BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keluarga Berencana (KB) - Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesediaan Suami Sebagai Akseptor KB Medis Operasi Pria (MOP) di Kecamatan Sitinjo Kabupaten Dairi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keluarga Berencana (KB)

  Menurut World Health Organization (WHO, 1970), Keluarga Berencana adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri untuk : mendapatkan objektif-objektif tertentu, menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur interval diantara kehamilan dan menentukan jumlah anak dalam keluarga (Anggraini, 2012).

  Dalam Undang-undang nomor 52 tahun 2009 Pasal 1 ayat 8 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga menyatakan bahwa Keluarga Berencana adalah Keluarga Berencana adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas.

  Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Keluarga Berencana adalah usaha-usaha yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun individu untuk mengatur jarak kelahirannya dengan menggunakan alat dan metode kontrasepsi.

  Tujuan umum keluarga berencana adalah membentuk keluarga kecil sesuai dengan kekuatan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara pengaturan kelahiran anak, agar diperoleh suatu keluarga bahagian sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

  Menurut Undang-undang nomor 52 tahun 2009 pasal 21 ayat 2, Keluarga berencana mempunyai tujuan sebagai berikut : (1) mengatur kehamilan yang diinginkan, (2) menjaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu, bayi dan anak, (3) meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, (4) meningkatkan partisipasi dan kesertaan pria dalam praktek keluarga berencana, (5) mempromosikan penyusuan bayi sebagai upaya untuk menjarangkan jarak kehamilan.

  Tujuan keluarga berencana berdasarkan rencana strategis 2005-2009 meliputi : (1) keluarga dengan anak ideal, (2) keluarga sehat, (3) keluarga berpendidikan, (4) keluarga sejahtera, (5) keluarga berketahanan, (6) keluarga yang terpenuhi hak-hak reproduksinya, (7) penduduk tumbuh seimbang (PTS).

  Sehingga kesimpulan dari tujuan keluarga berencana adalah memperbaiki kesehatan dan kesejahteraan ibu, anak, keluarga dan bangsa, mengurangi angka kelahiran untuk menaikkan tarif hidup rakyat dan bangsa, memenuhi permintaan masyarakat akan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi yang berkualitas, termasuk upaya-upaya menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan anak serta penanggulangan masalah kesehatan reproduksi.

  Sasaran program keluarga berencana yang tertuang dalam RPJMN 2004-2009 meliputi : (1) menurunnya rata-rata laju pertumbuhan penduduk menjadi sekitar 1,14 persen per tahun, (2) menurunnya angka kelahiran total (TFR) menjadi sekitar 2,2 per perempuan, (3) menurunnya PUS yang tidak ingin punya anak lagi dan ingin menjarangkan kelahiran berikutnya, tetapi tidak memakai alat/cara kontrasepsi

  (unmet need) menjadi 6 persen, (4) meningkatnya peserta KB laki-laki menjadi 4,5 persen, (5) meningkatnya penggunaan metode kontrasepsi rasional, efektif dan efisien, (6) meningkatnya rata-rata usia perkawinan pertama perempuan menjadi 21 tahun, (7) meningkatnya partisipasi keluarga dalam pembinaan tumbuh kembang anak, (8) meningkatnya jumlah keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera 1 yang aktif dalam usaha ekonomi produktif, (9) meningkatnya jumlah institusi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan program KB nasional.

2.2. Partisipasi Pria dalam Program KB

  Partisipasi adalah bentuk tanggung jawab pria dalam keterlibatan dan kesertaan dalam ber-KB dan kesehatan reproduksi, serta perilaku yang sehat dan aman bagi dirinya, pasangannya dan keluarganya. Partisipasi pria dalam program KB adalah bentuk nyata dan kepedulian serta keikutsertaan pria dalam pelaksanaan program KB. Peningkatan dan perluasan pelayanan KB termasuk pria merupakan salah satu usaha untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu yang sedemikian tinggi akibat kehamilan (BKKBN, 2002).

  Program Keluarga Berencana (KB) adalah suatu program yang dimaksudkan untuk membantu pasangan dan perorangan dalam mencapai tujuan reproduksi mereka, mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan mengurangi insiden kehamilan beresiko tinggi, kesakitan dan kematian, membuat pelayanan bermutu, terjangkau, diterima dan mudah diperoleh bagi semua orang yang membutuhkan dengan cara meningkatkan mutu masehat, komunikasi, informasi, edukasi, konseling dan pelayanan, meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab pria dalam praktek KB, dan meningkatkan pemberian ASI untuk penjarangan kehamilan (BKKBN, 2002).

2.2.1. Bentuk Partisipasi Pria dalam Program KB

  BKKBN melalui Direktorat Badan Partisipasi Pria telah menyusun kebijakan peran pria dalam KB (BKKBN, 2004), yang dijabarkan sebagai berikut : a.

  Sebagai peserta KB Partisipasi pria dalam program KB dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dapat menggunakan salah satu metode seperti kondom, senggama terputus atau vasektomi (MOP). Salah satu hambatan dalam menggunakan alat kontrasepsi secara langsung adalah terbatasnya metode KB pria. Sedangkan partisipasi pria secara tidak langsung dalam program KB yaitu menganjurkan, mendukung atau memberikan kebebasan kepada pasangannya (istri) untuk menggunakan kontrasepsi.

  b.

  Mendukung istri dalam menggunakan kontrasepsi Peran pria (suami) dalam menganjurkan, mendukung dan memberikan kebebasan kepada wanita pasangannya (istri) untuk menggunakan kontrasepsi atau cara/metode KB. Diawali sejak pria tersebut melakukan pernikahan dengan wanita pasangannya, merencanakan jumlah anak yang akan dimiliki sampai akhir masa reproduksi (menopause). Dukungan ini antara lain :

  • Memilih kontrasepsi yang cocok yaitu kontrasepsi yang sesuai dengan keinginan dan kondisi istrinya
  • mengingatkan saat minum pil KB, mengingatkan istri untuk kontrol

  Membantu pasangannya dalam menggunakan kontrasepsi secara benar, seperti

  Membantu mencari pertolongan bila terjadi efek samping maupun komplikasi

  • Mengantar istri ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk kontrol atau rujukan
  • Mencari alternatif lain bila kontrasepsi bila kontrasepsi yang digunakan saat ini
  • terbukti tidak memuaskan

  Menggantikan pemakaian kontrasepsi bila keadaan istrinya tidak memungkinkan

  • Membantu menghitung waktu subur apabila menggunakan metode pantang
  • berkala.

  c.

  Sebagai pemberi layanan KB Diharapkan juga pria mampu memberi pelayanan KB kepada masyarakat, baik sebagai motivator maupun sebagai mitra. Seorang calon motivator harus sudah menjadi peserta KB karena keteladanannya sangat dibutuhkan. Calon motivator harus telah mengetahui tentang : keuntungan dan kelemahan memakai salah satu alat kontrasepsi, bersedia melakukan Komunikasi, Informasi dan Edukasi Keluarga Berencana (KIE KB) kepada masyarakat sekitarnya, dan bersedia menjadi kader atau relawan.

  d.

  Merencanakan Jumlah Anak Bersama Pasangan Perlu dibicarakan antara suami dan istri dengan mempertimbangkan berbagai aspek antara lain kesehatan dan kemampuan untuk memberikan pendidikan dan kehidupan yang layak. Perencanaan keluarga menuju keluarga berkualitas perlu memperhatikan usia reproduksi istri, sebagai berikut : Masa menunda kehamilan untuk istri yang dibawah usia 20 tahun

  • Masa mengatur jarak kehamilan untuk istri yang berusia 20-30 tahun
  • Masa mengakhiri kehamilan untuk usia istri di atas 30 tahun.
  • 2.3. Kontrasepsi

  Istilah kontrasepsi berasal dari kata kontra dan konsepsi. Kontra berarti “melawan” atau “mencegah”, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara sel telur yang matang dengan sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari kontrasepsi adalah menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat adanya pertemuan antara sel telur dengan sel sperma. Untuk itu, berdasarkan maksud dan tujuan kontrasepsi, maka yang membutuhkan kontrasepsi adalah pasangan yang aktif melakukan hubungan seks dan kedua-duanya memiliki kesuburan normal namun tidak menghendaki kehamilan (Suratun, 2008).

  Kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan. Upaya ini dapat bersifat sementara maupun bersifat permanen, dan upaya ini dapat dilakukan dengan cara, alat atau obat-obatan (Proverawati, 2010).

  Kontrasepsi adalah alat yang digunakan untuk menunda, menjarangkan kehamilan, serta menghentikan kesuburan. Kontrasepsi adalah menghindari atau mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur dengan sperma tersebut. Ada dua pembagian cara kontrasepsi, yaitu cara kontrasepsi sederhana dan cara kontrasepsi modern (metode efektif) (Pinem, 2009).

2.3.1. Metode Kontrasepsi Pria

  Pilihan kontrasepsi yang tersedia bagi pria terbatas dibandingkan yang tersedia bagi wanita. Sebagian besar penelitian telah ditujukan pada klien wanita karena wanitalah yang akan hamil dan karena lebih mudah menghentikan ovulasi bulanan dari pada proses sperma yang terus-menerus.

  Adapun metode kontrasepsi yang tersedia bagi pria adalah : 1. Koitus Interuptus

  Adalah metode kontrasepsi dimana senggama diakhiri sebelum terjadi ejakulasi intra-vaginal. Ejakulasi terjadi jauh dari genitalia eksterna wanita, sehingga sering disebut dengan senggama terputus.

  2. Kondom Kondom merupakan selubung atau sarung karet yang terbuat dari berbagai bahan diantaranya lateks (karet), plastik (vinil) atau bahan alami (produksi hewani) yang dipasang pada penis saat berhubungan seksual. Kondom dipakai untuk menutupi penis yang sedang ereksi sebelum dimasukkan ke dalam vagina sehingga air mani tertampung didalamnya sehingga tidak terjadi pertemuan antara sperma dan sel telur.

  3. Sterilisasi pria Sterilisasi pria adalah salah satu jenis alat kontrasepsi mantap yang sama halnya ada pada wanita. Kontrasepsi mantap ini sering juga disebut dengan istilah Medis Operasi Pria (MOP) atau vasektomi. Kontrasepsi mantap pria atau vasektomi merupakan suatu metode kontrasepsi operatif minor pada pria yang sangat aman, sederhana dan sangat efektif, memakan waktu yang singkat dan tidak memerlukan anastesi umum (Hartanto, 2004).

2.4. Vasektomi/Medis Operasi Pria (MOP)

  Medis Operasi Pria (MOP) adalah tindakan pemotongan vas deferens (ductus

  

deferens ) dengan maksud memutuskan kontinuitas transportasi sperma dari testis

keluar, sehingga terjadi azoosperma pada pria (PKMI, 1996).

  Medis Operasi Pria (MOP) adalah tindakan memotong dan menutup saluran mani (vas deferens) yang menyalurkan sel mani (sperma) keluar dari pusat reproduksinya di testis. (Anggraini, 2012)

  Medis Operasi Pria (MOP) atau vasektomi adalah istilah dalam ilmu bedah yang terbentuk dari dua kata yaitu vas dan ektomi. Vas atau vasa deferensia artinya saluran benih yaitu saluran yang menyalurkan sel benih jantan (spermatozoa) keluar dari buah zakar (testis) yaitu tempat sel benih itu diproduksi menuju kantung mani (vesikulaseminalis) sebagai tempat penampungan sel benih jantan sebelum dipancarkan keluar pada saat puncak senggama (ejakulasi). Ektomi atau ektomia artinya pemotongan sebagian. Jadi, Vasektomi artinya adalah pemotongan sebagian (0,5 cm - 1 cm) pada vasa deferensia atau tindakan operasi ringan dengan cara mengikat dan memotong saluran sperma sehingga sperma tidak dapat lewat dan air mani tidak mengandung spermatozoa, dengan demikian tidak terjadi pembuahan, operasi berlangsung kurang lebih 15 menit dan pasien tidak perlu dirawat (Mulyani, 2013).

2.4.1. Syarat Menjadi Akseptor MOP

  Adapun syarat-syarat menjadi akseptor MOP adalah : 1. Harus secara sukarela

  Artinya klien memutuskan pilihan atas keinginannya sendiri dengan mengisi dan menandatangani informed concent.

  2. Mendapat persetujuan istri dalam melakukan vasektomi.

  3. Jumlah anak yang cukup Setiap suami dari suatu pasangan usia subur yang telah memiliki jumlah anak yang cukup minimal 2 orang dan yang paling kecil harus sudah berumur 4 tahun.

  4. Mengetahui akibat-akibat vasektomi Calon akseptor vasektomi harus mengetahui akibat setelah melakukan vasektomi yaitu setelah melakukan vasektomi maka akseptor tidak bisa lagi memiliki keturunan.

  5. Umur calon akseptor tidak kurang dari 30 tahun (Suratun, 2008).

2.4.2. Efektifitas MOP

  Efektifitas MOP sebagai berikut : 1. Angka kegagalan : 0 – 2,2%, umumnya < 1% 2. Kegagalan MOP umumnya disebabkan oleh : a.

  Senggama yang tidak terlindung sebelum semen/ejakulat bebas sama sekali dari spermatozoa b.

  Rekanalisasi spontan dari vas deferens, umumnya terjadi setelah pembentukan granuloma spermatozoa c.

  Pemotongan dan oklusi granuloma spermatozoa d. Jarang : duplikasi congenital dari vas deferens (terdapat lebih dari 1 vas deferens pada satu sisi)

2.4.3. Kelebihan dan Kekurangan MOP

  Kelebihan MOP adalah : 1. Tidak akan mengganggu ereksi, potensi seksual dan produksi hormon, 2.

  Perlindungan terhadap terjadinya kehamilan sangat tinggi, dapat digunakan seumur hidup.

3. Tidak mengganggu kehidupan seksual suami istri 4.

  Lebih aman (keluhan lebih sedikit), 5. Lebih praktis (hanya memerlukan satu kali tindakan), 6. Lebih efektif (tingkat kegagalannya sangat kecil), 7. Lebih ekonomis (hanya memerlukan biaya untuk sekali tindakan), 8. Tidak akan mengakibatkan dampak kematian (mortalitas), 9. Pasien tidak perlu dirawat di Rumah Sakit, 10.

  Tidak ada resiko kesehatan, 11. Tidak harus diingat-ingat, tidak harus selalu ada persediaan sifatnya permanen. Sedangkan kekurangan MOP adalah : 1. Harus ada tindakan pembedahan, 2. Tidak dilakukan pada suami yang masih ingin memiliki anak, 3.

  Kadang-kadang terasa nyeri, atau terjadi perdarahan setelah operasi, 4. Kadang-kadang timbul infeksi pada kulit skrotum, apabila operasinya tidak sesuai dengan prosedur (Meilani dkk, 2010).

2.4.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Penggunaan KB MOP

  Ada beberapa faktor yang memengaruhi suami dalam memilih alat kontrasepsi MOP, antara lain :

1. Umur Umur adalah jumlah waktu kehidupan yang telah dijalani oleh seseorang.

  Umur sering dihubungkan dengan kemungkinan terjangkit penyakit. Kelompok umur muda (anak-anak) ternyata lebih rentan terhadap penyakit infeksi (diare, infeksi saluran pernafasan). Usia-usia produktif lebih cenderung berhadapan dengan masalah kecelakaan lalu-lintas, kecelakaan kerja dan penyakit akibat gaya hidup (life style).

  Usia yang relatif lebih tua sangat rentan dengan penyakit-penyakit kronis (hipertensi, jantung koroner atau kanker) (Notoatmodjo, 2005).

  Umur juga dapat dihubungkan dengan potensi penggunaan alat kontrasepsi, khususnya alat kontrasepsi permanen (vasektomi/MOP). Umur calon akseptor tidak kurang dari 30 tahun. Pada umur tersebut kemungkinan calon peserta sudah memiliki jumlah anak yang cukup dan tidak menginginkan anak lagi. Apabila umur calon akseptor kurang dari 30 tahun, ditakutkan nantinya akan mengalami penyesalan seandainya masih menginginkan anak lagi. Umur istri tidak kurang dari 20 tahun dan tidak lebih dari 45 tahun. Pada umur istri antara 20-45 tahun bisa dikatakan istri dalam usia reproduktif sehingga masih bisa hamil. Sehingga suami bisa mengikuti kontrasepsi mantap (BKKBN, 1993).

  Menurut Suprihastuti (2000), bila dilihat dari segi usia, umur pemakai alat kontrasepsi pria cenderung lebih tua dibanding yang lain. Indikasi ini memberi petunjuk bahwa kematangan pria juga ikut mempengaruhi untuk saling mengerti dalam kehidupan keluarga. Sementara menurut Singarimbun (1996), usia suami menjadi salah satu faktor penting dalam memutuskan untuk menjadi akseptor kontrasepsi MOP atau tidak. Hal disebabkan oleh potensi reproduksi yang sangat berhubungan dengan umur. Rata-rata usia akseptor MOP adalah 38,5 tahun, sedangkan akseptor tubektomi adalah 33,7 tahun. Dan menurut Simanullang (2011) ada hubungan yang signifikan antara umur responden dengan penggunaan kontrasepsi MOP di Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang.

2. Pendidikan

  Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar mau melakukan tindakan-tindakan (praktek) untuk memelihara (mengatasi masalah- masalah), dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadaran melalui proses pembelajaran (Notoatmodjo, 2005).

  Hubungan antara pendidikan dengan pola pikir, persepsi dan perilaku masyarakat memang sangat signifikan, dalam arti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin rasional dalam pengambilan berbagai keputusan. Peningkatan tingkat pendidikan akan menghasilkan tingkat kelahiran yang rendah karena pendidikan akan mempengaruhi persepsi negatif terhadap nilai anak dan akan menekan adanya keluarga besar. Orang tua dalam keluarga tentu saja menginginkan agar anaknya berkualitas dengan harapan dikemudian hari dapat melanjutkan cita-cita keluarga, berguna bagi masyarakat dan negara. Untuk sampai pada cita-cita tersebut tentu saja tidak mudah, dibutuhkan strategi dan metode yang baik. Apakah mungkin menciptakan anak yang berkualitas di tengah waktu yang terbatas, karena kesibukan bekerja, dan apakah mungkin menciptakan anak berkualitas di tengah kondisi keuangan atau pendapatan yang terbatas.

  Hasil penelitian yang dilakukan Litbangkes (penelitian pengembangan kesehatan) di wilayah Puskesmas Tembilan kota Pekanbaru tahun 2008, bahwa pendidikan berhubungan dengan keikutsertaan pria dalam KB, semakin tinggi tingkat pendidikan suami, maka semakin mudah untuk menerima gagasan program KB (BKKBN, 2010). Namun dari hasil analisis lanjut SDKI 1997, pendidikan ternyata berpengaruh negatif terhadap pemakaian vasektomi, yang artinya semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin rendah kesertaan suami dalam program KB MOP.

3. Tingkat Pendapatan

  Tingkat pendapatan adalah satuan materi yang diperoleh dari hasil pekerjaan seseorang. Tingkat pendapatan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan, khususnya tindakan yang berhubungan dengan pekerjaan seseorang (Notoatmodjo, 2005).

  Tingkat pendapatan suatu keluarga sangat berpengaruh terhadap kesertaan suami dalam berKB. Nampaknya, bila PUS keduanya bekerja, berarti istri tidak bekerja atau memiliki pendapatan sendiri. Wijayanti (2004) akibat ketidaktahuan masyarakat di desa Timpik tentang metode MOP, mereka mengemukakan berbagai alasan, salah satunya biaya MOP atau vasektomi yang mahal. Alasan tersebut dikaitkan dengan penghasilan mereka sebagai petani kecil dan mereka menganggap tidak akan mampu menjangkau metode ini. Pernyataan responden bahwa biaya pelaksanaan MOP ini mahal, bila dibandingkan dengan metode kontrasepsi lainnya sebetulnya bisa dikatakan lebih murah, karena metode ini hanya dilakukan sekali selamanya. Sedangkan untuk metode lain, misalnya IUD yang sekali pasang hanya untuk jangka waktu tertentu, yang mana setelah itu harus dilepas dan tentunya dipasang lagi bila masih menginginkan metode kontrasepsi yang tentunya membutuhkan biaya lagi. Inilah yang membuktikan bahwa metode lain justru lebih mahal dari pada MOP.

4. Jumlah Anak

  Jumlah anak dapat didefenisikan sebagai jumlah anak hidup yang dimiliki oleh pasangan. Jumlah anak hidup mempengaruhi pasangan usia subur dalam menentukan pilihan jenis kontrasepsi yang digunakan. Pada pasangan dengan jumlah anak hidup rendah (sedikit) terdapat kecenderungan untuk menggunakan kontrasepsi dengan efektivitas rendah. Pilihan ini disebabkan oleh kemungkinan untuk memperoleh anak lagi. Pada pasangan dengan jumlah anak hidup yang banyak terdapat kecenderungan untuk menggunakan kontrasepsi dengan efektivitas tinggi, pilihan ini disebabkan oleh rendahnya keinginan untuk menambah anggota keluarga.

5. Pengetahuan

  Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia yakni : indra penglihatan, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2012).

  Pengetahuan seseorang biasanya dipengaruhi dari pengalaman yang berasal dari berbagai macam sumber, misalnya media massa, media elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan, media poster, kerabat dekat, dan sebagainya. Pengetahun dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga berperilaku sesuai keyakinan tersebut.

  Tingkat pengetahuan sangat berpengaruh terhadap proses menerima atau menolak inovasi. Roger (1974) dalam Notoadmodjo 2012 mengungkapkan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, dalam diri seseorang tersebut terjadi proses berurutan, yaitu :

  1. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek) .

  2. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus tersebut, disini sikap subjek mulai timbul.

  3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.

  4. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

  5. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

  Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung atau pun melalui pengalaman orang lain. Pengetahuan dapat ditingkatkan melalui penyuluhan baik secara individu maupun kelompok untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan perilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan materi yang ingin diukur dari objek penelitian atau responden kedalam pengetahuan yang ingin diketahui (Notoatmodjo, 2012).

  Dari penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh BKKBN tahun 2001 menunjukkan pengetahuan menjadi salah satu faktor rendahnya partisipasi pria dalam KB. Hal ini didukung dalam penelitian Anggraeni (2007) juga menyimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang memengaruhi keikutsertaan pria dalam ber-KB adalah akses pengetahuan yang masih rendah tentang keluarga berencana, sosial ekonomi keluarga, stigma di masyarakat bahwa KB adalah urusan wanita, pilihan metode KB bagi pria yang masih terbatas, dan faktor pemahaman terhadap masalah kesetaraan gender dalam pembagian tugas dan tanggung jawab keluarga.

  6. Sikap Sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang yang berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapinya.

  Kaitan ini didasarkan oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku. Kecenderungan berperilaku secara konsisten selaras dengan kepercayaan dan perasaan ini membentuk sikap individual. Sikap sering diperoleh dengan orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau obyek lain. Sikap-sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat (Notoatmodjo, 2007) bahwa sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang stimulus atau obyek. Karena itulah adalah logis untuk mengharapkan bahwa seseorang akan dicerminkannya dalam bentuk tendesi perilaku terhadap obyek. Sikap seseorang terhadap obyek adalah perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung pada obyek tertentu.

  7. Nilai Budaya Sejumlah faktor budaya dapat mempengaruhi klien dalam memilih metode kontrasepsi. Faktor -faktor ini meliputi salah pengertian dalam masyarakat mengenai berbagai metode, kepercayaan religius, serta budaya, tingkat pendidikan persepsi mengenai resiko kehamilan dan status wanita. Penyedia layanan harus menyadari bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi pemilihan metode di daerah mereka dan harus memantau perubahan-perubahan yang mungkin mempengaruhi pemilihan metode. Sosial budaya adalah suatu keadaan/kondisi yang diciptakan untuk mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat, yang mencakup semua bidang (Proverawati, 2009).

  Adat kebiasaan atau adat dari suatu masyarakat yang memberikan nilai anak laki-laki lebih dari anak perempuan atau sebaliknya. Hal ini akan memungkinkan satu keluarga mempunyai banyak anak. Bagaimana kalau keinginan untuk mendapatkan anak laki-laki atau perempuan tidak terpenuhi mungkin akan menceraikan istrinya dan kawin lagi agar terpenuhi keinginan memiliki anak laki-laki atau perempuan. Disini norma adat istiadat perlu diluruskan karena tidak banyak menguntungkan bahkan banyak bertentangan dengan kemanusiaan.

  Beberapa pandangan budaya terhadap perkawinan dalam keluarga dapat digambarkan sebagai berikut (Endang, 2002) : a.

  Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga dan menurunkan anak cucu.

  Menurunkan anak cucu dianggap sebagai suatu kebahagiaan yang setinggi- tingginya. Sebaliknya, putusnya keturunan dianggap sebagai hal yang mengecewakan bahkan ada yang menganggap suatu kebinasaan.

  b.

  Di dalam keluarga nilai anak laki-laki sering dianggap lebih penting dibanding perempuan. Hal ini berarti bahwa walaupun sudah beranak banyak dipandang kurang sempurna tanpa hadirnya anak laki-laki.

  c.

  Adanya pandangan mengenai keluarga yang tidak memiliki anak merupakan keluarga yang tidak atau kurang bahagia. d.

  Tidak pernah terpikirkan bahwa anak yang banyak akan mendatangkan kesengsaraan atau kemelaratan, berkurangnya pendapatan akan menimbulkan penderitaan berupa gangguan kesehatan ibu. Tiap anak dianggap membawa rejeki, tidak terpikirkan bahwa dengan terbatasnya jumlah anak seorang ibu akan mempunyai kondisi kesehatan yang lebih baik daripada ibu yang mempunyai banyak anak.

  Masih adanya pandangan bahwa perkawinan mengharapkan banyak anak, tanpa pembatasan, banyak anak dianggap sebagai tanda kemakmuran keluarga (bukan dari segi material saja).

8. Jarak dengan fasilitas kesehatan

  Menurut Wijono (1999) dalam Manuaba (2008), bahwa akses berarti bahwa pelayanan kesehatan tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial, budaya, organisasi atau hambatan bahasa. Keterjangkauan ini dimaksudkan agar pria dapat memperoleh informasi yang memadai dan pelayanan KB yang memuaskan.

  Keterjangkauan ini meliputi : 1)

  Keterjangkauan fisik Keterjangkauan fisik dimaksudkan agar tempat pelayanan lebih mudah menjangkau dan dijangkau oleh masyarakat sasaran, khususnya pria.

  2) Keterjangkauan ekonomi

  Keterjangkauan ekonomi ini dimaksudkan agar biaya pelayanan dapat dijangkau oleh klien. Biaya untuk memperoleh pelayanan menjadi bagian penting bagi klien. Biaya klien meliputi : uang, waktu, kegiatan kognitif dan upaya perilaku serta nilai yang akan diperoleh klien. Untuk itu dalam mengembangkan pelayanan gratis atau subsidi perlu pertimbangan biaya pelayanan dan biaya klien.

  3) Keterjangkauan psikososial

  Keterjangkauan psikososial ini dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan partisipasi pria dalam KB secara sosial dan budaya oleh masyarakat, provider, pengambil kebijakan, tokoh agama, tokoh masyarakat. 4)

  Keterjangkauan pengetahuan Keterjangkauan pengetahuan ini dimaksudkan agar pria mengetahui tentang pelayanan KB serta dimana mereka dapat memperoleh pelayanan tersebut dan besarnya biaya untuk memperolehnya. 5)

  Keterjangkauan administrasi Keterjangkauan administrasi dimaksudkan agar ketetapan administrasi medis dan peraturan yang berlaku pada semua aspek pelayanan berlaku untuk pria dan wanita. Selama ini dirasakan faktor aksesabilitas atau keterjangkauan pelayanan KB bagi pria masih sangat terbatas. Aksesabilitas informasi KB baik media Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE), konseling yang tersedia, informasi yang diberikan oleh petugas, tempat pelayanan yang ada masih bias gender.

9. Dukungan istri

  Menurut Friedmen (1998) dukungan keluarga merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap perilaku positif. Peran dukungan keluarga sendiri terbagi menjadi peran formal yaitu peran yang tampak jelas, bersifat eksplisit misalnya peran suami dan peran informasi seperti bantuan langsung dari keluarga. Dukungan keluarga mengacu pada dukungan sosial yang dipandang oleh anggota keluarga. Dukungan keluarga (suami/ istri) memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Baik keluarga inti maupun keluarga besar berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggota anggotanya. Dukungan sosial keluarga dapat berupa :

  a) Dukungan sosial keluarga internal : seperti dukungan dari suami, istri/dukungan dari keluarga kandung b)

  Dukungan sosial keluarga eksternal, yaitu dukungan keluarga eksternal bagi keluarga inti (dalam jaringan kerja sosial keluarga). Baik keluarga inti maupun keluarga besar berfungsi sebagai sistem pendukung bagi angota-anggotanya

2.5. Teori Perilaku

  Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respons/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dalam dirinya. Respons ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan : berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Sesuai dengan batasan ini, perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan.

2.5.1. Determinan Perilaku Manusia

  Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku merupakan resultan dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Secara garis besar perilaku manusia dapat dilihat dari tiga aspek, yakni aspek fisik, psikis, dan sosial. Akan tetapi dari ketiga aspek tersebut sulit untuk ditarik garis tegas batas-batasnya. Secara lebih terinci, perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya.

  Namun demikian, pada realitasnya sulit dibedakan atau dideteksi gejala kejiwaan yang menentukan perilaku seseorang. Apabila ditelusuri lebih lanjut, gejala kejiwaan tersebut ditentukan atau dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, diantaranya adalah faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosio-budaya masyarakat dan sebagainya sehingga proses terbentuknya perilaku dapat diilustrasikan seperti gambar berikut :

  • Pengetahuan • Pengalaman • Persepsi • Keyakinan • Sikap • Lingkungan • Keinginan Perilaku • Sosio-
  • Kehendak Budaya • Motivasi • Niat

Gambar 2.1. Determinan Perilaku Manusia

2.5.2. Determinan Perilaku Kesehatan Faktor yang menentukan atau membentuk perilaku disebut determinan.

  Banyak teori tentang determinan perilaku ini, masing-masing mendasarkan pada asumsi-asumsi yang dibangun. Dalam bidang perilaku kesehatan, ada 3 (tiga) teori yang sering menjadi acuan dalam bidang-bidang penelitian kesehatan masyarakat. Ketiga teori tersebut adalah :

1. Teori Lawrencen Green Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan.

  Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour causes).

  Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor, yaitu : a.

  Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factors), yaitu faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain : pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan sebagainya.

  b.

  Faktor-faktor pemungkin (Enabling faktors), yaitu faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan dalam bentuk fisik. Yang dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana kesehatan, misalnya Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit, alat kontrasepsi, obat-obatan, jamban, tempat pembuangan air, tempat pembuangan sampah, tempat olah raga, makanan bergizi, uang, dan sebagainya.

  c.

  Faktor-faktor penguat (Reinforcing faktors), yaitu faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang, meskipun seseorang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Seorang ibu hamil tahu manfaat periksa hamil dan di dekat rumahnya ada Polindes, dekat dengan dengan bidan, tetapi ia tidak mau melakukan periksa hamil, karena ibu lurah dan ibu-ibu tokoh lainnya tidak pernah periksa hamil, namun anaknya tetap sehat. Hal ini berarti, bahwa berperilaku sehat memerlukan contoh dari para tokoh masyarakat.

  Model ini dapat digambarkan sebagai berikut :

  B = f (PF, EF, RF)

  dimana : B = Behaviour PF = Predisposing factors EF = Enabling factors RF = Reinforcing factors f = fungsi

2. Teori Snehandu B. Karr

  Karr mencoba mengidentifikasi bahwa ada 5 (lima) determinan perilaku, yakni : a.

  Adanya niat (intention) seseorang untuk bertindak sehubungan dengan objek atau stimulus di luar dirinya.

  b.

  Adanya dukungan dari masyarakat sekitarnya (social support). Di dalam kehidupan masyarakat, perilaku orang tersebut cenderung memerlukan legitimasi dari masyarakat sekitarnya. Apabila perilaku tersebut bertentangan atau tidak memperoleh dukungan dari masyarakat, maka ia akan merasa kurang atau tidak “nyaman”. Demikian pula untuk berperilaku kesehatan orang memerlukan dukungan masyarakat di sekitarnya, paling tidak, tidak menjadi gunjingan atau bahan pembicaraan masyarakat.

  c.

  Terjangkaunya informasi (accessibility of information), adalah tersedianya informasi-informasi yang terkait dengan tindakan yang akan diambil seseorang.

  Sebuah keluarga mau ikut program keluarga berencana, apabila keluarga ini memperoleh penjelasan yang lengkap tentang keluarga berencana : tujuan ber- KB, bagaimana cara ber-KB (alat-alat kontrasepsi yang tersedia), akibat-akibat sampingan ber-KB, dan sebagainya.

  d.

  Adanya otonomi atau kebebasan pribadi (personal autonomy) untuk mengambil keputusan.

  e.

  Adanya kondisi dan situasi yang memungkinkan (action situation). Untuk bertindak apapun memang diperlukan suatu kondisi dan situasi yang tepat.

  Kondisi dan situasi mempunyai pengertian yang luas, baik fasilitas yang tersedia serta kemampuan yang ada.

  Uraian di atas dapat dirumuskan sebagai berikut :

  B = f (BI, SS, AI, PA, AS)

  dimana : B = behaviour F = fungsi BI = Behaviour Intention SS = Social support AI = Accessibility of information PA = Personal autonomy AS = Action situation

3. Teori WHO

  Tim kerja dari WHO merumuskan bahwa penyebab seseorang berperilaku tertentu adalah karena adanya 4 (empat) faktor, yaitu : a.

  Pemahaman dan pertimbangan (thoughts and feeling), yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan, dan penilaian-penilaian seorang terhadap objek (dalam hal ini adalah objek kesehatan).

  1. Pengetahuan Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.

  Seorang anak memperoleh pengetahuan bahwa api itu panas setelah memperoleh pengalaman tangan atau kakinya kena api. Seorang itu akan mengimunisasikan anaknya setelah melihat anak tetangganya kena penyakit polio sehingga cacat, karena anak tetangganya tersebut belum pernah memperoleh imunisasi polio.

  2. Kepercayaan Kepercayaan sering diperoleh dari orang tua, kakek, atau nenek. Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa ada pembuktian terlebih dahulu, misalnya : wanita hamil tidak boleh makan telur agar tidak kesulitan waktu melahirkan.

  3. Sikap Sikap menggambarkan suka atau tidak suka terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat.

  Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain.

  Sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain : a)

  Sikap akan terwujud di dalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu. Misalnya, seorang ibu yang anaknya sakit segera ingin membawanya ke puskesmas, tetapi pada saat itu tidak mempunyai uang sepeser pun sehingga ia gagal membawa anaknya ke puskesmas.

  b) Sikap akan diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan yang mengacu pada pengalaman orang lain. Seorang ibu tidak mau membawa anaknya yang sakit keras ke rumah sakit, meskipun ia mempunyai sikap yang positif terhadap rumah sakit, sebab ia teringat akan anak tetangganya yang meninggal setelah beberapa hari di rumah sakit.

  c) Sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasarkan pada banyak atau sedikitnya pengalaman seseorang. Seseorang akseptor KB dengan alat kontrasepsi IUD mengalami pendarahan. Meskipun sikapnya sudah positif terhdap KB, tetapi ia kemudian tidak mau ikut KB dengan alat kontrasepsi apapun.

  d) Nilai (value)

  Di dalam suatu masyarakat apapun selalu berlaku nilai-nilai yang menjadi pegangan setiap orang dalam menyelenggarakan hidup bermasyarakat.

  Misalnya, gotong-royong adalah suatu nilai yang selalu hidup di masyarakat. b.

  Orang penting sebagai referensi (personal Reference) Perilaku orang, lebih-lebih perilaku anak kecil lebih banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang dianggap penting. Apabila seorang itu dipercaya, maka apa yang ia katakan atau perbuatan cenderung untuk dicontoh. Untuk anak-anak sekolah misalnya, maka gurulah yang menjadi panutan perilaku mereka. Orang-orang yang dianggap penting ini sering disebut kelompok referensi (reference group), antara lain: guru, alim ulama, kepala adat, kepala desa, dan sebagainya.

  c.

  Sumber-sumber daya (resources) Sumber-sumber daya disini mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga, dan sebagainya. Semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat. Pengaruh sumber daya terhadap perilaku dapat bersifat positif maupun negatif. Misalnya, pelayanan puskesmas dapat berpengaruh positif terhadap perilaku penggunaan puskesmas tetapi dapat juga berpengaruh sebaliknya.

  d.

  Kebudayaan (culture), nilai-nilai, tradisi, kebiasaan.

  Sumber-sumber di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan terbentuk dalam waktu yang lama sebagai akibat dari suatu kehidupan masyarakat bersama. Kebudayaan selalu berubah, baik secara lambat atau pun cepat, sesuai dengan peradaban umat manusia. Kebudayaan atau pola hidup masyarakat disini merupakan kombinasi dari semua yang telah disebutkan sebelumnya. Perilaku yang normal adalah salah satu aspek dari kebudayaan, dan selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku ini.

  Secara sederhana teori WHO dapat diilustrasikan sebagai berikut : dimana : B = Behaviour F = fungsi TF = Thoughts and feeling PR = Personal reference R = Resources C = Culture

  Keputusan konsumen untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan tidak terlepas dari faktor perilaku yang dimiliki oleh masing-masing individu. Adapun faktor-faktor yang merupakan penyebab perilaku dapat dijelaskan dengan Teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2012), yang dibedakan dalam tiga faktor yaitu : a.

  Faktor Predisposisi (Predisposing Factors) Faktor predisposisi adalah faktor yang mempermudah dan mendasari untuk terjadinya perilaku tertentu. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah ilmu pengetahuan, sikap, nilai-nilai budaya, kepercayaan dari orang tersebut tentang dan terhadap perilaku tertentu, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, dan status ekonomi.

  b.

  Faktor Pemungkin (Enabling Factors) Faktor pendukung adalah faktor yang mendukung untuk terjadinya perilaku tertentu. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah ketersediaan sumber daya

  B = f (TF, PR, R, C)

2.6. Landasan Teori

  kesehatan, keterjangkauan sumber daya kesehatan, prioritas dan komitmen pemerintah terhadap kesehatan dan ketrampilan yang berkaitan dengan kesehatan.

  c.

  Faktor Penguat (Reinforcing Factors) Faktor pendorong atau penguat adalah faktor yang memperkuat atau kadang memperlunak untuk terjadinya perilaku tertentu. Yang termasuk faktor ini adalah pendapat, dukungan pasangan dan keluarga. Kritik baik dari teman sekerja, tokoh masyarakat, tokoh agama dan petugas kesehatan sendiri juga berpengaruh meskipun tidak sebesar pengaruh dari suami dan keluarga (Notoadmojo, 2012).

2.7. Kerangka Konsep Kerangka konsep dalam penelitian ini menggunakan teori Lawrence Green.

  Kerangka konsep ini disesuaikan dengan tujuan penelitian yaitu ingin diketahui pengaruh faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat terhadap kesediaan suami sebagai akseptor KB MOP.

  Faktor Predisposisi : a.

  Umur b.

  Tingkat Pendidikan c. Pendapatan d.

  Jumlah anak dalam keluarga e. Pengetahuan f. Sikap

  Kesediaan Sebagai g.

  Nilai Budaya

  Akseptor KB MOP Faktor Pemungkin :

  Sarana dan Prasarana

  Faktor Penguat : a.

  Dukungan istri b.

  Dukungan keluarga c. Dukungan teman

Dokumen yang terkait

Analisis Faktor yang Memengaruhi Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana di Desa Celawan Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai

1 50 142

Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesediaan Suami Sebagai Akseptor KB Medis Operasi Pria (MOP) di Kecamatan Sitinjo Kabupaten Dairi

3 43 158

Pengaruh Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik Terhadap Keikutsertaan Pria Menjadi Akseptor KB Metode Operasi Pria (MOP) di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Pakam Tahun 2012

2 35 152

Perilaku Akseptor Kb Pria Terhadap Metode Medis Operasi Pria (MOP) Di Medan Labuhan Tahun 2009

0 26 87

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fertilitas Tenaga Kerja Wanita Akseptor Keluarga Berencana di Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember

2 5 78

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan (Knowledge) 2.1.1 Definisi Pengetahuan - Hubungan Pengetahuan Pasangan Usia Subur (PUS) Tentang Keluarga Berencana (KB) dengan Pelaksanaan KB di Kecamatan Sei Kanan Kabupaten Labuhanbatu Selatan

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Keluarga Berencana - Peran Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) dalam Meningkatkan Akseptor KB Aktif di Wilayah Kabupaten Padang Lawas Tahun 2012

0 0 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku - Analisis Faktor yang Memengaruhi Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana di Desa Celawan Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 26

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Menopause - Faktor-faktor yang Memengaruhi Aktivitas Seksual pada Ibu Menopause di Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe Tahun 2014

0 0 40

A. Identitas - Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesediaan Suami Sebagai Akseptor KB Medis Operasi Pria (MOP) di Kecamatan Sitinjo Kabupaten Dairi

0 1 34