Pola Sosialisasi Kemandirian Anak Berkebutuhan Khusus (Studi Deskriptif: di Panti Asuhan Karya Murni Jl. Karya Wisata Kecamatan Medan Johor)

  PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Anak adalah calon generasi muda bangsa yang sangat berharga nantinya akan berperan dalam perkembangan pembangunan masa mendatang. Agar pembangunan nasional dapat berjalan lancar maka harus dipersiapkan para generasi muda yang berpotensi, karena itu pendidikan, pelatihan dan pembinaan untuk anak harus dilakuakn secara maksimal. Akan tetapi tidak semua anak dapat berada dalam lingkungan keluarga ataupun didik disekolah umum. Hal inilah yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus.

  Diperkirakan antara 3–7 persen atau sekitar 5,5–10,5 juta anak usia di bawah 18 tahun menyandang ketunaan atau masuk kategori anak berkebutuhan khusus. Istilah anak berkebutuhan khusus adalah klasifikasi untuk anak dan remaja secara fisik, psikologis dan atau sosial mengalami masalah serius dan menetap. Anak berkebutuhan khusus ini dapat diartikan mempunyai kekhususan dari segi kebutuhan layanan kesehatan, kebutuhan pendidikan khusus, pendidikan layanan khusus, pendidikan inklusi, dan kebutuhan akan kesejahteraan sosial dan bantuan sosial. Selama dua dekade terakhir istilah anak cacat telah digantikan dengan istilah anak berkebutuhan khusus diakses tanggal 21 Oktober 2012 pukul 09.21)

  Anak berkebutuhan khusus atau yang pada masa lampau disebut anak cacat memiliki karakteristik khusus dan kemampuan yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Tipe anak berkebutuhan khusus bermacam-macam dengan penyebutan yang sesuai dengan bagian diri anak yang mengalami hambatan baik telah ada sejak lahir maupun karena kegagalan atau kecelakaan pada masa tumbuh-kembangnya.

  Menurut Kauffman & Hallahan dalam (Bendi Delphie 2006) tipe-tipe kebutuhan khusus yang selama ini menyita perhatian orangtua dan guru adalah sebagai berikut : 1.

  Tunagrahita (mental retardation) atau anak dengan hambatan perkembangan (child with development impairment), 2. Kesulitan Belajar (learning disabilities) atau anak yang berprestasi rendah, 3. Hiperaktif (Attention Deficit Disorder with Hyperactive ), 4. Tunalaras (Emotional and behavioral disorder), 5. Tunarungu wicara (communication disorder and deafness), 6. Tunanetra atau anak dengan hambatan penglihatan (Partially seing and

  legally blind ) 7.

  Autistik, 8. Tunadaksa (physical handicapped), 9. Anak berbakat (giftedness and special talents).

  Anak berkebutuhan khusus dapat dimaknai dengan anak-anak yang tergolong cacat atau yang menyandang ketunaan, dan juga anak lantib dan berbakat (Mulyono,

  2006:26). Dalam perkembangannya, saat ini konsep ketunaan berubah menjadi berkelainan (exception) atau luar biasa. Ketunaan berbeda dengan konsep berkelainan. Konsep ketunaan hanya berkenaan dengan kecacatan sedangkan konsep berkelainan atau luar bisa mencakup anak yang menyandang ketunaan maupun yang dikaruniai keunggulan.

  Karakteristik anak berkebutuhan khusus dan hambatan yang mereka alami seringkali menyulitkan mereka mengakses layanan publik, seperti fasilitas di tempat umum yang tidak aksesibel bagi mereka, hingga layanan tumbuh-kembang dan pendidikan yang relatif membutuhkan usaha dan biaya ekstra. Perbedaan karakteristik dan kebutuhan mereka dibanding anak-anak pada umumnya membutuhkan bentuk penanganan dan layanan khusus yang sesuai dengan kondisi mereka. Kondisi mereka yang berbeda bukan menjadi alasan untuk menghindari atau membuang mereka, melainkan justru membuahkan kesadaran untuk menghargai keragaman individu dan memberi perhatian dan layanan seideal yang seharusnya mereka terima.

  Sosialisasi adalah sebuah proses seumur hidup yang berkenaan dengan bagaimana individu mempelajari cara-cara hidup, norma dan nilai sosial yang terdapat dalam kelompoknya agar dapat berkembang menjadi pribadi yang dapat diterima oleh kelompoknya. Dalam sosialisasi ini diperlukan adanya agen sosialisasi yaitu pihak- pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Ada agen sosialisasi yang utama yaitu: keluarga, kelompok bermain, media masa dan lembaga pendidikan sekolah. Dalam hal ini anak yang berada dalam suatu keluarga agar mendapatkan sosialisasi dan pembentukan kepribadian diperlukan bimbingan orangtua kepada anak dalam sosialisasi primer untuk membentuk kepribadian anak sesuai dengan yang diharapkan orangtua oleh karena itu tanpa adanya pengecualian terhadap kondisi fisik yang diderita oleh seorang anak sosialisasi yang mereka dapatkan juga harus sama seperti anak yang normal lainnya. Oleh karena itu, meskipun sosialisasi sangat kuat dan sangat berpengaruh, namun memiliki suatu self (diri), yang ditegakkan di masa- masa kanak-kanak dan secara terus-menerus dimodifikasi oleh pengalaman berikutnya. Self bersifat dinamis. (James, 2006:85). Sikap timbul karena stimulus. Terbentuknya suatu sikap itu banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kebudayaan. Misalnya : keluarga, norma, golongan agama, dan adat istiadat. Dalam hal ini keluarga mempunyai peranan yang besar dalam membentuk sikap anaknya. Sebab keluargalah bagi anak merupakan pengaruh yang paling dominan. Sikap seseorang tidak selamanya tetap. Ia dapat berkembang apabila mendapat pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar.

  Dalam hal ini orangtua adalah orang yang pertama bertanggungjawab atas terwujudnya kemandirian anak akan tetapi tidak semua orangtua dapat menjalankan peranannya di dalam keluarga. Oleh sebab itu, maka ditempuh jalan dengan memasukkan anak berkebutuhan khusus tersebut ke panti asuhan, agar mereka dapat tumbuh dan berkembang yang nantinya mereka dapat menjadi mandiri. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa panti asuhan berfungsi dalam membantu, merawat dan membina anak-anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, dengan adanya anak berkebutuhan khusus menyebabkan orangtua lebih menyerahkannya kepada yayasan atau lembaga yang bisa menangani anak berkebutuhan khusus atau mensosialisasikannya.

  Perkembangan pendidikan anak berkebutuhan khusus di indonesia dapat dilihat bahwa dewasa ini peran lembaga pendidikan sangat menunjang tumbuh kembang dalam berolah sistem maupun cara bergaul dengan orang lain. Selain itu lembaga pendidikan tidak hanya sebagai wahana untuk sistem bekal ilmu pengetahuan, namun juga sebagai lembaga yang dapat memberi skill atau bekal untuk hidup yang nanti diharapkan dapat bermanfaat didalam masyarakat. Sementara itu, lembaga pendidikan tidak hanya di tunjukkan kepada anak yang memiliki kelengkapan fisik, tetapi juga kepada anak yang memiliki keterbelakangan mental. Mereka dianggap sosok yang tidak berdaya, sehingga perlu di bantu dan di kasihani untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu di sediakan berbagai bentuk layanan pendidikan atau sekolah bagi mereka. Pada dasarnya pendidikan untuk berkebutuhan khusus sama dengan pendidikan anak- anak pada umumnya. Disamping itu pendidikan luar biasa, tidak hanya bagi anak–anak yang berkebutuhan khusus, tetapi juga di tujukan kepada anak-anak normal yang lainnya. Beberapa sekolah telah dibuka bagi anak kebutuhan khusus, sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan keadaan siswa menjadi salah satu keunggulan yang ditawarkan sekolah–sekolah.

  Selama itu anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan (anak berkebutuhan khusus) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak berkebutuhan khusus dengan anak non-berkebutuhan khusus. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok anak berkebutuhan khusus menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok anak berkebutuhan khusus. Sementara kelompok anak berkebutuhan khusus sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. pada tanggal 22 Oktober 2011 pukul 09.01 WIB)

  Banyak lembaga yang menampung anak-anak yang bermasalah sosial. Lembaga yang ada bukan hanya didirikan atau ditangani oleh pihak pemerintah tetapi banyak juga lembaga yang didirikan oleh pihak swasta. Lembaga-lembaga ini juga kebanyakan yang bersifat seri amal. Lembaga-lembaga ini juga bertujuan untuk membantu dan memberdayakan para anak berkebutuhan khusus untuk hidup mandiri dan ikut serta berpartisipasi dalam segala kegiatan.

  Lembaga-lembaga ini diharapkan mengajar dan memberikan pendidikan yang benar dan yang tepat sesuai dengan masalah yang dihadapi yaitu anak berkebutuhan khusus, karena mereka adalah suatu individu yang tidak dapat mudah untuk mengenal dan memahami keadaan karena kekurangan mereka tersebut. Lembaga ini juga memahami apa saja yang diperlukan oleh para anak berkebutuhan khusus yang ada dilembaga itu dan lembaga ini jugalah yang berkewajiban untuk dapat mengembangkan kemampuan mereka. Oleh sebab itulah lembaga sangat diperlukan keahliannya bagi anak berkebutuhan khusus tersebut yaitu untuk mengajarkan keberanian dan kedisiplinan yang dapat meningkatkan rasa percaya diri dan dapat menghilangkan sikap negatif masyarakat tentang ketunaan mereka serta dapat membawa mereka kepada pikiran atau sikap yang positif.

  Suatu lembaga yang menangani anak berkebutuhan khusus juga diharapkan dapat melatih kemampuan indera yang lain, sehingga fungsi anggota yang lain dapat digunakan seperti halnya fungsi perabaan, fungsi penciuman, fungsi pendengaran, sehingga tidak semua fungsi anggota tubuhnya rusak.

  Pada kenyataannya pelayanan sosial yang ada dipanti asuhan juga mempunyai keterbatasan, baik dari pelayanan panti asuhan maupun anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Hal ini menyebabkan tidak maksimalnya lembaga panti dalam melakukan pelayanannya sehingga dapat menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan dan kepribadian jiwa, pola sikap, perilaku anak-anak berkebutuhan khusus, khususnya anak dalam usia remaja dimana pertumbuhan dan perkembangannya membutuhkan perhatian dan dukungan orang lain. Berada di panti asuhan bagi anak berkebutuhan khusus tentu saja berbeda dengan kondisi anak yang tinggal bersama dengan orangtuanya. Anak berkebutuhan khusus harus dapat menyesuikan diri terhadap keadaan panti asuhan.

  Salah satu lembaga dari sekian banyak lembaga yang berdiri adalah Yayasan Karya Murni sebagai lembaga yang bergerak dalam bidang sosial dan kemanusiaan dengan Moto VENERATE VITAM berupaya memegang teguh prinsip, bahwa hidup mesti dihormati, tanpa memandang asal usul atau keadaan fisik secara lahiriah. Anak- anak Tuhan yang lahir sebagai orang cacat tunanetra dan tunarungu yang berada di Karya Murni dididik, dibesarkan, diberdayakan, dan dimungkinkan untuk mandiri dan menemukan jati dirinya. Bukan karena belas kasihan semata, tetapi karena mereka adalah Citra Allah yang sederajat dengan orang lain. Mereka punya hak untuk mewujudkan jati dirinya melalui pemberdayaan, dan dalam hal itu mereka mesti ikut dalam proses pemberdayaan itu. Yayasan Karya Murni yakin, hanya dengan menghormati hidup, proses pemberdayaan dapat dilakukan dengan benar dan berbuada tanggal 29 Oktober 2012 pukul 08.05).

  Anak berkebutuhan khusus sering dipandang dan diperlakukan sebagai warga masyarakat kelas dua yang tidak produktif; manusia tidak sehat dan beban bagi masyarakat. Padahal bila mereka dilatih dengan tepat dan pelatihan itu diberikan sedini mungkin mereka dapat berkembang menjadi manusia dewasa yang mandiri dan berguna bagi masyarakat. Untuk melatih dan mengembangkan potensi yang ada dalam diri anak berkebutuhan khusus agar menjadi mandiri nantinya pihak Yayasan memberikan pelatihan kepada anak berkebutuhan khusus yang ada di Yayasan Karya Murni. Pelatihan tersebut meliputi bidang: 1.

  Musik (piano, organ, suling, gitar, band, keybord) 2. Olah Vokal ( solo, duet, vocal group dan paduan suara) 3. Masage / Panti Pijat 4. Konveksi (jahit-menjahit, sulaman, bordir, sablon, meronce) 5. Pertukangan meuble seperti: lemari, kursi, meja tempat tidur, bangku gereja dan bangku sekolah

  6. Membuat bermacam-macam bentuk lilin dengan berbagai kreasi: lilin paska, lilin devosi, lilin ulang tahun, lilin pernikahan, lilin natal dll.

  7. Salon (menggunting rambut dengan berbagai mode, mencat rambut, perawatan rambut dan kulit kepala dll)

  8. Computer: mengetik braille, awas dan anak tuna rungun kelak diharapkan menjadi desainer

  9. Belajar internet 10.

  BPBI = Bina Persepsi Bunyi dan Irama (latihan mendengar). Setiap manusia memiliki potensi, minat dan bakat yang harus dikembangkan dengan baik. Karena karakteristik dan hambatan yang dimiliki anak berkebutuhan khusus memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, seperti anak tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.

  Adanya lembaga yang berdiri dapat menangani anak berkebutuhan khusus semakin mandiri. Anak berkebutuhan khusus juga bisa melakukan aktivitas lainnya dan anak berkebutuhan khusus di Panti Asuhan Karya Murni ini juga mempunyai kemampuan seperti bisa bermain alat musik untuk mengiringi kegiatan pada acara tertentu, menjadi guru di sekolah luar biasa, anak berkebutuhan khusus juga ada yang meraih pendidikan sampai perguruan tinggi , bisa bernanyi dan menari, membuat lilin dan pertukangan meuble yang hasilnya dijual kepada orang disekitar tempat tinggal, dan kerajinan tangan lainnya dan anak berkebutuhan khusus juga diajari masage/pantai pijat untuk mereka bisa menjadi mandiri. Berbagai macam hal telah diajari kepada anak berkebutuhan khusus untuk memandirikan mereka. Disamping itu, anak berkebutuhan khusus seperti anak tuna netra walaupun mereka mengalami cacat mata tetapi mereka bisa mengenali teman-teman yang ada di panti asuhan tersebut dan ketika berjalan mereka saling menuntun dan setiap anak berkebutuhan khusus yang keluar dari panti asuhan Yayasan Karya Murni adalah anak berkebutuhan khusus yang benar-benar sudah mandiri dan bisa membuka usaha sendiri dengan ketrampilan yang mereka miliki.

  Dengan ini maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pola sosialisasi kemandirian anak berkebutuhan khusus yang akhirnya bisa membuat anak berkebutuhan khusus menjadi mandiri dan dapat mengembangkan apa yang ada dalam diri mereka.

1.2 Perumusan Masalah

  Dari latarbelakang masalah yang dipaparkan diatas, bahwa anak berkebutuhan khusus juga dapat menjadi mandiri seperti anak-anak yang non-berkebutuhan khusus. Dapat dilihat dengan semakin banyaknya yayasan ataupun sekolah-sekolah yang dibangun untuk anak berkebutuhan khusus sehingga proses pola sosialisasi kemandirian yang terjadi juga dapat mereka rasakan dalam lembaga tersebut. Oleh sebab itu peneliti melakukan penelitian secara mendalam dengan mengambil sampel di Panti Asuhan Yayasan Karya Murni Jl.Karya Wisata, Kecamatan Medan Johor. Adapun perumusan masalahnya yaitu :

1. Apa sajakah peran lembaga dalam proses pola sosialisasi kemandirian anak

  berkebutuhan khusus pada Yayasan Karya Murni? 2.

   Apakah bentuk kemandirian anak berkebutuhan khusus setelah keluar dari Yayasan Karya Murni?

1.3 Tujuan Penelitian

  Adapun yang menjadi tujuan peneliti adalah : 1.

  Untuk mengetahui peran lembaga dalam proses sosialisasi kemandirian anak berkebutuhan khusus yang sedang terjadi pada Panti Asuhan Yayasan Karya Murni.

2. Untuk mengetahui bentuk kemandirian anak berkebutuhan khusus di Panti Asuhan pada Yayasan Karya Murni.

1.4 Manfaat Penelitian

  Adapun Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.

  Manfaat Teoritis a.

  Untuk menjadi bahan pertimbangan Yayasan dalam mendidik, melatih dan memandirikan anak berkebutuhan khusus.

  b.

  Dapat menambah pengetahuan dan wawasan khususnya dalam proses memandirikan anak berkebutuhan khusus.

  c.

  Dapat dijadikan bahan perbandingan untuk penelitian berikutnya.

2. Manfaat Praktis a.

  Sebagai sumbangan pemikiran yang dapat dipakai oleh lembaga sosial untuk menjadi bahan masukan dalam perencanaan pembangunan masyarakat pada masa mendatang.

  b.

  Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan memberi pandangan mengenai pola sosialisasi kemandirian yang diberikan kepada anak berkebutuhan khusus oleh yayasan yang mengasuh.

  c.

  Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat melihat fungsi yayasan yang ada ditengah-tengah masyarakat.

1.5 Defenisi Konsep 1.

  Pola adalah bentuk atau gambaran. Pengertiannya dalam penelitian adalah bentuk dan gambaran yang dilakukan oleh pihak yayasan dalam pola sosialisasi kemandirian anak berkebutuhan khusus. Program-program yang dilaksanakan dengan diberikannya pendidikan keterampilan dan pengetahuan dan program-program kemandirian tunanetra dalam usaha untuk memandirikan mereka.

  2. Pola pengasuhan bentuk dan gambaran pengasuhan anak yang dilakukan oleh keluraga atau lembaga pemerintah dan swasta. Maksudnya dalam hal ini adalah untuk melihat bagaimana pola sosialisasi anak berkebutuhan khusus terhadap kemandirian yang ada di yayasan tersebut seperti pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu dalam mengendalikan mereka, pola asuh otoriter adalah pola asuh cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman, pola asuh permisif adalah memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup. akses 27 November 2012 pukul 19.40)

  3. Panti Asuhan Karya Murni adalah merupakan wadah atau tempat anak-anak berkebutuhan khusus untuk dilatih, dibina dan dididik untuk menemukan jati diri setiap anak-anak tersebut. Yayasan ini merupakan yayasan yang bergerak di bidang pensejahteraan masyarakat yang dimiliki oleh satu organisasi tertentu.

  4. Peran lembaga sosial dalam pola sosialisasi adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam bidang pendidikan, pelatihan, pengajaran, kerohanian dan lainnya agar menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa.

  5. Sosialisasi adalah sebuah proses seumur hidup yang berkenaan dengan bagaimana individu mempelajari cara-cara hidup, norma dan nilai sosial yang terdapat dalam kelompoknya agar dapat berkembang menjadi pribadi yang dapat diterima oleh kelompoknya.

  6. Kemandirian adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan sendiri tanpa menyusahkan orang lain yang dapat melaksanakan tanggungjawabnya.

  7. Anak berkebutuhan khusus (tunanetra) adalah sesorang yang tidak dapat melihat jarinya sendiri dalam jarak 1 meter.

1.6 Defenisi Operasional Variabel

  Defenisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya untuk mengukur suatu variabel. Dengan kata lain defenisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang sangat membantu peneliti lain yang menggunakan variabel yang sama ( Singarimbun, 1995:46).

  Defenisi operasional dari variabel-variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Program-program yang dilaksanakan Panti Asuhan a.

  Pendidikan keterampilan dan pengetahuan Dalam hal ini panti asuhan berusaha memenuhi segala kebutuhan anak-anak tunanetra dalam hal penyediaan sarana dan alat-alat kesenian, serta alat alat dan bahan bagi kerajinan tangan.

  b.

  Program-program kemandirian tunanetra dalam usaha untuk memandirikan mereka. Yaitu dengan pendidikan formal dan non formal.

2. Kemandirian Anak Tunanetra 1.

  Mampu melaksanakan pekerjaan sehari-hari 2. Mampu berjalan sendiri 3. Mampu berkomunikasi sesama tunanetra 4. Mampu berkomunikasi dengan masyarakat awas 5. Dapat beradaptasi dengan lingkungan 6. Dapat berperestasi 7. Dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan.