apakah Ilmu hukum adalah ilmu

Ilmu hukum adalah “SUI GENERIS”
Berhubungan dengan tulisan sebelumnya tentang Etnografi, maka dianggap perlu adanya suatu
tulisan yang menekankan pada metode penelitian hukum. Metode penelitian hukum bertumpu
pada metode doktinal dalam kajian hukum positif, penggunaan metode diluar hukum “metode
empiris” –salah satunya etnografi yg pernah di bahasa dalam blog ini- dapat digunakan selama
diperlukan. Penggunaan metode dalam prespektif yang berbeda harus dijelasakan dan
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Positivisme yang dirintis A. Comte menyatakan bahwa hukum berkembang melalui tiga tahap
(law of the three stages) yakni tahap teologis, tahap metafisi dan tahap positif. Positivisme
memiliki lima asumsi dasar yaitu: (i) Asumsi pertama adalah logika empirisme. Dalam konteks
ini, positivisme menyakini bahwa setiap kebenaran harus melewati pembuktian secara empiris;
(ii) Asumsi kedua adalah realitas objektif. Realitas dalam positivisme adalah segala sesuatu yang
berobjek kajian tunggal; (iii) Asumsi ketiga adalah reduksionisme. Sesuatu yang tidak dapat
direduksi dipandang bukan objek kajian ilmiah; (iv) Asumsi keempat adalah determinisme.
Sesuatu bersifat determinan apabila tunduk pada hukum sebab-akibat (kausalitas); (v) Asumsi
kelima adalah bebas nilai. (Shidarta, Positivisme hukum, 2007, hlm. 2-3).
Pemikiran A. Comte ini melandasi aliran Postivisme Logis. Postifisme Logis, merupakan suatu
aliran yang menguat pada abad ke-20 melalui komunitas yang menamakan dirinya dengan
Lingkaran Wina (Der Wiener Kries). (Shidarta, Positivisme Hukum, 2007, hlm. 4) Aliran ini
beranggotakan sejumlah ilmuan dan filsuf diantaranya yang Morits Schlick, Rudolf Carnap,
Philipp Frank, Viktor Kraft, Herbert Feigl dan Friedrich Waismann (Bernard Arief Sidharta,

Refleksi Struktur Ilmu Hukum, 2009, hlm. 85). Dari pertemuan ini diterbitkan sebuah risalah
yang berjudul “Wisseinschaftliche Weltauffasung. Der Wiener Kreis”. Adapun aliran ini memiliki
pandangan, sebagai berikut:
1. Hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan yang sah dan pengetahuan ilmiah itu
harus bersifat empiris, artinya hanya kenyataan yang dapat diobserfasi pancaindera yang
dapat menjadi objek ilmu.
2. Terdapatnya asas verifikasi, yakni putusan ilmiah adalah benar hanya jika putusan itu
dapat diferifikasi secara empiris, yaitu dapat diuji pada kenyataan yang dapat diobservasi.
3. Positivisme adalah aliran yang menyakinkan bahwa pengetahuan manusia bersifat
objektif, yang diperoleh melalui penyidikan empirik dan rasional.
4. Menolak proposisi-proposis metafisis yang menonjol pada abab pertengahan.
5. Positifisme logis berpegang pada empat asas (1) Empiris, (2) Postivisme, (3) Logika, (4)
Kritik Ilmu.

Aliran Postivisme Logis tersebut memiliki dampak terhadap perkembangan ilmu hukum, antara
laian metode di dalam ilmu hukum. Metode yang terdapat pada postivisme lagis memiliki ciri
sebagai berikut:


Metode untuk memperoleh pengetahuan ilmiah adalah metode empirik.




Menggunakan merode induksi yakni cara memperoleh pengetahuan dengan jalan bertolak
dari (sejumlah) data terberi khusus lewat generalisasi sampai pada putusan atau dalil
umum.



Berdasarkan fakta yang terobservasi menarik kesimpulan umum dan kemudian dengan
menggunakan bahasa yang secara logika konsisten mengkonstuksikan teori ilmiah
berkenaan dengan objek yang diteliti.



Produknya berupa teori ilmiah sekaligus juga merupakan hipotesa yang dapat diuji
kembali.

Dengan demikian Positivisme Logis yang dari dimensi keilmuan dipandang sangat
mempengaruhi positivisme hukum yakni adanya penggunaan pendekatan empiris. Secara

terperinci, dampak dari dari pemikiran postivisme terhadap metode penelitian hukum, yaitu:
(Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, 2007, hlm. 88-89)


berkembangnya ilmu hukum dengan menggunakan format ilmu sosial yang mengunakan
metode empiris.



Beberapa ilmuan hukum merasa lebih percaya diri apabila menggunakan pendekatan
sosial empiris.



Penggunaan format metode empiris dinilai lebih ilmiah karena dapat dikuantifikasi dan
digunaknnya rumus-rumus ilmu pasti (ilmu eksakta) untuk menjamin pembuktian ilmiah
dari segi empiris.

Padahal dalam kenyataannya, positivisme hukum justru menunjukkan pola berpikir yang
bertolak belakang sama sekali, yaitu dengan menggunakan logika deduktif atau pendekatan

doktrinal bersumber kepada norma positif dalam sistem perundang-undangan yang dipandang
benar secara self evident. (Shidarta, Positivisme Hukum, 2007, hlm. 7). Ilmu hukum adalah “SUI
GENERIS” yang berarti ilmu hukum merupakan ilmu yang jenis sendiri. Ilmu hukum memiliki
cara kerja yang khas dan sistem ilmiah yang berbeda karena memiliki obyek kajian yang
berbeda.
Ilmu Hukum memiliki Tatanan/lapisan Ilmu sendiri, menurut T Gijssels, terdiri dari Filsafat
Hukum, Teori Hukum dan Dogmatik Ilmu Hukum. Secara singkat perngertian ketiganya adalah
dogmatik hukum Studi secara ilmiah tentang hukum pada tataran ilmu-ilmu positif. Teori hukum
Studi yang obyek telaahnya adalah tatanan hukum sebagai suatu sistem. Dan, filsafat hukum
Studi yang objek telaahnya adalah hukum sebagai demikian (law as such). (B. Arief Sidharta,
Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum,

2008, hlm. vii). Dogmatik hukum merupakan cabang disiplin hukum yang paling konkret,
sedangkan filsafat hukum berada pada tataran paling abstrak. Oleh karena jarak di anatara
keduanya sangat lebar, maka diperlukan cabang disiplin hukum yang mampu menjebatani
keduannya, yakni teori hukum. (Shidarta, Pemetaan Aliran-aliran Pemikiran Hukum dan
Konsekwensi Metodologisnya, 2009, hlm. 156)
Karakter “SUI GENERIS” menunjukan bahwa dalam ilmu hukum jangan pernah -tidak dapatmenyampingkan karateristik normatifnya, yakni pada saat ilmu hukum memiliki sifat empiris
anatilisnya. Keberadaan sifat empiris analitisnya karena Ilmu hukum merupakan “Ilmu Praktis
yang bersifat normologis”. Ilmu Praktis Nomologis, berusaha memperoleh pengetahuan faktualempiris. Yakni pengetahuan tentang hubungan yang ajeg yang berlaku antara dua hal atau lebih

berdasarkan asas kausalitas deterministik. Contoh: Jika A (ada atau terjadi), maka B (ada atau
terjadi). Selain itu, Ilmu Praktis Normologis disebut ilmu normatif, berusaha menemukan
hubungan antara dua hal atau lebih berdasarkan asas imputasi. Asas Imputasi adalah (menautkan
tanggungjawab/kewajiban) untuk menetapkan apa yang seharusnya menjadi kewajiban subyek
tertentu dalam situasi konkrit tertentu, sehubungan tela terjadi perbuatan atau pristiwa atau
keadaan tertentu, namum dalam kenyataan apa yang seharusnya terjadi tidak niscahaya dengan
sedirinya terjadi. Contoh: Jika A (terjadi atau ada) maka seyogyanya B (terjadi). Ilmu hukum
mengarah pada refleksi pemecahan masalah-masalah konkrit dalam masyarakat. Berbeda dari
hakikat ilmu hukum empiris sebagai bagian dari ilmu sosial yang dipelajari untuk meramalkan
proses sosial. (Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, 2007, hlm. 50)
Dari penjelasan tersebut berarti, terdapat perbedaan ilmu hukum normatif dengan dengan ilmu
hukum empris yang merupakan ilmu sosial. Ilmu hukum normatif merupakan ilmu praktis,
mengubah keadaan serta menawarkan penyelesaian terhadap problem masyarakat. Ilmu hukum
memiliki karatersitik yang khas yang berbeda dengan ilmu lainnya.
Oleh karena itu, Konsekwensi terhadap metode penelitian hukum yakni (Johnny Ibrahim, Teori
& Metodologi Penelitian Hukum Normatif, 2007, hlm. 161-163): pertama, dalam melakukan
penelitian hukum yang digunakan metode normatif, yakni metode doktrinal dengan optik
preskriptif untuk menemukan hukum secara hermeneutis. Kaedah tersebut menentukan apa yang
menjadi kewajiban dan hak yuridis dari subyek hukum. Kedua, Metode penelitian hukum
bertumpu pada metode doktinal dalam kajian hukum positif, penggunaan metode diluar hukum

“metode empiris” dapat digunakan selama diperlukan. Penggunaan metode dalam prespektif
yang berbeda harus dijelasakan dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah.