BAB II KAJIAN PUSTAKA - Etos Kerja dan Gaya Hidup Masyarakat Slum Area di Kota Medan ( Studi Kasus di Gang Ksatria Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Maimoon )

     

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Etos Kerja Masyarakat Kawasan Kumuh ( Slum Area ) Etos adalah sikap dasar seseorang atau kelompok orang dalam melakukan kegiatan tertentu

  ( Suseno, 1991 : 56 ), Etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal sehingga pola hubungan antara manusia dengan dirinya dan antara manusia dengan makhluk lainnya dapat terjalin dengan baik.

  Berpijak pada pengertian bahwa etos kerja menggambarkan suatu sikap, maka dapat ditegaskan bahwa etos kerja mengandung makna sebagai aspek evaluatif yang dimiliki oleh individu ( kelompok ) dalam memberikan penilaian terhadap kegiatan kerja. Mengingat kandungan yang ada dalam pengertian etos kerja adalah unsur penilaian, maka secara garis besar dalam penilaian itu, dapat digolongkan menjadi dua, yaitu penilaian positif dan negatif. Berpangkal tolak dari uraian itu, maka jika suatu individu atau kelompok masyarakat dapat dikatakan memiliki etos kerja yang tinggi, apabila menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut:

  1. Mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia yaitu diorientasikan pada ukuran hasil dan kualitas kerja yang lebih baik dan bermutu.

  2. Menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi manusia.

  3. Kerja yang dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia.

  

 

 

  4. Kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita,

  5. Kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah. Bagi individu atau kelompok masyarakat, yang memiliki etos kerja yang rendah, maka akan menunjukkan ciri-ciri yang sebaliknya, yaitu;

  1. Kerja dirasakan sebagai suatu hal yang membebani diri, 2.

  Kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia, 3. Kerja dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh kesenangan, 4. Kerja dilakukan sebagai bentuk keterpaksaan,

  5. Kerja dihayati hanya sebagai bentuk rutinitas hidup, 6.

  Tidak dapat memisahkan antara waktu bekerja dengan waktu senggang. ( http://www.psychologymania.com/2012/11/pengertian-etos-kerja.html ) Etos atau semangat kerja, merupakan karakteristik pribadi atau kelompok masyarakat yang dipengaruhi oleh orientasi nilai – nilai budaya mereka. Antara etos kerja dengan nilai budaya masyarakat seakan sulit dipisahkan ( Syahrial de Saputra T, 1996 ). Etos ( etika ) kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Agama, dasar pengkajian makna etos kerja di Eropa diawali oleh buah pikiran Max

  Weber ( dalam Taufik Abdullah, 1988 : 6 ), Salah satu unsur dasar dari kebudayaan modern, yaitu rasionalitas yang lahir dari etika Protestan. Pada dasarnya agama merupakan suatu sistem nilai. Sistem nilai ini tentunya akan mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya. Cara berpikir, bersikap dan bertindak

     

  seseorang pastilah diwarnai oleh ajaran agama yang dianutnya, jika ia sungguh- sungguh dalam kehidupan beragama. Dengan demikian, jelaslah bahwa agama akan turut menentukan jalannya pembangunan.

  2. Budaya, bahwa sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja masyarakat juga disebut sebagai etos budaya. Kemudian etos budaya ini secara operasional juga disebut sebagai etos kerja. Kualitas etos kerja ditentukan oleh sistem orientasi nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya maju akan memiliki etos kerja yang tinggi. Sebaliknya, masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya yang konservatif akan memiliki etos kerja yang rendah, bahkan bisa sama sekali tidak memiliki etos kerja.

  3. Sosial politik, tinggi atau rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi juga oleh ada atau tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk bekerja keras dan dapat menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh.

  4. Kondisi lingkungan ( geografis ), adanya indikasi bahwa etos kerja dapat muncul dikarenakan faktor kondisi geografis. Lingkungan alam yang mendukung mempengaruhi manusia yang berada di dalamnya melakukan usaha untuk dapat mengelola dan mengambil manfaat, dan bahkan dapat mengundang pendatang untuk turut mencari penghidupan di lingkungan tersebut.

5. Pendidikan, etos kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas sumber daya manusia.

  Peningkatan sumber daya manusia akan membuat seseorang mempunyai etos kerja keras. Meningkatnya kualitas penduduk dapat tercapai apabila ada pendidikan yang

  

 

 

  merata dan bermutu, disertai dengan peningkatan dan perluasan pendidikan, keahlian dan keterampilan, sehingga semakin meningkat pula aktivitas dan produktivitas masyarakat sebagai pelaku ekonomi.

  6. Motivasi intrinsik individu, dikatakan individu memiliki etos kerja yang tinggi adalah individu yang bermotivasi tinggi. Etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap, yang tentunya didasari oleh nilai-nilai yang diyakini seseorang. Keyakinan ini menjadi suatu motivasi kerja, yang mempengaruhi etos kerja seseorang. Ini menurut studi yang dilakukan oleh Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dalam website (http:www.stan.ac.id/aspek-aspek-etos-kerja-dan-faktor-yang-mempengaruhi).

  Dalam penelitian ini, faktor lingkungan, pendidikan dan motivasi instrik individu yang relevan dalam mengkaji penelitian ini. Menurut Koentjaraningrat ( dalam Sjafri, 2002 : 12 ) dari hasil kajian, mayoritas bangsa Indonesia masih memandang bekerja itu adalah dengan tujuan untuk mencari nafkah dan mendapatkan status sosial. Cukup menarik bahwa pada umumnya masyarakat Indonesia kata bekerja selalu dikaitkan dengan upaya untuk mengisi perut. Jika seseorang akan pergi bekerja, sering ia mengatakan pergi mencari makan. Hal ini mencerminkan bahwa orientasi nilai budaya bangsa Indonesia dalam hubungannya dengan kegiatan bekerja hanyalah sekedar untuk mencari nafkah.

  Ini bertentangan dengan kajian Mc Clelland yaitu penyebaran inovasi untuk berprestasi ( kebutuhan untuk berprestasi ). Motivasi untuk berprestasi adalah perjuangan untuk mencapai sukses dengan cara berupaya sendiri dalam situasi yang membutuhkan penilaian pelaksanaan pekerjaan seseorang dalam kaitannya dengan standar keunggulannya. Ada beberapa sikap dan perilaku yang dikaitkan dengan motivasi untuk berprestasi yang dihasilkan oleh sindrom

  

 

 

  kepribadian. Di sini, perilaku, motivasi untuk berprestasi, ternyata berkaitan dengan mobilitas ke atas, frekuensi bepergian, lamanya jam kerja, keinginan untuk mengakumulasi kapital, aspirasi untuk mendidik anak, dan aktivitas berusaha. Disisi sikap terlihat dorongan inovatif, ketinggian rasa tanggung jawab, rencana tindakan, pilihan atas perhitungan rasional dan kesediaan untuk memikul resiko tingkat menengah ( Stzompka, 2004 : 283 ). Namun, dalam penelitian ini masyarakat yang berada di kawasan kumuh sebagian besar memiliki pemandangan bahwa bekerja itu hanya sekedar untuk makan, mengisi sejengkal perut.

2.2. Perilaku Konsumtif Pada Masyarakat Kawasan Kumuh ( Slum Area )

  Menurut Hendro ( 2001 : 48 ) bahwa pemukiman kumuh ( Slum Area ) yang tersebar pada beberapa bagian kota di negara – negara berkembang, khususnya yang terdapat di kota – kota Indonesia. Pusat kota yang terdiri dari taman dan ruang terbuka yang semula cukup banyak tersedia, beralih rupa menjadi bangunan yang makin memperpadat lingkungan. Dalam beberapa kasus paru – paru kota dan menjadi lambang kebanggaan penduduk, terpaksa merelakan diri untuk diubah fungsinya menjadi kawasan pertokoan dan perdagangan. Bertambah luasnya kawasan pertokoan dan perdagangan membuat masyarakat berperilaku konsumtif ( Eko Budihardjo dan Sudanti, 1993 : 5 ).

  Hal tersebut dipengaruhi juga dengan modernisasi. Dalam bidang ekonomi pada modernisasi, ditandai dengan semakin kompleknya kebutuhan manusia akan barang dan jasa.

  Peningkatan konsumerisme, pendapatan, dan konsumsi barang dianggap sebagai simbol peran yang penting ( Sunarto, 2012 : 83 ). Perilaku konsumtif menunjukkan suatu perilaku membeli dan menggunakan barang yang tidak didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan memiliki kencenderungan untuk mengkonsumsi sesuatu tanpa batas di mana individu lebih mementingkan

     

  faktor keinginan dari pada kebutuhan serta ditandai oleh adanya kehidupan mewah dan berlebihan. Menurut web Abu Daud ( http://abudaud2010.com/2010/12/p engertian-prilaku-konsumtif.html ) menyatakan bahwa perilaku konsumen tidak hanya melibatkan apa yang dikonsumsi seseorang tetapi juga menyangkut di mana, seberapa sering, dan dalam kondisi seperti apa barang dan jasa tersebut dikonsumsi. Seseorang yang konsumtif mempunyai karakteristik sebagai berikut :

  1. Membeli produk untuk menjaga status, penampilan, dan gengsi.

  2. Memakai sebuah produk karena adanya unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan produk tersebut.

  3. Adanya penilaian bahwa dengan memakai atau membeli produk dengan harga yang mahal akan menimbulkan rasa percaya diri.

  4. Membeli produk dengan pertimbangan harga bukan karena manfaat dan kegunaannya.

  5. Membeli karena kemasan produk yang menarik.

  6. Membeli produk karena iming-iming hadiah.

  7. Mencoba produk sejenis dengan dua merk yang berbeda. Perilaku manusia merupakan hasil dari pada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan dengan kata lain, perilaku merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini bersifat pasif ( tanpa tindakan: berpikir, berpendapat, atau bersikap ) maupun aktif ( melakukan tindakan ). Konsumtifisme, dalam pandangan ekonomi adalah gaya hidup yang mengutamakan keinginan untuk mengkonsumsi barang atau jasa secara berlebihan. Sifat ini cenderung mengabaikan faktor pendapatan dan

  

 

 

  ketersediaan sumber daya ekonomi, yang seharusnya menjadi pertimbangan utama seseorang sebelum melakukan tindakan konsumsi. Dalam tataran yang lebih luas, jika tidak mampu megendalikan sifat konsumtifisme-nya, tentu akan menjadi bahaya komunal yang sanggup menggulung bangsa ini pada kebangkrutan.

  Dalam perspektif psikologis, pola hidup konsumtif adalah produk kebudayaan hedonis dari sebuah masyarakat yang “ sakit ” atau setidaknya tengah mengalami benturan kebudayaan.

  Pola hidup ini terbentuk secara sadar atau tidak sadar berasal dari pola hidup yang dijalani manusia setiap harinya. Proses pembentukan perilaku manusia, termasuk juga perilaku konsumerisme umumnya berasal dari stimulus yang diterima oleh panca indera melalui proses sosial atau melalui media audio visual yang kemudian terinternalisasi dan membentuk kepribadian. Saat sekarang, pola hidup konsumtifisme sebenarnya secara pelan-pelan sedang diajarkan oleh media, masyarakat dan bahkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan. Di televisi, majalah dan koran yang setiap hari gencar menayangkan gaya hidup glamour, penuh dengan sikap konsumtif yang dipamerkan terang-terangan.

  Berdasarkan hasil kajian, bahwa “ ukuran seseorang dikatakan sukses apabila ia mampu menumpuk barang-barang mewah di rumah, tanpa peduli apakah barang-barang tersebut diperoleh dengan cara berhutang. Lebih parah lagi, sekolah sebagai penyelenggara pendidikan ternyata ikut memberi andil bagi pembentukan sifat konsumtifisme dengan melegalkan kebiasaan-kebiasaan buruk, seperti terang-terangan membawa handphone ( HP ). Suasana yang sebaliknya terjadi di perpustakaan-perpustakaan yang sunyi. Budaya konsumtifisme merupakan paradoks atas budaya produktif yang semestinya menjadi kebiasaan bangsa yang tengah merangkak maju seperti bangsa Indonesia. Konsumtifisme yang sifatnya menghabiskan sumber daya, jika tanpa diimbangin kemampuan dan kreativitas berproduksi, hanya akan menggiring

     

  bangsa ini menjadi bangsa yang kalah dalam bersaing dengan bangsa lain, serta berpotensi kehilangan sumber daya ekonomi yang dibutuhkan untuk kehidupan generasi mendatang “, di da lam web Riski ( http://riskiariyani.com/2011/12/01/contoh-prilaku-konsumtif-masyarakat ).

  Dalam penelitian ini, menyebutkan bahwa perilaku konsumtif ini tidak hanya melanda masyarakat kalangan atas, namun ditiru ( diimitasi ) juga oleh masyarakat kalangan bawah.

2.3. Gaya Hidup Pada Masyarakat Kawasan Kumuh ( Slum Area )

  Gaya hidup dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang memiliki karakteristik, kekhususan, dan tata cara dalam kehidupan suatu masyarakat tertentu. Gaya hidup menunjukkan bagaimana orang mengatur kehidupan pribadinya, kehidupan masyarakat, perilaku di depan umum, dan upaya membedakan statusnya dari orang lain melalui lambang – lambang sosial. Menurut Piliang ( dalam Agus Sachari , 2007 : 73 ), gaya hidup dapat dipahami sebagai sebuah karakteristik seseorang secara kasatmata, yang menandai sistem nilai, serta sikap terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Gaya hidup merupakan kombinasi dan totalitas cara, tata, kebiasaan, pilihan serta objek – objek yang mendukungnya, dalam pelaksanaannya dilandasi oleh sistem nilai atau sistem kepercayaan tertentu. Oleh karena itu, menurut Koentjaraningrat (1974 : 8 ) bahwa suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.

  Gaya hidup adalah pandangan yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku dan konsekuensinya akan membentuk pola perilaku tertentu. Terutama bagaimana ia ingin dipersepsikan oleh orang lain, sehingga gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana ia membentuk image di mata orang lain berkaitan dengan status sosial yang diproyeksikannya.

  Untuk merefleksikan gambaran inilah dibutuhkan simbol-simbol status tertentu yang sangat

  

 

 

  berperan dalam mempengaruhi perilaku konsumsinya. Perilaku konsumsi yang didorong oleh orientasi diri memiliki tiga kategori yaitu prinsip, status, dan tindakan. Bagi orang yang orientasi dirinya bertumpu pada prinsip, dalam mengambil keputusan pembelian berdasarkan keyakinannya, sehingga keputusannya untuk membeli bukan hanya karena ikut-ikutan atau sekedar untuk mengejar gengsi. Bisa dikatakan tipe ini lebih rasional. Sedangkan yang bertumpu pada status, keputusannya dalam mengkonsumsi didominasi oleh apa kata orang. Produk-produk branded menjadi pilihannya. Bagi yang gaya hidupnya bertumpu kepada aksi, keputusan dalam berkonsumsi didasari oleh keinginannya untuk beraktivitas sosial maupun fisik, mendapatkan selingan atau menghadapi resiko. Sehingga demikian dapatlah dikatakan bahwa gaya hidup berkaitan dengan bagaimana seseorang memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya untuk merefleksikan dirinya berdasarkan nilai, orientasi, minat, pendapat yang berkaitan dengan status sosialnya. Gaya hidup setiap kelompok akan mempunyai ciri-ciri unit tersendiri. Gaya hidup secara luas diidentifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu ( aktivitas ), apa yang mereka anggap penting dalam lingkungannya ( ketertarikan ), dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia di sekitarnya ( pendapat ), dalam web Frommarketing ( http://frommarketing.com/2009/08/definisigayahidup.html ).

  Gaya hidup pada masyarakat Slum Area memperlihatkan budaya bermalas – malasan, berleha – leha, dan ngerumpi. Bekerja hanya untuk sejengkal perut. Jam kerja tidak menentu.

  Tidak ada cita – cita dan harapan yang jelas. Orientasi diri berprinsip bahwa memiliki suatu barang hanya ikut – ikutan saja dan sekedar untuk mengejar gengsi. Kontras sekali gaya hidup yang terkait dengan barang yang mereka miliki.

  

 

 

2.4. Sektor Informal Pada Masyarakat Kumuh ( Slum Area )

  Dalam skripsi yang dilakukan oleh Risha ( 2012 ) Jurusan Sosiologi, FISIP Universitas Hasanuddin Makassar bahwa penduduk pemukiman kumuh disebut massa apung, yaitu masyarakat yang memiliki pekerjaan berganti-ganti dan dominan pada sektor informal. Lebih lanjut dikemukakan bahwa ciri mereka adalah menghasilkan barang dan jasa hanya untuk konsumsi hari ini bagi anggota keluarga yang bersangkutan.

  Menurut Sumalyo ( dalam skripsi Risha, 2012 ) pemukiman kumuh adalah suatu kawasan di perkotaan yang penduduknya hidup dalam kondisi soaial ekonomi yang rendah dan penduduknya berasal dari pedesaan. Kedatangan penghuni migran atas dasar adanya kontak atau hubungan dengan saudara, kerabat yang sudah berada terlebih dahulu di kota pendidikan bukanlah masalah bagi mereka datang ke kota, dasar pendidikan yang dimilikinya adalah pendidikan rendah ( di bawah SMA ) serta tidak memiliki keterampilan. Maka penyesuaian pola hidup para pendatang dengan dengan kehidupan social ekonomi perkotaan tidak dapat berlangsung secara cepat dan gaya hidup pedesaan atau tradisional masih dijalankan. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar penghuni pemukiman kumuh bergerak dalam kehidupan sektor informal dangan pendapatan yang terbatas dalam menghadapi kehidupan perkotaan. Dengan keterbatasan ekonomi dan pola hidup pedesaan, rumah-rumah dihuni secara terbatas dalam hal kontribusi material bangunan dan fasilitas lingkungan seadanya.

  Pengertian sektor informal menurut Hart ( dalam Manning, Cris dan Effendi, 1996 ), yaitu memiliki ciri-ciri seperti mudah keluar masuk pekerjaan, mengusahakan bahan baku lokal tanpa berdasarkan hukum formal, unit usaha merupakan keluarga, jangkauan operasionalnya sempit, kegiatannya bersifat padat karya dengan menggunakan teknologi yang masih sederhana ( tradisional ), pekerja yang terlibat di dalamnya memiliki tingkat pendidikan formal yang rendah

  

 

 

  serta keahlian yang kurang memadai, kondisi pasar sangat bersaing karena menyangkut hubungan antara penjual dan pembeli yang bersifat personal dan keadaanya tidak teratur.

  Prakarsa dari Hart ini kemudian diteruskan oleh ILO ( International Labour Organization ) dalam berbagai studinya di negara-negara sedang berkembang ( Sjahrir, 1985 ) menyatakan bahwa kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik, karena unit usaha yang timbul tidak menggunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal. Pada umumnya, unit usaha tidak mempunyai izin usaha. Pola kegiatan usaha tidak teratur, baik dalam arti lokasi maupun jam kerja. Pada umumnya, kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini. Unit usaha mudah keluar masuk dari satu sub sektor ke lain sub sektor. Teknologi yang dipergunakan bersifat tradisional. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil; tidak diperlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja. Pada umumnya, usaha termasuk golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau mengerjakan buruh berasal dari keluarga. Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak resmi. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi kota atau desa yang berpenghasilan rendah, tetapi terkadang juga berpenghasilan menengah.

  Berdasarkan konsep yang telah ada sebelumnya dan disesuaikan dengan kondisi saat ini maka yang digolongkan ke dalam sektor informal dalam masyarakat kawasan kumuh ( Slum Area ), yaitu pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, pemodalan, maupun penerimaannya. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian dan tidak mempunyai keterkaitan dengan usaha lain yang besar. Lokasi usaha ada yang menetap dan ada yang berpindah-pindah dan tidak membutuhkan tingkat pendidikan tinggi. Merupakan usaha kegiatan perorangan ataupun unit usaha kecil yang

  

 

 

  memperkerjakan tenaga kerja yang sedikit dari lingkungan hubungan keluarga, kenalan, atau berasal dari daerah yang sama.

  Dalam penelitian ini, para penghuni daerah Slum Area umumnya menyebar bekerja di sektor informal non produktif. Dengan pekerjaan yang bercirikan seperti ini, yaitu penghasilan yang relatif sedikit, pendapatan yang tidak tetap, jam kerja yang tidak menentu, rawan terhadap pemecatan, dan penggusuran, bahkan pelacuran dan penjualan narkoba. Hal ini merupakan ciri umum sektor informal Indonesia, khususnya di Medan yang identik dengan pendidikan rendah dan merupakan warga miskin perkotaan.

Dokumen yang terkait

Etos Kerja dan Gaya Hidup Masyarakat Slum Area di Kota Medan ( Studi Kasus di Gang Ksatria Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Maimoon )

1 70 122

Analisis Kehidupan Ekonomi dan Sosial Budaya Penduduk di Daerah Slum (Slum Area) di Kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan

5 84 119

Tingkat Adopsi Petani Sayur Mayur Terhadap Teknologi Budidaya Anjuran di Kelurahan Tanah Enam Ratus ( Studi Kasus : Kelurahan Tanah Enam Ratus Kecamatan Medan Marelan Kota Medan )

0 29 95

Partisipasi Masyarakat dalam Program Keluarga Berencana (KB) Nasional di Kelurahan Sei Rengas Permata Kecamatan Medan Area Kota Medan

0 41 83

Spekulasi Tanah Dalam Pembangunan CBD (Central Bussiness District) di Kota Medan (Studi Deskriptif di Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Maimun)

2 36 120

BAB I PENDAHULUAN - Usahatani dan Strategi Pengembangan Pertanian Organik Vertikultur di Kecamatan Medan Marelan Kota Medan (Studi Kasus : Kelurahan Terjun, Kecamatan Medan Marelan )

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peranan 2.1.1. Pengertian Peranan - Peranan Pekerja Sosial Masyarakat ( PSM ) Dalam Penanganan Lanjut Usia Di Jalan Marelan Gang Sepakat Kelurahan Rengas Pulau Kecamatan Medan Marelan

0 0 30

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Makna Pekerjaan Dalam Masyarakat - Ekspresi Peran Perempuan Pekerja Pengasuh Anak di Dalam Masyarakat (Studi Pada Perempuan Pengasuh Anak Etnis Batak Toba) di Kelurahan Sei Agul, Kecamatan Medan Barat, Medan

0 0 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Solidaritas Sosial - Solidaritas Pada Masyarakat Marginal di Perkotaan (Studi deskriptif Pada Anggota Lembaga Keuangan Masyarakat Kota (LKMK) Keska Kelurahan Sei Mati, Lingkungan XII Medan Maimun)

0 0 20

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Etos Kerja dan Gaya Hidup Masyarakat Slum Area di Kota Medan ( Studi Kasus di Gang Ksatria Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Maimoon )

0 0 12