BAB II KERANGKA TEORI II.1 Kerangka Teori - Implementasi Program Jaminan Persalinan Di Puskesmas Tanah Tinggi Kecamatan Binjai Timur Binjai
BAB II KERANGKA TEORI II.1 Kerangka Teori Menurut Kerlinger dalam Singarimbun (1999:37) teori adalah rangkain
asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep dan kerangka teori disusun sebagai landasan berfikir untuk menunjukkan perspektif yang digunakan dalam memandang fenomena sosial yang menjadi objek penelitian.
(Singarimbun, 1999 : 37)
II.1.1 Implementasi Kebijakan
II.1.1.1 Defenisi Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan alat administrasi hukum di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Van Meter dan Van Horn membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu- individu (kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya (Winarno, 2004:102).
Implementasi kebijakan adalah bagian dari rangkaian proses kebijakan publik. Proses kebijakan adalah suatu rangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, dan penilaian kebijakan (Winarno, 2002:29).
Implementasi atau pelaksanaan merupakan kegiatan yang penting dari keseluruhan proses perencanaan program/kebijakan. Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya. Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan baik bersifat individual maupun kelompok atau institusi. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy makers untuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran.
(Subarsono, 2005 : 87) Patton dan Sawicki dalam Tangkilisan (2003:9) meyatakan bahwa implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukug pelaksanaan program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan.
Pressman dan Wildavsky (Solichin, 1997:65) menyatakan bahwa sebuah kata kerja mengimplementasikan itu sudah sepantasnya terkait langsung dengan kata benda kebijaksanaan. Senada dengan ini, Van Meter dan Van Horn memberikan batasan terhadap konsep implementasi dengan menyatakan bahwa implementasi kebijakan adalah: tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu- individu (atau kelompok-kelompok), pemerintah, atau swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan- keputusan kebijakan.
Lineberry dalam Putra (2003:81) menyatakan implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran, yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan. Sedangkan menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabartier dalam Wahab (2005:51) implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-Undang namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan Undang-Undang kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksana, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting terhadap Undang-Undang atau peraturan yang bersangkutan. Tujuannya ialah untuk mengientifikasi masalah yang terjadi sehingga tercipta rangkaian yang terstruktur dalam upaya penyelesaian masalah tersebut.
Sebelum dilakukan pelayanan publik, tentunya akan dirumuskan kebijakanuntuk mengatur teknis pelayanan tersebut kepada masyarakat pengguna. Bagaimana agar kebijakan public yang dirumuskan sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat, adalah merupakan titik pangkal dari keberhasilan Pemerintah Daerah dalam menerima dan mengimplementasikannya.
Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi keputusan adalah:
1. Penafsiran yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.
2. Organisasi yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program kedalam tujuan kebijakan.
3. Penerapan yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah dan lain-lain (Tangkilisan, 2003:19).
Yang perlu ditekankan disini adalah bahwa tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan dan saran-saran ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Dengan demikian, tahap implementasi terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut (Winarno, 2002:102).
Dengan demikian kebijakan publik merupakan sebuah awal dan belum dapat dijadikan indikator dari keberhasilan pencapaian maksud dan tujuan. Proses yang jauh lebih esensial adalah pada tahapan implementasi kebijakan yang ditetapkan. Karena kebijakan adalah suatu perkiraan akan masa depan yang lebih bersifat semu, abstrak dan konseptual. Namun ketika telah masuk di dalam tahapan implementasi dan terjadi interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi kebijakan, barulah keberhasilan maupun ketidakberhasilan akan diketahui.
Suatu kebijakan (publik) dikatakan berhasil bila dalam implementasinya mampu menyentuh kebutuhan kepentingan publik. Pertanyaannya adalah ketika suatu kebijakan tidak lagi memenuhi kepentingan publik, bagaimana bisa disebut sebagai kebijakan yang berhasil? Peters (dalam Tangkilisan, 2003:22) mengatakan bahwa:
“Implementasi kebijakan yang gagal disebabkan beberapa faktor, yaitu informasi, di mana kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat baik kepada objek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan itu; isi kebijakan, dimana implementasi kebijakan dapat gagal karena masih samarnya isi atau tujuan kebijakan atau ketidaktepatan atau ketidaktegasan intern ataupun ekstern kebijakan itu sendiri; dukungan, dimana implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksanaannya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut; pembagian potensi, dimana hal ini terkait dengan pembagian potensi di antaranya para aktor implementasi dan juga mengenai organisasi pelaksana dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang”.
II.1.1.2 Model-model Implementasi Kebijakan
Untuk melaksanakan kegiatan dalam tahap implementasi maka dapat dilihat dari berbagai model implementasi kebijakan. Berikut ini model-model implementasi kebijakan: 1.
Model Donald S. van Meter dan Carl E. van Horn Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Donal S
Van Meter dan Carl E Van Horn menerapkan model implementasi dengan lebih memfokuskan ke sisi teknisnya. Menurut Meter dan Horn (Indiahono, 2009 :38), ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu: a.
Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan pada dsarnya adalah apa yang hendak dicapai oleh program atau kebijakan.
b.
Sumber daya. Sumber daya menunjuk kepada seberapa besar dukungan financial dan sumber daya manusia untuk melaksanakan program atau kebijakan.
c.
Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas. Hal ini menunjuknkepada mekanisme prosedur yang dicanagkan untuk mencapai sasaran dan tujuan program.
d.
Karakterisktik agen pelaksana. Hal ini menunjuk seberapa besar daya dukung struktur organisasi, nilai-nilai yang berkembang, hubungan dan komunikasi yang terjadi di internal birokrasi.
e.
Kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Menunjuk bahwa kondisi dalam ranah implementasi dapat mempengaruhi kesuksesan implementasi itu sendiri.
f.
Disposisi implementor. Hal ini menunjuk bahwa sikap pelaksana menjadi variabel penting dalam implementasi kebijakan. Seberapa demokratis, antusias, dan responsif terhadap kelompok sasaran dan lingkungan beberapa yang dapat ditunjuk sebagai bagian dari sikap pelaksana ini.
2. Model Merilee S. Grindle Keberhasilan implementasi menurut Grindle dipengaruhi oleh dua variabel besar, yaitu isi kebijakan dan konteks implementasinya. Isi kebijakan mencakup tentang kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan, jenis manfaat yang akan dihasilkan, derajad perubahan yang diinginkan, kedudukan pembuat kebijakan, siapa pelaksana program, dan sumber daya yang dikerahkan. Sementara itu, konteks implementasinya lebih mencakup ke arah politis seperti kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat; karakteristik lembaga dan penguasa; kepatuhan dan daya tanggap (Dwidjowijoto, 2006:175).
3. Model Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier Mazmanian dan Sabatier (Dwidjowijoto, 2006:169) menklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel. Pertama, variabel independen, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman obyek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.
Kedua, variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dukungan publik, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen serta kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.
Ketiga, variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan. Yaitu, pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan obyek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah kepada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.
4. Model George C. Edwards III
Model implemetasi dalam pandangan George C.Edwards ini lebih melihat dari sisi administrasinya .Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu: a.
Komunikasi. Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.
Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.
b.
Sumberdaya. Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi bila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan dengan efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal diatas kertasdan menjadi dokumen saja. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial serta fasilitas-fasilitas.
c.
Disposisi. Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti kejujuran, komitmen, dan sifat demokratis.
Apabila implementator memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.
d.
Struktur Birokrasi. Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang paling penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standart operating procedures atau SOP). Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. (Subarsono, 2005:94).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model implementasi George
C. Edward III. Alasan peneliti mengadopsi model tersebuk karena indikator dalam model ini dapat menjelaskan secara komprehensif tentang implementasi program jaminan persalinan di Puskesmas Tanah Tinggi.
II.1.2 Pelayanan Publik
II.1.2.1 Defenisi Pelayanan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan pelayanan sebagai usaha melayani kebutuhan orang lain. Pelayanan adalah kegiatan yang diteruskan oleh organisasi atau perseorangan kepada konsumen yang bersifat tidak berwujud atau tidak dapat dimiliki, konsumen yaitu masyarakat yang mendapat manfaat dan
Moenir,
aktifitas yang dilakukan oleh organisasi yang memberikan pelayanan. (
2002 : 6 )
Menurut Sinambela (2006 :5) Pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terkait pada suatu produk secara fisik.
Napitupulu (2007:164
Pelayanan didefenisikan Soetopo dalam ) adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain.
Berdasarkan batasan ini pelayanan adalah serangkaian kegiatan atau proses pemenuhan kebutuhan orang lain secara lebih memuaskan produk jasa dengan sejumlah ciri seperti tidak terwujud, cepat hilang, lebih dapat dirasakan daripada dimiliki, dan pelanggan lebih dapat berpartisipasi aktif dalam proses mengkonsumsi jasa tersebut.
Menurut Keputusan Menteri Negara Aparatur Negara No. 63 tahun 2003 pelayanan adalah segala bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan instansi pemerintah baik di pusat, di daerah, dan dilingkungan badan usaha milik Negara/daerah dalam bentuk barang maupun jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan.
II.1.2.2 Defenisi Pelayanan Publik
Pelayanan publik merupakan salah satu cabang pembahasan yang cukup aktual dalam kajian birokrasi. Pelayanan publik menjadi ujung tombak interaksi antara masyarakat dan pemerintah. Pelayanan publik adalah suatu pelayanan atau pemberian terhadap masyarakat yang berupa penggunaan fasilitas-fasilitas umum, baik jasa maupun non jasa yang dilakukan oleh organisasi publik dalam hal ini adalah suatu pemerintahan. (Rohman, 2008 : 3)
2005: 4
Menurut Kurniawan ( ) pelayanan publik adalah pemberian layanan (melayani) keperluan atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Menurut Undang-undang No. 25 tahun 2009, pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga Negara dan penduduk atas barang, jasa dan atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggaraan pelayanan publik.
Berdasarkan beberapa defenisi diatas, maka ditarik kesimpulan bahwa pelayanan publik merupakan seluruh kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah sebagai penyelenggaraan pelayanan dalam suatu organisasi atau instansi dalam memenuhi kebutuhan penerima pelayanan publik atau masyarakat.
II.1.2.3 Konsep Pelayanan Publik
Pelayanan umum yang diselenggarakan pemerintah Indonesia mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Agar pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah berjalan dengan baik, maka diperlukannya penerapan prinsip-prinsip pelayanan prima dalam menjalankan pelayanan publik tersebut.
Berikut ini penjelasan mengenai prinsip-prinsip pelayanan prima berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Nomor 63 Tahun 2003 yakni sebagai berikut:
1. Kesederhanan Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.
2. Kejelasan: a.
Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik; b. Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/ persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik; c. Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.
3. Kepastian Waktu Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
4. Akurasi Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah.
5. Keamanan.
Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum.
6. Tanggung jawab Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelayanan publik.
7. Kelengkapan sarana dan prasarana
Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika).
8. Kemudahan Akses Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika.
9. Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
10. Kenyamanan Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain.
Setiap implementor diharapakan dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pengguna jasa .Untuk itu, penyelenggara pelayanan harus a.
Transparansi Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
b.
Akuntabilitas Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. c.
Kondisional Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang teguh pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
d.
Partisipatif Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan public dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.
e.
Kesamaan Hak Tidak diskriminatif dalam arti tidak membeda-bedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi.
f.
Keseimbangan hak dan kewajiban Pemberi dan penerima pelayanan public harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak. (Ratminto, 2005 :19 ) Lembaga administrasi Negara membuat beberapa kriteria pelayanan publik yang baik, antara lain meliputi, kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, kemauan ketebukaan, efisiensi, ekonomis, dan keadilan merata, ketepatan waktu serta kriteria kuantitatif.
Pelayanan Kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau bersama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok atau masyarakat. (Azwar, 1996 : 1)
2005 : 10)
Pelayanan kesehatan menurut Sutadi ( merupakan komoditi yang unik dan khusus, tidak dapat disamakan dengan komoditi lain karena pelayanan yang diberikan berupa jasa, sehingga sulit untuk mencapai kepuasan pelanggan.
Definisi pelayanan kesehatan menurut Prof. Dr. Soekidjo Notoatmojo adalah sebuah sub sistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif ( peningkatan kesehatan ) dengan sasaran masyarakat. Sedangkan menurut Levey dan Loomba, Pelayanan Kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri/secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan peroorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat.
(diakses darida tanggal 24 November 2012 pukul 20:45) Menurut Depkes RI (2009) pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atupun masyarakat.
II.1.2.4 Sasaran Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan dapat dibagi menjadi 2 bagian utama jika dilihat berdasarkan sasarannya:
1. Pelayanan Kesehatan Personal (Personal Healthy Service), sasaran pelayanan kesehatan ini adalah untuk pribadi atau perorangan.
2. Pelayanan Kesehatan Lingkungan (Environmental Healthy Service), sasaran pelayanan kesehatan ini adalah lingkungan, kelompok atau masyarakat. (Hodgetts dan Cascio dalam Anwar, 1996: 36)
Dalam menjalankan pelayanan kesehatan yang baik maka ada beberapa syarat pokok yang perlu diterapkan. Adapun syarat-syarat pokok pelayanan kesehatan yang baik antara lain: 1.
Tersedia dan berkesinambungan Syarat pokok pertama pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan tersebut harus tersedia di masyarakat serta bersifat berkesinambungan. Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat dan mudah dicapai oleh masyarakat.
2. Dapat diterima dengan wajar Syarat pokok kedua pelayanan kesehatan yang baik adalah apa yang dapat diterima oleh masyarakat serta bersifat wajar. Artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan, kepercayaan masyarakat dan bersifat wajar.
3. Mudah dicapai Syarat pokok ketiga pelayanan kesehatan yang baik adalah yang mudah dicapai oleh masyarakat. Pengertian ketercapaian yang dimaksud disini terutama dari sudut lokasi. Dengan demikian untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik, maka pengaturan sarana kesehatan menjadi sangat penting.
4. Mudah dijangkau Syarat pokok pelayanan kesehatan yang keempat adalah mudah dijangkau oleh masyarakat. zpengertian keterjangkauan disini terutama dari sudut jarak dan biaya. Untuk mewujudkan keadaan seperti ini harus dapat diupayakan pendekatan sarana pelayanan kesehatan dan biaya kesehatan diharapkan sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat.
5. Bermutu Syarat pokok pelayanan kesehatan yang kelima adalah yang bermutu.
Pengertian mutu yang dimaksud adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, disatu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan dan pihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar yang telah ditetapkan (Azwar, 1996: 36).
II.1.2.5 Stratifikasi Pelayanan Kesehatan
Dalam Azwar (1996 : 41) stratifikasi kesehatan yang dianut oleh setiap dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu:
1. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama
Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan yang bersifat pokok, yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat serta mempunyai nilai strategis untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pada umumnya pelayanan kesehatan tingkat pertama ini bersifat pelayanan rawat jalan.
2. Pelayanan Kesehatan Tingkat Kedua Pelayanan kesehatan tingkat kedua adalah pelayanan kesehatan yang lebih lanjut, telah bersifat rawat inap dan untuk menyelenggarakannya telah dibutuhkan tenaga spesialis.
3. Pelayanan Kesehatan Tingkat Ketiga Pelayanan kesehatan tingkat ketiga adalah pelayanan kesehatan yang bersifat lebih kompeks dan umumnya diselenggarakan oleh tenaga-tenaga sub spesialis.
II.1.2.6 Tujuan Pelayanan Kesehatan
Tujuan pelayanan kesehatan sejalan dengan visi dan misi pembangunan kesehatan yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Visi pembangunan kesehatan yaitu: “Masyarakat Sehat Yang Mandiri dan Berkeadilan yakni gambaran masyarakat Indonesia yang dicapai melalui pembangunan kesehatan adalah masyarakat, bangsa, dan Negara yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku sehat, memiliki merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya diseluruh wilayah Republik Indonesia.” diakses pada tanggal 06 April 2013 pukul 20.30 wib)
Visi pelayanan kesehatan Indonesia tersebut dilaksanakan melalui misi yang juga ditetapkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Misi Pembangunan Kesehatan Republik Indonesia yaitu:
1. Menggerakkan pembangunan nasional berwawasan madani.
Kesehatan para penanggungjawab program pembangunan harus memasukkan pertimbangan kesehatan dalam semua kebijakan pembangunannya. Program yang tidak berkontribusi positif terhadap kesehatan diharapkan untuk tidak dilaksanakan.
2. Mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup mandiri Kesehatan merupakan tanggungjawab individu, masyarakat, pemerintah dan swasta. Jadi, kesehatan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, masyarakat juga harus mandiri menjaga kesehatan.
3. Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau.
Menjangkau dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat beserta lingkungan tanpa meninggalkan upaya penyembuhan penyakit. diakses pada tanggal 06 April 2013 pukul 20.30 wib)
II.1.3 Program Jaminan Persalinan Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
II.1.3.1 Pengertian Program Jaminan Persalinan
Program Jaminan Persalian (Jampersal) adalah jaminan pembiayaan persalinan yang meliputi pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas termasuk pelayanan KB pasca persalinan dan pelayanan bayi baru lahir. Jampersal diperuntukkan bagi seluruh ibu hamil yang belum memiliki jaminan persalinan (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 2562 tahun 2011 tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan) .
Pada dasarnya Jaminan Persalinan adalah perluasan kepesertaan dari Jamkesmas dan tidak hanya mencakup masyarakat miskin saja. Manfaat yang diterima oleh penerima manfaat Jaminan Persalinan terbatas pada pelayanan kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir dan KB pasca persalinan.
II.1.3.2 Tujuan Program Jaminan Persalinan 1.
Tujuan Umum Meningkatnya akses terhadap pelayanan kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir dan KB pasca persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten dan berwenang di fasilitas kesehatan dalam rangka menurunkan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi.
2. Tujuan Khusus a.
Meningkatnya cakupan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, dan pelayanan nifas ibu oleh tenaga kesehatan yang kompeten.
b.
Meningkatnya cakupan pelayanan : 1) bayi baru lahir.
2) Keluarga Berencana pasca persalinan.
3) Penanganan komplikasi ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir, KB pasca persalinan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.
c.
Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang efisien, efektif, transparan, dan akuntabel.
II.1.3.3 Sasaran Program Jaminan Persalinan
Sesuai dengan tujuan Jaminan Persalinan yakni untuk menurunkan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi, maka sasaran Jaminan Persalinan dikaitkan dengan pencapaian tujuan tersebut.
1. Ibu hamil 2.
Ibu bersalin 3. Ibu nifas ( sampai 42 hari pasca melahirkan) 4. Bayi baru lahir (sampai dengan usia 28 hari)
Sasaran yang dimaksud diatas adalah kelompok sasaran yang berhak mendapat pelayanan yang berkaitan langsung dengan kehamilan dan persalinan baik normal maupun dengan komplikasi atau resiko tinggi untuk mencegah AKI dan AKB dari suatu proses persalinan.
II.1.3.4 Kebijakan Operasional 1.
Pengelolaan Jaminan Persalinan dilakukan pada setiap jenjang pemerintahan (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) yang merupakan
bagian integral dari Jamkesmas dan dikelola mengikuti tata kelola Jamkesmas.
2. Jaminan Persalinan adalah perluasan kepesertaan dari Jamkesmas dan tidak hanya mencakup masyarakat miskin saja. Manfaat yang diterima oleh penerima manfaat Jaminan Persalinan terbatas pada pelayanan kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir dan KB pasca persalinan.
3. Penerima manfaat Jaminan Persalinan mencakup seluruh sasaran yang belum memiliki jaminan persalinan.
4. Penerima manfaat Jaminan Persalinan didorong untuk mengikuti program KB pasca persalinan (Dengan membuat surat pernyataan)
5. Penerima manfaat Jaminan Persalinan dapat memanfaatkan pelayanan di seluruh fasilitas kesehatan tingkat pertama pemerintah (puskesmas dan jaringannya) dan swasta serta fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (Rumah Sakit) pemerintah dan swasta (berdasarkan rujukan) di rawat inap kelas III.
6. Fasilitas kesehatan tingkat pertama swasta seperti Bidan Praktik Mandiri, Klinik Bersalin, Dokter praktik yang berkeinginan ikut serta dalam program ini harus mempunyai perjanjian kerja sama (PKS) dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selaku Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK atas nama Pemerintah Daerah setempat yang mengeluarkan ijin praktiknya. Sedangkan untuk fasilitas kesehatan tingkat lanjutan baik pemerintah maupun swasta harus mempunyai Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selaku Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK Kabupaten/Kota yang diketahui oleh Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK Provinsi 7. Pelaksanaan pelayanan Jaminan Persalinan mengacu pada standar pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA).
8. Pembayaran atas pelayanan jaminan persalinan dilakukan dengan cara klaim.
9. Pada daerah lintas batas, fasilitas kesehatan yang melayani sasaran kepada Tim Pengelola/Dinas Kesehatan setempat dan bukan pada daerah asal sasaran Jaminan Persalinan tersebut.
10. Bidan Desa dalam wilayah kerja Puskesmas yang melayani Jaminan Persalinan diluar jam kerja Puskesmas yang berlaku di wilayahnya, dapat menjadi Bidan Praktik Mandiri sepanjang yang bersangkutan memiliki Surat Ijin Praktik dan mempunyai Perjanjian Kerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selaku Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK atas nama Pemerintah Daerah.
11. Pelayanan Jaminan Persalinan diselenggarakan dengan Pelayanan terstruktur berjenjang berdasarkan rujukan dan prinsip Portabilitas dengan demikian jaminan persalinan tidak mengenal batas wilayah (lihat angka 8 dan 9).
12. Untuk menjamin kesinambungan dan pemerataan pelayanan, Tim
Pengelola Jamkesmas Pusat dapat melakukan realokasi dana antar kabupaten/kota, dengan mempertimbangkan penyerapan dan kebutuhan daerah serta disesuaikan dengan ketersediaan dana yang ada secara nasional.
II.1.3.5 Ruang Lingkup Pelayanan Jampersal A.
Pelayanan persalinan tingkat pertama Pelayanan persalinan tingkat pertama adalah pelayanan yang diberikan oleh dokter atau bidan yang berkompeten dan berwenang memberikan pelayanan yang meliputi pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas dan pelayanan KB pasca salin, serta pelayanan kesehatan bayi baru lahir, termasuk pelayanan persiapan rujukan pada saat terjadinya komplikasi (kehamilan, persalinan, nifas dan bayi baru lahir serta KB paska salin) tingkat pertama. Pelayanan tingkat pertama diberikan di Puskesmas dan Puskesmas Pelayanan Obsterik Neonatal Emergensi Dasar (PONED) untuk kasus-kasus tertentu, serta jaringannya termasuk Polindes dan Poskesdes, fasilitas kesehatan swasta (bidan, dokter, klinik, rumah bersalin) yang memiliki Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Tim Pengelola Kabupaten/Kota.
Berikut ini jenis pelayanan Jaminan persalinan di tingkat pertama meliputi: a.
Pelayanan ANC (antenatal care) sesuai standar pelayanan KIA dengan frekuensi 4 kali; b. Deteksi dini faktor risiko, komplikasi kebidanan dan bayi baru lahir; c.
Pertolongan persalinan normal; d. Pertolongan persalinan dengan komplikasi dan atau penyulit e.
Pelayanan Nifas atau postnatal care (PNC) bagi ibu dan bayi baru lahir sesuai standar pelayanan KIA dengan frekuensi 4 kali; f. Pelayanan KB paska persalinan serta komplikasinya.
g.
Pelayanan rujukan terencana sesuai indikasi medis untuk ibu dan janin/bayinya. B.
Pelayanan Persalinan Tingkat Lanjutan Pelayanan persalinan tingkat lanjutan adalah pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan spesialistik untuk pelayanan kebidanan dan bayi baru lahir kepada ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir dengan resiko tinggi dan atau dengan komplikasi yang tidak dapat ditangani pada fasilitas kesehatan tingkat pertama yang dilaksanakan berdasarkan rujukan atas indikasi medis. Pada kondisi kegawatdaruratan kebidanan dan neonatal tidak diperlukan surat rujukan. Pelayanan tingkat lanjutan menyediakan pelayanan terencana atas indikasi ibu dan janin/bayinya. Pelayanan tingkat lanjutan untuk rawat jalan diberikan di poliklinik spesialis Rumah Sakit, sedangkan rawat inap diberikan di fasilitas perawatan kelas III di Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta yang memiliki Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Tim Pengelola Kabupaten/Kota.
C.
Nadi teraba, pernafasan teratur dan jalan nafas longgar, terpasang infus, tidak terdapat kejang/kejang sudah terkendali
Untuk memastikan bahwa pasien yang dirujuk dalam kondisi aman sampai dengan penanganannya di tingkat lanjutan, maka selama pelayanan persiapan dan proses merujuk harus memperhatikan syarat- syarat sebagai berikut:
2. Dengan merujuk dipastikan pasien akan mendapat pelayanan paripurna yang lebih baik dan aman di fasilitas kesehatan rujukan
Kasus tidak dapat ditatalaksana paripurna di fasilitas kesehatan karena keterbatasan SDM dan keterbatasan peralatan dan obat-
Pelayanan Persiapan Rujukan Pelayanan persiapan rujukan adalah pelayanan pada suatu keadaan dimana terjadi kondisi yang tidak dapat ditatalaksana secara paripurna di fasilitas kesehatan tingkat pertama sehingga perlu dilakukan rujukan ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1.
Penatalaksanaan KB paska salin dengan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) atau kontrasepsi mantap (Kontap) serta penanganan komplikasi.
Berikut ini jenis pelayanan Persalinan di tingkat lanjutan meliputi: a. Pemeriksaan kehamilan (ANC) dengan risiko tinggi (risti) b.
e.
Pemeriksaan paska persalinan (PNC) dengan risiko tinggi (risti).
d.
Penanganan komplikasi kebidanan dan bayi baru lahir dalam kaitan akibat persalinan.
c.
Pertolongan persalinan dengan risti dan penyulit yang tidak mampu dilakukan di pelayanan tingkat pertama.
3. Pasien dalam keadaan aman selama proses rujukan
1. Stabilisasi keadaan umum: Tekanan darah stabil/ terkendali,
2. Perdarahan terkendali: Tidak terdapat perdarahan aktif, atau perdarahan terkendali, terpasang infus dengan aliran lancar 20- 30 tetes per menit 3. Tersedia kelengkapan ambulasi pasien: Petugas kesehatan yang mampu mengawasi dan antisipasi kedaruratan, cairan infus yang cukup selama proses rujukan atau sesuai kondisi pasien, Obat dan Bahan Habis Pakai (BHP) emergensi yang cukup untuk proses rujukan.
Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan membahas atau meneliti tentang pelayanan yang diberikan di tingkat pertama saja. Alasannya karena peneliti hanya akan membahas pelayanan yang diberikan puskesmas dalam mengimplementasikan program jaminan persalinan ini. sedangkan pelayanan pada tingkat lanjut, pelayanan yang diberikan oleh Rumah Sakit.
II.1.3.6 Manfaat Program Jaminan Persalinan A.
Manfaat yang diterima oleh penerima Jaminan Persalinan yaitu sebagai berikut :
1. Pemeriksaan kehamilan (ANC) yang dibiayai oleh program ini mengacu pada buku Pedoman KIA, dimana selama hamil, ibu hamil diperiksa sebanyak 4 kali disertai konseling KB dengan frekuensi: a.
1 kali pada triwulan pertama b. 1 kali pada triwulan kedua c. 2 kali pada triwulan ketiga .
Pemeriksaan kehamilan yang jumlahnya melebihi frekuensi diatas pada tiap-tiap triwulan tidak dibiayai oleh program ini.
2. Pelayanan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan
3. Pelayanan nifas (postnatal care atau PNC) sesuai standar yang dibiayai oleh program ini ditujukan pada ibu dan bayi baru lahir yang meliputi pelayanan ibu nifas, pelayanan bayi baru lahir, dan pelayanan KB pasca salin. Pelayanan nifas diintegrasikan antara pelayanan ibu nifas, bayi baru lahir dan pelayanan KB pasca salin. Tatalaksana asuhan PNC merupakan pelayanan Ibu dan Bayi baru lahir sesuai dengan Buku Pedoman KIA. Pelayanan bayi baru lahir dilakukan pada saat lahir dan kunjungan neonatal. Pelayanan nifas dilakukan 3 kali oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan
4. Pelayanan KB pasca persalinan
Sebagai upaya untuk pengendalian jumlah penduduk dan keterkaitannya dengan Jaminan Persalinan, maka pelayanan KB pada masa nifas perlu mendapatkan perhatian. Tatalaksana pelayanan KB mengacu kepada Pedoman Pelayanan KB dan KIA yang diarahkan pada Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) atau Kontrasepsi Mantap (Kontap). Jenis Pelayanan KB Pelayanan Keluarga Berencana pasca salin antara lain; Kontrasepsi mantap (Kontap), IUD, Implant, dan Suntik 5. Pelayanan rujukan tingkat lanjutan di fasilitas perawatan kelas III
Rumah Sakit
B. Manfaat Jampersal bagi dinas dan tenaga kesehatan Manfaat Jampersal yang dirasakan oleh dinas maupun tenaga kesehatan yaitu dinas dan tenaga kesehatan dapat turut serta untuk mendukung dan melaksanakan program pemerintah dalam rangka menurunkan AKI, AKB dan juga dapat mendukung program KB demi menekan laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat setiap tahunnya .
II.2 Defenisi Konsep
Konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secar abstrak kejadian, keadaan kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Tujuannya adalah untuk memudahkan pemahaman dan emnghindari terjadinya interpretasi ganda dari variabel yang diteliti.
(Singarimbun, 1995 : 37) Oleh karena itu, untuk mendapatkan batasan yang jelas dari masing- masing konsep yang akan diteliti, maka penulis mengemukakan definisi konsep dari penelitian, yaitu
1. Implementasi adalah tindakan yang dilakukan untuk merealisasikan program atau kebijakan sehingga mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
2. Program Jaminan Persalian (Jampersal) adalah jaminan pembiayaan persalinan yang meliputi pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas termasuk pelayanan KB pasca persalinan dan pelayanan bayi baru lahir.
3. Implementasi program jaminan persalinan adalah tindakan yang dilakukan implementor untuk merealisasikan program jaminan pembiayaan persalinan yang meliputi pembiayaan pemerikasaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas termasuk pelayanan KB pasca persalinan dan pelayanan bayi baru lahir di Puskesmas Tanah Tinggi.