Analisis Kehidupan Ekonomi dan Sosial Budaya Penduduk di Daerah Slum (Slum Area) di Kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan

(1)

KELURAHAN PULO BRAYAN KOTA KECAMATAN

MEDAN BARAT KOTA MEDAN

TESIS

Oleh

WASTON MALAU

127024015/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS KEHIDUPAN EKONOMI DAN SOSIAL BUDAYA

PENDUDUK DI DAERAH SLUM (SLUM AREA) DI

KELURAHAN PULO BRAYAN KOTA KECAMATAN

MEDAN BARAT KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) Program Studi Magister Studi Pembangunan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh

WASTON MALAU

127024015/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(3)

Kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan

Nama Mahasiswa : Waston Malau

Nomor Pokok : 127024015

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

( Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si )

Ketua Anggota

( Drs. Agus Suriadi, M.Si )

Ketua Program Studi Dekan

( Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA ) ( Prof. Dr. Badaruddin, M.Si )


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 28 Maret 2014

__________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si

Anggota : 1. Drs. Agus Suriadi, M.Si

2. Dr. Muryanto Amin, M.Si 3. Husni Thamrin, S.Sos, MSP 4. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA


(5)

PERNYATAAN

ANALISIS KEHIDUPAN EKONOMI DAN SOSIAL BUDAYA PENDUDUK DI DAERAH SLUM (SLUM AREA) DI

KELURAHAN PULO BRAYAN KOTA KECAMATAN MEDAN BARAT KOTA MEDAN

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 28 Maret 2014 Penulis


(6)

ANALISIS KEHIDUPAN EKONOMI DAN SOSIAL BUDAYA PENDUDUK DI DAERAH SLUM (SLUM AREA) DI

KELURAHAN PULO BRAYAN KOTA KECAMATAN MEDAN BARAT KOTA MEDAN

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kehidupan ekonomi dan sosial budaya serta strategi adaptasi dalam kehidupan ekonomi dan sosial budaya penduduk di daerah slum (slum area) di Kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi dokumen dan studi lapangan dengan menggunakan observasi dan interview. Lingkungan XXIV Kelurahan Pulo Brayan Kota merupakan pemukiman kumuh yang ditandai oleh ciri-ciri antara lain rumah yang dibangun secara berdempetan dan tidak teratur. Dinding rumah terbuat dari tepas, papan/tripleks dan sebagian kecil terbuat dari setengah batu bata tanpa plester dan setengah papan/tripleks. Atap rumah terbuat dari seng dan rumbia. Lantai rumah telah menggunakan semen kasar dan ada yang berlantai tanah. Lingkungan pemukiman terlihat jorok, kurangnya fasilitas penerangan, air bersih dan MCK. Warga pemukiman kumuh ini merupakan kaum urban yang datang dari berbagai daerah di sekitar kota Medan. Mereka bekerja di sektor informal dengan penghasilan yang rendah, sehingga mereka berada dalam kehidupan ekonomi yang miskin. Akibatnya adalah tingkat pendidikan orang tua dan anak-anak mereka sangat rendah yaitu hanya tamat SD dan SMP, sehingga kelak mereka hanya dapat bekerja di sektor informal. Kehidupan ekonomi yang miskin menyebabkan warga pemukiman kumuh ini terpaksa harus bersikap pasrah untuk bertempat tinggal di pemukiman kumuh tersebut. Dengan demikian kemiskinan tetap tersosialisasikan dari generasi orang tua kepada anak-anak mereka. Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya maka warga pemukiman kumuh ini mengembangkan berbagai strategi adaptasi. Strategi adaptasi dalam kehidupan ekonomi meliputi upaya mencari pekerjaan sampingan atau menambah jam kerja, meminjam uang atau mengutang di warung, mengurangi kuantitas dan kualitas makanan, menghemat atau mengurangi pengeluaran. Strategi adaptasi dalam kehidupan sosial budaya meliputi keikutsertaan dalam organisasi sosial kemasyarakatan, tetap memelihara hubungan yang baik dengan lingkungan kerabat. Adanya sikap pasrah, kemiskinan yang tersosialisasikan dan upaya mengembangkan berbagai strategi adaptasi untuk mempertahankan kelangsungan hidup merupakan ciri dari “kebudayaan kemiskinan” yang dimiliki warga pemukiman kumuh tersebut.

Kata kunci : pemukiman kumuh, kehidupan ekonomi dan sosial budaya, strategi adaptasi dan kebudayaan kemiskinan

i


(7)

DISTRICT WEST MEDAN, MEDAN CITY

ABSTRACT

The purpose of this study is to analyze the economic and socio-cultural life as well as the adaptation strategies in social, cultural and economic life of the population in slum areas (slum area) in Pulo Brayan City District, West Medan, Medan city. The instruments for collecting data are observation sheet and interview as the qualitative data and using the document and field study. XXIV environment Pulo Brayan City district is characterized by traits that include house which is built huddled and irregular. The wall is made of the tepas, board/plywood and a little bit parts are made of half-bricks without plaster and half board / plywood. The roofs are made of corrugated iron and thatch. The floor of the house has been using the rough cement and dirt floors. The environment looks dirty, lack of facilities of lighting, water and sanitation. The slum residents are the urban people which are coming from various areas around Medan city. They work in the informal sector with low income, so they live in the poor economy. Consequently, the level of education of the parents and their children is very low that are only graduated from elementary and junior high school, so that they can only work in the informal sector. The life of the poor economy caused the slum residents are forced to live in the slums area. Thus the poverty will be socialized from the parents’ generations to their children’s generation In order to survive the life, the slum residents develop some adaptation strategies. The adaptation strategies in the economic life include some efforts such as search for the second job or increase the office hours, borrow money or borrow in the stall, reduce the quantity and quality of food, save or reduce outcome. The adaptation strategies in the social and cultural life include the participation in social organizations, and maintain a good relationship with the environment relatives. The existence of resignation, the socialized poverty and efforts to develop the adaptation strategies for survival are a hallmark of the "culture of poverty" that the residents of the slum have.

Keywords: slums area, economic and socio-cultural life, adaptation strategies and culture of poverty


(8)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur pada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan berkah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, Penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K), sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA., selaku Ketua Program Studi Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Anggota Komisi Pembanding.

4. Bapak Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si sebagai Sekretaris Program Studi Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing 5. Bapak Drs. Agus Suriadi, M.Si sebagai Anggota Komisi Pembimbing

yang telah banyak memberikan arahan, motivasi dan ide-ide kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.

6. Bapak Dr. Muryanto Amin, M.Si dan Bapak Husni Thamrin, S.Sos, MSP, selaku Komisi Pembanding atas saran dan kritik yang diberikan.

7. Seluruh Dosen dan staf di Program Magister Studi Pembangunan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membantu baik di bidang Akademik maupun administratif. 8. Seluruh rekan – rekan seperjuangan angkatan XXV, atas dukungan dan

kerjasamanya, mudah – mudahan kita semua akan sukses, amin.

9. Seluruh informan yang telah banyak memberikan bantuan sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.

10.Buat isteri tercinta Dra. Herlina Marpaung dan anak - anakku tersayang Sesdi Floria Malau, SPd/Oslanto Siagian, Afriliando Malau, S.Kom, Winda Febrianti Malau, SE, serta cucu tersayang Alvindo Valentino Siagian, terima kasih atas dukungan dan motivasi yang kalian berikan.

Penulis menyadari tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat bagi seluruh pembaca. Semoga kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati kita semua. Amin.

Medan, 28 Maret 2014 Penulis

Waston Malau


(9)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Waston Malau

Tempat/ Tgl. Lahir : Balige, 18 Januari 1960

Alamat : Jl. Abadi No. 65 Tj. Rejo Medan Agama : Kristen Protestan

Status : Kawin

II. Keluarga :

Isteri : Dra. Herlina Marpaung

Anak : 1. Sesdi Floria Malau, S.Pd/Oslanto Siagian 2. Afriliando Malau, S.Kom

3. Winda Febrianti Malau, SE Cucu : Alvindo Valentino Siagian

III. Pendidikan :

SD Fajar Binjai, tahun 1965 - 1971 SMP Negeri 3 Binjai, tahun 1972 - 1974 SMA Negeri 1 Binjai, tahun 1975 - 1977 IKIP Negeri Medan, tahun 1978 - 1984

Magister Studi Pembangunan FISIP USU Medan, tahun 2012 - 2014

IV. Pekerjaan :

CPNS IKIP Medan, tahun 1985

Dosen Prodi Antropologi UNIMED (IKIP) , 1986 - sekarang

Medan, 28 Maret 2014 Penulis

Waston Malau


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ……… ii

KATA PENGANTAR ………. iii

RIWAYAT HIDUP ……….. iv

DAFTAR ISI ………. v

DAFTAR TABEL ……… vii

DAFTAR GAMBAR ……….. viii

DAFTAR LAMPIRAN ………. ix

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

1.1. Latar Belakang Masalah ………... 1

1.2. Rumusan Masalah ……….... 3

1.3. Tujuan Penelitian ………. 8

1.4. Manfaat Penelitian ………... 8

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN ……… 10

2.1. Urbanisasi dan Perkembangan Kota ……… 10

2.2. Pemukiman Kumuh (Daerah Slum) ………. 20

2.3. Kemiskinan dan Kebudayaan Kemiskinan ……….. 26

2.4. Defenisi Konsep ……….. 35

2.5. Kerangka Pemikiran ……… 36

BAB III METODE PENELITIAN ……… 38

3.1. Jenis Penelitian ……… 38

3.2. Lokasi Penelitian ……… 38

3.3. Informan Penelitian ………. 39

3.4. Teknik Pengumpulan Data ……….. 40

3.5. Teknik Analisa Data ……… 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …….. 42

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……… 42

4.1.1. Letak Kelurahan Pulo Brayan Kota ……… 42

4.1.2. Keadaan Penduduk ……….. 45

4.1.3. Sarana Pendidikan ……… 51

4.1.4. Sarana Kesehatan ………. 52

4.2. Kondisi Fisik Pemukiman Kumuh ……….. 53

4.3. Kehidupan Ekonomi Penduduk ……….. 60

4.3.1. Pekerjaan ………. 60

4.3.2. Pendapatan dan Pengeluaran ……….. 62

4.3.3. Kepemilikan Rumah dan Peralatan Rumah Tangga ……… 66

4.3.4. Kepemilikan Alat-alat Transportasi dan Elektronik ……….. 71

v


(11)

4.4. Kehidupan Sosial Budaya Penduduk ……… 72

4.4.1. Pendidikan ……… 72

4.4.2. Organisasi Sosial ……… 74

4.4.3. Interaksi Sosial Budaya ……… 76

4.5. Strategi Adaptasi dalam Mengatasi Kemiskinan…… 78

4.5.1. Strategi Adaptasi dalam Kehidupan Ekonomi 79

4.5.2. Strategi Adaptasi dalam Kehidupan Sosial Budaya ……….. 85

4.6. Analisis Teoritis Tentang Pemukiman Kumuh …… 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 91

5.1. Kesimpulan ……….. 91

5.2. Saran ……… 92

DAFTAR PUSTAKA ... 94


(12)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

4.1. Lingkungan, Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk ………….. 44 4.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa ………. 47 4.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Hidup… 50 4.4. Sarana Pendidikan ……… 51 4.5. Sarana Kesehatan ………. 52 4.6. Matriks Kehidupan Ekonomi dan Sosial Budaya Serta

Strategi Adaptasi Mengatasi Kemiskinan ………. …….. 88

vii


(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman 2.1. Kerangka Pemikiran ……… 37 4.1. Nama Kelurahan dan Luas Wilayah (Ha) ………... 43 4.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ……. 45 4.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia ………. 46 4.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ………….. . 48 4.5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan 49 4.6. Jarak Rumah Penduduk dengan Rel Kereta Api …….. .. 53 4.7. Kondisi Fisik Rumah Penduduk ………. .. 55 4.8. Sumur Galian untuk Keperluan MCK ………. 56 4.9. Saluran Pembuangan Air Limbah dari Rumah Penduduk 57 4.10 Tempat Pembuangan Sampah ………. 58 4.11. Genangan Air di Depan Rumah Penduduk ……… 59 4.12. Kondisi Atap Rumah Penduduk ……….. 69 4.13. Beca Dayung/Bermotor Sebagai Alat Transportasi dan

Untuk Mencari Nafkah ………. 72


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Daftar Informan ………. 97

2. Pedoman Wawancara ………... 100

3. Pedoman Observasi ……… 102

4. Peta Wilayah Kecamatan Medan Barat ………. 103

5. Peta Wilayah Kelurahan Pulo Brayan Kota …………... 104

ix


(15)

KELURAHAN PULO BRAYAN KOTA KECAMATAN MEDAN BARAT KOTA MEDAN

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kehidupan ekonomi dan sosial budaya serta strategi adaptasi dalam kehidupan ekonomi dan sosial budaya penduduk di daerah slum (slum area) di Kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi dokumen dan studi lapangan dengan menggunakan observasi dan interview. Lingkungan XXIV Kelurahan Pulo Brayan Kota merupakan pemukiman kumuh yang ditandai oleh ciri-ciri antara lain rumah yang dibangun secara berdempetan dan tidak teratur. Dinding rumah terbuat dari tepas, papan/tripleks dan sebagian kecil terbuat dari setengah batu bata tanpa plester dan setengah papan/tripleks. Atap rumah terbuat dari seng dan rumbia. Lantai rumah telah menggunakan semen kasar dan ada yang berlantai tanah. Lingkungan pemukiman terlihat jorok, kurangnya fasilitas penerangan, air bersih dan MCK. Warga pemukiman kumuh ini merupakan kaum urban yang datang dari berbagai daerah di sekitar kota Medan. Mereka bekerja di sektor informal dengan penghasilan yang rendah, sehingga mereka berada dalam kehidupan ekonomi yang miskin. Akibatnya adalah tingkat pendidikan orang tua dan anak-anak mereka sangat rendah yaitu hanya tamat SD dan SMP, sehingga kelak mereka hanya dapat bekerja di sektor informal. Kehidupan ekonomi yang miskin menyebabkan warga pemukiman kumuh ini terpaksa harus bersikap pasrah untuk bertempat tinggal di pemukiman kumuh tersebut. Dengan demikian kemiskinan tetap tersosialisasikan dari generasi orang tua kepada anak-anak mereka. Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya maka warga pemukiman kumuh ini mengembangkan berbagai strategi adaptasi. Strategi adaptasi dalam kehidupan ekonomi meliputi upaya mencari pekerjaan sampingan atau menambah jam kerja, meminjam uang atau mengutang di warung, mengurangi kuantitas dan kualitas makanan, menghemat atau mengurangi pengeluaran. Strategi adaptasi dalam kehidupan sosial budaya meliputi keikutsertaan dalam organisasi sosial kemasyarakatan, tetap memelihara hubungan yang baik dengan lingkungan kerabat. Adanya sikap pasrah, kemiskinan yang tersosialisasikan dan upaya mengembangkan berbagai strategi adaptasi untuk mempertahankan kelangsungan hidup merupakan ciri dari “kebudayaan kemiskinan” yang dimiliki warga pemukiman kumuh tersebut.

Kata kunci : pemukiman kumuh, kehidupan ekonomi dan sosial budaya, strategi adaptasi dan kebudayaan kemiskinan


(16)

THE ANALYSIS OF ECONOMIC AND SOCIO-CULTURAL LIFE OF POPULATION IN SLUM AREA IN THE PULO BRAYAN CITY

DISTRICT WEST MEDAN, MEDAN CITY

ABSTRACT

The purpose of this study is to analyze the economic and socio-cultural life as well as the adaptation strategies in social, cultural and economic life of the population in slum areas (slum area) in Pulo Brayan City District, West Medan, Medan city. The instruments for collecting data are observation sheet and interview as the qualitative data and using the document and field study. XXIV environment Pulo Brayan City district is characterized by traits that include house which is built huddled and irregular. The wall is made of the tepas, board/plywood and a little bit parts are made of half-bricks without plaster and half board / plywood. The roofs are made of corrugated iron and thatch. The floor of the house has been using the rough cement and dirt floors. The environment looks dirty, lack of facilities of lighting, water and sanitation. The slum residents are the urban people which are coming from various areas around Medan city. They work in the informal sector with low income, so they live in the poor economy. Consequently, the level of education of the parents and their children is very low that are only graduated from elementary and junior high school, so that they can only work in the informal sector. The life of the poor economy caused the slum residents are forced to live in the slums area. Thus the poverty will be socialized from the parents’ generations to their children’s generation In order to survive the life, the slum residents develop some adaptation strategies. The adaptation strategies in the economic life include some efforts such as search for the second job or increase the office hours, borrow money or borrow in the stall, reduce the quantity and quality of food, save or reduce outcome. The adaptation strategies in the social and cultural life include the participation in social organizations, and maintain a good relationship with the environment relatives. The existence of resignation, the socialized poverty and efforts to develop the adaptation strategies for survival are a hallmark of the "culture of poverty" that the residents of the slum have.

Keywords: slums area, economic and socio-cultural life, adaptation strategies and culture of poverty

ii


(17)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor alami yaitu kelahiran dan terutama juga pengaruh dari perpindahan penduduk yang sangat pesat dari desa ke kota (urbanisasi). Laju pertumbuhan penduduk yang pesat ini tentu akan membawa beragam permasalahan di daerah perkotaan seperti kemacetan dan kesemrawutan kota, kemiskinan, meningkatnya kriminalitas, munculnya pemukiman kumuh atau daerah slum (slum area) terutama pada lahan-lahan kosong seperti jalur hijau disepanjang bantaran sungai, bantaran rel kereta api, taman-taman kota maupun di bawah jalan layang.

Pemukiman kumuh (daerah slum) adalah daerah yang sifatnya kumuh tidak beraturan yang terdapat di daerah perkotaan. Pemukiman kumuh ini merupakan pemukiman liar karena dibangun di atas tanah milik negara atau tanah milik orang lain. Ciri-ciri daerah slum ini adalah banyak dihuni oleh pengangguran, tingkat kejahatan / kriminalitas tinggi, demoralisasi tinggi, emosi warga tidak stabil, miskin dan berpenghasilan rendah, daya beli rendah, kotor, jorok, tidak sehat dan tidak beraturan, warganya adalah kaum


(18)

2

migran yang bermigrasi dari desa ke kota, fasilitas publik sangat tidak memadai,kebanyakan warga slum bekerja sebagai pekerja kasar dan serabutan, bangunan rumah kebanyakan gubuk-gubuk dan rumah semi

permanen

Keberadaan permukiman kumuh menjadi salah satu indikator gagalnya pemerintah dalam melaksanakan program pembangunan perumahan dan tata kota yang berkelanjutan. Selain menimbulkan keruwetan tata ruang kota maka padatnya permukiman kumuh di sepanjang bantaran sungai, bantaran rel kereta api, areal pemakaman umum, di bawah jembatan maupun jalan layang ini juga berdampak bagi lingkungan hidup, kesehatan dan standar hidup warga perkotaan, serta rawan menimbulkan tindak kejahatan. Konflik juga tak terhindarkan ketika pemerintah daerah berusaha mengatur tata ruang dan tata kota yang amburadul, sementara keberadaan permukiman kumuh justeru dianggap sebagai solusi bagi warga miskin yang hidup di perkotaan. Sosialisasi yang dilakukan pemerintah pada proses penggusuran, relokasi, dan pembebasan lahan sangat minim sehingga sering kali menimbulkan penolakan warga, bahkan tak jarang mereka sampai bertindak anarkhis demi membela tempat tinggal “miliknya”. Kondisi ini memperlihatkan bahwa permasalahan permukiman kumuh harus mendapat skala prioritas dalam penanganannya.

Penghuni pemukiman kumuh (daerah slum) adalah sekelompok orang yang datang dari desa menuju kota dengan tujuan ingin mengubah nasib atau ingin mendapatkan kesuksesan, karena tidak mendapatkan peluang atau keberhasilan di daerah asalnya. Mereka mencoba keberuntungannya di kota Universitas Sumatera Utara


(19)

tanpa adanya keahlian yang memadai dan jenjang pendidikan yang cukup, sehingga akhirnya memasuki sektor informal yang terdapat di kawasan perkotaan. Mereka merupakan kaum termiskin di kota yang bekerja sebagai kuli pelabuhan, tukang becak, buruh kasar, tukang gali, kuli bangunan, menyemir sepatu, memungut barang-barang bekas (pemulung), menyapu jalan dan lain-lain. Ada kecenderungan untuk melakukan pekerjaan yang paling rendah upahnya. Akibatnya mereka berada dalam kehidupan ekonomi yang miskin karena hanya memiliki penghasilan yang rendah tetapi harus berhadapan dengan biaya hidup yang tinggi di kota. Rendahnya upah, parahnya pengangguran dan setengah pengangguran menjurus pada rendahnya pendapatan, langkanya harta milik yang berharga, tiadanya tabungan, tidak adanya persediaan makanan dan terbatasnya jumlah uang tunai. Semua kondisi ini tidak memungkinkan bagi adanya partisipasi yang efektif dalam sistem ekonomi yang lebih luas.

1.2. Rumusan Masalah

Medan sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia juga memiliki masalah dalam penataan pemukiman penduduk. yaitu banyaknya pemukiman kumuh yang menghiasi Kota Medan. Kawasan permukiman kumuh di Kota Medan saat ini diperkirakan mencapai 22,5% dari luas wilayah Kota Medan yang terdiri dari 88.166 unit rumah atau 13,62% dari jumlah rumah yang ada di Kota Medan. Kawasan permukiman kumuh tersebut tersebar di 145 titik lokasi, dimana pada umumnya berada pada bantaran sungai dan rel KA terutama di pusat kota (Pemko Medan, 2012).


(20)

4

Pemukiman kumuh tersebut menyebar di Kelurahan Tegal Sari Mandala I dan II, Kelurahan Binjai Medan Denai, Kelurahan Bahari Medan Belawan, Kelurahan Medan Barat, Kelurahan Aur Medan Maimoon,

Kampung Madras Kecamatan Medan Petisah (Waspada on line, 2011).

Jumlah penduduk Medan pada akhir tahun 2011 adalah 2.117.224 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,94% (BPS Kota Medan, 2012). Laju pertumbuhan penduduk Kota Medan sejak tahun 2005 telah menunjukkan kecenderungan menurun, tetapi walaupun demikian Kota Medan tercatat sebagai kota dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi yakni 7.987 jiwa/km2 (Pemko Medan, 2013). Kota Medan pada saat ini sedang mengalami masa transisi demografi. yaitu menurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), tetapi disisi lain meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang alik atau commuters (Pemko Medan, 2012).

Medan sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara telah berkembang menjadi pusat perekonomian daerah dan regional yang penting dan utama di Pulau Sumatera. Pertumbuhan ekonomi kota sebesar 7,69% per tahun menyebabkan warga desa semakin hari semakin terhisap oleh magnet ekonomi Kota Medan (Daulay, 2012). Migrasi ini terjadi karena terjadinya surplus jumlah sumber daya manusia yang terdapat di pedesaan dan adanya peluang kerja di perkotaan. Pada beberapa masyarakat pedesaan di dunia terdapat pandangan bahwa migrasi ke perkotaan adalah cara untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari sekedar pertanian di pedesaan Universitas Sumatera Utara


(21)

(Erwin, 2012). Derasnya arus migrasi ke Kota Medan menimbulkan sejumlah persoalan, antara lain adalah masih tingginya persentase jumlah warga miskin di Medan. Berdasarkan data yang dikeluarkan BPS Kota Medan, persentase jumlah warga miskin pada tahun 2010 adalah 10,05%. Hal ini disebabkan pertumbuhan dan pembangunan wilayah tidak mampu mengatasi terjadinya kesenjangan pendapatan antara masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan yang berpenghasilan tinggi. Masyarakat berpenghasilan rendah sangat sulit memperoleh rumah yang layak huni dan terjangkau, sehingga salah satu masalah terbesar penataan

Kota Medan adalah penataan pemukiman padat (Daulay, 2012).

Tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan sekaligus juga melambangkan tingkat kesejahteraan penghuninya. Bagi orang-orang yang berpenghasilan besar, mereka dapat membangun rumah bertingkat yang besar dan nyaman, memiliki halaman luas dan asri dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang lengkap serta memadai. Tetapi orang-orang miskin hanya mampu memiliki rumah yang bersifat sementara dan sangat jelek baik struktur maupun infrastruktur yang ada. Rumah-rumah dibangun seadanya saja sekedar bisa berlindung dari panas dan hujan maupun dinginnya udara dimalam hari, karena lahan yang ditempati bukan milik sendiri tetapi diperoleh secara illegal. Penghuni pemukiman kumuh ini harus puas tinggal di rumah petak atau gubuk reyot yang saling berhimpitan, dikelilingi saluran air mampet dan sampah di sepanjang jalan setapak dan lorong – lorong sempit, dengan ruangan kecil


(22)

6

berperabot seadanya, serta tanpa adanya akses air bersih maupun listrik yang memadai.

Warga perkotaan yang hidup di bawah garis kemiskinan terpaksa tinggal di pemukiman kumuh ini sembari mencoba mengubah nasibnya. Meskipun mereka sebenarnya tidak senang harus tinggal di pemukiman kumuh, tetapi keadaan ekonomi dan desakan kebutuhan membuat mereka “nekat” bertahan. Menurut Oscar Lewis dalam Suparlan (1984), kemiskinan mempunyai kaitan dengan kebudayaan sehinga pola-pola kelakuan dan sikap-sikap yang ditunjukkan oleh orang miskin adalah suatu cara yang paling tepat untuk dapat tetap melangsungkan kehidupan yang serba kekurangan tersebut. Kebudayaan kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistis dan berciri kapitalisme

Adaptasi merupakan penyesuaian, daya tahan atau kemampuan merespon individu, kelompok atau masyarakat terhadap lingkungan atau sesuatu kondisi baru yang dialaminya. Langkah-langkah atau cara yang diambil individu atau masyarakat dalam menyesuaikan diri atau memperkuat daya tahannya terhadap lingkungan disebut strategi adaptasi. Marzali dalam Marrung (2011) mengemukakan bahwa strategi adaptasi adalah perilaku manusia dalam mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki dalam menghadapi masalah-masalah sebagai pilihan-pilihan tindakan


(23)

ekologis di tempat dimana mereka hidup. Kemampuan individu dalam beradaptasi mempunyai nilai bagi kelangsungan hidupnya, sehingga makin besar kemampuan adaptasi individu maka makin besar pula kemungkinan kelangsungan hidupnya.

Salah satu dari pemukiman kumuh yang ada di Kota Medan terdapat di Kelurahan Pulo Brayan Kota, Kecamatan Medan Barat. Pemukiman kumuh ini berada di bantaran rel kereta api yang menghubungkan pusat Kota Medan dengan pelabuhan laut Belawan, yang seharusnya tempat ini merupakan daerah ruang terbuka hijau. Rumah-rumah penduduk didirikan secara tidak beraturan di sisi kiri kanan sejajar dengan rel kereta api tanpa adanya pembatas atau penghalang. Hal ini tentu tidak aman bagi penduduk yang berlalu lalang disana karena setiap saat dapat terjadi kecelakaan. Selain tidak nyaman dan berbahaya maka suara bising dari kereta api yang berulang-ulang melintas dapat menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran pada penduduk. Hal ini memunculkan berbagai pertanyaan misalnya siapakah yang menjadi penghuni pemukiman kumuh tersebut, bagaimana kehidupan ekonomi dan sosial budaya mereka, mengapa mereka cenderung bertahan untuk bertempat tinggal di pemukiman kumuh tersebut, bagaimana strategi adaptasi dalam kehidupan ekonomi dan sosial budaya mereka untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya di daerah pemukiman kumuh tersebut. Penelitian lapangan yang akan dilakukan di pemukiman kumuh ini diharapkan dapat memberikan jawaban-jawaban terhadap sejumlah pertanyaan yang telah dikemukakan tersebut.


(24)

8

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas maka pertanyaan penelitian (research question) dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Bagaimanakah kehidupan ekonomi dan sosial budaya penduduk di daerah slum (slum area) di Kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan?

b. Bagaimana strategi adaptasi penduduk dalam kehidupan ekonomi dan sosial budaya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya di daerah

slum tersebut?

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

a. Untuk menganalisis kehidupan ekonomi dan sosial budaya penduduk di daerah slum (slum area) di Kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat Kota Medan

b. Untuk menganalisis strategi adaptasi penduduk dalam kehidupan ekonomi dan sosial budaya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya di daerah slum tersebut.

1.4. Manfaat Penelitian


(25)

a. Manfaat Akademis :

1. Menambah khasanah pengetahuan tentang daerah slum (slum area)

2. Sebagai bahan perbandingan terhadap penelitian-penelitian sebelumnya tentang daerah slum (slum area)

3 Sebagai tambahan informasi untuk penelitian-penelitian berikutnya yang dilakukan terhadap daerah slum (slum area)

b. Manfaat Praktis :

1. Sebagai bahan masukan bagi para perencana dan pengambil keputusan dalam rangka membuat berbagai kebijakan yang berkaitan dengan penataan daerah slum (slum area)

2. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kota Medan dalam rangka menyusun berbagai program penataan lingkungan perkotaan


(26)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Urbanisasi dan Perkembangan Kota

Salah satu masalah yang dihadapi kota-kota di negara-negara berkembang adalah bertambahnya penduduk kota dengan sangat pesat, sebagai akibat dari kelahiran dan terutama oleh arus perpindahan penduduk secara besar-besaran dari desa ke kota (urbanisasi). Todaro dalam Manning (1985) memperkirakan bahwa pada tahun 1950 sekitar 38% penduduk kota tinggal di negara sedang berkembang dan pada tahun 1975 sekitar 750 juta penduduk negara sedang berkembang berada di kota dan pada tahun 2000 diperkirakan akan meningkat lebih dari 2½ kali. Sinulingga (1999) memperkirakan bahwa pada tahun 2020 penduduk perkotaan dunia akan menjadi 50% dan Asia akan menerima bagian sebesar 52%. Di Indonesia, persentase penduduk kota mencapai 42,4% pada tahun 2000 dan diproyeksikan mencapai 68%, sedangkan di Provinsi Sumatera Utara persentase penduduk kota terus meningkat yakni pada tahun 2000 sebesar 42,4%, pada tahun 2010 sebesar 50,1% dan diproyeksikan pada tahun 2025 mencapai 63,5% (Lubis, 2010).

Urbanisasi dapat diartikan tingkat kekotaan atau persentase jumlah penduduk yang tinggal di kota dibanding dengan jumlah penduduk

10


(27)

seluruhnya dan juga berarti suatu proses menuju bentuk perkotaan (Sinulingga, 1999; Kusumawijaya, 2006). Jadi terdapat dua pengertian yang terkandung dalam istilah urbanisasi yaitu : pertama, menunjuk pada suatu proses terbentuknya ciri-ciri kota yang kompleks karena terjadinya perpindahan penduduk atau migrasi dari suatu daerah yang bersifat homogen (desa atau kota kecil) menuju daerah yang bersifat heterogen (kota). Kedua, menunjuk pada perkembangan suatu daerah yang semula bersifat homogen berubah menjadi suatu kawasan yang bersifat heterogen. Dengan demikian, urbanisasi dapat diartikan sebagai berubahnya suatu masyarakat pada kawasan tertentu dari sifat homogen menjadi heterogen, baik disebabkan karena perkembangan masyarakat dari kawasan itu sendiri maupun karena proses migrasi dari daerah lain (Hariyono, 2007). Meskipun secara konseptual kedua pengertian urbanisasi tersebut dapat dibedakan tetapi dalam analisis sering dicampuradukkan dan pengertian urbanisasi yang paling sering digunakan adalah sebagai akibat dari terjadinya migrasi.

Grunfeld dalam Daldjoeni (2003) mengemukakan ada dua jenis urbanisasi atau pengkotaan yaitu pengkotaan fisik dan pengkotaan mental. Pengkotaan fisik berarti perkembangan kota dalam arti luas areal, jumlah dan kepadatan penduduknya, pembangunan gedung-gedung (arah horisontal atau vertikal), variasi tata guna lahannya yang non agraris. Sedangkan pengkotaan mental berarti perkembangan orientasi nilai-nilai dan kebisaan hidup meniru apa yang terdapat di kota-kota besar. Selanjutnya De Bruijne


(28)

12 dalam Daldjoeni (2003) mengemukakan ada tujuh defenisi dari urbanisasi, yaitu :

1. Pertumbuhan persentase penduduk yang bertempat tinggal di perkotaanbaik secara mondial, nasional maupun regional

2. Berpindahnya penduduk ke kota-kota dari pedesaan

3. Bertambahnya penduduk bermatapencaharian non agraris di pedesaan

4. Tumbuhnya suatu pemukiman menjadi kota

5. Mekarnya atau meluasnya struktur artefaktial-morfologis suatu kota di kawasan sekelilingnya

6. Meluasnya pengaruh suasana ekonomi kota ke pedesaan

7. Meluasnya pengaruh suasana sosial, psikologis dan kultural kota ke pedesaan; ringkasnya, meluasnya nilai-nilai dan norma-norma kekotaan ke kawasan luarnya.

Berpindahnya penduduk meninggalkan desa atau kota kecil menuju kota yang lebih besar karena adanya sesuatu yang lebih menarik dan lebih menguntungkan untuk tinggal di kota besar dibandingkan dengan desa atau kota kecil daerah asalnya. Faktor-faktor penarik yang ada di kota besar ini disebut “faktor penarik” (pull factor), sedangkan faktor-faktor yang ada di desa atau kota kecil yang mendorong penduduk meninggalkan daerah asalnya disebut “faktor pendorong” (push factor).


(29)

Terjadinya migrasi penduduk dari desa ke kota karena penduduk yang pindah itu ingin mencapai sesuatu yang lebih baik dalam kehidupannya. Keputusan bermigrasi merupakan suatu respon terhadap harapan tentang penghasilan yang lebih baik yang diperoleh di kota dibandingkan dengan yang diterima di daerah pedesaan (Sinulingga, 1999; Adisasmita, 2010). Kota-kota besar menjadi tempat berkembangnya industri dengan sektor ekonomi tersier yang kuat dan daya beli masyarakat yang kuat menyebabkan derasnya arus urbanisasi menuju daerah perkotaan. Industri membutuhkan beraneka ragam tenaga kerja, mulai dari tenaga kerja berpendidikan dan terampil sampai dengan tenaga kerja kasar. Penghasilan yang lebih mudah diperoleh melalui partisipasi di sektor industri dan sektor ekonomi tersier di kota, menyebabkan di pedesaan meluap pula hasrat penduduknya untuk memperbaiki nasib di kota, karena disanalah masih ada harapan (Daldjoeni, 2003).

Para pendatang baru itu umumnya tidak memiliki pendidikan dan keterampilan yang dibutuhkan dunia industri, namun mereka merasakan bahwa kesempatan hidup, mendapat pekerjaan dan gaji yang lebih tinggi akan lebih besar kemungkinannya diperoleh di kota jika dibandingkan kalau mereka tetap tinggal di desa. Tantu dalam Sumardi (1982) berdasarkan studi yang dilakukannya terhadap penduduk pendatang di Jakarta mengemukakan bahwa bila dilihat dari segi pendapatan yang diperolehnya sebagai tenaga kerja, maka ada kecenderungan penghasilannya lebih baik dibandingkan dengan pendapatannya ketika berada di desa asalnya. Oleh sebab itu, kaum


(30)

14 urban ini biasanya sudah siap untuk melakukan pekerjaan kasar apapun asalkan dapat mengubah kehidupannya (Auslan, 1986; Adisasmita, 2010).

Pemerintah juga berusaha meningkatkan industri dengan teknologi modern dan investasi dari negara maju untuk mencapai kemajuan ekonomi. Karena pertimbangan efisiensi maka lokasi industri ditempatkan di kota-kota besar. Industri yang berkembang adalah komoditi ekspor dan lokasi kota yang dekat dengan pelabuhan menyebabkan industri tetap terkonsentrasi di sekitar kota-kota besar dan tidak menyebar ke daerah pedalaman sehingga kota tidak berfungsi sebagai pusat pengembangan wilayah. (Sinulingga, 1999).

Reverstain dalam Sinulingga (1999), menyatakan bahwa daya tarik dari tempat tujuan adalah berkaitan dengan kesempatan ekonomi. Kegiatan ekonomi yang utama di pedesaan adalah pertanian, sehingga faktor tanah menjadi sangat penting. Angka kelahiran yang tinggi (akibat perbaikan sanitasi) telah membuat pertumbuhan penduduk desa yang cukup tinggi, sedangkan jumlah lahan pertanian tetap. Program pertanian belum ditingkatkan sehingga belum produktif dan distribusi lahan yang umumnya tidak merata, mengakibatkan kehidupan ekonomi pedesaan makin buruk. Kondisi yang tidak menguntungkan ini sering juga diperburuk oleh keadaan musim yang tidak menguntungkan. Selain motif ekonomi juga terdapat motif sosial seperti melanjutkan studi, mengikuti keluarga dll (Adisasmita, 2010; Soetomo, 2013).


(31)

pedesaan pindah ke kota adalah kemiskinan, kerusakan lingkungan dan gangguan keamanan. Pertambahan penduduk, lahan yang tetap dan teknologi pertanian yang belum produktif mengakibatkan perekonomian desa menjadi menurun dan di lain pihak di kota tampaknya lebih tersedia lapangan kerja yang cukup sehingga mendorong migrasi desa ke kota. (Sinulingga, 1999).Faktor-faktor pendorong urbanisasi menurut Charles Whynne-Hammond dalam Daldjoeni (2003) adalah :

1. Kemajuan di bidang pertanian

2. Industrialisasi

3. Potensi pasaran

4. Peningkatan kegiatan pelayanan 5. Kemajuan transportasi

6. Tarikan sosial dan kultural 7. Kemajuan pendidikan

8. Pertumbuhan penduduk alami

Urbanisasi di negara berkembang di Asia terutama pada negara-negara bekas jajahan termasuk Indonesia berbeda dengan negara maju yaitu pertumbuhan penduduk kota yang tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonominya. (Sinulingga, 1999). Akibat dari urbanisasi adalah meningkatnya jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan dan ini merupakan masalah krusial yang dihadapi hampir semua kota di Indonesia.


(32)

16 tinggal di pemukiman liar dan kumuh, serta terbatasnya akses penduduk ini pada pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih dan sanitasi (Soegijoko, 2005). Kota sebagai sumber perubahan akan mengubah masyarakat mulai dari lapisan terbawah hingga yang teratas. Di kota perubahan menjadi masalah gengsi, sehingga orang berlomba untuk berubah dan mencapai lapisan sosial yang tertinggi. Selain perubahan sosial, kota menawarkan perubahan di bidang ekonomi, politik dan pendidikan. (Daldjoeni, 2003).

Kaum migran dari desa ini tidak memiliki tingkat pendidikan dan keahlian yang dibutuhkan sektor industri dan sektor modern lainnya yang ada di kota kota besar sehingga mereka mencari pekerjaan apa saja yang dapat memberikan penghasilan. Industri di kota umumnya menggunakan tehnologi tinggi sehingga membutuhkan sedikit tenaga kerja dan harus yang memiliki ketrampilan tertentu. Oleh sebab itu banyak para migran tersebut yang tidak memperoleh pekerjaan sehingga menimbulkan persoalan serius yaitu pengangguran dan setengah pengangguran. Sobirin dalam Koestoer (2001) mengemukakan bahwa bertambahnya kaum migran yang keahlian dan ketrampilannya relatif terbatas, pertambahan penduduk alamiah kota disatu sisi, dan sementara kesempatan kerja yang tersedia makin terbatas, cenderung mengakibatkan degradasi tingkat ekonomi penduduk kota, yang ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk miskin dan pengangguran kota.


(33)

Urbanisasi yang terjadi di Indonesia mendorong timbulnya sektor informal (ekonomi informal) di kota. Sektor informal ini dianggap mengganggu pemandangan dan ketertiban kota, sebaliknya sektor informal yang ada di kota mampu menghidupi kaum urban meskipun dalam kondisi kehidupan yang pas-pasan. Keberadaan sektor informal ini menjadi daya tarik pula bagi orang desa untuk tinggal di kota. Sektor informal dicirikan oleh sektor ekonomi marginal dengan kondisi nyata kegiatan sejumlah tenaga kerja yang umumnya kurang berpendidikan, tidak punya keterampilan (Sumardi, 1982). Pendapat yang sama tentang pengertian sektor informal ini dikemukakan oleh Soetomo (2013) yaitu kegiatan ekonomi yang berada dalam status tidak resmi dalam suatu aturan yang mewakili golongan kurang mampu. Selanjutnya Sarosa dalam Soegijoko (2005) mengemukakan bahwa ekonomi informal perkotaan mempengaruhi wujud dan kehidupan kota tidak dapat dipungkiri lagi. Bagi mereka yang tinggal di kota-kota besar, keberadaan dan pengaruh ekonomi informal dapat dirasakan dan dilihat secara kasat mata. Dengan demikian, urbanisasi mendorong munculnya sektor informal dan sektor informal akan mendorong terjadinya urbanisasi sehingga akhirnya keduanya menjadi lingkaran setan yang tidak ada putusnya (Hariyono, 2007 ).

Pesatnya pertumbuhan penduduk kota sebagai dampak dari urbanisasi ini mengakibatkan munculnya kebutuhan akan rumah sebagai tempat bermukim. Tetapi karena sebagian besar mereka dari golongan miskin sehingga tidak mampu mendiami perumahan yang layak. Sebagian


(34)

18 diantaranya mencari tempat untuk menumpang di rumah keluarganya

sehingga suatu rumah dihuni oleh beberapa keluarga. Soebroto dalam Budihardjo (1992) mengemukakan bahwa melihat taraf penghasilan mereka, kemungkinan besar mereka tinggal di daerah pemukiman sempit, berdesak-desakan dan berdiri di atas status tanah yang tidak jelas, tidak memenuhi syarat kesehatan dan bahkan tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Jadi bagi mereka yang tidak mendapat tumpangan dan tidak mampu menyewa rumah, akan membangun rumah darurat secara liar pada tanah negara yang kosong atau pada jalur hijau sepanjang bantaran sungai, sepanjang bantaran rel kereta api, kolong jembatan maupun tempat lainnya yang seharusnya dibiarkan tanpa bangunan untuk kelestarian kota secara keseluruhan (Sinulingga, 1999).

Pemukiman kumuh dan papa tersebut selain dipandang merusak keindahan kota juga menjadi pusat pengangguran dan sumber penyakit, kejahatan, pelacuran serta borok sosial lainnya. Keadaan runyam ini sudah semestinya tak mampu memberi kesempatan bagi proses transformasi pada para migran yang berasal dari pedesaan ke dalam tata kehidupan urban yang dapat berlangsung secara wajar (Daldjoeni, 2003).

Banyak penyimpangan yang terjadi di pemukiman kumuh misalnya para pedagang yang tidak memiliki izin perdagangan yang sah, perusahaan industri kecil yang tidak memperhatikan peraturan keselamatan dan kesehatan lingkungan dan tidak membayar upah minimum sebagaimana ditetapkan dalam peraturan. Adakalanya sarana pelayanan


(35)

umum seperti listrik dan air secara sengaja tidak dimasukkan ke daerah pemukiman kumuh.

Masalah urbanisasi seringkali diikuti masalah sosio kultural serta masalah perkotaan lainnya. Para migran dari desa ini pada mulanya sering mengalami berbagai perasaan dan prilaku tertentu, misalnya terjadinya gejala cultural shock yaitu jiwanya yang terguncang karena pebedaan kultur yang dibawanya dari desa dengan kultur dari masyarakat kota yang baru dikenalnya. Gejala ini dapat kita lihat misalnya ketika mereka menyeberang jalan dengan perasaan yang waswas dan cemas sehingga menyeberang jalan dengan cara maju mundur. Kaum urban ini juga mengalami gejala cultural lag yaitu perbedaan tingkat kemajuan unsur-unsur kebudayaan yang dimiliki, misalnya tingkat pengetahuan dengan tehnologi. Akibatnya kaum migran ini tidak memiliki nilai yang dapat mendukung bagi kehidupan kota yang beradab, sehingga mudah muncul tindak kekerasan, perilaku semau gue. Misalnya berkenderaan dan menyeberang jalan dengan cara melawan arus lalu lintas, merusak pagar pemisah jalan, menyeberang jalan tidak melalui jembatan penyeberangan, membangun tempat berjualan tanpa memperhatikan aspek lingkungan seperti menggunakan halte bis sebagai tempat berjualan (Hariyono, 2007).

Ada tanggapan yang negatif dan yang positif terhadap urbanisasi. Tanggapan yang negatif melihat segalanya dari segi munculnya unsur-unsur marginal seperti pedagang kaki lima, gubuk liar, kaum gelandangan, kejahatan anak-anak, pelanggaran hukum dan hak azasi manusia, kemacetan


(36)

20 lalu lintas, pengangguran, narkotika dan sebagainya. Adapun tanggapan

yang positif, melihat kota sebagai tempat pusat modal, keahlian, daya kreasi, dan segala fasilitas yang mutlak bagi pembangunan (Daldjoeni, 2003; Kusumawijaya, 2006; Adisasmita, 2010).

2.2. Pemukiman Kumuh (Daerah Slum)

Pemukiman sering disamakan dengan perumahan, padahal keduanya memiliki arti yang berbeda walaupun pada hakikatnya saling melengkapi. Pemukiman memberi makna tentang pemukim atau kumpulan pemukim beserta sikap dan prilakunya di dalam lingkungan, sehingga pemukiman menitikberatkan pada manusia dan bukan pada sesuatu yang bersifat fisik atau benda mati. Sedangkan perumahan memberikan makna tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana lingkungan, jadi menitikberatkan pada aspek fisik atau benda mati (Mulia, 2008).

Kumuh merupakan pandangan masyarakat kelas atas (kaya) terhadap sikap dan tingkah laku yang rendah dari masyarakat kelas bawah (miskin). Kurniasih (2007) mengemukakan bahwa kumuh dapat dipahami sebagai sebab dan sebagai akibat. Kumuh sebagai sebab adalah kemunduran atau kerusakan lingkungan hidup dilihat dari: (1) segi fisik, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam seperti air dan udara, (2) segi masyarakat / sosial, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh manusia sendiri seperti kepadatan

lalulintas, sampah. Sebagai akibat, kumuh adalah perkembangan dari gejala-


(37)

gejala antara lain: (1) kondisi perumahan yang buruk, (2) penduduk yang terlalu padat, (3) fasilitas lingkungan yang kurang memadai, (4) tingkah laku menyimpang, (5) budaya kumuh, (6) apatis dan isolasi.

Pemukiman kumuh adalah gambaran yang diberikan terhadap pemukiman orang-orang miskin di daerah perkotaan. Pemukiman kumuh ini ditandai dengan gejala-gejala yaitu kondisi perumahan yang buruk karena tidak sesuai dengan persyaratan bangunan dan rumah yang sehat, penduduk yang terlalu padat, fasilitas yang kurang memadai seperti sarana air bersih, listrik, jalan, sanitasi, ruang terbuka dan fasilitas sosial lainnya. Suparlan (2007) mengemukakan ciri-ciri pemukiman kumuh sebagai berikut :

1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai

2. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangannya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin

3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.

4. Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai :

a. Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara dan karena itu


(38)

22 b. Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah Rukun

Tetangga atau sebuah Rukun Warga

c. Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai Rukun Tetangga atau Rukun Warga atau bahkan terwujud sebagai sebuah Kelurahan dan bukan hunian liar

5. Penghuni pemukiman kumuh secara sosial ekonomi tidak homogen, warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang beranekaragam, begitu pula asal muasalnya. Dalam masyarakat kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.

6. Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informal.

Selanjutnya Sinulingga (1999) mengemukakan ciri-ciri pemukiman kumuh tersebut adalah sebagai berikut :

1. Luas dan ukuran bangunan yang sempit dengan kondisi rata-rata yang tidak memenuhi standar kesehatan maupun standar kehidupan sosial yang layak

2. Kondisi bangunan rumah yang saling berhimpitan sehingga rentan dan rawan terhadap bahaya kebakaran

3. Kurangnya suplai terhadap kebutuhan air bersih


(39)

4. Jaringan listrik yang tidak tertata dan terpasang secara baik serta dengan kapasitas yang terbatas

5. Drainase yang sangat buruk

6. Jalan lingkungan yang buruk dan tidak memadai

7. Ketersediaan sarana MCK yang sangat terbatas.

Lingkungan pemukiman kumuh terlihat jorok karena warganya belum memiliki kesadaran untuk hidup bersih dan sehat. Rumah dibangun secara berdempetan dan tidak teratur, banyak warganya yang membuang sampah secara sembarangan sehingga aliran air tidak lancar. Akibatnya adalah sering muncul permasalahan di kawasan permukiman kumuh seperti bahaya kebakaran, banjir, masalah kesehatan dan lingkungan. Nurmaidah (2010) mengemukakan bahwa pemukiman kumuh ini tidak layak huni karena tidak memenuhi syarat sebagai tempat tinggal, dengan

kriteria antara lain :

a. Luas lantai perkapita, di kota kurang dari 4 m2 sedangkan di desa kurang dari 10 m2.

b. Jenis atap rumah terbuat dari daun dan lainnya.

c. Jenis dinding rumah terbuat dari anyaman bambu yang belum diproses. d. Jenis lantai tanah

e. Tidak mempunyai fasilitas tempat untuk Mandi, Cuci, Kakus (MCK).

Selain dicirikan oleh pemilihan lokasi tempat tinggal yang tidak layak huni, warga dari pemukiman kumuh umumnya terkonsentrasi pada berbagai


(40)

24 jenis pekerjaan di sektor informal seperti penjual makanan dan minuman (baik yang diproduksi sendiri maupun diambil dari orang lain), penjual rokok dan sejenisnya. Pada umumnya mereka berjualan secara berkeliling atau menggunakan “lapak” sebagai pedagang kaki lima. Jenis pekerjaan lainnya yang banyak dilakukan adalah sebagai pemulung, kuli bangunan dan pekerjaan kasar lainnya. Terkonsentrasinya mereka pada sektor informal ini adalah karena mudah dimasuki dan tidak memerlukan ketrampilan serta pendidikan yang tinggi. Sektor informal menyediakan berbagai barang dan jasa (misalnya tenaga kerja kurang terampil/kurang terdidik untuk kebutuhan pembangunan fisik kota), bahkan sebagian bisa mendukung keberlangsungan kehidupan sektor formal (Lubis, 2010).

Mata pencaharian warga pemukiman kumuh yang umumnya di sektor informal ini mengakibatkan tingkat kemampuan ekonominya rendah, tetapi perkembangan pemukiman kumuh ini di daerah perkotaan sangat pesat. Nurmaidah (2010), mengemukakan faktor yang mendorong

perkembangan pemukiman kumuh di daerah perkotaan adalah :

a. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi baik berasal dari pertumbuhan alamiah maupun terjadi akibat arus urbanisasi.

b. Mahalnya pembangunan rumah di kota ditunjang dengan keterbatasan lahan. c. Rendahnya kemampuan penduduk untuk tinggal di kawasan pemukiman

layak huni karena keterbatasan kondisi ekonomi.

d. Keterbatasan sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan hidup

masyarakat terutama masyarakat ekonomi kelas bawah.


(41)

Selain faktor-faktor ekonomi maka perkembangan pemukiman kumuh ini juga dipengaruhi pandangan warga miskin di perkotaan dalam memilih rumah tempat tinggal. Santoso dalam Kurniasih (2007) mengemukakan bahwa pandangan masyarakat berpenghasilan rendah dalam memilih rumah adalah:

1. Dekat dengan tempat kerja atau di tempat yang berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan, minimal pekerjaan di sektor informal

2. Kualitas fisik hunian dan lingkungan tidak penting sejauh mereka masih bisa menyelenggarakan kehidupan mereka.

3. Hak-hak penguasaan atas tanah dan bangunan khususnya hak milik tidak penting. Yang penting bagi mereka adalah mereka tidak diusir atau digusur, sesuai dengan cara berpikir mereka bahwa rumah adalah sebuah fasilitas.

Pemukiman kumuh sering juga disebut pemukiman liar karena dibangun secara tidak resmi (liar) pada lahan kosong di kota yang merupakan milik pemerintah maupun swasta, yang didiami oleh orang yang miskin karena tidak mempunyai akses terhadap pemilikan lahan tetap. Menurut Srinivas, istilah pemukiman liar sesungguhnya dimulai sejak masa pembangunan diprakarsai negara Barat (Lubis, 2010). Sebutan pemukiman liar sebenarnya tidak mengandung suatu kecenderungan kriminal, tetapi hanya menunjukkan hubungan antara kelompok orang dan perumahan di atas tanah tertentu, maksudnya seorang pemukim liar adalah yang menempati sebidang tanah, sebuah rumah atau sebuah bangunan tanpa kekuatan hukum (Auslan, 1986).


(42)

26 Menurut Oscar Lewis dalam Suparlan (1984), pemasalahan yang terdapat di pemukiman kumuh dan liar sangat kompleks. Pada pemukiman tersebut tercipta suatu kehidupan yang tidak nyaman yang mengakibatkan munculnya budaya kemelaratan seperti apatisme, serba curiga, putus asa, ketergantungan, rendah diri, kriminalitas, berorientasi pada masa kini yang kesemuanya disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

2.3. Kemiskinan dan Kebudayaan Kemiskinan

Pengertian kemiskinan dapat dilihat secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif, kemiskinan adalah suatu kondisi yang di dalamnya hidup manusia tidak layak sebagai manusia sedangkan secara kuantitatif kemiskinan adalah suatu keadaan dimana hidup manusia serba kekurangan atau tidak berharta benda (Mardimin, 2000). Pengertian yang banyak digunakan untuk memahami kemiskinan adalah secara kuantitatif sehingga kriteria dan garis kemiskinan ditentukan secara ekonomis yaitu suatu keadaan serba kekurangan sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhannya yang paling dasar sekalipun. Kebutuhan dasar minimal atau kebutuhan pokok meliputi kebutuhan akan makanan, pakaian, perumahan, perawatan kesehatan dan pendidikan (Soembodo, 2013). Beberapa kriteria lainnya yang digunakan dalam mengukur dan menentukan kemiskinan adalah konsumsi beras per kapita per tahun, kebutuhan gizi per orang per hari, konsumsi kalori per hari/bulan, dan lain-lain.

Tingkat kesejahteraan suatu keluarga dapat dilihat dari besarnya pengeluaran untuk membeli makanan dibandingkan dengan pengeluaran


(43)

untuk non makanan. Papanek (1986) mengemukakan bahwa golongan berpenghasilan rendah membelanjakan 85% pendapatannya untuk membeli makanan. Sedangkan data dari BPS (2010) memperlihatkan bahwa bagi masyarakat miskin di perkotaan, persentase pengeluaran rumah tangga terbesar adalah untuk makanan (73,5%), sedangkan untuk perumahan (8,43%), transportasi 2,48%), pendidikan (2,4%) dan listrik (3,3%). Jadi dengan kata lain bahwa rumah tangga/keluarga akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non makanan (Lubis, 2010). Hal ini sejalan dengan teori Ernest Engel yang menemukakan bahwa proporsi dari penghasilan yang dikeluarkan untuk membeli makanan berkurang dengan naiknya pendapatan (Sumardi, 1982).

Ada beberapa istilah kategoritatif yang digunakan dalam membicarakan kemiskinan, yaitu :

a. kemiskinan absolut adalah seseorang dikatakan miskin jika tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya untuk memelihara fisiknya agar

dapat bekerja penuh dan efisien.

b. kemiskinan relatif adalah jika kondisi seseorang atau sekelompok orang dibandingkan dengan kondisi orang lain.

c. kemiskinan stuktural adalah menunjuk kepada seseorang atau sekelompok orang yang tetap miskin atau menjadi miskin karena struktur masyarakatnya yang timpang karena tidak menguntungkan


(44)

28

d. kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang terjadi karena kultur masyarakatnya

e. kemiskinan natural adalah kemiskinan yang terjadi karena seseorang atau sekelompok orang tinggal di daerah yang kurang menguntungkan

Ada banyak faktor yang membuat seseorang atau sekelompok orang mengalami kemiskinan. Wiryotenoyo dalam Mardimin (2000) mengemukakan bahwa kemiskinan terjadi karena: a) orang tinggal di suatu daerah yang alamnya sangat miskin, b) karena orang menempuh gaya hidup yang membawa pada kemiskinan, c) karena orang menganut kepercayaan yang menganggap kekayaan sebagai salah satu sumber dosa, d) karena ketidakadilan baik individual maupun kolektif ataupun struktural. Soetrisno dalam Susiana (2000) mengemukakan ada dua aliran pemikiran dalam melihat substansi kemiskinan, yaitu :

a. Agrarian populism, yang melihat bahwa orang miskin dapat membangun diri sendiri jika pemerintah memberi kebebasan pada kelompok itu

untuk mengatur diri sendiri.

b. Aliran Budaya, yang melihat bahwa orang menjadi miskin karena tidak memiliki ethos kerja yang tinggi, tidak memiliki jiwa wiraswasta dan tingkat pendidikannya rendah.

Ahli lain yang mengemukakan pandangannnya mengenai penyebab kemiskinan adalah Robert Chambers, yang dikenal dengan konsep

deprivation trap (jebakan kekurangan) yaitu : a) kemiskinan itu sendiri;


(45)

b) kelemahan fisik; c) keterasingan; d) kerentanan; e) ketidakberdayaan (Susiana, 2000).

Emil Salim (1980) mengemukakan bahwa penduduk miskin tidak memiliki : a) mutu tenaga kerja yang tinggi, b) jumlah modal yang memadai, c) luas tanah dan sumber alam yang cukup, d) keterampilan dan keahlian yang cukup tinggi, e) kondisi fisik/jasmaniah dan rohaniah yang cukup baik, f) rangkuman hidup yang memungkinkan perubahan dan kemajuan. Ciri lain dari penduduk miskin ini dikemukakan oleh Sunuharyo dalam Sumardi (1982) yaitu : a) kekurangan nilai gizi makanan jauh di bawah normal/bukan kurang makan; b) hidup yang morat marit; c) kondisi kesehatan yang menyedihkan; d) pakaian selalu kumal tidak teratur; e) tempat tinggal yang jauh dari memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan (sempit, pengap dan kotor); f) keadaan anak-anak yang tak terurus/dibiarkan bergelandangan memenuhi kebutuhan masing-masing; g) tidak mampu mendapatkan pendidikan formal/non formal (ketiadaan biaya dan lemah kecerdasan). Jadi kaum miskin tidak memiliki asset produksi dan kemampuan meningkatkan produktifitas dan sebaliknya asset produksi serta kemampuan untuk meningkatkan produktifitas tidak mereka miliki karena mereka miskin. Dengan demikian kaum miskin terjerat dalam

lingkaran setan kemiskinan tanpa ujung pangkal.

Hidup dalam lingkaran setan kemiskinan itu menimbulkan sikap hidup serba pasrah terhadap kemiskinan itu. Mereka sudah terbiasa hidup dalam lingkungan serba miskin, sehingga hal ini kemudian menumbuhkan sistem


(46)

30

nilai yang memperlanjut (perpetuste) sikap hidup kemiskinan ini. Lewis dalam Suparlan (1984) mengemukakan bahwa para antropolog memahami kemiskinan dan ciri-cirinya sebagai sub kebudayaan dengan struktur dan hakikatnya tersendiri. Dengan demikian kemiskinan mempunyai kaitan dengan kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan penganut Teori Marginal yang dipelopori oleh Oscar Lewis. Teori Marginal berasumsi bahwa kemiskinan di perkotaan terjadi dikarenakan adanya “kebudayaan kemiskinan” (culture of poverty) yang tersosialisasi di kalangan masyarakat atau komunitas tertentu (Alfian, 2012).

Pola kelakuan dan sikap yang ditunjukkan oleh orang miskin adalah suatu cara yang paling tepat untuk dapat melangsungkan kehidupan yang serba kekurangan tersebut. Di kalangan masyarakat/kelompok yang berada dalam kondisi miskin seperti itu, berkembang suatu pedoman bagi kehidupan mereka yang diyakini kebenaran dan kegunaannya yang dilandasi oleh kemiskinan yang mereka derita bersama. Pedoman atau kiat-kiat untuk menghadapi fenomena miskin seperti itu kemudian melahirkan model-model adaptasi mereka dalam menghadapi kemiskinan. Karena dari cara hidup para migran di perkotaan inilah telah lahir pola adaptasi, nilai-nilai yang diyakini, respons dalam tindakan/sikap, dan pola-pola kelakuan yang khas penduduk miskin kota yang oleh para ahlinya disebut dengan

kebudayaan kemiskinan (Astika, 2010).

Dalam beberapa literatur tentang kemiskinan terdapat pendapat yang meyakini adanya “budaya kemiskinan”, yaitu rakyat miskin tetap miskin


(47)

karena lahir dalam lingkungan kemiskinan yang sulit untuk dipecahkan. Budaya ini memungkinkan golongan miskin bertahan di bawah paksaan tetapi pada saat yang sama kemiskinan itu menjadi kekal (Erwin, 2012). Kebudayaan kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistis dan berciri kapitalisme. Bagi mereka berbagai cara harus dilakukan, segala bantuan yang dapat diwujudkan, meminta bantuan kepada keluarga, kepada teman tak segan-segan mereka lakukan. Rasa gengsi atau malu harus dapat dihilangkan untuk sementara waktu. Segala jenis pekerjaan yang mereka anggap mungkin akan segera mereka lakukan (Erwin, 2012). Cara hidup inilah yang merupakan landasan bagi terbentuknya kebudayaan kemiskinan yang diwariskan dari generasi orang tua kepada generasi anak-anak melalui proses sosialisasi sehingga kebudayaan kemiskinan itu tetap lestari.

Adaptasi merupakan sifat dasar yang dimiliki manusia sebagai akibat adanya kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Adaptasi adalah proses penyesuaian dari individu, kelompok maupun unit sosial terhadap norma, proses perubahan maupun suatu kondisi yang diciptakan (Wahyudi, 2007). Langkah-langkah atau cara yang diambil individu atau masyarakat dalam menyesuaikan diri atau memperkuat daya tahannya terhadap lingkungan disebut strategi adaptasi. Marzali dalam Marrung (2011) mengemukakan bahwa strategi adaptasi adalah perilaku manusia dalam mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki dalam menghadapi


(48)

32

menghadapi masalah-masalah sebagai pilihan tindakan yang tepat guna sesuai dengan lingkungan sosial, kultural, ekonomi dan ekologis di tempat dimana mereka hidup. Jadi strategi adaptasi merupakan kemampuan individu mengembangkan seperangkat cara untuk mengatasi berbagai permasalahan hidupnya. Wahyudi (2007) mengemukakan bahwa masyarakat miskin memiliki dan mengembangkan strategi tertentu untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, sehingga apa yang dalam pandangan pihak luar merupakan tindakan irrasional dalam kenyataannya merupakan satu-satunya pemecahan dari himpitan kesulitan sosial

ekonomi. Masyarakat miskin di perkotaan tetap dapat survive walaupun

berulang-ulang mendapat tekanan dari kemiskinan. Hal ini disebabkan kemampuan mereka mengembangkan mekanisme survival yang paling rasional dan paling mungkin dilakukan. Soembodo (2013) mengemukakan mekanisme survival yang dikembangkan masyarakat miskin tersebut antara lain adalah :

a. memperkecil atau memperluas lingkaran anggota keluarganya agar dapat memenuhi kebutuhannya dan menyesuaikan diri dengan situasi sosial-ekonomi yang berubah

b. menganekaragamkan kegiatan-kegiatan kerja mereka sehingga pekerjaan-pekerjaan yang paling merendahkan martabat pun diterima kendati bayarannya rendah.


(49)

c. bekerja lebih banyak walaupun dengan lebih sedikit pemasukan, melakukan berbagai langkah penghematan, mencoba mengembangkan

perilaku subsistensi atau melakukan diversifikasi usaha

d. berutang pada sanak saudara, teman atau tetangga sebagai hal yang lazim dan paling populer. Mekanisme gali lubang tutup lubang bagi penduduk miskin adalah sesuatu hal yang biasa dilakukan, karena memang hanya dengan cara itu mereka dapat memperpanjang nafas untuk

melangsungkan kehidupannya.

Kemampuan segenap anggota keluarga dalam mengelola berbagai aset yang dimilikinya merupakan bagian dari strategi adaptasi masyarakat miskin untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Mosser dalam Simarmata (2009) mengemukakan berbagai pengelolaan aset sebagai strategi adaptasi yaitu :

a. Aset tenaga kerja : misalnya meningkatkan keterlibatan wanita dan anak dalam bekerja untuk membantu ekonomi rumah tangga

b. Aset modal manusia : misalnya memanfaatkan status kesehatan yang dapat menentukan kapasitas seseorang atau bekerja atau ketrampilan dan pendidikan yang menentukan umpan balik atau hasil kerja terhadap tenaga yang dikeluarkannya.

c. Aset produktif : misalnya menggunakan rumah, sawah, ternak, tanaman untuk keperluan lainnya.


(50)

34

d. Aset relasi rumah tangga atau keluarga : misalnya memanfaatkan jaringan dan dukungan dari sistem keluarga besar, kelompok etnis, migrasi

tenaga kerja dan mekanisme “uang kiriman”

e. Aset modal sosial : misalnya memanfaatkan lembaga-lembaga sosial lokal, arisan dan pemberi kredit dalam proses dan sistem perekonomian keluarga.

Kapasitas manusia dalam beradaptasi terlihat dari usahanya untuk megelola dan bertahan dalam kondisi lingkungannya. Edi Suharso dalam Simarmata (2009) mengemukakan bahwa strategi adaptasi dalam mengatasi

tekanan ekonomi dapat dikelompokkan menjadi :

a. Strategi Aktif : yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk (misalnya melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan sumber atau tanaman liar di lingkungan sekitar dan sebagainya).

b. Strategi Pasif : yaitu mengurangi pengeluaran keluarga (misalnya pengeluaran biaya untuk sandang, pangan, pendidikan, dan sebagainya). c. Strategi Jaringan Pengamanan : misalnya menjalin relasi, baik secara

informal maupun formal dengan lingkungan sosialnya dan lingkungan kelembagaan (misalnya: meminjam uang tetangga, mengutang ke warung, memanfaatkan program anti kemiskinan, meminjam uang ke rentenir atau bank, dan sebagainya).

Selanjutnya Wahyudi (2007) mengemukakan bahwa strategi adaptasi dalam mengatasi tekanan non ekonomi dapat dikelompokkan menjadi : Universitas Sumatera Utara


(51)

a. Strategi Aktif : yaitu melakukan berbagai kegiatan untuk melakukan

dukungan emosional (misalnya lebih giat dalam beribadah, mencari

nasihat orang lain)

b. Strategi Pasif : yaitu berusaha menghindari resiko yang diakibatkan oleh goncangan non ekonomi (misalnya mengurangi biaya sosial, kesehatan, pendidikan dan pasrah pada keadaan)

c. Strategi Jaringan : yaitu menjalin relasi untuk memperoleh bantuan baik secara informal maupun formal dari pihak lain (misalnya teman, tetangga, sanak keluarga).

2.4. Defenisi Konsep

a. kehidupan ekonomi adalah kemampuan yang dimiliki warga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti pekerjaan, pendapatan dan pengeluaran rumah tangga, kepemilikan terhadap rumah, peralatan rumah tangga, alat-alat transportasi, dll.

b. kehidupan sosial adalah kemampuan seseorang untuk beradaptasi dengan lingkungannya seperti pendidikan, keikutsertaan dalam berbagai organisasi sosial kemasyarakatan, interaksi sosial dengan sesama warga, dll.

c. kehidupan budaya adalah berkaitan dengan latar belakang budaya seperti suku bangsa dan adat istiadat dari warga pemukiman kumuh.


(52)

36 beraturan yang terdapat di daerah perkotaan

e. strategi adaptasi adalah perilaku manusia dalam mengalokasikan sumber

daya yang mereka miliki dalam menghadapi masalah-masalah sebagai

pilihan-pilihan tindakan yang tepat guna sesuai dengan lingkungan sosial,

kultural, ekonomi dan ekologis di tempat dimana mereka hidup.

2.5. Kerangka Pemikiran

Faktor kelahiran dan urbanisasi mengakibatkan pertumbuhan penduduk yang padat di daerah perkotaan sehingga mengakibatkan munculnya sejumlah permasalahan di daerah perkotaan. Salah satu diantara permasalahan tersebut adalah lahan pemukiman yang terbatas, sehingga mengakibatkan munculnya pemukiman kumuh. Analisis terhadap kehidupan ekonomi (pekerjaan, pendapatan, pengeluaran, kepemilikan rumah, peralatan rumah tangga, alat transportasi) dan kehidupan sosial budaya (pendidikan, organisasi sosial, interaksi sosial, latar belakang budaya) warga pemukiman kumuh perlu dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang strategi adaptasi warga pemukiman kumuh untuk mengatasi permasalahan kemiskinan yang dialaminya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan berikut ini :


(53)

Pemukiman Kumuh

Kehidupan Ekonomi Kehidupan Sosial Budaya

- pekerjaan - pendidikan - pendapatan - organisasi sosial - pengeluaran - interaksi sosial

- kepemilikan - latar belakang budaya rumah

- peralatan rumah tangga

- alat transportasi

Strategi Adaptasi

Ekonomi Sosial Budaya


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang berusaha untuk menggambarkan berbagai gejala kehidupan ekonomi dan sosial budaya warga pemukiman kumuh dan strategi adaptasi yang mereka kembangkan untuk mengatasi kemiskinan agar dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya.. Koentjaraningrat (1989) mengemukakan bahwa : “penelitian yang bersifat kualitatif menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan atau gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau frekuensi adanya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya”. Selanjutnya Nawawi (1991) mengatakan : “metode kualitatif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subjek/objek penelitian (masyarakat, lembaga, orang dan sebagainya) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya”.

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di daerah pemukiman kumuh (slum area) yang terletak di Kelurahan Pulo Brayan Kota, Kecamatan Medan Barat Kota

38


(55)

Medan. Lokasi penelitian ini dipilih karena menunjukkan ciri-ciri sebagai kawasan pemukiman kumuh yakni kondisi perumahan yang buruk dan padat sehingga tidak sesuai dengan persyaratan rumah yang sehat, penduduk yang terlalu padat, fasilitas yang kurang memadai seperti sarana air bersih, listrik, jalan, sanitasi, ruang terbuka dan fasilitas sosial lainnya. Kawasan pemukiman kumuh ini berada di bantaran rel kereta api yang masih aktif yakni jalur kereta api yang menghubungkan pusat Kota Medan dengan pelabuhan laut Belawan, sehingga sangat rentan terhadap terjadinya kecelakaan.

3.3. Informan Penelitian

Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini, maka diperlukan adanya informan penelitian. Karena penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi tentang kehidupan ekonomi dan sosial budaya penduduk pemukiman kumuh maka pemilihan informan didasarkan pada kriteria :

a. merupakan penduduk tetap di kawasan pemukiman kumuh

b. telah bertempat tinggal di kawasan tersebut dalam waktu yang cukup lama (di atas 5 tahun)


(56)

40

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dlakukan dengan beberapa

teknik, yaitu :

a. Studi Dokumen :

Studi dokumen dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder seperti data fisik lokasi penelitian, jumlah dan jenis hunian, data demografi, sarana dan prasarana lingkungan. Data sekunder ini diperoleh melalui berbagai sumber literatur seperti buku bacaan, jurnal penelitian, artikel dan termasuk bahan dari internet yang relevan dan mendukung penelitian ini. Selain itu data sekunder juga diperoleh dari instansi yang berkaitan dengan penelitian ini seperti BPS dan Kelurahan Pulo Brayan Kota.

b. Studi Lapangan :

Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer, melalui teknik :

1) Observasi (pengamatan) :

Observasi digunakan untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan aspek ekonomi, sosial, fisik hunian dan lingkungan.

2) Interview (wawancara) :

Wawancara digunakan untuk mengumpulkan data yang


(57)

berkaitan dengan aspek ekonomi dan sosial budaya. Bentuk wawancara yang digunakan adalah wawancara bebas (free interview). Sebagai pedoman dalam melaksanakan wawancara maka digunakan pedoman wawancara (interview guide). Hasil dari wawancara kemudian digali (probing) sehingga bersifat wawancara mendalam (indepth interview). Diharapkan data yang diperoleh melalui wawancara ini dapat berfungsi untuk melengkapi dan sekaligus untuk melakukan pemeriksaan terhadap data yang diperoleh melalui observasi.

3.5. Teknik Analisa Data

Data yang diperoleh melalui bahan bacaan (literatur), pengamatan dan wawancara akan dicatat secara sistematis, kemudian dipilah-pilah berdasarkan kategori-kategori yang telah ditetapkan sesuai dengan masalah penelitian. Selanjutnya data yang telah terpilah dalam kategorisasi ini akan diolah dan dilihat hubungan masing-masing kategori dan selanjutnya diinterpretasikan dengan menggunakan konsep dan teori yang dipaparkan pada bab sebelumnya sehingga akhirnya dapat ditarik kesimpulan.


(58)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1. Letak Kelurahan Pulo Brayan Kota

Kecamatan Medan Barat merupakan salah satu kecamatan yang termasuk dalam wilayah administratif Kota Medan, dengan luas wilayah 540,9 Ha. Batas-batas kecamatan ini adalah :

a. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Medan Petisah

b Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Medan Deli

c. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Medan Helvetia

d. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Timur.

Kecamatan Medan Barat berada di bagian tengah wilayah Kota Medan dan termasuk salah satu kecamatan inti, karena pada awal terbentuknya Kota Medan terdiri dari 4 kecamatan dan salah satunya adalah Kecamatan Medan Barat.

Kecamatan Medan Barat terdiri dari 6 kelurahan dan 98 lingkungan dan salah satu diantaranya adalah Kelurahan Pulo Brayan Kota, seperti terlihat dalam gambar berikut ini :

42


(59)

Gambar 4.1. Nama Kelurahan dan Luas Wilayah (Ha) Sumber : Kantor Kecamatan Medan Barat, 2013

Luas wilayah Kelurahan Pulo Brayan Kota adalah 69,9 Ha dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

a. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Mulia

b. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Glugur Kota

c. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Sei Agul

d. Sebelah Selatan berbatasan dengan kelurahan Pulo Brayan Darat dan Kelurahan Brayan Bengkel

Kelurahan Pulo Brayan Kota terdiri dari 25 lingkungan dengan sebaran seperti terlihat dalam tabel berikut ini :


(60)

44 Tabel 4.1. Lingkungan, luas wilayah dan jumlah penduduk

________________________________________________________ No. Lingkungan Luas Wilayah (Ha) Jumlah Penduduk/jiwa

________________________________________________________ 1 I 7,6 1.180

2 II 1,9 781 3 III 0,9 262 4 IV 0,7 317 5 V 2,5 1.104 6 VI 4,5 1.301 7 VII 5,5 813 8 VIII 1,3 283 9 IX 4,0 793 10 X 5,5 2.511 11 XI 1,6 1.275 12 XII 4,0 1.083 13 XIII 1,0 685 14 XIV 2,4 1.170 15 XV 1,2 458 16 XVI 1,6 550 17 XVII 1,6 300 18 XVIII 1,5 430 19 XIX 0,7 20 20 XX 2,0 645 21 XXI 3,4 549 22 XXII 1,7 435 23 XXIII 3,0 694 24 XXIV 4,0 424 25 XXV 4,0 484

________________________________________________________ Jumlah 18.457

________________________________________________________ Sumber : Kantor Kecamatan Medan Barat, 2013


(61)

Penelitian ini berlangsung di Lingkungan XXIV yang merupakan salah satu lokasi pemukiman kumuh di Kelurahan Pulo Brayan Kota. Luas lingkungan XXIV adalah 4,0 Ha dengan jumlah penduduk 424 jiwa ( 102 kk).

4.1.2 Keadaan Penduduk

Berdasarkan data yang diperoleh di kantor Kelurahan Pulo Brayan Kota, tercatat bahwa jumlah penduduk kelurahan tersebut adalah 18.457 jiwa (3.486 kk). Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Gambar 4.2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Sumber : Kantor Kelurahan Pulo Brayan Kota, 2013

Gambar di atas memperlihatkan bahwa berdasarkan jenis kelamin maka penduduk perempuan (9.461 jiwa = 51,26%) lebih banyak dari laki-laki (8.996 jiwa = 48,74%).

Komposisi penduduk berdasarkan usia memperlihatkan karakteristik demografis suatu wilayah seperti penduduk usia muda


(62)

46

(0 – 14 tahun), usia produktif (15 – 59 tahun) dan usia lanjut ( 60 tahun ke atas). Komposisi penduduk Kelurahan Pulo Brayan Kota berdasarkan usia dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Gambar 4.3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia Sumber : Kantor Kelurahan Pulo Brayan Kota, 2013

Gambar di atas memperlihatkan karakteristik demografis Kelurahan Pulo Brayan Kota adalah penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan usia muda maupun usia lanjut.

Penduduk Kelurahan Pulo Brayan Kota terdiri dari berbagai suku bangsa, antara lain Suku Bangsa Jawa, Minang, Batak (Toba, Karo, Mandailing, Pakpak/Dairi), Melayu, Aceh, Nias, Tionghoa, Tamil dan lain-lain. Komposisi penduduk berdasarkan suku bangsa

dapat dilihat pada tabel berikut ini :


(1)

6. Nama : J. Barus Jenis kelamin : laki-laki

Umur : 49 tahun

Pendidikan : SMP Suku bangsa : Batak Karo Pekerjaan : tukang bangunan

Alamat : Lingkungan XXIV Kelurahan Pulo Brayan Kota 7. Nama : W. Simamora

Jenis kelamin : laki-laki

Umur : 43 tahun

Pendidikan : SD

Suku bangsa : Batak Toba Pekerjaan : Penarik becak

Alamat : Lingkungan XXIV Kelurahan Pulo Brayan Kota 8. Nama : Nani

Jenis kelamin : perempuan

Umur : 50 tahun

Pendidikan : SD Suku bangsa : Jawa

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Lingkungan XXIV Kelurahan Pulo Brayan Kota 9. Nama : Norman

Jenis kelamin : laki-laki

Umur : 38 tahun

Pendidikan : SD Suku bangsa : Jawa

Pekerjaan : Penarik becak

Alamat : Lingkungan XXIV Kelurahan Pulo Brayan Kota 10. Nama : Yanti Sihombing

Jenis kelamin : perempuan

Umur : 40 tahun

Pendidikan : SMP Suku bangsa : Batak Toba

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Lingkungan XXIV Kelurahan Pulo Brayan Kota 11. Nama : Selamat Hariadi

Jenis kelamin : laki-laki

Umur : 55 tahun

Pendidikan : SMP Suku bangsa : Jawa Pekerjaan : Pedagang

Alamat : Lingkungan XXIV Kelurahan Pulo Brayan Kota


(2)

12. Nama : Muhammad Sahfikri Jenis kelamin : laki-laki

Umur : 36 tahun

Pendidikan : SD

Suku bangsa : Minangkabau Pekerjaan : Pedagang

Alamat : Lingkungan XXIV Kelurahan Pulo Brayan Kota 13. Nama : Elida Sihombing

Jenis kelamin : perempuan

Umur : 21 tahun

Pendidikan : SD

Suku bangsa : Batak Toba Pekerjaan : Pemulung

Alamat : Lingkungan XXIV Kelurahan Pulo Brayan Kota 14. Nama : Zulkifli Tanjung

Jenis kelamin : laki-laki

Umur : 54 tahun

Pendidikan : SMP

Suku bangsa : Minangkabau

Pekerjaan : Mocok-mocok (serabutan)

Alamat : Lingkungan XXIV Kelurahan Pulo Brayan Kota 15. Nama : N. br Nainggolan

Jenis kelamin : perempuan

Umur : 46 tahun

Pendidikan : SD

Suku bangsa : Batak Toba Pekerjaan : Pedagang


(3)

Pedoman Wawancara

A. Data Informan :

Nama : ………..

Umur : ………..

Jenis Kelamin : ……….

Pendidikan : ……….

Suku Bangsa : ……….

B. Daftar Pertanyaan :

1. a. Apa yang menjadi pekerjaan utama bapak/ibu b. Apa yang menjadi pekerjaan tambahan bapak/ibu

2. Siapa saja anggota keluarga yang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga

3. Rata-rata berapa jam dalam sehari yang bapak/ibu gunakan untuk bekerja (utama dan tambahan) dalam mencari nafkah

4. Berapa jauh jarak rumah bapak/ibu dengan tempat bekerja 5. Dari siapa bapak/ibu memperoleh pekerjaan tsb

6. Berapa jumlah rata-rata penghasilan (utama dan tambahan) per bulan dari semua anggota keluarga

7. Jenis dan jumlah pengeluaran dalam rumah tangga : a. makanan/minuman : Rp. ………./hari b. transportasi : Rp. ………./hari

c. kesehatan : Rp. ………./bulan

d. pendidikan : Rp. ………./bulan e. ibadah/STM : Rp. ……….

f. listrik : Rp. ………./bulan

g. air bersih : Rp. ………./bulan h. sewa rumah : Rp. ………./bulan i. jula-jula/arisan : Rp. ………./bulan j. tabungan/simpanan : Rp. ………./bulan

8. Apakah penghasilan yang diperoleh cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga setiap bulannya

9. a. Kalau cukup, apa alasannya : ……….. b. Kalau tidak cukup, apa alasannya: ……….. 10. Jika tidak cukup, apa usaha yang bapak/ibu lakukan untuk mengatasinya 11. Jika harus meminjam uang, kepada siapa bapak/ibu sering meminjamnya 12. Apakah pernah anggota keluarga harus mengurangi kuantitas dan kualitas makanan karena sedang mengalami kesulitan keuangan

13. Apa saja alat transportasi dan alat-alat elektronik yang bapak/ibu miliki 14. Bagaimana status kepemilikan rumah yang bapak/ibu tempati

100


(4)

15. Jika rumah ini merupakan milik sendiri, bagaimana caranya bapak/ibu memperolehnya

16. Jika merupakan milik sendiri, apakah rumah ini memiliki sertifikat hak milik

17. Sudah berapa lama bapak/ibu bertempat tinggal disini 18. Apakah tempat kelahiran bapak/ibu di kelurahan ini 19. Jika tidak, dari mana daerah asal bapak/ibu sebelumnya 20. Siapa yang mengajak bapak/ibu untuk bertempat tinggal disini 21. Mengapa bapak/ibu memilih untuk bertempat tinggal disini 22. Berapa jumlah anggota keluarga yang tinggal di rumah ini

23. Selain suami, isteri dan anak maka siapa lagi anggota keluarga yang tinggal di rumah ini

24. Apakah bapak/ibu memiliki kerabat/keluarga yang juga bertempat tinggal di kelurahan ini

25. Apa kegiatan yang biasanya bapak/ibu lakukan sehabis bekerja mencari nafkah

26. Apakah ada organisasi sosial kemasyarakatan (arisan, STM, dll) di kelurahan ini

27. Apakah anda juga menjadi anggota dari organisasi sosial tersebut 28. Apa kegiatan yang sering dilakukan di dalam organisasi sosial tersebut 29. Jika tetangga anda menghadapi masalah, apakah bapak/ibu mau membantu 30. Jika anda mendapat masalah, kepada siapa biasanya bapak/ibu minta tolong 31. Dimanakah biasanya anak-anak bapak/ibu bermain

32. Bagaimana kondisi fisik rumah yang bapak/ibu tempati a. luas rumah : panjang ………m x lebar ……….m b. bahan atap rumah ……….. c. bahan lantai rumah ……… d. dinding rumah ………... e. jumlah kamar tidur ……… f. jumlah kamar mandi ……….

33. Darimanakah sumber air minum dan sumber penerangan untuk rumah bapak/ibu

34. Apakah di rumah bapak/ibu mempunyai tempat pembuangan sampah tersendiri

35. Jika tidak ada, dimana biasanya membuang sampah

36. Jika rumah yang bapak/ibu tempati adalah milik sendiri, apakah pernah diperbaiki

a. kalau pernah, alasannya ……….. b. kalau tidak pernah, alasannya ………. 37. Apakah bapak/ibu sudah merasa puas bertempat tinggal disini

a. kalau puas, alasannya ………. b. kalau tidak puas, alasannya ……… 38. Apa yang paling bapak/ibu khawatirkan mengenai rumah dan lingkungan pemukiman ini


(5)

Pedoman Observasi

1. Kondisi fisik rumah : a. luas bangunan b. bahan lantai c. bahan dinding d. bahan atap

e. jumlah kamar tidur f. jumlah kamar mandi

g. sumber air untuk keperluan MCK h. sumber penerangan untuk rumah

2. Kondisi fisik lingkungan :

a. jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya b. keadaan jalan di sekitar pemukiman

c. gambaran keadaan pemukiman secara keseluruhan d. tempat pembuangan sampah rumah tangga dari warga

102


(6)