TEORI KEAGENAN DAN MANAJEMEN LABA Drs. Benny Barnas, MBA Prodi Keuangan dan Perbankan Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Bandung Abstrak - Teori Keagenan dan Manajemen Laba (Benny Barnas).pdf
Ekspansi
Jurnal Ekonomi, Keuangan, Perbankan dan Akuntansi
Vol. 1, No. 1, Mei 2009, 49 - 66
TEORI KEAGENAN DAN MANAJEMEN LABA
Drs. Benny Barnas, MBA
Prodi Keuangan dan Perbankan Jurusan Akuntansi
Politeknik Negeri Bandung
Abstrak
Prilaku manajerial dalam proses pelaporan kinerja perusahaan dapat dipengaruhi oleh
tindakan memanipulasi keuntungan dengan melaporkan kinerja perusahaan yang tidak
sesuai dengan kenyataannya, yaitu dengan berupaya agar laporan kinerja yang
dibuat seolah-olah telah sesuai dengan target yang diinginkan.Tindakan demikian
dapat dilakukan baik secara artificial yaitu melalui metode akuntansi maupun secara
riil yaitu melalui metode aktifitas transaksi. Metode akuntansi terus dikembang oleh
para peneliti, mulai dari Healy Model (1985), DeAngelo Model (1986), Jones Model
(1991), Cross sectional Jones (1994), Modified Jones Model (1995), dan Margin Model
(2000). Sedangkan untuk aktivitas transaksi, metode yang digunakan adalah regresi
cross-sectional yang dikembangkan Dechow (1998) dan disempurnakan
Roychowdhury (2006). Tindakan manajemen laba ini dianggap sebagai tindakan yang
umum dilakukan oleh manajemen untuk mencapai maksud-maksud tertentu. Namun
praktik demikian telah dikritik oleh banyak pihak karena dapat menyebabkan
disclosure dalam laporan keuangan, Akibat selanjutnya, laporan keuangan tidak lagi
mencerminkan keadaan sebenarnya mengenai hal-hal yang terjadi di perusahaan yang
seharusnya perlu disampaikan dan diketahui oleh pemakai laporan keuangan. Kondisi
demikian sesuai dengan materi pembahasan teori keagenan yang berkaitan dengan
manajemen laba yang dilaksanakan oleh pengelola perusahaan, dan oleh karenanya
pedoman yang jelas dalam mengelola perusahaan yang baik mutlak diperlukan.
Keywords: earnings management, agency theory, accruals basis, real activities
Pendahuluan
Tujuan investor pada umumnya dalam melaksanakan investasi adalah pertimbangan
laba perusahaan dimasa mendatang (future earning). Persoalan yang kerapkali timbul
dihadapi umumnya para investor adalah berkaitan dengan masalah informasi laba
yaitu apakah laba tahun berjalan perusahaan mempunyai kualitas yang baik. Cohen
(2002) mengungkapkan bahwa laba tahun berjalan mempunyai kualitas yang baik jika
laba tersebut menjadi indikator yang baik untuk laba masa mendatang. Untuk dapat
memberikan kualitas informasi laba yang baik tentunya pihak manajemen perusahaan
harus dapat mengelola kinerja dengan baik sehingga laba yang dihasilkan dapat
memberikan kepuasan kepada para investor, sehingga aktifitas perusahaan dapat
berlangsung terus menerus untuk memperoleh laba yang semakin baik.
49
Ekspansi
Krisis keuangan dunia yang melanda pada saat ini menimpa perusahaan International
Group Amerika (AIG) menurut the BBC website and the Financial Times (thn 2009),
yang mengakibatkan suatu kerugian triwulanan sebesar US$617 billion - yang paling
besar di dalam sejarah perseroan AS. Hal ini terjadi sebagai akibat akumulasi dari
kebijakan para manajer yang tidak sesuai dalam melaporkan kinerja perusahaan.
Roychowdhury (2006) mengungkapkan berbagai metode digunakan, untuk mengatur
laba agar kinerja perusahaan terlihat bagus, di antaranya pemilihan metode akuntansi
atau kebijakan akrual, yaitu dengan mengendalikan transaksi akrual sehingga laba
terlihat tinggi, akan tetapi transaksi tersebut tidak mempengaruhi aliran kas. Metode
lainnya
yang dapat digunakan yaitu melalui manipulasi operasi riil yang berkaitan
dengan kegiatan peningkatan produksi dan strategi penjualan sehingga dapat
mempengaruhi aliran kas. Berbagai literatur manajemen melalui teori keagenan
mengungkapkan bahwa manajemen laba dapat memanipulasi informasi kinerja
perusahaan sehingga akan terlihat seolah-olah kinerja perusahaan baik, sehingga hal
ini akan menguntungkan bagi agen dan sebaliknya bagi pemilik modal hal ini
akan
merugikan mereka dan pada akhirnya akan menimbulkan konflik.
Teori Keagenan
Teori keagenan memberikan panduan bahwa ada dua pihak yang memiliki dan
mengutamakan kepentingannya masing-masing Menurut Darmawati et al. (2005), yaitu
prinsipal (pemilik) dan agen (pengelola) perusahaan. Kepemilikan diwakili oleh investor
mendelegasikan kewenangan kepada agen dalam hal ini manajer untuk mengelola
kekayaan investor. Investor mempunyai harapan bahwa dengan mendelegasikan
wewenang pengelolaan tersebut, mereka akan memperoleh keuntungan dengan
bertambahnya kekayaan dan kemakmuran investor.
Fama & Jensen (1983); Jensen & Meckling (1976); Ross (1973) menyatakan bahwa
teori keagenan mengacu pada agency problem, di mana terjadi hubungan antara
prinsipal yang mendelegasikan pekerjaan kepada agen yang melaksanakan pekerjaan
tersebut. Hubungan agen-prinsipal sangat tergantung pada penilaian prinsipal tentang
kinerja agen. Posisi manajer adalah sebagai agen yang bertujuan untuk memberikan
kekayaan kepada prinsipal atau pemilik perusahaan. Dalam hubungan ini pemilik
menuntut pengembalian investasi yang mereka percayakan untuk dikelola oleh agen.
Agen dengan demikian harus memberikan pengembalian yang memuaskan pada
pemilik perusahaan. Kinerja yang baik akan berpengaruh positif pada kompensasi
yang mereka terima, dan sebaliknya kinerja yang buruk akan berpengaruh negatif.
50
Benny Barnas
Perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen menciptakan problem ”moral
hazard” dalam hubungan antar keduanya. Untuk itu diperlukan perubahan tata kelola
korporat yang mencerminkan sinyal adanya kontrol dan pola insentif yang
menyelaraskan kepentingan agen dengan kepentingan prinsipal (Beaty & Zajac,
1994).
Teori keagenan biasanya mengacu pada dua kasus (Demski & Filtham, 1978). Kasus
pertama berkaitan dengan prinsipal mengetahui apa yang dikerjakan oleh agen
(Eisenhardt, 1985). Pada kasus ini, kontrak didasarkan pada efisiensi dan pencapaian
kinerja. Kasus kedua, mengisyaratkan bahwa prinsipal tidak mengetahui apa yang
dikerjakan oleh agen, sehingga prinsipal mendasarkan pada informasi yang dihasilkan
oleh agen dan pencapaian outcome-nya. Untuk ini Babchuk & Goode (1951); Lawier
(1971, 1981); menyatakan bahwa teori keagenan memberikan gambaran tentang
keterukuran kinerja melalui kriteria-kriterianya.
Noreen (1988) memberikan pemahaman bahwa keberadaan teori keagenan
mendasarkan pada model yang mengasumsikan pemisahan kepemilikan dan kontrol,
asimetri informasi akibat adanya pemisahan tersebut, insentif dan penghargaan,
perilaku mementingkan diri sendiri merupakan bagian dari kontrak antara pemilik dan
manajemen. Ia juga mengungkapkan bahwa perilaku mementingkan diri sendiri
memicu adanya problema keagenan.
Carter et al. (2003) mengungkapkan bahwa teori keagenan merupakan kerangka
teoritis yang sering digunakan dalam kajian keuangan dan ekonomi untuk memahami
hubungan antara karakteristik dewan audit dan nilai perusahaan. Hal ini didasarkan
pada argumentasi Fama dan Jensen (1983) yang menyatakan bahwa dewan audit
merupan perangkat penting sebagai mekanisme untuk mengendalikan dan memonitor
manajer. Peran dewan audit dalam kerangka keagenan adalah untuk menyelesaikan
problema keagenan antara manajer dan pemegang saham.
Adanya tekanan dari pemegang saham, penyandang dana, pasar modal, pemerintah,
komunitas profesi dan sosial, yang menginginkan informasi yang transfaran dan
akuntabel, maka mau tidak mau perusahaan, khususnya untuk perusahaan yang
akan dan sudah go public harus melakukan perubahan dalam struktur, budaya dan
aktivitasnya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh para pemangku kepentingan
tersebut. Perubahan terjadi atas kewajiban perusahaan untuk memiliki dewan
komisaris dan komite audit.
Kalbers & Fogarty
(1998) menginvestigasi keefektivan komite audit melalui teori
keagenan atau teori institusional. Teori keagenan memprediksi bahwa monitoring
51
Ekspansi
manajemen berpengaruh besar terhadap komite audit yang efektif. Sebaliknya, teori
institusional memposisikan bahwa beberapa struktur organisasi seperti komite audit
hanya sebagai simbol pemenuhan harapan tanggung jawab sosial. Mereka
menemukan dukungan untuk pentingnya beberapa variabel keagenan (seperti ukuran
perusahaan). Hasilnya tidak melihat hubungan yang kuat antara keefektivan dan
faktor-faktor teori keagenan; dan juga ada hubungan yang lemah antara keefektivan
dan beberapa pengukuran kekuatan komite audit yang berbasis organisasional
(pengaruh kekuatan sanksi terhadap lingkup
kesepakatan komite audit). Mereka
menggunakan kedua teori tersebut dalam penelitian yang menjelaskan keefektivan
komite audit.
Keberadaan komite audit yang berperan untuk melakukan aktivitas monitoring dalam
rangka meluruskan kepentingan prinsipal dan agen, sebagaimana diaplikasikan di
rancangan Anglo Saxon (Köhler, 2005). Dengan merujuk pada penelitian-penelitian
yang dilakukan di Amerika Serikat dan negara-negara dalam kelompok Anglo-Saxon
yang berkisar pada sistem dan prosedur, khususnya struktur yang harus ada dalam
sebuah organisasi untuk memberikan sinyal (signaling device), sehingga akan
memberi peringatan “checks and balances”, bahwa perilaku manajemen harus sejajar
dengan harapan-harapan prinsipal.
Pengertian dan Motivasi Manajemen Laba
Manajemen laba (earning management) merupakan tindakan intervensi terhadap
proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja untuk memperoleh beberapa
keuntungan pribadi (Schipper, 1989). Hal ini juga diungkapkan oleh Fischer dan
Rosenzweig (1995) bahwa manajemen laba merupakan tindakan manajer dengan
melakukan penyajian laporan yang menaikkan (menurunkan) laba periode berjalan dari
unit
usaha yang
menjadi tanggungjawabnya,
tanpa menimbulkan kenaikkan
(penurunan) profitabilitas ekonomi unit tersebut dalam jangka panjang.
Lebih teknis, Davidson et al (2005) mendifinisikan manajemen laba sebagai suatu
proses tahap pengambilan pertimbangan melalui penggunaan prinsip-prinsip yang
berlaku umum untuk mencapai tingkat laba yang dilaporkan. Sedangkan Burgstahler &
Ernas (1998) menyatakan bahwa manajemen laba pada umumnya mencakup
tindakan-tindakan penggunaan pengukuran-pengukuran (metode-metode) akuntansi
tertentu dalam rangka mempengaruhi besaran laba. Healy dan Wahlen (1998),
mengemukakan bahwa manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan
pertimbangan (judgement) dalam pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi
untuk merubah laporan keuangan, dengan tujuan untuk memanipulasi besaran
52
Benny Barnas
(magnitude) laba kepada beberapa stakeholders tentang kinerja ekonomi perusahaan
atau untuk mempengaruhi hasil perjanjian (kontrak) yang tergantung pada angkaangka akuntansi yang dilaporkan.
Ada beberapa motivasi yang mendorong manager melakukan tindakan manajemen
laba, yaitu: dalam rangka meratakan laba, mengurangi beban pajak, mengurangi biaya
politis, mengantisipasi pergantian manajemen, dan contractual perspectives (Aljifri
2007). Motivasi terakhir, contractual perspectives, ditimbulkan karena adanya kontrak
antara manajer sebagai agen dengan pemilik korporat sebagai principal. Kondisi ini
berkaitan dengan program kompensasi, program bonus, dan program insentif lainnya
yang disetujui kedua belah pihak.
Model Manajemen Laba
Aljifri (2007) mengemukakan bahwa pada umumnya manajemen laba dilakukan
dengan menggunakan berbagai pendekatan antara lain dengan accrual accounting
choice (periodisasi beban dan pengakuan pendapatan), atau accounting method
change. Healy (1995) menyatakan bahwa pendekatan accrual accounting choice
mudah untuk digunakan, murah, tetapi sulit untuk dideteksi oleh auditor. Sedangkan
pendekatan accrual accounting choice relative mahal, dapat diobservasi, dan mudah
untuk dideteksi oleh auditor. Pendapat lainnya, Roychowdhury (2006) menyatakan
bahwa korporasi (perusahaan) dalam melaksanakan manajemen laba selain
menggunakan pendekatan akuntansi berbasis akrual (accruals manipulation) dapat
juga menggunakan pendekatan operasional yang berbasis aktifitas riil (real activities
manipulation) yaitu manipulasi penjualan melalui peningkatan produksi dan strategi
penjualan sehingga akan meningkatkan target laba yang ditetapkan.
Manajemen Laba Berbasis Akrual
Pengukuran manajemen laba berbasis akrual telah banyak digunakan secara luas oleh
banyak peneliti dan model yang paling sering digunakan pada umumnya adalah model
Jones. Model tersebut merupakan hasil pengembangan dari berbagai model yang
telah dikenal sebelumnya seperti; model Healy (1999) yaitu model pertama yang
dikembangkan dalam memprediksi discretionary accruals sebagai total accruals pada
periode berjalan.
EDA it = TAit / Ait-1
Dimana :
EDA it = Estimated discretionary accruals for the period;
TA it
= Total accruals for the period;
53
Ekspansi
Ait-1
= Total assets at the beginning of the period.
Pada model ini mandat untuk discretionary accruals dibentuk dengan asumsi bahwa
non-discretionary accrual dalam suatu periode estimasi akan menghasilkan nihil (zero).
Asumsi ini mendapat banyak kritikan, sebagai contoh Kaplan (1985) menyampaikan
pengalaman bahwa non-discretionary accruals selalu berubah-ubah setiap saat sesuai
dengan kondisi perekonomian yang selalu berubah sehingga tak mungkin dalam suatu
waktu akan terjadi nihil
non-discretionary accruals. Peneliti yang lain, DeAngelo
(1988) dan Perry & Williams (1994) berpendapat bahwa penggunaan total accrual
sebagai
mandat
untuk
discretionary
accruals
akan
menyebabkan
negative
discretionary accruals setiap saat, walaupun tidak melakukan manipulasi keuntungan.
Hal ini akan mengindikasikan bahwa manager akan memilih untuk melakukan
penurunan penerimaan
sebagai akibat adanya
beban depresiasi lebih besar
dibandingkan dengan akrual lainnya.
Model lain yang diusulkan DeAngelo Model (1986) yaitu bahwa kekurangan
dari model Healy yaitu tidak adanya pembanding (benchmark) untuk akrual yang
diharapkan. Dia menggunakan data tahun sebelumnya untuk pembanding, sehingga
discretionary accrual diperoleh dari perbedaan total akrual tahun berjalan dengan
tahun sebelumnya.
EDAit = (TAit -TAit-1) /Ait-1
Dimana:
EDAit = Estimated discretionary accruals for the period;
TAit
= Total accruals for the current period;
TAit-1
= Total accruals for the prior period;
Ait-1
= Total assets for the prior period.
Mengacu pada pendapat yang dikemukakan Kaplan (1985)
yaitu bahwa non -
discretionary accruals selalu berubah-ubah setiap saat sesuai dengan kondisi
perekonomian yang selalu berubah,
sehingga apa yang dikemukakan DeAngelo‟s
dengan modelnya adalah keliru, yaitu mengklasifikasikan non-discretionary accruals
sebagai discretionary accruals. Masalah lainnya yaitu menggunakan akrual periode
yang lalu sebagai acuan yang diharapkan, hal ini dapat dikatagorikan sebagai bentuk
manipulasi laba.
Friedlan (1994) melakukan modifikasi model DeAngelo, yaitu dengan menggunakan
ide yang sama untuk mengukur discretionary accruals melalui penjualan sebagai
angka pengali deflasi (deflator) dalam mengontrol perubahan total akrual yang
54
Benny Barnas
disebabkan oleh aktifitas bisnis, akan tetapi masih mengabaikan masalah batasan
waktu (benchmark period) dimana tidak terdapat manajeman laba.
Jones (1991) menawarkan model baru The Jones Model yang dikatakan lebih efektif
untuk memprediksi nondiscretionary accruals yaitu menggunakan pendekatan plant,
property and equipment variable (PPE), untuk mengontrol perubahan yang terjadi
dalam non-discretionary accruals yang diakibatkan beban depresiasi dan aktifitas
bisnis. Dengan menggunakan ide yang sama yaitu variabel penerimaan penjualan
digunakan untuk mengontrol perubahan dalam non-discretionary accruals akan tetapi
hal ini bukan sesuatu yang baru misalnya penundaan pengiriman barang dengan
tujuan untuk menunda penerimaan sekarang hingga tahun yang akan datang. Estimasi
time series regression ditunjukan sebagai berikut:
TAt /Ait-1 = at /Ait-1+ β1i (REVit /A it-1) + β2i(PPEit /Ait-1) + εit
Dimana:
TA
= total accruals for firm i in year t;
Ait-1
= total assets for firm i in previous year;
REVit
= change in revenues for firm i in year t;
PPE it
= gross property, plant, and equipment for firm i in year t;
ε it
= error term for firm i in year t.
Semua variabel dalam model ini diukur melalui aset yang ditunda (lagged aset) untuk
mengurangi heteroscedasticity. Akan tetapi karena estimasi parameter yang digunakan
untuk tujuan prediksi bukan untuk pengujian hipotesis, maka masalah
kesalahan
standar estimasi yang bias yang berhubungan dengan heteroscedasticity tidak menjadi
isu utama (Kmenta 1997). Discretionary accruals (DA), dibawah ini dihitung melalui
perbedaan antara total accruals dan komponen non-discretionary accruals.
DAit TAt /Ait-1 – [at (1/Ait-1)+b1i (∆REVit /Ait-1)+b2i (PPEit /Ait-1)]
Dengan melihat model Jones yang ditunjukkan, sangat jelas bahwa dengan
menggunakan dua variabel ( REV and PPE) untuk melakukan kontrol terhadap
perubahan
non-discretionary
accruals
sangat
berpotensi
dalam
menganalisis
manipulasi laba yang lebih akurat. Akan tetapi karena asumsi yang digunakan untuk
estimasi koefisien adalah tetap maka
menimbulkan
ketidakjelasan atau bias
(survivorship bias). Seperti manipulasi penjualan yang dilakukan oleh manajer
seharusnya tidak dilakukan karena asumsinya semua penerimaan pada periode
berjalan merupakan nondiscretionary.
55
Ekspansi
Model Jones ini banyak mendapat kritik dari berbagai peneliti lainnya seperti Defond
(1994), mencoba versi gabungan yaitu model pertama dan kedua dari model jones,
dimana model ini disebut model Cross Sectional Jones. Yang bertujuan untuk
memecahkan masalah survivorship bias yang dihasilkan dari pendekatan time series.
Apa yang dilakukan model ini yaitu dengan menggunakan portofolio perusahaan yang
sesuai dengan periode dan jenis industrinya dan menghindari asumsi estimasi
koefisien yang tetap. Pendekatan ini melalui estimasi regresi secara terpisah untuk
setiap industri pertahunnya dan menerapkan koefisien estimasi untuk data yang
spesifik untuk menghasilkan komponen deskretionari akrual. Meskipun pendekatan ini
terlihat lebih akurat, namun dapat saja terjadi kemungkinan gagal dalam mengukur
apabila semua perusahaan melakukan manajemen laba.
Dechow et al. (1995) melakukan modifikasi dari model asli dari Jones model untuk
mengurangi tendensi dugaan untuk mengukur kesalahan discretionary accruals pada
saat kebijakan discretionari diukur melalui pendapatan, model ini disebut dengan The
Modified Jones Model (1995). Perubahan pendapatan (revenue) disesuaikan dengan
perubahan dalam penerimaan yang terjadi. Mereka mengasumsikan semua perubahan
dalam penjualan kredit yang terjadi dihasilkan dari manajemen laba.
Mereka
menyimpulkan bahwa manajemen laba melalui kebijakan penelusuran revenue dari
penjualan kredit lebih mudah dilakukan dibandingkan melalui penelusuran revenue
melalui penjualan tunai. Regressi time series untuk contoh diatas sebagai berikut:
TAt /Ait-1 = at /Ait-1 + β1i [(∆REVit -∆RECit )/Ait-1 )]+ β2i (PPEit /Ait-1)+Ɛ it
Dimana:
TA
= total accruals for firm i in year t;
Ait-1
= total assets for firm i in previous year;
REVit
= change in revenues for firm i in year t;
PPE it
= gross property, plant, and equipment for firm i in year t;
ε it
= error term for firm i in year t.
Untuk mengestimasi αi, b1i, b2i untuk αi,
β1i, dan
β2i secara berturut-turut dapat
digunakan regresi ordinary least squares (OLS). Perbedaan antara total akrual dan
komponen akrual non-diskresionari dipertimbangkan sebagai akrual diskresionari (DA),
yaitu:
DAit = TAt /Ait-1 – at (1/Ait-1) + b1i (∆REVit –∆REC1t /Ait-1)+b2i (PPEit /Ait-1)
Model lain yaitu disebut cross-sectional models dipergunakan karena model ini dapat
mengestimasi nilai hasil penandingan setiap perusahaan dalam periode yang sama.
56
Benny Barnas
Model ini dilakukan, pertama, mengestimasi akrual non-diskresionari untuk setiap
tahun-perusahaan, dengan menggunakan formula sebagai berikut:
TAijp /Aijp-1 = ajp(1/Aijp)+ β1jp[(∆REVijp -∆RECtjp)/Aijp-1)] + β2jp(PPEiijp-1)+ εijp
Dimana:
TAijp
= total akrual untuk estimasi portfolio perusahaan i yang
ditandingkan dengan perusahaan j yang violation terhadap industry untuk
tahun p.
∆REVijp = perubahan dalam revenue untuk estimasi portofolio perusahaan i
ditandingkan dengan perusahaan j yang violation terhadap industry untuk
tahun p.
∆RECijp = perubahan dalam receivable untuk estimasi portofolio perusahaan
ditandingkan dengan perusahaan j yang violation terhadap industry untuk
tahun p.
PPEijp
= Nilai bruto property, pabrik, dan peralatan untuk estimasi
portofolio perusahaan i ditandingkan dengan perusahaan j yang violation
terhadap industry untuk tahun p.
ijp
= total asset untuk estimasi portofolio perusahaan i ditandingkan
dengan perusahaan j yang violation terhadap industry untuk tahun p.
єijp
= error untuk estimasi portofolio perusahaan i ditandingkan dengan
perusahaan j yang violation terhadap industry untuk tahun p.
i
= 1,…, i j adalah indek perusahaan yang diestimasi dari sejumlah
perusahaan.
j
P
= 1,…, n, adalah indek perusahaan yang violation.
= periode sampel.
Tahap kedua, yaitu mengestimasi koefisien hasil dari persamaan diatas untuk
menghitung akrual diskresionari (DA) pada tahun p untuk perusahaan sampel j.
Formulanya adalah sebagai berikut:
DAijp=TAijp /Aijp-1 – ajp(1/Aijp)+b1jp[(∆REVijp–∆REC1jp)/Aijp-1)]+b2jp(PPEijp /Aiijp-1)
Dapat diketahui bahwa masalah dari model Jones adalah mengabaikan kemungkinan
dari manipulasi yang berbasis penjualan yang terjadi dari model tersebut. Model ini
mengasumsikan bahwa semua penjualan kredit adalah cara yang tepat untuk
melakukan manipulasi penjualan. Meskipun pendekatan ini akan menanggung beban
dari manipulasi penjualan dan menghindari perubahan untuk manipulasi penjualan
dari discretionary accruals, akan tetapi pada dasarnya asumsi yang berkaitan dengan
semua penjualan kredit sebagai akibat dari manajemen laba tidak pernah terjadi dalam
praktiknya.
Model yang lebih maju dikembangkan oleh Peasnell et al. (2000) dinamakan Model
Margin yang mempunyai pendekatan hampir sama dengan model Jones dan model
57
Ekspansi
modifikasi Jones dalam hal mempertimbangkan nilai sisa dari penggunaan regresi
ordinary least squares
sebagai
discretionary accruals, akan tetapi mereka
menggunakan penjelasan variabel yang berbeda yang diperoleh dari model penjualan
formal (formal model linking sales), akrual, dan pendapatan. Akrual abnormal
diestimasikan melalui langkah sebagai berikut; pertama, definisi komponen modal kerja
yang berubah sebagai berikut:
∆INVt=PURt - COGSt
∆RECt=REVt - CRt - BDEt
∆PAYt=PURt - CPt
Dimana :
INV
= persediaan (inventory)
PUR
= pembelian bahan baku (purchases of materials)
COGS = biaya barang jadi (cost of finished goods sold)
REC
= piutang dagang (account receivable)
REV
= penerimaan penjualan kredit (revenue from credit sales)
CR
= penerimaan kas (cash received from customers)
BDE
= beban utang tak tertagih (bad debt expense)
PAY
= hutang dagang (account payable)
CP
= pembayaran kas (cash paid to suppliers).
kedua, definisi modal kerja akrual (WCA) sebagai berikut:
WCA
= (∆INV + ∆REC) - ∆PAY + UNIDEN
= (REV – COGS – BDE) + (CP – CR) + UNIDEN
= sm REV – cm CR + UNIDEN
Dimana:
Sm
= margin kotor (gross margin on sales)
cm
= kontribusi kas kotor (the gross cash contribution)
UNIDEN = seluruh aset non kas selain persediaan dan piutang dan seluruh kewajiban
selain payable (all non-cash current assets other than inventory and receivables and
all current liabilities other than payables).
Peasnell et al. (2000) percaya bahwa depresiasi bukan cara yang tepat dalam
manajemen laba yang sistimatik, oleh sebab itu perlu dikeluarkan dari komponen
pengukuran akrual. Model ini membuat formula modal kerja sebagai dua contribution
margins yaitu marjin kotor dari penjualan kridit (the gross margin on credit sales) dan
marjin kas (the cash margin). Mengacu pada pendekatan ini maka modal kerja akrual
58
Benny Barnas
kecenderungannya abnormal apabila tidak berdasarkan pada penjualan kredit dan
penjualan tunai. maka Peasnell et al. (2000) dengan menggunakan model persamaan
Jones dan model modified-Jones mengemukakan persamaan regresi sebagai berikut:
WCAt = λo + λ1REVt + λ2CR + ηt
Dimana :
REV
= penjualan kredit (credit sales)
CR
= penerimaan kas ( sales minus the change in accounts ceivable)
0, 1, dan 2 = koefisien regresi (regression coefficients)
t
= residual regresi (the regression residual)
Nilai rata-rata dari margin penjualan kredit diperkirakan dengan koefisien yang
nilainya positip. Sedangkan koefisien yang merupakan marjin kas yang diperkirakan
negatif nilainya. Berdasarkan model demikian, maka Model Margin mempunyai bentuk
berbeda dalam menganalisis REV dibandingkan dengan model Jones dan modifiedJones.
Peasnell et al. (2000) menganggap penerimaan kas tahun ini sebagai
penerimaan tahun lalu, dan tidak setuju dengan REV dibagi dalam dua komponen.
Pendekatan ini akan memperbaiki kemampuaan melakukan deteksi manipulasi
berbasis pengeluaran
(expense). Namun untuk melakukan deteksi manipulasi
berbasis pendapatan sangat lemah dibandingkan dengan model modifikasi Jones
dimana akrual normal akan termasuk aktifitas akrual tidak normal yang diperoleh dari
manipulasi berbasis pendapatan. Dengan kata lain, variabel (REV) yang digunakan
untuk menghitung akrual normal dapat terpengaruh manajemen laba yang berakibat
akan keliru menetapkan akrual abnormal sebagai akrual normal.
Peasnell et al. (2000) membandingkan secara empirik spesifikasi dan kekuatan dari
Model Jones, Model Modifikasi Jones, dan Model Marjin. Disimpulkan bahwa model
Modifikasi dan model Marjin mempunyai kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan
model Jones untuk mengidentifikasi manajemen laba.
Peasnell et al. (2000)
menyarankan pula bahwa baik model modifikasi Jones atau marjin model harus
digunakan apabila fokus penelitian adalah untuk membedakan bentuk manipulasi, hal
ini akan membantu akurasi pengukuran manajemen laba. Mereka berpendapat apabila
penelitian terfokus pada pendapatan yang berbasis manipulasi, maka model modifikasi
Jones harus digunakan. Namun model Marjin yang digunakan apabila penelitian
memfokuskan pada expense berbasis manipulasi
Semua model berbasis akrual yang telah didiskusikan sebelumnya dan mendapatkan
kritikan sebagai model yang salah spesifikasi (misspecification), salah satunya adalah
59
Ekspansi
Bernard and Skinner (1996), yang menyoroti kenapa terjadi salah spesifikasi
(misspecification)
dalam
manajemen
laba
menggunakan
model
Jones.
Kesimpulkannya, model Jones menilai akrual diskretionari terlalu berlebihan terhadap
keuntungan dan kerugian yang berasal dari non operating, kalau hal ini dikatagorikan
sebagai discretionary.
Sebagai tambahan, Model Jones mengabaikan variabel yang relevan yang sangat
penting untuk menjelaskan berbagai variasi dalam discretionary accruals, misalnya
seperti unsur modal kerja akrual yang tidak dihasilkan dari perubahan pendapatan
akan menimbulkan kekeliruan. Sehingga discretionary accruals pada umumnya akan
terdiri dari unsur nondiscretionary accrual. Meskipun semua model sebelumnya yang
telah ditunjukan mempunyai kekurangan, khususnya yang berhubungan dengan
rencana kompensasi manajemen dan kontrak hutang. Berbagai studi yang dilakukan
menemukan bukti bahwa manajer menggunakan akrual untuk kepentingan melakukan
manipulasi laba.
Manajemen Laba Berbasis Aktifitas Riil
Manajer sebagai pengelola korporasi akan selalu berusaha untuk meningkatkan
pendapatan (revenue) dalam rangka meningkatkan laba neto yang harus diraihnya.
Upaya yang dilakukan diharapkan tidak melanggar ketentuan yang berlaku misalnya
tidak melanggar standar akuntansi yang berlaku. Upaya tersebut dilakukan oleh
manajer berada pada tingkatan tidak normal, artinya melampaui kebiasaan operasi
usaha korporat yang normal. Misalnya pemberian potongan harga yang relatif besar
dalam rangka meningkatkan penjualan. Kondisi ini dikategorikan sebagai tindakan
manipulasi. Roychowdhury (2006) mendifinisikan real activities manipulation sebagai
tindakan manajer yang tidak berada dalam praktik operasi yang normal.
Real Activities Manipulation of Earning Management (RAMOEM) pada umumnya
memfokuskan pada tiga kelompok aktivitas (Cohen, et al., 2008; Zang, 2006;
Roychowdhury, 2006; dan Gunny, 2005), yaitu: (1) manipulasi penjualan, dengan
melakukan percepatan penjualan melalui pemberian potongan harga yang tidak seperti
biasanya atau pemberian penjualan kredit lunak melalui waktu yang relatif lama. Pada
kondisi ini konsumen akan membeli barang secara besar-besaran, sehingga
perusahaan akan memperoleh revenua yang melampaui target normal. Ini akan
berpengaruh pada penjualan tahun berikutnya, di mana tidak ada potongan harga.
Pasar menjadi lesu, dan mengakibatkan nilai penjualan menurun tajam. (2)
pengurangan pengeluaran diskresionari (pengeluaran untuk R&D, iklan, dan
pemeliharaan);
dan (3) melakukan produksi besar-besaran, di mana perusahaan
60
Benny Barnas
memproduksi barang dalam jumlah lebih besar dari biasanya. Volume produksi yang
dihasilkan dalam jumlah besar mengakibatkan biaya tetap yang dialokasikan per unit
produk menjadi kecil, dan mengakibatkan biaya produksi per unit pun turun, yang
berdampak pada kenaikan laba yang diperoleh.
Formula yang dipergunakan untuk mengestimasi real activities manipulation of earning
management (RAMOEM) mengadopsi dari Dechow et al (1998), yang juga
dipergunakan oleh Roychowdhury (2006). Karena sampel terdiri dari beberapa tahun
dari sejumlah perusahaan, maka model yang digunakan adalah regresi crosssectional.
Untuk mengestimasi manajemen laba akibat dari aktivitas penjualan (sales)
dipergunakan normal cash flow from operation (CFO), karena CFO diduga sebagai
fungsi linear dari penjualan (sales) dan perubahan dalam sales dalam periode
pengamatan Roychowdhury (2006). Formulanya adalah sebagai berikut:
CFOt / At-1 = α0 +α1 (1 / At-1) + β1(St / At-1 ) + β2(∆St / At-1 ) + t
(1)
Di mana At madalah total asset pada akhir periode; St adalah sales selama periode t;
dan ∆St = St- St-1.
Beban yang ditandingkan dengan sales adalah beban pokok penjualan (COGS)
sebagai fungsi linear dari sales kontemporer. COGS normal diestimasi sebagai berikut:
COGSt / At-1 = α0 +α1 (1 / At-1) + β(St / At-1 ) + t
(2)
Hal yang berkaitan dengan COGS adalah inventory. Untuk ini pertumbuhan inventory
normal diestimasi dengan formula sebagai berikut:
∆INVt / At-i = αo + α1(1 / At-1) + β1(∆St / At-1) + β2(∆St-1 / At-1) + t
(3)
di mana ∆INVt adalah perubahan dalam inventory pada periode t. biaya produksi
didefinisikan adalah PRODt = COGSt + ∆INVt.
Dengan menggunakan persamaan (2) dan (3), maka biaya produksi normal diestimasi
sebagai berikut:
PRODt/At-1=αo + α1(l/At-1) + β1(St/At-1) + β2(∆St/At-1) + β3(∆St-1/At-1) + t
(4)
Faktor lain sebagai fungsi linear dari sales adalah beban (expenses). Untuk
menghitung beban diskresionari (DISEXP) digunakan formula sebagai berikut:
DISEXPt /At-1= αo + α1 (1 / At-1 ) + β(St-1 / At-1) + t
(5)
61
Ekspansi
Teori Keagenan dan Manajemen Laba
Teori keagenan (Agency Theory) timbul akibat adanya kepentingan agen yang
memperoleh pendelegasian kewenangan dari principal untuk mengelola perusahaan.
Teori ini didukung dengan Contractual theory dimana agen akan memperoleh insentif
dari kinerja yang dicapainya. Apabila kinerja agen meningkat maka insentif atau bonus
yang diperolehnya juga meningkat. Untuk itu agen akan selalu berupaya memperbaiki
kinerjanya; bahkan berusaha seolah-olah kinerjanya relatif bagus.
Uraian yang telah dijelaskan di atas mencerminkan adanya perilaku agen berorientasi
pada kepentingannya sendiri sehingga kepentingan principal terkadang diabaikan
(terjadi conflict of Interest). Salah satu kondisi yang mencerminkan conflict of interest
adalah perilaku agen untuk mengatur besaran laba dan melalui berbagai macam cara,
antara lain mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan dengan mengatur
penggunaan metode akuntansi atau kebijakan akuntansi. Kegiatan tersebut dinamakan
manajemen laba (earning management)
Agen melakukan manajemen laba melalui pendekatan akrual (Accrulas Accounting),
Pendekatan ini sebenarnya mudah dilakukan, namun juga mudah dideteksi oleh
auditor, bahwa pendekatan ini dilakukan dengan cara merubah kebijakan akuntansi,
atau metode akuntansi.
Manajemen laba berbasis accrual approach pada kondisi transparansi atau good
corporate governance sangat sulit untuk dilakukan, bahwa para pembaca (khususnya)
pihak dewan komisaris dan komite audit serta auditor eksternal dengan segera
mengetahui perilaku agen yang tidak diharapapkan tersebut. Untuk itu agen akan
melaukan cara lain yang sulit dideteksi oleh pihak lain dan tidak melanggar prinsip –
prinsip akuntansi yang berlaku umum, cara tersebut adalah real activities manipulation.
Dengan menggunakan cara manipulasi aktivitas riil, agen melakukan tindakan nyata,
misalnya memberikan discount besar – besaran untuk meningkatkan penjualan (sales),
membuat produk dengan jumlah yang relative besar agar biaya tetap (fixed cost) per
unit minimum, yang mengakibatkan harga produk turun, dan pada akhirnya kinerja
perusahaan meningkat. Aktivitas lainnya yang dapat dimanipulasi adalah biaya
operasional, misalnya dalam hal mengurangi biaya riset dan pengembangan (research
dan development).
Manajemen laba melalui pendekatan accrual dan real activities manipulation selalu
dilakukan oleh agen, dimana agen berambisi untuk memperbesar kinerja untuk tujuan
memperbesar insentif/bonus atau untuk mempertahankan posisinya dalam perusahaan
62
Benny Barnas
yang bersangkutan. Dengan demikian manajemen laba merupakan bentuk nyata (bukti
empirik) dari teori keagenan.
Simpulan
Ada dua pendekatan yang populer yang dilakukan oleh agen (manajer) dalam
melakukan manajemen laba, yaitu metode pendekatan akrual (accrual accounting) dan
metode pendekatan aktivitas riil (real activities manipulation) kedua metode tersebut
sudah lama dikembangkan oleh para peneliti. Pendekatan akrual dilakukan melalui
metode dan kebijakan akuntansi yang dapat memperbesar pendapatan (earning);
sedangkan pendekatan aktivitas riil
pada umumnya dilakukan melalui kegiatan
strategi penjualan dengan diskon besar-besaran, dan memperbesar volume produksi
untuk menurunkan harga pokok dan biaya operasional.
Manajemen laba dilakukan oleh agen dalam rangka mencapai harapan pribadinya
untuk memperoleh insentif atau bonus atau mempertahankan posisinya dengan
melakukan manipulasi besaran laba saat ini seolah-olah kinerja manajemen relatif
baik, padahal hanya permainan manajemen yang akan merugikan prinsipal. Kondisi ini
sesuai dengan prinsip-prinsip teori agensi yang mengungkapkan bahwa perilaku agen
hanya untuk kepentingan dirinya dan berlawanan dengan harapan prinsipal (Jensen &
Meckling 1976)
Berdasarkan uraian diatas tampak nyata bahwa manajemen laba merupakan bukti
empirik dari teori agensi (agency theory). Oleh karena itu perlu dilakukan cara-cara
yang dapat mencegah terjadi manajemen laba, melalui praktik pengelolaan
perusahaan yang baik, yaitu pemisahan fungsi eksekutif dan fungsi pengawasan dan
berperannya dewan audit untuk menciptakan “checks and balances”, sehingga terjadi
independensi yang sehat antara agen dan prinsipal sebagai pemegang saham.
DAFTAR PUSTAKA
Aljifri, Khaled. (2007). Measurement and Motivation of Earning Management: A Cretical
Perspective. Journal of Accounting – Business & Management. 14. Pp 75-95.
Babchuk, N., & Goode, W. (1951). Work incentive in a self determened group.
American Sociological Review, 16: 679 – 687.
BBC website and the Financial. The Credit Crisis Timeline, 10 Mar 2009.
Bernard, V.L., and D.J. Skinner, 1996, „What motivates managers‟ choices of
discretionary accruals?‟, Journals of Accounting and Economics, 22, 313-325.
63
Ekspansi
Beaty, R.P. & Zajac, E.J. (1994). Managerial incentives monitoring and risk bearing. A
study of executive compensation, ownership and board structure public offerings.
Administrative Science Quartely. Vol. 39. pp 313-335.
Burgstahler, D., Earnes. (1998). Management of Earnings and Analyst forcasts.
University of Washington. Unpublished Working Paper.
Carter, David A. (2003). Corporate governance and firm value. The Financial Review.
38: 33 – 53.
Cohen, Daniel A., Aiyesha Dey, & Thomas Z. Lys. (2008). Real and Accrual-Based
Earning Management in the Pre- and Post-Sarbanes-Oxley Periods. The Accounting
Review. Vol. 83. No. 3. Pp 757 – 787.
Cohen, J. et al. (2004). The Corporate Governance Mosaik and Financial Reporting
Quality. Journal of Accounting Literature. Vol 23, pp. 87 – 152.
Cohen, J., G. Krishnamoorthy, dan A. Wright. (2002). Corporate governance and the
audit process. Contemporary Accounting Research (Winter): 573- 594.
Darmawati, Deni, Khomsiyah dan Rika Gelar Rahayu. 2005. Hubungan Corporate
Governance dan Kinerja Perusahaan. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia 8 (Jan): 65-81.
DeAnglo, L.E., 1986, „Accounting numbers as market valuation substitutes: A study of
management buyouts of public stockholders‟, The Accounting Review, (July), 400-420.
DeAngelo, L.E., 1988, „Managerial competition, information costs, and corporate
governance: The use of accounting performance measures in proxy contents, Journal
of Accounting and Economics, 10, 3-36.
Davidson, Ryan, Jenny Goodwin-Stewartb, Pamela Kent. (2005). Internal governance
structures and earnings management. Accounting and Finance 45 241–267.
Dechow, P., & A. Sweeney P. (1995). Detecting earning management. The Accounting
Review. 70 (2). 193 -225.
Dechow, P., & D. Skinner. (2000).Earning Management: Reconciling the views of
accounting academins, practitioners, and regulators. Accounting Horizon. 14 (2) 235250.
Dechow, P., & R. Sloan. (1991). Executive incentives and horizon: An empirical
investigation Journal of Accounting and Economics.14 (1) 51 – 89.
Dechow, P., Sloan, & A. Sweeney P. (1996). Causes and consequencies of earning
manipulation: An analysis of firm subject to enforcement sction by the SEC.
Contemporary Accounting Research. Vol. 13. (1). Pp. 1-36.
Dechow, P.,. Kothari, S.P., Watt, R.L., (1998). The relation between earning and cash
flow . Journal of Accounting and Economics. 25. 133 – 168.
Defond, Rebecca N., Hann and Xuesong. (2005). Does the market value financial
expertise on audit committee of board of directors. Journal of Accounting Research.
Vol. 43. No. 2.. pp. 153-193.
Demski, J. & Filtham, Gerald. (1978). Economics incentives in budgetary control
systems. Accounting Review. 53: 336 – 357.
Eisenhardt, Kathleen M. (1985). Control: organization and economic approach..
Management Science. Vol. 31 (3). pp. 134-149.
Eisenhardt, Kathleen, M. (1988). Agency –and institutional- theory explanation: the
case of retail sales compensation. Academy of Management Journal. Vol. 31. No. 3:
488 – 511.
64
Benny Barnas
Eisenhardt, Kathleen, M. (1989). Agency theory: an assessment and review. Academy
of Management Review. Vol. 14 (1). Pp. 57-74.
Fama, Eugene., & Jensen, Michael C. (1983). Sparation of ownership and control.
Journal of Law and Economics, 26: 301
Fischer, M. and K. Rosenzweig. 1995. Attitudes of students and accounting
practitioners concerning the ethical acceptability of earnings management. Journal of
Business Ethics 14(6): 433-444.
Friedlan, J.M., 1994, „Accounting choices of issuers of initial public offerings,
Contemporary Accounting Research, 11, Issue 1, 1-32.
Gunny, K. (2005). What are the consequences of real earning management. Working
paper. University of Colorado.
Healy, P., A. Hutton and K. Palepu, (1999), Stock performance and intermediation
changes surrounding sustained increases in disclosure, Contemporary Accounting
Research 16, 485-520.
Healy, P.M., (1995). The effect of bonus schemes on accounting decisions. Journal of
Accounting and Economics. 7. 85 – 107.
Healy, P.M., Wahlen, J.M. (1998) A Review of the earning management literature and
its implication for standard setting. Accounting Horizon. 13. 365 – 383.
Jones, J., 1991, „Earnings management during import relief investigations‟, Journal of
Accounting Research, 29, No.2, 193-228.
Jensen M.C. dan Meckling. W.H. (1976). Theory of the Firm: Managerial Behaviour,
Agency Cost and Ownership Structure, Journal of Financial Economics, 3 October, 305
– 360.
Kaplan, R.S., 1985, „Comments on Paul Healy‟, Journal of Accounting and Economics,
(April), 109-113.
Kalbers, L.P., & T.J. Fogarty. (1998). Organization and economic explanation of audit
committee oversght. Journal of Managerial Issue. Vol. 10 (2). Pp. 129-150.
Kmenta, J., 1997, „Elements of econometrics‟, Second edition, The University of
Michigan Press.
Köhler, Annette G. (2005). Audit committee in Germany. The theoritical reseoning and
empirical evidence. Schmalenbach Business Review. Vol. 57. pp. 229-252.
Lawier, E.E. III (1971). Pay and Organizational Effectiveness. A Psycological Review.
New York. McGraw-Hill Book Co.
Lawier, E.E. III (1981). Pay and Organizational Development. Reading Mass. AddisonWesley.
Noren, E. (1988). The economics of Ethics. A new perspective on agency theory.
Accounting, Organization and Society. Vol. 13. (4). Pp. 359-370.
Perry, S.E., and T.H. Williams, 1994, „Earnings management preceding management
buyout offers‟, Journal of Accounting and Economics, 18, Issue 2, 157-181.
Peasnell. K.V., P.F. Pope and S. Young. 2000. “Detecting Earnings Management
Using Cross-Sectional Abnormal Accruals Models”. Accounting and Business
Research, Vol.30. No.4. Autumn, p.313-326.
Roychowdhury, Sugata. (2006). Earnings management through real activities
manipulation. Journal of Accounting and Economics. 42. Pp 335 – 370
65
Ekspansi
Schipper, K. (1989). Commentary on earning management. Accounting Horizon.
December 91 -102.
Zang, A.Z. (2006). Evidence on the tradeoff between real manipulation and accrual
manipulation. Working paper. Duke University.
66
Jurnal Ekonomi, Keuangan, Perbankan dan Akuntansi
Vol. 1, No. 1, Mei 2009, 49 - 66
TEORI KEAGENAN DAN MANAJEMEN LABA
Drs. Benny Barnas, MBA
Prodi Keuangan dan Perbankan Jurusan Akuntansi
Politeknik Negeri Bandung
Abstrak
Prilaku manajerial dalam proses pelaporan kinerja perusahaan dapat dipengaruhi oleh
tindakan memanipulasi keuntungan dengan melaporkan kinerja perusahaan yang tidak
sesuai dengan kenyataannya, yaitu dengan berupaya agar laporan kinerja yang
dibuat seolah-olah telah sesuai dengan target yang diinginkan.Tindakan demikian
dapat dilakukan baik secara artificial yaitu melalui metode akuntansi maupun secara
riil yaitu melalui metode aktifitas transaksi. Metode akuntansi terus dikembang oleh
para peneliti, mulai dari Healy Model (1985), DeAngelo Model (1986), Jones Model
(1991), Cross sectional Jones (1994), Modified Jones Model (1995), dan Margin Model
(2000). Sedangkan untuk aktivitas transaksi, metode yang digunakan adalah regresi
cross-sectional yang dikembangkan Dechow (1998) dan disempurnakan
Roychowdhury (2006). Tindakan manajemen laba ini dianggap sebagai tindakan yang
umum dilakukan oleh manajemen untuk mencapai maksud-maksud tertentu. Namun
praktik demikian telah dikritik oleh banyak pihak karena dapat menyebabkan
disclosure dalam laporan keuangan, Akibat selanjutnya, laporan keuangan tidak lagi
mencerminkan keadaan sebenarnya mengenai hal-hal yang terjadi di perusahaan yang
seharusnya perlu disampaikan dan diketahui oleh pemakai laporan keuangan. Kondisi
demikian sesuai dengan materi pembahasan teori keagenan yang berkaitan dengan
manajemen laba yang dilaksanakan oleh pengelola perusahaan, dan oleh karenanya
pedoman yang jelas dalam mengelola perusahaan yang baik mutlak diperlukan.
Keywords: earnings management, agency theory, accruals basis, real activities
Pendahuluan
Tujuan investor pada umumnya dalam melaksanakan investasi adalah pertimbangan
laba perusahaan dimasa mendatang (future earning). Persoalan yang kerapkali timbul
dihadapi umumnya para investor adalah berkaitan dengan masalah informasi laba
yaitu apakah laba tahun berjalan perusahaan mempunyai kualitas yang baik. Cohen
(2002) mengungkapkan bahwa laba tahun berjalan mempunyai kualitas yang baik jika
laba tersebut menjadi indikator yang baik untuk laba masa mendatang. Untuk dapat
memberikan kualitas informasi laba yang baik tentunya pihak manajemen perusahaan
harus dapat mengelola kinerja dengan baik sehingga laba yang dihasilkan dapat
memberikan kepuasan kepada para investor, sehingga aktifitas perusahaan dapat
berlangsung terus menerus untuk memperoleh laba yang semakin baik.
49
Ekspansi
Krisis keuangan dunia yang melanda pada saat ini menimpa perusahaan International
Group Amerika (AIG) menurut the BBC website and the Financial Times (thn 2009),
yang mengakibatkan suatu kerugian triwulanan sebesar US$617 billion - yang paling
besar di dalam sejarah perseroan AS. Hal ini terjadi sebagai akibat akumulasi dari
kebijakan para manajer yang tidak sesuai dalam melaporkan kinerja perusahaan.
Roychowdhury (2006) mengungkapkan berbagai metode digunakan, untuk mengatur
laba agar kinerja perusahaan terlihat bagus, di antaranya pemilihan metode akuntansi
atau kebijakan akrual, yaitu dengan mengendalikan transaksi akrual sehingga laba
terlihat tinggi, akan tetapi transaksi tersebut tidak mempengaruhi aliran kas. Metode
lainnya
yang dapat digunakan yaitu melalui manipulasi operasi riil yang berkaitan
dengan kegiatan peningkatan produksi dan strategi penjualan sehingga dapat
mempengaruhi aliran kas. Berbagai literatur manajemen melalui teori keagenan
mengungkapkan bahwa manajemen laba dapat memanipulasi informasi kinerja
perusahaan sehingga akan terlihat seolah-olah kinerja perusahaan baik, sehingga hal
ini akan menguntungkan bagi agen dan sebaliknya bagi pemilik modal hal ini
akan
merugikan mereka dan pada akhirnya akan menimbulkan konflik.
Teori Keagenan
Teori keagenan memberikan panduan bahwa ada dua pihak yang memiliki dan
mengutamakan kepentingannya masing-masing Menurut Darmawati et al. (2005), yaitu
prinsipal (pemilik) dan agen (pengelola) perusahaan. Kepemilikan diwakili oleh investor
mendelegasikan kewenangan kepada agen dalam hal ini manajer untuk mengelola
kekayaan investor. Investor mempunyai harapan bahwa dengan mendelegasikan
wewenang pengelolaan tersebut, mereka akan memperoleh keuntungan dengan
bertambahnya kekayaan dan kemakmuran investor.
Fama & Jensen (1983); Jensen & Meckling (1976); Ross (1973) menyatakan bahwa
teori keagenan mengacu pada agency problem, di mana terjadi hubungan antara
prinsipal yang mendelegasikan pekerjaan kepada agen yang melaksanakan pekerjaan
tersebut. Hubungan agen-prinsipal sangat tergantung pada penilaian prinsipal tentang
kinerja agen. Posisi manajer adalah sebagai agen yang bertujuan untuk memberikan
kekayaan kepada prinsipal atau pemilik perusahaan. Dalam hubungan ini pemilik
menuntut pengembalian investasi yang mereka percayakan untuk dikelola oleh agen.
Agen dengan demikian harus memberikan pengembalian yang memuaskan pada
pemilik perusahaan. Kinerja yang baik akan berpengaruh positif pada kompensasi
yang mereka terima, dan sebaliknya kinerja yang buruk akan berpengaruh negatif.
50
Benny Barnas
Perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen menciptakan problem ”moral
hazard” dalam hubungan antar keduanya. Untuk itu diperlukan perubahan tata kelola
korporat yang mencerminkan sinyal adanya kontrol dan pola insentif yang
menyelaraskan kepentingan agen dengan kepentingan prinsipal (Beaty & Zajac,
1994).
Teori keagenan biasanya mengacu pada dua kasus (Demski & Filtham, 1978). Kasus
pertama berkaitan dengan prinsipal mengetahui apa yang dikerjakan oleh agen
(Eisenhardt, 1985). Pada kasus ini, kontrak didasarkan pada efisiensi dan pencapaian
kinerja. Kasus kedua, mengisyaratkan bahwa prinsipal tidak mengetahui apa yang
dikerjakan oleh agen, sehingga prinsipal mendasarkan pada informasi yang dihasilkan
oleh agen dan pencapaian outcome-nya. Untuk ini Babchuk & Goode (1951); Lawier
(1971, 1981); menyatakan bahwa teori keagenan memberikan gambaran tentang
keterukuran kinerja melalui kriteria-kriterianya.
Noreen (1988) memberikan pemahaman bahwa keberadaan teori keagenan
mendasarkan pada model yang mengasumsikan pemisahan kepemilikan dan kontrol,
asimetri informasi akibat adanya pemisahan tersebut, insentif dan penghargaan,
perilaku mementingkan diri sendiri merupakan bagian dari kontrak antara pemilik dan
manajemen. Ia juga mengungkapkan bahwa perilaku mementingkan diri sendiri
memicu adanya problema keagenan.
Carter et al. (2003) mengungkapkan bahwa teori keagenan merupakan kerangka
teoritis yang sering digunakan dalam kajian keuangan dan ekonomi untuk memahami
hubungan antara karakteristik dewan audit dan nilai perusahaan. Hal ini didasarkan
pada argumentasi Fama dan Jensen (1983) yang menyatakan bahwa dewan audit
merupan perangkat penting sebagai mekanisme untuk mengendalikan dan memonitor
manajer. Peran dewan audit dalam kerangka keagenan adalah untuk menyelesaikan
problema keagenan antara manajer dan pemegang saham.
Adanya tekanan dari pemegang saham, penyandang dana, pasar modal, pemerintah,
komunitas profesi dan sosial, yang menginginkan informasi yang transfaran dan
akuntabel, maka mau tidak mau perusahaan, khususnya untuk perusahaan yang
akan dan sudah go public harus melakukan perubahan dalam struktur, budaya dan
aktivitasnya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh para pemangku kepentingan
tersebut. Perubahan terjadi atas kewajiban perusahaan untuk memiliki dewan
komisaris dan komite audit.
Kalbers & Fogarty
(1998) menginvestigasi keefektivan komite audit melalui teori
keagenan atau teori institusional. Teori keagenan memprediksi bahwa monitoring
51
Ekspansi
manajemen berpengaruh besar terhadap komite audit yang efektif. Sebaliknya, teori
institusional memposisikan bahwa beberapa struktur organisasi seperti komite audit
hanya sebagai simbol pemenuhan harapan tanggung jawab sosial. Mereka
menemukan dukungan untuk pentingnya beberapa variabel keagenan (seperti ukuran
perusahaan). Hasilnya tidak melihat hubungan yang kuat antara keefektivan dan
faktor-faktor teori keagenan; dan juga ada hubungan yang lemah antara keefektivan
dan beberapa pengukuran kekuatan komite audit yang berbasis organisasional
(pengaruh kekuatan sanksi terhadap lingkup
kesepakatan komite audit). Mereka
menggunakan kedua teori tersebut dalam penelitian yang menjelaskan keefektivan
komite audit.
Keberadaan komite audit yang berperan untuk melakukan aktivitas monitoring dalam
rangka meluruskan kepentingan prinsipal dan agen, sebagaimana diaplikasikan di
rancangan Anglo Saxon (Köhler, 2005). Dengan merujuk pada penelitian-penelitian
yang dilakukan di Amerika Serikat dan negara-negara dalam kelompok Anglo-Saxon
yang berkisar pada sistem dan prosedur, khususnya struktur yang harus ada dalam
sebuah organisasi untuk memberikan sinyal (signaling device), sehingga akan
memberi peringatan “checks and balances”, bahwa perilaku manajemen harus sejajar
dengan harapan-harapan prinsipal.
Pengertian dan Motivasi Manajemen Laba
Manajemen laba (earning management) merupakan tindakan intervensi terhadap
proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja untuk memperoleh beberapa
keuntungan pribadi (Schipper, 1989). Hal ini juga diungkapkan oleh Fischer dan
Rosenzweig (1995) bahwa manajemen laba merupakan tindakan manajer dengan
melakukan penyajian laporan yang menaikkan (menurunkan) laba periode berjalan dari
unit
usaha yang
menjadi tanggungjawabnya,
tanpa menimbulkan kenaikkan
(penurunan) profitabilitas ekonomi unit tersebut dalam jangka panjang.
Lebih teknis, Davidson et al (2005) mendifinisikan manajemen laba sebagai suatu
proses tahap pengambilan pertimbangan melalui penggunaan prinsip-prinsip yang
berlaku umum untuk mencapai tingkat laba yang dilaporkan. Sedangkan Burgstahler &
Ernas (1998) menyatakan bahwa manajemen laba pada umumnya mencakup
tindakan-tindakan penggunaan pengukuran-pengukuran (metode-metode) akuntansi
tertentu dalam rangka mempengaruhi besaran laba. Healy dan Wahlen (1998),
mengemukakan bahwa manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan
pertimbangan (judgement) dalam pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi
untuk merubah laporan keuangan, dengan tujuan untuk memanipulasi besaran
52
Benny Barnas
(magnitude) laba kepada beberapa stakeholders tentang kinerja ekonomi perusahaan
atau untuk mempengaruhi hasil perjanjian (kontrak) yang tergantung pada angkaangka akuntansi yang dilaporkan.
Ada beberapa motivasi yang mendorong manager melakukan tindakan manajemen
laba, yaitu: dalam rangka meratakan laba, mengurangi beban pajak, mengurangi biaya
politis, mengantisipasi pergantian manajemen, dan contractual perspectives (Aljifri
2007). Motivasi terakhir, contractual perspectives, ditimbulkan karena adanya kontrak
antara manajer sebagai agen dengan pemilik korporat sebagai principal. Kondisi ini
berkaitan dengan program kompensasi, program bonus, dan program insentif lainnya
yang disetujui kedua belah pihak.
Model Manajemen Laba
Aljifri (2007) mengemukakan bahwa pada umumnya manajemen laba dilakukan
dengan menggunakan berbagai pendekatan antara lain dengan accrual accounting
choice (periodisasi beban dan pengakuan pendapatan), atau accounting method
change. Healy (1995) menyatakan bahwa pendekatan accrual accounting choice
mudah untuk digunakan, murah, tetapi sulit untuk dideteksi oleh auditor. Sedangkan
pendekatan accrual accounting choice relative mahal, dapat diobservasi, dan mudah
untuk dideteksi oleh auditor. Pendapat lainnya, Roychowdhury (2006) menyatakan
bahwa korporasi (perusahaan) dalam melaksanakan manajemen laba selain
menggunakan pendekatan akuntansi berbasis akrual (accruals manipulation) dapat
juga menggunakan pendekatan operasional yang berbasis aktifitas riil (real activities
manipulation) yaitu manipulasi penjualan melalui peningkatan produksi dan strategi
penjualan sehingga akan meningkatkan target laba yang ditetapkan.
Manajemen Laba Berbasis Akrual
Pengukuran manajemen laba berbasis akrual telah banyak digunakan secara luas oleh
banyak peneliti dan model yang paling sering digunakan pada umumnya adalah model
Jones. Model tersebut merupakan hasil pengembangan dari berbagai model yang
telah dikenal sebelumnya seperti; model Healy (1999) yaitu model pertama yang
dikembangkan dalam memprediksi discretionary accruals sebagai total accruals pada
periode berjalan.
EDA it = TAit / Ait-1
Dimana :
EDA it = Estimated discretionary accruals for the period;
TA it
= Total accruals for the period;
53
Ekspansi
Ait-1
= Total assets at the beginning of the period.
Pada model ini mandat untuk discretionary accruals dibentuk dengan asumsi bahwa
non-discretionary accrual dalam suatu periode estimasi akan menghasilkan nihil (zero).
Asumsi ini mendapat banyak kritikan, sebagai contoh Kaplan (1985) menyampaikan
pengalaman bahwa non-discretionary accruals selalu berubah-ubah setiap saat sesuai
dengan kondisi perekonomian yang selalu berubah sehingga tak mungkin dalam suatu
waktu akan terjadi nihil
non-discretionary accruals. Peneliti yang lain, DeAngelo
(1988) dan Perry & Williams (1994) berpendapat bahwa penggunaan total accrual
sebagai
mandat
untuk
discretionary
accruals
akan
menyebabkan
negative
discretionary accruals setiap saat, walaupun tidak melakukan manipulasi keuntungan.
Hal ini akan mengindikasikan bahwa manager akan memilih untuk melakukan
penurunan penerimaan
sebagai akibat adanya
beban depresiasi lebih besar
dibandingkan dengan akrual lainnya.
Model lain yang diusulkan DeAngelo Model (1986) yaitu bahwa kekurangan
dari model Healy yaitu tidak adanya pembanding (benchmark) untuk akrual yang
diharapkan. Dia menggunakan data tahun sebelumnya untuk pembanding, sehingga
discretionary accrual diperoleh dari perbedaan total akrual tahun berjalan dengan
tahun sebelumnya.
EDAit = (TAit -TAit-1) /Ait-1
Dimana:
EDAit = Estimated discretionary accruals for the period;
TAit
= Total accruals for the current period;
TAit-1
= Total accruals for the prior period;
Ait-1
= Total assets for the prior period.
Mengacu pada pendapat yang dikemukakan Kaplan (1985)
yaitu bahwa non -
discretionary accruals selalu berubah-ubah setiap saat sesuai dengan kondisi
perekonomian yang selalu berubah,
sehingga apa yang dikemukakan DeAngelo‟s
dengan modelnya adalah keliru, yaitu mengklasifikasikan non-discretionary accruals
sebagai discretionary accruals. Masalah lainnya yaitu menggunakan akrual periode
yang lalu sebagai acuan yang diharapkan, hal ini dapat dikatagorikan sebagai bentuk
manipulasi laba.
Friedlan (1994) melakukan modifikasi model DeAngelo, yaitu dengan menggunakan
ide yang sama untuk mengukur discretionary accruals melalui penjualan sebagai
angka pengali deflasi (deflator) dalam mengontrol perubahan total akrual yang
54
Benny Barnas
disebabkan oleh aktifitas bisnis, akan tetapi masih mengabaikan masalah batasan
waktu (benchmark period) dimana tidak terdapat manajeman laba.
Jones (1991) menawarkan model baru The Jones Model yang dikatakan lebih efektif
untuk memprediksi nondiscretionary accruals yaitu menggunakan pendekatan plant,
property and equipment variable (PPE), untuk mengontrol perubahan yang terjadi
dalam non-discretionary accruals yang diakibatkan beban depresiasi dan aktifitas
bisnis. Dengan menggunakan ide yang sama yaitu variabel penerimaan penjualan
digunakan untuk mengontrol perubahan dalam non-discretionary accruals akan tetapi
hal ini bukan sesuatu yang baru misalnya penundaan pengiriman barang dengan
tujuan untuk menunda penerimaan sekarang hingga tahun yang akan datang. Estimasi
time series regression ditunjukan sebagai berikut:
TAt /Ait-1 = at /Ait-1+ β1i (REVit /A it-1) + β2i(PPEit /Ait-1) + εit
Dimana:
TA
= total accruals for firm i in year t;
Ait-1
= total assets for firm i in previous year;
REVit
= change in revenues for firm i in year t;
PPE it
= gross property, plant, and equipment for firm i in year t;
ε it
= error term for firm i in year t.
Semua variabel dalam model ini diukur melalui aset yang ditunda (lagged aset) untuk
mengurangi heteroscedasticity. Akan tetapi karena estimasi parameter yang digunakan
untuk tujuan prediksi bukan untuk pengujian hipotesis, maka masalah
kesalahan
standar estimasi yang bias yang berhubungan dengan heteroscedasticity tidak menjadi
isu utama (Kmenta 1997). Discretionary accruals (DA), dibawah ini dihitung melalui
perbedaan antara total accruals dan komponen non-discretionary accruals.
DAit TAt /Ait-1 – [at (1/Ait-1)+b1i (∆REVit /Ait-1)+b2i (PPEit /Ait-1)]
Dengan melihat model Jones yang ditunjukkan, sangat jelas bahwa dengan
menggunakan dua variabel ( REV and PPE) untuk melakukan kontrol terhadap
perubahan
non-discretionary
accruals
sangat
berpotensi
dalam
menganalisis
manipulasi laba yang lebih akurat. Akan tetapi karena asumsi yang digunakan untuk
estimasi koefisien adalah tetap maka
menimbulkan
ketidakjelasan atau bias
(survivorship bias). Seperti manipulasi penjualan yang dilakukan oleh manajer
seharusnya tidak dilakukan karena asumsinya semua penerimaan pada periode
berjalan merupakan nondiscretionary.
55
Ekspansi
Model Jones ini banyak mendapat kritik dari berbagai peneliti lainnya seperti Defond
(1994), mencoba versi gabungan yaitu model pertama dan kedua dari model jones,
dimana model ini disebut model Cross Sectional Jones. Yang bertujuan untuk
memecahkan masalah survivorship bias yang dihasilkan dari pendekatan time series.
Apa yang dilakukan model ini yaitu dengan menggunakan portofolio perusahaan yang
sesuai dengan periode dan jenis industrinya dan menghindari asumsi estimasi
koefisien yang tetap. Pendekatan ini melalui estimasi regresi secara terpisah untuk
setiap industri pertahunnya dan menerapkan koefisien estimasi untuk data yang
spesifik untuk menghasilkan komponen deskretionari akrual. Meskipun pendekatan ini
terlihat lebih akurat, namun dapat saja terjadi kemungkinan gagal dalam mengukur
apabila semua perusahaan melakukan manajemen laba.
Dechow et al. (1995) melakukan modifikasi dari model asli dari Jones model untuk
mengurangi tendensi dugaan untuk mengukur kesalahan discretionary accruals pada
saat kebijakan discretionari diukur melalui pendapatan, model ini disebut dengan The
Modified Jones Model (1995). Perubahan pendapatan (revenue) disesuaikan dengan
perubahan dalam penerimaan yang terjadi. Mereka mengasumsikan semua perubahan
dalam penjualan kredit yang terjadi dihasilkan dari manajemen laba.
Mereka
menyimpulkan bahwa manajemen laba melalui kebijakan penelusuran revenue dari
penjualan kredit lebih mudah dilakukan dibandingkan melalui penelusuran revenue
melalui penjualan tunai. Regressi time series untuk contoh diatas sebagai berikut:
TAt /Ait-1 = at /Ait-1 + β1i [(∆REVit -∆RECit )/Ait-1 )]+ β2i (PPEit /Ait-1)+Ɛ it
Dimana:
TA
= total accruals for firm i in year t;
Ait-1
= total assets for firm i in previous year;
REVit
= change in revenues for firm i in year t;
PPE it
= gross property, plant, and equipment for firm i in year t;
ε it
= error term for firm i in year t.
Untuk mengestimasi αi, b1i, b2i untuk αi,
β1i, dan
β2i secara berturut-turut dapat
digunakan regresi ordinary least squares (OLS). Perbedaan antara total akrual dan
komponen akrual non-diskresionari dipertimbangkan sebagai akrual diskresionari (DA),
yaitu:
DAit = TAt /Ait-1 – at (1/Ait-1) + b1i (∆REVit –∆REC1t /Ait-1)+b2i (PPEit /Ait-1)
Model lain yaitu disebut cross-sectional models dipergunakan karena model ini dapat
mengestimasi nilai hasil penandingan setiap perusahaan dalam periode yang sama.
56
Benny Barnas
Model ini dilakukan, pertama, mengestimasi akrual non-diskresionari untuk setiap
tahun-perusahaan, dengan menggunakan formula sebagai berikut:
TAijp /Aijp-1 = ajp(1/Aijp)+ β1jp[(∆REVijp -∆RECtjp)/Aijp-1)] + β2jp(PPEiijp-1)+ εijp
Dimana:
TAijp
= total akrual untuk estimasi portfolio perusahaan i yang
ditandingkan dengan perusahaan j yang violation terhadap industry untuk
tahun p.
∆REVijp = perubahan dalam revenue untuk estimasi portofolio perusahaan i
ditandingkan dengan perusahaan j yang violation terhadap industry untuk
tahun p.
∆RECijp = perubahan dalam receivable untuk estimasi portofolio perusahaan
ditandingkan dengan perusahaan j yang violation terhadap industry untuk
tahun p.
PPEijp
= Nilai bruto property, pabrik, dan peralatan untuk estimasi
portofolio perusahaan i ditandingkan dengan perusahaan j yang violation
terhadap industry untuk tahun p.
ijp
= total asset untuk estimasi portofolio perusahaan i ditandingkan
dengan perusahaan j yang violation terhadap industry untuk tahun p.
єijp
= error untuk estimasi portofolio perusahaan i ditandingkan dengan
perusahaan j yang violation terhadap industry untuk tahun p.
i
= 1,…, i j adalah indek perusahaan yang diestimasi dari sejumlah
perusahaan.
j
P
= 1,…, n, adalah indek perusahaan yang violation.
= periode sampel.
Tahap kedua, yaitu mengestimasi koefisien hasil dari persamaan diatas untuk
menghitung akrual diskresionari (DA) pada tahun p untuk perusahaan sampel j.
Formulanya adalah sebagai berikut:
DAijp=TAijp /Aijp-1 – ajp(1/Aijp)+b1jp[(∆REVijp–∆REC1jp)/Aijp-1)]+b2jp(PPEijp /Aiijp-1)
Dapat diketahui bahwa masalah dari model Jones adalah mengabaikan kemungkinan
dari manipulasi yang berbasis penjualan yang terjadi dari model tersebut. Model ini
mengasumsikan bahwa semua penjualan kredit adalah cara yang tepat untuk
melakukan manipulasi penjualan. Meskipun pendekatan ini akan menanggung beban
dari manipulasi penjualan dan menghindari perubahan untuk manipulasi penjualan
dari discretionary accruals, akan tetapi pada dasarnya asumsi yang berkaitan dengan
semua penjualan kredit sebagai akibat dari manajemen laba tidak pernah terjadi dalam
praktiknya.
Model yang lebih maju dikembangkan oleh Peasnell et al. (2000) dinamakan Model
Margin yang mempunyai pendekatan hampir sama dengan model Jones dan model
57
Ekspansi
modifikasi Jones dalam hal mempertimbangkan nilai sisa dari penggunaan regresi
ordinary least squares
sebagai
discretionary accruals, akan tetapi mereka
menggunakan penjelasan variabel yang berbeda yang diperoleh dari model penjualan
formal (formal model linking sales), akrual, dan pendapatan. Akrual abnormal
diestimasikan melalui langkah sebagai berikut; pertama, definisi komponen modal kerja
yang berubah sebagai berikut:
∆INVt=PURt - COGSt
∆RECt=REVt - CRt - BDEt
∆PAYt=PURt - CPt
Dimana :
INV
= persediaan (inventory)
PUR
= pembelian bahan baku (purchases of materials)
COGS = biaya barang jadi (cost of finished goods sold)
REC
= piutang dagang (account receivable)
REV
= penerimaan penjualan kredit (revenue from credit sales)
CR
= penerimaan kas (cash received from customers)
BDE
= beban utang tak tertagih (bad debt expense)
PAY
= hutang dagang (account payable)
CP
= pembayaran kas (cash paid to suppliers).
kedua, definisi modal kerja akrual (WCA) sebagai berikut:
WCA
= (∆INV + ∆REC) - ∆PAY + UNIDEN
= (REV – COGS – BDE) + (CP – CR) + UNIDEN
= sm REV – cm CR + UNIDEN
Dimana:
Sm
= margin kotor (gross margin on sales)
cm
= kontribusi kas kotor (the gross cash contribution)
UNIDEN = seluruh aset non kas selain persediaan dan piutang dan seluruh kewajiban
selain payable (all non-cash current assets other than inventory and receivables and
all current liabilities other than payables).
Peasnell et al. (2000) percaya bahwa depresiasi bukan cara yang tepat dalam
manajemen laba yang sistimatik, oleh sebab itu perlu dikeluarkan dari komponen
pengukuran akrual. Model ini membuat formula modal kerja sebagai dua contribution
margins yaitu marjin kotor dari penjualan kridit (the gross margin on credit sales) dan
marjin kas (the cash margin). Mengacu pada pendekatan ini maka modal kerja akrual
58
Benny Barnas
kecenderungannya abnormal apabila tidak berdasarkan pada penjualan kredit dan
penjualan tunai. maka Peasnell et al. (2000) dengan menggunakan model persamaan
Jones dan model modified-Jones mengemukakan persamaan regresi sebagai berikut:
WCAt = λo + λ1REVt + λ2CR + ηt
Dimana :
REV
= penjualan kredit (credit sales)
CR
= penerimaan kas ( sales minus the change in accounts ceivable)
0, 1, dan 2 = koefisien regresi (regression coefficients)
t
= residual regresi (the regression residual)
Nilai rata-rata dari margin penjualan kredit diperkirakan dengan koefisien yang
nilainya positip. Sedangkan koefisien yang merupakan marjin kas yang diperkirakan
negatif nilainya. Berdasarkan model demikian, maka Model Margin mempunyai bentuk
berbeda dalam menganalisis REV dibandingkan dengan model Jones dan modifiedJones.
Peasnell et al. (2000) menganggap penerimaan kas tahun ini sebagai
penerimaan tahun lalu, dan tidak setuju dengan REV dibagi dalam dua komponen.
Pendekatan ini akan memperbaiki kemampuaan melakukan deteksi manipulasi
berbasis pengeluaran
(expense). Namun untuk melakukan deteksi manipulasi
berbasis pendapatan sangat lemah dibandingkan dengan model modifikasi Jones
dimana akrual normal akan termasuk aktifitas akrual tidak normal yang diperoleh dari
manipulasi berbasis pendapatan. Dengan kata lain, variabel (REV) yang digunakan
untuk menghitung akrual normal dapat terpengaruh manajemen laba yang berakibat
akan keliru menetapkan akrual abnormal sebagai akrual normal.
Peasnell et al. (2000) membandingkan secara empirik spesifikasi dan kekuatan dari
Model Jones, Model Modifikasi Jones, dan Model Marjin. Disimpulkan bahwa model
Modifikasi dan model Marjin mempunyai kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan
model Jones untuk mengidentifikasi manajemen laba.
Peasnell et al. (2000)
menyarankan pula bahwa baik model modifikasi Jones atau marjin model harus
digunakan apabila fokus penelitian adalah untuk membedakan bentuk manipulasi, hal
ini akan membantu akurasi pengukuran manajemen laba. Mereka berpendapat apabila
penelitian terfokus pada pendapatan yang berbasis manipulasi, maka model modifikasi
Jones harus digunakan. Namun model Marjin yang digunakan apabila penelitian
memfokuskan pada expense berbasis manipulasi
Semua model berbasis akrual yang telah didiskusikan sebelumnya dan mendapatkan
kritikan sebagai model yang salah spesifikasi (misspecification), salah satunya adalah
59
Ekspansi
Bernard and Skinner (1996), yang menyoroti kenapa terjadi salah spesifikasi
(misspecification)
dalam
manajemen
laba
menggunakan
model
Jones.
Kesimpulkannya, model Jones menilai akrual diskretionari terlalu berlebihan terhadap
keuntungan dan kerugian yang berasal dari non operating, kalau hal ini dikatagorikan
sebagai discretionary.
Sebagai tambahan, Model Jones mengabaikan variabel yang relevan yang sangat
penting untuk menjelaskan berbagai variasi dalam discretionary accruals, misalnya
seperti unsur modal kerja akrual yang tidak dihasilkan dari perubahan pendapatan
akan menimbulkan kekeliruan. Sehingga discretionary accruals pada umumnya akan
terdiri dari unsur nondiscretionary accrual. Meskipun semua model sebelumnya yang
telah ditunjukan mempunyai kekurangan, khususnya yang berhubungan dengan
rencana kompensasi manajemen dan kontrak hutang. Berbagai studi yang dilakukan
menemukan bukti bahwa manajer menggunakan akrual untuk kepentingan melakukan
manipulasi laba.
Manajemen Laba Berbasis Aktifitas Riil
Manajer sebagai pengelola korporasi akan selalu berusaha untuk meningkatkan
pendapatan (revenue) dalam rangka meningkatkan laba neto yang harus diraihnya.
Upaya yang dilakukan diharapkan tidak melanggar ketentuan yang berlaku misalnya
tidak melanggar standar akuntansi yang berlaku. Upaya tersebut dilakukan oleh
manajer berada pada tingkatan tidak normal, artinya melampaui kebiasaan operasi
usaha korporat yang normal. Misalnya pemberian potongan harga yang relatif besar
dalam rangka meningkatkan penjualan. Kondisi ini dikategorikan sebagai tindakan
manipulasi. Roychowdhury (2006) mendifinisikan real activities manipulation sebagai
tindakan manajer yang tidak berada dalam praktik operasi yang normal.
Real Activities Manipulation of Earning Management (RAMOEM) pada umumnya
memfokuskan pada tiga kelompok aktivitas (Cohen, et al., 2008; Zang, 2006;
Roychowdhury, 2006; dan Gunny, 2005), yaitu: (1) manipulasi penjualan, dengan
melakukan percepatan penjualan melalui pemberian potongan harga yang tidak seperti
biasanya atau pemberian penjualan kredit lunak melalui waktu yang relatif lama. Pada
kondisi ini konsumen akan membeli barang secara besar-besaran, sehingga
perusahaan akan memperoleh revenua yang melampaui target normal. Ini akan
berpengaruh pada penjualan tahun berikutnya, di mana tidak ada potongan harga.
Pasar menjadi lesu, dan mengakibatkan nilai penjualan menurun tajam. (2)
pengurangan pengeluaran diskresionari (pengeluaran untuk R&D, iklan, dan
pemeliharaan);
dan (3) melakukan produksi besar-besaran, di mana perusahaan
60
Benny Barnas
memproduksi barang dalam jumlah lebih besar dari biasanya. Volume produksi yang
dihasilkan dalam jumlah besar mengakibatkan biaya tetap yang dialokasikan per unit
produk menjadi kecil, dan mengakibatkan biaya produksi per unit pun turun, yang
berdampak pada kenaikan laba yang diperoleh.
Formula yang dipergunakan untuk mengestimasi real activities manipulation of earning
management (RAMOEM) mengadopsi dari Dechow et al (1998), yang juga
dipergunakan oleh Roychowdhury (2006). Karena sampel terdiri dari beberapa tahun
dari sejumlah perusahaan, maka model yang digunakan adalah regresi crosssectional.
Untuk mengestimasi manajemen laba akibat dari aktivitas penjualan (sales)
dipergunakan normal cash flow from operation (CFO), karena CFO diduga sebagai
fungsi linear dari penjualan (sales) dan perubahan dalam sales dalam periode
pengamatan Roychowdhury (2006). Formulanya adalah sebagai berikut:
CFOt / At-1 = α0 +α1 (1 / At-1) + β1(St / At-1 ) + β2(∆St / At-1 ) + t
(1)
Di mana At madalah total asset pada akhir periode; St adalah sales selama periode t;
dan ∆St = St- St-1.
Beban yang ditandingkan dengan sales adalah beban pokok penjualan (COGS)
sebagai fungsi linear dari sales kontemporer. COGS normal diestimasi sebagai berikut:
COGSt / At-1 = α0 +α1 (1 / At-1) + β(St / At-1 ) + t
(2)
Hal yang berkaitan dengan COGS adalah inventory. Untuk ini pertumbuhan inventory
normal diestimasi dengan formula sebagai berikut:
∆INVt / At-i = αo + α1(1 / At-1) + β1(∆St / At-1) + β2(∆St-1 / At-1) + t
(3)
di mana ∆INVt adalah perubahan dalam inventory pada periode t. biaya produksi
didefinisikan adalah PRODt = COGSt + ∆INVt.
Dengan menggunakan persamaan (2) dan (3), maka biaya produksi normal diestimasi
sebagai berikut:
PRODt/At-1=αo + α1(l/At-1) + β1(St/At-1) + β2(∆St/At-1) + β3(∆St-1/At-1) + t
(4)
Faktor lain sebagai fungsi linear dari sales adalah beban (expenses). Untuk
menghitung beban diskresionari (DISEXP) digunakan formula sebagai berikut:
DISEXPt /At-1= αo + α1 (1 / At-1 ) + β(St-1 / At-1) + t
(5)
61
Ekspansi
Teori Keagenan dan Manajemen Laba
Teori keagenan (Agency Theory) timbul akibat adanya kepentingan agen yang
memperoleh pendelegasian kewenangan dari principal untuk mengelola perusahaan.
Teori ini didukung dengan Contractual theory dimana agen akan memperoleh insentif
dari kinerja yang dicapainya. Apabila kinerja agen meningkat maka insentif atau bonus
yang diperolehnya juga meningkat. Untuk itu agen akan selalu berupaya memperbaiki
kinerjanya; bahkan berusaha seolah-olah kinerjanya relatif bagus.
Uraian yang telah dijelaskan di atas mencerminkan adanya perilaku agen berorientasi
pada kepentingannya sendiri sehingga kepentingan principal terkadang diabaikan
(terjadi conflict of Interest). Salah satu kondisi yang mencerminkan conflict of interest
adalah perilaku agen untuk mengatur besaran laba dan melalui berbagai macam cara,
antara lain mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan dengan mengatur
penggunaan metode akuntansi atau kebijakan akuntansi. Kegiatan tersebut dinamakan
manajemen laba (earning management)
Agen melakukan manajemen laba melalui pendekatan akrual (Accrulas Accounting),
Pendekatan ini sebenarnya mudah dilakukan, namun juga mudah dideteksi oleh
auditor, bahwa pendekatan ini dilakukan dengan cara merubah kebijakan akuntansi,
atau metode akuntansi.
Manajemen laba berbasis accrual approach pada kondisi transparansi atau good
corporate governance sangat sulit untuk dilakukan, bahwa para pembaca (khususnya)
pihak dewan komisaris dan komite audit serta auditor eksternal dengan segera
mengetahui perilaku agen yang tidak diharapapkan tersebut. Untuk itu agen akan
melaukan cara lain yang sulit dideteksi oleh pihak lain dan tidak melanggar prinsip –
prinsip akuntansi yang berlaku umum, cara tersebut adalah real activities manipulation.
Dengan menggunakan cara manipulasi aktivitas riil, agen melakukan tindakan nyata,
misalnya memberikan discount besar – besaran untuk meningkatkan penjualan (sales),
membuat produk dengan jumlah yang relative besar agar biaya tetap (fixed cost) per
unit minimum, yang mengakibatkan harga produk turun, dan pada akhirnya kinerja
perusahaan meningkat. Aktivitas lainnya yang dapat dimanipulasi adalah biaya
operasional, misalnya dalam hal mengurangi biaya riset dan pengembangan (research
dan development).
Manajemen laba melalui pendekatan accrual dan real activities manipulation selalu
dilakukan oleh agen, dimana agen berambisi untuk memperbesar kinerja untuk tujuan
memperbesar insentif/bonus atau untuk mempertahankan posisinya dalam perusahaan
62
Benny Barnas
yang bersangkutan. Dengan demikian manajemen laba merupakan bentuk nyata (bukti
empirik) dari teori keagenan.
Simpulan
Ada dua pendekatan yang populer yang dilakukan oleh agen (manajer) dalam
melakukan manajemen laba, yaitu metode pendekatan akrual (accrual accounting) dan
metode pendekatan aktivitas riil (real activities manipulation) kedua metode tersebut
sudah lama dikembangkan oleh para peneliti. Pendekatan akrual dilakukan melalui
metode dan kebijakan akuntansi yang dapat memperbesar pendapatan (earning);
sedangkan pendekatan aktivitas riil
pada umumnya dilakukan melalui kegiatan
strategi penjualan dengan diskon besar-besaran, dan memperbesar volume produksi
untuk menurunkan harga pokok dan biaya operasional.
Manajemen laba dilakukan oleh agen dalam rangka mencapai harapan pribadinya
untuk memperoleh insentif atau bonus atau mempertahankan posisinya dengan
melakukan manipulasi besaran laba saat ini seolah-olah kinerja manajemen relatif
baik, padahal hanya permainan manajemen yang akan merugikan prinsipal. Kondisi ini
sesuai dengan prinsip-prinsip teori agensi yang mengungkapkan bahwa perilaku agen
hanya untuk kepentingan dirinya dan berlawanan dengan harapan prinsipal (Jensen &
Meckling 1976)
Berdasarkan uraian diatas tampak nyata bahwa manajemen laba merupakan bukti
empirik dari teori agensi (agency theory). Oleh karena itu perlu dilakukan cara-cara
yang dapat mencegah terjadi manajemen laba, melalui praktik pengelolaan
perusahaan yang baik, yaitu pemisahan fungsi eksekutif dan fungsi pengawasan dan
berperannya dewan audit untuk menciptakan “checks and balances”, sehingga terjadi
independensi yang sehat antara agen dan prinsipal sebagai pemegang saham.
DAFTAR PUSTAKA
Aljifri, Khaled. (2007). Measurement and Motivation of Earning Management: A Cretical
Perspective. Journal of Accounting – Business & Management. 14. Pp 75-95.
Babchuk, N., & Goode, W. (1951). Work incentive in a self determened group.
American Sociological Review, 16: 679 – 687.
BBC website and the Financial. The Credit Crisis Timeline, 10 Mar 2009.
Bernard, V.L., and D.J. Skinner, 1996, „What motivates managers‟ choices of
discretionary accruals?‟, Journals of Accounting and Economics, 22, 313-325.
63
Ekspansi
Beaty, R.P. & Zajac, E.J. (1994). Managerial incentives monitoring and risk bearing. A
study of executive compensation, ownership and board structure public offerings.
Administrative Science Quartely. Vol. 39. pp 313-335.
Burgstahler, D., Earnes. (1998). Management of Earnings and Analyst forcasts.
University of Washington. Unpublished Working Paper.
Carter, David A. (2003). Corporate governance and firm value. The Financial Review.
38: 33 – 53.
Cohen, Daniel A., Aiyesha Dey, & Thomas Z. Lys. (2008). Real and Accrual-Based
Earning Management in the Pre- and Post-Sarbanes-Oxley Periods. The Accounting
Review. Vol. 83. No. 3. Pp 757 – 787.
Cohen, J. et al. (2004). The Corporate Governance Mosaik and Financial Reporting
Quality. Journal of Accounting Literature. Vol 23, pp. 87 – 152.
Cohen, J., G. Krishnamoorthy, dan A. Wright. (2002). Corporate governance and the
audit process. Contemporary Accounting Research (Winter): 573- 594.
Darmawati, Deni, Khomsiyah dan Rika Gelar Rahayu. 2005. Hubungan Corporate
Governance dan Kinerja Perusahaan. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia 8 (Jan): 65-81.
DeAnglo, L.E., 1986, „Accounting numbers as market valuation substitutes: A study of
management buyouts of public stockholders‟, The Accounting Review, (July), 400-420.
DeAngelo, L.E., 1988, „Managerial competition, information costs, and corporate
governance: The use of accounting performance measures in proxy contents, Journal
of Accounting and Economics, 10, 3-36.
Davidson, Ryan, Jenny Goodwin-Stewartb, Pamela Kent. (2005). Internal governance
structures and earnings management. Accounting and Finance 45 241–267.
Dechow, P., & A. Sweeney P. (1995). Detecting earning management. The Accounting
Review. 70 (2). 193 -225.
Dechow, P., & D. Skinner. (2000).Earning Management: Reconciling the views of
accounting academins, practitioners, and regulators. Accounting Horizon. 14 (2) 235250.
Dechow, P., & R. Sloan. (1991). Executive incentives and horizon: An empirical
investigation Journal of Accounting and Economics.14 (1) 51 – 89.
Dechow, P., Sloan, & A. Sweeney P. (1996). Causes and consequencies of earning
manipulation: An analysis of firm subject to enforcement sction by the SEC.
Contemporary Accounting Research. Vol. 13. (1). Pp. 1-36.
Dechow, P.,. Kothari, S.P., Watt, R.L., (1998). The relation between earning and cash
flow . Journal of Accounting and Economics. 25. 133 – 168.
Defond, Rebecca N., Hann and Xuesong. (2005). Does the market value financial
expertise on audit committee of board of directors. Journal of Accounting Research.
Vol. 43. No. 2.. pp. 153-193.
Demski, J. & Filtham, Gerald. (1978). Economics incentives in budgetary control
systems. Accounting Review. 53: 336 – 357.
Eisenhardt, Kathleen M. (1985). Control: organization and economic approach..
Management Science. Vol. 31 (3). pp. 134-149.
Eisenhardt, Kathleen, M. (1988). Agency –and institutional- theory explanation: the
case of retail sales compensation. Academy of Management Journal. Vol. 31. No. 3:
488 – 511.
64
Benny Barnas
Eisenhardt, Kathleen, M. (1989). Agency theory: an assessment and review. Academy
of Management Review. Vol. 14 (1). Pp. 57-74.
Fama, Eugene., & Jensen, Michael C. (1983). Sparation of ownership and control.
Journal of Law and Economics, 26: 301
Fischer, M. and K. Rosenzweig. 1995. Attitudes of students and accounting
practitioners concerning the ethical acceptability of earnings management. Journal of
Business Ethics 14(6): 433-444.
Friedlan, J.M., 1994, „Accounting choices of issuers of initial public offerings,
Contemporary Accounting Research, 11, Issue 1, 1-32.
Gunny, K. (2005). What are the consequences of real earning management. Working
paper. University of Colorado.
Healy, P., A. Hutton and K. Palepu, (1999), Stock performance and intermediation
changes surrounding sustained increases in disclosure, Contemporary Accounting
Research 16, 485-520.
Healy, P.M., (1995). The effect of bonus schemes on accounting decisions. Journal of
Accounting and Economics. 7. 85 – 107.
Healy, P.M., Wahlen, J.M. (1998) A Review of the earning management literature and
its implication for standard setting. Accounting Horizon. 13. 365 – 383.
Jones, J., 1991, „Earnings management during import relief investigations‟, Journal of
Accounting Research, 29, No.2, 193-228.
Jensen M.C. dan Meckling. W.H. (1976). Theory of the Firm: Managerial Behaviour,
Agency Cost and Ownership Structure, Journal of Financial Economics, 3 October, 305
– 360.
Kaplan, R.S., 1985, „Comments on Paul Healy‟, Journal of Accounting and Economics,
(April), 109-113.
Kalbers, L.P., & T.J. Fogarty. (1998). Organization and economic explanation of audit
committee oversght. Journal of Managerial Issue. Vol. 10 (2). Pp. 129-150.
Kmenta, J., 1997, „Elements of econometrics‟, Second edition, The University of
Michigan Press.
Köhler, Annette G. (2005). Audit committee in Germany. The theoritical reseoning and
empirical evidence. Schmalenbach Business Review. Vol. 57. pp. 229-252.
Lawier, E.E. III (1971). Pay and Organizational Effectiveness. A Psycological Review.
New York. McGraw-Hill Book Co.
Lawier, E.E. III (1981). Pay and Organizational Development. Reading Mass. AddisonWesley.
Noren, E. (1988). The economics of Ethics. A new perspective on agency theory.
Accounting, Organization and Society. Vol. 13. (4). Pp. 359-370.
Perry, S.E., and T.H. Williams, 1994, „Earnings management preceding management
buyout offers‟, Journal of Accounting and Economics, 18, Issue 2, 157-181.
Peasnell. K.V., P.F. Pope and S. Young. 2000. “Detecting Earnings Management
Using Cross-Sectional Abnormal Accruals Models”. Accounting and Business
Research, Vol.30. No.4. Autumn, p.313-326.
Roychowdhury, Sugata. (2006). Earnings management through real activities
manipulation. Journal of Accounting and Economics. 42. Pp 335 – 370
65
Ekspansi
Schipper, K. (1989). Commentary on earning management. Accounting Horizon.
December 91 -102.
Zang, A.Z. (2006). Evidence on the tradeoff between real manipulation and accrual
manipulation. Working paper. Duke University.
66