BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang - Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terdaftar Dikaitkan Dengan Undang-Undang Kepabeanan

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Merek sebagai salah satu hak milik intelektual mempunyai peranan yang
sangat penting dalam kehidupan ekonomi, terutama di bidang perdagangan barang.
Untuk membedakan suatu produk yang lain yang sejenis dalam satu kelompok
kegiatan perdagangan itu sendiri sangat erat hubungannya dengan kegiatan
produksi. Oleh karena pembahasan tentang perlindungan atas suatu jenis produk
melalui mereknya menjadi suatu telaah yang sangat menarik.
Pelaksanaan perlindungan hak merek sangat dibutuhkan disebabkan
perkembangan jaman yang sedemikian cepat. Hal ini dibuktikan dengan perubahan
hak merek yang sedemikian cepat, dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992
tentang Merek, selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek. Dan
selanjutnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek digantikan dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Perubahan yang sedemikian cepat
menandakan bahwa dalam menyambut era globalisasi maka pengaturan dan
perlindungan merek menjadi amat penting.
Undang-undang merek yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek (selanjutnya di sebut UU Nomor 15 Tahun 2001 ) dapat

melindungi setiap merek dagang, merek jasa serta merek kolektif. Dan tidak ada
permohonan pendaftaran merek dagang dapat didaftar apabila permohonan
pendaftaran merek dagang tersebut tidak mempunyai perbedaan, atau merek
dagang tersebut adalah milik umum atau permohonan merek dagang tersebut
adalah suatu indikasi atau informasi tentang barang atau jasa.
Sebuah merek adalah sebuah bidang yang abstrak, dikatakan demikian
karena pemegang hak merek dagang atas suatu barang hanya memiliki sertifikat
atas hak merek dagangnya tersebut. Pentingnya
merek dalam dunia perdagangan
1
adalah untuk memberikan tanda tentang produksi suatu barang tersebut pihakpihak mana saja yang terlibat, sehingga ditemukan prakteknya di dalam
masyarakat bahwa masyarakat terkadang hanya percaya pada satu jenis merek dari
suatu jenis produksi perusahaan.
Dalam Konvensi Paris dalam Pasal 9 memuat ketentuan yang
memungkinkan barang-barang yang memakai merek dagang secara tidak sah yang
dimiliki warga negara peserta Konvensi Paris, bisa disita pada waktu diimpor
masuk negara lain peserta lain atau sekurang-kurangnya diadakan larangan

8QLYHUV LWDV 6 XPDWHUD8WDUD


terhadap impor barang-barang termaksud. Apabila ada indikasi yang palsu tentang
sumber-sumber barang bersangkuatan atau tentang identitas dari orang yang
membuatnya atau pedagang barang itu dapat dilakukan tindakan serupa.
Peraturan Kepabeanan di Indonesia juga memuat mekanisme hukum untuk
melindungi merek. Ketentuan pada Bab X Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995
tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995
Tentang Kepabeanan (selanjutnya disebut UU Kepabeanan), memuat tentang
larangan pembatasan impor atau ekspor serta pengendalian impor dan ekspor
barang hasil pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual termasuk di dalamnya
Hak Merek yang selanjutnya disebut dengan HKI. Direktorat Jenderal Bea dan
Cukaimenjalankan tugas kepabeanan berupa segala sesuatu yang berhubungan
dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean
dan pemungutan bea masuk.
Pemilik atau pemegang Hak Kekayaan Intelektual dapat meminta kepada
Pengadilan Negeri setempat untuk mengeluarkan perintah tertulis yang
ditujukan kepada pejabat Bea dan Cukaiuntuk menangguhkan sementara waktu
pengeluaran barang impor atau ekspor dari kawasan Pabean yang berdasarkan
bukti yang cukup, diduga merupakan hasil pelanggaran merek dan hak cipta
yang dilindungi di indonesia.

Berdasarkan uraian di atas maka perihal perlindungan hak merek terdapat
tidak saja dimonopoli oleh pihak Direktorat Jenderal HKI Kementerian Hukum
Indonesia, serta aparat penegak hukum lainya tetapi juga berdasarkan ketentuan
Pasal 54 UU Kepabeanan, juga melingkupi wilayah hukum kepabeanan dalam hal
mengantisipasi masuknya barang yang diindikasikan berupakan hasil pelanggaran
di bidang kekayaan intelektual khususnya hak merek.
Undang-Undang Kepabeanan menjelaskan bahwa identifikasi dari tindakan
perlindungan hak merek melalui kepabeanan dimiliki oleh pemilik atau pemegang
hak merek. Tanpa adanya permintaan pemilik atau pemegang hak merek maka
identifikasi peranan kepabeanan tidak dapat dilakukan, karena aparatur kepabenan
menurut Pasal 54 UU Kepabeanan mengambil tindakan setelah adanya
permohonan dari pemilik dan pemegang hak merek.

8QLYHUV LWDV 6 XPDWHUD8WDUD

Ketentuan ini merupakan kelemahan daripada UU Kepabeanan atas
pelanggaran perlindungan hak merek. Dikatakan demikian karena perintah
penangguhan masuknya barang yang diduga merupakan pelanggaran hak merek
tersebut harus dilakukan secara tertulis dan ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan
Niaga.

Kondisi ini amat sangat riskan apabila pemilik atau pemegang merek
melakukan pengurusan surat perintah tersebut, tentunya akan memakan tempo
serta waktu, dan di satu sisi barang atau produk yang merupakan hasil pelanggaran
merek tersebut sudah terlebih dahulu lepas dari pengawasan kepabeanan. Undangundang dapat lebih sederhana dalam kajian sehingga tidak membutuhkan
identifikasi dari Ketua Pengadilan Niaga, cukup identifikasi dan barang bukti dari
pemilik merek. Hal lainnya yang merupakan kelemahan dari UU Kepabeanan
adalah merek yang dapat dilindungi oleh Kepabeanan adalah merek yang sudah
terdaftar.
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini mengambil judul tentang
“Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terdaftar Dikaitkan Dengan UndangUndang Kepabeanan”.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut :
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap merek dikaitkan dengan UndangUndang Kepabeanan?
2. Bagaimana peran kepabeanan (costums) dalam rangka perlindungan terhadap
merek terdaftar?
3. Bagaimana implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan perundangundangan tentang kepabeanan Indonesia dapat memberikan kontribusi terhadap
perlindungan merek terdaftar?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada latar belakang penelitian ini
maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

8QLYHUV LWDV 6 XPDWHUD8WDUD

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap merek dikaitkan dengan
Undang-Undang Kepabeanan.
2. Untuk mengetahui peran kepabeanan (Costums) dalam rangka perlindungan
terhadap merek terdaftar.
3. Untuk

mengetahui implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan

perundang-undangan

tentang

kepabeanan

Indonesia


dapat

memberikan

kontribusi terhadap perlindungan merek terdaftar.
Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini dan
tujuan yang ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan
manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis diharapkan dapat menambah informasi atau wawasan yang lebih
konkrit bagi aparat penegak hukum dan pemerintah, khususnya pihak
kepabeanan dalam kontribusinya di bidang perlindungan hak kekayaan
intelektual seperti hak merek.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pemikiran dan
pertimbangan dalam meningkatkan peran dan fungsi dari kepabeanan di bidang
perlindungan hak merek.

Keaslian Penulisan

Keaslian penulisan memuat perbedaan skripsi ini dengan karya ilmiah lain
yang berada di Departemen Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara maupun

8QLYHUV LWDV 6 XPDWHUD8WDUD

internet yang terkait dengan judul skripsi ini. Adapun penulisan skripsi yang
berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terdaftar Dikaitkan Dengan
Undang-Undang Kepabeanan” ini merupakan hasil pemikiran sendiri, sehingga
penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral
dan akademik.

Tinjauan Pustaka
1. Pengertian tentang merek
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek tidak
mencantumkan definisi dan arti merek secara khusus. Undang-undang itu hanya
menyatakan bahwa hak khusus atas suatu merek dapat dimiliki oleh seseorang
(beberapa orang) apabila “ memiliki daya beda ” dan pertama kali memakai merek
itu di Indonesia. Dan hak khusus atas merek itu hanya berlaku terhadap barangbarang sejenis hingga tiga tahun setelah pemakaian terakhir merek itu.
Sedangkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek dalam Pasal 1 Ayat

(1) yang dimaksud dengan merek adalah “ tanda yang berupa gambar, nama, kata,
huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut
yang memiliki data pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang
atau jasa”.
Selanjutnya dengan disahkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
tentang Merek maka Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 dan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam Pasal 1 Ayat (1) UU
Nomor 15 Tahun 2001

diterangkan bahwa “ merek adalah tanda yang berupa

gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari
unsur-unsur tersebut yang memiliki data pembeda dan digunakan dalam kegiatan

8QLYHUV LWDV 6 XPDWHUD8WDUD

perdagangan barang atau jasa”.
Dengan demikian terdapat persamaan arti dan kata antara pengertian
merek dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 dan di dalam UU Nomor 15
Tahun 2001.

Sedangkan terhadap merek-merek lainnya sebagaimana berurut dikatakan
pada Pasal 1 UU Nomor 15 Tahun 2001 yaitu :
a. Merek dagang.
Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan
oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum
untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.
b. Merek jasa.
Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh
seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk
membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
c. Merek kolektif.
Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan
karekteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan
hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau jasa
sejenis lainnya.
JCT Simorangkir mengatakan bahwa merek adalah “ cap, atau tanda”.1
Dalam sistem UU Nomor 15 Tahun 2001 tidak dapat didaftarkan
kemasan suatu produk atau aroma suatu parfum sebagai merek. Hal ini
berbeda dengan sistem perlindungan merek di negara-negara Uni Eropa,
misalnya : Inggeris atau Jerman yang membolehkan kemasan diterima

pendaftarannya sebagai merek apabila memiliki daya beda dengan merek
lainnya.2
Richard Burton Simatupang mengatakan :
Merek merupakan suatu tanda yang membedakan satu barang
dengan barang lain yang sejenis. Untuk memahami pengertian akan
merek, minimal ada lima pembatasannya yaitu :
1. Merek dapat disebut sebagai tanda pembeda, atau mempunyai
1

JCT Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, (Jakarta, Aksara Baru, 2001), hlm. 110
Insan Budi Maulana, Sukses Bisnis Melalui Merek Paten & Hak Cipta, (Bandung, Citra
Aditya Bakti, 1997), hlm. 52.
2

8QLYHUV LWDV 6 XPDWHUD8WDUD

2.
3.
4.
5.


daya pembeda
Merek dapat diingat dan diulang-ulang apabila kita mau membeli
barang yang sama.
Sebagai suatu simbol.
Menetapkan suatu standar atau kualitas atau mutu barang
Melindungi para konsumen.3

Hak khusus atas merek diberikan kepada siapapun dan hanya mensyaratkan
“daya beda“ merupakan lingkup yang sangat luas. Karena dengan demikian, setiap
hal yang memiliki daya beda dapat memperoleh “ hak khusus atas merek ”,
misalnya: kemasan, aroma parfum. Pandangan itu sebenarnya sejalan dengan
definisi merek menurut undang-undang Merek Inggris, Trademark Act 1994 yang
menyatakan dalam Pasal 1 :
“Trademark means any sign capable of being represented graphically
which is capable of distinguishing goods or services of one undertaking
from those of other undertakings ”.4
Hak khusus atas merek tidak diberikan apabila merek itu tidak mempunyai
daya beda, umpamanya karena hanya terdiri atas “ angka-angka dan atau hurufhuruf ”, atau yang hanya terdiri atas kata-kata yang mengandung keterangan
tentang macam, waktu atau tempat pembuatan, jumlah, bentuk, tujuan, ukuran,
harga atau berat barang. Selain itu, tidak dapat didaftarkan sebagai merek apabila
merek tersebut menyerupai bendera-bendera negara, lambang - lambang negara,
lambang-lambang, nama-nama, singkatan-singkatan lembaga internasional atau
lambang-lambang dari yang berwenang. Juga tidak dapat didaftarkan sebagai
merek apabila merek itu merupakan tanda pengesahan atau tanda jaminan resmi
dari suatu badan pemerintah. Kekecualian atas penggunaan merek-merek di atas
dapat dilakukan dan didaftarkan, apabila pemakai merek itu mendapat persetujuan
dari yang berwenang.
Penolakan pendaftaran merek di atas, sesungguhnya, bersifat relatif karena dalam beberapa kasus terjadi pula
pendaftarannya, misalnya merek rokok 555, minuman air mineral dengan merek Aqua. Kemudian, penolakan hak
khusus atas merek secara absolut ditujukan terhadap merek yang terdiri atas lukisan -lukisan atau perkataan-perkataan yang
telah menjadi milik umum, misalnya, rambu-rambu lalu lintas, atau yang bertentangan dengan kesusilaan, atau
ketertiban umum, misalnya lambang-lambang keagamaan yang dapat menimbulkan konflik terhadap sara, yaitu suku, agama
dan ras di Indonesia misalnya, lukisan-lukisan palu arit. Dalam suatu masyarakat yang anti komunis dan berupaya
menghindari masalah-masalah yang terjadi karena kesukuan, agama dan ras maka pendaftaran hak merek yang mengandung
unsur-unsur seperti di atas akan ditolak oleh kantor merek.

Alasan-alasan untuk menolak permintaan pendaftaran merek yang
diatur dalam undang-undang merek di antaranya apabila merek yang
diajukan itu sama atau serupa dengan merek yang telah didaftar lebih dulu
atau dengan merek terkenal pihak lain, merupakan keterangan atas
barang atau jasa,
atau merek itu bertentangan dengan kesusilaan
3

Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta, Rineka Cipta 1995),

hlm. 112.
4

Insan Budi Maulana, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia Dari Masa Ke Masa ,
(Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 21.

8QLYHUV LWDV 6 XPDWHUD8WDUD

atau ketertiban umum dan sebagainya. Alasan-alasan seperti di atas juga
lazim ditemukan pada sistem merek di negara-negara lain, selain itu,
merek yang telah didaftar dapat dibatalkan apabila ternyata merek itu
dianggap sama atau serupa dengan merek lainnya, atau merek itu didaftar
dengan itikad tidak baik. Dengan demikian, di negara manapun, tidak ada
alasan hukum penolakan atas suatu merek karena merek itu menggunakan
kata atau bahasa asing. Karena yang utama, pendaftaran suatu merek
harus dilandasi dengan itikad baik dan jujur, tanpa maksud meniru atau
memalsukan merek pihak lain, serta mampu memberikan perlindungan
terhadap konsumen.
2. Jenis-jenis merek yang dapat dilindungi
Secara umum telah banyak negara yang menerapkan perlindungan
terhadap merek - merek jasa yang digunakan untuk produk-produk jasa,
misalnya : perbankan, asuransi, rumah sakit, rumah makan, jasa keuangan
dan sebagainya. Hanya segelintir negara yang belum menerapkannya
misalnya Malaysia, karena peraturan pelaksanaannya belum ditetapkan.
Beberapa negara, penentuan uraian terhadap jenis-jenis atau jasa
yang dikelompokkan pada kelas barang dan jasa berdasarkan pada Nice
Agreement. Pada perjanjian ini terdapat 42 kelas barang dan jasa yang
diuraikan lagi dalam jenis-jenis barang tertentu. Dan pengelompokkan jenis
barang juga akan dipengaruhi oleh kemajuan suatu industri atau
pengembangan produk-produk tertentu. Kondisi ini kadang-kadang
menimbulkan persepsi yang berbeda antara satu negara dengan negara
lain walaupun negara-negara itu menjadi anggota atau meratifikasi Nice
Agrrement.5
Jepang, Korea Selatan dan Amerika Serikat merupakan negaranegara yang mempunyai pengelompokkan kelas barang dan jasa atau
jenis barang atau jasa sendiri yang berbeda dengan kelas barang atau jasa
uraian jenis barang yang terdapat pada Nice Agreement. Negara-negara
tersebut menentukan jenis barang atau jasa tertentu secara khusus yang
didasarkan pada kategori atau kriteria yang dilakukan oleh kantor paten di
negara-negara tersebut.
Pada akhirnya Jepang sejak dua tiga tahun terakhir ini, mungkin
karena menghadapi
kendala
dengan uraian jenis barang yang dianut
oleh negara-negara lain, mengikut sistem yang diterapkan dalam Nice
Agreement. Artinya, jumlah kelas barang dan jasa berjumlah empat puluh
dua, akan tetapi terdapat sedikit penambahan atau pengecualian terhadap
produk-produk tertentu, misalnya : barang misosiru yang mungkin tidak
tercakup dalam Nice Agreement akan dikelompokkan pada kelas barang
tertentu. Begitu juga di negara-negara lain yang mempunyai produk-produk
yang berciri khas yang berasal dari negara tersebut dapat memasukkannya
5

Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Undang-Undang Merek Baru Tahun 2001,
(Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 139.

8QLYHUV LWDV 6 XPDWHUD8WDUD

dalam kelompok kelas barang atau jasa tertentu. Tentu saja,
pengelompokkan itu didasarkan pada pertimbangan yang wajar.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dapat melindungi setiap merek
dagang, merek jasa serta merek kolektif. Dan tidak ada permohonan pendaftaran
merek dapat didaftar apabila permohonan pendaftaran merek dagang tersebut
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, atau merek dagang tersebut
tidak mempunyai perbedaan, atau merek dagang tersebut adalah milik umum atau
permohonan merek dagang tersebut adalah suatu indikasi atau informasi tentang
barang atau jasa. Selain itu, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual juga
akan menolak permohonan merek dagang: bila ada merek lain yang sama pada
keseluruhannya atau serupa dengan merek dagang atau jasa terdaftar dalam kelas
yang sama dan jenis barang yang sama; baik yang sama secara keseluruhan atau
serupa dengan orang yang terkenal, foto merek dan atau badan hukum yang
terkenal; yang identik dengan nama, imitasi, bendera, negara atau dewan nasional,
dan atau organisasi internasional; yang sama pada keseluruhannya atau serupa
dengan stempel resmi atau tanda negara atau pemerintah; dan yang sama
seluruhnya atau serupa dengan lain-lain karya atau

penemuan yang dilindungi

dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Dalam Undang-Undang Merek Nomor 14 Tahun 1997 perlindungan
merek terkenal diatur pada Pasal 6 Ayat (2a) yang menyatakan bahwa permintaan
pendaftaran merek juga ditolak oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
apabila merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, merek dan nama
badan hukum yang dimiliki orang lain yang sudah terkenal, kecuali atas
persetujuan tertulis dari yang berhak.

8QLYHUV LWDV 6 XPDWHUD8WDUD

Dan penjelasan Pasal 6 Ayat (2a) tentang kriteria merek terkenal
menyatakan bahwa penentuan suatu merek atau nama terkenal, dilakukan dengan
memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai merek

atau nama

tersebut dibidang usaha yang bersangkutan. Ketentuan di atas mengalami revisi
pada UU Nomor 15 Tahun 2001. Pasal 6 Ayat (2a) berubah menjadi:
Permintaan pendaftaran merek juga ditolak oleh Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual apabila: (a) merupakan atau menyerupai nama orang
terkenal, foto, dan nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas
persetujuan tertulis dari yang berhak.
Perbedaan antara Pasal 6 Ayat (2a) Undang-Undang Merek lama dan
undang-undang merek baru adalah kata “merek” karena kata itu telah dihapus dan
tidak tercantum lagi pada UU Nomor 15 Tahun 2001. Pada UU Nomor 15 Tahun
2001baru ini, perlindungan merek terkenal diatur pada dua Pasal yaitu Pasal 6 Ayat
(3) dan Pasal 6 Ayat (4), dan kedua ayat itu membedakan kriteria perlindungan
atas merek yang sudah terkenal. Pada Pasal 6 Ayat (3) UU Nomor 15 Tahun 2001
dinyatakan:

Direktorat

Jenderal Hak

Kekayaan

Intelektual

dapat

menolak

permintaan pendaftaran merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik orang lain untuk barang
dan atau jasa yang sejenis.
Sedangkan Pasal 6 Ayat (4) UU Nomor 15 Tahun 2001 itu menyatakan :
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3) dapat pula diberlakukan
terhadap barang dan atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan
tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

8QLYHUV LWDV 6 XPDWHUD8WDUD

Peraturan-peraturan penolakan di atas, jelas tidak mensyaratkan adanya
kewajiban pendaftaran terlebih dahulu bagi merek terkenal. Penolakan diatas juga
akan sangat ditentukan oleh kemampuan, kecermatan subjektivitas pemeriksa
merek, serta informasi yang dimiliki oleh kantor merek terhadap data-data, objek
merek terkenal maupun merek yang sudah terkenal tetapi tidak atau belum
didaftarkan oleh pemilik atau pemegang merek terkenal itu. Namun, adanya
perbedaan diantara ayat-ayat diatas karena yang satu mencantumkan kata “harus
ditolak” sedangkan yang lain mencantumkan kata “dapat ditolak” oleh Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual menunjukkan sikap yang mendua, ambivalen
dan tidak menyakinkan sehingga, upaya-upaya untuk melindungi merek terkenal
akan mengalami perubahan yang negatif.

Terutama, upaya melindungi merek terkenal yang digunakan oleh pihak
lain untuk barang atau jasa yang berbeda kelas dan atau jenis barangnya. Karena
perlindungan terhadap barang atau jasa yang berbeda kelas dan jenis barangnya itu
harus menunggu kriteria yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah. Seandainya
ayat-ayat yang tercantum dalam Pasal itu dipahami secara cermat oleh para
penegak hukum, misalnya :pengacara dan HKIm, polisi dan jaksa, maka cakupan
perlindungan terhadap merek terkenal akan menjadi perdebatan panjang yang
akibatnya mempersulit perlindungan terhadap merek terkenal. Padahal selama
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 , yang tidak membagi atas
dua

macam

perlindungan

merek

terkenal,

telah

menunjukkan

peningkatan

perlindungan terhadap merek terkenal (asing), misalnya dalam kasus-kasus: merek

8QLYHUV LWDV 6 XPDWHUD8WDUD

“CHRISTIAN DIOR”, “GUESS”, atau “CAXTON”, terhadap para pemilik merek
terkenal yang dimiliki oleh pihak yang sebenarnya atau yang berhak. Walau,
ternyata, juga ada kasus yang agak meyimpang dan tidak melindungi pemilik
merek (terkenal) yang sesungguhnya, misalnya: kasus merek “TVM”. Dan tidak
sedikit pembatalan merek terkenal lainnya yang terdaftar oleh pihak yang tidak
dibatalkan

oleh

badan

peradilan,

baik

ditingkat Peradilan Negeri maupun

Mahkamah Agung.
Selain ayat-ayat dalam pasal diatas yang memberikan perlindungan
terhadap merek terkenal, dalam UU Nomor 15 Tahun 2001 juga mencantumkan
kewenangan bagi Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual untuk menolak
permintaan perpanjangan dan atau pengalihan hak atas merek yang serupa atau
yang sama dengan merek terkenal yang diajukan oleh pihak yang tidak berhak.
Pasal 85 A Ayat (1) menyatakan : Permintaan perpanjangan pendaftaran merek dan
pengalihan hak atas merek yang telah terdaftar ditolak oleh Direktorat Jenderal
Hak Kekayaan Intelektual apabila keseluruhannya merek tersebut milik orang lain,
dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (3)
dan Ayat (4).
Kemudian yang menjadi pertimbangan dicantumkannya Pasal itu, dalam
penjelasannya disebutkan bahwa ketentuan tersebut diperlukan terutama untuk
memberi landasan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual untuk
menolak permintaan perpanjangan pendaftaran merek yang telah terdaftar di
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan UU Nomor 15 Tahun
2001.

8QLYHUV LWDV 6 XPDWHUD8WDUD

3. Kepabeanan
Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan pabean adalah “instansi
(jawatan, kantor) yang mengawasi, memungut, dan mengurus bea masuk (impor)
dan bea keluar (ekspor), baik melalui darat, laut maupun melalui udara”. 6 Pabean
yang dalam bahasa inggrisnya Customs atau Duane dalam bahasa Belanda memiliki
definisi yang dapat kita temukan dan hapal baik dalam kamus bahasa Indonesia
ataupun undang-undang kepabeanan, namun definisi tersebut tidak berarti kita
dapat memahami makna yang terkandung dalam kata pabean tersebut. memahami
kata pabean mengharuskan (syarat utama) kita memahami kegiatan ekspor dan
impor.7

Tanpa hal itu adalah sulit memahami lebih jauh tentang pabean. sedikit
yang dapat digambarkan mengenai kata pabean adalah kegiatan yang menyangkut
pemungutan bea masuk dan pajak dalam rangka impor, hal yang menjadi perhatian
dikaitkan dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (selanjutnya disebut DJBC)
khususnya di Indonesia adalah mengapa hanya impor yang dikenakan bea masuk
sedangkan untuk ekspor tidak ada bea keluar.8 Filosopi pemungutan bea masuk
adalah untuk melindungi industri dalam negeri dari limpahan produk luar negeri
yang diimpor, dalam bahasa perdagangan sering disebut tariff barier yaitu besaran
dalam persen yang

ditentukan

oleh negara untuk dipungut oleh DJBC pada

setiap produk atau barang impor. sedang untuk ekspor pada umumnya pemerintah

6

Dinas Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, PN. Balai Pustaka,
2003), hlm. 811.
7 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, http://id.wikipedia.org/wiki/Bea_cukai, Diakses
tanggal 26 Maret 2013.
8 Ibid.

8QLYHUV LWDV 6 XPDWHUD8WDUD

tidak memungut bea demi mendukung industri dalam negeri dan khusus untuk
ekspor pemerintah akan memberikan insentif berupa pengembalian (restitusi pajak)
terhadap barang yang diekspor kecuali untuk produk mentah seperti beberapa jenis
kayu, rotan dan sebagainya pemerintah memungut pajak ekspor dan pungutan
ekspor dengan maksud agar para eksportir sedianya dapat mengekspor produk jadi
dan bukanlah bahan mentah atau setengah jadi, filosopi pemungutan pajak ekspor
pada komoditi ini adalah untuk melindungi sumber daya alam Indonesia.9
Bea dan Cukai adalah suatu lembaga pemerintah di bawah Departemen
Keuangan yang mengurusi pungutan Bea dan Cukai yang dikenakan terhadap
barang-barang yang keluar ataupun masuk daerah pabean agar pelaksanaan,
pengawasan, pelarangan dan pembatasan menjadi efektif dan terkoordinasi. Tugas
dan tanggung jawab Bea dan Cukai adalah melaksanakan kegiatan operasional
dalam hal pemungutan bea masuk maupun cukai terhadap barang ekspor atau
impor.10 Sebagai daerah kegiatan ekonomi maka sektor Bea dan Cukai merupakan
suatu instansi dari pemerintah yang sangat menunjang dalam kelancaran
lalu

lintas

arus

ekspor dan impor barang di daerah pabean. Adapun tujuan pemerintah

dalam mengadakan pengawasan adalah untuk menambah pendapatan atau devisa
negara, sebagai alat untuk melindungi produk-produk dalam negeri (proteksi), dan
sebagai alat pengawasan agar tidak semua barang dapat keluar masuk dengan
bebas di pasaran Indonesia atau daerah pabean (penyelundupan).
Untuk menghindari hal tersebut, maka untuk keluar masuknya barang
9

Ibid.
Elfrida Gultom, “Bea Cukai Sebagai Akselator Pelabuhan Untuk Meningkatkan Devisa
Negara”, www.legalitas.org, Diakses tanggal 12 Juni 2008.
10

8QLYHUV LWDV 6 XPDWHUD8WDUD

melalui suatu pelabuhan harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang sah
melalui kerjasama antara Bea dan Cukai dengan instansi lain pengelola pelabuhan
untuk mengelola, memelihara, menjaga keamanan dan kelancaran arus lalu lintas
barang yang masuk maupun keluar daerah pabean dengan maksud untuk mencegah
tindakan penyelundupan yang merugikan negara.
Terhadap barang-barang ekspor dan impor dilakukan pemeriksaan pabean
untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai pemberitahuan pabean
yang diajukan, terhadap barang ekspor dan impor dilakukan pemeriksaan atas fisik
barang dilakukan secara cermat dan terinci dalam arti pemeriksaan barang hanya
dilakukan

atas importasi yang beresiko tinggi, barang berbahaya bagi masyarakat

dan negara serta impor yang dilakukan importir yang mempunyai reputasi atau
catatan yang kurang baik.
Terhadap barang ekspor dilakukan penelitian dokumen dalam hal tertentu
dapat dilakukan pemeriksaan fisik. Dalam rangka usaha meningkatkan daya saing
barang ekspor Indonesia di pasar dunia diperlukan suatu kecepatan dan kepastian
bagi eksportir, dengan demikian pemeriksaan pabean dalam bentuk pemeriksaan
fisik diusahakan seminimal mungkin, sehingga terdapat barang ekspor pada
dasarnya hanya dilakukan penelitian dokumen.

Metodologi Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang bertujuan
untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu
keadaan yang menjadi objek penelitian dengan mendasarkan penelitian pada
ketentuan hukum normatif. Dalam penelitian yuridis normatif ini akan

8QLYHUV LWDV 6 XPDWHUD8WDUD

digambarkan keadaan atau suatu fenomena yang berhubungan dengan peranan
kepabeanan dalam perlindungan hak merek.
2. Sumber data
Sumber penelitian yang dipergunakan bersumber dari data sekunder.
Data sekunder yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan
dengan objek atau materi penelitian yang meliputi:
Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang
Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1995 Tentang Kepabeanan, serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
tentang Merek.
Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang
diteliti.
Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum dan kamus
Bahasa Indonesia.
3. Metode pengumpulan data
Alat pengumpulan data yang dipergunakan untuk mengumpulkan data
dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen yang berupa pengambilan data
yang berasal dari bahan literatur atau tulisan ilmiah sesuai dengan objek yang
diteliti. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah juridis normatif dimana
penelitian dilakukan berdasarkan bahan teoritis dan perundang-undangan.
4. Analisis data
Jenis analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis normatif
yang menjelaskan pembahasan yang dilakukan berdasarkan ketentuan hukum
yang berlaku seperti perundang-undangan. Analisis dilakukan terhadap hasil
penelitian kemudian diberikan kesimpulan dan saran.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab

8QLYHUV LWDV 6 XPDWHUD8WDUD

terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam
bentuk uraian:
BAB I

PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian
pada umumnya yaitu, latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan

dan

manfaat

penulisan,

keaslian

penulisan,

tinjauan

kepustakaan, metode penulisan serta sistematika penulisan.
BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK DIKAITKAN
DENGAN UNDANG-UNDANG KEPABEANAN
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang ketentuan dan
perlindungan terhadap merek dikaitkan dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, ketentuan dan prosedur
perlindungan atas merek dalam Undang-Undang Kepabeanan serta
sanksi terhadap pelanggaran merek terdaftar.

BAB III.

PERAN
KEPABEANAN
(CUSTOMS) DALAM
PERLINDUNGAN TERHADAP MEREK TERDAFTAR

RANGKA

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang potensi kepabenan
sebagai border enforcement agency terhadap perlindungan merek,
keterbatasan dalam pelaksanaan peran kepabeanan di bidang merek
dan serta hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai keterlibatas
kepabeanan dalam melaksanakan perlindungan terhadap merek.
BAB IV

IMPLEMENTASI THE TRIPS AGREEMENT DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG
KEPABENAN INDONESIA DALAM MEMBERIKAN
KONTRIBUSI TERHADAP PERLINDUNGAN MEREK
TERDAFTAR.
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap pengertian dan
sejarah The TRIPs Agreeent, The TRIPs Agreement dan pengaruhnya

8QLYHUV LWDV 6 XPDWHUD8WDUD

terhadap

perlindungan

merek

serta

implementasi

The

TRIPs

Agreement dalam memberikan perlindungan terhadap merek dikaitkan
dengan Undang-Undang Kepabeanan.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan
diberikan kesimpulan dan saran.

8QLYHUV LWDV 6 XPDWHUD8WDUD

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terdaftar Dikaitkan Dengan Undang-Undang Kepabeanan

3 44 75

Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Dikaitkan Dengan Kepabeanan Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan

2 35 114

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak di Indonesia

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi Kasus Putusan Nomor 56/Pdt.G/2011/Pn Tegal)

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Perlindungan Merek Asing Terhadap Tindakan Pendaftaran Secara Itikad Tidak Baik (Studi Putusan No. 108/PK/PDT.SUS/2011)

0 1 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham Suatu Perusahaan yang Melakukan Merger Lintas Negara

0 0 39

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum terhadap Pasar Rakyat Berdasarkan Undang-Undang No 7 tahun 2014 tentang Perdagangan

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Keagenen (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2363 K/Pdt/2011)

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum

0 0 27

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG KEPABEANAN Ketentuan dan Perlindungan Terhadap Merek Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek - Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terdaftar Dikaitkan Dengan Undang-Unda

0 0 15