Kelahiran Institusi Pendidikan Tinggi Is

Kelahiran Institusi Pendidikan Tinggi Islam (Hanif Nanda Z/16770012)
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
1. Pendahuluan
Secara sederhana, pendidikan adalah sebuah proses humanisasi, yang berarti
memanusiakan manusia. Pendidikan bertujuan untuk menjadikan manusia lebih
baik dalam menjalani kehidupan. Suparlan menyimpulkan bahwa pendidikan
merupakan sistem proses perubahan menuju pendewasaan, pencerdasan, dan
pematangan diri.1 Sehingga kemudian dengan proses tersebut diharapkan mampu
menjalani tatanan kehidupan bermasyarakat dengan baik. Baik itu dalam tatanan
kehidupan beragama, ekonomi, sosial, politik dan lainnya.
Banyak pihak tentu sepakat dan tak ada yang menolak akan urgensi serta
vitalitas posisi pendidikan dan peranannya dalam memperbaiki kehidupan
manusia baik itu pendidikan formal maupun informal. Begitu juga halnya dengan
pemerintah Indonesia. Sebagaimana telah diketahui bahwa sejak kemerdekaan
Indonesia, para pejuang kemerdekaan menginginkan atau mencita-citakan agar
kemerdekaan mampu “mencerdaskan” masyarakat bangsa ini agar menjadi bangsa
yang besar dan terdidik.
Misalnya dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya

potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2
Dalam rekam sejarah, tercatat pemerintah Indonesia melalui Peraturan
Pemerintah nomor 34 tahun 1950 tentang pendirian Perguruan Tinggi Agama
Islam Negeri (PTAIN), dan Peraturan Presiden nomor 11 tahun 1960 tentang
pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang mulai berlaku pada
tanggal 9 Mei 1960. Hal ini menandakan dukungan pemerintah terhadap
pentingnya pendidikan tinggi Islam bagi masyarakat yang sudah lama
mengidamkan hadirnya pendidikan tinggi Islam.
1 Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 80
2 UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3

1

Kemunculan PTAIN atau IAIN sebagai pusat kajian dan pengembangan
masyarakat, dalam perjalanannya perlu mendapat perhatian. Tanpa adanya
perhatian, boleh jadi akan sangat mungkin jati diri IAIN sebgaai cagar agama,
pencetak ulama dan cendekiawan agama akan semakin tidak kelihatan.3
Pemikiran pembaharuan atau perubahan pendidikan tinggi Islam di

Indonesia terus bergulir. Mulai dengan munculnya gagasan Sekolah Tinggi Islam
(STI), Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA), Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri (PTAIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) dan terakhir lahirnya Universitas Islam Negeri (UIN).
Imam Suprayogo melihat bahwa pendidikan tinggi Islam dimulai dari Akademi
Dinas Ilmu Agama (ADIA) yang memiliki misi sederhana yaitu menyiapkan
tenaga adminsitrasi di lingkungan Departemen Agama sampai lembaga
pendidikan tinggi ini kemudian berubah menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri), dan selanjutnya berubah lagi menjadi IAIN (Institut Agama
Islam Negeri) terbukti berkembang pesat. Proyek perubahan yang dimulai dari
IAIN Yogyakarta dan disusul oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini kemudian
tumbuh dan berkembang hingga berjumlah 14 buah yang tersebar hampir di
seluruh wilayah Indonesia. Semua PTAIN ini dalam kenyataannya 7 (tujuh)
berada di Sumatera, 5 (lima) berada di Jawa, dan masing-masing satu di
Kalimantan dan Sulawesi. Perkembangan kuantitatif lembaga pendidikan tinggi
Islam tidak berhenti sampai disitu. Hal ini dibuktikan dengan berkembangnya
beberapa PTAIN di berbagai daerah tingkat kabupaten di tanah air dalam bentuk
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yang pada awalnya berjumlah 33
buah.4 Dengan demikian, makalah ini akan menyajikan sedikit sajian historis dari
perkembangan IAIN/STAIN/UIN di Indonesia.


2. Pembahasan
3 Amril Mansur, et al, Paradigma Baru Reformulasi Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: UI Press,
2004), hlm. 3
4 Imam Suprayogo, Rasmianto, Perubahan Pendidikan Islam: Refleksi Perubahan IAIN/STAIN
menjadi UIN, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 8

2

A. Sejarah Pendirian PTAIN
Pemikiran pembaharuan atau perubahan pendidikan tinggi Islam di
Indonesia terus bergulir. Mulai dengan munculnya gagasan Sekolah Tinggi Islam
(STI), Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA), Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri (PTAIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) dan terakhir lahirnya Universitas Islam Negeri (UIN).
Imam Suprayogo melihat bahwa pendidikan tinggi Islam dimulai dari Akademi
Dinas Ilmu Agama (ADIA) yang memiliki misi sederhana yaitu menyiapkan
tenaga adminsitrasi di lingkungan Departemen Agama sampai lembaga
pendidikan tinggi ini kemudian berubah menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri), dan selanjutnya berubah lagi menjadi IAIN (Institut Agama

Islam Negeri) terbukti berkembang pesat. Proyek perubahan yang dimulai dari
IAIN Yogyakarta dan disusul oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini kemudian
tumbuh dan berkembang hingga berjumlah 14 buah yang tersebar hampir di
seluruh wilayah Indonesia. Semua PTAIN ini dalam kenyataannya 7 (tujuh)
berada di Sumatera, 5 (lima) berada di Jawa, dan masing-masing satu di
Kalimantan dan Sulawesi. Perkembangan kuantitatif lembaga pendidikan tinggi
Islam tidak berhenti sampai disitu. Hal ini dibuktikan dengan berkembangnya
beberapa PTAIN di berbagai daerah tingkat kabupaten di tanah air dalam bentuk
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yang pada awalnya berjumlah 33
buah.5
Dari sudut pandang historis, kehadiran institusi pendidikan Islam (IAIN,
STAIN,UIN) terinspirasi oleh adanya lembaga pendidikan Islam di masa lalu.
Dapat dilihat di belahan Timur ada Universitas al-Azhar di Mesir sedangkan di
belahan Barat ada Universitas al-Zaitunah di Tunis, Universitas al-Qarawiyyin di
Fez serta Universitas Cordova di Andalusia. Adanya sistem pendidikan yang khas
pada tiap universitas tersebut, sedikit banyak mempengaruhi dnamika
perkembangan institusi pendidikan Islam (IAIN, STAIN,UIN). Dinamika tersebut
bisa dalam berbagai hal, diantaranya dinamika perubahan status kelembagaan,
paradigma keilmuan, manajemen kelembagaan, hingga pengembangan
kelembagaan.6

5 Imam Suprayogo, Rasmianto, Perubahan... hlm. 8
6 Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa, (Bogor: al Manar Press, 2011), hlm. 181

3

Disamping tujuan ideal untuk memberi pengajaran tinggi dan menjadi pusat
perkembangan dan pendalaman ilmu pengetahuan tentang agama Islam,
dibentuknya PTAIN tidak lepas dari tujuan praktis yaitu untuk memenuhi dan
mengatasi kekurangan tenaga ahli dalam bidang ilmu agama Islam. Dapat
dimaklumi bahwa pada ketika itu telah banyak lulusan sekolah tingkat menengah
atau madrasah yang belum tersalurkan minat studi mereka ke perguruan tinggi
disebabkan belum berdirinya lembaga semacam PTAIN. Selain itu, sebelum
berdirinya PTAIN, masyarakat Indonesia yang ingin memperdalam ilmu
pengetahuan keagamaan mesti berangkat ke luar negeri seperti Mesir atau Saudi
Arabia. Selain itu berdirinya PTAIN membawa harapan untuk bisa menjadi pusat
pengembangan ilmu-ilmu keislaman seperti halnya al-Azhar di Kairo Mesir.7
Sisi lain dari berdirinya lembaga keislaman ini bisa dilacak dari beberapa
literatur, khususnya perihal faktor ‘lain’. Beberapa orang berpendapat bahwa
IAIN (di Jakarta dan Yogyakarta) merupakan sebuah ‘hadiah’ kepada komunitas
pesantren sebagai penyeimbang setelah adanya ‘hadiah’ Universitas Gajah Mada

yang diberikan kepada kaum nasionalis (republikan). Namun hal ini masih
menyisakan perdebatan.
“... some have argued that the IAIN (in Jakarta and Yogyakarta) were ‘gifts’
to the pesantren community to appease them after the ‘gift’ Universitas Gajah
Mada (UGM) was given to the nasionalist. These so-called gifts were given so
that Suharto could garner support for what would become a 32-year regime. This
interpreation is subject to debate. First it is questionable that there is, or has ever
been, unified communities to be happy about their respective gifts. Second, it is
clear that the establishment of the PTAIN system served a number of Suharto’s
political goals including the bureaucratization of islamic practices such as family
law, marriage, and inheritance ...”8
M. Atho Mudzhar misalnya mengatakan bahwa berdirinya Universitas
Gadjah Mada (UGM) yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 23
tahun 1949 tanggal 16 Desember 1949 itu diberikan kepada golongan nasionalis.
Ini bermula dengan pendirian Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada pada tanggal
7 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 123
8 Ronald A. Lukens-Bull, Islamic Higher Education in Indonesia, (New York: Palgrave McMillan,
2013), hlm.12-13


4

17 Februari 1946 yang kegiatannya tertunda karena Belanda menduduki
Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Setelah perjanjian Roem Royen di tanda
tangani pada 7 Mei 1949 muncul keinginan untuk segera menyelenggarakan
kembali pendidikan tinggi nasional. Awalnya keinginan itu berhimpitan dengan
rencana peraikan perguruan tinggi federal sesuai dengan bentuk negara yang
diusulkan Belanda ketika itu, tetapi kaum republian tetap menghendaki Republik
Indonesia memiliki perguruan tinggi sendiri di Yogyakarta. Hal itu kemudian
tertuang dalam PP nomor 23 tahun 1949 dan sejak 14 Desember 1949 Pemerintah
RI secara resmi mulai menyelenggarakan Perguruan Tinggi Negeri yang dikenal
dengan Universitas Gadjah Mada.9
Pendirian ini juga disebut oleh Marwan Saridjo bahwa penjelasan PP nomor
11 tahun 1960 tentang pembentukan IAIN, disebutkan bahwa sebagai
penghargaan dari pemerintah terhadap Yogyakarta dijadikan kota Universitas.
Untuk golongan nasionalis diberikan Universitas Gadjah Mada yang kemudian
statusnya beraih menjadi negeri berdasarkan PP nomor 37 tahun 1950. Untuk
golongan umat Islam diberikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri sesuai PP
nomor 34 tahun 1950. Sepuluh tahun kemudian, berdasarkan PP nomor 11 tahun
1960, PTAIN digabungkan dengan ADIA menjadi IAIN.

Bila menoleh ke belakang, pembenahan perguruan tinggi Islam sudah mulai
dilakukan salah satunya oleh mantan Menteri Agama, Munawir Sjadzali.
Pembenahan tersebut melingkupi beberapa hal, diantaranya pembenahan landasan
hukum, jumlah anggaran, kurikulum, hingga kualitas tenaga pengajar.
Hal ini dijelaskan oleh Munawir Sjadzali bahwa meski sudah berdiri
puluhan tahun, nyatanya IAIN belum punya landasan hukum yang kuat, berikut
pula anggaran belanja yang jauh dari perguruan-perguruan tinggi dibawah
naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Masalah ini diselesaikan oleh
Munawir Sjadzali dengan melibatkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
dan Kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara sehingga terbit Peraturan
Pemerintah nomor 33 tahun 1985 yang memberikan status, perlakuan dan fasilitas
kepada 14 IAIN sama dengan perguran tinggi negeri yang dikelola oleh
9 M. Atho Mudzhar, “Kedudukan IAIN sebagai Perguruan Tinggi”, Komaruddin Hidayat (ed.),
Problem dan Prospek IAIN, (Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Departemen
Agama RI, 2000), hlm. 63

5

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Peraturan Pemerintah itu dijabarkan
dengan Keputusan Presiden nomor 9 tahun 1987, dan merupakan bagian dari

Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tenang Sistem Pendidikan Nasional.10
Pada masa Munawir Sjadzali juga dilakukan pengiriman dosen ke luar
negeri. Meski sudah dimulai pada masa Mukti Ali saat beliau menjabat sebagai
Menteri Agama, intensitas pengiriman dosen ke luar negeri ditingkatkan oleh
Munawir Sjadzali dengan memanfaatkan beasiswa Fullbright dari Amerika
Serikat, menjalin kerjasama dengan pemerintah Belanda dan Kanada sehingga
dosen-dosen bisa belajar di Universitas Leiden, Belanda dan Universitas McGill,
Kanada.11
Setelah PTAIN berdiri selama selama kurang lebih 9 tahun, maka lembaga
pendidikan tinggi dimaksud telah mengalami perkembangan. Dengan
perkembangan tersebut dirasakan bahwa adanya ketidak mampuan menampung
keluasan cakupan ilmu-ilmu keislaman kalau hanya berada dalam satuan payung
fakultas saja. Berkenaan dengan hal itu timbul ide-ide, gagasan-gagasan yang
dirasa perlu untuk mengembangkan cakupan PTAIN lebih luas lagi.
Setelah beberapa kali diadakan sidang, maka disepakati bahwa PTAIN yang
berkedudukan di Yogyakarta dengan ADIA yang bertempat di Jakarta
digabungkan menjadi satu dengan nama Institut Agama Islam Negeri “al-Jami’ah
al-Islamiyah al-Hukumiyah”. Keputusan panitia tersebut disetujui oleh pemerintah
dengan mengeluarkan PP nomor 11 tahun 1960 tentang pembentukan Institut
Agama Islam Negeri yang mulai berlaku pada tanggal 9 Mei 1960 (Lembaran

Negara no. 61 tahun 1960).12
Tidak cukup puas dengan dibentuknya IAIN, diiringi dengan beragamnya
tantangan yang dihadapi, baik dalam lingkup internal maupun eksternal telah
mendorong kalangan civitas akademika IAIN untuk melakukan reformulasi dan
reorientasi terhadap sistem dan pola pendidikan IAIN. Salah satu bentuk dari
langkah reformulasi dan reorientasi pendidikan itu adalah transformasi IAIN
menjadi UIN.
10 Munawir Sjadzali. “Dari Lembah Kemiskinan”. Muhammad Wahyuni Nafis (ed.),
Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Paramadina,
1995), hlm. 82-83
11 Munawir Sjadzali. “Dari Lembah... hlm. 86
12 Haidar Putra Daulay, Sejarah... hlm. 126

6

B. Proses Tranformasi Menjadi UIN
Dikotomi pendidikan adalah terpisahnya sains agama dan sains umum baik
itu secara kelembagaan, pendidikan formal maupun nonformal. Melirik dan
membaca sejarah sejak awal pasca kemerdekaan, pemerintah sudah mencoba
melakukan pengupayaan integrasi pendidikan agama dan pendidkan umum.

Keinginan ini terlihat jelas dari upaya pemerintah untuk menghindari terjadinya
dualisme dalam pengelolaan pendidikan.13
Meskipun pada akhirnya upaya itu mengalami penolakan kaum muslimin.
Pemerintah terus berupaya untuk melakukan pembaharuan pendidikan dengan
melakukan perubahan-perubahan kebijakan. Namun meskipun demikian tetap saja
berimplikasi pada kontroversi dan penolakan dikalangan muslim. Sebagai contoh,
keluarnya SKB Tiga menteri tahun 1975, yang menyatakan ijasah madrasah
sederajat dengan ijasah sekolah umum dengan konsekwensi madrasah mengubah
porsi mata pelajaran agama yang tadinya 100% menjadi 30% dan sisanya menjadi
pelajaran umum.14
Bagaimanapun upaya pemerintah untuk melakukan integrasi tersebut,
sebagian penelitian kontemporer seperti M. Amin Abdullah melihat bahwa
dikotomi itu masih berlangsung, meskipun beliau mengakui dalam kurun waktu
1998-2005 ketegangan tersebut semakin berkurang. Seperti yang diketahui
fenomena ketegangan atau tension yang terjadi antara ilmu pengetahuan dan
agama sudah sejak lama terlihat. Dimana kedua disiplin tersebut ibarat dua jalan
yang sudah dijustifikasi oleh masyarakat sebagai dua hal yang tak bisa
dipertemukan. Sehingga lahir frame konseptual agama dengan pemecahan kongsi
dan fungsi serta peranan yang semakin menguatkan perbedaan tersebut. Seperti
halnya, fiqh, hadist dan akidah. Lalu kemudian disiplin ilmu tersebut di anggap
sudah cukup menjadi representasi sektor agama yang menyangkut pada ranahranah yang berkorelasi dengan wilayah ketuhanan. Sehingga apapun yang
tereliminasi dari disiplin agama dianggap sebagai disiplin umum.15

13 Fuad Jabali, Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu,
2002), hlm. 70
14 Fuad Jabali, Jamhari, IAIN... hlm. 71-72
15 Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012)

7

Menuju usianya yang hampir mencapai enam dekade, perjalanan IAIN telah
banyak mengalami perkembangan. Kelembagaan itu tersebar hampir di seluruh
Indonesia, alumni yang dihasilkan telah mencapai puluhan ribu, kiprahnya pun
beragam mulai di bidang pemerintahan (pegawai negeri), didang kemasyarakatan
hingga sektor informal lain. Penyebaran IAIN dewasa ini hampir telah menyentuh
seluruh pelosok tanah air. Menurut data terakhir (2010), jumlah UIN ada 6 buah,
IAIN sebanyak 14 buah dan STAIN berjumlah 32 buah (dua diantara STAIN itu
berada di Jayapura, Papua dan Sorong, Papua Barat).
Kelahiran institusi pendidikan tinggi Islam dalam bentuk universitas, dalam
sejarahnya tidak lepas dari helatan Konferensi Islam Internasional. Dauly, dalam
Imam Suprayogo, menjelaskan bahwa setelah gelaran Konferensi Islam
Internasional pertama pada tahun 1970 lahirlah Islamic International University
Kuala Lumpur Malaysia. Kelahiran perguruan tinggi itu dipandang perlu karena
disesuaikan dengan semangat hasil konferensi yang mengidamkan berdirinya
perguruan tinggi yang mampu mengintegrasikan konsep ilmu dan Islam.
Pembagian ilmu menurut pandangan Islam dibagi menjadi dua yaitu perennial
knowledge dan acquired knowledge. Dalam konferensi diatas, dijelaskan pula
bahwa untuk bisa mengaplikasikan keduanya, tidak boleh tidak harus melalui
sarana universitas. Karena universitaslah yang pada prinsipnya mengembangkan
seluruh objek ilmu pengetahuan baik yang tergolong perennial knowledge
maupun acquired knowledge. Dengan demikian, lahirlah universitas
internasioanal Islam pertama di Malaysia yang mengajarkan kedua golongan ilmu
itu sekaligus.16
Azyumardi Azra memandang bahwa IAIN harusnya menjadi tidak hanya
mengajarkan ilmu agama saja. Saat menjadi orang nomor satu di IAIN Jakarta,
Azra membawa misi pengembangan IAIN menjadi perguruan tinggi yang tidak
hanya mengajarkan dan menjadi pusat pengembangan ilmu agama. Akan tetapi
juga ilmu humaniora, ilmu sosial, dan ilmu eksakta melalui konsep transformasi
atau konversi IAIN ke UIN. Apabila IAIN menjadi Universitas Islam Negeri

16 Imam Suprayogo, Rasmianto, Perubahan ... hlm. 2

8

(UIN) diharapkan ketiga bidang ilmu tersebut akan dikembangkan secara
seimbang atau bahkan integralistik antara ilmu profan dan ilmu agama tersebut.17
Perubahan IAIN menjadi UIN juga dilakukan oleh tokoh lain yaitu Imam
Suprayogo. Sosok yang satu ini memandang bahwa niat mengubah IAIN menjadi
UIN berangkat dari setidaknya empat persoalan yaitu perumusan konsep
Universitas Islam berikut kerangka ilmu yang dikembangkan, membangun
konsolidasi internal, penyesuaian proses administrasi terutama terkait perizinan
dan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang diperlukan.18
C. Tantangan UIN di Masa Depan
Salah satu tantangan bagi UIN (dan juga perguruan tinggi keagamaan lain)
adalah masyarakat menginginkan alumni IAIN, STAIN atau UIN tidak hanya
memahami doktrin Islam. Lebih dari itu juga melaksanakan -bahkan mampu
menjadi pemimpin- dalam ibadah mahdlah dan kegiatan-kegiatan sosial
keagamaan. Dalam shalat berjamaah misalnya, mahasiswa atau alumni IAIN,
STAIN atau UIN diharapkan mampu menjadi imam; dalam kegiatan sosial
keagamaan, mahasiswa atau alumni IAIN, STAIN atau UIN diharapkan mampu
membaca doa dan seterusnya. Masyarakat memandang bahwa bidang-bidang
kegiatan tersebut merupakan otoritas IAIN, STAIN atau UIN.19
Harapan peran (role expectation) tersebut sudah melekat, bahkan seakan
menjadi jati diri IAIN, STAIN atau UIN. Lebih jauh masyarakat membuat asumsi
bahwa setiap mahasiswa atau alumni IAIN, STAIN atau UIN adalah pribadipribadi yang taat menjalankan ibadah dengan ‘baik dan teratur serta berakhlak
mulia’. Mereka akan merasa aneh dan janggal bila menemukan mahasiswa atau
alumni IAIN, STAIN atau UIN tidak mampu menjalankan peran yang mereka
harapkan. Hal ini juga merupakan indikasi bahwa masyarakat tidak banyak
mengetahui IAIN, STAIN atau UIN sebagai lembaga akademis dengan berbagai
fakultas dan jurusan yang tidak selamanya mencetak ulama.
Harapan peran semacam ini tidak hanya datang dari masyarakat, tapi
muncul pula di kalangan tokoh agama dan organisasi-organisasi keagamaan.
17 Ninik Masruroh, Umiarso, Modernisasi Pendidikan Islam ala Azyumardi Azra, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 157
18 Imam Suprayogo, Universitas Islam Unggul, (Malang: UIN Press, 2009), hlm. 43
19 Husni Rahim, “IAIN dan Masa Depan Islam Indonesia”, Komaruddin Hidayat (ed.), Problem
dan Prospek IAIN, (Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Departemen Agama RI,
2000), hlm. 414

9

Mereka berharap lulusan IAIN, STAIN atau UIN muncul menjadi kader-kader
pemimpin umat ataupun ulama muda dan organisator. Mereka menginginkan agar
mahasiswa atau alumni IAIN, STAIN atau UIN mempunyai kemampuan untuk
menggerakkan berbagai lembaga dan organisasi Islam baik bidang dakwah,
kemasyarakatan, ekonomi, maupun politik.
Selain itu, dari sisi kelembagaan, tantangan datang pula dari lingkungan
sekitar, dalam lingkup yang lebih luas. Lingkungan sekitar dimaksud adalah
persaingan dengan perguruan lain di sektor regional, nasional hingga lintas
negara. Persaingan dari waktu ke waktu semakin terasa ketat, terbaru adalah
terjalinnya kerjasama tingkat ASEAN atau dikenal dengan AUN-QA (ASEAN
University Network-Quality Assurance), dengan Indonesia sebagai salah satu
anggotanya.
Beberapa alasan mengikuti AUN-QA ini diantaranya: (1) AUN bukan
akreditasi, tetapi sertifikasi berupa assesment process untuk mendapatkan umpan
balik (feedback) posisi program studi (prodi) terhadap standar AUN, (2) AUN-QA
disusun mengacu ke standar akreditasi internasional, (3) bertujuan untuk
meningkatkan atau menyamakan kualitas standar universitas di lingkungan
ASEAN, (4) untuk kemudahan proses credit transfer diantara para mahasiswa
anggota AUN yang prodinya telah di-asses oleh AUN-QA, (5) jembatan untuk
menuju level internasional, dan (6) untuk meningkatkan kesadaran mutu.20

3. Penutup

20 Muh. Yunus, “Reorientasi Kampus menuju World Class University”, Zaenal Habib (ed.),
Reorientasi Tradisi Perguruan Tinggi Islam, (UIN Press, 2014), hlm. 22-23

10

Hadirnya lembaga tinggi Islam semisal IAIN, STAIN, dan UIN merupakan
kabar gembira bagi pendidikan Islam. Hadirnya lembaga tersebut mengemban
amanah untuk memberi pengajaran tinggi dan menjadi pusat perkembangan dan
pendalaman ilmu pengetahuan tentang agama Islam. Disamping tujuan ideal
untuk memberi pengajaran tinggi dan menjadi pusat perkembangan dan
pendalaman ilmu pengetahuan tentang agama Islam, dibentuknya PTAIN (IAIN,
STAIN, dan UIN) tidak lepas dari tujuan praktis yaitu untuk memenuhi dan
mengatasi kekurangan tenaga ahli dalam bidang ilmu agama Islam. Dapat
dimaklumi bahwa pada ketika itu telah banyak lulusan sekolah tingkat menengah
atau madrasah yang belum tersalurkan minat studi mereka ke perguruan tinggi
disebabkan belum berdirinya lembaga semacam PTAIN. Selain itu, sebelum
berdirinya PTAIN, masyarakat Indonesia yang ingin memperdalam ilmu
pengetahuan keagamaan mesti berangkat ke luar negeri seperti Mesir atau Saudi
Arabia. Selain itu berdirinya PTAIN membawa harapan untuk bisa menjadi pusat
pengembangan ilmu-ilmu keislaman
Dalam perjalanannya, senantiasa muncul harapan dan tantangan. Salah satu
tantangan bagi UIN (dan juga perguruan tinggi keagamaan lain) adalah
masyarakat menginginkan alumni IAIN, STAIN atau UIN tidak hanya memahami
doktrin Islam. Lebih dari itu juga melaksanakan -bahkan mampu menjadi
pemimpin- dalam ibadah mahdlah dan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan.
Harapan peran semacam ini tidak hanya datang dari masyarakat, tapi
muncul pula di kalangan tokoh agama dan organisasi-organisasi keagamaan.
Mereka berharap lulusan IAIN, STAIN atau UIN muncul menjadi kader-kader
pemimpin umat ataupun ulama muda dan organisator.
Selain itu, dari sisi kelembagaan, tantangan datang pula dari lingkungan
sekitar, dalam lingkup yang lebih luas. Lingkungan sekitar dimaksud adalah
persaingan dengan perguruan lain di sektor regional, nasional hingga lintas
negara. Persaingan dari waktu ke waktu semakin terasa ketat, terbaru adalah
terjalinnya kerjasama tingkat ASEAN atau dikenal dengan AUN-QA (ASEAN
University Network-Quality Assurance), dengan Indonesia sebagai salah satu
anggotanya. Dengan adanya AUN-QA, diharapkan kelembagaan PTAIN (IAIN,
STAIN atau UIN) bisa semakin baik dan berkembang dari waktu ke waktu.

11

DAFTAR PUSTAKA

Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012)
Amril Mansur, et al, Paradigma Baru Reformulasi Pendidikan Tinggi Islam,
(Jakarta: UI Press, 2004)
Fuad Jabali, Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia, (Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, 2002)
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009)
Husni Rahim, “IAIN dan Masa Depan Islam Indonesia”, Komaruddin Hidayat
(ed.), Problem dan Prospek IAIN, (Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi
Agama Islam, Departemen Agama RI, 2000)
Imam Suprayogo, Universitas Islam Unggul, (Malang: UIN Press, 2009)
Imam Suprayogo, Rasmianto, Perubahan Pendidikan Islam: Refleksi Perubahan
IAIN/STAIN menjadi UIN, (Malang: UIN-Malang Press, 2008)
Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa, (Bogor: al Manar Press,
2011)
M. Atho Mudzhar, “Kedudukan IAIN sebagai Perguruan Tinggi”, Komaruddin
Hidayat (ed.), Problem dan Prospek IAIN, (Direktorat Pembinaan Perguruan
Tinggi Agama Islam, Departemen Agama RI, 2000)
Muh. Yunus, “Reorientasi Kampus menuju World Class University”, Zaenal Habib
(ed.), Reorientasi Tradisi Perguruan Tinggi Islam, (UIN Press, 2014)
Munawir Sjadzali. “Dari Lembah Kemiskinan”. Muhammad Wahyuni Nafis (ed.),
Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA
(Jakarta: Paramadina, 1995)
Ninik Masruroh, Umiarso, Modernisasi Pendidikan Islam ala Azyumardi Azra,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)
Ronald A. Lukens-Bull, Islamic Higher Education in Indonesia, (New York:
Palgrave McMillan, 2013)
Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007)
UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3

12