Green marketing dan Green Consumer Behavior di Indonesia jurnal

Portofolio Volume 12 Nomor 1 Mei 2015, 88 – 106

ISSN : 1829 - 7188

GREEN MARKETING DAN GREEN CONSUMER BEHAVIOR DI
INDONESIA:
SEBUAH STUDI LITERATUR
Tania Adialita
Fakultas Ekonomi, Universitas Jenderal Achmad Yani
tania.adialita@lecture.unjani.ac.id

ABSTRACT
World population growth, including in Indonesia, influence the rise of consumer's
demand on goods or products. However, the enhancement of consumer's demand
inadequately followed by the availability of natural resources. Hence, the
awareness of environmental issues may encourage several producers or companies
in doing their activities, mainly in green marketing, which will be able to support
environmental sustainability. This activity is also in line with the rise of consumers'
awareness on environmental issues. However, how far the green marketing has
been done? And how aware consumers of their role in improving and preserve
ecological sustainability? This study portrays the development of green marketing

movement also green consumer behavior, particularly in Indonesia. This study also
reveals the development of green marketing and green consumer behavior in
United States, Japan, and China to provide necessary comparison toward
Indonesia. Finding from this study is purposed as information which can be used
to address and improve current green marketing strategy to create environmental
sustainability in the future.
Keywords: green marketing, green consumer behavior, environment sustainability
ABSTRAK
Seiring dengan pertumbuhan penduduk di dunia, termasuk di Indonesia, tuntutan
permintaan akan produk pun semakin meningkat. Namun, pertumbuhan permintaan
tersebut tidak sejalan dengan sumber daya alam yang tersedia sehingga
keberlangsungan lingkungan terancam. Kesadaran akan isu lingkungan telah
mendorong beberapa produsen di beberapa negara melakukan aktivitas pemasaran
(green marketing) yang ramah lingkungan guna menjaga keberlangsungan
lingkungan (environmental sustainability). Hal ini pun sejalan dengan semakin
sadarnya konsumen akan perilaku konsumsi mereka yang dapat mempengaruhi
keberlangsungan lingkungan. Tetapi sejauh mana aktivitas pemasaran sudah
dilakukan? Dan seberapa sadar konsumen akan pentingnya peranan mereka dalam
menjaga lingkungan, terutama di Indonesia? Studi ini menggambarkan
perkembangan green marketing dan green consumer behavior di Indonesia dan

beberapa negara lainnya seperti Amerika, Jepang dan China sebagai pembanding,
guna memberikan informasi untuk dapat digunakan dalam memperbaiki strategi
pemasaran hijau yang sudah dilakukan dalam rangka mendukung keberlangsungan
lingkungan di masa yang akan datang.
Kata kunci: green marketing, green consumer behavior, environment sustainability
PENDAHULUAN
Pertumbuhan populasi penduduk yang cenderung meningkat menyebabkan
permintaan akan produk-produk yang dapat memenuhi kebutuhan manusia pun

88

Green Marketing Dan Green Consumer Behavior Di Indonesia: Sebuah Studi Literatur


terus meningkat. Tetapi, meningkatnya permintaan produk tersebut tidak sejalan
dengan ketersediaan bahan baku, seperti ketersediaan minyak bumi untuk bahan
bakar atau ketersediaan hutan untuk memenuhi kebutuhan kayu. Masalah lain pun
timbul seperti masalah kerusakan lingkungan dikarenakan limbah industri, limbah
konsumsi, kebakaran hutan, dan masalah lingkungan lainnya. Hal tersebut
menimbulkan kekhawatiran dalam benak konsumen dan menyebabkan pola

konsumsi yang cenderung berubah. Mayoritas konsumen telah menyadari
bahwasanya pola konsumsi mereka dapat menimbulkan dampak langsung terhadap
banyak sekali masalah lingkungan. Sehingga mereka menerapkan kesadaran
tersebut pada pola konsumsi mereka dengan mempertimbangkan isu lingkungan
dalam berbelanja, seperti memperhatikan apakah kemasan suatu produk dapat
didaur ulang atau tidak (M. Laroche et al., 2001). Situasi tersebut merupakan
tantangan bagi pemasar untuk dapat memenuhi permintaan yang terus meningkat
dengan tetap bertanggung jawab secara sosial dan bertanggung jawab secara
lingkungan, yakni tetap menjaga keberlangsungan atau kelestarian lingkungan
(environmental sustainability) (Istantia, Kumadi, & Hidayat, 2016; Nair & Maram,
2015). Beberapa produsen pun mengganti strategi produksi dengan menggunakan
bahan baku produksi yang aman bagi lingkungan dan menimbulkan fenomena baru
dalam dunia pemasaran yang disebut green marketing atau pemasaran yang ramah
lingkungan (Agustin, Kumadji, & Yulianto, 2015). Green marketing mengacu
kepada pemasaran holistik dimana aktivitas pemasaran memanfaatkan sumber daya
yang terbatas (Anika, 2014), diterapkan perusahaan dan akan memberikan
dorongan kepada konsumen yang selektif dalam pembelian produk sehingga
produk yang dihasilkan perusahaan yang menerapkan konsep tersebut akan lebih
banyak dicari dan disukai oleh konsumen (Agustin et al., 2015). Di Indonesia,
kesadaran terhadap lingkungan semakin meningkat, dapat dilihat dari tumbuhnya

gerakan seperti hari bumi (earth day), pergi bekerja menggunakan sepeda (bike to
work), hari bebas kendaraan (car free day) dan beberapa gerakan yang mendukung
kegiatan pelestarian lingkungan maupun gerakan gaya hidup lebih sehat. Dengan
didukung oleh pendidikan terhadap lingkungan yang semakin membaik, serta
meningkatnya daya beli, Indonesia dapat menjadi pasar potensial bagi pemasar
yang ingin menerapkan konsep green marketing. Tetapi, walaupun Indonesia
seperti juga beberapa negara Asia lainnya memiliki potensi, informasi mengenai
perilaku konsumen hijau (green consumer behavior) masih relatif sedikit
dibandingkan dengan di negara-negara maju yang sudah lebih dulu memulai
gerakan peduli lingkungan (Lee, 2014).
Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini hendak mengumpulkan
informasi dari beberapa literatur untuk membahas green consumer behavior
khususnya di Indonesia dan praktik green marketing yang sesuai dengan perilaku
yang khas dari Indonesia, diantaranya: Bagaimana perkembangan Green Consumer
Behavior di Asia, khususnya di Indonesia dan strategi Green Marketing apa saja
yang sudah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen hijau (green
consumer) di Asia, khususnya di Indonesia? Informasi tersebut ditujukan untuk
mengetahui perkembangan Green Consumer Behavior di Asia, khususnya di
Indonesia berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dan untuk
mengetahui strategi-strategi pemasaran hijau (green marketing) yang telah

dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen hijau (green consumer)
di Asia, khususnya di Indonesia. Informasi tersebut merupakan sumbangan

89

Portofolio Volume 12 Nomor 1 Mei 2015, 88 – 106

ISSN : 1829 - 7188

informasi untuk mahasiswa jurusan manajemen pemasaran mengenai
perkembangan konsep pemasaran yang berbasis lingkungan (green marketing)
serta informasi mengenai perubahan perilaku konsumen yang sudah mulai peduli
atas dampak pola konsumsi terhadap lingkungan (green consumer behavior) di
Asia, khususnya di Indonesia sehingga dapat memberikan bahan pertimbangan
untuk menentukan strategi pemasaran di kemudian hari yang tidak hanya
menguntungkan secara bisnis tetapi juga mendukung keberlangsungan lingkungan
(environmental sustainability).
Keberlangsungan Lingkungan (Environmental sustainability)
John Morelli dari Rochester Institute of Technology, mendefinisikan bahwa
“environmental sustainability could be defined as a condition of balance,

resilience, and interconnectedness that allows human society to satisfy its needs
while neither exceeding the capacity of its supporting ecosystems to continue to
regenerate the services necessary to meet those needs nor by our actions
diminishing biological diversity” (Morelli, 2011). Artinya, keberlangsungan
lingkungan adalah kondisi keseimbangan, ketahanan, dan keterkaitan yang
memberikan keleluasaan pada manusia untuk memenuhi kebutuhan mereka tanpa
melebihi kapasitas ekosistem pendukung agar dapat terus memenuhi kebutuhannya
tanpa memusnahkan keragaman hayati. Proses pemenuhan kebutuhan manusia
tersebut tidak terlepas dari aktivitas belanja atau beli membeli. Dan produsen yang
menyadari akan keberlangsungan akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan
individu (konsumen) untuk waktu yang lama. Hal ini berarti mendesain dan
memasarkan produk yang dapat digunakan oleh konsumen secara universal di
seluruh dunia tanpa membahayakan baik konsumen maupun lingkungan
(sustainable marketing) (Nandini, 2016). Pride dan Ferrell (1993) dalam (Nandini,
2016) mengungkapkan bahwa sustainable marketing juga dikenal sebagai
environmental marketing atau green marketing, dan artikel ini akan menggunakan
istilah green marketing yang mengacu pada aktivitas pemasaran yang tidak
membahayakan lingkungan atau secara luas menjaga keberlangsungan lingkungan
(environmental sustainability).
Pemasaran Hijau (Green Marketing)

American Marketing Assosiation (AMA) mendefinisikan bahwa “green
marketing is the marketing of products that are presumed to be environmentally
safe. This green marketing incorporates a broad range of activities, including
product modification, changes to the productions process, packaging, changes, as
well as modifying advertising”(Istantia et al., 2016). Maksudnya, green marketing
atau pemasaran hijau merupakan pemasaran yang memasarkan produk yang
dianggap aman bagi lingkungan. Hal tersebut meliputi beberapa hal seperti
modifikasi produk, perubahan proses produksi, kemasan, hingga perubahan
proses promosi. Sedangkan Mintu dan Lozada (1993) dalam (Silvia, H, &
Kusumawati, 2014) mendefinisikan pemasaran hijau sebagai aplikasi dari alat
pemasaran untuk memberikan fasilitas perubahan untuk kepuasan organisasi dan
tujuan individual dalam melakukan kegiatan pemeliharaan, perlindungan, dan
konservasi pada sumber daya alam. Tujuan pemasaran hijau (green marketing)
menurut Grant (2007) dalam (Silvia et al., 2014), dibagi dalam tiga tahap: (1) Tahap
green, konsep pemasaran yang mengkomunikasikan sikap peduli terhadap

90

Green Marketing Dan Green Consumer Behavior Di Indonesia: Sebuah Studi Literatur



lingkungan hidup; (2) Tahap greener, konsep pemasaran yang memiliki tujuan
komersialisasi dan mengubah gaya konsumen dalam mengkonsumsi atau memakai
produk perusahaan; (3) Tahap greenest, konsep pemasaran yang memiliki tujuan
untuk mengubah budaya konsumen kearah yang lebih peduli terhadap sumber daya
alam. Berdasarkan tiga tahap tersebut, tidak semua produsen berada pada tahap
yang sama. Apakah konsep pemasaran hijau (green marketing) di Asia, khususnya
di Indonesia sudah mempraktikan konsep pemasaran yang benar-benar berorientasi
lingkungan atau masih dalam tahap pertama, yakni hanya sebatas
mengkomunikasikan kepeduliannya terhadap lingkungan sebagai daya tarik
pemasaran terhadap konsumen peduli lingkungan? Karena menurut Grant (2007)
dalam bukunya “The Green Marketing Manifesto” konsep pemasaran hijau yang
benar adalah yang bertujuan untuk melestarikan lingkungan bukan hanya mencari
nilai tambah yang membuat nama produknya terlihat baik (Silvia et al., 2014). Hal
tersebut dapat dilihat dari strategi pemasaran perusahaan yang terdiri dari
pengambilan keputusan dalam anggaran pemasaran, bauran pemasaran, serta
alokasi pemasaran dalam hubungannya dengan kondisi kompetitif dan lingkungan
yang diinginkan (Kotler & Keller, 2012).
Adapun bauran pemasaran pada green marketing adalah bauran pemasaran
yang harus responsif terhadap masalah lingkungan karena bertujuan untuk

kelestarian lingkungan (Agustin et al., 2015; Silvia et al., 2014) yang terdiri dari:
1. Green Product
Produk ramah lingkungan merupakan produk yang mengutamakan keamanan
jangka panjang bagi penggunanya dan lingkungan (Istantia et al., 2016) yang
bertujuan untuk mengurangi konsumsi sumber daya dan polusi serta
meningkatkan konservasi sumber daya yang langka (Tiwari, Tripathi,
Srivastava, & Yadav, 2011).
2. Green Price
Biaya dalam menghasilkan green product yang memiliki kinerja, fungsi,
desain, bentuk yang menarik dan menjadi faktor penentu antara nilai produk
dan kualitas produk relatif lebih tinggi, seperti pemasangan teknologi baru,
mesin, penggunaan sumber daya yang lebih mahal berpengaruh terhadap
produk sehingga harga green product lebih mahal dibandingkan produk sejenis
yang tidak berkonsep green marketing (Istantia et al., 2016).
3. Green Place
Pilihan saluran green place memilih tempat atau lokasi saluran yang
meminimalkan kerusakan lingkungan serta membuat suatu produk tersedia
sehingga memiliki dampak signifikan bagi konsumen (Istantia et al., 2016).
4. Green Promotion
Green promotion merupakan gerakan promosi yang membahas hubungan

antara produk/ jasa dan lingkungan biofisik, promosi yang mempromosikan
gaya hidup ramah lingkungan dengan menyorot produk atau jasa, dan promosi
yang menyajikan citra perusahaan dari tanggung jawab lingkungan (Istantia et
al., 2016; Tiwari et al., 2011).
Terdapat tiga tipe green advertising (Nandini, 2016):
• Iklan yang menggambarkan hubungan produk yang diciptakan dengan
lingkungan biofisikal.
• Iklan yang mempromosikan gaya hidup “green” dengan menggunakan
produk yang diciptakan.

91

Portofolio Volume 12 Nomor 1 Mei 2015, 88 – 106



ISSN : 1829 - 7188

Iklan yang menggambarkan citra perusahaan dengan bertanggung jawab
terhadap lingkungan.


Selanjutnya, seiring dengan meningkatnya kepedulian konsumen akan
kelestarian lingkungan, bauran pemaran hijau atau green marketing mix dapat
disinergikan kedalam langkah-langkah strategi green marketing. Dibawah ini
adalah beberapa strategi green marketing yang dapat diadaptasi (Nandini, 2016):
1. Succesful market segmentation and concentration on selected market
segmentation (segmentasi pasar yang terkonsentrasi pada segmentasi pasar
terpilih). Perusahaan harus fokus terhadap pasar yang meliputi green
consumers.
2. Developing a new generation of green product (mengembangkan generasi
baru dari green product). Perusahaan harus mempertimbangkan efek
negatif sebuah produk terhadap lingkungan dan berusaha
meminimalisasikannya sejak dari tahap awal pengembangan produk.
3. Green Positioning. Perusahaan yang tertarik untuk memposisikan
perusahaannya sebagai perusahaan yang “green” harus memastikan semua
kegiatannya sesuai dengan citra yang dikomunikasikan dan tidak
melakukan kebohongan termasuk kebohongan melalui media.
4. Applying Green Promotion. Kegiatan promosi perusahaan akan kepedulian
terhadap lingkungan akan sia-sia jika aktivitasnya tidk sesuai dengan apa
yang dipromosikan.
5. Green Packaging. Perusahaan yang memproduksi dan menggunakan
kemasan pada produknya dapat mengganti kemasan produk dengan
kemasan ramah lingkungan (eco-friendly). Kemasan tersebut dapat
digunakan sebagai alat bantu untuk konsumen yang peduli terhadap
lingkungan dalam memilih produk.
6. Deciding about Green Prices. Bersediakah konsumen membayar lebih
untuk green product? Penetapan harga merupakan tantangan bagi
perusahaan dalam menawarkan green product dikarenakan biaya produksi
yang lebih tinggi dari produk biasa.
7. Applying “green” logistics. Mendesain kemasan yang efisien selain dapat
memudahkan proses distribusi produk juga dapat mengurangi sampah
dalam jumlah besar.
8. Changing the attitude towards waste. Menggunakan kemasan yang dapat
didaur ulang dapat menciptakan pasar baru karena limbah produksi yang
dapat didaur ulang dapat menjadi bahan baku untuk perusahaan lain.
Beberapa strategi green marketing lainnya yang tidak kalah penting juga
diungkapkan oleh B. Nandini, yakni (Nandini, 2016):
1. Being genuine. Perusahaan yang sungguh-sungguh melakukan bisnis yang
mengkampanyekan green marketing, seluruh kebijakan bisnis yang
dirumuskannya pun secara konsisten mendukung segala aktivitas
perusahaan yang mencerminkan kegiatan ramah lingkungan.
2. Educate your customer. Perusahaan tidak hanya mengkomunikasikan
bahwa perusahaan tersebut melakukan kegiatan peduli terhadap lingkungan
tetapi juga menjelaskan mengapa hal tersebut penting untuk dilakukan.

92

Green Marketing Dan Green Consumer Behavior Di Indonesia: Sebuah Studi Literatur


3. Give your customers an opportunity to participate. Menciptakan manfaat
personal dengan melibatkan konsumen dalam kegiatan pelestarian
lingkungan.
4. Know your customer. Hal pertama yang harus dilakukan oleh perusahaan
sebelum menjual produknya adalah memastikan bahwa konsumen yang
dituju adalah konsumen yang menyadari dan peduli terhadap isu yang ingin
diatasi oleh perusahaan.
5. Empower consumers. Memastikan bahwa konsumen merasakan sendiri,
maupun bersama-sama dengan konsumen lainnya dapat menciptakan
perubahan. Pemberdayaan konsumen tersebut dapat merupakan alasan
utama mengapa konsumen bersedia membeli green product.
6. Be transparent. Konsumen harus memiliki kepercayaan terhadap legitimasi
perusahaan dalam mengkomunikasikan produk yang dihasilkan. Maka dari
itu, perusahaan harus mengungkapkan informasi penting terkait untuk
mencipatakan ekonomi ramah lingkungan.
Perilaku Konsumen Hijau (Green Consumer Behavior)
Sebagaimana diungkapkan pada strategi pemasaran di atas, bahwa perusahaan
perlu untuk mengetahui konsumennya sebelum meluncurkan produknya (Nandini,
2016), maka pemasar perlu mengetahui ciri dari perilaku konsumen yang peduli
terhadap lingkungan (green cosumer behavior). Menurut Engel, “a consumer
behavior is an action that direct involved to get things, consumptions, and to use
those things (product or services), including decision process before and follow
that decision” (Engel & Blackwell, 1982). Maksudnya, perilaku konsumen adalah
aksi yang secara langsung mempengaruhi bagaimana mendapatkan sesuatu,
konsumsi, dan bagaimana menggunakan produk tersebut (produk dan jasa),
termasuk proses sebelum dan sesudah memutuskan. Menurut Ujang Sumarwan
(2011), perilaku konsumen adalah semua kegiatan, tindakan, serta proses psikologis
yang mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika membeli,
menggunakan, menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan hal-hal di atas
atau kegiatan mengevaluasi (Sumarwan, 2011). Lalu apa yang membedakan
perilaku konsumen hijau (green consumer behavior) dengan konsumen lainnya?
Era 90-an isu lingkungan sudah mulai menjadi kekhawatiran. Di Eropa dan
Amerika Serikat, perusahaan menyadari bahwa konsumen akan membeli atau
tidaknya suatu produk berdasarkan pertimbangan isu lingkungan (Andrew &
Slamet, 2013). Perjanjian antara pemerintah Amerika Serikat dengan China
mengenai kerjasama dalam isu perlindungan lingkungan merupakan salah satu
yang terkait dengan munculnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan.
Kerjasama antar dua negara tersebut mengakibatkan negara-negara yang berada di
kawasan Asia dan Amerika secara tidak langsung dituntut untuk dapat menjaga
kondisi lingkungan negara masing-masing agar emisi gas kaca yang mereka
hasilkan dapat dikendalikan sehingga perusahaan di dalam negeri dituntut untuk
beroperasi dengan memasukan unsur pelestarian lingkungan. Di Indonesia, hal
tersebut diatur dalam peraturan mengenai lingkungan hidup, Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 37 Tahun 2009. Hal tersebut mendorong
fenomena yang disebut green marketing, dimana target pasar adalah segmen
populasi konsumen hijau (green consumer) (Siringi, 2012) atau disebut juga
environmental consumerism (Ottman, 1995), dan didalamnya termasuk desain,

93

Portofolio Volume 12 Nomor 1 Mei 2015, 88 – 106

ISSN : 1829 - 7188

proses produksi, kemasan, penggunaan, dan pembuangan produk (Lampe & Gazda,
1995). Green consumer didefinisikan sebagai mereka yang secara aktif mencari dan
mendukung produk yang memuaskan kebutuhan mereka dan memiliki dampak
yang paling kecil terhadap lingkungan (Ottman, 1995). Jika mereka dihadapkan
kepada pilihan antara dua produk yang identikal, mereka akan lebih memilih
produk yang ramah lingkungan (Pickett-Baker & Ozaki, 2008). Sedangkan
environmental consumerism didefinisikan sebagai konsumen yang sadar akan
kekhawatiran ekologi dan berusaha untuk melindungi dirinya dan planet bumi
dengan membeli lebih banyak produk yang tidak memiliki dampak ekologi pada
proses produksinya (Ottman, 1995). Dilandasi oleh kepedulian terhadap
lingkungan tersebut, perilaku dari green consumer berbeda dengan konsumen pada
umumnya (green consumer behavior).
Penelitian-penelitian terdahulu perihal green consumer behavior fokus
terhadap perilaku yang dapat mengurangi sumber daya dan penggunaan energi
(Gardner & Stern, 2002). Istilah “green” umumnya digunakan secara bergantian
dengan istilah “pro-environmental” atau “eco-friendly” (Siringi, 2012). Tetapi,
dikarenakan perbedaan definisi antara “green” dan “environment”, maka istilahistilah tersebut digunakan untuk tujuan yang berbeda. Istilah “green” digunakan
ketika hendak mengindikasikan kepedulian terhadap lingkungan fisik seperti udara,
air, dan tanah (physical environment) (Siringi, 2012). Maka, “green consumer”
adalah seorang individu yang perilakunya dipengaruhi oleh kepeduliannya terhadap
lingkungan dan hal tersebut dicerminkan oleh bagaimana individu tersebut mencari,
membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan membuang produk. Perilaku tersebut
disebut “green consumer behavior” (Siringi, 2012). Sedangkan, sikap kepedulian
terhadap lingkungan dijelaskan oleh Axelrod dan Lehman (1993) dalam (Andrew
& Slamet, 2013), environmental behavior adalah “action which contribute towards
environmental preservation and or conservation”. Action yang dimaksud mengacu
pada proses dalam melakukan sesuatu, sedangkan contribute maksudnya adalah
bergabung dengan yang lain untuk memberikan sesuatu (bantuan, uang, ide, dsb),
maka dapat disimpulkan bahwa environmental behavior merupakan satu perilaku
maupun tindakan yang berkontribusi dan memiliki dampak yang positif akan
pelestarian lingkungan, sistem bumi, dan sumber daya alam. Perilaku konsumen
yang peduli lingkungan akan mempengaruhi keinginannya untuk mengkonsumsi
produk yang ramah lingkungan (Andrew & Slamet, 2013). Lebih rinci,
environmental behavior seseorang ditentukan oleh tujuh variabel (Lee, 2008) yaitu:
1. Environmental attitude (sikap terhadap lingkungan) yang mengacu pada
penilaian kognitif individu terhadap nilai dari perlindungan lingkungan
(Lee, 2008).
2. Environmental concern (kepedulian terhadap lingkungan), yaitu tingkatan
dari keterlibatan secara emosional dalam isu-isu lingkungan (Lee, 2008).
3. Perceived seriousness of environmental problems (pemahaman mengenai
keseriusan dari masalah-masalah lingkungan). Jika seseorang konsumen
menganggap bahwa isu lingkungan adalah isu yang penting, tentunya
perilaku konsumen tersebut dalam kegiatan sehari-harinya akan sangat
mempertimbangkan faktor lingkungan (Andrew & Slamet, 2013). Di negara
Asia, tingkat masalah lingkungan lebih buruk daripada di negara barat.
Menurut Moser dan Uzzel (2013) dalam (Andrew & Slamet, 2013)

94

Green Marketing Dan Green Consumer Behavior Di Indonesia: Sebuah Studi Literatur



4.

5.

6.

7.

mengungkapkan bahwa media, dalam hal ini diyakini memegang peranan
besar dalam mengajarkan keseriusan dari masalah lingkungan.
Perceived environmental responsibility (pemahaman mengenai tanggung
jawab atas lingkungan). Lai (2008) dalam (Andrew & Slamet, 2013)
mengungkapkan, pengetahuan seseorang akan lingkungannya menjadi
faktor yang menentukan seberapa pahamnya ia akan tanggung jawabnya
terhadap lingkungan.
Perceived effectiveness of environmental behavior (pemahaman mengenai
keefektifan dari perilaku lingkungan). Apabila seorang individu
berpandangan bahwa keterlibatannya dalam kegiatan yang pro lingkungan
akan memberikan perubahan yang besar dalam lingkungan, maka ia akan
melakukan aktivitasnya dengan mempertimbangakn masalah lingkungan.
Hal ini tentunya berpengaruh terhadap environmental behavior – nya
(Andrew & Slamet, 2013).
Perceived self-image in environmental protection (pemahaman mengenai
self-image dalam perlindungan lingkungan). Ketika seseorang ingin
menunjukkan jati dirinya, ia akan merfleksikannya dalam tindakannya.
Sama halnya dalam kepedulian terhadap lingkungan, maka ia akan
melakukan segala kegiatannya dengan menunjukkan bahwa ia peduli
terhadap masalah lingkungan melalui kegiatan yang dilakukannya (Andrew
& Slamet, 2013).
Peer influence (pengaruh teman sebaya). Pengaruh teman sebaya menjadi
faktor yang paling kuat dalam mempengaruhi dalam mempengaruhi
perilaku pembelian seseorang. Jika seseorang tidak berperilaku sama
dengan teman sebayanya, maka kemungkinan besar ia akan diperlakukan
berbeda oleh lingkungan terdekatnya. Maka, ia akan berusaha untuk
berperilaku sama dengan rekan sebayanya atau teman sepergaulannya (Lee,
2008).

Segmentasi Konsumen Peduli Lingkungan
Adapun segmentasi konsumen yang peduli terhadap lingkungan (Das, Dash, &
Padhy, 2012):
1. True blue greens (30%): True blues adalah aktivis lingkungan. Mereka
memiliki karakteristik memiliki pengetahuan mendalam perihal isu
lingkungan. Dibandingkan dengan konsumen rata-rata, true blues lebih
menunjukan perilaku sadar lingkungan, seperti peduli terhadap proses daur
ulang dari sebuah produk maupun kemasan.
2. Greenback greens (10%): Mereka tidak sepenuhnya memiliki waktu untuk
melakukan seluruh aktivitas pelestarian lingkungan, tetapi mereka masih
memiliki kecenderungan untuk membeli green product.
3. Sprouts (26%): Konsumen yag cukup peduli terhadap lingkungan, tetapi
hanya yang berhubungan dengan kebutuhan dirinya. Maka, mereka akan
membeli produk yang ramah lingkungan selama produk tersebut sesuai
dengan kebutuhannya.
4. Grousers (15%). Grousers percaya bahwa perilaku individu mereka tidak
dapat memperbaiki kondisi lingkungan. Mereka umumnya tidak terlibat dan
tidak tertarik dengan isu lingkungan.

95

Portofolio Volume 12 Nomor 1 Mei 2015, 88 – 106

ISSN : 1829 - 7188

5. Apathetics (18%). Apathetics tidak cukup peduli dengan lingkungan dan
mereka juga percaya bahwa ketidakpedulian terhadap lingkungan
merupakan hal yang umum (mainstream).
Berdasarkan literatur-literatur yang sudah dijabarkan perihal environmental
sustainability, green marketing, dan green consumer behavior, artikel ini hendak
menggambarkan perkembangan green consumer behavior dan strategi green
marketing seperti apa yang sudah dilakukan dalam pasar green consumers di Asia,
khususnya di Indonesia dengan mengacu pada beberapa penelitian-penelitian yang
sudah dilakukan.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah tinjauan pustaka dengan
menggunakan data sekunder yang diambil dari jurnal akademik serta material yang
relevan dengan judul artikel. Teknis pencarian jurnal adalah sebagai berikut:
• Pencarian jurnal akademik menggunakan google scholar dengan kata
kunci (key word) green marketing, environmental sustainability, green
consumers dan green consumer behavior.
• Artikel-artikel yang ditemukan dipilah dengan mengacu pada abstrak,
kata kunci, hasil penelitian dan kesimpulan guna mendapatkan
pengertian perihal konsep dan teori, serta informasi lainnya tentang
green marketing dan green consumer behavior yang dibutuhkan dalam
menyusun artikel ini.
• Jurnal nasional yang dipilih adalah jurnal yang menggambarkan situasi
green marketing dan green consumer behavior di Indonesia, sedangkan
jurnal internasional dipilih untuk menggambarkan green marketing di
Amerika, Jepang dan China.
• Rentang waktu yang digunakan berkenaan dengan perkembangan
green marketing dan perkembangan green consumer behavior adalah
tahun 2013 sampai dengan tahun 2015. Hal ini dikarenakan masih
terbatasnya penelitian tentang kedua topik tersebut baik masa lampau
dan yang terkini, khususnya di Indonesia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Lebih dari 10 tahun terakhir, pasar produk organik meningkat mendekati 240%,
sedangkan pasar produk tradisional meningkat 33%. Selain itu, praktik usaha
konstruksi tradisional turun sebesar17%, sedangkan pembangunan green building
meningkat mendekati 1700% (Green America, 2013). Angka ini cukup
membenarkan pernyataan mengenai pasar yang berubah menjadi hijau (green)
(Duquesne University, 2010).
Seiring dengan bergesernya pasar, green products dan service memiliki kesempatan
yang luas (Ottman, 1993). Tetapi untuk memanfaatkan dan mengarahkan potensi
tersebut merupakan tantangan yang tidak mudah, terutama untuk mempertahankan
green product tetap berada pada pilihan utama dan pertama dalam benak konsumen
hijau (green consumers) (Banerjee, 2016).
Perkembangan Green Consumer Behavior di Amerika, Asia dan Indonesia
1. Perkembangan Green Consumer Behavior di Amerika Serikat
Berdasarkan hasil penelitian pasar Mintel dalam (Banerjee, 2016), sebesar

96

Green Marketing Dan Green Consumer Behavior Di Indonesia: Sebuah Studi Literatur


12% dari populasi di Amerika bisa diidentifikasikan sebagai True Greens,
konsumen yang aktif mencari dan membeli green products. 68% lainnya
diklasifikasikan sebagai Light Greens (Banerjee, 2016) atau Greenback
Greens (Das et al., 2012), konsumen yang sesekali membeli green product,
dan menurut Mintel, Research Director dari David Lockwood dalam
(Banerjee, 2016) , hal ini adalah poin kontak yang belum terlayani meskipun
sejak tahun 1989 sampai dengan tahun 2016, konsumen Amerika semakin
bersedia untuk membayar lebih untuk green products. Mulai dari 67%
bersedia membayar 5 – 10% lebih mahal, kemudian meningkat di tahun
1991 dengan bersedia membayar 15 – 20% lebih mahal, dan di tahun 2016
lebih dari sepertiga warga Amerika bersedia membayar lebih untuk green
products (Banerjee, 2016).
2. Perkembangan Green Consumer Behavior di Asia
Pada studi ini, Jepang dan China terpilih menjadi perwakilan negara untuk
menggambarkan pergerakan green consumers di Asia. Jepang merupakan
negara maju yang sudah melakukan gerakan pro-lingkungan sebelum
negara lainnya di Asia melakukannya, dimana pada tahun 2000, Jepang
menerbitkan “Law on Promoting Building a Cyclic Society” untuk
mempromosikan organisasi publik dan organisasi internasional agar
memimpin gerakan pembelian hijau (green purchasing), dalam rangka
memfasilitasi pemberian informasi perihal produk yang dapat memelihara
lingkungan dan untuk menciptakan masyarakat yang mengembangkan
keberlangsungan lingkungan (Hongwei, 2012). Sedangkan China adalah
negara yang dianggap sebagai elemen penting dalam proses rantai pasokan
dunia dalam pasar konsumen, sedang menghadapi kekhawatiran berkaitan
dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, dimana perusahaanperusahaan di China mengalami tuntutan untuk mengatasi masalah
lingkungan yang bisa menjadi elemen penting terhadap perubahan sosial di
China (Zhu & Sarkis, 2015).
Jepang
Kampanye hijau (green campaign) di Jepang menekankan pada beberapa
hal di bawah ini (Hongwei, 2012):
• Kepentingan meninjau pembelian yang dapat mengurangi beban
lingkungan, yang berarti bahwa bukan hanya faktor ekonomi seperti
kualitas dan harga yang dipertimbangkan dalam proses pembelian,
melainkan memprioritaskan produk dan jasa yang ramah lingkungan.
• Jepang telah mengadopsi sistem label (eco-labeling) perlindungan
lingkungan untuk memberikan informasi yang sederhana dan terarah
untuk meningkatkan pembelian hijau (green purchasing), dan Ecolabeling pada produk yang dikonsumsi oleh konsumen memiliki
pengaruh positif terhadap konsumsi ramah lingkungan.
Dampak dari kampanye hijau tersebut adalah meningkatnya kesadaran akan
konsumsi green product sejak tahun 2000 sampai pada tahun 2008
peningkatannya lebih dari 50%. Selain itu, populasi yang sadar untuk
mengimplementasikan perilaku konsumen kearah keberlangsungan
lingkungan mencapai angka diatas 60%. Tetapi, walaupun banyak warga
Jepang menyadari bahwa mereka dapat melakukan sesuatu untuk

97

Portofolio Volume 12 Nomor 1 Mei 2015, 88 – 106

ISSN : 1829 - 7188

perkembangan sosial, sekitar setengah dari mereka cenderung tidak terlalu
peduli terhadap lingkungan, sehingga proporsi konsumen yang
mengimplementasikan perilaku peduli lingkungan tanpa motivasi ekonomi,
seperti pembelian produk dengan eco-label, belanja pada toko-toko yang
ramah lingkungan dan membeli produk dengan kemasan minimal, masih
relatif rendah (Hongwei, 2012).
China
Beberapa tahun ke belakang, konsumen hijau (green consumers) dan
keberlangsungan lingkungan hidup telah menerima perhatian dari
pemerintah China, publik, dan media masa. Studi konsumerisme hijau di
China (Chinese green consumerism study) mengkonfirmasi bahwa (Zhu &
Sarkis, 2015):
• Perbedaan jenis kelamin dalam mempertimbangkan isu lingkungan
masih belum menunjukkan perbedaan yang jelas. Beberapa penelitian
menemukan pria lebih peduli terhadap lainnya, tetapi beberapa
penelitian lainnya menemukan sebaliknya, dimana wanita lebih peduli
terhadap lingkungan, dan ada penelitian yang menemukan bahwa tidak
ada perbedaan yang berarti.
• Dalam kaitannya dengan status pernikahan, di China, pasangan lebih
aktif dalam praktik hijau (green practice).
• 25 tahun adalah usia rata-rata yang berkomitmen terhadap lingkungan.
• Terdapat hubungan positif antara sikap terhadap lingkungan (green
attitudes) dengan level edukasi individual.
• Konsumen yang memiliki pendapatan lebih tinggi cenderung memiliki
pengetahuan lebih mengenai isu lingkungan.
• Konsumen hijau (green consumers) cenderung memiliki posisi tinggi
di perusahaan. Manajer dan jajaran eksekutif memiliki sikap prolingkungan yang lebih kuat.
Walaupun secara demografi terungkap perihal karakteristik green
consumers di China, tetapi penelitian lebih jauh tentang karakter psikografis
green consumers China belum ada, sehingga informasi yang lebih rinci
perihal green consumer behavior masyarakat China masih perlu diteliti
lebih lanjut sehingga dapat menggambarkan gambaran yang lebih jelas (Zhu
& Sarkis, 2015).
3. Perkembangan Green Consumer Behavior di Indonesia
Salah satu tren yang sedang berkembang, terutama diantara pengecerpengecer di Indonesia adalah praktik ramah lingkungan (eco-friendly),
seiring dengan kesadaran konsumen yang meningkat perihal isu lingkungan
global. Supermarket-supermarket besar seperti Giant dan Hero mendorong
konsumennya untuk menggunakan karton dan kantong plastik jenis
biodegradable1 (International Markets Bureau, 2011). Perkembangan tren
eco-shopping pun diharapkan untuk terus berlanjut, terutama konsumen

1
Limbah biodegradable adalah semua limbah yang dapat hancur atau terurai oleh
organisme hidup lainnya dan berasal dari tumbuhan atau hewan. Beberapa contoh
limbah biodegradable yang umum ditemui adalah sisa makanan, kotoran manusia
dan hewan, limbah selokan dan plastik biodegradable (SSI SCHAFER, n.d.)

98

Green Marketing Dan Green Consumer Behavior Di Indonesia: Sebuah Studi Literatur


tingkat menengah dan menengah-atas yang terus mencari pilihan produk
ramah lingkungan (eco-friendly) (International Markets Bureau, 2011).
Biro Pasar Internasional (International Markets Bureau) dari Agriculture
and Agrifood Canada juga melaporkan bahwa konsumen Indonesia,
terutama kelas menengah dan menengah atas juga mengalami peningkatan
kesadaran akan kesehatan (International Markets Bureau, 2011).
Euromonitor International (2007) dalam (International Markets Bureau,
2011) melaporkan, meskipun berdasarkan karakter demografi Indonesia,
daya beli masyarakatnya untuk membeli produk premium masih menjadi
minoritas, tetapi angkanya dapat mencapai sepuluh juta orang, sehingga
konsumen Indonesia dianggap cukup signifikan sebagai konsumen produk
premium (International Markets Bureau, 2011).
Dari sisi perilaku konsumen, berdasarkan hasil penelitian pada tahun
2013 tentang environmental behavior, terungkap bahwa keputusan
pembelian konsumen di Indonesia diwakili oleh responden di kalangan anak
muda generasi C2 pada green product dipengaruhi oleh teman/ kerabat
sebayanya (peer influence) (Andrew & Slamet, 2013). Hal ini diungkapkan
pula oleh (Lee, 2008), bahwa peer influence merupakan faktor yang penting
bagi generasi muda dalam mempengaruhi environmental behavior mereka.
Sedangkan keenam varabel lain, yakni environmental attitude,
environmental concern, perceived seriousness of environmental problems,
perceived environmental responsibility, perceived effectiveness of
environmental behavior dan concern for self-image in environmental
protection menunjukan hasil yang tidak signifikan. Akan tetapi, variabel
environmental attitude dan perceived environmental responsibility nilainya
mendekati signifikan. Hal ini diperkirakan karena tingkat pengetahuan
seseorang akan masalah lingkungan. Penelitian di tahun 2014 memperkuat
temuan tersebut, responden wanita yang telah menikah, berdomisili di kota
besar di pulau Jawa, Indonesia (Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya),
mengenyam pendidikan tinggi, memiliki pekerjaan dan memiliki
pendapatan keluarga tergolong menengah ke atas (diatas Rp. 9.000.000,00),
adalah responden yang memiliki pengatahuan cukup baik akan green
product khususnya produk organik. Diungkapkan bahwa pengetahuan
organik secara positif dan signifikan memiliki pengaruh terhadap sikap pada
makanan organik. Hal ini menunjukkan semakin tinggi tingkat pengetahuan
lingkungan dari konsumen maka semakin baik sikap pada green product,
sebaliknya semakin rendah tingkat pengetahuan lingkungan dari konsumen
maka semakin buruk sikap pada green product, khususnya produk organik
(Wijaya, 2014).
Dan yang terkini dari penelitian di tahun 2015, dengan 501

2
Generasi C atau Generasi Content, adalah generasi yang lahir antara 12 Maret
1988 – 24 April 1993. Generasi ini adalah generasi yang tumbuh seiring dengan
berkembangnya internet dan kemajuan teknologi. Generasi ini memiliki karakter
kreatif dan merupakan sebuah tren, sehingga walaupun seseorang tidak terlahir di
antara tahun di mana Generasi C lahir, asalkan ia kreatif dan mampu untuk
mengembangkan bakat kreatifnya itu, maka seseorang itu dapat dikatakan sebagai
anggota Generasi C ini (Andrew & Slamet, 2013).

99

Portofolio Volume 12 Nomor 1 Mei 2015, 88 – 106

ISSN : 1829 - 7188

responden mahasiswa di tiga kota besar di Indonesia, tentang green
consumer behavior, terungkap tujuh faktor yang mempengaruhi pembelian
produk yang tergolong green. Ketujuh faktor tersebut adalah nilai personal
(personal value), motivasi internal, referensi, kemasan, label, komunitas
dan informasi eksternal. Diutarakan, sebagai aktor potensial di masa depan,
sebagai target pasar maupun sebagai pemasar, kesadaran generasi muda
Indonesia akan konsumsi green products akan secara positif memberikan
kontribusi dalam membangun gaya hidup pro lingkungan (Widjojo &
Yudianto, 2015).

Perkembangan Green Marketing di Amerika, Asia, dan Indonesia
1. Perkembangan Green Marketing di Amerika Serikat dan Asia:
Amerika Serikat dan Japan
Di Amerika, perkembangan green marketing didorong oleh regulasi dari
pemerintah. Sejak tahun 1990 Federal Trade Commission dan National
Association of Attorneys-General telah mengembangkan dokumen yang
berkaitan dengan isu green marketing (Polonsky, 1994). Sehingga banyak
perusahaan menyadari bahwa mereka adalah anggota dari komunitas yang
sangat luas sehingga mereka harus mencapai tujuan yang dapat melindungi
lingkungan seiring dengan mencapai profit. Alhasil, perusahan-perusahaan
tersebut mengintegrasikan isu lingkungan ke dalam budaya perusahaan
(Polonsky, 1994). Sedangkan lebih spesifik, aktivitas menjaga
keberlangsungan lingkungan di Jepang ditandai dengan banyaknya
produsen-produsen yang mempromosikan isu lingkungan sebagai bagian
dari green marketing. Sebagai salah satu produsen elektronik terbesar
didunia, Jepang dikenal sudah menggunakan eco-label untuk memberikan
pengaruh positif terhadap konsumsi produk ramah lingkungan (Hongwei,
2012). Pada tahun 2007, produk Jepang yang menggunakan eco-label
mencapai 4,600 merek. Tetapi kebanyakan dari merek tersebut adalah
merek untuk pasar bisnis, sehingga tidak banyak juga produk eco-label yang
dibeli oleh konsumen akhir.
China
Menurut Holslag (2015) dalam (Zhu & Sarkis, 2015), perusahaanperusahaan di China telah meningkatkan keinginan mereka untuk mejaga
posisi saing mereka dengan mulai memasukan isu ligkungan yang terukur
(Qi et al., 2011). Contohnya, industri mobil mensyaratkan pemasok bahan
baku maupun komponen mereka untuk disertifikasi ISO 140013. Sertifikat
ISO 14001 juga digunakan sebagai indikator apakah suatu perusahaan serius
menanggapi isu lingkungan sehingga dapat digunakan untuk tujuan
pemasaran industri maupun konsumen (Zhu & Sarkis, 2015). Sedangkan
dari sisi strategi pemasaran, perkembangan green marketing di China adalah
sebagai berikut:

3
ISO 14001 adalah sebuah spesifikasi internasional untuk sistem manajemen
lingkungan (SML) yang membantu sebuah perusahaan mengidentifikasi,
memprioritaskan, dan mengatur risiko-risiko lingkungan sebagai bagian dari
praktek bisnis normal (Lloyd’s Register LRQA, 2015).

100

Green Marketing Dan Green Consumer Behavior Di Indonesia: Sebuah Studi Literatur











Product – literatur yang ditelaah oleh (Zhu & Sarkis, 2015)
mengungkapkan bahwa green product yang ditawarkan termasuk
produk yang menghemat energi, menghemat air, menghemat biaya,
bersifat organik, dan menggunakan bahan kimia alami selain produk
eco-design.
Price – menurut Mohanasundaram (2012) dalam (Zhu & Sarkis, 2015)
terdapat tiga hal yang dipertimbangkan ketika menentukan green
pricing, yakni orang (people), planet, dan keuntungan (profit) atau
disingkat 3P. Belum banyak literatur yang membahas masalah harga
untuk green products, tetapi situasi di China dapat mendorong strategi
harga yang berbeda dikarenakan lingkungan yang unik, masalah
geografi, dan sosio-politik (Zhu & Sarkis, 2015).
Place – Strategi distribusi berdasarkan perspektif pemasaran yang
berkenaan dengan isu green sangatlah terbatas, terutama penelitian
pada pemasaran hijau di China sehingga distribusi industri China (Zhu
& Sarkis, 2015). Sehingga strategi distribusi, selain daripada logistik
dan material bergerak, membutuhkan investigasi mendalam.
Promotion – green advertising di China masih pada perkembangan
awal dimana hanya beberapa yang fokus terhadap green consumers.
Hal ini merefleksikan masih terbatasnya penelitian pada area ini
sehingga penelitian di masa yang akan datang khususnya pada
efektivitas pesan promosi dan edukasi pelanggan dapat lebih
dikembangkan (Zhu & Sarkis, 2015).

2. Perkembangan Green Marketing di Indonesia
Indonesia merupakan negara le-124 dari lebih 140 negara yang
meratifikasi Protokol Kyoto dan merupakan salah satu negara pendukung
Copenhagen Accord yang merupakan hasil dari KTT ke-15 Perubahan
Iklim dari United Nation for Climate Change Conference (UNFCCC) di
Kopenhagen, Denmark, bulan Desember 2009. Indonesia telah
mentargetkan penurunan emisis gas rumah kaca 26% pada 2020 dengan
berbagai program mitigasi (Retnawati, 2011). Dalam mencapai target
tersebut, sebagai bagian dari strategi green marketing, merek (brand)
merupakan hal penting untuk dikelola sebagai elemen yang dapat
direferensikan sebagai merek yang telah menyeimbangkan antara
kebutuhan produk sekaligus kepedulian pada lingkungan. Maka dari itu,
green branding seharusnya diasosiasikan sebagai produk dengan
konservasi lingkungan (environmental conservation) dan menjadi praktek
bisnis yang berkelanjutan (sustainable business) (Retnawati, 2011).
Dalam merespon isu lingkungan dan kesadaran konsumen akan
pentingnya menjaga lingkungan yang secara bertahap meningkat,
beberapa produsen di Indonesia melakukan strategi-strategi dibawah ini
(Retnawati, 2011):
a. Menciptakan produk dengan karakter dan komposisi yang berdampak
lingkungan kecil.
b. Penggunaan bahan mentah dengan lebih efisien dengan menggunakan
bahan-bahan daur ulang secara masif.
c. Efisiensi penggunaan energi sebagai antisipasi terhadap kemungkinan

101

Portofolio Volume 12 Nomor 1 Mei 2015, 88 – 106

ISSN : 1829 - 7188

terjadinya krisis energi.
d. Peningkatan daya tahan produk.
Selain itu, dari industri minuman ringan sebagai industri yang data
pertumbuhannya berkembang dari tahun ke tahun sebagai tuntutan gaya
hidup manusia yang menuntut kepraktisan dan menyebabkan sebagian
besar produk minuman siap minum dikemas dalam botol plastik,
melakukan aktivitas go green dengan mengemas menggunakan kemasan
botol kaca (returnable glass bottling). Kemasan tersebut dapat digunakan
untuk mengemas kembali setelah produk dikonsumsi (recycle) dan bisa
digolongkan menjadi produk yang ramah lingkungan (eco-friendly). Ciriciri go green4 yang dilakukan di Indonesia menurut Shamdasami et al
(1993) dalam (Sumarsono & Giyatno, 2012), yaitu menggunakan
komponen yang aman, tidak beracun, dapat diaur ulang serta
menggunakan kemasan yang ramah lingkungan untuk mengurangi
dampak negatif konsumsi produk terhadap lingkungan. Sedangkan dari
sektor jasa, dalam studi ini, industri pariwisata dipilih menjadi salah satu
objek untuk melihat perkembangan aktivitas green marketing di
Indonesia. Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi besar untuk
destinasi wisata yang dapat berdampak positif bagi masayrakat. Tetapi
banyak dari pengelola industri ini tidak mengindahkan keterbatasan
sumber daya, kelestarian lingkungan, pengembangan kualitas hidup,
budaya dan kesejahteraan masyarakat lokal, sehingga kerusakan
lingkungan banyak terjadi dimana-mana. Terungkap, bahwasanya di
Indonesia masih sangat jarang sekali perusahaan mengklaim untuk
menjadi perusahaan yang ramah lingkungan dan memanfaatkan ide
tersebut untuk mendapatkan pangsa pasar yang lebih besar (Setiaji, 2014).
Selain itu, pengetahuan konsumen tentang pentingnya keberlangsungan
lingkungan juga akan mempengaruhi keberhasilan program go green di
Indonesia, sehingga beberapa strategi masih perlu dilakukan dalam rangka
mempromosikan green marketing. Diantaranya selain menciptakan serta
menggunakan menggunakan komponen yang ramah lingkungan, produsen
dapat mencantumkan label ramah lingkungan (eco-labelling) dalam
melakukan standarisasi, sertifikasi serta komunikasi bahwa produk yang
ditawarkan masuk ke dalam klasifikasi ramah lingkungan (Septifani,
Achmadi, & Santoso, 2014).
KESIMPULAN
Dibandingkan dengan negara lainnya, seperti Amerika, Jepang dan China,
aktivitas green marketing serta perilaku konsumen yang pro-lingkungan (green
consumer behavior) di Indonesia masih relatif lebih sedikit atau rendah.
Berdasarkan beberapa literatur yang digunakan pada studi ini, beberapa faktor turut
mempengaruhi, diantaranya yang paling penting adalah kesadaran konsumen akan
pentingnya peran mereka dalam menjaga keberlangsungan lingkungan dengan
mengubah perilaku konsumsi mereka. Kesadaran konsumen akan timbul dan

4
Go green memiliki empat prinsip umum yaitu Reduce, Reuse, Recycle dan
Replace (Kusminah, 2018)

102

Green Marketing Dan Green Consumer Behavior Di Indonesia: Sebuah Studi Literatur


semakin kuat jika diberi informasi dan pengetahuan yang lengkap dan benar perihal
isu lingkungan. Pengetahuan yang baik dari konsumen akan mendorong perilaku
yang positif terhadap keberlangsungan lingkungan (environmental sustainability).
Maka dari itu bagaimana produsen mengkomunikasikan perihal keterkaitan antara
konsumsi produk dengan keberlangsungan lingkungan adalah hal penting dalam
mengedukasi dan mempengaruhi konsumen menjadi green consumers. Selain itu,
dukungan pemerintah baik berupa regulasi lingkungan maupun regulasi
perdagangan yang pro-lingkungan pun akan ikut mendorong perilaku konsumen
keaarah green consumer behavior seperti yang sudah terjadi baik di Amerika
Serikat, Jepang dan saat ini China yang aktivitas green marketing-nya sedang
berkembang. Green marketing didukung oleh green consumer behavior yang
positif serta dukungan pemerintah dalam mendorong perilaku keberlangsungan
lingkungan akan menjadikan Indonesia memiliki potensi untuk menjadi pasar yang
menjaga keberlangsungan lingkungannya di masa yang akan datang.

103

Portofolio Volume 12 Nomor 1 Mei 2015, 88 – 106

ISSN : 1829 - 7188

DAFTAR PUSTAKA
Agustin, R. D., Kumadji, S., & Yulianto, E. (2015). PENGARUH GREEN
MARKETING TERHADAP MINAT BELI SERTA DAMPAKNYA PADA
KEPUTUSAN PEMBELIAN ( Survei Pada Konsumen Non-Member
Tupperware Di Kota Malang ). Jurnal Administrasi Bisnis (JAB), 22(2), 1–
10. Retrieved from administrasibisnis.studentjournal.ub.ac.id
Andrew, & Slamet, F. (2013). Pengaruh Environmental Behavior Terhadap Green
Purchasing Behavior Pada Anak Muda Generasi C Di Jakarta. Peran
Perbankan Syariah Dalam Penguatan Kapasitas Umkm Menuju
Kemandirian Ekonomi Nasional, 1993(April), 10–20.
Anika. (2014). A Survey on Green Marketing. International Journal of
Engineering Sciences Paradigms and Researches, 15(1), 37–42. Retrieved
from www.ijesonline.com
Banerjee, S. (2016). Environmental Marketing ( Green Marketing Rudiments ).
IOSR Journal of Business and Management, 69–74.
Das, S. M., Dash, B. M., & Padhy, P. C. (2012). Green Marketing Strategies for
Sustainable Business Growth. Journal of Business Management & Social
Sciences Research, 1(1), 82–87. Retrieved from
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.829.5447&rep=rep
1&type=pdf
Duquesne University. (2010). Green marketing. Pittsburgh, Pennsylvania, United
States of America: Duquesne University: Center for Green Industries and
Sustainable Business Growth of Duquesne University, Pittsburgh, PA.
http://doi.org/10.1108/02580540810868041
Engel, J. F., & Blackwell, R. D. (1982). Consumer behavior. Dryden Press.
Retrieved from
https://books.google.co.id/books/about/Consumer_Behavior.html?id=aHsHN
CvBpecC&redir_esc=y
Gardner, G. T., & Stern, P. C. (2002). Environmental problems and human
behavior. Pearson Custom Pub.
Green America. (2013). The Big Green Opportunity For Small Businesses in the
US 2013.
Hongwei, D. (2012). Environment Policy and Consumer Behavior in Japan (The
6th Consortium on Global perspectives in Japanese Studies : International
Workshop “Consumption and Consumerism in Japanese Culture”). 比較日
本学教育研究センター

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24