2 Adrian Sutedi. Tindak Pidana Pencucian Uang, ctk. Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 1. 3 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, ctk. Kedelapan, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 3.

  Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan harta kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh karena itu, tindak pidanatidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi- sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

   Pencucian Uang umumnya dilakukan melalui tiga langkah tahapan:

  langkah pertama yakni uang/dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana/kejahatan diubah ke dalam bentuk yang kurang atau tidak menimbulkan kecurigaan melalui penempatan kepada sistem keuangan dengan berbagai cara (tahap penempatan/placement); langkah kedua adalah melakukan transaksi keuangan yang kompleks, berlapis dan anonim dengan tujuan memisahkan hasil 4

  http://id.wikipedia.org/wiki/Pencucian_uang diakses pada hari sabtu, jam. 5:32, tanggal 8 Maret 2014. tindak pidana dari sumbernya ke berbagai rekening sehingga sulit untuk dilacak asal muasal dana tersebut yang dengan kata lain menyembunyikan atau pelapisan/layering); langkah ketiga (final) merupakan tahapan di mana pelaku memasukkan kembali dana yang sudah kabur asal usulnya ke dalam harta kekayaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegaiatan bisnis yang sah ataupun untuk membiayai kembali kegiatan

   tindak pidana (tahap integrasi).

  Didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana di mana pencucian uang dibedakan dalam tiga tindak

  

   1. yaitu Setiap Orang yang

  Tindak pidana pencucian uang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindasebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau

  5

iakses pada hari sabtu, jam.

  5:32, tanggal 8 Maret 2014. 6 Pasal 4 dan 5 Undang –undang nomor 8 tahun 2010, “tentang tindak pidana pencucian uang “. menyamarkan asal usul harta kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).

  Tindak pidana pencucian uangyang dikenakan kepada setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang- undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8 Tahun 2010).

  3. Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.

  Undang–undang Pencegahan dan pembrantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mengatur 25 (dua puluh lima) tindak pidana asal (predicate crime) tindak pidana pencucian uang. Hasil Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun

  

  2010 yaitu sebagai berikut: Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.(2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi terorisme, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.

  (Indonesian

  

Financial Transaction Reports and Analysis Center/INTRAC ) sebagaimana

  dimandatkan dalam UU RI No. 8 Tahun 2010 adalah lembaga independen dibawah Presiden Republik Indonesia yang mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang serta mempunyai fungsi sebagai

  

  berikut: 1. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang; 2. pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK; 3. pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan 4. analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi

  Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau 7 tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

  Undang –Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pembrantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 8 Pasal 2

H. Juni Syafrien Jahja, Melawan Money Laundering, Mengenal, Mencegah dan

  Membrantas Tindak Pidana Pencucian Uang, ( Jakarta Selatan Transmedia, 2012.) Hal. 15-16

  Dalam pergaulan global di masyarakat internasional, PPATK dikenal sebagai Indonesian Financial Intelligence Unit yang merupakan unit intelijen keuangan dalam rezim Anti Pencucian Uang dan Kontra Pendanaan Terorisme (AML/CFT Regime) di Indonesia. PPATK merupakan anggota dari yakni suatu asosiasi lembaga FIU di seluruh dunia dalam rangka mewujudkan dunia internasional yang bersih dari tindak pidana pencucian uang

   dan pendanaan terorisme sesuai standar-standar terbaik internasional.

  Dalam perkembangannya, tindak pidana pencucian uang semakin kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor. Untuk mengantisipasi hal itu, Financial Action

  

Task Force (FATF) on Money Laundering telah mengeluarkan standar

  internasional yang menjadi ukuran bagi setiap negara/jurisdiksi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme yang dikenal dengan Revised 40 Recommendations dan 9 Special

  

Recommendations (Revised 40+9) FATF , antara lain mengenai perluasan Pihak

  Pelapor (Reporting Parties) yang mencakup pedagang permata dan

  

  perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan bermotor. Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral agar intensitas tindak pidana yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar 9

   diakses pada hari selasa, jam 4, tanggal 3 Juni 2014. 10 diakses pada hari selasa, jam 4, tanggal 3 Juni 2014. dapat diminimalisasi. Penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah yang positif. Hal itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga

   penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif.

  Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal, antara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana Undang-Undang ini. Untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar internasional, perlu disusun Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana 11

   diakses pada hari selasa, tanggal 25 Maret 2014, jam 16.30wib Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor

  Materi muatan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, antara lain:

   1.

  redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang;

  2. penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang; 3. pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif;

  4. pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa; 5. perluasan Pihak Pelapor; 6. penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya;

  7. penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan; 8. pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda transaksi;

  9. perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean; 10. pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana pencucian uang;

  11. perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK;

  12. penataan kembali kelembagaan PPATK; 13. penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara Transaksi;

  14. penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana pencucian uang; dan

  15. pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana.

  Lahirnya Undang–undang Tindak Pidana Pencucian Uang memberi peluang bagi penegakan hukum terhadap aktor–aktor intelektual dengan

  diakses pada hari selasa, tanggal 25 Maret 2014, jam 16.30 wib menekankan penyelidikan pada aliran uang yang dihasilkan melalui praktik pencucian uang, dan juga memberikan landasan berpijak yang kokoh bagi aparat merencanakan kejahatan seperti predicat crimes dengan melakukan penyelidikan dan penyelidikan terhadap aliran uang yang mendanai suatu tindak kejahatan.

  Kejahatan pencucian uang (money laundering) belakangan ini semakin memdapat perhatian khusus dari berbagai kalangan. Upaya penanggulangannya dilakukan secara nasional, regional dan global melalui kerja sama antar negara. Gerakan ini disebabkan maraknya pencucian uang, padahal belum banyak negara yang belum menyusun sistem untuk memerangi atau menetapkannya sebagai

   kejahatan.

  Pencucian uang pada dasarnya merupakan upaya memproses uang hasil kejahatan denga bisnis yang sehingga uang tersebut bersih atau tampak sebagai uang halal. Dengan demikian asal-usul uang itupun tertutupi. Pencucian uang secara umum dapat diartikan sebagaii suatu tindakan atau perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh organisasi kejahatan (crime

   organization ), maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan

  narkotika dan tindakan pidana lainnya sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pembrantasan tindak pidana pencucian uang. Dimana tindakan tersebut bertujuan 13 Philiprs Darwin, Money Laundering, cara Memahami dengan Tepat dan Benar Soal

  Pencucian Uang (Sinar Ilmu, tahun 2012) hal. 9 14 Ibit, hal. 10

  menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang haram tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang sah.

  Husein mengatakan per 30 November tercatat sekitar 44.708 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LKTM) dan diantara adalah tindak pidana penipuan.

  Menurut dia, sebagai unit intelijen keuangan, PPATK sudah menerima laporan dan meneruskan laporan itu kepada penegak hukum. Menurut Yunus, pantauan itu berasal dari sekitar 8 juta transaksi yang diawasi. "Lintas negara yang diterima dari Bea dan Cukai ada 4000-an dan kasus yang sudah dilaporkan ada 1000," kata Yunus dalam penandatanganan nota kesepahaman Departemen Keuangan dengan

   KPK, PPATK, dan Komisi Yusdisial, di Jakarta, Kamis 3 Desember 2009.

  Tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam pasal 378 Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindak pidana penipuan sebagai kejahatan asal juga diatur dalam pasal 2 ayat (1) huruf “r” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pembrantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Penipuan berarti perbuatan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau kebohongan yang dapat menyebabkan orang lain dengan mudah menyerahkan barang atau harta

   kekayaannya.

  Tindak pidana penipuan dalam bentuk pokok (oplichting) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 378 KUHP, yaitu:

  akses pada hari kamis jam 24 WIB, tanggal 26 Juni 2014. 16 Lihat Pasal 378 Undang-undang Hukum Pidana.

  “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.”

  Tindak pidana dengan menggunakan nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal maupun tipu muslihat merupakan suatu nama yang bukan nama pelaku yang digunakan si pelaku dan bila ditanyakan kepada orang-orang yang secara nyata kenal dengan pelaku, maka orang-orang tidak mengenal nama

  

  tersebut. Pemakaian nama palsu terjadi apabila seseorang menyebut nama yang bukan namanya dan dengan demikian menerima barang yang harus diserahkan

  

  kepada orang yang namanya disebutkan tadi. Tindak pidana dengan menggunakan tipu muslihat adalah suatu tindakan, baik melalui serangkaian kata- kata, maupun melalui suatu perbuatan sedemikian rupa, sehingga tindakan tersebut menimbulkan kepercayaan terhadap orang lain (korban). Sedangkan rangkaian kebohongan adalah rangkaian kata-kata dusta atau kata-kata yang bertentangan dengan kebenaran. Kata-kata ini memberikan kesan seolah-olah apa yang dikatakan itu adalah benar adanya.

  Menurut HAK. Moch. Anwar, pada rangkaian kata-kata bohong disyaratkan harus terdapat beberapa kata bohong yang diucapkan. Satu kata bohong saja dianggap tidak cukup sebagai alat penggerak atau pembujuk. Rangkaian kata bohong yang diucapkan ini tersusun secara baik membentuk suatu cerita yang dapat diterima secara logis dan benar. Jadi kata-kata itu tersusun 17 18 Ibid., Hal. 633

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung:

  Refika Aditama, 2003, Hlm. 39.

  

  sehingga kata yang satu menguatkan kata-kata yang lainnya. Peristiwa dengan menggunakan kata-kata bohong telah terjadi pada tahun 2005 yaitu, tindak dihandphone antara Henry Dumanter Tampubolon (saksi) dengan Dokter Silvi Lorenza (terdakwa), dan dalam percakapan tersebut antara terdakwa dan saksi sepakat hendak berkenalan langsung dan bertemu disebuah Joglo (warung makan) yang terletak di jalan H.M. Joni Medan, namun saat waktu yang dijanjikan ternyata pertemuan tersebut tidak terlaksana karena masing –masing punya kesibukan.

  Dalam percakapan dihandphone berikutnya bahwa bila mana saksi ingin mengetahui wajah terdakwa, ianya ada menitipkan fotonya pada seorang prempuan pegawai Joglo yang ciri–cirinya berbadan paling gemuk (gendut), mendengar demikian maka saksi menemui seorang prempuan penjaga joglo di Jl.

  H.M. Joni Medan yang sesuai dengan ciri–ciri badan yang diterangkan oleh terdakwa, setelah bertemu maka saksi berkenalan dengannya yang ternyata orang tersebut adalah mengaku bernama Lenni Damayanti br. Manalu (terdakwa). Saksi langsung menanyakan foto yang telah dititipkan terdakwa dan selanjutnya menyerahkan satu foto kepada saksi dan memberikan imbalan kepada terdakwa sebesar Rp.10.000,-(sepuluh ribu rupiah), setelah foto dengan gambar seorang prempuan berada dalam penguasaannya maka saksi membawanya dan menyimpannya serta meninggalkan terdakwa dan menuju rumahnya yang tidak jauh dari tempat tersebut. 19 Ibid., Hal. 41

  Sekitar pukul 8.00 WIB tahun 2005 pada hari selasa tanggal 26 Juni terdakwa yang mengaku dirinya bernama Dokter Silvi Lorenza menghubungi menangis dan menerangkan bahwa ianya telah dijambret di Bandara Polonia Medan dan meminta kepada saksi untuk dipinjamkan uang sebesar Rp. 600.000,- (enam ratus ribu rupiah) dan uang tersebut supaya dititipkan saja pada terdakwa Lenni Damayanti, mendengar demikian saksi merasa iba dan akhirnya menyerahkan uang tersebut.

  Sejak saat itu antara saksi dengan terdakwa tersebut terus berkomunikasi dan terus melakukan penipuan dengan berbagai alasan yang bisa menarik perhatian saksi supaya mengirimkan uang kepada terdakwa. Hingga sampai 14 April 2011 dan telah mengirimkan uang kepada terdakwa sebesar Rp.7.000.000.000,- (tujuh miliyar rupiah). Permasalah tersebut diataslah yang membawa terdakwa kepengadilan Negeri Lubuk Pakam.

  Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor. 1286/Pid.B/2011/PN.LP .Atas nama terdakwa Lenni Damayanti Br. Manalu didakwa melakukan tindak pidana yang diatur dan diancam dalam pasal 378 KUHP jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP. Pasal 372 KUHP jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP, pasal 3 Undang–Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Unang jo. Pasal 64 ayat 1 KUHP. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Lenni Damayanti br Manalu dengan pidana sebelas (11) tahun penjara dikurangi dengan masa tahanan yang dijalaninya, dan denda sebesar Rp.5.000.000.000,- (lima miliyar rupiah) subsider selama 6 (enam) bulan kurungan. Memerintahkan supaya baramg bukti berupa: 1 (satu) kalung dan mainan salib mata putih yang ditaksir emas (17) seberat 13,48 gram, 1 (satu) ditaksir emas (15) seberat 4,84 gram, 1 (satu) cincin mata putih yang ditaksir emas (14) seberat 4,32 gram, 1 (satu) gelang rantai kosong ditaksir emas (17) seberat 15,50 gram, 1 (satu) gelang roll setengah ukir mata putih yang ditaksir emas (15) seberat 14,48 gram, 1 (satu) unit handpone merk Nokia, tambahan untuk membeli 1 (satu) unit mobil merk Daihatsu Xenia batu dari perusahaan PT. Astra Daihatsu Motor, warna silver metalik tahun pembuatan 2007 dengan Nomor Polisi BK- 1651-HP atas nama Drs. Edison Manalu (orangtua kandung terdakwa) sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), 1 (satu) unit sepeda motor merk Honda Supra Fit baru dari perusahaan PT. Astra Honda Motor, warna hitam tahun pembuatan 2007 dengan Nomor Polisi BK-2940-UW atas nama Lenni Damayanti Manalu, sebesar Rp.6.800.000,- (enam juta delapan ratus ribu rupiah), 1 (satu) bidang tanah yang terletak di Jalan Menteng VII Gang Sepakat Nomor 02 Kelurahan Medan tenggara Kecamatan Medan Denai Kotamadya Medan seluas 377 M2, sesuai dengan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah Dengan Ganti Rugi Nomor 02 tanggal 16 Juli 2010 yang dibuat oleh Notaris Ida Mariani, SH. dan bangunan rumah mewah dua lantai yang berdiri diatasnya yang ditaksir seharga ± Rp.1.300.000.000,- (satu milyar tiga ratus juta rupiah) atas nama Drs. Edison Manalu (orangtua kandung terdakwa).

  Hasil yang telah diperoleh terdakwa berhubungan dengan perbuatan pidananya tersebut, telah dipergunakan untuk dibelanjakan beberapa barang atau benda-benda kebutuhan saksi Henry Dumanter Tampubolon, dan juga telah dibelanjakan terdakwa untuk membeli benda-benda yang telah ditempatkan gelang, 1 (satu) buah cincin, 1 (satu) buah kalung, 1 (satu) pasang sepatu, 2 (dua) pasang sendal, beberapa buah kemeja dan kaos oblong, 1 (satu) unit handphone merk Blackberry type Torch, 2 (dua) buah bed cover, 1 (satu) pasang bantal guling, 1 (satu) buah gelas ukuran besar, 1 (satu) botol farfum merk Etinekner, 1 (satu) unit sepeda gunung merk Wim Cycle, 1 (satu) unit Televisi Flat merk LG 32 inchi, 1 (satu) unit Dispenser merk Sanken, 1 (satu) unit Dispenser merk Miyako ditambah dengan 1 (satu) buah galon, 1 (satu) unit Kulkas merk Uchida, 1 (satu) unit Kulkas box merk Sharp, 1 (satu) unit Magic Com merk Young Ma.

  Keselurahannya dirampas untuk diserahkan kepada sdr. Henri Dumanter Tampubolon.

  Putusan Pengadilan Tinggi Medan No.50/PID/2012/PT.MDN menyatakan Terdakwa Lenni Damayanti br. Manalu tesebut diatas telah terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana; Menetapkan melepaskan Terdakwa Lenni Damayanti br. Manalu dari segala tuntutan hukum ONTSLAG VAN

RECHTSVERVOLGING ; Memerintahkan agar Terdakwa Lenni Damayanti br.

  Manalu dibebaskan seketika dari Tahanan; Menetapkan “Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukkan, dan harkat serta martabatnya”; dan mengembalikan seluruh barang bukti yang telah dirampas dari Lenni Damayanti br. Manalu.

  Dalam permasalahan kasus ini, dimana pengadilan Lubuk Pakam memutus terdakwa dengan pasal 3 Undang –Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pengadilan Lubuk Pakam tersebut membuat terdakwa tidak merasa puas dan

  

  melakukan upaya hukum banding . Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 50/PID/2012/PT.MDN menyatakan terdakwa bebas dari tuntutan hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging), karena hakim salah menerapkan hukum dan memerintahkan terdakwa dibebaskan seketika dari tahanan. Putusan pengadilan Tinggi Medan tersebut telah disampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam sehingga Jaksa Penuntut Umum melakukan permohonan Kasasi yang akhirnya permohonan kasasi tersebut telah diterima.

  Putusan Mahkamah Agung Nomor. 1329 K/Pid/2012 menyatakan terdakwa bersalah yang dalam hal ini menguatkan putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam.

  Berdasarkan uraian yang telah dikemukan di atas, penulis tertarik dan terdorong untuk membahas persoalan ini menjadi sebuah penelitian tesis yang berjudul “Penerapan hukum pidana terhadap pelaku Money Laundering

  

dengan kejahatan asal penipuan (Analisis terhadap Putusan Mahkamah

Agung Nomor: 1329K/PID/2012.)”

20 Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan

  

pengadilan yang dapat berupa banding dan kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan

permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan dalam hal-hal serta menurut cara –

cara yang diatur dalam undang –undang. Lihat redaksi Asa Mandiri, Pedoman Pelaksanaan

KUHAP , (Jakarta: Penerbit Asa Mandiri, 2007), hal. 17

  B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka permasalahan yang 1.

  Bagaimana pengaturan hukum tindak pidana penipuan sebagai kejahatan asal menurut Undang–Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang? 2. Bagaimana penegakan hukum pidana oleh hakim terhadap kasus tindak pidana pencucian uang dengan kejahatan asal penipuan dalam Putusan Mahkamah

  Agung Nomor: 1329K/PID/2012.)?

  C. Tujuan Penelitian 1.

  Untuk mengetahui pengaturan hukum tindak pidana penipuan sebagai kejahatan asal menurut Undang –Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pidana Pencucian Uang.

  2. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana oleh hakim judex factie terhadap kasus tindak pidana pencucian uang dengan kejahatan asal penipuan dalam Putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1329K/PID/2012.

  D. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini memberikan beberapa manfaat yang berguna baik manfaat secara teoritis dan juga manfaat secara praktis anatara lain:

1. Manfaat secara teoritis

  Penelitian ini dapat menambah, memberikan dan menyumbang bagi para pembentuk undang –undang (legislatif), pemerintah (eksekutif) dan bagi akademis untuk pengembangan teori ilmu hukum khususnya hukum pidana dan peraturan perundang–undangan dalam hal tindak pidana pencucian uang, demi mencapai perlindungan dan kesejahteraan rakyat.

  Manfaat secara praktis Secara praktis tulisan ini dapat refrensi pemikiran kepada aparat penegak

  

  hukum dalam hal ini polisi, jaksa, hakim dan advokat sebagai aparat yang secara langsung potensial berhadapan dengan kasus–kasus serupa, tetapi tanpa mengurangi nilai mamfaatnya bagi pemangku/pemerhati kepentingan.

E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan pengamatan dan penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pasca Sarjana, bahwa penelitian yang berjudul “Penegakan hukum pidana pencucian uang dengan kejahatan asal tindak pidana penipuan (analisis terhadap putusan Putusan

  

Mahkamah Agung Nomor: 1329K/PID/2012, tidak menemukan judul tesis yang

  sama atau kemiripan judul dan permasalahan yang sama sebagaimana penelitian ini. Beberapa judul tesis terdahulu yang membahas seputar tindak pidana pencucian uang yaitu: 1.

  Andry Mahyar, dengan judul “ Tinjauan Yuridis Peran Pusat Pelaporan dan analsis Transaksi keuangan (PPATK) dalam mencegah dan membrantas tindak pidana pencucian uang” 2. Yovita Morina dengan judul “penerapan sanksi pidana terhadap pelaku 21 pasif dalam tindak pidana pencucian uang”

  Berdasarkan pasal 5 ayat (1) Undang –undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

menyatakan: 1) Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh

hukum dan peraturan perundang –undangan.

3. Daniel Simamora “analsis yuridis Kejahatan Perbankan Sebagai Predicat

  Crime dalam tindak pidana pencucian uang”

  Robinson Smatupang “Efektifitas Pembuktian terbalik Tindak Pidana Pencucian Uang”

  Meskipun demikian, substansi permasalahan dan penyajian dari penelitian ini memiliki perbedaan dengan tesis –tesis tersebut diatas. Hal ini sangat logis mengingat objek penelitian tesis ini adalah spesifik Putusan Pengadilan Putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1329K/PID/2012, Oleh karena itu, judul dan substansi pembahasan permasalahan penelitian ini, otentiknya tergaransi dan jauh dari unsur plagiat.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir–butir pendapat, teori mengenai suatu kasus atau permasalahan (problema) yang menjadi bahan

  

  pertimbangan, pegangan teoritis. Kerangka teori merupakan landasan berpikir yang digunakan untuk mencari pemecahan suatu masalah. Setiap penelitian membutuhkan titik tolak atau landasan untuk memecahkan dan membahas masalahnya, untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok–pokok

   pikiran yang menggambarkan dari mana masalah tersebut di amati.

  Selain itu, teori bisa dipergunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Oleh karena itu, kegunaan teori hukum dalam penelitian 22 23 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung, Mandar Maju,1994), hal. 80 Hadari Nawawi, “ Metode penelitian Bidang Sosial” (yogyakarta: Universitas Gajah

  Mada Press, 2003), hal. 39-40 sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang

   diajukan dalam masalah penelitian.

  

  

   Hukum dapat terdiri dari hukum tertulis dan tidak tertulis . Proses untuk

  mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi suatu kenyataan disebut

  

  sebagai penegakkan hukum. Penegakkan hukum adalah suatu proses dilakukannya upaya penerapan norma-norma hukum secara nyata agar hukum dapat berfungsi dan ditegakkan sebagai pedoman perilaku dalam hubungan- hubungan hukum dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, baik oleh masing- masing warga negara maupun aparat penegak hukum yang mempunyai tugas dan

  

  wewenang berdasarkan undang-undang Penelitian ini berkaitan dengan proses penegakkan hukum pidana terhadap pelanggaran norma-norma hukum pidana khususnya tindak pidana penipuan dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU). Tidak ada hukuman tanpa kesalahan 24 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, “Dualisme Penelitian Hukum Normatif

  dan Emperis”, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2004), hal. 16 25 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 2001), hal.16 26 Umumnya hukum tertulis itu tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

  Undang –undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang –undang pada

  pasal 1 angka (2) disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang

memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk dan ditetapkan oleh lembaga

negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapakan dalam peratuan perundang-undang. Sedangkan pasal 7 ayat (1) disebutkan: jenis dan hirarki peraturan perundang- undangan terdiri atas: a. UUD RI 1945, b. TAP MPR, c. UU/Perpu, d. Peraturan pemerintah, e. Peraturan presiden, f. PERDA, g. Peraturan daerah Kabupaten/kota. 27 Hukum tidak tertulis (unstatutery law) yaitu hukum yang dalam kenyataan masih hidup dalam keyakinan dan pergaulan masyarakat tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati (living

law ). Lihat C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Balai

Pustaka, 1986), hlm. 70. Bandingkan dengan Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum , (Medan:CV. Cahaya Ilmu, 2006), hal. 127. 28 Satjipto Rahardjo, Penegakkan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 24. 29 Frans. H. Winarta, Evaluasi Peranan Profesi Advokat Dalam Pemberantasan Korupsi, dimuat dalam Majalah Desain Hukum, Vol. 11 No.10, Edisi November-Desember, 2011,hal.17. merupakan asas penting dalam hukum pidana untuk sampai kepada penjatuhan hukuman bagi seorang yang didakwa melakukan tindak pidana. Kesalahan pidana, tetapi haruslah dibuktikan terlebih dahulu, karena itu untuk sampai kepada pemidanaan maka pembuktian terhadap kesalahan itu haruslah terlebih dahulu dilakukan. Mengingat itu maka teori pembuktian beserta teori kesalahan dan teori kesalahan dan teori kesalahan korban memiliki relevansi yang urgen dengan penelitian ini.

30 M. Yahya Harahap menulis bahwa “pembuktian merupakan masalah

  yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui

  

  pembuktian ditentukan nasib terdakwa”. Secara lebih umum, tulis R. Subekti, fungsi pembuktian memiliki arti penting atau hanya diperlukan jika terjadi persengketaan atau perkara di pengadilan.

  Pembuktian (proof) dapat diartikan sebagai penetapan kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti, baik yang ditentukan oleh undang-undang, maupun diluar undang-undang sedangkan bukti (bewijs: evidence) yaitu hal yang menunjukkan kebenaran, yang diajukan oleh penuntut umum, atau terdakwa, untuk kepentingan

   pemeriksaan di sidang pengadilan.

30 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

  Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar- Grafika, 2006), (selanjutnya disingkat M.Yahya Harahap I), hal. 273. 31 32 R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), hal.7 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), (selanjutnya disingkat Andi Hamzah I), hal.27.

   Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pembuktian diartikan sebagai:

  1) proses, cara, perbuatan atau cara membuktikan; 2) usaha menunjukkan benar diartikan sebagai: 1) memperlihatkan bukti, meyakinkan dengan bukti; 2) menyatakan kebenaran sesuatu dengan bukti; 3) menyaksikan dan bukti adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran kebenaran suatu peristiwa, keterangan nyata.

  Arti alat bukti dengan demikian adalah alat yang berguna untuk menyatakan kebenaran suatu peristiwa.

  Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan dan merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa dan juga ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim

  

  membuktikan kesalahan yang didakwakan. Pembuktian merupakan perbuatan membuktikan. Membuktikan berarti memberi atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan,

   dan meyakinkan.

   Pengertian pembuktian dalam ilmu hukum secara lebih luas sebagaimana

  

  yang dinyatakan oleh Munir Fuady adalah: 33 34 Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit,hal.217-218. 35 M.Yahya Harahap I, Loc.Cit.

  Soedirjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1985), hal. 47. 36 Ilmu hukum atau disebut juga ajaran hukum (rechtsleer) atau disebut juga dogmatic hukum yaitu mempelajari hukum positif (jus constitutum) atau hukum yang berlaku disuatu tempat dan pada wkatu sekarang, Ilmu hukum adalah teorinya hukum positif atau teorinya praktik hukum.

Ilmu hukum bersifat normatif dan mengandung nilai serta bersifat praktis-konkrit. Sedangkan Suatu proses, baik dalam acara perdata, acara pidana, maupun acara- acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu.

  Merujuk uraian diatas dapat diketahui bahwa ada perbedaan prinsipil antara bukti, membuktikan dan pembuktian yaitu bahwa bukti merujuk pada alat

  

  bukti termasuk barang bukti yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa sementara pembuktian dan membuktikan merujuk pada suatu proses atau cara untuk mengumpulkan bukti, memperlihatkan bukti sampai pada penyampaian

   bukti tersebut di sidang pengadilan.

  Hukum yang mengatur perihal alat bukti, pembuktian dan membuktikan disebut sebagai hukum pembuktian. Hukum pembuktian merupakan terminologi universal sehingga merupakan pengertian dan penggunaannya sifatnya umum dalam seluruh lapangan hukum baik hukum pidana, hukum perdata maupun

  

  hukum administrasi. Menurut Munir Fuad pembuktian merupakan salah satu bidang hukum yang cukup tua umurnya, dan karena alasan rasa

  Teori Hukum adalah teorinya ilmu Hukum, atau dengan kata lain Ilmu Hukum adalah objek Teori Hukum. Lihat Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal. 3. 37 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), (Bandung PT. Citra Aditya Bakti,2006), hal. 1-2. 38 Pengertian barang bukti dalam praktek berbeda dengan pengertian alat bukti. Alat bukti adalah alat yang secara tegas diatur dalam undang-undang sebagai alat yang dapat dipergunakan

untuk menyatakan keterbuktian suatu perbuatan yang dituduhkan atau sebagai penyangkalan sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Sedangkan barang bukti adalah barang-

barang apapun jenisnya yang umumnya dijadikan oleh seseorang sebagai alat/sarana melakukan kejahatan misalnya pisau atau senjata api yang dipergunakan untuk melakukan pembunuhan atau kenderaan untuk mengangkut ganja, atau sesuatu sebagai hasil kejahatan, maka pisau, senjata api, kenderaan dan ganja kesemuanya merupakan barang bukti. 39 Eddy O.S, Hariej, Teori & Hukum Pembuktian, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012), hal.4. 40 Munir Fuady, Op.Cit, hal. 9. keadilan serta motivasi mencari kebenaran yang dimiliki manusia betapapun primitifnya kemudian menimbulkan hukum pembuktian guna menghindari pada umumnya tidak kedap terhadap segala dinaminasi (perobahan, pergerakkan dan perkembangan) kehidupan manusia, maka itulah sebabnya salah satu karakter hukum pembuktian adalah bahwa hukum pembuktian merupakan suatu cabang ilmu hukum yang sangat technology oriented sehingga perkembangan tehnologi memberikan dampak langsung terhadap perkembangan pembuktian di

  

  pengadilan. Pembuktian saintifik dengan mempergunakan tes DNA, mesin polygraph (lie detector), mikroskop, sidik jari dan data optic misalnya merupakan bagian tehnologi yang sekarang diterima dalam pembuktian di pengadilan. Munir

42 Fuady, menulis bahwa hukum pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum

  

  yang mengatur tentang pembuktian. Eddy O.S. Hariej mendefenisikan hukum pembuktian sebagai “ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan beban pembuktian”. Bambang Purnomo sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiarej mendefenisikan hukum pembuktian sebagai keseluruhan aturan hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekonstruksi suatu kenyataan yang benar pada setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap barang bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan 41 42 Ibid, hal.8. 43 Ibid, hal.1.

  Eddy O.S, Hariej, Op.Cit, hlm. 5.

  

  dalam perkara pidana. R.Wiyono menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara untuk

   menjatuhkan suatu putusan.

  Menurut teori hukum pembuktian agar suatu alat bukti dapat dipakai

  

  sebagai alat bukti di persidangan harus dipenuhi beberapa syarat yaitu: 1.

  Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.

  2. Reliability, yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misalnya tidak palsu)

  3. Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.

  4. Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan. Hukum pembuktian bergerak untuk membuktikan kebenaran sesuatu yang dalam bidang hukum pidana berarti untuk membuktikan kebenaran sesuatu atau menyangkal peristiwa yang didakwakan. Ketika kebenaran yang ingin dicari telah ditemukan berdasarkan alat bukti dan pembuktian (misalnya peristiwa pidana yang didakwakan terbutk telah terjadi dan terdakwalah sebagai pelakunya) maka tahapan selanjutnya yang harus dipertimbangkan adalah perihal pertanggungjawaban pidana.

  Kesalahan diperlukan sebagai indikator guna menentukan dapat tidaknya seseorang pelaku tindak pidana dijatuhi pidana sehingga kesalahan itu akan selalu terkait dengan pertanggungjawaban pidana. Chairul Huda menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana terutama dipandang sebagai bagian pelaksanaan tugas 44 45 Ibid R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Sinar Grafika,

  2007), hal.148. 46 Munir Fuady, Op.Cit, hlm.4.

   hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara.

  Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan–alasan terlihat dari ketentuan pasal 44 KUHP.