Peranan Komunikasi Layanan Konseling Individual Dalam Membentuk Konsep Diri (Studi Kasus Layanan Konseling Individual Dengan Konselor Pada Siswa/i Tunanetra Di Panti Asuhan Karya Murni Medan Johor).

(1)

(Studi Kasus Layanan Konseling Individual Dengan Konselor Pada Siswa/i Tunanetra Di Panti Asuhan Karya Murni Medan Johor)

SKRIPSI

Diajukan guna Memenuhi Salah Satu Syarat Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Departemen Ilmu Komunikasi Program Ekstensi

Diajukan Oleh

ROTUA SINAGA SIMANJORANG 060922064

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(2)

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih karunia-Nya yang tiada tara sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Terima kasih Tuhan, kasih dan kuasa-Mu yang ajaib itulah yang selalu menyertai dan menguatkanku di masa-masa sulit sekalipun.

Secara khusus skripsi ini peneliti persembahkan kepada kedua orang tuaku tercinta yang selalu memberikan cinta kasihnya berupa nasehat dan semangat untuk keberhasilan perkuliahan peneliti, juga saudara-saudaraku yang telah memberikan insipirasi selama penulisan skripsi ini.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya peneliti sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. M. Arif Nasution, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilm Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Amir Purba, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Humaizi. M.A selaku Pembantu Dekan I Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah memberi dukungan dan inspirasi di awal pemilihan judul skripsi peneliti.

4. Ibu Emilia Ramadhani, S.Sos selaku dosen pembimbing peneliti yang telah banyak membantu dan membimbing peneliti selama penulisan skripsi ini. Terima kasih sedalam-dalamnya atas waktu, perhatian dan pemikiran yang telah diberikan kepada peneliti.


(3)

informasi selama ini.

6. Suster Angelina Pane dan Suster Vinsensia Naibaho selaku kepala SLB/A Karya Murni yang lama dan yang baru yang telah memberikan ijin bagi penelitian ini.

7. Suster Bastiana selaku Kepala Logistik Panti Asuhan yang telah menerima peneliti untuk meneliti dan memberikan informasi dan masukan berharga bagi peneliti dan penelitian ini.

8. Suster Mauritsia Harianja KSSY selaku Kepala Panti Asuhan merangkap sebagai konselor di Panti Asuhan Karya Murni yang telah menyertai peneliti dalam melakukan observasi dan memberikan informasi-informasi berharga untuk keperluan penelitian ini. Terima kasih juga telah memberikan banyak kesempatan dan keleluasaan waktu kepada peneliti untuk melakukan wawancara dengan para informan.

9. Ms. Eva Manik selaku staf pengajar kelas TKLB/A Karya Murni yang dengan tulus dari sejak pra penelitian telah menerima peneliti untuk ikut membantunya mengajar di kelas serta membantu peneliti dalam mencari informasi tentang seluk beluk Karya Murni dan seluruh penghuni Panti Asuhan. Terima kasih buat “kesehatian” dan misi kita yang sama terhadap anak-anak tunanetra di Karya Murni.

10. Seluruh adik-adikku di Panti Asuhan Karya Murni, khususnya bagi para informan : Melia, Risalia, Brikjon dan Usman yang telah banyak memberikan


(4)

11. Teman-teman dekat peneliti : Bang Bobby Johari, Christina Napitupulu dan Sahrijal Barus yang selalu ada serta bersama-sama berjuang dalam melewati hari-hari selama penulisan skripsi. Terima kasih telah menjadi motivator dan pemberi semangat, dukungan, bantuan, informasi, kritikan serta canda dan tawa baik lewat sms maupun ketika berdiskusi di “parkiran perpustakaan”. Juga buat Mona, terima kasih buat mottonya “learning by doing” yang telah menjadi inspirasi peneliti selama melakukan penelitian.

Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya, oleh karena itu peneliti mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna perbaikan dan kelengkapan isi skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan pemiikiran bagi kita semua.

Medan, Juni 2008 Hormat Peneliti

Rotua Sinaga Simanjorang NIM. 060922064


(5)

Halaman LEMBAR PERSETUJUAN

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAKSI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR BAGAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah ... 1

I.2 Perumusan Masalah ... 5

I.3 Pembatasan Masalah ... 5

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

I.4.1 Tujuan Penelitian ... 6

I.4.2 Manfaat Penelitian ... 7

I.5 Kajian Pustaka ... 8

I.5.1 Komunikasi ... 8

I.5.2 Komunikasi Hubungan Manusiawi ... 11

I.5.3 Tunanetra ... 12

I.5.4 Konseling Individual ... 13

I.5.5 Konsep Diri ... 16

I.6 Definisi Konsep ... 17

I.7 Definisi Operasionalisasi ... 20


(6)

II.1.1 Pengertian Komunikasi ... 28

II.1.2 Fungsi Komunikasi ... 29

II.1.3 Model Penelitian Komunikasi ... 29

II.2 Komunikasi Hubungan Manusiawi ... 31

II.2.1 Pengertian Komunikasi Hubungan Manusiawi ... 31

II.2.2 Proses Komunikasi Hubungan Manusiawi ... ... 32

II.2.3 Efektivitas Komunikasi Hubungan Manusiawi ... 35

II.3 Tunanetra ... 36

II.3.1 Pengertian Tunanetra ... 36

II.3.2 Karakteristik Ketunanetraan ... 38

II.3.3 Dampak Ketunanetraan/Keterbatasan Dasar Anak Tunanetra ... 40

II.4 Konseling Individual ... 41

II.4.1 Pengertian Konseling Individual ... ... 41

II.4.2 Ciri-ciri Konseling Individual ... 43

II.4.3 Tujuan Konseling Individual ... 44

II.4.4 Proses Konseling Individual ... 45

II.4.5 Teknik-teknik Konseling Individual ... 46

II.4.6 Karakteristik Hubungan Konseling Individual ... ... 47

II.5 Konsep Diri ... 49

II.5.1 Pengertian Konsep Diri ... ... 49

II.5.2 Teori Rogers/teori diri (Self Theory) ... ... 50

II.6 Hubungan Komunikasi Layanan Konseling Individual dengan Pembentukan Konsep Diri ... 53


(7)

III.1.1 Sejarah Singkat Panti Asuhan

Karya Murni ... 56

III.1.2 Gambaran Umum Panti Asuhan Karya Murni ... 58

III.1.3 Keadaan Umum Panti Asuhan Karya Murni ... 60

III.1.4 Program Kerja dan Kegiatan Panti Asuhan Karya Murni ... 61

III.2 Metode Penelitian ... 63

III.3 Subjek Penelitian ... 63

III.4 Teknik Pengumpulan Data ... 65

III.5 Teknik Analisis Data ... 66

BAB IV ANALISIS DATA KUALITATIF IV.1 Informan I ... 68

IV.1.1 Identitas Informan ... 68

IV.1.2 Interpretasi Data ... 69

IV.1.3 Analisis Variabel Komunikasi Layanan Konseling Individual ... ... 71

IV.1.4 Analisis Variabel Pembentukan Konsep Diri ... 73

IV.1.5 Analisis Data (Matriks) ... 75

IV.1.6 Kesimpulan Temuan Data Informan I ... 76

IV.2 Informan II ... 79

IV.2.1 Identitas Informan ... 79

IV.2.2 Interpretasi Data ... 80

IV.2.3 Analisis Variabel Komunikasi Layanan Konseling Individual ... 81

IV.2.4 Analisis Variabel Pembentukan Konsep Diri ... 83


(8)

IV.3 Informan III ... 89

IV.3.1 Identitas Informan ... 89

IV.3.2 Interpretasi Data ... 90

IV.3.3 Analisis Variabel Komunikasi Layanan Konseling Individual ... 91

IV.3.4 Analisis Variabel Pembentukan Konsep Diri ... 93

IV.3.5 Analisis Data (Matriks) ... 94

IV.3.6 Kesimpulan Temuan Data Informan III ... 95

IV.4 Informan IV ... 97

IV.4.1 Identitas Informan ... 97

IV.4.2 Interpretasi Data ... 98

IV.4.3 Analisis Variabel Komunikasi Layanan Konseling Individual ... 100

IV.4.4 Analisis Variabel Pembentukan Konsep Diri ... 101

IV.4.5 Analisis Data (Matriks) ... 103

IV.4.6 Kesimpulan Temuan Data Informan IV ... 104

BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan ... 106

V.2 Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

No. Tabel Halaman Tabel 1 Formula Laswell apabila dihubungkan

dengan penelitian ... 10

Tabel 2 Konsep Operasional ... 18

Tabel 3 Golongan Usia Siswa/i Tunanetra... 61

Tabel 4 Rangkuman Temuan Penelitian Informan I ... 75

Tabel 5 Rangkuman Temuan Penelitian Informan II ... 85

Tabel 6 Rangkuman Temuan Penelitian Informan III ... 94


(10)

No. Bagan Halaman Bagan 1 Proses Siklus Komunikasi Hubungan Manusiawi ... 34


(11)

LEMBAR PERSETUJUAN

SKRIPSI INI DISETUJUI DAN DIPERTAHANKAN OLEH : NAMA : ROTUA SINAGA SIMANJORANG

NIM : 060922064

DEPARTEMEN : ILMU KOMUNIKASI EKSTENSI

JUDUL : PERANAN KOMUNIKASI LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL DALAM MEMBENTUK KONSEP DIRI (Studi Kasus Layanan Konseling Individual Dengan Konselor Pada Siswa/i Tunanetra Di Panti Asuhan Karya Murni Medan Johor)

DOSEN PEMBIMBING KETUA DEPARTEMEN

EMILIA RAMADHANI, S.Sos Drs. AMIR PURBA, M.A NIP. 132 316 972 NIP. 131 654 104

DEKAN FISIP USU

Prof. Dr. M. ARIF NASUTION, M.A NIP. 131 575 010


(12)

Dalam Membentuk Konsep Diri (Studi Kasus Layanan Konseling Individual Dengan Konselor Pada Siswa/i Tunanetra Di Panti Asuhan Karya Murni Medan Johor). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan membahas peranan komunikasi layanan konseling individual dengan konselor pada siswa/i tunanetra di Panti Asuhan Karya Murni Jl. Karya Wisata No. 6 Medan Johor, berikut untuk mengetahui bagaimana teknik-teknik komunikasi konseling yang digunakan, siapa yang proaktif dalam layanan konseling – konselor atau klien, masalah-masalah apa yang menjadi fokus layanan konseling serta bentuk solusi untuk mengatasi masalah klien. Model komunikasi yang digunakan adalah model komunikasi menurut Laswell. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan analisa data secara kualitatif tanpa menjelaskan hubungan antarvariabel atau menguji hipotesis.

Penelitian ini tidak menggunakan sampel tetapi menggunakan subjek penelitian atau informan. Subjek penelitian dalam penelitian ini ada 4 orang yang dipilih menurut sejumlah kriteria tertentu. Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara melakukan observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap subjek penelitian tersebut. Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan mengaitkan variabel komunikasi layanan konseling individual dengan variabel pembentukan konsep diri.

Temuan studi ini menunjukkan bahwa komunikasi layanan konseling individual dengan konselor pada siswa/i tunanetra berperan besar dalam membentuk konsep diri yang positif siswa/i tunanetra. Hal ini terjadi karena adanya suasana konseling yang dekat dan akrab dalam berkomunikasi. Temuan penelitian juga menemukan bahwa layanan konseling individual yang telah diberikan kepada siswa/i tunanetra sudah cukup baik. Terlihat bahwa para siswa/i tersebut menunjukkan konsep diri yang wajar. Mereka menyadari akan keadaan cacatnya, tetapi keadaan cacat tersebut tidak melemahkan mereka. Komunikasi hubungan insani yang efektif telah memunculkan terbentuknya konsep diri siswa/i tunanetra seperti terbuka pada pengalaman, tidak bersikap defensif, kesadaran yang cermat, penghargaan diri tanpa syarat dan dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain.


(13)

Dalam Membentuk Konsep Diri (Studi Kasus Layanan Konseling Individual Dengan Konselor Pada Siswa/i Tunanetra Di Panti Asuhan Karya Murni Medan Johor). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan membahas peranan komunikasi layanan konseling individual dengan konselor pada siswa/i tunanetra di Panti Asuhan Karya Murni Jl. Karya Wisata No. 6 Medan Johor, berikut untuk mengetahui bagaimana teknik-teknik komunikasi konseling yang digunakan, siapa yang proaktif dalam layanan konseling – konselor atau klien, masalah-masalah apa yang menjadi fokus layanan konseling serta bentuk solusi untuk mengatasi masalah klien. Model komunikasi yang digunakan adalah model komunikasi menurut Laswell. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan analisa data secara kualitatif tanpa menjelaskan hubungan antarvariabel atau menguji hipotesis.

Penelitian ini tidak menggunakan sampel tetapi menggunakan subjek penelitian atau informan. Subjek penelitian dalam penelitian ini ada 4 orang yang dipilih menurut sejumlah kriteria tertentu. Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara melakukan observasi dan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap subjek penelitian tersebut. Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan mengaitkan variabel komunikasi layanan konseling individual dengan variabel pembentukan konsep diri.

Temuan studi ini menunjukkan bahwa komunikasi layanan konseling individual dengan konselor pada siswa/i tunanetra berperan besar dalam membentuk konsep diri yang positif siswa/i tunanetra. Hal ini terjadi karena adanya suasana konseling yang dekat dan akrab dalam berkomunikasi. Temuan penelitian juga menemukan bahwa layanan konseling individual yang telah diberikan kepada siswa/i tunanetra sudah cukup baik. Terlihat bahwa para siswa/i tersebut menunjukkan konsep diri yang wajar. Mereka menyadari akan keadaan cacatnya, tetapi keadaan cacat tersebut tidak melemahkan mereka. Komunikasi hubungan insani yang efektif telah memunculkan terbentuknya konsep diri siswa/i tunanetra seperti terbuka pada pengalaman, tidak bersikap defensif, kesadaran yang cermat, penghargaan diri tanpa syarat dan dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Setiap manusia sesungguhnya adalah citra Tuhan yang mempesona. Pesona itu dijumpai dalam diri semua bayi yang lahir ke dunia dengan kelengkapan organ-organ tubuh maupun mereka yang lahir dengan keterbatasan fisik. Oleh karena itu, selayaknyalah hidup mesti dihormati bagaimanapun wujudnya di dalam diri setiap orang, karena pada dasarnya tidak ada satu orang pun di dunia ini yang menyukai dirinya dilahirkan dalam keadaan cacat. Keadaan cacat menyebabkan manusia tersebut merasa rendah diri karena merasa tidak berguna dan selalu bergantung pada bantuan dan belas kasihan orang lain.

Manusia penyandang cacat pada umumnya memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu sesuai dengan jenis kecacatannya. Begitu juga dengan penyandang tunanetra, stigma yang diberikan masyarakat awas (melihat normal) sering kali digambarkan sebagai seseorang yang tak berdaya, tidak mandiri dan menyedihkan, sehingga terbentuk persepsi prasangka bahwa orang tunanetra itu patut dikasihani, selalu butuh perlindungan dan bantuan.

Tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan atau tidak berfungsinya indera penglihatan. Anak tunanetra banyak mengalami permasalahan yang berkaitan dengan berbagai segi kehidupan manusia yang akan mempengaruhi kesejahteraan sosial baik bagi dirinya sendiri, keluarga maupun masyarakat.


(15)

Untuk mengatasi permasalahan yang ada pada mereka, maka anak tunanetra perlu dididik dan diberdayakan dengan diberikan pendidikan dan pelatihan/keterampilan yang wajar seperti anak normal lainnya, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 31 UUD 1945 bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.

Dalam Undang-undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran tahun 1954 No. 12 Bab V pasal 7 ayat 5 dikatakan bahwa :

Pendidikan dan pengajaran luar biasa bermaksud memberikan pendidikan dan pengajaran kepada orang-orang yang dalam keadaan kekurangan, baik jasmani maupun rohaninya supaya mereka dapat memiliki kehidupan lahir batin yang layak.

Pendidikan SLB/A Karya Murni yang berlokasi di Jl. Karya Wisata No. 6 Medan Johor adalah salah satu wadah yang berperan dalam mengatasi problema yang timbul dari penderita cacat netra yakni dengan memberikan hak pendidikan dan keterampilan yang sama dengan anak normal lainnya. Semua anak dididik sesuai dengan bakat dan kemampuannya dengan tidak mengabaikan kurikulum pendidikan pemerintah tahun 1994. Sekolah yang bernaung di bawah Yayasan Seri Amal dan bermitra kerja dengan Keuskupan Agung Medan ini berdiri sejak tahun 1953. Jenjang pendidikan yang ada terdiri dari : Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB).

Di SLB/A Karya Murni ini juga disediakan panti asuhan yang letaknya berada di belakang area sekolah. Saat ini di Karya Murni terdapat 6 unit panti asuhan, yang setiap unitnya dihuni 10 sampai 12 orang anak tunanetra dengan seorang suster pengasuh dan satu orang karyawan wanita yang bertugas untuk


(16)

menyiapkan makanan bagi anak-anak tunanetra. Tiap unit panti asuhan dikepalai oleh seorang suster.

Di panti asuhan ini, para siswa/i dikelompokkan sesuai dengan tingkatan usianya masing-masing, dengan maksud agar tiap anak mengalami perkembangan yang wajar sesuai dengan pertambahan usianya sekaligus untuk lebih memandirikan mereka, sehingga ketika tiba waktunya harus keluar dari panti asuhan mereka bisa bertahan hidup dan bersosialisasi dengan masyarakat awas lainnya, tentunya dengan bekal pendidikan dan keterampilan yang didapat dari sekolah dan panti asuhan.

Adapun yang menjadi penghuni panti asuhan ini adalah para siswa/i tunanetra yang yatim, piatu, yatim piatu, ditinggalkan/ditolak keluarga, ekonomi lemah, dititipkan keluarga sampai yang dengan kemauannya sendiri ingin tinggal di panti asuhan. Di sini semua anak diperlakukan dan dihormati sama tanpa memandang asal- usul, suku, agama, tingkat ekonomi ataupun keadaan fisik.

Siswa adalah manusia berpotensi yang layak dikembangkan untuk mencapai kemandirian, kreativitas dan produktivitas. Seorang siswa tunanetra yang dalam kesehariannya mengalami banyak kelemahan karena keterbatasan rangsangan visual, membutuhkan layanan konseling untuk membantunya memecahkan masalah dan membentuk konsep diri yang baik agar ia tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan berperilaku positif.

Bertitik tolak dari alasan di atas, maka Yayasan Karya Murni ini menyediakan seorang konselor yang bertugas untuk membantu para siswa/i baik yang bermasalah maupun tidak. Konselor ini adalah seorang suster dengan latar


(17)

belakang pendidikan psikologi, yang kesehariannya tinggal dan bertugas di panti asuhan.

Pola komunikasi konseling yang umumnya terdapat di lingkungan panti asuhan Karya Murni ini adalah bersifat kekeluargaan dan persaudaraan yang tinggi, namun tetap mengutamakan sisi kedisplinan/ketegasan. Hal ini dikarenakan pada dasarnya para siswa/i tunanetra memiliki tingkat kecerdasan, daya tangkap, sifat dan kepribadian yang tidak sama satu sama lain.

Pada kenyataan yang terlihat, para siswa/i tunanetra di panti asuhan Karya Murni ini sedikit banyak dapat mengatasi segala kelemahan yang ada pada mereka. Hal ini dapat terlihat dari kemandirian mereka dalam mengerjakan tugas-tugas rutin seperti mengenakan dan memilih pakaian yang serasi, menyiapkan dan mengunakan alat-alat makan di atas meja, memelihara kebersihan diri sendiri, pergi ke sekolah dan kembali pulang ke panti asuhan sendiri maupun mampu menjalin persahabatan/bersosialisasi dengan teman sebayanya, guru pembimbing, suster pengasuh, dan terhadap warga lainnya di sekitar lingkungan sekolah dan panti asuhan. Selain itu, beberapa dari mereka juga berhasil mengukir sejumlah prestasi di bidang olah raga, akademis, pembinaan mental/kreativitas dan seni.

Dengan kata lain, sifat-sifat negatif yang umumnya dimiliki seorang tunanetra seperti curiga terhadap orang lain, mudah tersinggung dan ketergantungan yang berlebihan dengan orang lain tidak tampak pada diri mereka.


(18)

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah peranan komunikasi layanan konseling individual antara konselor dengan siswa/i tunanetra dalam membentuk konsep diri klien tunanetra di panti asuhan Karya Murni Medan Johor?

2. Bagaimanakah teknik-teknik komunikasi konseling yang dilakukan konselor terhadap klien tunanetra dalam membentuk konsep diri mereka?

3. Siapakah yang proaktif dalam layanan konseling itu – konselor atau klien tunanetra?

4. Masalah-masalah apakah yang pada umumnya menjadi fokus layanan konseling bagi klien tunanetra?

5. Bagaimanakah bentuk solusi yang ditawarkan oleh konselor untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien tunanetra?

I.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup penelitian dapat lebih jelas dan terarah, sehingga tidak mengaburkan penelitian. Adapun pembatasan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Populasi penelitian adalah siswa/i tunanetra di panti asuhan Karya Murni Jl. Karya Wisata Medan Johor.


(19)

3. Penelitian ini terfokus untuk menggambarkan dan membahas bagaimana peranan komunikasi layanan konseling individual dengan konselor pada siswa/i tunanetra dalam membentuk konsep diri klien tunanetra di panti asuhan Karya Murni.

4. Pembentukan konsep diri klien tunanetra dilihat dari perangkat teori Rogers/teori diri (Self Theory) tentang lima sifat khas seseorang yang

berfungsi sepenuhnya (fully human being).

5. Tipe penelitian ini menggunakan tipe deskriptif kualitatif dimana peneliti mendeskripsikan atau merekonstruksi wawancara mendalam terhadap subjek penelitian tanpa menjelaskan hubungan antar variabel atau menguji hipotesis.

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian I.4.1 Tujuan Penelitian

Yang menjadi tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

a. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan membahas bagaimana peranan komunikasi layanan konseling individual antara konselor dengan siswa/i tunanetra dalam membentuk konsep diri klien tunanetra di panti asuhan Karya Murni Jl. Karya Wisata Medan Johor.

b. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik-teknik komunikasi konseling yang dilakukan konselor terhadap klien tunanetra terhadap proses pembentukan konsep diri klien tunanetra

c. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui siapa yang proaktif dalam layanan konseling – konselor atau klien tunanetra.


(20)

d. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan yang pada umumnya menjadi fokus layanan konseling bagi klien tunanetra.

e. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk solusi yang ditawarkan oleh konselor terhadap masalah yang dihadapi klien tunanetra.

I.4.2 Manfaat Penelitian

Dalam hal ini manfaat penelitian yang dimaksud adalah:

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu komunikasi konseling individual yang berkaitan dengan pembentukan konsep diri siswa/i tunanetra.

b. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan di lingkungan FISIP USU, khususnya di bidang ilmu komunikasi.

c. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak yang terkait dalam penelitian, dalam hal ini adalah konselor pada panti asuhan Karya Murni Medan Johor untuk dapat lebih meningkatkan perhatian dalam menangani kebutuhan dan permasalahan siswa/i tunanetra.


(21)

I.5 Kajian Pustaka

Kajian pustaka berfungsi untuk menguraikan teori, konsep, atau pendekatan terbaru yang ada hubungannya dengan masalah penelitian. Kajian pustaka merupakan dasar untuk membuat definisi konsep dan operasionalisasi variabel. Menurut Kriyantono (2006:45) teori dalam pendekatan kualitatif berfungsi sebagai pisau analisis yakni membantu peneliti untuk mengumpulkan dan memaknai data serta mendialogkannya dengan konteks sosial yang terjadi.

Adapun teori-teori yang relevan dengan penelitian ini adalah: I.5.1 Komunikasi

Wilbur Schramm mengatakan bahwa kata communication itu berasal dari kata Latin communis yang berarti common (sama). Dengan demikian apabila kita akan mengadakan komunikasi, maka kita harus mewujudkan persamaan antara kita dengan orang lain. Sama di sini maksudnya adalah sama makna (Effendy, 1996:9).

Menurut Cherrey, komunikasi adalah menekankan pada proses hubungan, sedangkan Gode berpendapat bahwa komunikasi merupakan proses yang menekankan pada sharing atau pemilikan (Liliweri, 1997:5).

Sementara itu Laswell (Effendy, 1993:253), menyatakan bahwa cara terbaik untuk menerangkan proses komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan : Who, Says What, In Which Channel, To Whom, With What Effect (Siapa, Mengatakan Apa, Melalui Saluran Apa, Kepada Siapa, Dengan Efek Apa). Dari pertanyaan tersebut dapat didaftarkan 5 unsur proses komunikasi yakni: komunikator, pesan, media, komunikan, dan efek.


(22)

Berikut adalah penjabaran formula Laswell apabila dihubungkan dengan penelitian yang dilaksanakan:

1. Who (komunikator) adalah konselor di panti asuhan Karya Murni, yang berfungsi sebagai penyampai atau pemberi pesan verbal yakni berupa kata-kata, saran, pikiran maupun pesan non verbal (perilaku non verbal) dalam proses konseling.

2. Says What (pesan) adalah kata-kata atau ucapan, ide, saran dan pikiran yang diberikan atau disampaikan konselor kepada siswa/i tunanetra sebagai klien tunanetra.

3. In Which Channel (media) adalah saluran atau sarana penyampaian pesan yaitu melalui organ pengindera.

4. To Whom (komunikan) adalah klien tunanetra di panti asuhan Karya Murni Medan Johor.

5. With What Effect (efek yang ditimbulkan) adalah terbentuknya konsep diri pada klien tunanetra.


(23)

Tabel 1

Formula Laswell apabila dihubungkan dengan penelitian

Who

(Komunikator)

Says What (Pesan)

InWhich Channel (Media)

To Whom (Komunikan)

With What Effect (Efek yang ditimbulkan) Konselor a. Pesan verbal

(bahasa lisan) b. Pesan non verbal

(perilaku non verbal)

Organ pengindera

Siswa/i tunanetra di panti asuhan Karya Murni Medan Johor sebagai klien tunanetra

Terbentuknya konsep diri pada klien tunanetra


(24)

I.5.2 Komunikasi Hubungan Manusiawi

Komunikasi hubungan manusiawi/komunikasi insani adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih. Goyer mengatakan bahwa komunikasi insani menjadi unik karena kemampuannya yang istimewa untuk menciptakan dan menggunakan lambang-lambang, sehingga dengan kemampuan ini manusia dapat berbagi pengalaman secara tidak langsung maupun memahami pengalaman orang lain (Tubbs, 1996:5).

Adapun unsur-unsur dalam komunikasi hubungan manusiawi adalah: 1. Komunikator 1 dan komunikator 2

2. Pesan 3. Saluran

4. Gangguan (interference) 5. Umpan balik

6. Waktu

Menurut Rosenberg, komunikasi hubungan manusiawi berkaitan erat dengan konsep diri. Setiap individu memperoleh identitas diri dengan memperhatikan dan diperhatikan orang lain. Lebih jauh lagi, kita menumbuhkan identitas dan nilai diri dengan membandingkannya dengan orang lain (Tubbs, 1996:3-4).

Adapun karakteristik komunikasi hubungan manusiawi sebagai berikut: a. Kepercayaan dan pengertian.


(25)

c. Konteks, terdiri dari:

- situasi atau keadaan (setting)

- lingkungan sosial psikologis di mana komunikasi terjadi dan hubungan berkembang.

d. Penegasan (konfirmasi) dan diskonfirmasi. e. Sikap mendukung dan bertahan.

f. Afeksi dan kontrol (Tubbs, 1996:206).

I.5.3 Tunanetra

Pengertian tunanetra dilihat dari segi etimologi bahasa yakni: tuna = rugi, netra = mata atau cacat mata. Jadi tunanetra menggambarkan keadaan

penderita yang mengalami kelainan indera penglihatan, baik kelainan itu bersifat berat (buta total) maupun ringan (low vision/kurang awas).

Akibat kekurangan penglihatan atau bahkan kehilangan sama sekali indera penglihatan sebagai yang diderita oleh anak-anak tunanetra, menimbulkan berbagai masalah yang menyebabkan terbatasnya kemampuan-kemampuan berkembang anak tunanetra dibanding dengan kemampuan berkembang yang dialami anak awas.

Keterbatasan berkembang tersebut antara lain karena anak tunanetra menderita kemiskinan tanggapan yang sangat parah, yang bagi anak awas tanggapan tersebut sebagian besar diperoleh melalui rangsangan visual.


(26)

Masalah-masalah yang timbul bagi anak tunanetra antara lain: (1) Mudah curiga terhadap orang lain.

(2) Mudah tersinggung perasaannya.

(3) Rasa ketergantungan yang berlebihan dengan orang lain (Ramidjo, 1998:4-5).

I.5.4 Konseling Individual

Istilah konseling berasal dari bahasa Inggris “to counsel” yang secara etimologi berarti “to give advice” atau memberi saran dan nasihat. Jones mendefinisikan konseling sebagai kegiatan dimana semua fakta dikumpulkan dan semua pengalaman siswa difokuskan pada masalah tertentu untuk diatasi sendiri oleh yang bersangkutan, dimana ia diberi bantuan pribadi dan langsung dalam pemecahan masalah itu. Konseling harus ditujukan pada perkembangan yang progresif dari individu untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri (Lubis, 2006:7).

Selanjutnya menurut Jones, proses konseling akan terlaksana bila terlihat beberapa aspek berikut ini:

a. Terjadi antara dua orang individu, masing-masing disebut konselor dan klien. b. Terjadi dalam suasana yang profesional.

c. Dilakukan dan dijaga sebagai alat yang memudahkan perubahan-perubahan dalam tingkah laku klien.

Rogers mengemukakan sebagai berikut : Counseling is a series of direct contacts with the individual which aims to offer him assistance in changing his attitude and behaviour. Konseling adalah serangkai hubungan langsung dengan


(27)

individu yang bertujuan untuk membantu dia dalam merubah sikap dan tingkah lakunya (Hallen, 2005:9).

Sementara itu, Shertzer dan Stone mendefinisikan hubungan konseling yaitu interaksi antara seorang dengan orang lain yang dapat menunjang dan memudahkan secara positif bagi perbaikan orang tersebut (Willis, 2004:36).

Karakteristik hubungan konseling adalah sebagai berikut:

1. Hubungan konseling itu sifatnya bermakna, terutama bagi klien, demikian pula bagi konselor.

Hubungan konseling terjadi dalam suasana keakraban (intimate). 2. Bersifat afek.

Afek adalah perilaku-perilaku emosional, sikap dan kecenderungan-kecenderungan yang didorong oleh emosi. Afek hadir karena adanya keterbukaan diri (disclosure) klien, keterpikatan, keasyikan diri (self absorbed) dan saling sensitif satu sama lain.

3. Integrasi pribadi.

Terdapat ketulusan, kejujuran dan keutuhan antara konselor-klien. 4. Persetujuan bersama.

Ada komitmen (keterikatan) antara kedua belah pihak. 5. Kebutuhan.

Hubungan konseling akan berhasil bila klien datang atas dasar kebutuhannya. 6. Struktur.

Proses konseling (bantuan) terdapat struktur karena adanya keterlibatan konselor dan klien


(28)

7. Kerjasama.

Jika klien bertahan (resisten) maka ia menolak dan tertutup terhadap konselor. Akibatnya, hubungan konseling akan macet. Begitu juga sebaliknya.

8. Konselor mudah didekati, klien merasa aman.

Faktor iman dan taqwa sangat mendukung terhadap kehidupan emosional konselor.

9. Perubahan.

Tujuan akhir dari hubungan konseling adalah perubahan positif - si klien menjadi lebih sadar dan memahami diri, mendapatkan cara-cara terbaik untuk berbuat/merencanakan kehidupannya menjadi lebih dewasa dan pribadinya terintegrasi. Perubahan internal dan eksternal terjadi di dalam sikap dan tindakan, serta persepsi terhadap diri, orang lain dan dunia (Willis, 2004:41-44).

Dari definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi layanan konseling individual merupakan kegiatan komunikasi antara konselor dengan klien (adanya keikutsertaan/keterlibatan dua orang individu) yang terjadi dalam suasana keakraban/kebersamaan dan terdapat interaksi atau umpan balik antara kedua belah pihak sehingga si klien dapat memahami pikiran ataupun pesan yang disampaikan konselor yang tujuan akhirnya adalah untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah helpee (klien) - client centered sehingga klien mempunyai gambaran diri (konsep diri) yang jelas.


(29)

I.5.5 Konsep Diri

Konsep diri adalah keyakinan yang dimiliki individu tentang atribut (ciri-ciri/sifat) yang dimilikinya (Dayakisni, 2003:65). Sedangkan Rakhmat (1989:112) menyatakan konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang diri kita.

Pearson et.al. (Tubbs, 1996:42) berpendapat bahwa konsep diri adalah kesan yang relatif stabil mengenai diri sendiri, tidak hanya mencakup persepsi mengenai karakteristik fisik, melainkan juga penilaian diri mengenai apa yang pernah dicapai, yang sedang dijalani, dan apa yang ingin dicapai. Konsep diri tumbuh melalui umpan balik yang diterima dari orang-orang di sekitar kita. Konsep diri berkembang melalui hubungan dan interaksi dengan orang lain.

Menurut Carl R. Rogers, konsep diri adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku. Teori ini disebut juga teori Rogers/teori diri (Self Theory), yakni teori yang berpusat pada pribadi. Teori ini pada dasarnya memberikan tekanan yang kuat pada pengalaman-pengalaman sang pribadi, perasaan-perasaan, nilai-nilai dan semua yang teringkas dalam ekspresi “kehidupan batin” (Hall, 1993:126). Rogers yakin bahwa dalam diri setiap orang terdapat potensi-potensi untuk menjadi sehat dan tumbuh secara kreatif.

Setiap manusia memiliki kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan, penerimaan, pengagungan dan cinta dari orang lain. Kebutuhan ini disebut need for positive regard. Rogers menggambarkan pribadi yang berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yang mengalami penghargaan positif tanpa syarat. Ini berarti dia dihargai, dicintai karena nilai adanya diri sendiri sebagai individu,


(30)

sehingga ia tidak bersifat defensif namun cenderung untuk menerima diri dengan penuh kepercayaan.

Rogers beragumentasi bahwa perubahan-perubahan dalam persepsi diri dan persepsi atas realitas menghasilkan perubahan yang serentak dalam perilaku dan hal itu memberikan kondisi psikologis tertentu bagi seseorang sehingga mempunyai kapasitas untuk mereorganisasi bidang persepsinya, termasuk bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri sehingga menjadi individu yang lebih otonom, spontan, percaya diri (Graham, 2005:92-93).

Menurut Rogers, ada lima sifat khas seseorang yang berfungsi sepenuhnya (fully human being):

1. Keterbukaan pada pengalaman. 2. Tidak adanya sikap defensif. 3. Kesadaran yang cermat. 4. Penghargaan diri tanpa syarat.

5. Hubungan yang harmonis dengan orang-orang lain (Hall, 1993:128).

I.6 Definisi Konsep

Konsep adalah istilah yang mengekspresikan sebuah ide abstrak (hasil pemikiran rasional) yang dibentuk dengan menggeneralisasikan obyek atau hubungan fakta-fakta yang diperoleh dari pengamatan.

Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalisasikan dengan mengubahnya menjadi variabel. Suatu variabel adalah konsep tingkat rendah, yang acuan-acuannya secara relatif mudah diidentifikasikan dan diobservasi serta diklasifikasi, diurut atau diukur


(31)

(Kriyantono, 2006:20). Variabel berfungsi sebagai penghubung antara dunia teoritis dengan dunia empiris.

Konsep operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 2 Konsep Operasional

Konsep Variabel Operasionalisasi Konsep Indikator 1. Variabel Komunikasi

Layanan Konseling Individual

a. Keikutsertaan untuk berkonseling

- berminat/tidak berminat untuk berkonseling b. Suasana sewaktu

berkonseling

- apakah tercipta suasana akrab, rileks, kekeluargaan dan sebagainya

c. Cara penyampaian pesan

- melalui pesan verbal (komunikasi lisan) dan perilaku non verbal d. Umpan balik - ada umpan balik/respon e. Pemahaman akan pesan - paham/mengerti akan pesan

yang disampaikan 2. Variabel Pembentukan

Konsep Diri

a. Terbuka pada pengalaman

- rasa cemas, marah atau takut sudah berkurang/hilang terhadap masalah yang sedang dihadapi

- optimis akan masa depan b. Tidak bersikap defensif - sudah bersikap terbuka

- tidak menyalahkan orang lain akan kecacatan/kesulitan yang diderita


(32)

c. Kesadaran yang cermat - sudah memiliki rasa percaya diri

- menyadari kelebihan/bakat yang dimiliki

d. Penghargaan diri tanpa syarat

- merasa cukup berarti di lingkungannya

- ada prestasi di dalam maupun di luar kelas e. Menjalin hubungan

yang harmonis dengan orang lain (Hall, 1993:128).

- dapat bergaul dengan semua penghuni panti asuhan

- ada rasa tanggung jawab dan memiliki satu sama lain


(33)

I.7 Definisi Operasionalisasi

Definisi operasional berfungsi untuk memperjelas variabel-variabel dalam konsep operasional. Adapun yang menjadi definisi operasional dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel komunikasi layanan konseling individual terdiri dari:

a. Keikutsertaan untuk berkonseling yaitu apakah siswa tunanetra (klien tunanetra) berminat atau tidak untuk ikut serta atau melibatkan diri

berkonseling dengan konselor.

Dari sini juga akan diketahui siapa yang proaktif dalam layanan konseling tersebut – konselor atau klien tunanetra.

b. Suasana berkonseling yaitu bagaimana keadaan/kondisi antara konselor dengan klien tunanetra ketika berkonseling – apakah tercipta suasana akrab, kebersamaan/intim, rileks dan kekeluargaan atau sebaliknya.

c. Cara penyampaian pesan yaitu bagaimana konselor menyampaikan pesannya – apakah melalui komunikasi lisan (pesan verbal) dengan disertai bahasa tubuh (perilaku non verbal) atau tidak disertai dengan perilaku non verbal.

Dari sini juga akan diketahui bagaimana teknik-teknik komunikasi konseling yang dilakukan konselor terhadap klien tunanetra.

d. Umpan balik yaitu apakah terdapat umpan balik atau respon antara konselor dan klien tunanetra.

e. Pemahaman akan pesan yaitu paham atau tidak si klien tunanetra akan pesan, ide, saran atau pun pikiran yang disampaikan konselor sehingga ia dapat mempraktekkannya di dalam kehidupan sehari-hari.


(34)

Dari sini juga akan diketahui masalah apa saja yang pada umumnya menjadi fokus layanan bagi klien tunanetra berikut bentuk solusi yang ditawarkan oleh konselor untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien tunanetra.

2. Variabel pembentukan konsep diri terdiri dari:

a. Terbuka pada pengalaman merupakan keadaan dimana siswa/i tunanetra (klien tunanetra) mulai mengenal unsur-unsur pengalamannya pada masa lampau yang mau tidak mau disadari karena terlalu mengancam atau terlalu merugikan struktur dirinya. Keadaan emosional itu bisa berupa kecemasan, ketakutan, kemarahan, misalnya kekalutan pikiran akan masa depan (mendapat pekerjaan), keinginan untuk bisa melihat lagi, masalah keluarga, pelajaran di sekolah, masalah hubungan dengan teman atau guru dan sebagainya.

Selanjutnya ia mengetahui bahwa ia telah mengalami dirinya sehingga tingkah lakunya berubah secara konstruktif sesuai dengan dirinya/perasaannya yang baru dialaminya, bahwa ia adalah semua perasaan itu. Sikap ini berhasil apabila klien tidak perlu cemas atau takut lagi terhadap apa yang mungkin melekat pada pengalaman itu. Selain itu ia juga memiliki rencana hidup masa akan datang. Dia tahu keputusan mana yang mungkin dapat dilaksanakan sesuai tujuan utama yang dia inginkan.

b. Tidak bersikap defensif merupakan sikap keterbukaan yang dimiliki klien tunanetra dimana ia dapat menerimanya dengan bebas sebagai bagian dari dirinya yang berubah dan berkembang secara realistis dan sebagaimana adanya.


(35)

Sikap ini dimulai dengan mengoreksi diri sendiri dan meniadakan sikap yang suka menyalahkan dunia luar, seperti orang tua, teman, keadaan yang tidak menguntungkan dan sebagainya.

c. Kesadaran yang cermat yaitu sikap percaya diri dan jujur yang terbentuk di dalam diri klien tunanetra dimana dia menyadari kelebihan-kelebihan ataupun bakat-bakat yang dimilikinya, sehingga ia tidak sepenuhnya bergantung pada bantuan orang lain. Dengan kata lain, dia menjadi mandiri dan menganggap bahwa dirinya cukup berarti di lingkungannya.

d. Penghargaan diri tanpa syarat yaitu keadaan dimana klien tunanetra bebas mengaktualisasikan diri untuk berkarya dan berprestasi serta mengembangkan sifat-sifat dan potensi-potensi psikologis yang unik sebagai manifestasi potensi yang dimiliki.

e. Menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain yaitu sikap dimana klien tunanetra mampu menghargai keberadaan orang lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sehingga ia menganggap dirinya sederajat atau setara dengan orang lain. Sikap ini ditandai dengan adanya keinginan untuk bekerjasama dan saling tenggang rasa dengan teman-temannya, guru pembimbing, suster pengasuh maupun terhadap warga lainnya di sekitar lingkungan sekolah dan panti asuhan (Hall, 1993:128).


(36)

I.8 Metodologi Penelitian I.8.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di panti asuhan Karya Murni Jl. Karya Wisata No. 6 Medan Johor. Lokasi ini dipilih oleh peneliti sebab siswa/i di panti ini telah banyak yang mengukir prestasi di tingkat lokal maupun nasional. Prestasi-prestasi itu antara lain:

1. Bidang akademis: beberapa kali berhasil menjuarai lomba mengarang tingkat nasional dan lomba baca indah tingkat propinsi.

2. Bidang pembinaan mental/kreativitas: dua kali terpilih mengikuti Jambore Nasional di Jakarta, mengadakan mini konser di Medan, terpilih sebagai duta dari Sumatera Utara mengikuti konser “Children of the World” di Jakarta bersama dengan duta-duta dari negara lain serta ikut memeriahkan perayaan HUT RI ke 56 di Lapangan Merdeka Medan.

3. Bidang olahraga: beberapa kali peringkat pertama menjuarai lomba catur anak-anak cacat tingkat propinsi dan tingkat nasional, peringkat pertama lomba lari 100 meter anak-anak cacat tingkat internasional di Australia dan tingkat nasional di Solo.

4. Beberapa alumni SLB/A ada yang sampai mengikuti perkuliahan di universitas swasta Medan antara lain di UNIKA St. Thomas dan UNIMED (Sumber: Buku Kenangan 50 Tahun SLB/A Karya Murni hal 107-116).


(37)

I.8.2 Metode Penelitian

Metode pengkajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, yang mengutamakan proses/kedalaman data daripada keluasan data. Sedangkan tipe penelitian ini menggunakan tipe deskriptif kualitatif, dimana peneliti mendeskripsi atau merekonstruksi wawancara-wawancara mendalam terhadap subjek penelitian (Alsa, 2003:55).

I.8.3 Subjek Penelitian

Menurut Kriyantono (2006:161) dalam penelitian kualitatif tidak dikenal istilah sampel. Sampel pada penelitian kualitatif disebut subjek penelitian atau informan.

Adapun kriteria yang menjadi subjek penelitian/informan adalah sebagai berikut :

- Subjek terdiri dari 4 orang siswa/i panti asuhan Karya Murni yang duduk di tingkat SLTP (2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan).

- Subjek adalah tunanetra dengan kisaran tngkat penglihatan dari kebutaan total hingga kurang awas (low vision) – atau ketunanetraan berat hingga ketunanetraan ringan.

- Subjek memiliki kemampuan berkomunikasi yang cukup baik untuk dapat diwawancarai.

- Subjek mempunyai kesadaran yang cukup baik akan diri dan lingkungannya. Berdasarkan kriteria tersebut, maka peneliti mengambil 4 orang sebagai subjek penelitian. Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik snowball sampling (sampel bola salju), yaitu teknik penentuan sampel yang awalnya berjumlah kecil,


(38)

kemudian berkembang semakin banyak. Orang yang dijadikan sampel pertama diminta memilih atau menunjuk orang lain untuk dijadikan sampel lagi, begitu seterusnya sampai jumlahnya banyak. Proses ini baru berakhir bila periset merasa data telah jenuh, artinya periset merasa tidak lagi menemukan sesuatu yang baru dari wawancara (Kriyantono, 2003:157).

Dengan demikian apabila data-data yang diperlukan dalam peneltian dianggap masih belum mencukupi melalui 4 orang subjek penelitian, maka tidak menutup kemungkinan subjek penelitian akan terus bertambah sesuai dengan kebutuhan penelitian. Penentuan jumlah informan didasarkan pada kenyataan bahwa tingkat homogenitas/sifat-sifat populasi yang relatif sama.

I.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : 1. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Yaitu teknik mengumpulkan data dengan menghimpun data/informasi dari sumber-sumber bacaaan yang relevan dengan penelitian ini.

2. Penelitian Lapangan (Field Research)

Yaitu kegiatan dimana peneliti mengumpulkan data di lokasi penelitian yang meliputi:

a. Pengamatan (Observasi Partisipan)

Peneliti melibatkan diri secara pasif dalam beberapa kegiatan subjek penelitian. Pengamatan ini dilakukan untuk melengkapi data wawancara. Adapun kegiatan observasi itu dilakukan:


(39)

- di setiap hari Sabtu dimana pada hari tersebut siswa/i panti asuhan melaksanakan program pengembangan diri,

- serta pada jam istirahat di panti asuhan yakni setiap jam 15.00 – 16.30 WIB.

b. Wawancara Mendalam (Indepth/Qualitative Interview)

Pada saat wawancara peneliti mengunakan pedoman wawancara (Interview Guide) untuk mengarahkan penelitian supaya tidak melenceng. Hasil wawancara tersebut direkam dalam pita rekaman (kaset) dan juga dicatat pada kertas (transkrip wawancara).

Adapun kegiatan wawancara itu dilakukan:

- di setiap hari Sabtu dimana pada hari tersebut siswa/i panti asuhan melaksanakan program pengembangan diri sehingga peneliti dan subjek penelitian memiliki keleluasaan waktu sehingga tidak mengganggu proses belajar di sekolah,

- serta pada jam istirahat di panti asuhan yakni setiap jam 15.00 – 16.30 WIB.

I.8.5 Teknik Analisis Data

Menurut Kriyantono (2006:192), penelitian kualitatif menggunakan cara berpikir induktif, yaitu cara berpikir yang berangkat dari hal-hal yang khusus (fakta empiris) menuju hal-hal yang umum (tataran konsep). Dalam penelitian kualitatif, interpretasi/pemaknaan data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara dilakukan di sepanjang penelitian.


(40)

Adapun poses analisis dalam penelitian ini terdiri dari tiga fase yaitu: (1) Reduksi data (data reduction)

Reduksi data adalah proses menyeleksi, memfokuskan dan menyederhanakan data yang tercantum dalam catatan lapangan atau transkrip wawancara. Reduksi data ini tidak hanya dimaksudkan agar menjadi padat sehingga mudah dikelola, tetapi juga agar lebih mudah dipahami dari perspektif masalah yang dibahas.

(2) Penyajian data (data display)

Fase kedua dari analisis data ini adalah menentukan bagaimana data itu akan disajikan. Sajian data tersebut dimaksudkan untuk mempermudah peneliti membuat ekstrapolasi dari data karena dengan sajian ini peneliti dapat dengan lebih cepat melihat adanya hubungan-hubungan yang sistematik. Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan bentuk sajian data berupa tabel (matriks). (3) Penarikan kesimpulan (conclusion)

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan melihat kembali data guna mempertimbangkan makna dari data yang sudah dianalisis dengan implikasinya berdasarkan pertanyaan-pertanyaan dalam perumusan masalah penelitian.


(41)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

II.1 Komunikasi

II.1.1 Pengertian Komunikasi

Komunikasi pada umumnya diartikan sebagai proses pengoperan lambang-lambang yang berarti dari seseorang kepada orang lain. Wilbur Schramm mengatakan bahwa kata communication itu berasal dari kata Latin communis yang berarti common (sama). Dengan demikian apabila kita akan mengadakan komunikasi, maka kita harus mewujudkan persamaan antara kita dengan orang lain. Sama di sini maksudnya adalah sama makna (Effendy, 1996:9).

Sedangkan Carl Hovland mengemukakan bahwa komunikasi itu adalah suatu proses dimana seseorang memindahkan perangsang yang biasanya berupa lambang kata-kata untuk merubah tingkah laku orang lain (Soenarjo, 1995:143).

Menurut Cherrey, komunikasi adalah menekankan pada proses hubungan, sedangkan Gode berpendapat bahwa komunikasi merupakan proses yang menekankan pada sharing atau pemilikan (Liliweri, 1997:5).

Devito menegaskan bahwa komunikasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih, yakni kegiatan menyampaikan dan menerima pesan, yang mendapat distorsi dari gangguan-gangguan, dalam suatu konteks, yang menimbulkan efek dan kesempatan arus balik. Oleh karena itu, kegiatan komunikasi meliputi komponen-komponen sebagai berikut: konteks, sumber, penerima, pesan, saluran, gangguan, proses penyampaian atau proses encoding, arus balik dan efek (Effendy, 1996:50).


(42)

II.1.2 Fungsi Komunikasi

Laswell (Effendy, 1993:27) mengemukakan fungsi komunikasi sebagai berikut:

a. Pengamatan terhadap lingkungan (the surveillance of the environment) maksudnya penyingkapan ancaman dan kesempatan yang mempengaruhi nilai-nilai dan bagian-bagian unsur di dalamnya.

b. Korelasi unsur-unsur masyarakat ketika menanggapi lingkungan (correlation of the components of society in making a response to the environment).

c. Penyebaran warisan sosial (transmission of the social inheritance). Di sini berperan para pendidik, baik dalam kehidupan rumah tangganya maupun sekolah, yang meneruskan warisan sosial kepada keturunan berikutnya.

Lebih lanjut lagi Effendy mengemukakan fungsi komunikasi sebagai berikut:

a. Menginformasikan b. Mendidik

c. Menghibur d. Mempengaruhi

II.1.3 Model Penelitian Komunikasi

Effendy (1996:11) mengemukakan bahwa proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa merupakan gagasan, informasi, opini dan lain-lain yang muncul dari benaknya. Perasaan bisa berupa


(43)

keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati.

Sementara itu, Laswell (Effendy, 1993:253) menyatakan bahwa cara terbaik untuk menerangkan proses komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan : Who, Says What, In Which Channel, To Whom, With What Effect (Siapa, Mengatakan Apa, Melalui Saluran Apa, Kepada Siapa, Dengan Efek Apa). Dari pertanyaan tersebut dapat didaftarkan 5 unsur proses komunikasi yakni : 1. Komunikator (pengirim pesan atau sender)

2. Pesan (message)

3. Media (saluran atau channel)

4. Komunikan (penerima pesan atau recipient) 5. Efek (efek atau effect)

Berikut adalah penjabaran formula Laswell apabila dihubungkan dengan penelitian yang dilaksanakan:

1. Who (komunikator) adalah konselor di panti asuhan Karya Murni, yang berfungsi sebagai penyampai atau pemberi pesan verbal yakni berupa kata-kata, saran, pikiran maupun pesan nonverbal (bahasa tubuh) dalam proses konseling.

2. Says What (pesan) adalah kata-kata atau ucapan, ide, saran dan pikiran yang diberikan atau disampaikan oleh konselor kepada siswa/i tunanetra sebagai klien tunanetra.

3. In Which Channel (media) adalah saluran atau sarana penyampaian pesan melalui organ pengindera.


(44)

4. To Whom (komunikan) adalah klien tunanetra di panti asuhan Karya Murni Medan Johor.

5. With What Effect (efek yang ditimbulkan) adalah terbentuknya konsep diri pada klien tunanetra.

Berdasarkan keterampilan berkomunikasi yang dilakukan komunikator, teknik komunikasi dapat diklasifikasikan menjadi (Effendy, 1993:55):

a) Komunikasi informatif (menginformasikan, memberitahukan) b) Komunikasi persuasif (membujuk)

c) Komunikasi koersif (memaksa) d) Komunikasi instruktif (memerintah)

e) Komunikasi hubungan manusiawi (hubungan insani)

II.2 Komunikasi Hubungan Manusiawi

II.2.1 Pengertian Komunikasi Hubungan Manusiawi

Komunikasi hubungan manusiawi/komunikasi insani adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih (Tubbs, 1996:5). Yang membuat komunikasi insani menjadi unik adalah kemampuannya yang istimewa untuk menciptakan dan menggunakan lambang-lambang, sehingga dengan kemampuan ini manusia dapat berbagi pengalaman secara tidak langsung maupun memahami orang lain.

Dalam komunikasi insani terdapat pandangan transaksional, dimana penekanan pada derajat keterlibatan dua orang atau lebih akan menciptakan suatu hubungan sebagai bagian dari komunikasi mereka. Selanjutnya perspektif transaksional memberi penekanan pada dua sifat peristiwa komunikasi, yaitu


(45)

serentak dan saling mempengaruhi sehingga kedua komunikator akan mengalami perubahan sebagai hasil terjadinya komunikasi.

Menurut Rosenberg, komunikasi hubungan manusiawi berkaitan erat dengan konsep diri. Setiap individu memperoleh identitas diri dengan memperhatikan dan diperhatikan orang lain. Lebih jauh lagi, kita menumbuhkan identitas dan nilai diri dengan membandingkannya dengan orang lain (Tubbs, 1996:3-4).

II.2.2 Proses Komunikasi Hubungan Manusiawi

Unsur-unsur dalam komunikasi hubungan manusiawi adalah: 1. Komunikator 1 dan komunikator 2

Merupakan sumber informasi dan berfungsi untuk memberi dan menerima pesan secara serentak dan pada saat yang bersamaan saling mempengaruhi. Aspek penting dalam penerimaan pesan adalah memperhatikan, mendengar, memahami dan mengingat.

2. Pesan

Ada empat jenis pesan yang mungkin terjadi: a. Pesan verbal disengaja

b. Pesan verbal tak disengaja c. Pesan non verbal disengaja d. Pesan non verbal tak disengaja


(46)

3. Saluran

Saluran adalah media yang menyampaikan rangsangan komunikasi. Saluran komunikasi tatap muka organ pengindera yang biasanya digunakan adalah: indera pendengaran, penglihatan dan perabaan.

4. Gangguan (interference)

Gangguan adalah segala sesuatu yang mengubah informasi yang disampaikan kepada penerima pesan dan mengalihkannya dari penerimaan tersebut.

Gangguan ada dua jenis yaitu:

a) Gangguan teknis: faktor yang menyebabkan si penerima merasakan perubahan dalam informasi atau rangsangan yang tiba.

b) Gangguan semantik: apabila penerima memberi arti yang berlainana atas sinyal yang disampaikan oleh pengirim.

5. Umpan balik

Luft menyatakan umpan balik (feed back) sebagai balasan atas perilaku yang diperbuat. Umpan balik merupakan ciri penting dalam suatu hubungan dan berperan sebagai sumber informasi penting mengenai diri sendiri.

6. Waktu

Merupakan siklus komunikasi antara pemberi dan penerima pesan yang berlangsung terus sejalan dengan berlalunya waktu, dimana proses itu mengakibatkan hubungan sebagai hasil dari setiap interaksi.


(47)

Berikut proses siklus komunikasi hubungan manusiawi sesuai dengan unsur-unsurnya menurut Tubbs (1996:6):

Bagan 1

Proses Siklus Komunikasi Hubungan Manusiawi

SALURAN

PESAN GANGGUAN

KOMUNIKATOR 1 sebagai pengirim/penerima

pesan

KOMUNIKATOR 2 sebagai pengirim/penerima

pesan

GANGGUAN PESAN


(48)

II.2.3 Efektivitas Komunikasi Hubungan Manusiawi

Menurut Tubbs (1996:11-12) dalam bukunya Human Communication Konteks-konteks Komunikasi, ada empat karakteristik untuk menilai efektivitas/kualitas komunikasi hubungan manusiawi atau hubungan antara dua orang, yakni:

1. Informasi tentang orang lain lebih bersifat psikologis daripada bersifat kultural dan sosiologis.

2. Aturan-aturan dalam hubungan ini lebih banyak dikembangkan oleh kedua orang yang terlibat di dalamnya daripada diatur oleh tradisi.

3. Peranan dalam hubungan antarpesona pada pokoknya lebih ditentukan oleh karakter pribadi daripada oleh situasi.

4. Lebih menekankan pilihan perseorangan daripada pilihan kelompok..

Pilihan perseorangan dan informasi psikologis yaitu pengetahuan mengenai sikap dan kepercayaan pribadi, perilaku-perilaku yang khas, dan sebagainya.

Adapun variabel-variabel yang berpengaruh pada kualitas hubungan antara dua orang itu adalah:

a. Penyingkapan diri (self disclosure)

Adalah membeberkan informasi tentang diri sendiri. Penyingkapan diri merupakan suatu usaha untuk membiarkan keontetikan memasuki hubungan sosial seseorang dan berkaitan dengan kesehatan mental dan dengan pengembangan konsep diri.

b. Kepercayaan dan keberbalasan. c. Keakraban.


(49)

e. Kesalingbergantungan yang berkaitan dengan rasa percaya, komitmen dan perhatian/kepedulian.

f. Afiliasi yang berkaitan dengan sikap bersahabat, suka berkumpul/bersama dengan orang lain serta ramah.

Ciri-ciri perilaku berafiliasi tinggi adalah: - memberi nasehat

- mengkoordinasikan - mengarahkan - memulai - memimpin

II.3 Tunanetra

II.3.1 Pengertian Tunanetra

Dalam masyarakat umumnya, istilah tunanetra sering dikaitkan dengan pengertian “buta”. Bila ditinjau dari segi etimologi bahasa, kata tuna berarti rusak, sedangkan kata buta berarti tidak dapat melihat karena rusak matanya. Jika kata tunanetra berarti rusaknya penglihatan, maka pada hakekatnya pengertian tunanetra bukanlah semata-mata pada hilangnya penglihatan, akan tetapi masih mempunyai sisa penglihatan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa istilah tunanetra lebih tepat menggambarkan keadaan seseorang yang hanya mengalami kekurangan penglihatan, sedangkan pengertian buta digunakan untuk menunjukkan keadaan seseorang yang rusak penglihatannya sehingga mengakibatkan tidak dapat melihat. Jadi, tunanetra berarti kerusakan mata atau


(50)

kerusakan penglihatan dan mencakup berbagai tingkat ketajaman penglihatan yaitu buta dan kurang lihat.

John D. Kershaw berpendapat bahwa kebutaan ialah “a blind person is one who can not see” (seorang buta ialah orang yang tidak dapat melihat dengan jelas). Menurut Departemen Sosial, tunanetra (penyandang cacat netra) adalah seseorang yang tidak dapat menghitung jari tangan pada jarak satu meter di depannya, dengan menggunakan indera mata.

Sedangkan menurut WHO, kebutaan adalah suatu keadaan dimana tajam penglihatan-penglihatan, setelah koreksi optimal, kurang dari kemampuan menghitung jari pada jarak sampai dengan 3 meter. Sebagai penjelasan dapat diterangkan, bahwa pada orang normal kemampuan menghitung jari adalah sampai dengan jarak 60 meter. Dengan demikian, tajam penglihatan setelah koreksi optimal kurang dari 3/60 atau 5% dari tajam penglihatan normal, sudah termasuk dalam kategori kebutaan.

Selanjutnya, Departemen Sosial membedakan tunanetra menjadi dua golongan, yaitu buta total dan buta sebagian (low vision) yaitu ketunanetraan yang masih memiliki sisa penglihatan.

Kurang lihat (partially sighted/low vision) menunjukkan keadaan mata yang masih berfungsi akan tetapi kurang baik atau secara umum seseorang dikatakan kurang lihat apabila setidak-tidaknya masih dapat melihat jari-jari tangannya. Mereka yang kurang lihat masih dapat diajarkan dengan metode visual namun tetap memerlukan bantuan atau teknik khusus yang tidak terdapat disekolah-sekolah biasa. Dengan demikian, anak kurang lihat masih dapat menggunakan sisa penglihatannya sebagai medium utama dalam belajar dengan


(51)

menggunakan metode visual dan dengan bantuan alat-alat khusus (Ramidjo, 1998:2).

II.3.2 Karakteristik Ketunanetraan

Akibat kekurangan penglihatan atau bahkan kehilangan sama sekali penglihatan yang diderita oleh anak tunanetra dapat menimbulkan berbagai masalah terutama keterbatasan-keterbatasan penglihatannya. Keterbatasan tersebut antara lain karena anak tunanetra mempunyai tanggapan yang sangat kurang, bila dibandingkan dengan anak awas. Karena keterbatasannya dalam memperoleh rangsangan visual itu, mereka merasa dunia mereka kecil dan sempit. Hal ini menimbulkan masalah-masalah yang kemudian menumbuhkan dampak psikologis dan tingkah laku yang negatif pada anak tunanetra.

Ramidjo (1998:4-5) dalam tulisannya yang berjudul “Ortopedagogik Ketunanetraan” mendaftarkan 3 dampak psikologis ketunanetraan yang menjadi karakteristik ketunanetraan sebagai berikut :

1. Perasaan curiga terhadap orang lain.

Perasaan curiga disebabkan karena keterbatasan rangsangan visual yang mengakibatkan anak tunanetra kurang mampu berorientasi dengan lingkungannya, sehingga kemampuan mobilitasnya terganggu. Dari pengalaman-pengalaman yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari, mereka sering menemukan hal-hal yang dapat menimbulkan perasaan kesal, marah, kecewa, tetapi ia tidak tahu kepada siapa perasaan tidak senang itu dapat ditumpahkan.


(52)

Perasaan-perasaan kecewa tersebut mendorong mereka untuk selalu berhati-hati terhadap situasi maupun kondisi setempat. Sikap berhati-hati-berhati-hati yang terlalu berlebihan akan berkembang menjadi sifat curiga terhadap orang lain. Untuk mengurangi perasaan-perasaan kecewa yang disebabkan oleh keterbatasan rangsangan visual, maka dikembangkan potensi yang masih ada misalnya dengan mempertajam indera pendengaran, indera perabaan, indera penciuman dan indera pengecapan.

2. Perasaan mudah tersinggung.

Perasaan ini pada anak tunanetra karena disebabkan oleh keterbatasannya rangsangan visual yang diterimanya serta peranan indera lain yang kurang baik. Hal tersebut didapat dari pengalaman sehari-hari misalnya, mendengar orang berbicara kepadanya dengan tekanan suara tertentu, singgungan fisik yang tidak disengaja oleh temannya dan sebagainya. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab perasaan mudah tersinggung. Untuk mengatasi hal ini diusahakan melalui pendidikan agama, olah raga dan kesenian yang bertujuan untuk membuat anak tunanetra merasa bahagia dalam hidupnya dan tidak selalu menyesali nasibnya karena kecacatannya.

3. Ketergantungan yang berlebihan dengan orang lain.

Sikap ketergantungan ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena ia belum sepenuhnya dapat mengatasi persoalan-persoalan dirinya dan kasih sayang yang berlebihan dari orang tua atau saudaranya dengan cara memberikan pertolongan-pertolongan yang berlebihan kepada anak tunanetra, sehingga ia tidak pernah berbuat sesuatu apapun untuk menolong dirinya


(53)

sendiri seperti mandi, makan dan minum, berpakaian, memakai sepatu dan sebagainya.

II.3.3 Dampak Ketunanetraan/Keterbatasan Dasar Anak Tunanetra

Adapun dampak ketunanetraan/keterbatasan dasar anak tunanetra adalah: 1. Perkembangan Bahasa.

Sebagian besar ahli percaya bahwa kekurangan penglihatan tidak merubah kemampuan seseorang untuk memahami dan menggunakan bahasa. Hanya sebagian kecil aspek komunikasi ditemukan adanya perbedaan, misalnya dalam hal “gesture” (mimik muka). Karena indera pendengaran lebih banyak digunakan daripada penglihatan dalam mempelajari bahasa, maka tidaklah mengherankan jika hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa anak tunanetra relatif tidak mengalami gangguan pada fungsi bahasanya. Anak tunanetra masih dapat mendengar bahasa dan bahkan mungkin lebih termotivasi untuk menggunakannya, karena ini merupakan cara utama yang dapat mereka lakukan untuk berkomunikasi dengan lingkungan.

2. Kemampuan Intelektual.

Hasil penelitian para ahli menunjukkan Intelegensia Quatient (IQ) anak tunanetra tidak secara mencolok lebih rendah daripada anak awas setelah diukur dengan menggunakan tes intelegensi verbal yang standar. Bagi anak buta total, kemampuan anak diukur dalam menggunakan indera perabaan (suatu kemampuan yang kelak akan dibutuhkan dalam membaca braille).


(54)

3. Kemampuan Konseptual.

Perkembangan kemampuan konseptual atau kognitif anak tunanetra tertinggal di belakang anak-anak awas. Anak tunanetra juga cenderung lebih miskin dalam mengerjakan tugas-tugas yang memerlukan pemikiran abstrak. Kekurangan tersebut bukan disebabkan karena sifat-sifat pembawaannya, tetapi karena kurangnya mendapatkan pengalaman-pengalaman pendidikan yang memadai.

4. Penyesuaian Sosial.

Akibat dari hilangnya atau terbatasnya daya penglihatan menyebabkan anak tunanetra menjadi pasif dan hilang keinginannya untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Keterbatasan-keterbatasan tersebut secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi proses belajar anak. Salah satu kesulitan anak tunanetra dalam menguasai keterampilan sosial tertentu misalnya bagaimana menampilkan ekspresi muka yang tepat (Ramidjo, 1998:7-9).

II.4 Konseling Individual

II.4.1 Pengertian Konseling Individual

Konseling adalah suatu hubungan antara seseorang dengan orang lain, dimana seorang berusaha keras untuk membantu orang lain agar memahami masalah dan dapat memecahkan masalahnya dalam rangka penyesuaian dirinya. Sedangkan Glen E. Smith mendefinisikan konseling yakni suatu proses dimana konselor membantu konseli (klien) agar ia dapat memahami dan menafsirkan fakta-fakta yang berhubungan dengan pemilihan perencanaan dan penyesuaian diri sesuai dengan kebutuhan individu (Willis, 2004:17).


(55)

Sementara itu, John McLeod (2003:16) menyatakan bahwa konseling adalah sebuah aktivitas yang muncul ketika seseorang yang bermasalah mengundang dan mengizinkan orang lain untuk memasuki hubungan tertentu di antara mereka.

Shertzer dan Stone dalam bukunya “Fundamental of Counseling” (Lubis, 2006:11) mengemukakan konseling ialah berhubungan dengan usaha untuk mempengaruhi perubahan sebahagian besar tingkah laku klien secara sukarela (klien ingin untuk mengubah perilakunya yang bermasalah dan mendapatkan bantuan dari konselor).

Milton E. Hahn mengartikan bahwa konseling adalah suatu proses yang terjadi dalam hubungan seorang dengan seorang yaitu individu yang mengalami masalah yang tak dapat diatasinya, dengan seorang petugas profesional yang telah memperoleh pelatihan dan pengalaman untuk membantu agar klien mampu memecahkan kesulitannya (Willis, 2004:18).

Selanjutnya, Burks dan Stefflre (1979) mengatakan bahwa konseling mengindikasikan hubungan profesional antara konselor terlatih dengan klien. Hubungan ini biasanya bersifat individu ke individu, walaupun terkadang melibatkan lebih dari satu orang. Konseling didesain untuk menolong klien untuk memahami dan menjelaskan pandangan mereka terhadap kehidupan, dan untuk membantu mencapai tujuan penentuan diri (self-determination) mereka melalui pilihan yang telah diinformasikan dengan baik serta bermakna bagi mereka, dan melalui pemecahan masalah emosional atau karakter interpersonal (McLeod, 2003:5).


(56)

Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa konseling individual merupakan salah satu teknik dalam pelayanan bimbingan dimana proses pemberitahuan bantuan itu berlangsung melalui wawancara dalam serangkaian pertemuan langsung dan tatap muka antara konselor dengan klien; dengan tujuan agar klien itu mampu memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap dirinya, mampu memecahkan masalah yang dihadapinya serta mampu mengarahkan dirinya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki ke arah perkembangan yang optimal, sehingga ia dapat mencapai kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan sosial.

II.4.2 Ciri-ciri Konseling Individual

Dalam Willis (2004:63-64), client-centered therapy sering juga disebut suatu metode yang dilakukan dengan cara berdialog antara konselor dengan klien, agar tercapai gambaran yang serasi antara ideal-self (diri klien) dengan actual self (diri klien sesuai kenyataan yang sebenarnya).

Ciri-ciri konseling individual ini adalah:

1. Ditujukan kepada klien yang sanggup memecahkan masalahnya agar tercapai kepribadian klien yang terpadu.

2. Sasaran konseling adalah aspek emosi dan perasaan (feeling), bukan segi intelektualnya.

3. Titik tolak konseling adalah keadaan individu termasuk kondisi sosial-psikologis masa kini dan bukan pengalaman masa lalu.

4. Proses konseling bertujuan untuk menyesuaikan antara ideal-self dengan actual-self.


(57)

5. Peranan yang aktif dalam konseling dipegang oleh klien, sedangkan konselor adalah pasif-reflektif, artinya tidak semata-mata diam dan pasif akan tetapi berusaha membantu agar klien aktif memecahkan masalahnya. Tujuan konseling adalah pengembangan kemampuan klien untuk mengatasi masalahnya, memiliki kemampuan untuk mencintai dan bekerja keras, melakukan sesuatu dengan rasa tanggung jawab dan percaya diri.

II.4.3 Tujuan Konseling Individual

Terapi terpusat pada klien yang dikembangkan oleh Carl R. Rogers pada tahun 1942 bertujuan untuk membina kepribadian klien secara integral, berdiri sendiri, dan mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah sendiri.

Kepribadian yang integral adalah struktur kepribadiannya tidak terpecah artinya sesuai antara gambaran diri yang ideal (ideal-self) dengan kenyataan diri yang sebenarnya (actual-self).

Kepribadian yang berdiri sendiri adalah yang mampu menentukan pilihan sendiri atas dasar tanggung jawab dan kemampuan. Tidak tergantung pada orang lain. Sebelum menentukan pilihan, tentu individu harus memahami dirinya sendiri (kekuatan dan kelemahan diri), dan kemudian keadaan diri tersebut harus ia terima.

Untuk mencapai tujuan itu diperlukan beberapa syarat yakni: 1. Kemampuan dan keterampilan teknik konselor.

2. Kesiapan klien untuk menerima bimbingan. 3. Taraf intelegensi klien yang memadai.


(58)

Secara umum dikatakan bahwa tujuan konseling harus mencapai :

a) Effective daily living, artinya setelah selesai proses konseling, klien harus dapat menjalani kehidupan sehari-harinya secara efektif dan berdaya guna untuk diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan Tuhannya;

b) Relationship with other, artinya klien mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain di keluarga, sekolah, kantor, masyarakat, dan sebagainya.

II.4.4 Proses Konseling Individual

Berikut ini adalah tahap-tahap konseling terapi terpusat pada klien, yakni:

1. Klien datang kepada konselor atas kemauan sendiri. Apabila klien datang atas suruhan orang lain, maka konselor harus mampu menciptakan situasi yang sangat bebas dan permisif dengan tujuan agar klien memilih apakah ia akan terus minta bantuan atau membatalkannya.

2. Situasi konseling sejak awal harus menjadi tanggung jawab klien, untuk itu konselor menyadarkan klien.

3. Konselor memberanikan klien agar ia mampu mengemukakan perasaannya. Konselor harus bersikap ramah, bersahabat, dan menerima klien sebagaimana adanya.

4. Konselor menerima perasaan klien serta memahaminya.

5. Konselor berusaha agar klien dapat memahami dan menerima keadaan dirinya.


(59)

6. Klien menentukan pilihan sikap dan tindakan yang akan diambil (perencanaan).

7. Klien merealisasikan pilihannya itu.

II.4.5 Teknik-teknik Konseling Individual

Penekanan masalah ini adalah dalam hal filosofis dan sikap konselor ketimbang teknik, dan mengutamakan hubungan konseling ketimbang perkataan dan perbuatan konselor. Karena itu dalam pelaksanaan teknik konseling diutamakan sifat-sifat konselor berikut:

1. Acceptance artinya konselor menerima klien sebagaimana adanya dengan segala masalahnya. Jadi sikap konselor adalah menerima secara netral.

2. Congruence artinya karakteristik konselor adalah terpadu, sesuai kata dengan perbuatan, dan konsisten.

3. Understanding artinya konselor harus dapat secara akurat memahami secara empati dunia klien sebagaimana dilihat dari dalam klien itu.

4. Nonjudgemental artinya tidak memberi penilaian terhadap klien, akan tetapi konselor selalu objektif.

Adapun penggunaan teknik-teknik itu seperti: (1) pertanyaan

(2) dorongan (3) interpretasi (4) sugesti


(60)

II.4.6 Karakteristik Hubungan Konseling Individual

Benjamin mengartikan hubungan konseling adalah interaksi antara seorang profesional dengan klien dengan syarat bahwa profesional itu mempunyai waktu, kemampuan untuk memahami dan mendengarkan serta mempunyai minat, pengetahuan, dan keterampilan (Willis, 2004:36).

Karakteristik hubungan konseling adalah sebagai berikut :

1. Hubungan konseling itu sifatnya bermakna, terutama bagi klien, demikian pula bagi konselor.

Hubungan konseling terjadi dalam suasana keakraban (intimate). 2. Bersifat afek.

Afek adalah perilaku-perilaku emosional, sikap dan kecenderungan-kecenderungan, yang didorong oleh emosi. Afek hadir karena adanya

keterbukaan diri (disclosure) klien, keterpikatan, keasyikan diri (self absorbed) dan saling sensitif satu sama lain.

3. Integrasi pribadi.

Terdapat ketulusan, kejujuran dan keutuhan antara konselor-klien. 4. Persetujuan bersama.

Ada komitmen (keterikatan) antara kedua belah pihak. 5. Kebutuhan.

Hubungan konseling akan berhasil bila klien datang atas dasar kebutuhannya. 6. Struktur.

Proses konseling (bantuan) terdapat struktur karena adanya keterlibatan konselor dan klien.


(61)

7. Kerjasama.

Jika klien bertahan (resisten) maka ia menolak dan tertutup terhadap konselor. Akibatnya, hubungan konseling akan macet. Begitu juga sebaliknya.

8. Konselor mudah didekati, klien merasa aman.

Faktor iman dan taqwa sangat mendukung terhadap kehidupan emosional konselor.

9. Perubahan.

Tujuan akhir dari hubungan konseling adalah perubahan positif dimana si klien menjadi lebih sadar dan memahami diri, mendapatkan cara-cara terbaik untuk berbuat/merencanakan kehidupannya menjadi lebih dewasa dan pribadinya terintegrasi. Perubahan internal dan ekternal terjadi di dalam sikap dan tindakan serta persepsi terhadap diri, orang lain dan dunia (Willis, 2004:41-44).

Ada beberapa hal yang perlu dipelihara dalam hubungan konseling yakni:

a) Kehangatan, artinya konselor membuat situasi hubungan konseling itu demikian hangat bergairah, bersemangat. Kehangatan disebabkan adanya rasa bersahabat, tidak formal, serta membangkitkan semangat dan rasa humor. b) Hubungan yang empati, yaitu konselor merasakan apa yang dirasakan klien,

dan memahami akan keadaan diri serta masalah yang dihadapinya.

c) Keterlibatan klien, yaitu terlihat klien sungguh-sungguh mengikuti proses konseling dengan jujur mengemukakan persoalannya, perasaannya, dan keinginannya. Selanjutnya dia bersemangat mengemukakan ide, alternatif dan upaya-upaya.


(62)

Dalam hubungan konseling pada prinsipnya ditekankan bagaimana konselor mengembangkan hubungan konseling yang rapport (akrab) dan dengan memanfaatkan komunikasi verbal dan non verbal. Rasa kebersamaan yang diciptakan konselor akan membuat jarak antara dia dengan klien menjadi dekat.

Keterlibatan klien dalam proses konseling ditentukan oleh faktor keterbukaan dirinya di hadapan konselor. Jika klien diliputi keengganan dan resistensi, maka dia tidak akan jujur mengeluarkan perasaannya.

II.5 Konsep Diri

II.5.1 Pengertian Konsep Diri

Menurut Dayakisni (2003:65), konsep diri adalah keyakinan yang dimiliki individu tentang atribut (ciri-ciri/sifat). Sedangkan Rakhmat (1989:112) menyatakan konsep diri adalah pandangan dan perasaan tentang diri kita.

Pearson et.al. (Tubbs,1996:42) berpendapat bahwa konsep diri adalah kesan yang relatif stabil mengenai diri sendiri, tidak hanya mencakup persepsi mengenai karakteristik fisik, melainkan juga penilaian diri mengenai apa yang pernah dicapai, yang sedang dijalani, dan apa yang ingin dicapai. Konsep diri tumbuh melalui umpan balik yang diterima dari orang-orang di sekitar kita. Konsep diri berkembang melalui hubungan dan interaksi dengan orang lain.

Menurut Carl R. Rogers, konsep diri adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku.


(63)

II.5.2 Teori Rogers/teori diri (Self Theory)

Teori Rogers atau teori diri adalah teori yang berpusat pada pribadi, yang ditemukan oleh Carl Ransom Rogers. Teori ini pada dasarnya memberikan tekanan yang kuat pada pengalaman-pengalaman sang pribadi, perasaan-perasaan, nilai-nilainya dan semua yang teringkas dalam ekspresi “kehidupan batin” (Hall, 1993:126). Rogers yakin bahwa dalam diri setiap orang terdapat potensi-potensi untuk menjadi sehat dan tumbuh secara kreatif.

Setiap manusia memiliki kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan, pengagungan dan cinta dari irang lain. Kebutuhan ini disebut need for positive regard. Rogers menggambarkan pribadi yang berfungsi seutuhnya adalah pribadi yang mengalami penghargaaan positif tanpa syarat. Ini berarti dia dihargai, dicintai karena nilai adanya diri sendiri sebagai individu, sehingga ia tidak bersifat defensif, namun cenderung untuk menerima diri dengan penuh kepercayaan.

Rogers memandang manusia sebagai bentuk-bentuk dari konsep dirinya (self concept) dan pengalaman di satu sisi dan interpretasinya tentang stimulus lingkungan pada sisi yang lain. Inilah tingkatan kongruensi antara faktor-faktor tersebut yang mempengaruhi perluasan aktualisasi diri yang terjadi.

Rogers beragumentasi bahwa perubahan-perubahan lama persepsi diri dan persepsi atas realitas menghasilkan perubahan yang serentak dalam perilaku dan hal itu memberikan kondisi psikologis tertentu bagi seseorang, sehingga mempunyai kapasitas untuk mereorganisasi bidang persepsinya. Termasuk bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri, sehingga menjadi individu yang lebih otonom, spontan dan percaya diri (Graham, 2005:92-93).


(64)

Selanjutnya teori ini banyak digunakan dalam hubungan konseling yang berpusat pada klien terapi (client-centered therapy). Ciri utama konseptualisasi dari proses terapeutik ini adalah bahwa apabila para klien mempersepsikan bahwa para ahli terapi memiliki “unconditional positive regard” (penghargaan positif tanpa syarat) terhadap mereka dan suatu pemahaman empatik terhadap kerangka acuan internal (internal frame of reference) mereka, maka proses perubahan mulai bergerak. Apabila keselarasan yang bulat tercapai, maka klien akan menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya (Hall, 1993:127-128).

Menurut Rogers, ada lima sifat khas seseorang yang berfungsi sepenuhnya (fully human being):

1. Keterbukaan pada pengalaman.

Orang yang berfungsi sepenuhnya adalah orang yang menerima semua pengalaman dengan fleksibel, sehingga selalu timbul persepsi baru. Dengan demikian, ia akan mengalami banyak emosi baik yang positif maupun yang negatif. Seseorang akan cenderung mencek pengalaman-pengalaman masa lalu yang dilambangkan dengan dunia sebagaimana adanya. Uji terhadap kenyataan ini memberikan orang pengetahuan yang dapat diandalkan tentang dunia, sehingga orang dapat bertingkah laku secara realistis.

2. Tidak adanya sikap defensif.

Kualitas dari kehidupan eksistensial dimana orang terbuka terhadap pengalamannya dan bersikap realistis, sehingga ia selalu menemukan sesuatu yang baru dan selalu berubah serta cenderung menyesuaikan diri sebagai respon atas pengalaman selanjutnya.


(65)

3. Kesadaran yang cermat.

Pengalaman akan menjadi hidup ketika seseorang membuka diri terhadap pengalaman itu sendiri. Dengan begitu ia akan bertingkah laku menurut apa yang dirasakannya benar (timbul seketika dan intuitif), sehingga ia dapat mempertimbangkan setiap segi dari suatu situasi dengan sangat baik.

4. Penghargaan diri tanpa syarat.

Keterbukaan diri terhadap pengalaman dan kepercayaan terhadap diri sendiri akan mendorong seseorang untuk memiliki kreativitas dengan ciri-ciri beringkah laku spontan, tidak defensif, berubah, bertumbuh dan berkembang sebagai respon atas stimulus-stimulus kehidupan yang beraneka ragam di sekitarnya.

Orang yang sehat secara psikologis dapat membuat suatu pilihan tanpa adanya paksaan atau rintangan antara alternatif pikiran dan tindakan. Orang yang bebas memiliki suatu perasaan yang berkuasa secara pribadi mengenai kehidupan dan percaya masa depan bergantung pada dirinya sendiri, tidak ada peristiwa di masa lampau, sehingga ia dapat melihat sangat banyak pilihan dalam kehidupannya dan merasa mampu melakukan apa saja yang ingin dilakukannya.

5. Hubungan yang harmonis dengan orang-orang lain.

Perubahan tingkah laku (self concept) akan mendorong seseorang berinteraksi atau menjalin hubungan dengan orang lain sebagai dasar pemenuhan akan kebutuhan atas pengakuan orang lain (Hall, 1993:128).


(1)

Rakhmat, Jalaluddin. 1989. Psikologi Komunikasi Edisi Revisi. Bandung : Remadja Karya CV

Ramidjo, Drs. 1998. Ortopedagodik Ketunanetraan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Soenarjo, Drs. 1995. Seri Ilmu Komunikasi-1 Himpunan Istilah Komunikasi Edisi Ketiga. Yogyakarta : Liberty

Tubbs, Stewart L., dan Moss Sylvia. 1996. Human Communication Prinsip-Prinsip Dasar Buku Pertama. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya --- 1996. Human Communication

Konteks-konteks Komunikasi Buku Kedua. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Willis, Sofyan. 2004. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta Yayasan Seri Amal. 2003. Buku Kenangan 50 Tahun SLB/A Karya Murni.


(2)

PEDOMAN WAWANCARA

(Dilaksanakan dengan teknik wawancara mendalam)

PERANAN KOMUNIKASI LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL DALAM MEMBENTUK KONSEP DIRI

(Studi Kasus Layanan Konseling Individual Dengan Konselor Pada Siswa/i Tunanetra Di Panti Asuhan SLB/A Karya Murni Medan Johor)

Oleh : Rotua S. Simanjorang (060922064)

Bagian I : DATA UMUM INFORMAN/KLIEN TUNANETRA

1. Nama

2. Nama panggilan 3. Umur

4. Jenis Kelamin

5. Anak ke ... dari ... bersaudara 6. Agama

7. Suku bangsa 8. Tingkatan kelas 9. Penyebab tunanetra

10.Usia dan tahun masuk SLB/A Karya Murni 11.Asal daerah

12.Pekerjaan ayah 13.Pekerjaan ibu 14.Pendidikan ayah 15.Pendidikan ibu 16.Hobi


(3)

Bagian II : KOMUNIKASI LAYANAN KONSELING INDIVIDUAL

1. Bagaimana keikutsertaan informan (klien tunanetra) untuk berkonseling, yang meliputi beberapa hal berikut :

a. Apakah klien tunanetra berminat untuk ikut serta atau melibatkan diri berkonseling dengan konselor.

b. Kapan saja jadwal berkonseling.

c. Siapa yang proaktif dalam layanan konseling itu – konselor atau klien tunanetra.

2. Bagaimana hubungan konseling, yang meliputi faktor-faktor berikut :

a. Bagaimana sikap konselor terhadap klien tunanetra - apakah kaku, tidak ramah, terbuka, bersahabat, ada hubungan empati, menerima klien apa adanya, dan sebagainya.

b. Bagaimana teknik-teknik komunikasi konseling yang dilakukan konselor terhadap klien tunanetra.

c. Bagaimana suasana sewaktu berkonseling – apakah tercipta suasana akrab, kebersamaan/intim, rilkes, kekeluargaan atau sebaliknya.

3. Bagaimana respon klien tunanetra terhadap konselor, yang ditandai dengan : a. Apakah bersungguh-sungguh mengikuti proses konseling.

b. Apakah klien tunanetra merasa nyaman, terbuka (tidak defensif), jujur, atau enggan (tertutup) terhadap konselor – termasuk ke dalam penilaian klien akan respon verbal maupun nonverbal si konselor.

c. Apakah klien tunanetra mau ikut berkonseling untuk jadwal/hari berikutnya.

d. Masalah apa saja yang biasanya menjadi fokus layanan konseling.

4. Bagaimana cara klien tunanetra dalam menyampaikan pesan kepada konselor, yang meliputi beberapa hal berikut :

a. Apakah klien kurang konsentrasi, terlalu bersemangat atau sebaliknya. b. Apakah klien bersikap resisten dan tidak mau berbagi terhadap hal-hal


(4)

5. Apakah klien dapat memahami isi pesan yang disampaikan oleh konselor. 6. Bagaimana bentuk solusi yang ditawarkan/diberikan oleh konselor dalam

mengatasi masalah yang dihadapai klien tunanetra.

Bagian III : PEMBENTUKAN KONSEP DIRI

1. Bagaimana kecenderungan perhatian konselor terhadap informan (klien tunanetra).

2. Bagaimana perasaan klien tunanetra terhadap orang-orang di bawah ini : a. konselor

b. guru pembimbing sekolah c. suster pengasuh panti asuhan d. karyawan panti asuhan e. teman sekolah

f. teman satu panti asuhan

3. Bagaimana perasaan informan (klien tunanetra) setelah terlibat dalam layanan konseling, yang meliputi dalam beberapa hal berikut :

a. Terbuka pada pengalaman – ditandai dengan berkurangnya perasaan cemas atau takut akan keadaan atau masalah yang sedang dihadapi.

b. Tidak bersikap defensif, yaitu ditandai dengan mau menerima keadaan diri apa adanya dan tidak menyalahkan dunia luar.

c. Memiliki kesadaran yang cermat, yakni adanya sikap percaya diri dan jujur serta memiliki pengharapan akan masa depan yang lebih baik.

d. Mampu menghargai diri tanpa syarat, maksudnya memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan diri untuk berprestasi dan berkarya lebih baik. e. Mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain.

4. Bagaimana sikap konselor bila klien tunanetra dapat mengatasi masalah yang dihadapinya atau ketika ada perubahan perilaku positif yang tampak pada diri klien tunanetra.


(5)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Jl. Dr. A. Sofyan No. 1 Telp. (061) 8217168

LEMBAR CATATAN BIMBINGAN SKRIPSI NAMA : Rotua Sinaga Simanjorang

NIM : 060922064

PEMBIMBING : Emilia Ramadhani, S.Sos

NO. TGL. PERTEMUAN

PEMBAHASAN PARAF PEMBIMBING

1. 2.

3. 4.

5.

6.

19 April 2008 2 Mei 2008

10 Juni 2008 14 Juni 2008

17 Juni 2008

20 Juni 2008

Acc. BAB I

Acc. Pedoman Wawancara dan BAB II segera direvisi

Acc. BAB II dan lanjut BAB III Acc. BAB III, siapkan Analisis dan Pembahasan

Acc. BAB IV, siapkan BAB V dan Abstraksi

- Acc. BAB V dan Abstraksi - Perbaiki Teknik Penulisan

Skripsi

- Siapkan Laporan Skripsi dalam format lengkap

Medan, 26 Juni 2008


(6)

BIODATA

A. PENELITI

Nama : Rotua Sinaga Simanjorang

NIM : 060922064

Tempat/Tanggal Lahir : Rantau Prapat/14 Mei 1983 Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Setia Budi Psr. II Gg. Sebayak No. 1 Tj. Sari Medan 20132

Telepon : 061- 8210423

Pendidikan : SD Panglima Polem R. Prapat, Tahun 1989-1995 SLTP Negeri 3 R. Prapat, Tahun 1995-1998 SMU Cahaya Medan, Tahun 1998-2001 STIE IBBI Medan, Tahun 2001-2002 Departemen Bahasa Inggris D-III USU Tahun 2002-2005

Departemen Ilmu Komunikasi S-1 Program Ekstensi FISIP USU, Tahun 2006-2008

B. ORANG TUA

Nama Ayah : dr. P. Sinaga Simanjorang Pekerjaan Ayah : Dokter Umum

Nama Ibu : H. Haloho

Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga

Alamat Ayah/Ibu : Jl. Urip Sumodiharjo No. 39 Rantau Prapat 21413


Dokumen yang terkait

Peranan Komunikasi Layanan Konseling Individual Dalam Membentuk Konsep Diri (Studi Kasus Layanan Konseling Individual Dengan Konselor Pada Siswa/i Tunanetra Di Panti Asuhan Karya Murni Medan Johor).

11 196 128

Peranan Komunikasi Antarpribadi Dalam Membentuk Konsep Diri (Studi Kasus Tentang Layanan Konseling Individual Konselor Terhadap Pembentukan Konsep Diri Siswa/i Tunarungu Di SLB – B Karya Murni Kota Medan)

2 50 111

Komunikasi Antar Pribadi Dan Pembentukan Konsep Diri (Studi Korelasional Pengaruh Komunikasi Antar Pribadi Pengurus Panti Asuhan Terhadap Pembentukan Konsep Diri Anak-Anak Panti Asuhan Yayasan Elida Medan)

6 53 121

Hubungan Intensitas Mengikuti Layanan Bimbingan Dan Konseling Dengan Misbehavior Pada Siswa Sekolah Menengah Di Pulau Bawean

1 8 56

Pemanfaatan Tekonologi Informasi (TI) Dalam Layanan Bimbingan Dan Konseling Sebagai Representasi Berkembangnya Budaya Profesional Konselor Dalam Melayani Siswa Sumarwiyah Edris Zamroni Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Muria Kudus sumarwiy

0 0 14

S trategi Layanan Bimbingan Dan Konseling Dalam Pengembangan Nilai

0 0 7

DAFTAR ISI - 13 Juknis Layanan Konseling

0 0 28

Komunikasi Interpersonal Siswa Pengguna Internet dan Implikasinya terhadap Layanan Bimbingan dan Konseling

0 2 7

Konsep Diri Remaja pada Masa Pubertas dan Implikasinya terhadap Layanan Bimbingan dan Konseling

0 1 7

Pengembangan Instrumen Evaluasi “Self Evaluation” dan “Peer Evaluation” Layanan Konseling Individual di Sekolah bagi K

0 3 8