BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Konstipasi - Hubungan Kejadian Gejala Refluks Gastroesofageal dengan Konstipasi Fungsional pada Anak
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Konstipasi
18 Konstipasi berasal dari bahasa Latin “ constipare” yang berarti ramai bersama.
Konstipasi secara umum didefinisikan sebagai gangguan defekasi yang ditandai dengan frekuensi buang air besar kurang dari tiga kali dalam satu minggu, defekasi sulit dan disertai rasa sakit, ada periode defekasi dengan ukuran feses yang besar paling sedikit sekali dalam rentang 7 sampai 30 hari, atau dijumpai massa yang dapat teraba pada perut atau rektal pada
19
pemeriksaan fisik. Konstipasi terjadi karena menghindari rasa sakit yang timbul pada saat membuang tinja, sehingga anak menunda pembuangan
12
tinja. Konstipasi dapat bersifat akut ataupun kronik. Sebagian besar konstipasi
2 bersifat akut dan tidak berbahaya.
Menurut
the North American Society for Pediatric Gastroenterology and
Nutrition (NASPGAN), konstipasi merupakan keterlambatan atau kesulitan
dalam melakukan defekasi yang terjadi selama dua minggu atau lebih sehingga
5,9
dapat menyebabkan timbulnya stress pada pasien. Menurut kriteria Rome III, konstipasi fungsional pada anak apabila dijumpai setidaknya 1 kali dalam seminggu selama setidaknya 2 bulan dan meliputi 2 atau lebih gejala berikut pada anak dengan usia perkembangan lebih dari 4 tahun, dan tidak memenuhi
20
kriteria diagnosis
Irritable Bowel Syndrome, yaitu :
a) Buang air besar 2 kali seminggu atau kurang
b) Mengalami setidaknya 1 kali inkontinensia feses setiap minggu posturing)
d) Riwayat nyeri saat buang air besar atau feses yang keras
e) Terdapat massa feses yang besar direktum
f) Riwayat diameter feses yang besar sehingga dapat menyumbat toilet
2.2. Epidemiologi Konstipasi
Tiga sampai lima persen anak-anak yang berobat ke klinik pediatrik dan 25% anak-anak yang berobat ke klinik pediatrik gastroenterohepatologi menderita
3,4
konstipasi. Diperkirakan 0,3-28% anak-anak diseluruh dunia mengalami konstipasi. Lebih dari 90% konstipasi pada anak bersifat fungsional tanpa ada kelainan organik dan 40% diantaranya diawali sejak usia 1 sampai 4 tahun,
5-7 hanya 5% sampai 10% yang mempunyai kelainan penyebab organik.
Sebanyak 84% anak dengan konstipasi fungsional mengalami retensi feces. Dilaporkan sebanyak 3% anak prasekolah dan 1-34% anak sekolah mengalami
8-10 masalah konstipasi.
2.3. Patofisiologi konstipasi
Saluran cerna adalah organ panjang dan berbentuk seperti tabung yang dimulai dari mulut sampai anus. Tubuh mengolah makanan dengan menggunakan pergerakan dari otot disepanjang saluran cerna bersamaan dengan pelepasan hormon dan enzim. Usus manusia terdiri dari usus halus, usus besar dan anus.
Usus besar berfungsi untuk menyerap air dan sebagian nutrisi yang tersisa yang telah diolah sebagian oleh usus halus. Usus besar kemudian mengolah sisa makanan dari bentuk cair menjadi bentuk padat yang dinamakan tinja. kolon menyerap lebih banyak air yang menyebabkan tinja menjadi keras dan
2 kering.
Pada anak-anak, frekuensi pembuangan tinja bervariasi tergantung pada usia anak. Didapati penurunan jumlah pengeluaran tinja dari 4 kali sehari pada minggu awal usia kehidupan menjadi 1,7 kali sehari pada usia 2 tahun, dan 1,2 kali perhari pada usia 4 tahun yang berkorelasi dengan peningkatan massa tinja. Pada saat anak berusia 4 tahun pola buang air besar anak sudah sama seperti pada orang dewasa. Pada anak prapubertas, konstipasi lebih sering dijumpai pada anak laki-laki dibanding anak perempuan dengan perbandingan
21,22 3:1, dan pada masa remaja perbandingan ini menjadi terbalik.
2.4. Penegakan Diagnosis Konstipasi
Pemeriksaan fisik harus dilakukan yang meliputi pengukuran berat badan dan tinggi badan. Dari palpasi abdomen sering didapati massa fekal yang besar diregio suprapubik. Pada rectal touché dapat dijumpai retensi fekal yang menyebabkan dilatasi rektum. Adanya rambut halus di daerah tulang belakang, tidak adanya refleks kremaster menimbulkan kecurigaan kelainan neurologik. Infeksi saluran kencing yang berulang dan bukti adanya obstruksi dapat terjadi pada anak dengan konstipasi. Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan kadar hormon tiroid dan elektrolit jarang dilakukan kecuali jika dicurigai adanya
12,23 kelainan organik yang mendasari.
Diagnosis konstipasi dapat ditegakkan dengan kriteria ROME III yang
20
berdasarkan pada gejala klinis
20
dan remaja
Gejala berikut harus muncul setidaknya 1 kali dalam seminggu selama setidaknya 2 bulan dan meliputi 2 atau lebih gejala berikut pada anak dengan usia perkembangan lebih dari 4 tahun, dan tidak memenuhi kriteria diagnosis
Irritable Bowel Syndrome: 1.
≤ 2 kali buang air besar di toilet dalam 1 minggu
2. Setidaknya 1 kali episode inkontinensia fekal dalam 1 minggu
3. Adanya riwayat perilaku menahan buang air besar yang berlebihan (retentive
posturing)4. Adanya riwayat buang air besar yang sakit atau keras
5. Dijumpai massa fekal yang besar di rectum
6. Riwayat feses yang besar yang menyumbat toilet
Pemeriksaan radiologi seperti foto polos abdomen dapat digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya retensi feses, batas retensi feses dan menilai kelainan pada tulang belakang. Pemeriksaan radiologis ini juga dapat dilakukan pada anak yang tidak dijumpai massa feces di daerah suprapubik pada pemeriksaan abdomen, anak yang menolak dilakukannya
rectal touché,
anak obesitas dan anak yang masih mengalami gejala konstipasi walaupun
23 telahdiobati dengan laksatif.
Pemeriksaan
colonic transit study dengan manometri untuk mengukur
tekanan intraluminal dengan kateter merupakan pemeriksaan yang bersifat objektif, yang berfungsi untuk menilai tingkat keparahan konstipasi pada anak.
Pemeriksaan ini tidak perlu dilakukan pada sebagian besar anak dengan
23,24 konstipasi fungsional.
2.5. Tatalaksana Konstipasi
Terapi pada konstipasi dapat berupa pengeluaran tinja, terapi modifikasi
12
perilaku, obat-obatan dan konseling. Pengeluaran tinja dilakukan dengan obat baik secara oral maupun rectal. Pengeluaran tinja ini dilakukan sebelum terapi menyeluruh. Obat yang digunakan adalah minyak mineral (paraffin liquid) 15-30 ml/usia(tahun) dengan dosis maksimal 240 ml dalam sehari kecuali pada bayi.
Larutan polietilen glikol (PEG) dapat diberikan dengan dosis 20ml/kgBB/jam dengan dosis maksimal 1000ml/jam, obat ini diberikan melalui pipa nasogastrik selama 4 jam dalam sehari. Pengeluaran tinja dengan obat yang diberikan melalui rectum berupa enema fosfat hipertonik (dosis 3 ml/kgBB 2 kali dalam sehari dengan dosis pemberian maksimal 6 kali sehari), enema garam fisiologis
25 (dosis 600-1000ml), minyak mineral dengan dosis 120 ml.
Terapi modifikasi perilaku dilakukan dengan cara latihan kebiasaan pola buang air besar anak dan
toilet training. Anak dianjurkan untuk membuang air
besar segera setelah makan pagi dan malam. Latihan ini dilakukan secara perlahan-lahan dalam waktu 10 sampai 15 menit, agar anak tidak merasa tertekan. Toilet training yang dilakukan secara teratur akan melatih reflex
13
gastrokolik yang pada akhirnya akan menimbulkan reflex defekasi. Selain itu anak juga dianjurkan untuk banyak minum air putih dan mengkonsumsi sayur- sayuran dan buah-buahan. Dimana serat dan air ini berguna untuk melunakkan
13,25 tinja.
2.6. Hubungan kejadian gejala refluks gastroesofageal dengan konstipasi
fungsional pada anakKolon adalah organ utama terjadinya patofisiologi dari konstipasi, dimana pada
18,24
kolon terjadi penyerapan air. Impaksi dapat terjadi dibagian mana saja di
24
kolon. Sebagian besar anak dengan konstipasi fungsional mengalami konstipasi dan inkontinensia feces dapat berulang ataupun menetap sampai
26 usia dewasa.
Waktu normal transit di kolon pada anak sehat adalah 48 jam dan 24
18,24,27
sampai 100 jam pada orang dewasa. Gangguan waktu transit kolon terjadi pada 39 sampai 58% anak dengan konstipasi dan sebagian besar dari
28 keterlambatan waktu transit terjadi di rectum.
Saluran cerna mempunyai persarafan tersendiri yang terdiri dari faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor ekstrinsik terdiri dari saraf simpatetik dan parasimpatetik. Pada awalnya sistem saraf enterik ini diperkirakan sebagai saraf sederhana yang berfungsi untuk melanjutkan sinyal-sinyal otak, tapi setelah penelitian lebih lanjut diketahui bahwa sistem saraf enterik ini berfungsi untuk memodulasi pergerakan, sekresi, mikrosirkulasi, respon imun dan inflamasi dari saluran cerna. Faktor intrinsik terdiri dari pleksus Auerbach,
24,29
pleksus Schabadasch dan pleksus Meissner. Sistem saraf enterik mempunyai tubuh sel di ganglia pada myenterik atau pleksus submukosa yang berfungsi untuk melepaskan transmitter. Neurotransmitter seperti asetilkolin dan takikinin menyebabkan kontraksi pada saluran cerna sedangkan peptide vasoaktif usus,
nitrit oxide dan adenosine trifosfate berfungsi untuk merelaksasi
saluran cerna. Pada anak dengan pelambatan waktu transit kolon terjadi
30-34 kekurangan kolinergik pada system saraf di dinding saluran cerna.
Sebagian besar anak dengan konstipasi juga mengalami keterlambatan waktu pengosongan lambung. Hal ini terjadi karena distensi dari kolon akibat
35,36 konstipasi menginhibisi kontraksi dari lambung dan usus halus. saraf enterik, pleksus Auerbach dan otot polos saluran cerna. Lambung terdiri dari fundus dan antrum. Dimana fundus berfungsi untuk mengolah makanan
29
dan membawa makanan ke antrum. Gangguan pada waktu pengosongan lambung dapat menyebabkan timbulnya gejala refluks seperti muntah, regurgitasi, rasa terbakar di bagian tengah dada, cegukan, sendawa. Fungsi proteksi terhadap terjadinya refluks terjadi di spinkter bawah esofagus. Pada waktu istirahat tonus spinkter esofagus bawah berkisar 10-30 mmHg, dimana peningkatan tonus diatas 5-10 mmHg dari tekanan intragastrik dapat mencegah terjadinya refluks. Spinkter bawah esofagus mengalami relaksasi dengan
37
adanya peristaltik di esofagus yang disebabkan oleh pelepasan nitric oxide.
2.7. Kerangka Konseptual Gangguan waktu transit kolon Konstipasi Gangguan waktu pengosongan lambung REFLUKS
: variabel yang diteliti
Gambar 1. Kerangka konsep penelitian