PAPPASENG MEDIA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN P
LKTI PLANOPOLIS 2017
PAPPASENG ; MEDIA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN
RUANG DENGAN PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL
DI KELURAHAN AMPARITA KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG
Diusulkan Oleh:
1. KARTINI
60800114072/ 2014
2. YAYAH AWALIYAH
60800114052/ 2014
3. ASWITA WIRYADISURIA 60800114053/ 2014
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
SAMATA-GOWA
2017
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama Ketua
:Kartini
Tempat, Tanggal lahir :Pangkajene, 21 April 1996
Jurusan/ Fakultas
:Teknik Perencanaan Wilayah & Kota/ Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi
:Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Nama Anggota 1
:Yayah Awailiyah
Tempat, Tanggal lahir :Watansoppeng, 17 Desember 1995
Jurusan/ Fakultas
:Teknik Perencanaan Wilayah & Kota/ Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi
: Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Nama Anggota 2
:Aswita Wiryadisuria
Tempat, Tanggal lahir :Masamba, 28 April 1995
Jurusan/ Fakultas
:Teknik Perencanaan Wilayah & Kota/ Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi
:Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Dengan ini menyatakan bahwa karya tulis yang berjudul:
Pappaseng ; Media Implementasi Kebijakan Penataan Ruang dengan
Pendekatan Kearifan Lokal di Kelurahan Amparita Kabupaten Sidenreng
Rappang adalah benar-benar hasil karya sendiri dan bukan merupakan plagiat dari
karya tulis orang lain serta belum pernah diikutsertakan dalam kompetisi
sebelumnya. Apabila dikemudian hari pernyataan ini tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi yang telah ditetapkan oleh panitia PLANOPOLIS 2017
berupa diskualifikasi dari kompetisi. Demikian pernyataan ini dibuat dengan
sebenar-benarnya.
Samata-Gowa, 1 April 2017
Materai
6000
Kartini
i
LEMBAR PENGESAHAN
1.Judul
:Pappaseng ; Media Implementasi Kebijakan Penataan
Ruang dengan Pendekatan Kearifan Lokal di Kelurahan
Amparita Kabupaten Sidenreng Rappang
:Sosial Budaya
2.Sub Tema
3.Ketua Tim
a.Nama Lengkap :Kartini
b.NIM
:60800114072
c.Jurusan/ Fakultas :Teknik Perencanaan Wilayah & Kota/Sains dan Teknologi
d.Perguruan Tinggi :Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
e.Alamat Rumah :Samata-Gowa
f.No. HP
:085216078423
g.Alamat E-mail :[email protected]
4.Dosen Pendamping
a.Nama
:Fadhil Surur, S.T, M.Si
b.NIP
:19890306 201503 1 006
Samata-Gowa, 1 April 2017
Mengetahui,
Dosen Pendamping
Ketua Tim
Fadhil Surur, S.T, M.Si
NIP 19890306 201503 1 006
Kartini
NIM 60800114072
Disetujui,
Ketua Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota
Dr. Muhammad Anshar, S.Pt., M.Si
NIP 19760603 2002212 1 005
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penyusunan karya tulis ilmiah yang berjudul “Pappaseng ;
Media Implementasi Kebijakan Penataan Ruang dengan Pendekatan Kearifan
Lokal di Kelurahan Amparita Kabupaten Sidenreng Rappang” dapat selesai tepat
pada waktunya.
Penyusunan karya tulis ilmiah ini dibuat untuk mengikuti kegiatan
perlombaan yang diadakan oleh Departemen Perencanaan Wilayah & Kota,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang bertema “Great Innovation for
Housing & Settlement towards New Urban Agenda”.
Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini, kami mengucapkan banyak
terima kasih terkhususnya kepada Bapak Fadhil Surur, S.T, M.Si. yang telah
meluangkan waktunya untuk terus membimbing kami hingga tahap penyelesaian
dan semua pihak yang telah mendukung dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini
yang tak bisa kami sebutkan satu persatu. Harapan kami bahwa karya tulis ilmiah
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah wawasan dan
pengetahuan tentang budaya pappaseng yang dapat dijadikan sebagai media
implementasi penataan ruang.
Kami menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan
dengan keterbatasan yang kami miliki maka kritik dan saran yang membangun
sangat kami harapkan demi perbaikan karya tulis ilmiah selanjutnya. Akhir kata,
sekian dan terima kasih.
Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Samata-Gowa, 1 April 2017
Ketua Tim
Kartini
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ ii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iv
ABSTRAK ................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Perumusan Masalah .......................................................................... 2
C. Tujuan dan Manfaat .......................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 3
A. Landasan dan Konsep Teori .............................................................. 3
B. Penelitian yang Relevan .................................................................... 5
BAB III METODE PENULISAN .............................................................. 7
A. Lokasi Penelitian ............................................................................... 7
B. Waktu Penelitian ............................................................................... 7
C. Jenis dan Pendekatan Penelitian........................................................ 7
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 7
E. Metode Analisis ................................................................................ 7
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................ 8
A. Tingkat Partisipasi Masyarakat Terhadap Penataan Ruang .............. 8
B. Identifikasi Sistem Pappaseng Terhadap Penataaan Ruang ............. 10
C. Strategi Penggunaan Pappaseng Sebagai Media Implementasi
Penataan Ruang ................................................................................. 11
BAB V PENUTUP ....................................................................................... 14
A. Kesimpulan ....................................................................................... 14
B. Saran .................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 15
LAMPIRAN
iv
PAPPASENG ; MEDIA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN
RUANG DENGAN PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL
DI KELURAHAN AMPARITA KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG
Kartini, Yayah Awaliyah, Aswita Wiryadisuria
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Makassar
[email protected]
Pertumbuhan permukiman masyarakat Amparita yang dominan beragama Hindu
Tolotang mendorong terjadinya perubahan lingkungan secara signifikan. Hal
tersebut menandakan rendahnya implementasi kebijakan penataan ruang. Pada sisi
yang berbeda masyarakat setempat memiliki tradisi kearifan lokal yang menjadi
pedoman hidup secara fundamental dalam sistem adat pappaseng yang
dikendalikan oleh Uwwa. Sistem budaya yang bergerak selaras dengan agama
dapat menjadi alternatif dalam meningkatkan partisipasi masyarakat. Tujuan
penelitian ini adalah mengetahui tingkat partisipasi masyarakat, mengindetifikasi
sistem pappaseng dan menyusun strategi penggunaan pappaseng sebagai media
implementasi penataan ruang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan memperoleh data dari hasil wawancara, pemetaan partisipatif, kajian
kepustakaan dan survey lapangan. Metode analisis mencakup analisis deksriptif
dan analisis partisipatif. Hasil penelitian menujukkan bahwa tingkat partisipasi
masyarakat dalam penataan ruang dengan menggunakan pendekatan formal
cenderung rendah. Uwwa sebagai pemegang kasta tertinggi berperan dalam
mengawali implementasi penataan ruang. Nilai pappaseng yang relevan dengan
penataan ruang antara lain lempu (kejujuran), mappasitinaja (kepatutan),
siparapakkei (saling menyelamatkan), assimellereng (kesetiakawanan sosial),
getteng (keteguhan) dan warani (keberanian). Masing-masing nilai pappaseng
kemudian diterjemahkan dalam berbagai aktifitas masyarakat yang dapat
menstimulus peningkatan partisipasi. Strategi penggunaan pappaseng sebagai
media implmetasi penataan ruang dilakukan dengan membuat regulasi pappaseng
dalam kegiatan musrembangdes, menciptakan rambu pappaseng sebagai kontrol
sosial dan meningkatkan pemahaman pappaseng sebagai pembelajaran formal
bagi generasi muda masyarakat Tolotang.
Kata Kunci: pappaseng, tata ruang, partisipatif
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kearifan lokal dalam bahasa asing dikonsepsikan sebagai kebijakan
setempat (local wisdom) yang diartikan sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal)
yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakatnya. Berbicara mengenai kearifan lokal juga
membicarakan warisan ajaran hidup yang disampaikan oleh para pendahulu suatu
suku atau bangsa bagi penerusnya.
Kearifan lokal merupakan suatu bentuk warisan budaya Indonesia yang
telah berkembang sejak lama. Kearifan lokal lahir dari pemikiran dan nilai yang
diyakini suatu masyarakat terhadap alam dan lingkungannya. Di dalam kearifan
lokal terkandung nilai-nilai, norma-norma, sistem kepercayaan, dan ide-ide
masyarakat setempat. Oleh karena itu kearifan lokal di setiap daerah berbedaberbeda.
Sulawesi Selatan dikenal sebagai salah satu daerah yang memilki
keanekaragaman budaya yang bernilai tinggi. Kebudayaan merupakan jiwa dari
setiap komunitas sebuah masyarakat karena kebudayaan itulah yang menghidupi
masyarakat dengan nilai-nilai yang dimilikinya. Keanekaragaman budaya daerah
Sulawesi Selatan antara lain berupa peninggalan sejarah, tradisi, dan adat-istiadat.
Peninggalan sejarah tersebut memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang tersimpan
dalam berbagai media antara lain lisan dan tulisan. Media tulisan dituangkan
melalui naskah lontara yang didalamnya orang Bugis-Makassar menyimpan ilmu
dan kearifan masa lalunya termasuk berbagai ekspresi kebudayaannya seperti nilai
pappaseng.
Dalam budaya masyarakat Bugis dikenal istilah pappaseng yang berarti
pesan-pesan atau nasihat yang berasal dari nenek moyang orang Bugis untuk
disampaikan kepada cucu-cucunya. Orang Bugis adalah salah satu suku bangsa
yang beruntung memiliki aksara sehingga aspek kebudayaan di masa lampau
masih dapat tersimpan dalam naskah lontara, salah satu bentuk naskah lontara
bugis yang berhubungan dengan kearifan adalah istilah pappaseng. Dalam
pappaseng banyak ditemukan nilai-nilai keagamaan. Hal ini disebabkan karena
orang Bugis sejak dahulu sudah mempercayai adanya Tuhan sebagai pencipta
alam semesta yang disebut sebagai Dewatae.
Seiring dengan perkembangannya, pappaseng dalam masyarakat Bugis
sudah mulai bergeser dan terlupakan. Kurangnya perhatian dari berbagai pihak
baik pemerintah, swasta, dan masyarakat menyebabkan nilai-nilai sejarah mulai
ditinggalkan pada generasi sekarang. Namun berbeda dengan masyarakat
Komunitas Towani Tolotang yang merupakan salah satu komunitas kepercayaan
agama lokal di Kelurahan Amparita, Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten
Sidenreng Rappang. Sistem kepemimpinan tradisional yang dipegang oleh para
1
Uwwa yang berperan penting dalam menjaga ajaran leluhur secara turun menurun
menjadikan komunitas ini tetap mempertahankan budaya seperti adat pappaseng
yang dijadikan sebagai pedoman hidup. Oleh karena itu, diharapkan dengan
adanya sistem adat pappaseng mampu dijadikan regulasi dalam
mengimplementasikan penataan ruang.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana mengetahui tingkat partisipasi masyarakat terhadap penataan
ruang ?
2. Bagaimana mengidentifikasi sistem pappaseng terhadap penataan ruang ?
3. Bagaimana menyusun strategi penggunaan pappaseng sebagai media
implementasi penataan ruang ?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan
a. Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat terhadap penataan
ruang.
b. Untuk mengidentifikasi sistem pappaseng terhadap penataan ruang.
c. Untuk menyusun strategi penggunaan pappaseng sebagai media
implementasi penataan ruang.
2. Manfaat
a. Pemerintah akan mudah mengimplementasikan kebijakan penataan
ruang melalui sistem adat pappaseng.
b. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penataan ruang.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan dan Konsep Teori
1. Pengertian Pappaseng
Pappaseng berasal dari kata paseng yang dapat berarti pesan(an)
(Said,1977:151); berisi nasihat bahkan merupakan wasiat yang harus diketahui
dan dikenal. Menurut Mattulada (1985:7) pappaseng adalah kumpulan amanat
atau orang-orang bijak yang awalnya diwariskan secara turun temurun dan
dihafal. Setelah itu ditulis pada daun lontar dan buku. Pengertian pappaseng
yang dikemukakan tersebut berdasarkan prosese dan fungsi pappaseng.
Mattalitti (1986:6) juga mengemukakan hal senada mengenai
papaseng, bahwa pappaseng yaitu petunjuk dan nasihat dari nenek moyang
orang Bugis zaman dahulu untuk anak cucunya, agar menjalani hudup dalam
masyarakat dengan baik. Pesan-pesan yang terdapat di dalamnya perlu
diresosialisasikan kepada masyarakat Bugis-Makassar sebagai pemilik
budaya, agar masing–masing individu dapat menghayati dan
menginternalisasikan dalam kehidupannya. Selanjutnya para orang tua dapat
mewariskan nilai–nilai kearifan lokal tersebut dengan jalan mendidik karakter
anak–anak mereka sejak dini (Iswary, 2012 : 103).
2. Bentuk-bentuk Pappaseng
Pappaseng sebagai bentuk ekspresi pikiran dan perasaan orang Bugis
muncul dalam berbagai peristiwa kehidupan masyarakat, baik peristiwa besar
atau kecil, maupun peristiwa suka dan duka. Gaya pengungkapan yang tidak
dibumbui dengan pappaseng akan terasa hambar dan kurang menarik. Cara
untuk mengungkapkan pappaseng dapat dilakukan dalam bermacam-macam
bentuk, yaitu:
a. Pappaseng dalam Bentuk Elong.
Elong berarti puisi atau nyanyian. Pappaseng dalam bentuk elong
dimaksudkan agar mendengar orang yang mengutarakan pappaseng itu
dapat berkesan di dalam hati, sehingga pappaseng tersebut dapat
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari;
b. Pappaseng dalam Bentuk Warekkada.
Warekkada dapat diartikan sebagai ungkapan atau peribahasa
dalam bahasa Indonesia, yaitu perkataan atau kelompok kata yang khusus
untuk menyatakan suatu maksud dengan arti kiasan; dan
c. Pappaseng dalam Bentuk Percakapan.
Pappaseng dalam bentuk percakapan dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu: pappaseng yang diucapkan secara monolog dan pappaseng
yang diucapkan secara dialog. pappaseng yang diucapkan secara monolog
3
adalah yang diucapkan seorang diri, sedangkan yang diucapkan secara
dialok merupakan percakapan dua orang.
3. Keyakinan Towani Tolotang
Dalam keyakinan Towani Tolotang dikenal pula adanya sadda atau
wahyu dan orang yang menerima wahyu, orang yang pertama menerima
wahyu adalah Sawerigading, beliaulah yang menyebarkan ajaran-ajaran dari
Dewata Sewwae yang diperoleh melaui sadda.
Setiap agama tentunya mempunyai kitab suci yang dijadikan sebagai
pedoman dalam beribadat dan kontak sosial dengan anggota masyarakat yang
lainnya. Kitab suci yang dijadikan pegangan oleh Towani Tolotang adalah
kitab Lontara yang lazimnya disebut Sure Galigo yang berisi empat uraian
pokok yaitu; Mula ulona Batara Guru, Taggilinna Sinapatie, Itebbanna
Walanrange, Appongenna Towanie. Lontara ini berisi petunjuk-petunjuk dan
ajaran tentang kehidupan sebelum adanya dunia ini sampai setelah
berakhirnya kehidupan di bumi.
Bagian terakhir dari keyakinan Towani Tolotang adalah appongenna
towanie, adalah riwayat ketika La Panaungi menerima sadda dari Dewata
Sewwae, sebagai petunjuk kehidupan di dunia dan di akhrat nanti. Disamping
kitab lontara yang menjadi pedoman Towani Tolotang juga terdapat apa yang
mereka sebut paseng dan pemmali sebagai salah satu sumber ajaran tentang
nilai dan norma.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Towani Tolotang berpegang
teguh pada paseng dan pemmali yang secara turun-temurun diwariskan dalam
keluarga masing-masing. Pewarisan nilai-nilai luhur dalam keluarga
merupakan kewajiban oleh penganut agama Towani Tolotang hal ini
diungkapkan dengan istilah tomatoanna jellokangngi laleng anakna artinya
orang tua seharusnya memberikan petunjuk kepada anaknya, paseng dan
pemmali inilah yang dianggap penganut agama Towani Tolotang konsep
sosial yang harus dipegang oleh setiap masyarakat yang lainnya.
Dalam pembentukan sikap peribadi dan sikap hidup bermasyarakat tiap
anggota masyarakat Towani Tolotang wajib berpegang pada sifat-sifat utama
sebagai konsep sosial masyarakat seperti :
a. Lempu atau kejujuran
b. Getteng atau sikap tegas
c. Tettong atau ketetapan hati konsekuen
d. Tongeng atau benar
e. Temmapasilaingeng atau bersikap adil.
Penganut Towani Tolotang juga meyakini adanya kehidupan sesudah
mati, atau hari kemudian, yang mereka sebut lino paimeng sebagai hari
pembalasan, mereka yang selama hidup di dunia taat pada aturan agama dan
Uwwa akan ditempatkan di Lipu Bonga, semacam surga bagi ummat Islam.
4
Untuk mendapatkan keselamatan hidup di akhirat maka manusia harus
mengetahui tujuan hidupnya.
4. Pappaseng dalam Kearifan Lokal Bugis
Kearifan lokal dapat dikatakan sebagai usaha manusia yang
menggunakan akal budinya untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu,
objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Koestoro, 2010: 122).
Sedangkan menurut Hendrawan (2011: 230) dalam kearifan lokal, terkandung
pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan
lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan
budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka
waktu yang lama dalam suatu masyarakat.
Hilangnya atau musnahnya kearifan lokal atau local genius berarti
memudarnya kepribadian suatu masyarakat, sedangkan kuatnya local genius
untuk bertahan dan berkembang menunjukkan pula kepribadian masyarakat
itu. Hal penting sekali adalah usaha pemupukan serta pengembangan local
genius tersebut yang berfungsi dalam seluruh kehidupan masyarakat, baik
dalam gaya hidup masyarakat, dalam pola dan sikap hidup, persepsi, maupun
dalam orientasi masyarakat (Ayatrohaedi, 1986: 33).
Isi pappaseng atau pappasang yang berbentuk manuskrip berbahasa
Bugis-Makassar antara lain adalah pemberian tuntunan kepada masyarakat
agar menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir,
raga, rasa, dan karsa, baik sebagai pemimpin maupun anggota masyarakat
(Iswary, 2012: 98-99).
Pesan-pesan yang terdapat di dalamnya perlu diresosialisasikan kepada
masyarakat Bugis-Makassar sebagai pemilik budaya, agar masing-masing
individu dapat menghayati dan menginternalisasikan dalam kehidupannya.
Selanjutnya para orang tua dapat mewariskan nilai-nilai kearifan lokal tersebut
dengan jalan mendidik karakter anak-anak mereka sejak dini (Iswary, 2012:
103). Jenis-jenis pesan yang bersumber dari kearifan lokal Bugis tersebut
sangatlah kaya akan nuansa pendidikan, khususnya pendidikan manusia yang
berkarakter.
B. Penelitian yang Relevan
Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Iskandar yang berjudul
“Bentuk, Makna dan Fungsi Pappaseng dalam Kehidupan Masyarakat Bugis di
Kabupaten Bombana” memberikan kesimpulan bahwa isi lontara pappaseng sarat
dengan nilai-nilai yang relevan dengan ajaran agama Islam, keyakinan mayoritas
masyarakat Bugis. Selain itu, juga berisi berbagai nilai yang universal. Cocok
untuk generasi lalu, generasi kini, dan generasi yang akan datang. Dengan
keunggulan dan kekayaan akan nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat di
dalamnya yang memuat pendidikan budaya dan karakter bangsa, olehnya itu
5
seyogianya ajaran pappaseng ini tetap dilestarikan dengan cara mengajarkannya
lewat pendidikan non formal, baik di rumah maupun dalam lingkungan
masyarakat sekitarnya, begitu juga lewat pendidikan formal di sekolah dalam
bentuk mengintegrasikan nilai-nilai pappaseng dalam pembelajaran (local
content), khususnya pada pembelajaran IPS.
Johar Amir juga melakukan penelitian mengenai “Pappaseng Alempureng
sebagai Sarana Pengendalian Diri Pada Masyarakat Bugis” yang mengemukakan
bahwa pappaseng ini sangat terkait dengan kehidupan sekarang. Bangsa Indonesia
mendambakan pemimpin yang tidak hanya mengumbar janji pada saat akan
dipilih menjadi pemimpin, tetapi janji-janji yang telah diucapkan harus
dilaksanakan agar masyarakat tetap percaya pada pemimpinya. Hal ini banyak
terjadi menjelang pemilihan pimpinan mulai dari tingkat kelurahan sampai tingkat
propinsi, bahkan pemilihan pemimpin negara juga banyak mengumbar janji.
Namun, setelah terpilih kadang sudah lupa terhadap janjinya. Dengan demikian
pappaseng alempureng ini sebagai sarana pengendalian khususnya para pemimpin
dan masyarakat Indonesia secara umum.
Fokus utama pada penelitian Kearifan Lokal dalam Sastra Bugis Klasik
yang ditulis oleh Mashadi Said meliputi sure galigo, lontara, paseng/pappaseng
toriolota/ungkapan dan elong/syair. Kearifan lokal yang menjadi fokus utama
meliputi ati mapaccing (bawaan hati yang baik), konsep pemerintahan yang baik
(good governance), amaradekangeng (demokrasi), penegakan hukum, reso
(motivasi berprestasi), assimellereng (kesetiakawanan sosial), dan mappasitinaja
(kepatutan). Kearifan lokal dalam kepustakaan Bugis masih sangat relevan dengan
perkembangan zaman. Karena itu, kearifan lokal sebagai jati diri bangsa perlu
direvitalisasi, khususnya bagi generasi muda dalam pencaturan global saat dan di
masa datang. Dengan demikian, identitas sebagai bangsa baik secara fisik maupun
non fisik akan tetap terjaga.
Irawati dalam tulisannya “Peranan Watta (Tetua Adat) dalam Pembagian
Warisan Masyarakat Adat Towani Tolotong di Amparita Sulawesi Selatan”
menyimpulkan peranan Uwatta dalam pelaksanaan pembagian warisan
masyarakat adat Towani Tolotang adalah sebagai mediator jika terjadi sengketa
warisan, tapi terkadang juga Uwatta berperan sebagai saksi dalam pelaksanaan
pembagian warisan. Pada saat Uwatta berperan sebagai mediator, Uwatta selalu
mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Namun dalam kondisi tertentu,
Uwatta terkadang harus mengambil inisiatif untuk menetapkan sendiri keputusan
tersebut, dan biasanya keputusan yang di ambil Uwatta merupakan keputusan
yang final.
6
BAB III
METODE PENULISAN
A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dilakukan berlokasi di Kelurahan Amparita,
Kabupaten Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan lokasi
tersebut didasarkan bahwa mayoritas untuk Komunitas Towani Tolotang berada di
Amparita yang masih mempertahankan pappaseng sebagai wasiat dari leluhur
yang harus dijaga dan dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari.
B. Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian ini berlangsung selama 1 bulan. Waktu penelitian
tersebut mencakup tahap persiapan penelitian, tahap pelaksanaan penelitian dan
tahap penyusunan laporan.
C. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis dan pendekatan penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian
deskriptif dan pendekatan kualitatif. Penggunaan jenis penelitian deskriptif
disebabkan karakter penelitian ini relevan dengan kriteria penelitian deskriptif
yaitu peneliti melibatkan diri untuk memahami fenomena penelitian dengan cara
pengamatan, wawancara, dan data pendukung lainnya yang diperoleh dari bukubuku, tesis dan jurnal-jurnal ilmiah, serta berbagai dokumen yang relevan dan
membahas mengenai pappaseng.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang memberikan
perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks
keberadaannya (Ratna, 2008:47). Alasan penggunaan pendekatan ini karena
penelitian ini berlatar alamiah, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian,
data penelitian dianalisis secara induktif, serta bersifat deskriptif.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
teknik participation observation, yaitu suatu teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara peneliti berbaur langsung dalam kehidupan masyarakat
yang menjadi objek dari penelitian yang dilakukan, melakukan wawancara
langsung terhadap masyarakat, melalui kajian kepustakaan dan survey lapangan.
E. Metode Analisis
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode
analisis deskriptif dan analisis partisipatif yang dipakai untuk mendeskripsikan
atau menggambarkan tentang kondisi masyarakat Komunitas Towani Tolotang
terhadap partisipasi mereka terhadap pelaksanaan sistem adat pappaseng.
7
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Tingkat Partisipasi Masyarakat terhadap Penataan Ruang
Setiap suku bangsa di dunia memiliki ciri khas sendiri yang menjadi jati
diri seperti halnya Komunitas Towani Tolotang yang tetap berupaya melestarikan
dan mempertahankan budaya mereka. Komunitas Towani Tolotang merupakan
salah satu kelompok sosial yang memiliki aliran kepercayaan tradisional yang
bersumber dari kepercayaan Sawerigading.
Komunitas Towani Tolotang menanggalkan aliran kepercayaannya dan
memilih bernaung dibawah agama Hindu pada tahun 1966. Kepemimpinan
tradisional Towani Tolotang dipegang oleh para Uwwa yang berperan penting
dalam menjaga ajaran leluhur secara turun temurun. Komunitas Towani Tolotang
mempunyai norma tersendiri dalam melakukan interaksi sosial yang bersifat
mengikat anggotanya dengan aturan yang harus ditaati serta berbagai ganjaran
apabila ajaran tersebut tidak dijalankan.
Aturan dalam pelaksanaan penataan ruang belum diketahui oleh
Komunitas Towani Tolotang sehingga dalam pelaksanaannya masih terdapat
kesalahan yang dilakukan. Seperti halnya dalam pembangunan rumah yang
terdapat di Keluarahan Amparita, Kabupaten Sidenreng Rappang. Selain itu
kurangnya pengetahuan akan dampak yang ditimbulkan juga sangat minim karena
mayoritas dari komunitas ini hanya menempuh pendidikan sampai ditingkat SMP
dan adanya faktor budaya yang melarang mereka untuk melanjutkan pendidikan
terkhusus bagi mereka yang memiliki keturunan Uwwa. Sehingga pemahaman
akan penataan ruang dan tingkat partisipasi mereka pun cenderung rendah.
Berbeda halnya dengan sistem adat pappaseng yang mereka jadikan
pedoman hidup dalam kesehariannya. Komunitas Towani Tolotang sangat
memegang teguh pappaseng yang dijalankan oleh Uwwa sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi. Kesolidan dan kepatuhan mereka terhadap Uwwanya sangat
kuat dan komunitas ini juga masih mempertahankan strata sosial masyarakat yang
disebut kasta. Setiap penganut komunitas ini sangat menjunjung tinggi sifat-sifat
utama dari konsep sosialnya karena merupakan manifestasi dari tingkah laku yang
akan memberikan ketentraman. Semakin tinggi derajat seseorang dalam
Komunitas Towani Tolotang maka semakin tinggi pula kepatuhan mereka untuk
menjalankan sistem adat pappaseng karena menjadi panutan bagi masyarakat
yang lainnya. Adapun sistem adat pappaseng yang dimaksud yaitu :
1. Lempu (kejujuran)
Lempu dalam bahasa Indonesia artinya jujur, sama dengan lurus. Nilainilai kejujuran pada masyarakat Bugis sangat dijunjung tinggi sejak dahulu.
Salah satu faktor yang sangat mendasari budaya orang Bugis dalam kehidupan
sehari-hari adalah sifat kejujuran.
8
2. Mappasitinaja (kepatutan)
Mappasitinaja berasal dari kata sitinaja yang berarti pantas, layak atau
patut. Kata ini berasal dari tinaja yang berarti cocok, sesuai, pantas atau patut.
Mengambil sesuatu dari tempatnya dan meletakkan sesuatu pada tempatnya,
termasuk perbuatan mappasitinaja. Nilai kepatutan ini erat hubungannya
dengan nilai kemampuan jasmaniah dan ruhaniah. Penyerahan atau
penerimaan sesuatu, apakah itu amanat atau tugas, haruslah didasarkan atas
kepatutan dan kemampuan.
3. Siparapakkei (saling menyelamatkan)
Siparapakkei berasal dari kata siparapa yang berarti berdekatan, saling
merangkul sedangkan kata kei berarti menyuruh jadi siparapakkei memiliki
arti bahwa setiap orang harus saling menyelamatkan satu sama lain dan cepat
mengambil tindakan penyelamatan atas musibah yang menimpa seseorang.
4. Assimellereng (kesetiakawanan sosial)
Assimellereng adalah saling tolong menolong, peduli antar sesama,
memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi. Dalam kehidupan sehari-hari,
manifestasi kesehatian dan kerukunan itu disebutkan dalam ungkapan bugis :
Tejjali tettappere, banna mase-mase. Ungkapan tersebut biasanya diucapkan
ketika seorang tuan rumah kedatangan tamu. Maksudnya adalah “kami tidak
mempunyai apa-apa untuk kami suguhkan kepada tuan. Kami tidak
mempunyai permadani atau sofa yang empuk untuk tuan duduki. Yang kami
miliki adalah kasih sayang”.
5. Getteng (keteguhan)
Getteng dalam bahasa Indonesia artinya teguh, kata ini pun berarti
tetap-asas atau setia pada keyakinan, atau kuat dan tangguh dalam pendirian,
erat memegang sesuatu. To Ciung Maccae ri Luwu mengungkapkan bahwa
empat perbuatan nilai keteguhan (a) Tak mengingkari janji, (b) tak
mengkhianati kesepakatan, (c) tak membatalkan keputusan, tak mengubah
kesepakatan, dan (d) jika berbicara dan berbuat, tak berhenti sebelum rampung
(Rahim,1985).
6. Warani (keberanian)
Warani adalah suatu sifat pemberani yang dimiliki oleh setiap
manusia. Memiliki keberanian yang tinggi dalam melakukan sesuatu sesuai
dengan prinsip kebenaran dan kejujuran. Keberanian dalam konteks ini dibagi
dalam beberapa bagian yaitu:
a. De na matau ripariolo yang artinya selalu ingin di depan atau tidak
takut jadi pelopor.
b. De na matau riparimunri yang artinya selalu memberikan kesempatan
kepada orang lain yang lebih baik darinya atau tidak takut ditempatkan
di belakang.
c. De na matau mengkalinga kareba yang artinya dapat menerima kritik
dan saran dari orang lain, memiliki jiwa dan rasa ingin tahu yang
9
besar, serta dapat menerima kabar yang baik maupun kabar yang
buruk.
d. De na matau ammita bali yang artinya berani dalam menghadapi
lawan baik dalam melakukan perundingan maupun ketika dalam
berperang serta memiliki jiwa yang tegas dan konsisten.
B. Identifikasi Sistem Pappaseng terhadap Penataan Ruang
Towani Tolotang sebagai sebuah komunitas agama mempunyai norma
tersendiri dalam melakukan interaksi sosial dan norma yang berlaku di kalangan
mereka bersifat mengikat anggota masyarakat dengan berbagai aturan yang harus
ditaati serta berbagai ganjaran yang harus diterima oleh orang-orang yang lalai
dalam menjalankan norma yang ada.
Dalam sistem kepemimpinan yang dijalankan oleh Uwwa selalu berdasar
terhadap pappaseng yang dijadikan sebagai pegangan sehingga segala yang
dilakukan tidak akan tersesat dan mengambang. Uwwa sebagai pemegang kasta
tertinggi dapat berperan dalam mengawali implementasi penataan ruang melalui
sistem pappaseng. Adapun identifikasi sistem pappaseng terhadap penataan ruang
yaitu :
1. Lempu (kejujuran)
Kehidupan Komunitas Towani Tolotang sangat berpegangan teguh
terhadap nilai-nilai kejujuran yang dijadikan sebagai suatu keharusan sehingga
meraka terus memelihara sifat tersebut. Ketika tidak mampu mempertahankan
sifat tersebut maka konsekuensi yang akan diterima yaitu akan dikucilkan
dalam kehidupan bermasyarakat sehingga seluruh masyarakat senantiasa
bersikap jujur. Bila dihubungkan dengan penataan ruang maka setiap
masyarakat harus berkata jujur terhadap Uwwa mengenai seluruh
pembangunan yang dilakukan kemudian peran Uwwa akan menyampaikan
kepada Pemerintah sehingga mencegah terjadinya penyelewengan .
2. Mappasitinaja (kepatutan)
Sistem pemberian amanah yang diberikan oleh Uwwa kepada
seseorang yang memiliki sifat mappasitinaja atau kepatutan melalui pandangan
Uwwa terhadap orang tersebut yang dinilainya pantas untuk melaksanakan
amanah yang diberikan. Aspek kepatutan bila dihubungkan dengan penataaan
ruang yakni apabila masyarakat ingin melakukan pembangunan maka Uwwa
memiliki peran untuk melihat kelayakan pembangunan tersebut bersama
dengan pemerintah.
3. Siparapakkei (saling menyelamatkan)
Siparapakkei dalam komunitas Towani Tolotang juga sangat dipegang
teguh oleh masyarakat setempat. Sifat saling menyelamatkan dan
mendahuluan kepedulian sosial wajib di implementasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Salah satu bentuk siparapakkei dalam kehidupan masyarakat
Towani Tolotang yaitu ketika terjadi suatu musibah yang menimpa anggota
10
masyarakatnya, maka Uwwa akan segera mengambil sebuah tindakan untuk
memerintahkan seluruh pengikutnya agar bergegas menyelamatkan anggota
keluarga yang terkena musibah. Sama halnya dalam penataaan ruang, Uwwa
harus menyelamatkan lingkungan melalui sosialisasi kepada seluruh
masyarakat agar tetap mempertahankan kestabilan lingkungan dalam lingkup
wilayah mereka.
4. Assimellereng (kesetiakawanan sosial)
Assimellereng dalam kehidupan sosial masyarakat Towani Tolotang
diwujudkan dalam bentuk gotong-royong apabila terdapat masyarakat yang
memerlukan bantuan seperti ketika pembuatan rumah yang memerlukan
banyak tenaga dalam proses pembuatannya sehingga masyarakat sekitar saling
bahu-membahu untuk membantu dalam tahap penyelesaian pembuatan rumah
tersebut. Kegiatan ini telah relevan dengan penataan ruang, seperti halnya
ketika mereka mendapatkan sebuah arahan dari Uwwa untuk melakukan
pembangunan maka akan diselesaikan dengan cara gotong-royong sehingga
dalam pembangunan ini tidak berdasar atas kepentingan pribadi tetapi untuk
kepentingan bersama.
5. Getteng (Keteguhan)
Nilai pappaseng juga mengatur keputusan yang diambil oleh Uwwa.
Hal ini dibuktikan ketika Uwwa mengambil keputusan dalam menentukan
jadwal, baik jadwal upacara adat maupun penentuan tanggal pernikahan
masyarakatnya maka hal itu menjadi keputusan mutlak yang wajib dipatuhi
oleh seluruh masyarakat Komunitas Towani Tolotang. Ketika pappaseng ini
dihubungkan dengan penataan ruang maka Uwwa dalam memberikan
hukuman/sanksi kepada masyarakat yang melanggar aturan harus dijalankan
tanpa mengenal status sosial.
6. Warani (Keberanian)
Warani dalam adat pappaseng yang ada di komunitas Towani
Tolotang ditunjukkan melalui sifat masyarakat yang berani menerima kritik
dan saran dari orang lain karena hal ini dianggap sebagai wujud kepedulian
antar sesama. Wujud dalam penataan ruang untuk pappaseng warani berupa
keberanian masyarakat untuk melakukan pelaporan kepada Uwwa ketika
terdapat masyarakat dalam Komunitas Towani Tolotang melanggar aturan
yang telah ditetapkan.
C. Strategi Penggunaan Pappaseng Sebagai Media Implementasi Penataan
Ruang
Dalam konteks budaya Komunitas Towani Tolotang, pappaseng yang
dikendalikan oleh Uwwa sangat dimuliakan. Ia tidak boleh dianggap sebagai
ungkapan-ungkapan manis tanpa makna. Ia harus dipertaruhkan karena isinya
menekankan keharusan dan pantangan. Oleh karena itu, seseorang yang
memelihara pappaseng akan selalu terpandang di tengah-tengah masyarakat.
11
Sebaliknya, seseorang yang tidak mengindahkannya bisa saja menanggung sanksi
yang amat berat, nama baiknya tercemar dan kedudukan sosialnya menjadi rendah
sehingga sangat sulit beradaptasi dalam pergaulan masyarakat hingga dikucilkan
dalam masyarakat.
Kepatutan masyarakat terhadap pemimpinnya yakni Uwwa sangat kuat
dan hal ini dapat dijadikan strategi dalam pengimplementasian penataan ruang.
Strategi yang dapat dilakukan yaitu menjalin kerja sama dan berkolaborasi antara
pemerintah dan Uwwa dengan membuat regulasi pappaseng dalam kegiatan
musrembangdes, menciptakan rambu pappaseng sebagai kontrol sosial dan
meningkatkan pemahaman pappaseng sebagai pembelajaran formal bagi generasi
muda masyarakat Komunitas Towani Tolotang sehingga mampu memberikan
pemahaman tentang perumahan dan permukiman sebagai unsur dominan dalam
pembangunan kota.
Sistem adat pappaseng yang berupa lempu (kejujuran), mappasitinaja
(kepatutan), siparapakkei (saling menyelamatkan), assimellereng (kesetiakawanan
sosial), getteng (keteguhan) dan warani (keberanian) dapat dijadikan regulasi
dalam penataan ruang seperti setiap masyarakat komunitas towani tolotang harus
berkata lempu (jujur) ketika melakukan sebuah pembangunan perumahan yang
harus sesuai dengan aturan-aturan sebagai wujud mappasitinaja (kepatutan)
mereka. Untuk mengatasi permasalahan perumahan dan permukiman maka
masyarakat Komunitas Towani Tolotang harus siparapakkei (saling
menyelamatkan) dan juga memiliki sifat rasa assimellereng (saling tolong
menolong) yang dapat diwujudkan melalui kerja bakti dalam pemeliharaan
lingkungan yang telah diarahkan oleh Uwwa. Adapun untuk sifat getteng
(keteguhan) dapat diwujudkan melalui konsistensi Uwwa dalam aturan dan
pengambilan suatu keputusan tanpa mengenal status. Selain itu, setiap masyarakat
juga harus mempunyai sifat warrani (keberanian) untuk melaporkan setiap
tindakan yang melanggar penataan ruang dan merusak lingkungan seperti
membuang sampah disembarang tempat, membangun tanpa izin, menebang pohon
dan lain sebagainya.
Penambahan pengetahuan akan pentingnya penataaan ruang juga dapat
dilakukan dengan pembuatan papan informasi mengenai penataan ruang
terkhusunya tentang ketertiban permukiman yang dikaitkan dengan adat
pappaseng. Penguatan peran Uwwa juga sangat diperlukan seperti memberikan
paradigma persamaan kedudukan antara pappaseng dengan aturan penataan ruang
kepada seluruh masyarakat bahwa masyarakat yang mengikuti aturan akan
terpandang didalam masyarakat sedangkan yang melanggar akan mendapat sanksi
yang berat seperti dikucilkan.
Penyampaian regulasi mengenai penataan ruang dapat dilakukan oleh
Uwwa ketika adanya kegiatan upacara adat karena seluruh penganut kepercayaan
ini akan berkumpul bersama meski berada di daerah lain. Titik perkumpulan
mereka berada di Kelurahan Amparita, Kabupaten Sidenreng Rappang yang di
12
mayoritasi oleh Komunitas Towani Tolotang. Uwwa akan menyampaikan regulasi
penataan ruang yang didengarkan oleh seluruh komunitas ini tanpa terkecuali
karena kegiatan upacara adat merupakan salah satu kewajiban mereka yang harus
dilaksanakan. Apapun keputusan yang diberikan oleh Uwwa akan senantiasa
dijalankan oleh para pengikutnya.
Adanya sistem adat pappaseng yang dijadikan regulasi penataan ruang
dalam Komunitas Towani Tolotang akan mampu mewujudkan agenda kota baru
yang berkelanjutan sesuai dengan penataan ruang. Selain di Kelurahan Amparita
yang mewujudkan kota baru, maka akan mendorong pula daerah lainnya karena
Komunitas Towani Tolotang tidak hanya terdapat di Amparita tetapi tersebar di
seluruh nusantara sehingga setiap orang yang tergabung dalam komunitas ini akan
melakukan segala yang diperintahkan oleh Uwwa meskipun berada didaerah lain.
Komunitas ini percaya bahwa dimana pun mereka berada tetapi budaya dan
perintah yang diberikan Uwwa harus tetap terlaksana.
13
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pappaseng merupakan pesan atau nasihat dari nenek moyang orang bugis
untuk dijadikan pedoman dalam menjalani hidup. Sistem adat pappaseng yang
terdapat didalam Komunitas Towani Tolotang sangat dijunjung tinggi karena
isinya menekankan keharusan dan pantangan yang apabila dipatuhi maka akan
selalu terpandang di dalam masyarakat namun ketika dilanggar maka mendapat
sanksi, nama baiknya tercemar dan kedudukan sosialnya menjadi rendah. Sistem
adat pappaseng yang dimaksud yaitu lempu (kejujuran), mappasitinaja
(kepatutan), siparapakkei (saling menyelamatkan), assimellereng (kesetiakawanan
sosial), getteng (keteguhan) dan warani (keberanian). Tingkat partisipasi
masyarakat dalam sistem adat penataan ruang sangat tinggi yang dibuktikan
dengan pengaplikasian masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Keberadaan sistem adat pappaseng dapat dijadikan strategi dalam
implementasi penataan ruang dengan cara menjalin kerja sama antara pemerintah
dengan Uwwa dengan membuat regulasi pappaseng dalam kegiatan
musrembangdes, menciptakan rambu pappaseng sebagai kontrol sosial dan
meningkatkan pemahaman pappaseng sebagai pembelajaran formal bagi generasi
muda masyarakat Komunitas Towani Tolotang.
Sikap kepatuhan Komunitas Towani Tolotang terhadap Uwwa
memberikan peluang yang sangat besar untuk mengimplementasikan kebijakan
penataan ruang. Adapun nilai pappaseng yang relevan dengan penataan ruang
yang dapat dijadikan strategi yakni melibatkan setiap masyarakat komunitas
towani tolotang agar berkata lempu (jujur) ketika melakukan sebuah
pembangunan perumahan yang harus sesuai dengan aturan-aturan sebagai wujud
mappasitinaja (kepatutan) mereka. Untuk mengatasi permasalahan perumahan
dan permukiman maka masyarakat Komunitas Towani Tolotang harus
siparapakkei (saling menyelamatkan) dan juga memiliki sifat rasa assimellereng
(saling tolong menolong) yang dapat diwujudkan melalui kerja bakti dalam
pemeliharaan lingkungan yang telah diarahkan oleh Uwwa. Adapun untuk sifat
getteng (keteguhan) dapat diwujudkan melalui konsistensi Uwwa dalam aturan
dan pengambilan suatu keputusan tanpa mengenal status. Selain itu, setiap
masyarakat juga harus mempunyai sifat warrani (keberanian) untuk melaporkan
setiap tindakan yang melanggar penataan ruang dan merusak lingkungan seperti
membuang sampah disembarang tempat, membangun tanpa izin, menebang pohon
dan lain sebagainya. Penambahan pengetahuan masyarakat mengenai penataan
ruang dapat pula dilakukan dengan membuat papan informasi mengenai ketertiban
permukiman dan peran Uwwa juga sangat diperlukan untuk memberikan
paradigma kepada masyarakat terkait kedudukan pappaseng dengan aturan
penataan ruang yang memiliki persamaan.
14
B. Saran
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah
dikemukakan maka saran yang dapat diberikan dalam mewujudkan implementasi
penataan ruang khususnya dalam mengatasi permasalahan perumahan dan
permukiman yaitu :
1. Pemerintah
Menjalin kerja sama dan berkolaborasi dengan Uwwa dalam
mewujudkan pengimplementasian penataan ruang dengan membuat regulasi
yang sesuai dengan sistem adat pappaseng didalam Komunitas Towani
Tolotang. Selain itu, pemerintah daerah juga harus mengoptimalkan dalam
memberikan berbagai pelayanan kepada seluruh masyarakat Komunitas
Towani Tolotang, sehingga tidak menimbulkan perbedaan dan
ketidakharmonisan di antara mereka.
2. Masyarakat
Komunitas Towani Tolotang harus mematuhi dan menjalankan segala
aturan yang telah diputuskan oleh pemerintah daerah serta ikut berpartisipasi
dalam pelaksaanaan pembangunan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Johar dan Ambo Dalle. (2010). “Pappaseng Alempureng sebagai Sarana
Pengendalian Diri Pada Masyarakat Bugis”. Makalah pada Seminar
Internasional Bahasa dan Sastra Se-Asia Tenggara, Universitas Negeri
Makassar
Abbas, Irwan. (2013). “Pappaseng : Kearifan Lokal Manusia Bugis Yang
Terlupakan”. Jurnal Sosiohumaniora. 15 (3), 275-278.
Faisal Hajji, Ahmad. (2004). Agama Sebagai Konsep Sosial Towani Tolotang di
Kabupaten Sidrap. Tesis Magister pada Unversitas Negeri Makassar.
Iskandar. (2016). “Bentuk, Makna, dan Fungsi Pappaseng Dalam Kehidupan
Masyarakat Bugis di Kabupaten Bombana”. Jurnal Bastra. 1(2), 2-4.
Khalikin, Ahsanul. (2011). “Eksistensi dan Perkembangan Kepercayaan Towani
Tolotang di Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidenreng Rappang”.
Jurnal Multikultural & Multireligius. 10, 825-831.
Muhammadong. (2002). Kandungan Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Sastra
Bugis (Kajian Terhadap Pappaseng. Skripsi Sarjana Strata Satu (S1) pada
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Said, Mashadi. (2007). “Kearifan Lokal Dalam Sastra Bugis Klasik”. Jurnal
Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil. 2, 19-21.
Samad, Abdu. (2010). Pengaruh Nilai Budaya Bugis Terhadap Perilaku Aparat
Birokrasi di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone. Tesis Magister pada
Universitas Hasanuddin.
Syamsudduha. (2013). Pappaseng Sebagai Falsafah Hidup Masyarakat Bugis Di
Sulawesi Selatan (Onlline). Tersedia : http://syamsudduhaa.blogspot.co.id
/2013/10/pappaseng-sebagai-falsafah-hidup.html. (30 Maret 2017).
16
Lampiran 1
PETA ADMINISTRASI KABUPATEN SIDRAP
Lampiran 2
PETA ADMINISTRASI KECAMATAN TELLU LIMPOE
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Biodata Ketua Tim
A. Data Pribadi
Nama
TTL
Jenis Kelamin
NIM
Fakultas/Jurusan
Perguruan Tinggi
Alamat Asal
Alamat Kos
HP
E-mail
KARTINI
Pangkajene, 21 April 1996
Perempuan
60800114072
Sains dan Teknologi/Teknik Perencanaan Wilayah & Kota
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Jl. Sultan Hasanuddin, Pangkajene-SIDRAP
Pondok Nuryah Samata, Samata-Gowa
085216078423
[email protected]
B. Penghargaan Kepenulisan (Selama menjadi Mahasiswa)
Institusi
Jenis
No.
Judul Karya
Pemberi
Penghargaan
Penghargaan
Tahun
1.
Peserta
HMT PWK
Universitas
Gadjah Mada
2.
Delegasi UI
Youth
Environmental
Action 2016
“Sanitation,
Water, and
Settlement”
BEM
Universitas
Indonesia
Mendorong Program STBM yang
Lebih Implementatif Di Desa Balang
Baru Kabupaten Jeneponto
2016
Semifinalis
Universitas
Negeri
Semarang
Komunitas Minoritas & Desa Religi
Amparita
2016
BEM U KBM Pendekatan
Partisipatif
Dalam
Universitas Pelestarian Budaya Lokal Towani
Lampung
Tolotang
2016
3.
4.
Peserta
Pemanfaatan Kanal Sebagai Media
Transportasi Air Di Kota Makassar
Untuk Mewujudkan Kota Hijau
2016
PAPPASENG ; MEDIA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN
RUANG DENGAN PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL
DI KELURAHAN AMPARITA KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG
Diusulkan Oleh:
1. KARTINI
60800114072/ 2014
2. YAYAH AWALIYAH
60800114052/ 2014
3. ASWITA WIRYADISURIA 60800114053/ 2014
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
SAMATA-GOWA
2017
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama Ketua
:Kartini
Tempat, Tanggal lahir :Pangkajene, 21 April 1996
Jurusan/ Fakultas
:Teknik Perencanaan Wilayah & Kota/ Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi
:Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Nama Anggota 1
:Yayah Awailiyah
Tempat, Tanggal lahir :Watansoppeng, 17 Desember 1995
Jurusan/ Fakultas
:Teknik Perencanaan Wilayah & Kota/ Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi
: Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Nama Anggota 2
:Aswita Wiryadisuria
Tempat, Tanggal lahir :Masamba, 28 April 1995
Jurusan/ Fakultas
:Teknik Perencanaan Wilayah & Kota/ Sains dan Teknologi
Perguruan Tinggi
:Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Dengan ini menyatakan bahwa karya tulis yang berjudul:
Pappaseng ; Media Implementasi Kebijakan Penataan Ruang dengan
Pendekatan Kearifan Lokal di Kelurahan Amparita Kabupaten Sidenreng
Rappang adalah benar-benar hasil karya sendiri dan bukan merupakan plagiat dari
karya tulis orang lain serta belum pernah diikutsertakan dalam kompetisi
sebelumnya. Apabila dikemudian hari pernyataan ini tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi yang telah ditetapkan oleh panitia PLANOPOLIS 2017
berupa diskualifikasi dari kompetisi. Demikian pernyataan ini dibuat dengan
sebenar-benarnya.
Samata-Gowa, 1 April 2017
Materai
6000
Kartini
i
LEMBAR PENGESAHAN
1.Judul
:Pappaseng ; Media Implementasi Kebijakan Penataan
Ruang dengan Pendekatan Kearifan Lokal di Kelurahan
Amparita Kabupaten Sidenreng Rappang
:Sosial Budaya
2.Sub Tema
3.Ketua Tim
a.Nama Lengkap :Kartini
b.NIM
:60800114072
c.Jurusan/ Fakultas :Teknik Perencanaan Wilayah & Kota/Sains dan Teknologi
d.Perguruan Tinggi :Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
e.Alamat Rumah :Samata-Gowa
f.No. HP
:085216078423
g.Alamat E-mail :[email protected]
4.Dosen Pendamping
a.Nama
:Fadhil Surur, S.T, M.Si
b.NIP
:19890306 201503 1 006
Samata-Gowa, 1 April 2017
Mengetahui,
Dosen Pendamping
Ketua Tim
Fadhil Surur, S.T, M.Si
NIP 19890306 201503 1 006
Kartini
NIM 60800114072
Disetujui,
Ketua Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota
Dr. Muhammad Anshar, S.Pt., M.Si
NIP 19760603 2002212 1 005
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penyusunan karya tulis ilmiah yang berjudul “Pappaseng ;
Media Implementasi Kebijakan Penataan Ruang dengan Pendekatan Kearifan
Lokal di Kelurahan Amparita Kabupaten Sidenreng Rappang” dapat selesai tepat
pada waktunya.
Penyusunan karya tulis ilmiah ini dibuat untuk mengikuti kegiatan
perlombaan yang diadakan oleh Departemen Perencanaan Wilayah & Kota,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang bertema “Great Innovation for
Housing & Settlement towards New Urban Agenda”.
Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini, kami mengucapkan banyak
terima kasih terkhususnya kepada Bapak Fadhil Surur, S.T, M.Si. yang telah
meluangkan waktunya untuk terus membimbing kami hingga tahap penyelesaian
dan semua pihak yang telah mendukung dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini
yang tak bisa kami sebutkan satu persatu. Harapan kami bahwa karya tulis ilmiah
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah wawasan dan
pengetahuan tentang budaya pappaseng yang dapat dijadikan sebagai media
implementasi penataan ruang.
Kami menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan
dengan keterbatasan yang kami miliki maka kritik dan saran yang membangun
sangat kami harapkan demi perbaikan karya tulis ilmiah selanjutnya. Akhir kata,
sekian dan terima kasih.
Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Samata-Gowa, 1 April 2017
Ketua Tim
Kartini
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ ii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iv
ABSTRAK ................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Perumusan Masalah .......................................................................... 2
C. Tujuan dan Manfaat .......................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 3
A. Landasan dan Konsep Teori .............................................................. 3
B. Penelitian yang Relevan .................................................................... 5
BAB III METODE PENULISAN .............................................................. 7
A. Lokasi Penelitian ............................................................................... 7
B. Waktu Penelitian ............................................................................... 7
C. Jenis dan Pendekatan Penelitian........................................................ 7
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 7
E. Metode Analisis ................................................................................ 7
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................ 8
A. Tingkat Partisipasi Masyarakat Terhadap Penataan Ruang .............. 8
B. Identifikasi Sistem Pappaseng Terhadap Penataaan Ruang ............. 10
C. Strategi Penggunaan Pappaseng Sebagai Media Implementasi
Penataan Ruang ................................................................................. 11
BAB V PENUTUP ....................................................................................... 14
A. Kesimpulan ....................................................................................... 14
B. Saran .................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 15
LAMPIRAN
iv
PAPPASENG ; MEDIA IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENATAAN
RUANG DENGAN PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL
DI KELURAHAN AMPARITA KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG
Kartini, Yayah Awaliyah, Aswita Wiryadisuria
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Makassar
[email protected]
Pertumbuhan permukiman masyarakat Amparita yang dominan beragama Hindu
Tolotang mendorong terjadinya perubahan lingkungan secara signifikan. Hal
tersebut menandakan rendahnya implementasi kebijakan penataan ruang. Pada sisi
yang berbeda masyarakat setempat memiliki tradisi kearifan lokal yang menjadi
pedoman hidup secara fundamental dalam sistem adat pappaseng yang
dikendalikan oleh Uwwa. Sistem budaya yang bergerak selaras dengan agama
dapat menjadi alternatif dalam meningkatkan partisipasi masyarakat. Tujuan
penelitian ini adalah mengetahui tingkat partisipasi masyarakat, mengindetifikasi
sistem pappaseng dan menyusun strategi penggunaan pappaseng sebagai media
implementasi penataan ruang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan memperoleh data dari hasil wawancara, pemetaan partisipatif, kajian
kepustakaan dan survey lapangan. Metode analisis mencakup analisis deksriptif
dan analisis partisipatif. Hasil penelitian menujukkan bahwa tingkat partisipasi
masyarakat dalam penataan ruang dengan menggunakan pendekatan formal
cenderung rendah. Uwwa sebagai pemegang kasta tertinggi berperan dalam
mengawali implementasi penataan ruang. Nilai pappaseng yang relevan dengan
penataan ruang antara lain lempu (kejujuran), mappasitinaja (kepatutan),
siparapakkei (saling menyelamatkan), assimellereng (kesetiakawanan sosial),
getteng (keteguhan) dan warani (keberanian). Masing-masing nilai pappaseng
kemudian diterjemahkan dalam berbagai aktifitas masyarakat yang dapat
menstimulus peningkatan partisipasi. Strategi penggunaan pappaseng sebagai
media implmetasi penataan ruang dilakukan dengan membuat regulasi pappaseng
dalam kegiatan musrembangdes, menciptakan rambu pappaseng sebagai kontrol
sosial dan meningkatkan pemahaman pappaseng sebagai pembelajaran formal
bagi generasi muda masyarakat Tolotang.
Kata Kunci: pappaseng, tata ruang, partisipatif
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kearifan lokal dalam bahasa asing dikonsepsikan sebagai kebijakan
setempat (local wisdom) yang diartikan sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal)
yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakatnya. Berbicara mengenai kearifan lokal juga
membicarakan warisan ajaran hidup yang disampaikan oleh para pendahulu suatu
suku atau bangsa bagi penerusnya.
Kearifan lokal merupakan suatu bentuk warisan budaya Indonesia yang
telah berkembang sejak lama. Kearifan lokal lahir dari pemikiran dan nilai yang
diyakini suatu masyarakat terhadap alam dan lingkungannya. Di dalam kearifan
lokal terkandung nilai-nilai, norma-norma, sistem kepercayaan, dan ide-ide
masyarakat setempat. Oleh karena itu kearifan lokal di setiap daerah berbedaberbeda.
Sulawesi Selatan dikenal sebagai salah satu daerah yang memilki
keanekaragaman budaya yang bernilai tinggi. Kebudayaan merupakan jiwa dari
setiap komunitas sebuah masyarakat karena kebudayaan itulah yang menghidupi
masyarakat dengan nilai-nilai yang dimilikinya. Keanekaragaman budaya daerah
Sulawesi Selatan antara lain berupa peninggalan sejarah, tradisi, dan adat-istiadat.
Peninggalan sejarah tersebut memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang tersimpan
dalam berbagai media antara lain lisan dan tulisan. Media tulisan dituangkan
melalui naskah lontara yang didalamnya orang Bugis-Makassar menyimpan ilmu
dan kearifan masa lalunya termasuk berbagai ekspresi kebudayaannya seperti nilai
pappaseng.
Dalam budaya masyarakat Bugis dikenal istilah pappaseng yang berarti
pesan-pesan atau nasihat yang berasal dari nenek moyang orang Bugis untuk
disampaikan kepada cucu-cucunya. Orang Bugis adalah salah satu suku bangsa
yang beruntung memiliki aksara sehingga aspek kebudayaan di masa lampau
masih dapat tersimpan dalam naskah lontara, salah satu bentuk naskah lontara
bugis yang berhubungan dengan kearifan adalah istilah pappaseng. Dalam
pappaseng banyak ditemukan nilai-nilai keagamaan. Hal ini disebabkan karena
orang Bugis sejak dahulu sudah mempercayai adanya Tuhan sebagai pencipta
alam semesta yang disebut sebagai Dewatae.
Seiring dengan perkembangannya, pappaseng dalam masyarakat Bugis
sudah mulai bergeser dan terlupakan. Kurangnya perhatian dari berbagai pihak
baik pemerintah, swasta, dan masyarakat menyebabkan nilai-nilai sejarah mulai
ditinggalkan pada generasi sekarang. Namun berbeda dengan masyarakat
Komunitas Towani Tolotang yang merupakan salah satu komunitas kepercayaan
agama lokal di Kelurahan Amparita, Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten
Sidenreng Rappang. Sistem kepemimpinan tradisional yang dipegang oleh para
1
Uwwa yang berperan penting dalam menjaga ajaran leluhur secara turun menurun
menjadikan komunitas ini tetap mempertahankan budaya seperti adat pappaseng
yang dijadikan sebagai pedoman hidup. Oleh karena itu, diharapkan dengan
adanya sistem adat pappaseng mampu dijadikan regulasi dalam
mengimplementasikan penataan ruang.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana mengetahui tingkat partisipasi masyarakat terhadap penataan
ruang ?
2. Bagaimana mengidentifikasi sistem pappaseng terhadap penataan ruang ?
3. Bagaimana menyusun strategi penggunaan pappaseng sebagai media
implementasi penataan ruang ?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan
a. Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat terhadap penataan
ruang.
b. Untuk mengidentifikasi sistem pappaseng terhadap penataan ruang.
c. Untuk menyusun strategi penggunaan pappaseng sebagai media
implementasi penataan ruang.
2. Manfaat
a. Pemerintah akan mudah mengimplementasikan kebijakan penataan
ruang melalui sistem adat pappaseng.
b. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penataan ruang.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan dan Konsep Teori
1. Pengertian Pappaseng
Pappaseng berasal dari kata paseng yang dapat berarti pesan(an)
(Said,1977:151); berisi nasihat bahkan merupakan wasiat yang harus diketahui
dan dikenal. Menurut Mattulada (1985:7) pappaseng adalah kumpulan amanat
atau orang-orang bijak yang awalnya diwariskan secara turun temurun dan
dihafal. Setelah itu ditulis pada daun lontar dan buku. Pengertian pappaseng
yang dikemukakan tersebut berdasarkan prosese dan fungsi pappaseng.
Mattalitti (1986:6) juga mengemukakan hal senada mengenai
papaseng, bahwa pappaseng yaitu petunjuk dan nasihat dari nenek moyang
orang Bugis zaman dahulu untuk anak cucunya, agar menjalani hudup dalam
masyarakat dengan baik. Pesan-pesan yang terdapat di dalamnya perlu
diresosialisasikan kepada masyarakat Bugis-Makassar sebagai pemilik
budaya, agar masing–masing individu dapat menghayati dan
menginternalisasikan dalam kehidupannya. Selanjutnya para orang tua dapat
mewariskan nilai–nilai kearifan lokal tersebut dengan jalan mendidik karakter
anak–anak mereka sejak dini (Iswary, 2012 : 103).
2. Bentuk-bentuk Pappaseng
Pappaseng sebagai bentuk ekspresi pikiran dan perasaan orang Bugis
muncul dalam berbagai peristiwa kehidupan masyarakat, baik peristiwa besar
atau kecil, maupun peristiwa suka dan duka. Gaya pengungkapan yang tidak
dibumbui dengan pappaseng akan terasa hambar dan kurang menarik. Cara
untuk mengungkapkan pappaseng dapat dilakukan dalam bermacam-macam
bentuk, yaitu:
a. Pappaseng dalam Bentuk Elong.
Elong berarti puisi atau nyanyian. Pappaseng dalam bentuk elong
dimaksudkan agar mendengar orang yang mengutarakan pappaseng itu
dapat berkesan di dalam hati, sehingga pappaseng tersebut dapat
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari;
b. Pappaseng dalam Bentuk Warekkada.
Warekkada dapat diartikan sebagai ungkapan atau peribahasa
dalam bahasa Indonesia, yaitu perkataan atau kelompok kata yang khusus
untuk menyatakan suatu maksud dengan arti kiasan; dan
c. Pappaseng dalam Bentuk Percakapan.
Pappaseng dalam bentuk percakapan dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu: pappaseng yang diucapkan secara monolog dan pappaseng
yang diucapkan secara dialog. pappaseng yang diucapkan secara monolog
3
adalah yang diucapkan seorang diri, sedangkan yang diucapkan secara
dialok merupakan percakapan dua orang.
3. Keyakinan Towani Tolotang
Dalam keyakinan Towani Tolotang dikenal pula adanya sadda atau
wahyu dan orang yang menerima wahyu, orang yang pertama menerima
wahyu adalah Sawerigading, beliaulah yang menyebarkan ajaran-ajaran dari
Dewata Sewwae yang diperoleh melaui sadda.
Setiap agama tentunya mempunyai kitab suci yang dijadikan sebagai
pedoman dalam beribadat dan kontak sosial dengan anggota masyarakat yang
lainnya. Kitab suci yang dijadikan pegangan oleh Towani Tolotang adalah
kitab Lontara yang lazimnya disebut Sure Galigo yang berisi empat uraian
pokok yaitu; Mula ulona Batara Guru, Taggilinna Sinapatie, Itebbanna
Walanrange, Appongenna Towanie. Lontara ini berisi petunjuk-petunjuk dan
ajaran tentang kehidupan sebelum adanya dunia ini sampai setelah
berakhirnya kehidupan di bumi.
Bagian terakhir dari keyakinan Towani Tolotang adalah appongenna
towanie, adalah riwayat ketika La Panaungi menerima sadda dari Dewata
Sewwae, sebagai petunjuk kehidupan di dunia dan di akhrat nanti. Disamping
kitab lontara yang menjadi pedoman Towani Tolotang juga terdapat apa yang
mereka sebut paseng dan pemmali sebagai salah satu sumber ajaran tentang
nilai dan norma.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Towani Tolotang berpegang
teguh pada paseng dan pemmali yang secara turun-temurun diwariskan dalam
keluarga masing-masing. Pewarisan nilai-nilai luhur dalam keluarga
merupakan kewajiban oleh penganut agama Towani Tolotang hal ini
diungkapkan dengan istilah tomatoanna jellokangngi laleng anakna artinya
orang tua seharusnya memberikan petunjuk kepada anaknya, paseng dan
pemmali inilah yang dianggap penganut agama Towani Tolotang konsep
sosial yang harus dipegang oleh setiap masyarakat yang lainnya.
Dalam pembentukan sikap peribadi dan sikap hidup bermasyarakat tiap
anggota masyarakat Towani Tolotang wajib berpegang pada sifat-sifat utama
sebagai konsep sosial masyarakat seperti :
a. Lempu atau kejujuran
b. Getteng atau sikap tegas
c. Tettong atau ketetapan hati konsekuen
d. Tongeng atau benar
e. Temmapasilaingeng atau bersikap adil.
Penganut Towani Tolotang juga meyakini adanya kehidupan sesudah
mati, atau hari kemudian, yang mereka sebut lino paimeng sebagai hari
pembalasan, mereka yang selama hidup di dunia taat pada aturan agama dan
Uwwa akan ditempatkan di Lipu Bonga, semacam surga bagi ummat Islam.
4
Untuk mendapatkan keselamatan hidup di akhirat maka manusia harus
mengetahui tujuan hidupnya.
4. Pappaseng dalam Kearifan Lokal Bugis
Kearifan lokal dapat dikatakan sebagai usaha manusia yang
menggunakan akal budinya untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu,
objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Koestoro, 2010: 122).
Sedangkan menurut Hendrawan (2011: 230) dalam kearifan lokal, terkandung
pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan
lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan
budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka
waktu yang lama dalam suatu masyarakat.
Hilangnya atau musnahnya kearifan lokal atau local genius berarti
memudarnya kepribadian suatu masyarakat, sedangkan kuatnya local genius
untuk bertahan dan berkembang menunjukkan pula kepribadian masyarakat
itu. Hal penting sekali adalah usaha pemupukan serta pengembangan local
genius tersebut yang berfungsi dalam seluruh kehidupan masyarakat, baik
dalam gaya hidup masyarakat, dalam pola dan sikap hidup, persepsi, maupun
dalam orientasi masyarakat (Ayatrohaedi, 1986: 33).
Isi pappaseng atau pappasang yang berbentuk manuskrip berbahasa
Bugis-Makassar antara lain adalah pemberian tuntunan kepada masyarakat
agar menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir,
raga, rasa, dan karsa, baik sebagai pemimpin maupun anggota masyarakat
(Iswary, 2012: 98-99).
Pesan-pesan yang terdapat di dalamnya perlu diresosialisasikan kepada
masyarakat Bugis-Makassar sebagai pemilik budaya, agar masing-masing
individu dapat menghayati dan menginternalisasikan dalam kehidupannya.
Selanjutnya para orang tua dapat mewariskan nilai-nilai kearifan lokal tersebut
dengan jalan mendidik karakter anak-anak mereka sejak dini (Iswary, 2012:
103). Jenis-jenis pesan yang bersumber dari kearifan lokal Bugis tersebut
sangatlah kaya akan nuansa pendidikan, khususnya pendidikan manusia yang
berkarakter.
B. Penelitian yang Relevan
Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Iskandar yang berjudul
“Bentuk, Makna dan Fungsi Pappaseng dalam Kehidupan Masyarakat Bugis di
Kabupaten Bombana” memberikan kesimpulan bahwa isi lontara pappaseng sarat
dengan nilai-nilai yang relevan dengan ajaran agama Islam, keyakinan mayoritas
masyarakat Bugis. Selain itu, juga berisi berbagai nilai yang universal. Cocok
untuk generasi lalu, generasi kini, dan generasi yang akan datang. Dengan
keunggulan dan kekayaan akan nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat di
dalamnya yang memuat pendidikan budaya dan karakter bangsa, olehnya itu
5
seyogianya ajaran pappaseng ini tetap dilestarikan dengan cara mengajarkannya
lewat pendidikan non formal, baik di rumah maupun dalam lingkungan
masyarakat sekitarnya, begitu juga lewat pendidikan formal di sekolah dalam
bentuk mengintegrasikan nilai-nilai pappaseng dalam pembelajaran (local
content), khususnya pada pembelajaran IPS.
Johar Amir juga melakukan penelitian mengenai “Pappaseng Alempureng
sebagai Sarana Pengendalian Diri Pada Masyarakat Bugis” yang mengemukakan
bahwa pappaseng ini sangat terkait dengan kehidupan sekarang. Bangsa Indonesia
mendambakan pemimpin yang tidak hanya mengumbar janji pada saat akan
dipilih menjadi pemimpin, tetapi janji-janji yang telah diucapkan harus
dilaksanakan agar masyarakat tetap percaya pada pemimpinya. Hal ini banyak
terjadi menjelang pemilihan pimpinan mulai dari tingkat kelurahan sampai tingkat
propinsi, bahkan pemilihan pemimpin negara juga banyak mengumbar janji.
Namun, setelah terpilih kadang sudah lupa terhadap janjinya. Dengan demikian
pappaseng alempureng ini sebagai sarana pengendalian khususnya para pemimpin
dan masyarakat Indonesia secara umum.
Fokus utama pada penelitian Kearifan Lokal dalam Sastra Bugis Klasik
yang ditulis oleh Mashadi Said meliputi sure galigo, lontara, paseng/pappaseng
toriolota/ungkapan dan elong/syair. Kearifan lokal yang menjadi fokus utama
meliputi ati mapaccing (bawaan hati yang baik), konsep pemerintahan yang baik
(good governance), amaradekangeng (demokrasi), penegakan hukum, reso
(motivasi berprestasi), assimellereng (kesetiakawanan sosial), dan mappasitinaja
(kepatutan). Kearifan lokal dalam kepustakaan Bugis masih sangat relevan dengan
perkembangan zaman. Karena itu, kearifan lokal sebagai jati diri bangsa perlu
direvitalisasi, khususnya bagi generasi muda dalam pencaturan global saat dan di
masa datang. Dengan demikian, identitas sebagai bangsa baik secara fisik maupun
non fisik akan tetap terjaga.
Irawati dalam tulisannya “Peranan Watta (Tetua Adat) dalam Pembagian
Warisan Masyarakat Adat Towani Tolotong di Amparita Sulawesi Selatan”
menyimpulkan peranan Uwatta dalam pelaksanaan pembagian warisan
masyarakat adat Towani Tolotang adalah sebagai mediator jika terjadi sengketa
warisan, tapi terkadang juga Uwatta berperan sebagai saksi dalam pelaksanaan
pembagian warisan. Pada saat Uwatta berperan sebagai mediator, Uwatta selalu
mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Namun dalam kondisi tertentu,
Uwatta terkadang harus mengambil inisiatif untuk menetapkan sendiri keputusan
tersebut, dan biasanya keputusan yang di ambil Uwatta merupakan keputusan
yang final.
6
BAB III
METODE PENULISAN
A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dilakukan berlokasi di Kelurahan Amparita,
Kabupaten Sidenreng Rappang, Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan lokasi
tersebut didasarkan bahwa mayoritas untuk Komunitas Towani Tolotang berada di
Amparita yang masih mempertahankan pappaseng sebagai wasiat dari leluhur
yang harus dijaga dan dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari.
B. Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian ini berlangsung selama 1 bulan. Waktu penelitian
tersebut mencakup tahap persiapan penelitian, tahap pelaksanaan penelitian dan
tahap penyusunan laporan.
C. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis dan pendekatan penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian
deskriptif dan pendekatan kualitatif. Penggunaan jenis penelitian deskriptif
disebabkan karakter penelitian ini relevan dengan kriteria penelitian deskriptif
yaitu peneliti melibatkan diri untuk memahami fenomena penelitian dengan cara
pengamatan, wawancara, dan data pendukung lainnya yang diperoleh dari bukubuku, tesis dan jurnal-jurnal ilmiah, serta berbagai dokumen yang relevan dan
membahas mengenai pappaseng.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang memberikan
perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks
keberadaannya (Ratna, 2008:47). Alasan penggunaan pendekatan ini karena
penelitian ini berlatar alamiah, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian,
data penelitian dianalisis secara induktif, serta bersifat deskriptif.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
teknik participation observation, yaitu suatu teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara peneliti berbaur langsung dalam kehidupan masyarakat
yang menjadi objek dari penelitian yang dilakukan, melakukan wawancara
langsung terhadap masyarakat, melalui kajian kepustakaan dan survey lapangan.
E. Metode Analisis
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode
analisis deskriptif dan analisis partisipatif yang dipakai untuk mendeskripsikan
atau menggambarkan tentang kondisi masyarakat Komunitas Towani Tolotang
terhadap partisipasi mereka terhadap pelaksanaan sistem adat pappaseng.
7
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Tingkat Partisipasi Masyarakat terhadap Penataan Ruang
Setiap suku bangsa di dunia memiliki ciri khas sendiri yang menjadi jati
diri seperti halnya Komunitas Towani Tolotang yang tetap berupaya melestarikan
dan mempertahankan budaya mereka. Komunitas Towani Tolotang merupakan
salah satu kelompok sosial yang memiliki aliran kepercayaan tradisional yang
bersumber dari kepercayaan Sawerigading.
Komunitas Towani Tolotang menanggalkan aliran kepercayaannya dan
memilih bernaung dibawah agama Hindu pada tahun 1966. Kepemimpinan
tradisional Towani Tolotang dipegang oleh para Uwwa yang berperan penting
dalam menjaga ajaran leluhur secara turun temurun. Komunitas Towani Tolotang
mempunyai norma tersendiri dalam melakukan interaksi sosial yang bersifat
mengikat anggotanya dengan aturan yang harus ditaati serta berbagai ganjaran
apabila ajaran tersebut tidak dijalankan.
Aturan dalam pelaksanaan penataan ruang belum diketahui oleh
Komunitas Towani Tolotang sehingga dalam pelaksanaannya masih terdapat
kesalahan yang dilakukan. Seperti halnya dalam pembangunan rumah yang
terdapat di Keluarahan Amparita, Kabupaten Sidenreng Rappang. Selain itu
kurangnya pengetahuan akan dampak yang ditimbulkan juga sangat minim karena
mayoritas dari komunitas ini hanya menempuh pendidikan sampai ditingkat SMP
dan adanya faktor budaya yang melarang mereka untuk melanjutkan pendidikan
terkhusus bagi mereka yang memiliki keturunan Uwwa. Sehingga pemahaman
akan penataan ruang dan tingkat partisipasi mereka pun cenderung rendah.
Berbeda halnya dengan sistem adat pappaseng yang mereka jadikan
pedoman hidup dalam kesehariannya. Komunitas Towani Tolotang sangat
memegang teguh pappaseng yang dijalankan oleh Uwwa sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi. Kesolidan dan kepatuhan mereka terhadap Uwwanya sangat
kuat dan komunitas ini juga masih mempertahankan strata sosial masyarakat yang
disebut kasta. Setiap penganut komunitas ini sangat menjunjung tinggi sifat-sifat
utama dari konsep sosialnya karena merupakan manifestasi dari tingkah laku yang
akan memberikan ketentraman. Semakin tinggi derajat seseorang dalam
Komunitas Towani Tolotang maka semakin tinggi pula kepatuhan mereka untuk
menjalankan sistem adat pappaseng karena menjadi panutan bagi masyarakat
yang lainnya. Adapun sistem adat pappaseng yang dimaksud yaitu :
1. Lempu (kejujuran)
Lempu dalam bahasa Indonesia artinya jujur, sama dengan lurus. Nilainilai kejujuran pada masyarakat Bugis sangat dijunjung tinggi sejak dahulu.
Salah satu faktor yang sangat mendasari budaya orang Bugis dalam kehidupan
sehari-hari adalah sifat kejujuran.
8
2. Mappasitinaja (kepatutan)
Mappasitinaja berasal dari kata sitinaja yang berarti pantas, layak atau
patut. Kata ini berasal dari tinaja yang berarti cocok, sesuai, pantas atau patut.
Mengambil sesuatu dari tempatnya dan meletakkan sesuatu pada tempatnya,
termasuk perbuatan mappasitinaja. Nilai kepatutan ini erat hubungannya
dengan nilai kemampuan jasmaniah dan ruhaniah. Penyerahan atau
penerimaan sesuatu, apakah itu amanat atau tugas, haruslah didasarkan atas
kepatutan dan kemampuan.
3. Siparapakkei (saling menyelamatkan)
Siparapakkei berasal dari kata siparapa yang berarti berdekatan, saling
merangkul sedangkan kata kei berarti menyuruh jadi siparapakkei memiliki
arti bahwa setiap orang harus saling menyelamatkan satu sama lain dan cepat
mengambil tindakan penyelamatan atas musibah yang menimpa seseorang.
4. Assimellereng (kesetiakawanan sosial)
Assimellereng adalah saling tolong menolong, peduli antar sesama,
memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi. Dalam kehidupan sehari-hari,
manifestasi kesehatian dan kerukunan itu disebutkan dalam ungkapan bugis :
Tejjali tettappere, banna mase-mase. Ungkapan tersebut biasanya diucapkan
ketika seorang tuan rumah kedatangan tamu. Maksudnya adalah “kami tidak
mempunyai apa-apa untuk kami suguhkan kepada tuan. Kami tidak
mempunyai permadani atau sofa yang empuk untuk tuan duduki. Yang kami
miliki adalah kasih sayang”.
5. Getteng (keteguhan)
Getteng dalam bahasa Indonesia artinya teguh, kata ini pun berarti
tetap-asas atau setia pada keyakinan, atau kuat dan tangguh dalam pendirian,
erat memegang sesuatu. To Ciung Maccae ri Luwu mengungkapkan bahwa
empat perbuatan nilai keteguhan (a) Tak mengingkari janji, (b) tak
mengkhianati kesepakatan, (c) tak membatalkan keputusan, tak mengubah
kesepakatan, dan (d) jika berbicara dan berbuat, tak berhenti sebelum rampung
(Rahim,1985).
6. Warani (keberanian)
Warani adalah suatu sifat pemberani yang dimiliki oleh setiap
manusia. Memiliki keberanian yang tinggi dalam melakukan sesuatu sesuai
dengan prinsip kebenaran dan kejujuran. Keberanian dalam konteks ini dibagi
dalam beberapa bagian yaitu:
a. De na matau ripariolo yang artinya selalu ingin di depan atau tidak
takut jadi pelopor.
b. De na matau riparimunri yang artinya selalu memberikan kesempatan
kepada orang lain yang lebih baik darinya atau tidak takut ditempatkan
di belakang.
c. De na matau mengkalinga kareba yang artinya dapat menerima kritik
dan saran dari orang lain, memiliki jiwa dan rasa ingin tahu yang
9
besar, serta dapat menerima kabar yang baik maupun kabar yang
buruk.
d. De na matau ammita bali yang artinya berani dalam menghadapi
lawan baik dalam melakukan perundingan maupun ketika dalam
berperang serta memiliki jiwa yang tegas dan konsisten.
B. Identifikasi Sistem Pappaseng terhadap Penataan Ruang
Towani Tolotang sebagai sebuah komunitas agama mempunyai norma
tersendiri dalam melakukan interaksi sosial dan norma yang berlaku di kalangan
mereka bersifat mengikat anggota masyarakat dengan berbagai aturan yang harus
ditaati serta berbagai ganjaran yang harus diterima oleh orang-orang yang lalai
dalam menjalankan norma yang ada.
Dalam sistem kepemimpinan yang dijalankan oleh Uwwa selalu berdasar
terhadap pappaseng yang dijadikan sebagai pegangan sehingga segala yang
dilakukan tidak akan tersesat dan mengambang. Uwwa sebagai pemegang kasta
tertinggi dapat berperan dalam mengawali implementasi penataan ruang melalui
sistem pappaseng. Adapun identifikasi sistem pappaseng terhadap penataan ruang
yaitu :
1. Lempu (kejujuran)
Kehidupan Komunitas Towani Tolotang sangat berpegangan teguh
terhadap nilai-nilai kejujuran yang dijadikan sebagai suatu keharusan sehingga
meraka terus memelihara sifat tersebut. Ketika tidak mampu mempertahankan
sifat tersebut maka konsekuensi yang akan diterima yaitu akan dikucilkan
dalam kehidupan bermasyarakat sehingga seluruh masyarakat senantiasa
bersikap jujur. Bila dihubungkan dengan penataan ruang maka setiap
masyarakat harus berkata jujur terhadap Uwwa mengenai seluruh
pembangunan yang dilakukan kemudian peran Uwwa akan menyampaikan
kepada Pemerintah sehingga mencegah terjadinya penyelewengan .
2. Mappasitinaja (kepatutan)
Sistem pemberian amanah yang diberikan oleh Uwwa kepada
seseorang yang memiliki sifat mappasitinaja atau kepatutan melalui pandangan
Uwwa terhadap orang tersebut yang dinilainya pantas untuk melaksanakan
amanah yang diberikan. Aspek kepatutan bila dihubungkan dengan penataaan
ruang yakni apabila masyarakat ingin melakukan pembangunan maka Uwwa
memiliki peran untuk melihat kelayakan pembangunan tersebut bersama
dengan pemerintah.
3. Siparapakkei (saling menyelamatkan)
Siparapakkei dalam komunitas Towani Tolotang juga sangat dipegang
teguh oleh masyarakat setempat. Sifat saling menyelamatkan dan
mendahuluan kepedulian sosial wajib di implementasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Salah satu bentuk siparapakkei dalam kehidupan masyarakat
Towani Tolotang yaitu ketika terjadi suatu musibah yang menimpa anggota
10
masyarakatnya, maka Uwwa akan segera mengambil sebuah tindakan untuk
memerintahkan seluruh pengikutnya agar bergegas menyelamatkan anggota
keluarga yang terkena musibah. Sama halnya dalam penataaan ruang, Uwwa
harus menyelamatkan lingkungan melalui sosialisasi kepada seluruh
masyarakat agar tetap mempertahankan kestabilan lingkungan dalam lingkup
wilayah mereka.
4. Assimellereng (kesetiakawanan sosial)
Assimellereng dalam kehidupan sosial masyarakat Towani Tolotang
diwujudkan dalam bentuk gotong-royong apabila terdapat masyarakat yang
memerlukan bantuan seperti ketika pembuatan rumah yang memerlukan
banyak tenaga dalam proses pembuatannya sehingga masyarakat sekitar saling
bahu-membahu untuk membantu dalam tahap penyelesaian pembuatan rumah
tersebut. Kegiatan ini telah relevan dengan penataan ruang, seperti halnya
ketika mereka mendapatkan sebuah arahan dari Uwwa untuk melakukan
pembangunan maka akan diselesaikan dengan cara gotong-royong sehingga
dalam pembangunan ini tidak berdasar atas kepentingan pribadi tetapi untuk
kepentingan bersama.
5. Getteng (Keteguhan)
Nilai pappaseng juga mengatur keputusan yang diambil oleh Uwwa.
Hal ini dibuktikan ketika Uwwa mengambil keputusan dalam menentukan
jadwal, baik jadwal upacara adat maupun penentuan tanggal pernikahan
masyarakatnya maka hal itu menjadi keputusan mutlak yang wajib dipatuhi
oleh seluruh masyarakat Komunitas Towani Tolotang. Ketika pappaseng ini
dihubungkan dengan penataan ruang maka Uwwa dalam memberikan
hukuman/sanksi kepada masyarakat yang melanggar aturan harus dijalankan
tanpa mengenal status sosial.
6. Warani (Keberanian)
Warani dalam adat pappaseng yang ada di komunitas Towani
Tolotang ditunjukkan melalui sifat masyarakat yang berani menerima kritik
dan saran dari orang lain karena hal ini dianggap sebagai wujud kepedulian
antar sesama. Wujud dalam penataan ruang untuk pappaseng warani berupa
keberanian masyarakat untuk melakukan pelaporan kepada Uwwa ketika
terdapat masyarakat dalam Komunitas Towani Tolotang melanggar aturan
yang telah ditetapkan.
C. Strategi Penggunaan Pappaseng Sebagai Media Implementasi Penataan
Ruang
Dalam konteks budaya Komunitas Towani Tolotang, pappaseng yang
dikendalikan oleh Uwwa sangat dimuliakan. Ia tidak boleh dianggap sebagai
ungkapan-ungkapan manis tanpa makna. Ia harus dipertaruhkan karena isinya
menekankan keharusan dan pantangan. Oleh karena itu, seseorang yang
memelihara pappaseng akan selalu terpandang di tengah-tengah masyarakat.
11
Sebaliknya, seseorang yang tidak mengindahkannya bisa saja menanggung sanksi
yang amat berat, nama baiknya tercemar dan kedudukan sosialnya menjadi rendah
sehingga sangat sulit beradaptasi dalam pergaulan masyarakat hingga dikucilkan
dalam masyarakat.
Kepatutan masyarakat terhadap pemimpinnya yakni Uwwa sangat kuat
dan hal ini dapat dijadikan strategi dalam pengimplementasian penataan ruang.
Strategi yang dapat dilakukan yaitu menjalin kerja sama dan berkolaborasi antara
pemerintah dan Uwwa dengan membuat regulasi pappaseng dalam kegiatan
musrembangdes, menciptakan rambu pappaseng sebagai kontrol sosial dan
meningkatkan pemahaman pappaseng sebagai pembelajaran formal bagi generasi
muda masyarakat Komunitas Towani Tolotang sehingga mampu memberikan
pemahaman tentang perumahan dan permukiman sebagai unsur dominan dalam
pembangunan kota.
Sistem adat pappaseng yang berupa lempu (kejujuran), mappasitinaja
(kepatutan), siparapakkei (saling menyelamatkan), assimellereng (kesetiakawanan
sosial), getteng (keteguhan) dan warani (keberanian) dapat dijadikan regulasi
dalam penataan ruang seperti setiap masyarakat komunitas towani tolotang harus
berkata lempu (jujur) ketika melakukan sebuah pembangunan perumahan yang
harus sesuai dengan aturan-aturan sebagai wujud mappasitinaja (kepatutan)
mereka. Untuk mengatasi permasalahan perumahan dan permukiman maka
masyarakat Komunitas Towani Tolotang harus siparapakkei (saling
menyelamatkan) dan juga memiliki sifat rasa assimellereng (saling tolong
menolong) yang dapat diwujudkan melalui kerja bakti dalam pemeliharaan
lingkungan yang telah diarahkan oleh Uwwa. Adapun untuk sifat getteng
(keteguhan) dapat diwujudkan melalui konsistensi Uwwa dalam aturan dan
pengambilan suatu keputusan tanpa mengenal status. Selain itu, setiap masyarakat
juga harus mempunyai sifat warrani (keberanian) untuk melaporkan setiap
tindakan yang melanggar penataan ruang dan merusak lingkungan seperti
membuang sampah disembarang tempat, membangun tanpa izin, menebang pohon
dan lain sebagainya.
Penambahan pengetahuan akan pentingnya penataaan ruang juga dapat
dilakukan dengan pembuatan papan informasi mengenai penataan ruang
terkhusunya tentang ketertiban permukiman yang dikaitkan dengan adat
pappaseng. Penguatan peran Uwwa juga sangat diperlukan seperti memberikan
paradigma persamaan kedudukan antara pappaseng dengan aturan penataan ruang
kepada seluruh masyarakat bahwa masyarakat yang mengikuti aturan akan
terpandang didalam masyarakat sedangkan yang melanggar akan mendapat sanksi
yang berat seperti dikucilkan.
Penyampaian regulasi mengenai penataan ruang dapat dilakukan oleh
Uwwa ketika adanya kegiatan upacara adat karena seluruh penganut kepercayaan
ini akan berkumpul bersama meski berada di daerah lain. Titik perkumpulan
mereka berada di Kelurahan Amparita, Kabupaten Sidenreng Rappang yang di
12
mayoritasi oleh Komunitas Towani Tolotang. Uwwa akan menyampaikan regulasi
penataan ruang yang didengarkan oleh seluruh komunitas ini tanpa terkecuali
karena kegiatan upacara adat merupakan salah satu kewajiban mereka yang harus
dilaksanakan. Apapun keputusan yang diberikan oleh Uwwa akan senantiasa
dijalankan oleh para pengikutnya.
Adanya sistem adat pappaseng yang dijadikan regulasi penataan ruang
dalam Komunitas Towani Tolotang akan mampu mewujudkan agenda kota baru
yang berkelanjutan sesuai dengan penataan ruang. Selain di Kelurahan Amparita
yang mewujudkan kota baru, maka akan mendorong pula daerah lainnya karena
Komunitas Towani Tolotang tidak hanya terdapat di Amparita tetapi tersebar di
seluruh nusantara sehingga setiap orang yang tergabung dalam komunitas ini akan
melakukan segala yang diperintahkan oleh Uwwa meskipun berada didaerah lain.
Komunitas ini percaya bahwa dimana pun mereka berada tetapi budaya dan
perintah yang diberikan Uwwa harus tetap terlaksana.
13
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pappaseng merupakan pesan atau nasihat dari nenek moyang orang bugis
untuk dijadikan pedoman dalam menjalani hidup. Sistem adat pappaseng yang
terdapat didalam Komunitas Towani Tolotang sangat dijunjung tinggi karena
isinya menekankan keharusan dan pantangan yang apabila dipatuhi maka akan
selalu terpandang di dalam masyarakat namun ketika dilanggar maka mendapat
sanksi, nama baiknya tercemar dan kedudukan sosialnya menjadi rendah. Sistem
adat pappaseng yang dimaksud yaitu lempu (kejujuran), mappasitinaja
(kepatutan), siparapakkei (saling menyelamatkan), assimellereng (kesetiakawanan
sosial), getteng (keteguhan) dan warani (keberanian). Tingkat partisipasi
masyarakat dalam sistem adat penataan ruang sangat tinggi yang dibuktikan
dengan pengaplikasian masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Keberadaan sistem adat pappaseng dapat dijadikan strategi dalam
implementasi penataan ruang dengan cara menjalin kerja sama antara pemerintah
dengan Uwwa dengan membuat regulasi pappaseng dalam kegiatan
musrembangdes, menciptakan rambu pappaseng sebagai kontrol sosial dan
meningkatkan pemahaman pappaseng sebagai pembelajaran formal bagi generasi
muda masyarakat Komunitas Towani Tolotang.
Sikap kepatuhan Komunitas Towani Tolotang terhadap Uwwa
memberikan peluang yang sangat besar untuk mengimplementasikan kebijakan
penataan ruang. Adapun nilai pappaseng yang relevan dengan penataan ruang
yang dapat dijadikan strategi yakni melibatkan setiap masyarakat komunitas
towani tolotang agar berkata lempu (jujur) ketika melakukan sebuah
pembangunan perumahan yang harus sesuai dengan aturan-aturan sebagai wujud
mappasitinaja (kepatutan) mereka. Untuk mengatasi permasalahan perumahan
dan permukiman maka masyarakat Komunitas Towani Tolotang harus
siparapakkei (saling menyelamatkan) dan juga memiliki sifat rasa assimellereng
(saling tolong menolong) yang dapat diwujudkan melalui kerja bakti dalam
pemeliharaan lingkungan yang telah diarahkan oleh Uwwa. Adapun untuk sifat
getteng (keteguhan) dapat diwujudkan melalui konsistensi Uwwa dalam aturan
dan pengambilan suatu keputusan tanpa mengenal status. Selain itu, setiap
masyarakat juga harus mempunyai sifat warrani (keberanian) untuk melaporkan
setiap tindakan yang melanggar penataan ruang dan merusak lingkungan seperti
membuang sampah disembarang tempat, membangun tanpa izin, menebang pohon
dan lain sebagainya. Penambahan pengetahuan masyarakat mengenai penataan
ruang dapat pula dilakukan dengan membuat papan informasi mengenai ketertiban
permukiman dan peran Uwwa juga sangat diperlukan untuk memberikan
paradigma kepada masyarakat terkait kedudukan pappaseng dengan aturan
penataan ruang yang memiliki persamaan.
14
B. Saran
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah
dikemukakan maka saran yang dapat diberikan dalam mewujudkan implementasi
penataan ruang khususnya dalam mengatasi permasalahan perumahan dan
permukiman yaitu :
1. Pemerintah
Menjalin kerja sama dan berkolaborasi dengan Uwwa dalam
mewujudkan pengimplementasian penataan ruang dengan membuat regulasi
yang sesuai dengan sistem adat pappaseng didalam Komunitas Towani
Tolotang. Selain itu, pemerintah daerah juga harus mengoptimalkan dalam
memberikan berbagai pelayanan kepada seluruh masyarakat Komunitas
Towani Tolotang, sehingga tidak menimbulkan perbedaan dan
ketidakharmonisan di antara mereka.
2. Masyarakat
Komunitas Towani Tolotang harus mematuhi dan menjalankan segala
aturan yang telah diputuskan oleh pemerintah daerah serta ikut berpartisipasi
dalam pelaksaanaan pembangunan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Johar dan Ambo Dalle. (2010). “Pappaseng Alempureng sebagai Sarana
Pengendalian Diri Pada Masyarakat Bugis”. Makalah pada Seminar
Internasional Bahasa dan Sastra Se-Asia Tenggara, Universitas Negeri
Makassar
Abbas, Irwan. (2013). “Pappaseng : Kearifan Lokal Manusia Bugis Yang
Terlupakan”. Jurnal Sosiohumaniora. 15 (3), 275-278.
Faisal Hajji, Ahmad. (2004). Agama Sebagai Konsep Sosial Towani Tolotang di
Kabupaten Sidrap. Tesis Magister pada Unversitas Negeri Makassar.
Iskandar. (2016). “Bentuk, Makna, dan Fungsi Pappaseng Dalam Kehidupan
Masyarakat Bugis di Kabupaten Bombana”. Jurnal Bastra. 1(2), 2-4.
Khalikin, Ahsanul. (2011). “Eksistensi dan Perkembangan Kepercayaan Towani
Tolotang di Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidenreng Rappang”.
Jurnal Multikultural & Multireligius. 10, 825-831.
Muhammadong. (2002). Kandungan Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Sastra
Bugis (Kajian Terhadap Pappaseng. Skripsi Sarjana Strata Satu (S1) pada
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Said, Mashadi. (2007). “Kearifan Lokal Dalam Sastra Bugis Klasik”. Jurnal
Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil. 2, 19-21.
Samad, Abdu. (2010). Pengaruh Nilai Budaya Bugis Terhadap Perilaku Aparat
Birokrasi di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bone. Tesis Magister pada
Universitas Hasanuddin.
Syamsudduha. (2013). Pappaseng Sebagai Falsafah Hidup Masyarakat Bugis Di
Sulawesi Selatan (Onlline). Tersedia : http://syamsudduhaa.blogspot.co.id
/2013/10/pappaseng-sebagai-falsafah-hidup.html. (30 Maret 2017).
16
Lampiran 1
PETA ADMINISTRASI KABUPATEN SIDRAP
Lampiran 2
PETA ADMINISTRASI KECAMATAN TELLU LIMPOE
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Biodata Ketua Tim
A. Data Pribadi
Nama
TTL
Jenis Kelamin
NIM
Fakultas/Jurusan
Perguruan Tinggi
Alamat Asal
Alamat Kos
HP
KARTINI
Pangkajene, 21 April 1996
Perempuan
60800114072
Sains dan Teknologi/Teknik Perencanaan Wilayah & Kota
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Jl. Sultan Hasanuddin, Pangkajene-SIDRAP
Pondok Nuryah Samata, Samata-Gowa
085216078423
[email protected]
B. Penghargaan Kepenulisan (Selama menjadi Mahasiswa)
Institusi
Jenis
No.
Judul Karya
Pemberi
Penghargaan
Penghargaan
Tahun
1.
Peserta
HMT PWK
Universitas
Gadjah Mada
2.
Delegasi UI
Youth
Environmental
Action 2016
“Sanitation,
Water, and
Settlement”
BEM
Universitas
Indonesia
Mendorong Program STBM yang
Lebih Implementatif Di Desa Balang
Baru Kabupaten Jeneponto
2016
Semifinalis
Universitas
Negeri
Semarang
Komunitas Minoritas & Desa Religi
Amparita
2016
BEM U KBM Pendekatan
Partisipatif
Dalam
Universitas Pelestarian Budaya Lokal Towani
Lampung
Tolotang
2016
3.
4.
Peserta
Pemanfaatan Kanal Sebagai Media
Transportasi Air Di Kota Makassar
Untuk Mewujudkan Kota Hijau
2016