Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Dikaitkan Dengan Kepabeanan Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan

(1)

TESIS

PERLINDUNGAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL

DIKAITKAN DENGAN KEPABEANAN BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2006 TENTANG

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN

1995 TENTANG KEPABEANAN

Oleh :

ERWINSYAH DIMYATI LUBIS

087005068/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

HALAMAN PENGESAHAN

(Meja Hijau)

Judul Tesis : PERLINDUNGAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL

DIKAITKAN DENGAN KEPABEANAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN

1995 TENTANG KEPABEANAN

N a m a : ERWINSYAH DIMYATI LUBIS

N I M : 087005068

Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H.,M.H. K e t u a

Prof. Dr.Suhaidi, S.H., M.H. Prof.Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum.

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum USU


(3)

ABSTRAK

Perlindungan terhadap HaKI merupakan sebuah komitmen yang harus dipenuhi sebagai konsekuensi Indonesia menjadi anggota World Trade Organization (WTO) dengan menandatangani perjanjian Marakesh, Maroko pada tahun 1994 yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Establishing World Trade Organization yang didalamnya juga mencakup perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs)

Dalam posisinya sebagai aparat pengawas lalu lintas barang baik yang masuk maupun yang keluar dari wilayah Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) diwajibkan mengendalikan impor-ekspor barang-barang hasil pelanggaran di bidang HaKI sebagai kelanjutan dari ratifikasi Indonesia tersebut di atas mengenai ketentuan border measure control / border enforcement yang termuat dalam Article 51 sampai Article 60 the TRIPs Agreement, tepatnya diimplementasikan dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Bab X): ”Larangan dan Pembatasan Impor atau Ekspor, Penangguhan Impor atau Ekspor Barang hasil Pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual, dan Penindakan atas Barang yang terkait dengan Terorisme dan/ atau Kejahatan Lintas Negara”. Dalam fungsi tersebut DJBC diharapkan dapat bertindak efektif menangkal pelanggaran HaKI yang melintasi daerah pabean (Border Cross Control).

Implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan perundang-undangan tentang kepabeanan di Indonesia (tepatnya dalam Pasal 54 Sampai dengan 64 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan) dapat memberikan kontribusi terhadap perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia, karena disebutkan bahwa Pejabat Bea dan Cukai diberi kewenangan untuk menangguhkan sementara atau menghentikan barang ekspor-impor yang diduga melakukan pelanggaran Hak Merek dan Hak Cipta yang dilindungi di Indonesia yang berarti Direktorat Jenderal Bea dan Cukai turut serta membantu menghindari masuknya barang-barang palsu ke Indonesia.

Kendala yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam menerapkan perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia adalah belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur secara jelas dan rinci mengenai pelaksanaan Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan sehingga menjadi hambatan terhadap pelaksanaan prosedur penangguhan pengeluaran barang yang melanggar Hak atas Kekayaan Intelektual oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi dan menimbulkan terjadinya kejahatan Hak atas Kekayaan Intelektual yang tidak terlepas dari kondisi lingkungan yang dipenaguruhi oleh latar belakang masyarakat, misalnya latar belakang pendidikan, keadaan ekonomi, budaya, tingkat pengangguran yang tinggi dan sebagainya di dalam masyarakat


(4)

ABSTRACT

The Protection of IPR is a commitment that must be met as a consequence of

Indonesia became a member of the World Trade Organization (WTO) signed an agreement with Marrakech, Morocco in 1994 which was ratified through Law No. 7 of 1994 on Establishing the World Trade Organization within which also includes an agreement Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) In his position as superintendent freight traffic officers both in and out of the territory of Indonesia, Directorate General of Customs and Excise (DGCE) are required to control the import-export of goods infringing intellectual property rights in Indonesia as a continuation of the ratification of the above rules concerning border measure control / border enforcement contained in Article 51 to Article 60 the TRIPs Agreement, precisely implemented in Article 54 through Article 64 of Law No. 17 of 2006 concerning Amendment to Law Number 10 Year 1995 regarding Customs Affairs (Chapter X): "Prohibition and Restriction of Import or Export, Import or Export Suspension Violation of Intellectual Property Rights, and the taking of action on items related to terrorism and / or Transnational Crime". In the function DGCE expected to act effectively deter violations of IPR across the customs area (Cross Border Control).

The Implementation of the TRIPs Agreement in the legislation on customs in

Indonesia (precisely in Article 54 Up to 64 of Law No. 17 of 2006 on Customs) may contribute to the protection of Intellectual Property Rights in Indonesia, because it is mentioned that the officials of Customs and Excise given the authority to suspend temporarily or terminate the import-export goods suspected of infringement of Trademark and Copyright protected in Indonesia, which means the Directorate General of Customs and Excise participate and help avoid the entry of counterfeit goods to Indonesia.

The obstacle faced by the Directorate General of Customs and Excise in

applying the legal protection of Intellectual Property Rights in Indonesia is the absence of government regulation clearly and in detail on the implementation of Article 54 through Article 64 of Law No. 17 of 2006 on Customs so that it becomes barriers to implementation of the suspension procedures expenditures that violate the Intellectual Property Rights by the Directorate General of Customs and Excise, and there are factors that influence and cause the occurrence of crime on Intellectual Property Rights are not independent of environmental conditions dipenaguruhi by the background of society, such as background educational background, economic circumstances, culture, high unemployment and so on.


(5)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama Penulis memanjatkan puji syukur kepada Allah Subhanahu wata’ala atas segala karunia-Nya, rahmat dan hidayah-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Sekolah Univesitas Sumatera Utara, Medan.

Adapun judul Tesis ini adalah: “Perlindungan Hak atas Kekayaan

Intelektual dikaitkan dengan Kepabeanan Berdasarkan Undang-undang No. 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan”

Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing : Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH, MH, Prof. Dr. Sunarmi, SH,M.Hum. dan Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM. Dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini.

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada :

1. Prof.Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum USU

atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH, MH, sebagai Ketua Program studi

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing.

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH. sebagai Komisi Pembimbing dengan penuh


(6)

4. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum., sebagai Komisi Pembimbing, dengan penuh perhatian memberikan arahan, bimbingan serta dorongan dalam penulisan Tesis ini.

5. Kedua Orang Tua tercinta, Ayahanda Ridwan Alam Lubis, Ibunda Ratna Sari

Damanik yang mendidik dengan penuh rasa kasih sayang, menanamkan budi pekerti yang luhur serta iman kepada Allah Swt serta kepada kedua mertuaku.

6. Kepada Istriku tercinta Novita Caturningtyas Susilowati, SH, anakku M.

Rezky Aulia Rahman Lubis, dan M.Aditya Nugraha Lubis, Saudara-saudara ku, Kakak dan Adik yang Penulis sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan do’a dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

7. Kepada Rekan-rekan di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

USU, dan rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Allah Swt membalas jasa, amal dan budi baik tersebut.

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini, penulisan Tesis ini terdapat kekurangan dan kekeliruan di sana-sini, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.

Medan, Februari 2011

Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penulisan ... 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 10

G. Metode Penelitian ... 18

BAB II : IMPLEMENTASI AGREEMENT ON TRADE RELATED ASPECTS OF INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS (THE TRIPS AGREEMENT) DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG KEPABEANAN INDONESIA A. Tinjauan Tentang Perdagangan Internasional (GATT/WTO)... 21

B. Ketentuan Dan Prosedur Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan...35

BAB III : PERAN KEPABEANAN (CUSTOMS) DALAM RANGKA PERLINDUNGAN TERHADAP HAK ATAS KEKAYAAN


(8)

INTELEKTUAL

A. Hukum Kepabeanan Di Indonesia... 59 B. Peranan Kepabeanan Dalam Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual...68

BAB IV : KENDALA JURIDIS YANG DIHADAPI OLEH DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DALAM MENERAPKAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DI INDONESIA DAN UPAYA UNTUK MENGATASINYA

A. Lingkup Tugas Dan Kewenangan Direktorat Jenderal Bea Dan

Cukai... 79 B. Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai... 93 C. Kendala Juridis yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

dalam menerapkan Perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia dan upaya untuk mengatasinya... 98

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………. 100 B. Saran………. 101


(9)

ABSTRAK

Perlindungan terhadap HaKI merupakan sebuah komitmen yang harus dipenuhi sebagai konsekuensi Indonesia menjadi anggota World Trade Organization (WTO) dengan menandatangani perjanjian Marakesh, Maroko pada tahun 1994 yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Establishing World Trade Organization yang didalamnya juga mencakup perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs)

Dalam posisinya sebagai aparat pengawas lalu lintas barang baik yang masuk maupun yang keluar dari wilayah Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) diwajibkan mengendalikan impor-ekspor barang-barang hasil pelanggaran di bidang HaKI sebagai kelanjutan dari ratifikasi Indonesia tersebut di atas mengenai ketentuan border measure control / border enforcement yang termuat dalam Article 51 sampai Article 60 the TRIPs Agreement, tepatnya diimplementasikan dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Bab X): ”Larangan dan Pembatasan Impor atau Ekspor, Penangguhan Impor atau Ekspor Barang hasil Pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual, dan Penindakan atas Barang yang terkait dengan Terorisme dan/ atau Kejahatan Lintas Negara”. Dalam fungsi tersebut DJBC diharapkan dapat bertindak efektif menangkal pelanggaran HaKI yang melintasi daerah pabean (Border Cross Control).

Implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan perundang-undangan tentang kepabeanan di Indonesia (tepatnya dalam Pasal 54 Sampai dengan 64 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan) dapat memberikan kontribusi terhadap perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia, karena disebutkan bahwa Pejabat Bea dan Cukai diberi kewenangan untuk menangguhkan sementara atau menghentikan barang ekspor-impor yang diduga melakukan pelanggaran Hak Merek dan Hak Cipta yang dilindungi di Indonesia yang berarti Direktorat Jenderal Bea dan Cukai turut serta membantu menghindari masuknya barang-barang palsu ke Indonesia.

Kendala yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam menerapkan perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia adalah belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur secara jelas dan rinci mengenai pelaksanaan Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan sehingga menjadi hambatan terhadap pelaksanaan prosedur penangguhan pengeluaran barang yang melanggar Hak atas Kekayaan Intelektual oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi dan menimbulkan terjadinya kejahatan Hak atas Kekayaan Intelektual yang tidak terlepas dari kondisi lingkungan yang dipenaguruhi oleh latar belakang masyarakat, misalnya latar belakang pendidikan, keadaan ekonomi, budaya, tingkat pengangguran yang tinggi dan sebagainya di dalam masyarakat


(10)

ABSTRACT

The Protection of IPR is a commitment that must be met as a consequence of

Indonesia became a member of the World Trade Organization (WTO) signed an agreement with Marrakech, Morocco in 1994 which was ratified through Law No. 7 of 1994 on Establishing the World Trade Organization within which also includes an agreement Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) In his position as superintendent freight traffic officers both in and out of the territory of Indonesia, Directorate General of Customs and Excise (DGCE) are required to control the import-export of goods infringing intellectual property rights in Indonesia as a continuation of the ratification of the above rules concerning border measure control / border enforcement contained in Article 51 to Article 60 the TRIPs Agreement, precisely implemented in Article 54 through Article 64 of Law No. 17 of 2006 concerning Amendment to Law Number 10 Year 1995 regarding Customs Affairs (Chapter X): "Prohibition and Restriction of Import or Export, Import or Export Suspension Violation of Intellectual Property Rights, and the taking of action on items related to terrorism and / or Transnational Crime". In the function DGCE expected to act effectively deter violations of IPR across the customs area (Cross Border Control).

The Implementation of the TRIPs Agreement in the legislation on customs in

Indonesia (precisely in Article 54 Up to 64 of Law No. 17 of 2006 on Customs) may contribute to the protection of Intellectual Property Rights in Indonesia, because it is mentioned that the officials of Customs and Excise given the authority to suspend temporarily or terminate the import-export goods suspected of infringement of Trademark and Copyright protected in Indonesia, which means the Directorate General of Customs and Excise participate and help avoid the entry of counterfeit goods to Indonesia.

The obstacle faced by the Directorate General of Customs and Excise in

applying the legal protection of Intellectual Property Rights in Indonesia is the absence of government regulation clearly and in detail on the implementation of Article 54 through Article 64 of Law No. 17 of 2006 on Customs so that it becomes barriers to implementation of the suspension procedures expenditures that violate the Intellectual Property Rights by the Directorate General of Customs and Excise, and there are factors that influence and cause the occurrence of crime on Intellectual Property Rights are not independent of environmental conditions dipenaguruhi by the background of society, such as background educational background, economic circumstances, culture, high unemployment and so on.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI)1 adalah hak khusus (exclusive right) baik yang bersifat sosial maupun ekonomi yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum berupa pengakuan dan penghargaan atas penemuan atau penciptaan

karya intelektual mereka.2 Pemilik hak mendapatkan hak khusus untuk

mengeksploitasi karya atau temuan tersebut, dan orang lain dilarang untuk memanfaatkannya tanpa izin.3

HaKI (intellectual property rights), yang berkaitan dengan hak kepemilikan

atas karya-karya intelektual, pada dasarnya adalah hak-hak yang tidak berwujud

(intangible rights).4 Dalam sistem hukum, HaKI merupakan bagian dari hak

kekayaan atau hak kepemilikan (property) yang memiliki nilai ekonomi atau

1

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman dan HAM RI, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual 2003, (Jakarta: 2003), hal. 3. Hak atas Kekayaan Intelektual, disingkat “HKI” atau akronim “HaKI”, adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Right (IPR) yakni hak yang timbul bagi hasil olah piker otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. HKI secara garis besar terbagi dalam 2 (dua) bagian: 1) Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights), yang mencakup: Paten (Patent); Desain Industri (Industrial Design); Merek (Trademark); Penanggulangan Praktik Persaingan Curang (Repression of Unfair Competition); Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Layout Design of Integrated Circuit); dan Rahasia Dagang (Trade Secret). 2) Hak Cipta (Copyright) yang mencakup pula Related Rights atau yang juga disebut Neighboring Rights.

2

Cita Citrawinda Priapantja, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi, Cet. 1, (Jakarta: Chandra Pratama, 1999), hal. 27.

3

Agus Sardjono, Pengetahuan Tradisional Studi Mengenai Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Atas Obat-Obatan, Cet. 1, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 19.

4

Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh Mohamad Radjab, Cet. 3, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1982), hal. 139.


(12)

“economic rights”, karena adanya hak eksklusif untuk mengeksploitasi tersebut.5 Sebagai asset yang bernilai ekonomi, maka HaKI memberikan keuntungan ekonomis bagi pemilik hak atau pemegang hak (right owner/right holder). Namun sebagaimana hak milik atau kekayaan lainnya, maka hak tersebut juga rawan terhadap pencurian serta penggunaan oleh orang lain secara tidak sah, sehingga menimbulkan dampak kerugian ekonomis (di samping kerugian moral) yang luas, baik ada pemilik hak maupun bagi perekonomian nasional.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, upaya-upaya untuk melaksanakan perlindungan HaKI yang memadai (adequate intellectual property right protection) dirasakan semakin meningkat, baik di kalangan industri, masyarakat luas, maupun pemerintah. Hal ini terjadi, seiring dengan semakin berkembangnya peranan HaKI dalam beberapa bidang kegiatan ekonomi, dan semakin meningkatnya pelanggaran HaKI. Peningkatan perlindungan HaKI dianggap sebagai suatu hal yang sangat penting dalam kerangka perdagangan internasional. Pentingnya peningkatan perlindungan HaKI ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:6

1. Peranan dari produk-produk yang berbasiskan HaKI dalam perdagangan

(terutama dalam perdagangan internasional) meningkat secara tajam;

2. Kemajuan komunikasi dan hubungan internasional telah menciptakan suatu

Pasar Global;

5

Lihat Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 43. Harold F. Lusk memberikan batasan tentang hak milik atau ownership sebagai, “the exclusive right to possess, enjoy and dispose or rights having economic value”. Bahwa hak milik merupakan hak eksklusif untuk menguasai, menikmati dan mengatur suatu objek atau hak-hak yang memiliki nilai ekonomi.

6

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, “Peranan Bea dan Cukai Dalam Perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual,” (Makalah disampaikan pada Training Course on Intellectual Property Rights, Jakarta, 24-28 Mei 2004), hal. 2-3.


(13)

3. Berkembangnya teknologi yang relatif murah dan tidak terlalu yang relatif murah dan tidak terlalu rumit, untuk melakukan reproduksi jenis-jenis barang tertentu;

4. Meningkatnya penelitian dan pengembangan dalam menciptakan

produk-produk baru;

5. Beberapa aspek teknologi yang baru belum dapat masuk secara tepat dalam

salah satu jenis perlindungan HaKI.

Perlindungan terhadap HaKI merupakan sebuah komitmen yang harus dipenuhi sebagai konsekuensi Indonesia menjadi anggota World Trade Organization (WTO) dengan menandatangani perjanjian Marakesh, Maroko pada tahun 1994 yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Establishing World Trade Organization yang didalamnya juga mencakup perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).7

Persetujuan TRIPs ini memuat norma-norma dan standar perlindungan HaKI secara ketat yang bertujuan untuk:8

1. Meningkatkan perlindungan terhadap HaKI dari produk-produk yang

diperdagangkan;

2. Menjamin prosedur pelaksanaan HaKI yang tidak menghambat kegiatan

perdagangan;

3. Merumuskan aturan serta disiplin mengenai pelaksanaan perlindungan

terhadap HaKI;

4. Mengembangkan prinsip, aturan dan mekanisme kerjasama

internasional untuk menangani perdagangan barang-barang hasil pemalsuan atau pembajakan atas HaKI.

7

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 November 1994 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564. Lihat ketentuan pasal 65 TRIPs Agreement (1994). Ditandatangani pada tanggal 15 April 1994, dan berlaku Januari 1995. Lihat Pasal 11 ayat (2) Persetujuan WTO, persetujuan TRIPs mengikat seluruh anggota Persetujuan WTO.

8


(14)

Sebelum berlakunya perjanjian TRIPs, institusi kepabeanan (customs) di berbagai negara umumnya tidak banyak terlibat dalam perlindungan HaKI. Dengan meningkatnya perdagangan internasional dan semakin meluasnya pelanggaran HaKI yang melintasi batas-batas negara, maka disadari pentingnya peran yang dapat dilakukan oleh pihak pabean dalam melaksanakan perlindungan HaKI. Oleh karena itu, dalam TRIPs diatur secara khusus ketentuan tentang ”border measure control / border enforcement” yaitu pengawasan oleh pihak pabean (Customs Administration) terhadap barang hasil pelanggaran HaKI. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka di tiap negara, aparat border cross control dalam hal ini institusi kepabeanan (di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai), harus ikut terlibat dalam pelaksanaan perlindungan HaKI.9

Dalam posisinya sebagai aparat pengawas lalu lintas barang baik yang masuk maupun yang keluar dari wilayah Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) diwajibkan mengendalikan impor-ekspor barang-barang hasil pelanggaran di bidang HaKI sebagai kelanjutan dari ratifikasi Indonesia tersebut di atas mengenai ketentuan border measure control / border enforcement yang termuat dalam Article 51 sampai Article 60 the TRIPs Agreement, tepatnya diimplementasikan dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan

9

Lihat Article 51 the TRIPs Agreement, Section 4 mengenai Special Requirement Related to Border Measures yang menyatakan bahwa para anggota harus menyesuaikan dan mengadopsi ketentuan-ketentuan dan prosedur untuk memungkinkan pemilik HaKI, yang memiliki dasar yang kuat untuk menduga adanya impor barang-barang yang merupakan hasil pelanggaran merek atau hak cipta yang dimilikinya, untuk meminta secara tertulis kepada pejabat yang berwewenang (baik pemerintah atau badan peradilan) untuk melakukan penangguhan barang-barang impor tersebut dari pelabuhan oleh pejabat Bea Cukai.


(15)

atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan10 (Bab X): ”Larangan dan Pembatasan Impor atau Ekspor, Penangguhan Impor atau Ekspor Barang hasil Pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual, dan Penindakan atas Barang yang terkait dengan Terorisme dan/ atau Kejahatan Lintas Negara”. Dalam fungsi tersebut DJBC diharapkan dapat bertindak efektif menangkal pelanggaran HaKI yang melintasi daerah pabean (Border Cross Control).

DJBC melaksanakan fungsi pengendalian tersebut dengan cara menangguhkan pengeluaran barang impor/ekspor dari kawasan pabean untuk memberikan kesempatan kepada yang berhak atas HaKI untuk mengambil tindakan hukum. Penangguhan pengeluaran barang dilakukan dengan dua cara: Pertama, penangguhan pengeluaran barang impor (atau ekspor) berdasarkan perintah tertulis Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan pemilik / pemegang HaKI dengan mengajukan bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran HaKI disertai

penempatan jaminan untuk dipertaruhkan (passive action procedure).11 Kedua,

penangguhan pengeluaran barang impor (atau ekspor) karena jabatan (secara ex

10

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, disahkan dan diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612, berlaku tanggal 1 April 1996. Dengan berlakunya undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi: 1) Indische Tarief Wet Staatsblad Tahun 1873 Nomor 35 sebagaimana telah diubah dan ditambah; 2) Rechten Ordonnantie Staatsblad Tahun 1882 Nomor 240 sebagaimana telah diubah dan ditambah; 3) Tarief Ordonnantie Staatsblad Tahun 1910 Nomor 628 sebagaimana telah diubah dan ditambah. Dan sekarang telah diubah menjadi UU No. 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 10 tahun1995 tentang Kepabeanan.

11

Lihat Republik Indonesia, UU Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No. 75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal 54.


(16)

officio) berdasarkan bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran HaKI (active action procedure).12

Masalahnya adalah, karena dengan belum adanya Peraturan Pemerintah sebagai pendukung pelaksanaan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud, dapat menimbulkan masalah dilematis terutama bagi pihak DJBC dan Ketua Pengadilan Negeri atau Pengadilan Niaga dalam memutus perkara impor-ekspor barang hasil pelanggaran HaKI tersebut.

Upaya penegakan hukum dan perlindungan terhadap HaKI ini perlu untuk mendapatkan perhatian yang serius, karena pelanggaran HaKI, pembajakan dan pemalsuan akan mengakibatkan berbagai macam kerugian, diantaranya:13

1. Kerugian Konsumen

Konsumen harus membayar mahal untuk barang palsu, berkualitas rendah, mudah rusak dan mengakibatkan kerusakan materi serta bahaya terhadap kesehatan dan keselamatan jiwa;

2. Kerugian Masyarakat Usaha, Pemegang Hak, Pencipta dan Penemu

Pelanggaran HaKI mengakibatkan turunnya nilai penjualan, kerugian financial, kerugian moral, rusaknya reputasi, dan hilangnya insentif untuk melakukan inovasi, terganggunya pengembangan teknologi;

3. Kerugian Pemerintah, Negara dan Perekonomian

12

Lihat Republik Indonesia, UU Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No. 75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal 62.

13


(17)

Kerugian lain ialah terganggunya perekonomian nasional, hilangnya pendapatan pajak, hilangnya kepercayaan internasional, terhambatnya akses pasar untuk komoditi ekspor, keengganan investor asing untuk investasi, ancaman terhadap perdagangan internasional.

Atas dasar pemikiran diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji tulisan dalam bentuk tesis dengan judul: ”Perlindungan HaKI dikaitkan dengan Kepabeanan berdasarkan UU No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan masalah yang diteliti adalah:

1. Bagaimana Implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan

perundang-undangan tentang kepabeanan Indonesia dapat memberikan kontribusi terhadap perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia?

2. Bagaimana Peran kepabeanan (customs) dalam rangka perlindungan terhadap

Hak atas Kekayaan Intelektual?

3. Apa-apa saja Kendala yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

dalam menerapkan perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia dan bagaimana upaya untuk mengatasinya


(18)

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian ini bertujuan:

1.Untuk menganalisis implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan

perundang-undangan tentang kepabeanan di Indonesia apakah dapat memberikan kontribusi terhadap perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia

2. Untuk menganalisis peran kepabeanan (customs) dalam

rangka perlindungan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual.

3. Untuk menganalisis hambatan yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam menerapkan perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia dan bagaimana mengatasinya.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi perkembangan hukum dan pembuatan peraturan kepabeanan yang berkaitan dengan perlindungan HaKI, serta dapat melengkapi hasil penelitian yang telah dilakukan oleh pihak lain dalam bidang yang sama yaitu penelitian tentang bidang hukum HaKI dan dapat menambah bahan pustaka hukum.


(19)

2. Secara Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan manfaat bagi: Pemerintah (khususnya pihak DJBC), para importir, eksportir, serta pelaku bisnis atau praktisi di bidang HaKI dan masyarakat luas sebagai konsumen produk HaKI.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang “Perlindungan HaKI Dikaitkan dengan Kepabeanan berdasarkan UU No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang Perlindungan HaKI tapi jelas berbeda. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.


(20)

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Teori hukum alam atau adakalanya disebut juga sebagai hukum moral biasanya digunakan sebagai landasan moral atau tuntutan untuk melindungi kekayaan intelektual.14 Gagasan dasarnya adalah bahwa kekayaan intelektual merupakan milik sang kreator. Oleh karena itu pengambilan dengan tidak memberikan kompensasi bagi pemiliknya adalah suatu tindakan yang tidak dapat dibenarkan karena melanggar ajaran moral yang baik karena dalam ajaran moral biasanya diwujudkan dengan doktrin: jangan mencuri atau jangan mengambil apa yang bukan milikmu.15

Disamping itu, karena pencipta telah memperkaya masyarakat melalui ciptaannya, pencipta memiliki hak untuk mendapatkan imbalan yang sepadan dengan nilai sumbangannya. Jadi hak cipta, memberi hak milik eksklusif atas suatu karya pencipta. Hal ini berarti mempertahankan hukum alam dari individu untuk mengawasi karya-karyanya dan mendapat kompensasi yang adil atas sumbangannya kepada masyarakat.16 Individu yang menciptakan sebuah musik atau karya seni harus memiliki hak untuk mengawasi penggunaannya dan mendapat kompensasi atas penjualannya, tidak lebih dari seorang petani yang mendapat keuntungan dari tanamannya.17

14

Lihat Agus Sardjono, loc.cit.

15

Ibid. Glenn P. Butterton menggunakan kalimat: “you should not take the property of another without permission”. Kalimat tersebut dikemukakan oleh Butterton dalam mengawali pembicaraan mengenai norma hubungan antara norma sosial dengan HaKI.

16

Hendra Tanu Atmadja, Hak Cipta Musik Atau Lagu, Cet. 1, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 19.

17


(21)

John Locke, seorang filsuf Inggris terkemuka abad ke-18, di mulai dengan asumsi bahwa ”every Man has a Property in his own Person”, mengantarnya kepada suatu pemikiran, bahwa kerja individu juga menjadi milik individu itu sendiri.18 Dengan alasan apa orang memperoleh hak milik melalui kerja? Jawabannya terletak pada tujuan dari Tuhan. Tuhan memerintahkan orang-orang untuk bekerja agar mereka dapat menikmati kesenangan hidup: menikmati makanan, papan, sandang dan cara hidup yang nyaman. Locke tidak berasumsi bahwa semua orang tertarik akan kerja; kerja hanya ditujukan bagi mereka ”yang rajin dan yang rasional saja”, yang

diberikan Tuhan kepada mereka.19 Locke mengusulkan bahwa hak milik merupakan

imbalan yang adil untuk orang-orang yang rajin. Argumentasi ini menjadi titik awal dari justifikasi utilitarian.20

Untuk kebanyakan orang teori hukum alam hanya semata-mata sebagai titik awal dan merupakan justifikasi terbatas untuk HaKI. Sebagai alternatif bagi proposisi terhadap hukum alam orang harus bergantung pada justifikasi utilitarian dalam hal

perlindungan hak-hak kekayaan tidak berwujud.21 Dalam teori pembangunan

ekonomi, teori utilitarian dikembangkan menjadi reward theory. Teori yang berakhir ini mendalilkan bahwa apabila individu-individu yang kreatif diberi insentif berupa hak eksklusif, maka hal ini akan merangsang individu-individu lainnya untuk

18

H.D. Effendy Hasibuan, Perlindungan Merek Studi Mengenai Putusan Pengadilan Indonesia dan Amerika Serikat, Cet. 1, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 17.

19

Atmadja, op. cit., hal. 20-21.

20

Ibid.

21


(22)

berkreasi.22 Sehingga berdampak pada pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang akan semakin meningkat pula.

Selain teori-teori mengenai hak kekayaan intelektual yang telah disebutkan diatas, yaitu teori hukum alam dan teori utilitarian, maka ada empat teori lainnya

yang juga mempengaruhi perkembangan hukum HaKI:23

1. The exchange-for-secrecy rationale, menyebutkan bahwa tanpa hak yang sah (legal right) yang dapat mencegah pihak lain melakukan peniruan terhadap penemuan atau ciptaannya, maka pencipta akan tergoda untuk berupaya merahasiakan ciptaannya. Jika hal ini dilakukannya, maka akan ada pihak-pihak tertentu secara diam-diam berupaya untuk meniru atau menjiplaknya, dan kemudian memperbanyak penemuan dan ciptaan tersebut. Di samping itu, tak satu orang pun yang dapat menggunakan idenya untuk mendorong batas pengetahuan lebih lanjut. Meskipun hak eksklusif telah mengorbankan banyak biaya, tetapi biaya yang besar itu dengan sendirinya akan terkompensasi dengan terungkapnya inovasi atau ciptaan tersebut.

2. The quality-control principle,menurut prinsip ini, hak eksklusif dianggap sebagai metode untuk melindungi inovasi dan ciptaan begitu diedarkan. Dengan memberikan kekuasaan kepada pemegang hak untuk mengontrol penggunaan inovasi atau ciptaan tersebut, hak eksklusif memungkinkan

22

Agus Sardjono. op.cit., hal. 26. Lihat juga Atmadja, ibid., hal. 24. David Bainbrige mengatakan bahwa seseorang yang mencurahkan waktu dan usaha untuk mencipta suatu karya harus diberikan kesempatan untuk mendapat imbalan secara ekonomis, dengan demikian akan mendorong orang-orang itu menjadi kreatif. Bagi seorang pencipta, keahlian mencipta bukan saja merupakan kelebihan atau anugerah dari Tuhan, melainkan keahlian itu menjadi sumber penghidupannya.

23


(23)

pemegang hak mempertahankan integritas. Pemegang hak dapat, misalnya menggunakan haknya untuk pihak-pihak lain melakukan penyimpangan atau perusakan terhadap karyanya, yang menurunkan kredibilitas dan kualitas karya tersebut.

3. The prospecting theory, memiliki beberapa elemen untuk mempromosi kualitas. Teori ini menganjurkan satu nilai dalam sistem hak eksklusif adalah yang berpusat pada penelitian. seperti seorang penambang yang mempunyai klaim atas tambangnya; hak eksklusif yang dimiliki pemegang hak memiliki insentif untuk sepenuhnya mengembangkan ide-idenya. Dan karena ada pihak lain ingin mendapatkan karya tersebut, ia harus mendapat otoritasi terlebih dahulu. Pemegang hak memperoleh pengetahuan yang komprehensif tentang bagaimana karya itu dikembangkan, dan sekaligus membantu memelihara “pasar yang teratur” dalam pertumbuhan lebih lanjut.

4. The profit-incentive theory, telah memberi pengaruh yang sangat dominan terhadap pembentukan hukum hak kekayaan intelektual, terutama di Amerika Serikat, karena telah mengambil pendekatan utilitarian. Teori ini ingin membuktikan bahwa eksklusivitas diperlukan untuk melindungi para innovator dan pencipta dari serangan penjiplak atau peniru. Perlindungan ini perlu diberikan, karena biaya peniruan atau penjiplakan jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya, waktu dan tenaga yang telah dikorbankan untuk mencipta. Demikian juga dengan para penjiplak atau pembonceng gelap (freerider), yang dapat menguasai pasar secara keseluruhan atas


(24)

produk-produk tersebut, dan mencegah pencipta atau innovator mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan dalam rangka menghasilkan penemuan dan penciptaan tersebut. Karena kebanyakan inventor atau pencipta tidak dapat memberikan pelayanan (servis) mereka kepada masyarakat, sehingga inovasi dan penciptaan tidak dapat mencapai hasil yang optimal tanpa adanya eksklusivitas tersebut. Tentu saja, pemerintah dapat memberikan solusi terhadap masalah pemboncengan gelap (freerider) itu dengan cara mensubsidi usaha-usaha inovatif tersebut, namun, karya-karya eksklusif biasanya lebih unggul, karena mekanisme pasar memberikan imbalan, banyak atau sedikit, yang memberi manfaat kepada masyarakat melalui penemuan tersebut.

Dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia juga ditekankan bahwa setiap individu berhak untuk turut serta dengan bebas dalam kehidupan kebudayaan masyarakat serta menikmati kesenian dan kemajuan ilmu pengetahuan dan sekaligus mendapatkan manfaatnya. Seiring dengan hak tersebut diatas, tercermin adanya suatu pengakuan universal atas hak dari setiap individu terutama terhadap kepentingan-kepentingannya yang perlu diberi perlindungan baik yang bersifat moral maupun yang bersifat materi yang diperoleh dari ilmu pengetahuan dan seni, dimana ia menjadi penciptanya.24

24

Lihat Article 27 (1) 1948 Declaration of Human Rights yangberbunyi: “Everyone has the right freely to participate in the culture life of the community, to enjoy the arts and to share in scientific, advancement and its benefits; Everyone has the right to protection of the moral and material interest resulting from any scientific, literary of artistic production of which he is the author”. Article 27 (2) 1948 Declaration of Human Rights yang berbunyi: “Everyone has the right freely to participate in the culture life of the community, to enjoy the arts and to share in scientific advancement and its benefits”


(25)

2. Konsepsional

Untuk memudahkan dalam memahami tulisan ini maka dibuatlah definisi operasional, sebagai berikut:

Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku.25

Untuk kepastian hukum, hak cipta dianggap lahir atau timbul sejak suatu karya cipta diumumkan, yaitu tersedia untuk dinikmati oleh umum. Pada prinsipnya Hak Cipta diperoleh bukan karena pendaftaran, tetapi dalam hal terjadi sengketa di pengadilan mengenai Ciptaan yang terdaftar serta apabila pihak-pihak yang berkepentingan dapat membuktikan kebenarannya, hakim dapat menentukan Pencipta yang sebenarnya berdasarkan pembuktian tersebut.26

Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta atau pihak lain yang menerima lebih lanjut dari pihak yang menerima hak tersebut,27 antara lain berdasarkan pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan

25

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No. 422, Pasal 2 ayat (1).

26

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No. 422, Penjelasan Pasal 5 ayat (2)

27

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No. 422, Pasal 1 butir 1.


(26)

perundang-undangan.28 Hak khusus tersebut meliputi hak-hak untuk mengumumkan atau memperbanyak, termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada public, menyiarkan, merekam dan mengkomunikasikan Ciptaan kepada publik melalui sarana apa pun.29

Maka pelanggaran hak cipta muncul manakala terjadi penggunaan hak khusus tersebut oleh pihak yang tidak memiliki hak. Sanksi atas pelanggaran tersebut berupa hukuman badan dan/atau denda serta pemusnahan barang bukti, disamping ganti rugi berdasarkan gugatan perdata. Ciptaan yang dilindungi di Indonesia sebagaimana diuraikan dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang mencakup:

1. buku, program computer, pamphlet, perwajahan (lay out) karya tulis

yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;

2. ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;

3. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu

pengetahuan;

4. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

5. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pentonim;

28

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No. 422, Pasal 3 ayat (2).

29

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No. 422, Penjelasan Pasal 2 ayat (1).


(27)

6. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;

7. arsitektur;

8. peta;

9. seni batik;

10. fotografi;

11. sinematografi;

12. terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai. Database, dan karya seni

dari hasil pengalihwujudan.

Sementara itu yang dimaksudkan dengan Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.30

Hak atas merek adalah hak khusus yang diberikan Negara kepada pemilik merek yang didaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang atau

beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya.31

Berbeda dengan hak cipta, hak atas merek lahir/timbul karena diberikan oleh Negara dan berdasarkan pendaftaran. Hak atas merek yang dilindungi di Indonesia adalah

30

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, LN No. 110 Tahun 2001, TLN No. 4131, Pasal 1 ayat (1).

31

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, LN No. 110 Tahun 2001, TLN No. 4131, Pasal 3.


(28)

yang terdaftar dan/atau yang belum terdaftar tetapi merupakan merek terkenal. Pelanggaran merek (Trademark Infringement) adalah pemakaian secara tidak sah suatu merek yang menyerupai merek dari pemilik yang sah, termasuk merek dagang, merek jasa, merek kolektif dan sertifikat merek dengan menciptakan suatu persamaan yang membingungkan bagi para konsumen.32 Sanksi atas pelanggaran tersebut adalah berupa hukuman badan dan denda, serta pemusnahan barang bukti. Disamping itu ganti rugi berdasarkan gugatan perdata.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang berarti bahwa penelitian ini mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengn permasalahan yang dibahas dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Digunakannya pendekatan yuridis normatif, dengan pertimbangan masalah yang diteliti berkisar pada keterkaitan suatu peraturan dengan peraturan lainnya dan bagaimana aplikasinya dalam masyarakat.

1. Tipe atau Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu membuat perencanaan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta.33 Penelitian ini memberikan gambaran situasi perlindungan impor-ekspor barang hasil pelanggaran HaKI di Indonesia, kemudian dilakukan analisis terhadap permasalahan tersebut berdasarkan

32

Hasibuan, op.cit., hal. 22.

33


(29)

peraturan perundang-undangan yang berkaitan, TRIPs dan pendapat-pendapat para ahli yang digunakan sebagai pisau analisis.

2. Sumber Data Penelitian

Data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library Research):34

1. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan

Perundang-undangan, dan Yurisprudensi;

2. Bahan hukum sekunder, yaitu buku teks, laporan penelitian, artikel ilmiah, makalah, jurnal dan laporan penelitian;

3. Bahan hukum tersier, yaitu sebagai pedoman untuk mengkaji bahan primer

dan sekunder yang diperoleh dari kamus, bibliogragi, dan ensiklopedia. 3. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data ialah teknik atau cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Metode atau teknik menunjuk suatu kata yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, tetapi hanya dapat dilihatkan penggunaannya melalui angket, wawancara, pengamatan, ujian,

dokumen dan lainnya.35

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data

34

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Wali Press, 1990), hal. 14-15.

35


(30)

sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,

literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan

putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini. 4. Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaedah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum

tersebut.36 Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang berupa

peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, dan studi wawancara dengan beberapa informan/narasumber di Kantor Bea dan Cukai di Medan, dan data juga diperoleh dari dokumen-dokumen atau arsip-arsip dari para narasumber di Kantor Bea dan Cukai di Medan tersebut serta hasil wawancara diolah dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif.

36


(31)

BAB II

IMPLEMENTASI AGREEMENT ON TRADE RELATED ASPECTS OF INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS (THE TRIPS AGREEMENT) DALAM

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG KEPABEANAN INDONESIA

A. Tinjauan tentang Perdagangan Internasional (GATT/WTO) 1. Pengertian Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional timbul akibat dari interpendensi atau kesaling-tergantungan antara satu negara dengan negara lainnya. Namun bukan berarti suatu negara yang berdaulat tergantung sepenuhnya pada negara berdaulat lainnya, melainkan suatu situasi dan kondisi dimana semuanya saling membutuhkan, saling memerlukan untuk mempertahankan keseimbangan politis dan ekonomis, dan tentu

pula dalam rangka pemenuhan kepentingan masing-masing negara.37 Satu negara

mungkin mempunyai keunggulan komparatif (comparative advantage), terhadap negara lain atau bahkan keunggulan mutlak (absolute advantage)¸untuk itu diperlukan hubungan hukum antar negara yang meliputi individu-individu, perusahaan-perusahaan, dan atau pemerintah. Pendapat ini adalah salah satu alasan yang menjelaskan mengapa penting perdagangan internasional.

Hubungan ini membutuhkan instrumen hukum yang bersifat supra nasional yang dibuat oleh dua negara atau lebih dan masing-masing negara tidak saja menaati

37

AF Elly Erawaty, Hukum Ekonomi Internasional, (Bandung: FH Parahyangan, 1998), hal32.


(32)

aturan tersebut dengan sukarela, tetapi sekaligus memaksa dengan maksud untuk menjamin persamaan hukum (equality) serta hak dan kewajiban masing-masing pihak. Carolyn Hotchkiss memberikan contoh:

“Suppose that an American buyer for a clothing store in Virginia goes to Italy and purchases 100 men’s swits. He returns to United States, and Italian seller ships the swits to Virginia one week later. Even if the transaction work perfectly, both national and international law influence the business deal. When the buyer travels, he will need a passport from the U.S. government. He will have to pass the border checks for compliance with Italian and U.S. customs regulations. The purchase of suits is a contractual obligation, which may be governed by a treaty drafted by United nations, call the Convention for the International Sale of Goods. In this instance, both Italy and U.S. have rativied treaty. The shipment of good must clesr customs and is subject to tariff. Here, the tariff status in the suits is the determined by U.S. law is stuctureed within the frame work of another set of treaties and agreements known as General Agreement on tariff and Trade (GATT).”38

Atas dasar pemikiran di atas dan keinginan yang dilatar belakangi bahwa salah satu faktor pendorong pecahnya perang dunia II adalah faktor ekonomi, dimana hubungan antar negara diwarnai dengan kebijaksanaan proteksionisme yang berlebihan atas industri masing-masing negara, juga faktor politis maupun institusional di negara-negara pendukung perdagangan internasional39 maka negara-negara industri atau negara-negara-negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa berusaha

38

Carolyn Hotchkiss, International Law for Business, Internatioal ed., (Singapore: McGraw-Hill Co., 1994), hal.24-45, dalam Hikmahanto Juwana, Hukum Perdagangan Internasional, Kumpulan Bahan Kuliah Hukum Ekonomi, Pascasarjana FHUI, hal. 1.

39

The World Bank, The GATT: Law and International Economic organization, (Chicago: The University of Chicago Press (Mid Way Reprint), 1977), hal.2.


(33)

menciptakan suatu otoritas internasional yang bertugas mengawasi perdagangan internasional. The idea that tariff should be reduced through bilateral and multilateral negotiations become part of Atlantic charter, the declaration issued by President Roosevelt and British Prime Minister Winston Churchill in 1941 as a rallying cry for nations opposing military and economic aggression of fascist Germany, Italy, and Japan.40 Sebagai upaya mewujudkan keinginan tersebut, maka

Amerika Serikat memelopori diselenggarakannya konferensi internasional multilateral yang diadakan di Bretton Woods, New Hamphsire, Amerika Serikat. Konferensi ini berlangsung cukup lama dan berakhir di tahun 1947 dengan menghasilkan perjanjian-perjanjian internasional pembentukan Internatioanl Monetery Fund (IMF), International Labour Organization (ILO), dan General Agreement on tariff and Trade (GATT). Terbentuknya GATT ini bukanlah menjadi tujuan utama konferensi tersebut.41

Pada awalnya organisasi yang ingin dibentuk oleh negara-negara peserta konferensi di Bretton Woods adalah International Trade Organization (ITO) yang akan mengatur lalu lintas perdagangan internasional. Secara bersamaan disepakati juga persetujuan internasional tentang negosiasi tarif impor serta larangan penggunaan hambatan perdagangan non-tarif yang akan dinamai GATT. Pembentukan ITO gagal karena kongres Amerika Serikat menolak mengesahkan piagam yang dikenal dengan nama Havana Charter. Karena pembentukan ITO gagal

40

Ibid.,hal. 355.

41


(34)

dan kebutuhan akan adanya organisasi internasional di bidang perdagangan sangatlah mendesak, maka disepakatilah untuk mengesahkan dan memberlakukan saja GATT.

i bebrapa perubahan dan penambahan ikut:

47;

;

Uruguay Round, tidak berfokus pada hambatan tarif (tarrif barrier) atau non-tarif saja,

42

Pada proses selanjutnya yang diiringi dengan perundingan-perundingan dagang multilateral (Multilateral Trade Negotiations/ MTN) ketentuan-ketentuan hukum dalam GATT tahun 1947 mengalam

melalui 8 putaran (Rounds), sebagai ber

a. Geneva, Switzerland,19

b. Annecy, France, 1948;

c. Torquay, England, 1950;

d. Geneva, Switzerland, 1956;

e. Dillon Round, Geneva, 1960-1961;

f. Kennedy Round, Geneva, 1964-1967

g. Tokyo Round, Geneva, 1973-1979;

h. Uruguay Round, Marrakesh, 1986-1994.

Putaran terakhir berhasil menyelesaikan seluruh agendanya dan ditutup di ibu kota Maroko tanggal 15 April 1994 yang dikenal dengan nama Final Act 1994, salah satu hasil perundingan itu adalah terbentuknya World Trade Organization sebagai penerus GATT, sehingga keseluruhan dokumen hukum tersebut dinamakan juga sebagai WTO Agreements. Disapmping itu juga putaran terakhir yang dikenal dengan

42


(35)

melainkan di perluas dengan memasukkan materi perundingan berupa investasi, perdagangan jasa, hak milik intelektual, dan juga prosedur penyelesaian sengketa dagang antar negara.

WTO dibentuk untuk menggantikan ide ITO yang gagal dibentuk tahun 1947. Dengan terbentuknya WTO maka GATT menjadi tidak ada lagi, namun tidak berarti semua kesepakatan atau persetujuan-persetujuan yang pernah dibuat dalam rangka GATT dahulu mejadi tidak berlaku melainkan mengintegrasikian persetujuan GATT berikut hasil-hasil putaran dagang sebelumnya ke dalam kewenangan organisatoris

WTO.43

Transaksi perdagangan internasional tidaklah semata-mata membutuhkan ilmu ekonomi saja, tetapi juga menyangkut seperangkat instrumen hukum yang berfungsi sebagai alat untuk mengatur hak dan kewajiban para pihak serta memperlancar arus ekspor-impor barang dan jasa antar negara sekaligus memberikan perlindungan dan kepastian hukum atas transaksi tersebut. Oleh karena itu GATT harus mempunyai prinsip-prinsip yang dapat menjamin kepentingan para pihak atau pelaku usaha antar negara maupun dalam negeri sendiri.

Prinsip-prinsipGATT menurut pendapat beberapa ahli adalah berbeda-beda, namun substansinya adalah sama dan masih dalam konteks ruang lingkup Agreement GATT, antara lain:

43


(36)

a. Prinsip National Treatment

Prinsip National Treatment eperti yang tercantum dalam pasal 3 TRIPs44, melarang perbedaan perlakuan antara barang asing dan barang domestic yang berarti pada suatu barang impor telah masuk ke pasaran dalam negeri suatu anggota, dan setelah melalui pabean serta membayar bea masuk, maka barang impor tersebut harus diperlakukan tidak lebih buruk daripada hasil dalam negeri45

Berkaitan dengan HaKI, mewajibkan setiap anggota untuk memberikan perlindungan yang sama terhadap pemilik HaKI warga negara lain yang menjadi anggota seperti perlindungan yang diberikan kepada warga negaranya sendiri dengan memperhatikan beberapa pengecualian yang telah ada berdasarkan Konvensi Paris (1967) tentang Perlindungan terhadap Kekayaan Industrial. Konvensi Borne (1971) tentang Perlindungan terhadap Karya Sastra dan Seni versi 24 Juli 1971, Konvensi Roma (1961) tentang Perlindungan terhadap Pelaku Pertunjukan, Produser Rekaman Musik, dan Organisai Siaran yang di sepakati pada tanggal 26 Oktober 1961, dan

44

Each member shall accord to the nationals of other Members treatment no less fafourable than that it accords to its own nationals with regard to the protection of intellectual property, subject to the exceptions already provided in, respectively, the Paris Convention (1967), the Berne Convention (1971), the Rome Convention (1971) and the Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circiuts. In respect of performers, producers of phonograms and broadcasting organizations,this obligation only applies and respect of the rights provided under this Agreement. Any member availing it self of the possibilities provided in Article 6 of the Berne Convention and paragraph 1 (b) of Article 16 of the Rome Convention shall make a notification as foressen in those provisions to the Council for Trade-Releated Aspect of of Intellectual Property Rights.

45

H.S. Kartadjoemena, GATT dan WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional, (Jakarta: UI-Press, 1996), hal. 109.


(37)

perjanjian tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual atas Rangkaian Elektronik Terpadu yang disepakati di Washington 26 Mei 1989.

b. Prinsip Most Favored Nation (MFN) atau Nondiskriminasi

Prinsip utama yang menjadi dasar GATT adalah prinsip nondiskriminasi yang dalam GATT dikenal sebagai Most Favored Nation (MFN) seperti yang

tercantum dalam pasal 4 TRIPs46. Menurut prinsip ini bahwa perdagangan

internasional antara anggota GATT harus dilakukan secara nondiskriminatif.47 Dikatakan lebih lanjut bahwa konsesi yang diberikan kepada satu negara mitra dagang harus berlaku pula bagi semua negara lainnya. Satu negara tidak boleh diberi perlakuan lebih baik atau lebih buruk lagi.48

Berkaitan dengan HaKI, maka semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati keuntungan, kemanfaatan atau perlakuan istimewa yang diberikan Anggota tertentu kepada negara lain harus seketika dan tanpa syarat diberikan pula kepada anggota lain.

46

With regard to the protection of intellectual property, any advantage, favour, privilege, or immunity granded by a Member to the nationals of any other country shall be accorded immediately and unconditionally to the nationals of all other Members. Exempted from the obligation are any advantage, favour priviege or immunity accorded by a member:

(a) Deriving from international agreements on judicial assistance and law enforcement of

the general nature and not particulary confined to the protection of intellectual property;

(b) Granded any accordance with the provisions of the Berne Convention (1971 or the

Rome Convention authorizing that the treatment accorded be a function not of national treatment accorded in another country;

(c) In respect of the rights of performers, producers of phonograms and broadcasting

organizations not provided under this Agreement;

(d) Deriving from international agreements related to the protection of intellectual property which entered into force prior to the entry into force of the Agreement Establishing the MTQ, provided that such agreement are notified to the Council for Trade-Related Aspects of intellectual property Rights and do not constitute an arbitrary or unjustifiable discrimination against nationals of other Members.

47

Kartadjoemena, loc. Cit.

48


(38)

c. Prinsip Reprioritas

Prinsip ini merupakan prinsip fundamental dalam GATT. Prinsip ini tampak pada preambule GATT dan berlaku dalam perundingan-perundingan tariff yang didasarkan atas dasar timbal balik (resiprioritas) dan saling menguntungkan kedua belah pihak.49

Meskipun uraian di atas adalah suatu prinsip, namun GATT memberikan dispensasi atau pengecualian untuk suatu negara atas kondisi perekonomian tertentu. Pengecualian tersebut dapat terjadi apabila memang secara objektif kondisi atau situasi perekonomian benar-benar membutuhkan penyimpangan dari prinsip-prinsip dasar tersebut. Pada prinsipnya terdpat lima kelompok pengecualian atas kewajiban negara atas anggota WTO (GATT), yaitu:50

(1)Karena negara memiliki kesulitan neraca pembayaran, maka diizinkan membatasi impor produk dengan menggunakan kuota (Pasal XII-XIV GATT 1947).

(2)Karena industri domestik negara pengimpor mengalami kerugian yang

serius akibat meningkatnya impor produk sejenis, maka negara tersebut boleh mengenakan pembatasan impor untuk sementara waktu. Pengecualian ini dikenal dengan istilah ‘escape clause’ yang diatur olh Pasal XIX GATT 1974.

49

Huala Adof & A. Chandrawulan, Masalah-masalah hukum dalam Perdagangan Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 18-19.

50

H.S. Kartadjoemena, GATT dan WTO: Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, (Jakarta: UI-Press, 1996), hal. 35.


(39)

(3)Demi kepentingan kesehatan publik, keselamatan dan keamanan nasional negara pengimpor, maka negara itu diizinkan untuk membebaskan diri dari kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh GATT. Dasar hukum pengecualian ini terdapat dalam Pasal XX dan XXI GATT 1947 dan disebut dengan ‘general exeptions clauses’.

(4)Perlakuan MFN tak berlaku untuk hubungan ekonomi antara negara

anggota kawasan perdagangan bebas (Free Trade Area) dan customs union dengan negara yang bukan anggota.

(5)Seluruh negara anggota dapat bertindak secara bersama-sama atau

serentak untuk menghapuskan kewajiban apapun yang diperintahkan oleh GATT sesuai mandat pasal XXV.

Terlihat bahwa GATT tidak rigid dalam memberlakukan semua ketentuan kepada negara-negara anggotanya. Di samping pengecualian tersebut di atas ada lagi pengecualian dalam hubungan dagang antara negara berkembang dan negara maju melalui program Generalized System of Preferences (GSP).51 Artinya bahwa negara maju boleh saja memberikan berbagai kemudahan atau fasilitas terhadap barang-barang yang berasal dari negara tertentu tanpa ada keharusan untuk memberikan kemudahan serupa terhadap produk serupa dari negara maju (menyimpang dari prinsip MFN) dan negara berkembang tersebut tidak wajib memberikan kemudahan serupa kepada negara pemberi kemudahan tersebut.52

51

Ibid.

52


(40)

2. The TRIPs Agreement dan Pengaruhnya Terhadap Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Oleh Institusi Kepabeanan

Salah satu lampiran dari persetujuan GATT adalah persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang HaKI (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) disingkat TRIPs, yang merupakan standar Internasional yang harus dipakai berkenaan dengan HaKI. Keterkaitan TRIPs yang erat dengan perdagangan internasional, maka TRIPs memuat dan menekankan dalam derajat yang tinggi mekanisme penegakan hukum yang dikaitkan dengan kemungkinan pembalasan silang atau cross-retaliation.53 Apabila satu negara tidak melindungi secara efektif

HaKI milik warga negara yang lain, baik dalam pengaturan maupun penegakan hukumnya, akan memberi hak kepada negara yang merasa dirugikan untuk mengambil tindakan balasan dengan menghambat impor komoditi apapun dari negara yang di tuduh, peniadaan GSP, pengenaan tarif yang lebih tinggi, dan lain-lain.

Dalam tahun-tahun belakangan ini, isu mengenai perlindungan HaKI telah disatukan dengan perdagangan HaKI. Bahkan untuk beberapa negara hal tersebut telah mengubah HaKI menjadi konfrontasi perdagangan. Persetujuan TRIPs ini lahir karena adanya keinginan untuk mengurangi distorsi dan rintangan-rintangan dalam perdagangan internasional,

dan pentingnya memajukan perlindungan secara efektif dan memadai terhadap HaKI, serta untuk menjamin bahwa langkah-langkah dan prosedur untuk melaksanakan

53


(41)

perlindungan terhadap HaKI tidak mengalami hambatan bagi perdagangan yang sah.54

Amerika Serikat sebagai negara maju menghendaki negara-negara berkembang untuk mengefektifkan pengaturan tentang HaKI, dan menjadikan kondisi demikian sebagai konsesi timbal balik dalam pembuatan perjanjian ekonomi.55

Di bidang TRIPs, Indonesia, seperti juga negara berkembang lainnya, Tentunya bukanlah hal yang mudah untuk mengefektifkan pengaturan tentang HaKI karena banyak faktor yang mempengaruhi Indonesia dalam memberikan perlindungan terhadap HaKI sebagaimana dikehendaki oleh negara maju sebagai imbalan kesediaan negara maju memberikan akses ke pasar mereka.56

Diterimanya the TRIPs Agreement telah menjadikan peranan institusi kepabeanan dalam perlindungan HaKI sebagai suatu keharusan. Ketentuan yang diatur dalam Part III TRIPs: ‘Enforcement of Intellectual Property Rights’, mencakup ‘Special Requirement Related to Border Measures’ (ketentuan yang mengatur mengenai tindakan-tindakan yang dilakukan aparat kepabeanan dalam pengawasan terhadap impor-ekspor barang yang melanggar HaKI) dalam section 4, diantaranya

memuat mengenai ‘Suspension of Release by Customs Authorities’ (penangguhan pengeluaran barang dari kawasan pabean), yang merupakan ketentuan standar yang harus diformulasikan dan diatur dalam ketentuan nasional masing-masing negara

54

Ibid., hal. 3.

55

Ibid., hal. 4.

56


(42)

penandatanganan WTO Agreements / TRIPs. Dengan adanyaketentuan tersebut, maka di tiap-tiap negara, institusi kepabeanan harus ikut telibat dalam pelaksanaan perlindungan HaKI.

Perlindungan HaKI merupakan unsur terpenting bagi perkembangan teknologi baru dan perdagangan internasional. Keyakinan dan dorongan bagi para penemu/ peneliti untuk melakukan inovasi dan penemuan-penemuan, hanya akan terjadi apabila ada jaminan perlindungan HaKI yang baik.

Di tingkat internasional, Paris Convention dan Berne Convention sebelumnya telah mengatur mengenai standar perlindungan minimum yang harus diberikan terhadap HaKI. Selanjutnya, TRIPs yang diterima sebagai bagian dari Persetujuan Pembentukan WTO (Agreement Establishing The World Trade Organization) pada akhir Putaran Uruguay di Marakesh tahun 1994, memperluas scope perlindungan tersebut, dengan menetapkan standar perlindungan, aturan-aturan mengenai penegakan hukumnya (enforcement), dan aturan-aturan mengenai penyelesaian perselisihan (antar negara anggota WTO). Sejumlah kewajiban yang diatur dalam TRIPs menghendaki agar negara-negara mengatur dalam perundang-undangan nasional masing-masing prosedur dan tindakan-tindakan yang diperlukan sehingga penegakan hukum dapat terlaksana secara efektif. TRIPs diakui sebagai suatu dokumen yang sangat berpengaruh dalam terjadinya reformasi peraturan perundang-undangan di bidang HaKI bagi negara-negara anggota WTO.

Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tanggal 2 Nopember 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade


(43)

Organization”, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan semua persetujuan yang ada didalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional. Menjadi anggota WTO berarti terikat dengan adanya hak dan kewajiban. Disamping itu pula , WTO bukan hanya menciptakan peluang (opportunity), tetapi juga ancaman (threat).

Dengan berlakunya TRIPs, negara-negara anggota WTO, termasuk sejumlah negara industri maju, harus melakukan perubahan-perubahan dan penyesuaian undang-undang nasional masing-masing di bidang HaKI. Demikian juga di Indonesia, pada Tahun 1997 beberapa perundangan di bidang HaKI mengalami perubahan agar sesuai dengan ketentuan standar yang diatur dalam TRIPs. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan sebagai perubahan atas UU No.10 tahun 1995 yang lahir pada masa itu, juga mengintrodusir dan mengakomodasikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam WTO Agreement, termasuk pengaturan mengenai prosedur Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam pengendalian impor atau ekspor barang hasil pelanggaran HaKI, dalam pasal 54 sampai dengan pasal 64.

Part III Persetujuan TRIPs, mengatur mengenai penegakan hukum di Bidang HaKI (Enforcement of IPR), dimana didalamnya diatur mengenai standar prosedur berkaitan dengan impor dan ekspor barang yang diduga melanggar HaKI (Part III Section 4: Special Requirement Related to Border Measures). Part III Section 4 ini mengatur mengenai prosedur penangguhan pengeluaran barang oleh kepabeanan. Sesuai dengan kewajiban ‘compliance’ dengan TRIPs, maka ketentuan standar tersebut telah dimuat dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang


(44)

Perubahan atas UU No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yaitu dalam pasal 54 sampai dengan pasal 64. Dengan demikian, perlindungan HaKI yang dilaksanakan oleh institusi kepabeanan di Indonesia (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai) telah mengacu pada standar minimum yang ditentukan dalam TRIPs, yang berlaku secara Internasional.

Dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, ditegaskan pada pasal 54 sampai dengan pasal 64 bahwa pejabat Bea dan Cukai diberi kewenangan untuk menangguhkan sementara dan menghentikan barang ekspor-impor yang diduga melakukan pelanggaran Hak Merek dan Hak Cipta yang dilindungi di Indonesia yang berarti Direktorat Jenderal Bea dan Cukai turut serta membantu menghindari masuknya barang-barang palsu ke Indonesia.

Ketentuan tentang Pengendalian Impor atau Ekspor Barang Hasil Pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual pada Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan merupakan implementasi dari Perjanjian Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Right, Including Trade in Counterfeit Goods (TRIPs) Section 4 part 3, Article 51sampai dengan Article 60 tentang Boundary Measures Suspension of Release by Customs Authorities yaitu tindakan untuk menyita barang yang melanggar HaKI yang masuk ke suatu negara. Implementasi ini adalah suatu kemajuuan dimana Indonesia telah mengadopsi ketentuan yang tercantum dalam perjanjian multilateral TRIPs-WTO. Namun dalam pelaksanaanya, hingga saat ini, Peraturan Pemerintah


(45)

tentang HaKI dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagai peraturan pelaksana belum diberlakukan / belum selesai dibuat. Kondisi ini tentu tidak optimal dalam mendukung perlindungan HaKI.

B. Ketentuan dan Prosedur Perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual dalam Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

Dalam kerangka perlindungan HAKI, tindakan atau kewenangan yang dapat dilaksanakan oleh DJBC adalah tindakan’’penangguhan sementara waktu pengeluaran barang impor atau ekspor dari kawasan pabean’ atau yang dalam

TRIPs disebut sebagai ‘suspension of release by customs’.57

Tindakan “border measurement” oleh DJBC tersebut dianggap cukup efektif untuk mencegah adanya pelanggaran HaKI. Tindakan penangguhan yang dilaksanakan pada ‘exit’ atau ‘entry point’ di kawasan Pabean ini dapat mencegah barang yang diduga melanggar HaKI, sebelum barang tersebut masuk ke dalam jalur distrbusi komersial di daerah bebas, dimana pencegahannya akan lebih rumit dan memakan biaya yang besar.

57

Lihat Article 51 the TRIPs Agreement: “Member shall, in conformity with the provision set out below adopt procedures to anable a right holder, who has valid grounds for suspecting that the importation of counterfeit trade mark or pirated copyrhigt goods may take place, to lodge an application in writing with competent authorities, administrative or judicial, for the suspension by the customs authorities of the release into free circulation of such goods. Member may anable such an application to be made inrespect of goods wich involveother infringements of intellectual property rights, provided that the requirements of this Section are met. Member may also provide for corresponding procedures concerningthe suspension by the customs authorities of the release of infringing goods destined for exportation from their territories.”


(46)

Perlu dicatat bahwa walaupun pejabat DJBC adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam kasus pelanggaran kepabeanan, tetapi PPNS Bea dan Cukai di bidang HaKI tidak mempunyai kewenangan ‘ex oficio’ karena jabatan, penanganan kasusnya seterusnya diserahkan kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri) atau PPNS Direktorat Jenderal HaKI, untuk proses hukum lebih lanjut.

Dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan, tindakan penangguhan pengeluaran barang yang diduga melanggar HaKI oleh Bea dan Cukai dapat dilaksanakan berdasarkan dua alasan, yaitu:

1. Berdasarkan Perintah Tertulis dari Ketua Pengadilan Negeri Setempat;58 2. Dilakukan karena jabatan (ex oficio), apabila terdapat bukti yang cukup

bahwa barang tersebut merupakan atau berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta.59

1. Penangguhan Pengeluaran Berdasarkan Perintah Tertulis dari

Ketua Pengadilan Negeri Setempat/ Pengadilan Niaga Setempat

Dalam Article 51 TRIPs Agreement diatur bahwa dalam hal pemilik atau pemegang hak memiliki bukti yang cukup untuk menduga adanya impor barang yang melanggar hak merek atau hak cipta, ia dapat mengajukan permintaan tertulis kepada pihak yang berwenang –administratif atau judicial- untuk dilakukannya penangguhan pengeluaran barang tersebut oleh Bea dan Cukai.

58

Lihat Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No.75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal 54.

59

Lihat Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No.75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal 54.


(47)

TRIPs tidak menentukan kepada pihak mana (competent authorities) permintaan penangguhan ini harus diajukan, hal ini tergantung pada ketentuan yang berlaku di masing-masing negara, dengan demikian permintaan tersebut dapat diajukan kepada pihak pengadilan (judicial) atau kepada instansi-instansi lain (administratif) termasuk yang diajukan langsung kepada pihak kepabeanan.

Berdasarkan Pasal 54 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, maka di Indonesia permintaan (oleh pemilik atau pemegang hak) tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri Setempat. Dengan dipilihnya jalur permintaan melalui pengadilan ini, maka diperlukan adanya Perintah Tertulis dari Ketua Pengadilan Negeri Setempat kepada Pejabat Bea dan Cukai untuk melaksanakan penangguhan pengeluaran barang.

Masalahnya adalah terdapat perbedaan jurisdiksi pengadilan yang berwenang menetapkan penangguhan sementara (injunction) maupun memeriksa pelanggaran HaKI antara Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (menunjuk Pengadilan Negeri) dengan perundang-undangan di bidang HaKI (menunjuk Pengadilan Niaga). Sehingga ada kemungkinan dua alternatif yang bisa diajukan:

a. Memberikan kewenangan ke Pengadilan Niaga untuk menetapkan injunction

maupun untuk memutus perkara pelanggaran HaKI, dengan pertimbangan sebagai upaya penundukan diri kepada rezim HaKI sesuai adagium lex posteriori derogate lex priori (undang-undang yang berlaku belakangan


(48)

mengesampingkan undang-undang yang berlaku terdahulu. Sedangkan untuk mengatasi keterbatasan jumlah Pengadilan Niaga, pemegang hak dapat melakukan upaya mekanisme penangguhan karena jabatan (ex oficio).

b. Tetap memberikan kewenangan ke Pengadilan Negeri untuk menetapkan

injunction maupun untuk memutus perkara pelanggaran HaKI, dengan pertimbangan untuk menampung ketentuan dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan serta untuk mengatasi keterbatasan jumlah Pengadilan Niaga dibandingkan Pengadilan Negeri yang terdapat hampir di semua border DBJC.

Di beberapa negara, permintaan semacam ini diajukan kepada Bea dan Cukai tanpa melalui pengadilan. Prosedur pengajuan permintaan kepada Bea dan Cukai ini dalam pelaksanaannya jauh lebih efektif dibandingkan dengan pengajuan permintaan kepada Pengadilan Negeri, karena Bea dan Cukai dapat bertindak langsung berdasarkan data-data yang disampaikan pemilik atau pemegang hak dalam permohonannya.60

Kewajiban Pejabat Bea dan Cukai atas penerimaan Perintah Tertulis dari Pengadilan Negeri adalah:61

60

Lihat Nill Vistor, Trademark Anticounterfeiting in Asia and The Pasific, (New York: International Trademark Assosiation, 2001), hal 44-46 (mengenai penanganan HKI oleh Bea Cukai Amerika Serikat) dan hal. 295-296 (mengenai penanganan HKI oleh Bea Cukai Jepang). Lihat juga Ade Maman Suherman, “Penegakan Hukum atas Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia,” Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 23 No. 1, 2004, hal 86-91.

61

Lihat Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No.75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal 55.


(49)

a. Memberitahukan secara tertulis kepada importir, eksportir, atau pemilik barang mengenai adanya perintah penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspornya;

b. Melaksanakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor

dari kawasan Pabean, terhitung tanggal diterimanya Perintah Tertulis. Berdasarkan Pasal 55 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang

Kepabeanan yang telah diubah menjadi UU No. 17 tahun 200662, maka permintaan

penangguhan pengeluaran barang kepada Ketua Pengadilan Negeri Setempat, diajukan dengan disertai:

a. Bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran merek atau hak cipta

yang bersangkutan;

b. Bukti pemilikan merek atau hak cipta yang bersangkutan;

c. Perincian dan keterangan yang jelas mengenai barang impor atau

ekspor yang dimintakan penangguhan pengeluaran barangnya agar dengan cepat dapat dikenali oleh Pejabat Bea dan Cukai; dan

d. Jaminan.

62

Bandingkan dengan Article 52 the TRIPs Agreement: “Any right holder initiating the procedures under Article 51 shall be required ti provide adequate evidence to satisfy the competent authorities that, under the laws of the country of importation, there is prima facie an infringement of the right holder’s intellectual property right and to supply a sufficiently detailed description of the goods to make them readily recognizable by the customs authorities. The competent authorities shall inform the applicant within a reasonable period wheter they hava accepted the application and, where determined by the competent authorities, the period for with the customcs authorities will take action.”


(1)

importasi maupun eksportasi barang-barang yangdiduga melanggar HKI. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih jarangnya laporan ataupun penindakan suatu kasus pelanggaran HKI yang berasal dari permintaan pemegang HKI.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN

Dari uraian bab-bab dimuka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan perundang-undangan tentang kepabeanan di Indonesia (tepatnya dalam Pasal 54 Sampai dengan 64 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan) dapat memberikan kontribusi terhadap perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia, karena disebutkan bahwa Pejabat Bea dan Cukai diberi kewenangan untuk menangguhkan sementara atau menghentikan barang ekspor-impor yang diduga melakukan pelanggaran Hak Merek dan Hak Cipta yang dilindungi di Indonesia yang berarti Direktorat Jenderal


(2)

Bea dan Cukai turut serta membantu menghindari masuknya barang-barang palsu ke Indonesia.

2. Dalam rangka perlindungan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual, kepabeanan (customs) berperan dalam posisinya diperbatasan negara untuk melaksanakan ”border

enforcement”, berupa tindakan penangguhan pengeluaran barang impor/ ekspor hasil

pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual, baik itu darat, laut dan pelabuhahn udara. 3. Kendala yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam menerapkan perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia adalah belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur secara jelas dan rinci mengenai pelaksanaan Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan sehingga menjadi hambatan terhadap pelaksanaan prosedur penangguhan pengeluaran barang yang melanggar Hak atas Kekayaan Intelektual oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi dan menimbulkan terjadinya kejahatan Hak atas Kekayaan Intelektual yang tidak terlepas dari kondisi lingkungan yang dipenaguruhi oleh latar belakang masyarakat, misalnya latar belakang pendidikan, keadaan ekonomi, budaya, tingkat pengangguran yang tinggi dan sebagainya di dalam masyarakat (aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek budaya).


(3)

1. Perlu segera diadakannya Peraturan Pemerintah yang mengatur secara jelas dan rinci mengenai pelaksanaan Pasal 54 sampai dengan 64 UU No. 17 tahun 2006 tentang Kepabaeanan.

2. Harus ada ketegasan dan aturan-aturan pembatasan izin memasukkan suatu barang tertentu, atau komponen untuk pembuatan software, atau untuk pembuatan optical

disk, atau yang memberikan fasilitas untuk membuat barang bajakan, sehingga

meminimalkan terjadinya pelanggaran HaKI.

3. Pejabat Bea dan Cukai harus berhati-hati dalam melaksanakan ’ex-officio action’, karena tidak seperti penangguhan pengeluaran barang berdasarkan ’ex officio action’ ini tidak diatur mengenai uang jaminan yang harus diserahkan. Dengan demikian akan menghadapi risiko untuk ganti rugi, apabila terjadi kesalahan/ kekurang akuratan dalam melaksanakan tindakan tersebut.

4. Disarankan agar Bea Cukai (Custom) tidak hanya pasif tetapi diharapkan agar aktif dalam melihat dan mengawasi barang hasil pelanggaran HaKI. Dan jangan hanya menjaga laut saja, tetapi juga bandara dan perbatasan darat seperti stasiun bus dan kereta api. Dan pengawasannya jangan hanya dilaut saja tetapi sampai di tengah laut.


(4)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Grafitti Press, 2006.

Atmadja, Mochtar Kusuma, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung: Alumni, 2002

Atmadja, Hendra Tanu, Hak Cipta Musik Atau Lagu, Cet. 1, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003

Cita, Citrawinda Priapantja, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi

Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi, Cet. 1, Jakarta:

Chandra Pratama, 1999.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, “Peranan Bea dan Cukai Dalam Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual,” Makalah disampaikan pada Training Course

on Intellectual Property Rights, Jakarta, 24-28 Mei 2004.

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman dan HAM RI,

Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual 2003, Jakarta: 2003.

George Whitecross Paton, A Text-Book of Jurisprudence, edisi kedua, London: Oxford University Press, 1951

Hadikusuma, Hilman, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: Alumni, 1992

Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Rineka Cipta, 1994.

Hasan, Djuhaendah Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang

Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982.

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.


(5)

Kamus Hukum Ekonomi ELIPS, Cet. 2, Jakarta: Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Perundang-undangan R.I., 2000

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Prenada Media, 1997.

Marzuki, Petter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2006.

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.

Rasjidi, Lili, dan Putra, I.B. Wyasa, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.

Riduan, Metode & Teknik Menyusun Tesis, Bandung : Bina Cipta, 2004.

Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh Mohamad Radjab, Cet. 3, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1982.

Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya

Lengkap Pasal demi Pasal, Bogor: Politeia, 1976.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Grafindo, 2006.

_______________ , dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta: Wali Press, 1990.

Supranto, J., Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Saliman, Abdul R., Dkk, Esensi Hukum Bisnis Indonesia Teori dan Contoh

Kasus, Jakarta: Kencana, 2004

Sardjono, Agus Pengetahuan Tradisional Studi Mengenai Perlindungan Hak

Kekayaan Intelektual Atas Obat-Obatan, Cet. 1, Jakarta: Program

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004. Simorangkir, Dkk, Kamus Hukum, Jakarta: Bumi Aksara, 1995

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Grafindo, 2006

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005


(6)

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1996.

Tanu, Hendra Atmadja, Hak Cipta Musik Atau Lagu, Cet. 1, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing

the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi

Perdagangan Dunia), disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 November 1994 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, disahkan dan diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612, berlaku tanggal 1 April 1996.

Republik Indonesia, UU No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan Lembaran Negara RI tahun 2006 No.93 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, LN

No. 85 Tahun 2002, TLN No. 422,.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, LN No. 110 Tahun 2001, TLN No. 4131.