BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tugas dan Wewenang Pengurus PKPU Berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan pembangunan nasional, pembangunan

  dunia usaha di Indonesia turut pula berkembang dengan pesat. Hal ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya pengusaha baik yang bertindak secara pribadi maupun bersama-sama mendirikan perusahaan dengan tujuan mencari keuntungan. Orang pribadi maupun perusahaan dalam menjalankan usahanya tentu memerlukan modal, baik berupa uang maupun barang-barang. Semakin besar usaha yang akan dijalankan tentu semakin besar pula modal yang diperlukan perusahaan. Untuk memenuhi kebutuhan akan modal tersebut, sering sekali mereka melakukan pinjaman kepada pemilik modal/kreditur. Orang/perusahaan yang menerima pinjaman dari pemilik modal/kreditur secara umum disebut dengan debitur.

  Saat menjalankan usaha kemungkinan debitur akan mengalami keuntungan atau kerugian. Jika debitur tersebut mengalami keuntungan tentu debitur tersebut dapat bertahan bahkan terus berkembang. Namun kenyataannya keadaan debitur tidaklah selalu dalam keadaan baik, sering sekali debitur mengalami kerugian atau kesulitan dibidang keuangan sehingga sulit untuk mempertahankan jalannya usaha dan tidak sanggup membayar utang-utangnya atau dapat dikategorikan bahwa

   perusahaan mengalami corporate failure jika debiturnya perusahaan. 1 Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2 (Jakarta : Sofmedia, 2010), hlm. 3. Pemberian pinjaman atau kredit yang diberikan kreditur kepada debitur dilakukan karena adanya kepercayaan bahwa debitur dapat mengembalikan pinjaman tersebut kepada kreditur sesuai kesepakatan. Karena itulah mengapa pinjaman dari seorang kreditur kepada seorang debitur disebut dengan kredit

   (credit) yang berasal dari kata creder yang berarti kepercayaan atau trust. Bagi

  debitur membayar utang kepada kreditur sesuai dengan kesepakatan para pihak sudah merupakan suatu kewajiban. Apabila kewajiaban membayar utang tersebut berjalan lancar maka tentu tidak akan ada masalah. Namun permasalahan akan timbul ketika debitur mengalami kesulitan untuk membayar utangnya sesuai kesepakatan. Dengan kata lain debitur berada dalam keadaan berhenti membayar utang yang tentunya akan menimbulkan kerugian bagi pihak kreditur.

  Debitur yang mengetahui bahwa keadaan keuangannya dalam kesulitan sehingga kemungkinan besar berhenti membayar utangnya, maka dapat memilih beberapa langkah dalam menyelesaikan utangnya tersebut, langkah-langkah yang dimaksud seperti mengadakan perdamaian diluar pengadilan dengan para kreditornya atau mengadakan perdamaian di dalam pengadilan apabila debitur tersebut digugat secara perdata. Debitur juga dapat mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) serta mengajukan perdamaian dalam PKPU. Langkah lain adalah dengan mengajukan permohonan agar dirinya

   dinyatakan pailit oleh pengadilan.

  2 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillissmentsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun1998 (Jakarta : Pustaka Utama Grafity,2002), hlm. 6. 3 ManS. Sastra Widjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 201. Berkaitan dengan alternatif pilihan-pilihan tersebut, debitur seyogianya memilih alternatif yang terbaik. Salah satu pilihan adalah mengajukan permohonan PKPU. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada Bab III tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 294.

  Berdasarkan Pasal 222 ayat 2 UU Kepailitan dan PKPU, debitur yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan pembayaran utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur. Istilah lain dari PKPU ini adalah suspension of payment atau

  

Surseance van Betaling, maksudnya adalah suatu masa yang diberikan oleh

  undang-undang melalui putusan hakim niaga di mana dalam masa tersebut kepada pihak kreditur dan debitur diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara- cara pembayaran hutangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian hutangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi

   hutangnya tersebut.

  Untuk memulihkan utang-utangnya kepada kreditur, langkah PKPU ini

  

  jelas relatif lebih baik dilakukan oleh debitur. Dalam PKPU debitur lepas dari 4 Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 15. 5 Bramantyo Djohan Putro, Resrtukturisasi Perusahaan Berbasis Nilai (Jakarta: PPM, 2004), hlm. 96.

  peristiwa kepailitan, dimana hal ini sangat ditakuti oleh para pengusaha karena dampaknya sangat luas baik terhadap karir debitur selaku pengurus perusahaan, maupun terhadap sekalian harta kebendaannya dan juga terhadap sekian banyak nasib karyawan dan relasi-relasinya yang mungkin untuk menghimpun dan membinanya memerlukan kerja keras dan waktu yang lama. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang harus diajukan oleh debitur sebelum adanya

   keputusan pernyataan pailit oleh putusan Pengadilan Niaga.

  Pemberesan harta debitur pailit berarti kepunahan baik dalam harta benda perusahaan maupun nama baik debitur walaupun nantinya ada langkah-langkah rehabilitasi disediakan oleh undang-undang. Melalui PKPU ini, selama batas waktu yang telah disepakati, pihak debitur dan pengurus tidak lagi direpoti oleh gangguan dari para kreditur yang menuntut pelunasan utang, karena semua masalah telah dijadwal atas hasil kesepakatan bersama dan keputusan perdamaian tersebut bersifat mengikat sehingga situasinya akan jauh berbeda pada saat debitur berada dalam kondisi sebelum PKPU dijalankan yang mana sewaktu-waktu pihak kreditur dapat mengganggu aktivitas kerja perusahaan bahkan sewaktu waktu

   dapat memohonkan debitur pailit.

  Berdasarkan Pasal 222 ayat 3 UU Kepailitan dan PKPU, pengajuan PKPU selain dilakukan oleh debitur, juga dapat dilakukan oleh kreditur yang memperkirakan bahwa debitur tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Hal ini menunjukan bahwa PKPU tidak dimaksud untuk kepentingan debitur saja tetapi juga untuk kepentingan para 6 7 Ibid., hlm. 202.

   Ibid . krediturnya, khususnya kreditur konkuren. Adapun tujuan daripada PKPU itu sendiri adalah sebagai berikut pertama, debitur mendapat waktu yang cukup untuk memperbaiki kesulitannya, dan akhirnya mampu membayar/melunasi utang-utangnya dikemudian hari; kedua, pihak kreditur dimungkinkan mendapat

   pembayaran piutangnya secara penuh sehingga tidak merugikannya.

  Penyelenggaraan PKPU merupakan suatu jalan untuk menghindari debitur dari proses kepailitan. Namun adakalanya PKPU yang diselenggarakan juga tidak berhasil hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang menjadi kendala, salah satunya faktor kurangnya kepercayaan dari kreditur-kreditur yang baru untuk memberi pinjaman guna kelanjutan usaha debitur, atau para kreditur baru bersedia memberikan pinjaman dengan persyaratan yang cukup memberatkan debitur, sehingga bukannya perbaikan perusahaan yang akan terjadi, malah sebaliknya. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang dimintakan oleh debitur maupun kreditur sebaiknya dilakukan dengan cukup hati-hati dan penuh ketelitian, karena sekali para pihak salah langkah dapat menyebabkan kehancuran pengelolaan harta kekayaan perusahaan debitur. Oleh sebab itu pemilihan terhadap pengurus PKPU yang berkualitas akan sangat menentukan arah atau langkah perusahaan selanjutnya.

  Pelaksanaan PKPU sangat di dukung oleh keterlibatan pengurus PKPU dalam mengurus asset kekayaan debitur, sehingga segala sesuatunya harus dapat penanganan yang teliti dari seorang atau beberapa pengurus PKPU yang ditunjuk dalam proses PKPU oleh pengadilan. Berhasil atau tidaknya proses PKPU sangat 8 Sunarmi, Op.Cit., hlm. 203. ditentukan oleh pengurus PKPU yang handal, yang mampu melaksanakan eksistensinya sebagai pengurus yang tidak memihak kepada salah satu pihak manapun. Kreditur maupun debitur harus patuh dan tunduk kepada kewenangan pengurus PKPU yang tentunya mempunyai batas-batas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan pengurus PKPU juga berdampak pada berhasil atau tidaknya tujuan dilakukannya PKPU, yaitu untuk mencegah kepailitan seorang debitur atau perusahaan yang tidak dapat membayar tetapi mungkin dapat membayar dimasa yang akan datang dalam jangka waktu yang

   disepakati bersama antara debitur dan kreditur.

  Seorang kurator dalam suatu kepailitan menggantikan posisi debitur yang pailit dalam melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya, tetapi seorang pengurus PKPU tidak menggantikan debitur. Karena pada prinsipnya yang satu tidak dapat bertindak tanpa yang lainnya, dalam PKPU pengurus bersama-sama

  

  dengan debitur melakukan pengurusan atas perusahaan atau aset debitur. Pada saat Putusan Hakim Pengadilan Niaga mengabulkan permohonan PKPU, pada saat itu juga diangkatlah satu atau lebih pengurus PKPU oleh hakim tersebut yang menyebabkan pembatasan ruang gerak debitur terhadap keleluasaannya mengurus dan mempergunakan harta kekayaannya, dimana ia tidak diperkenankan untuk mengelola usahanya tanpa kerjasama dengan pengurus PKPU.

  Pengurus PKPU harus secara terus menerus memantau usaha dari debitur. Segera setelah pengurus PKPU mengetahui adanya jumlah penghasilan tetap yang berkurang atau timbulnya biaya-biaya dari kelanjutan usaha diluar batas maksimal 9 10 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan (Malang: UMM Press, 2008), hlm. 190 Syamsudin Sinaga, Hukum Kepilitan Indonesia (Jakarta: Tatanusa, 2012), hlm. 276.

  yang diperkirakan maka pengurus PKPU harus segera menghentikan dan mengakhiri usaha perusahaan debitur tersebut. Ada pengecualian dimana pengurus PKPU oleh Undang-undang diberi hak untuk bertindak sendiri tanpa kerjasama dengan debitur, yakni jika debitur melanggar Pasal 240 UU Kepailitan dan PKPU tersebut maka pengurus PKPU memiliki kewenangan untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa harta debitur

   tidak dirugikan karena tindakan debitur tersebut.

  Secara ringkas dapat dikatakan bahwa debitur tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan terhadap harta debitur tanpa izin dari pengurus. Namun bagaimana hubungan kerjasama antara debitur dan pengurus dalam pengurusan harta, dan sejauh manakah kewenangan pengurus PKPU dalam pengurusan harta debitur yang diatur dalam UU Kepailitan dan PKPU. Hal inilah yang menarik untuk dikaji lebih jauh lagi, sehingga lebih jelas lagi batas-batas kewenangan serta sejauh mana peran masing-masing pihak dalam PKPU.

  Berdasarkan dari uraian di atas penulis ingin melakukan penelitian dalam bentuk skripsi untuk mengetahui bagaimana kerjasama antara debitur dan pengurus dalam melaksanakan pengurusan harta debitur dalam PKPU serta tugas dan wewenang pengurus PKPU sebagaimana yang diatur dalam UU Kepailitan dan PKPU, dengan judul: “Tugas Dan Wewenang Pengurus dalam PKPU Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang” 11 Kartini Muljadi, Hukum Kepailitan, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Kepailitan Dan PKPU (Bandung: Alumni, 2001), hlm. 260.

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengangkatan pengurus dalam PKPU? 2.

  Bagaimana hubungan pengurus dengan debitur dalam PKPU? 3. Bagaimana tugas dan kewenangan pengurus PKPU menurut Undang-Undang

  Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

  Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui bagaimana proses pengangkatan pengurus dalam PKPU.

  2. Untuk mengetahui seperti apa hubungan pengurus dengan debitur dalam PKPU.

  3. Memahami tugas dan kewenangan pengurus PKPU sesuai ketentuan dalam UU Kepailitan dan PKPU.

  Penelitian ini diharapkanakan memberikan manfaat/faedah bagi pihak- pihak baik secara teoritis maupun praktis, antara lain:

  1. Manfaat secara teoritis

  a. Memberikan sumbangan pemikiran berupa solusi-solusi hukum kepailitan terutama mengenai tugas dan kewenangan pengurus PKPU. b. Merupakan bahan untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan dasar maupun bahan perbandingan bagi penelitian yang lebih luas.

  2. Manfaat secara praktis

  a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi penegak hukum terutama dalam menyelesaikan masalah hukum yang berkenaan dengan hukum kepailitan dan PKPU.

  b. Memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah akan pentingnya mengkaji lebih dalam mengenai hukum kepailitan yang berhubungan dengan tugas dan kewenangan pengurus PKPU agar permasalahan seputar PKPU dapat ditanggulangi.

D. Keaslian Penulisan

  Penulisan skripsi ini didasarkan oleh ide, gagasan maupun pemikiran secara pribadi dari awal hingga akhir. Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh penulis di lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka diketahui bahwa belum pernah dilakukan penulisan yang serupa mengenai “Tugas dan Wewenang Pengurus Dalam PKPU Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaraan Utang”. Oleh karena itu penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini jelas dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, karena senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penulisan skripsi yang harus dijunjung tinggi bagi peneliti atau akademisi.

E. Tinjauan Pustaka

  Selain penyelesaian dengan permohonan pailit, suatu masalah utang piutang dapat pula diselesaikan melalui mekanisme yang disebut penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Diajukannya PKPU ini biasanya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi seluruh tawaran pembayaran dari seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren. Mekanisme seperti ini dilakukan oleh debitur yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang , dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian

   atau seluruh utang kepada kreditur.

  Istilah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atau disebut juga moratorium harus dibedakan dengan gagal bayar, karena gagal bayar secara esensial berarti bahwa seorang debitur tidak melakukan pembayaran utangnya. Gagal bayar terjadi apabila si peminjam tidak mampu untuk melaksanakan pembayaran sesuai dengan jadwal pembayaran yang disepakati baik atas bunga

   maupun atas utang pokok.

  Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah suatu masa yang diberikan oleh Hakim Pengadilan Niaga kepada debitur dan kreditur untuk menegosiasikan cara-cara pembayaran utang debitur, baik sebagian maupun seluruhnya termasuk apabila perlu merestrukturisasi utang tersebut. Diberikannya 12 13 Ibid., Sutan Remmy Syahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Fallisment Verordering,

  

Juncto Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Kepailitan (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2008), hlm. 328 kesempatan bagi debitur untuk menunda kewajiban pembayaran utang-utangnya, maka berkemungkinan bagi debitur untuk melanjutkan usahanya, aset-aset dan kekayaan akan tetap dapat dipertahankan debitur sehingga dapat memberi suatu jaminan bagi pelunasan utang-utang kepada seluruh kreditur, dan juga memberi kesempatan kepada debitur untuk merestrukturisasi utang-utangnya, sedangkan bagi kreditur, PKPU yang telah diberikan kepada debitur juga dimaksudkan agar kreditur memperoleh kepastian mengenai tagihannya, utang piutangnya akan

   dapat dilunasi oleh debitur.

  Menurut Munir Fuady, istilah lain dari PKPU ini adalah suspension of

  

payment atau Surseance van Betaling, maksudnya adalah suatu masa yang

  dinerikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga di mana dalam masa tersebut kepada pihak kreditur dan debitur diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran hutangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian hutangnya, termasuk apabila perlu untuk

   merestrukturisasi hutangnya tersebut.

  Selanjutnya menurut Fred BG Tumbuan pengajuan PKPU ini juga dalam rangka untuk menghindari kepailitan yang lazimnya bermuara dalam likuidasi harta kekayaan debitur. Khususnya dalam perusahaan, penundaan kewajiban pembayaran utang bertujuan memperbaiki keadaan ekonomi dan kemampuan

  14 Kartini Muljadi, dalam Lontoh dkk, Penyelesaian Utang Piutang : Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung : Alumni, 2001), hlm. 173 15 Munir Fuady, Op.,Cit. hlm. 15 debitur untuk membuat laba, maka dengan cara seperti ini kemungkinan besar

   debitur dapat melunasi kewajibannya.

  Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan pengunduran pembayaran utang yang sudah jatuh tempo. Permohonan PKPU dapat diajukan oleh debitur maupun krediturnya. Pengajuan permohonan PKPU harus mempunyai lebih dari satu orang kreditur dimana salah satu utangnya sudah jatuh tempo. Pembuktian yang dilakukan dalam proses PKPU adalah bersifat sederhana baik terhadap para krediturnya maupun utang-utangnya yang dapat dibuktikan dengan suatu surat perjanjaian yang telah dibuat antara debitur dengan krediturnya. Apabila debitur adalah perseroan terbatas maka permohonan PKPU atas prakarsanya sendiri (direksi) hanya dapat diajukan setelah mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dengan quorum kehadiran dan sahnya keputusan sama dengan yang diperlukan untuk mengajukan

  

  permohonan pernyataan pailit. Debitur dalam perseroan terbatas adalah direksi yang merupakan salah satu organ perseroan terbatas disamping RUPS dan komisaris.

  Dalam hal permohonan diajukan oleh debitur, pengadilan dalam waktu paling lambat 3 (tiga hari) sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan harus mengabulkan PKPU Sementara dan harus menunjuk seorang hakim pengawas dari hakim pengadilan, serta mengangkat satu atau lebih pengurus PKPU yang

  

  bersama dengan debitur mengurus harta debitur. Bila permohonan diajukan oleh 16 Fred B.G. Tumbuan ,Hukum Kepailitan, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang , (Bandung:Alumni,2001), hlm. 50. 17 18 Rahayu Hartini,Op,Cit., hlm. 191.

  Sunarmi, Op.Cit., hlm. 203 kreditur, pengadilan dalam waktu paling lambat 20 (duapuluh) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan harus mengabulkan permohonan PKPU Sementara, dan harus menunjuk hakim pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat satu atau lebih pengurus PKPU yang bersama debitur mengurus harta

   debitur.

  Segera setelah PKPU Sementara diucapkan, maka pengadilan melalui pengurus wajib memanggil debitur dan kreditur yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir untuk menghadap dalam sidang yang ditentukan paling lama pada harike 45 (empat puluh lima), terhitung sejak putusan PKPU Sementara diucapkan. Apabila debitur tidak hadir dan sidang PKPU Sementara berakhir maka pengadilan wajib menyatakan debitur pailit dalam sidang yang sama (Pasal

  

  225UU No. 37 tahun 2004), tetapi jika debitur menghadiri sidang tersebut dan juga mengajukan rencana perdamaian bagi para krediturnya, maka hakim pengadilan niaga menerima permohonan PKPU Tetap dengan jangka waktu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari, terhitung sejak permohonan PKPU sementara diterima.

  PKPU akan membawa akibat hukum terhadap segala kekayaan debitur, dimana selama berlangsungnya PKPU, debitur tidak dapat dipaksakan untuk membayar utang- utangnya, dan semua tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk memperoleh pelunasan utang harus ditangguhkan. Selama PKPU berlangsung debitur tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau

  19 20 Ibid., Ibid. , hlm. 204

  

  kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya. Dalam proses PKPU tersebut maka dipilihlah pengurus yang berhak untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa harta debitur tidak dirugikan karena tindakan debitur itu sendiri

F. Metode Penelitian Kata metode berasal dari kata Yunani methods yang berarti cara atau jalan.

  Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang

  

  bersangkutan. Untuk memenuhi kriteria penulisan yang bersifat ilmiah, maka harus didukung dengan metode yang bersifat ilmiah pula, yaitu berpikir yang

   obyektif, dan hasilnya harus dapat dibuktikan dan di uji secara benar.

  Penelitian ilmiah itu sendiri ialah suatu proses penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir yang logis dan dengan menggabungkan metode yang juga ilmiah karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian. Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah. Selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran dan dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan dalam Bab I Pendahuluan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis. Metodologi merupakan suatu logika yang menjadi dasar 21 22 Rahayu Hartini, Op.Cit., hlm. 211.

  Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta, PT. Gramedia, 1997), hlm. 6m 23 Ibid. suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya pada saat melakukan penelitian seseorang

   harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.

  Pada penelitian hukum ini, peneliti menjadikan bidang ilmu hukum sebagai landasan ilmu pengetahuan induknya, oleh karena itu maka penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum. Menurut Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari

   satu atau segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.

  1. Spesifikasi penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang memusatkan pada analisis hukum baik hukum yang tertulis dalam buku (law in books) maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui putusan pengadilan (law is decided

  

by the judge through the judicial process ).

  Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat individu suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu. Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaannya serta menganalisis fakta secara cermat tentang tugas dan kewenangan pengurus dalam PKPU. Adapun pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis, yang merupakan pendekatan yang mengkonsepsikan hukum sebagai norma, kaidah 24 Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 9. 25 26 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 43.

  Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Gratifi Press, 2006), hlm.118. maupun azas dengan tahapan berupa studi kepustakaan dengan pendekatan dari berbagai literatur. Metode penelitian juga menggabungkan dengan studi kepustakaan (libraly research ) dengan menggunakan media literatur yang ada maupun jurnal ilmiah elektronik lainnya seperti internet dan tinjauan yuridis.

  2. Sumber data Sumber data penelitian ini adalah data sekunder, dapat dibedakan menjadi bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder juga bahan hukum tertier.

  a.

  Bahan hukum primer Bahan hukum primer merupakan suatu bahan hukum yang mempunyai sifat authoritative yang berarti memiliki otoritas. Bahan hukum ini terdiri dari peraturan perundang-undangan diantaranya adalah, catatan-catatan resmi maupun risalah dalam pembuatan undang-undang.

  b.

  Bahan hukum sekunder Yaitu berupa bahan hukum yang merupakan publikasi hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi meliputi buku-buku teks, dan jurnal.

  Bahan hukum sekunder yang paling utama adalah buku teks karena berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan para sarjana yang memiliki kualitas keilmuan.

  c.

  Bahan hukum tersier Bahan hukum penunjang, pada dasarnya mencakup pertama, bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang telah dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. Contohnya, adalah misalnya, abstrak perundang undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum dan seterusnya, dan kedua bahan-bahan primer, sekunder dan penunjang (tersier) di luar bidang hukum, misalnya, yang berasal dari bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat dan lain sebagainya, yang oleh para peneliti hukum dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitiannya.

  3. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini ialah studi kepustakaan, yaitu suatu teknik yang dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur, tulisan, maupun putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini.

  Pengumpulan data-data tersebut dilakukan dengan penelitian kepustakaan.

  4. Analisa data Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan Pasal-pasal kedalam kategori- kategori atas pengertian dasar dari system hukum tersebut. Data yang berasal dari studi kepustakaan kemudian dianalisis berdasarkan metode kualitatif dengan melakukan: a.

  Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara melakukan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut. b.

  Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis, dalam hal ini ialah yang berhubungan dengan tugas dan kewenangan pengurus PKPU.

  c.

  Menemukan hubungan antara berbagai peraturan atau kategori dan kemudian diolah.

  d.

  Menjelaskan dan menguraikan hubungan antara berbagai kategori atau peraturan perundang-undangan kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan serta kesimpulan atas permasalahan.

G. Sistematika Penulisan

  Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Secara terperinci materi pembahasan keseluruhan dibagi dalam 5 bab yakni sebagai berikut:

  BAB I PENDAHULUAN Terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penuliasan, dan sistematika penulisan

  BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU

  Bab ini berisi tentang bagaimana prosedur permohonan PKPU, pihak-pihak yang terdapat dalam PKPU, dan proses pengangkatan pengurus dalam PKPU

  BAB III HUBUNGAN PENGURUS DENGAN DEBITUR DALAM PKPU Bab ini menjelaskan tentang akibat hukum PKPU, kedudukan pengurus dalam PKPU, dan menjelaskan bagaimana hubungan pengurus dengan debitur dalam PKPU.

  BAB IV TUGAS DAN WEWENANG PENGURUS BERDASARKAN UU NO. 37 TAHUN 2004 Bab ini berisikan tentang tugas dan kewenangan pengurus serta pertanggungjawabannya, peran pengurus dalam rencana perdamaian, dan pengakhiran PKPU yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiaban Pembayaran Utang.

  BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisikan kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan saran-saran yang mungkin berguna bagi pelaksanan tugas dari pengurus PKPU.

Dokumen yang terkait

Tugas dan Wewenang Pengurus PKPU Berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

10 159 93

Kewenanangan Pengurus Terhadap Harta Kekayaan Perusahaan Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

2 29 141

Analisis Yuridis Permohonan Pernyataan Pailit Terhadap Bank Oleh Bank Indonesia Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

3 72 165

Kewenangan Kreditur Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan)

2 52 135

Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Harta Warisan Ditinjau Dari Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

24 183 81

Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Terhadap Perjanjian Sewa Menyewa Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004

13 163 123

Penetapan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Tetap Oleh Pengadilan Niaga Terkait Adanya Kreditor Separatis Menuurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 (Studi Putusan Nomor 134K/Pdt. Sus-/PKPU/2014)

5 99 90

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pembebanan Harta Pailit Dengan Gadai Dalam Pengurusan Harta Pailit Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaankewajiban Pembayaran Utang

0 0 15

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU A. Prosedur Permohonan PKPU - Tugas dan Wewenang Pengurus PKPU Berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

0 0 29