Masalah yang terkait dengan filsafat ilmu

Bagian I. MASALAH ILMU
Filsafat Ilmu, Apakah Memang Ada? Jika dilihat dari implementasi ilmu dengan
metodologi yang digunakan maka pokok definisi ilmu ialah masalah pembatasan atau
demarkasi ilmu.
Filsafat ilmu mencakup dua kecondongan tertentu. yaitu pertama tendensi metafisik;
berhaluan pada menyelidiki dasar dasar ilmu. Metafisik diartikan interaksi dengan data di
luar ilmu, suatu interaksi yang diterima oleh semua dengan strukturnya. Kuntungannya ilmu
tidak dibatasi secara sistematik sebagai kancah tempat hasil penyelidikan dan kerugiannya
ilmu terlalu dilindungi terhadap pembaharuan dan susah dikendalikan. Tokoh tokoh utama
dalam kecenderungan ini adalah Aristoteles, Colling wood, Newton dan Emanuel Kant,
Descrates dan Russel. (hal 2).
Kedua, kecondongan metodologik. Ilmu disempadani pada apa yang terletak diluar pagar (hal
Secara kekinian masalah kontekstualisasia ilmu menjadi masalah yang menarik, terkait
pertama ilmu dengan ideology. Tentang (1). ilmu bebas nilai dan obyektif. Ahli ilmu
mengarahkan fakta-fakta psikis, politik dan sosial disebut juga pendapat positivistis. (2).
Ilmu tidak bebas nilai dan tidak boleh menjadi bebas nilai (ideologis). Dipihak lain Ilmu juga
merupakan hasil struktural dari pengamatan dan penalaran manusiawi dan refleksinya
berubah sesuai dengan struktur-struktur dasar suatu kebudayaan. Tokoh utama adalah
marxisme dan neo-marxisme.
Kedua, ilmu dan etika. Ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin
menjalin, konsisten, taat asas dan benar tidaknya dapat ditentukan. Etika dapat berperan

dalam tingkah laku ilmuwan, etika mulai pada saat ilmu berhenti. Meski demikian ilmu tetap
berkembang dan selalu mempunyai arah sendiri. Meski ada tanggung jawab etika ilmuan.
Perkembangan.
Ilmu Berkembang, ilmu tidak abadi melainkan berubah. Artinya belum ada ilmu yang selesai
(trivial). Yang mempengaruhi adalah pertama penyelidikan mengenai sejarah ilmu-ilmu pada
pengertian dan arti ilmu. Istilah akan berbeda pada waktu berlainan. Kedua antropologi
budaya/kulturologi. Temuan ilmu baru karena gabungan dari berbagai ilmu dari dunia ide
yang berkembang.
Ilmu merupakan suatu sistem kait-mengkait mengenai pernyataan-pernyataan yang tetap
sahih lepas dari mekanisme nyata yang memungkinkan upaya berfikir para ilmuwan. Ilmu
harus dinilai berdasarkan tuntutannya akan kesahihan dan tidak berdasarkan keadaan nyata
yang bersifat psikologis atau sosiologis. Ada dua pandangan yang bertolak belakang antara
tuntutan kesahihan salah satu sistem ilmiah dengan keadaan nyata historis dan kebudayaan.
Bidang masalah tersebut saling erat kaitanya dengan: 1. Ilmu an ideologi, 2. Ilmu dan etika,
3. Ada tidaknya kemajemukan metode. Peranan apa yang dipegang oleh kreativitas dan
inventivitas dalam membentuk ilmu? Bagaimana kesahihan ilmu terwujudkan? Penemuanpenemuan euristik tidak hanya bersifat psikologis tetapi mencakup aturan-aturan yang
memunginkan timbulnya kesahihan sistem ilmiah. Heuristik dan penyahihan aturan bukanlah
dua bidang yang terpisahkan.
Pertama, merujuk mahzab dialektis dalam filsafat ilmu (G. Bachelard, F. Gonserth, P.
Bernays). Perkembangan ilmu tidak mengikuti garis lurus. Kemajuan ilmiah terdiri dari

pembaharuan kerangka teori (menyetujui dan menolak). Atau dalam istilah marxisme adalah
proses dialektika. (hal 9).
Kedua, ilmu tidak berkembang secara malar (berkesinambungan) tetapi berjalan tersendat
sendat berdasarkan ideology, dialektika dan kontradiksi yang ada. Tokoh utama adalah
strukturalis dari Prancis, M. Foucault.

Ketiga, ilmu berkembang secara revolusioner tidak sekedar berdialektika. Bahwa penyahihan
sebuah metode ilmu tidak sama dari waktu ke waktu dan tergantung pada kondisi. Gagasan
ini dianut oleh kelompok Filsafat Ilmu Baru yaitu; M. Polanyi, T.S. Kuhn, P.K. Feyerabend,
S. Toulmin dan A. Kaplan.
Keempat, kelompok yang menghendaki penggabungan berbagai pendapat dari ilmuwan
sebelumnya dalam filsafat fenomenologis dan analitik menjadi sebuah ilmu dari ilmu.
Tokohnya adalah K.O. Apel dan G. Radzidky. (hal. 10).
Limas Ilmu-ilmu
Ilmu bukan abstraksi lagi, tetapi kesatuan metode yang melingkupi segala-galanya beserta
tempatnya (hal 12).. dan bercirikan pada metodenya (hal 13). Gambaran tradisional tentang
susunan ilmu ialah berbentuk limas. Yaitu sesuai pengamatan dan bahasa sehari-hari. Dasar
limas lebar dan meliputi data nyata, berdasarkan pengamatan dan percobaan dan puncaknya
terdiri atas teori ilmiah. Sedangkan tingkatan teoritisasi yang makin maju berada antara dasar
dan puncak limas. Kebanyakan limas ilmu terpancung, karena pucuk teoritis yang lengkap

belum ada.
Ciri khas bahasa ilmu perlu dibandingkan dengan bahasa sehari-hari. Dalam berbagai hal,
bahasa ilmu lebih mampu dari pada bahasa harian. Setiap ilmu ada bahasa sendiri.
Berdasarkan rujukan-rujukan dalam limas ilmu, dapat dikatakan bahwa ilmu mempunyai
kemandirian sendiri akan tetapi bersifat relatif. Karena heuristic dalam ilmu adalah cara
kebenaran-kebenaran baru dapat ditemukan. Meski demikian ilmu memiliki kemandirian
relative dan tidak dapat berdiri sendiri sebagai system terpencil.
Bagian II. MEMBATASI ILMU
Metode IlmiahKonsep metode adalah penyelidikan berlangsung menurut suatu rencana
tertentu. Suatu metode disusun menurut bahasa, atau sistem lambang dengan mempergunakan
istilah-istilah yang sudah diketahui dan memperoleh arti khas. (hal 16).
Sementara metode ilmiah adalah proses menata data yang belum teratur. Pada sisi lain, ilmu
adalah penyepadanan prosedur yang dapat memimbing penelitian menurut arah tertentu.
Metode ilmu timbul degan membatasi secara tegas bahsa yang dipakai oleh ilmu tertentu.
Bahasa sehari-hari dan bahasa ilmiahBahasa sehari hari bersifat evaluative, penilaian,
penghargaan dan budaya erat kaitannya. Ada perbedaan mendasar anatar bahasa sehari hari
dan bahasa ilmiah; pertama; metode ilmiah membatasi bahasa. Bahasa bebas nilai.
Mempersempit makna pada rujukan tertentu. kedua, bahasa sehari hari tidak merupakan
bahasa tertutup. Dalam bahasa tata bahasa sehari hari selalu ketinggalan dalam suatu
perkembangan bahasa. Sementara bahasa ilmu disusun setertutup mungkin, disusun secara

logis dengan definisi tunggal antar premis. Ketiga, bahasa sehari hari boleh menggunakan
bahasa itu (penunjuk) sementara bahasa ilmiah beraras pada menjernihkan bahasa. Menurut
W. Leinfellner ada makna epibahasa (lebih sempit) dan metabahasa (lebih luas dan
membutuhkan penjelas atau axioma).
Pengamatan Biasa dan Observasi IlmiahPerbedaan utama pengamatan biasa dan
orbservasi merupakan bagian yang menarik untuk diuraikan. Pertama, Observasi berbeda
dengan pengamatan. Dalam observasi obyektivitas diri dikesampingkan. Sedangkan
pengamatan bersifat emosional yang dapat menyebabkan deformasi. Pada observasi
diusahakan uraian data nirpribadi (non personal ) atau sekurang-kurangnya intersubyektif.
Yang berarti langkah pertama menuju obyektivasi.
Kedua, Observasi melupakan yang sudah diketahui, seakan-akan suatu gejala diamati dengan
mata/pandangan baru tanpa prasangka. Ketiga, Observasi terpaksa membatasi dan

memusatkan perhatian pada gejala, nuansa pribadi diperbolehkan sejauh dapat
dipertanggungjawabkan dan dituangkan dalam metode (hipotesis). Sementara pengamatan
bernuansa banyak dan sarat dengan ketidakpastian. Keempat, Observasi bukan keadaan
normal artinya observasi menuntut adanya latihan, praktek dan pemahaman teori. Kelima,
Observasi memperuncing perhatian dan mengubah gejala tertentu yang relevan secara ilmiah.
Bidang tertentu berbeda jenis observasi yang dipakai. “No observation is purely empirical...,
notheory...is purely ideational”. (A.Kaplan). Keenam, Observasi berkaitan dengan ‘fakta’

sebuah ilmu, dapat bermuara pada penemuan fakta. Setiap ilmu menentukan fakta yang khas.
Hasil pembatasan metodis dapat ditentukan sebagai fakta ilmiah ”benar” atau ”tidak benar”
secara pasti.
Pemerian dan penggolongan (klasifikasi)Pertama, Observasi seperti pengamatan menuju
kepada pemerian dan didalamnya mengandung pengertian-pengertian tertentu.
Kedua, Dalam usaha klasifikasi kecenderungan yang dilihat adalah dari intuitif menjadi
konseptual dari isi ke arah formal. Contoh utama adalah kambing binatang menyusui tetapi
tidak semua yang menyusui adalah anjing. Dalam klasifikasi modern menggunakan teori
himpunan seperti organ Indonesia, berbulu, homaprodit dll.
Pergeseran dari intuitif ke konseptual adalah misalnya klasifikasi intuitif lebih berdasarkan
sesuatu yang mencolok, misalnya warna, kiri atau kanan. Pada klasifikasi konseptual lebih
menggunakan pembagian yang kurang terperinci. Misalnya ya atau tidak, dengan angka 0
sampai 10, berbulu dan tidak berbulu, beraspirasi atau tidak beraspirasi dll.
Ketiga, jika dilihat dari kuantifikasi yang semakin meningkat misalnya hitungan 1 sampai 10,
A dan B sebagai urutan yang semakin meningkat.
Dari ketiga uraian tersebut, yang terpinting difahami adalah, klasifikasi dan observasi adalah
dua bagian yang tidak bisa di pisahkan satu dengan yang lainnya. Berdasarakan pada data dan
prosedur tertentu. keduanya menangani hal hal secara lebih sadar dan lebih diragamkan.
Bagian III. SUSUNAN ILMU
Definisi dilakukan melalui penjelasan istilah yang belum diketahui dengan memakai istilahistilah yang sudah diketahui. Istilah yang perlu didefinisikan disebut definiendum, yang

mendefinisikan definiens. Dalam kegiatan ilmu yang sesungguhnya definisi berfungsi secara
kurang formal (logis) dan lebih materiil (mengenai isi). Secara metodologis, definisi
memajukan bahas ilmiah. Atua dalam lingkup ilmu, definisi mengubah data observasi
menjadi data yang dapat dirumuskan secara lebih teoritis. Definisi dapat berubah bersama
perkembangan ilmu.
Definisi nirsejati Definisi nirsejati meliputi pertama, definisi ostensive (tunjuk), berperan
pada penalaran filsafat tentang definisi dan persuasif, untuk wawasan kegiatan ilmu praktis.
Arti istilah tidak diberikan oleh istilah lain melainkan lewat acuan kepada hal itu sendiri.
Kemungkian istilah lain adalah definisi ”kosong” dengan merujuk pada obyek, lokasi dan
waktu tertentu.
Kedua, Definisi persuasif, biasanya bersifat deskriptif meski kadang deskriptif semu.
Misalnya demokrasi harus dideskripsikan unsur-unsurnya, semu dan tidak nyata. Menurut
Ch. Palerman adalah “alat logis semu demi penalaran”.
Definisi dalam arti sesungguhnya Pertama, definisi ilmu menyajikan susunan (hirarki)
definisi. Susunan ini menanjak dari definisi yang sangat terikat dengan data pengalaman
samapai definisi yang tertama ditentukan oleh cara mengolah data. Lapisan dasar definisi
ilmiah merupakan definisi deskriptif. Definisi deskriptif dalam arti sempit disebut definisi

leksikal. Biasanya menyatakan apa yang dimaksud dengan sebuah kata, besar kecilnya
ditentukan oleh kamus. Definisi deskriptif juga dapat disebut sebagai definisi nyata Kedua,

definisi nominal, memberikan nama dan diterima secara umum maka memiliki makna baru
kemudian di pertanyakan secara leksikal. Ketiga, definisi stipulatif. Definisi ini sering
dibandingkan dengan definisi nominal dan definisi verbal. Berlaku benar atau tidak benar
pada dirinya sendiri tanpa makna lain. Definisi stipulatif mengandung pakatan yang diberikan
kepada suatu istilah. Keempat, definisi operasional. Definisi ini biasanya mengenai istilahistilah yang dekat pada puncak suatu ilmu, pada teorinya dan bukan pada istilah istilah
stipulatif. Definisi operasional mensyaratkan kesesuaian susunan menyeluruh suatu ilmu.
Definisi operasional menguraikan arti sebuah istilah dengan menyebut kegiatan mengukur
yang dapat menghasilkan penentuan arti semacam itu.
Kelima, definisi Teoritis. Defrinisi teoritis membatasi isi pengertian atau arti, mencakup
istilah yang dihasilkan oleh definisi sebelumnya. Definisi dihasilkan lewat bahasan dan
lambang yang lazim dipakai dalam cabang ilmu yang bersangkutan. Definisi teoritis di
uraikan bagi ilmu forma dan ilmu empiris.
Pengertian-Pengertian dalam Ilmu Dalam struktur struktur limas ilmu, ada lima asas yaitu
observasi : merupakan yang berhubungan dengan pengamatan langsung. Empiris : istilah
yang menghimpun sekelompok observasi. Istilah terbuat: menunjuk sesuatu yang tidak dapat
langsung diamati, namun tetap terjadi lantaran observasi. Istilah timbrung : sedikit lebih jauh
dari pengamatan, karena tidak berhubungan langsung dengan pengubah-pengubah. Dan
Istilah teoritis : tidak apat lagi didefinisikan dengan istilah observasi, baik langsung maupun
tidak langsung. Istilah teoritis tidak boleh dikenakan hanya satu tafsiran mengenai istilahistilah observasi, tetapi justru memberi kelonggaran kepada banyak kemungkinan penafsiran,
baik yang sduah ada, atapun yang akan timbul.

Bagian IV. TEORI ILMIAH
Hukum dan Teori Hukum observasi mengungkapkan rampatan(generalisasi) berdasarkan
observasi, sehingga sifatnya empiris. Sedang hukum teoritis menyatakan hubungan mutlak
antar gejala. Sifat hukum teoritis mengakibatkan akan diusahakan perumusan yang lebih
umum lagi. Dalam susunan ilmu akan dimulai dari puncak kebawah. Hal ini untuk
menjabarkan bahwa umumnya observasi dari hukum teorits (deduksi). hukum observasi
harus dapat dijabarkan dari hukum teoritis. Menerangkan dan meramalkan dianggap sebagi
ciri utama sebuah teori ilmiah. Pertama, bahwa penjabaran masing-masing pernyataan dari
suatu teori/hukum umum yang memberikan kesempatan untuk pelakuan pengujian. Kedua,
untuk hukum dan teori dirancang terlebih dahulu, disebut proto-teori. Dalam ilmu rancangan
pengandaian yang ternalar disebut hipotesis. Dari hipotesis dijabarkan ungkapan yang dapat
diuji satu demi satu. Hipotesis mutlak untuk membentuk teori, model ini disebut hipotesisdeduktif.
Pertanyaan-pertanyaan Mengenai Ilmu dimulai dengan pengamatan fakta dan observasi
yang dirampatkan melalui penelaahan statistik; pertama, induksi, sehingga hipotesis disusun
menjadi sumber penjabaran pernyataan baru. Kedua, deduksi, pernyataan ini diuji lagi
terhadap fakta.
Dengan dua hal tersebut verifikasi dan falsifikasi hiptesis yang telah disusun dinilai, yang
mungkin ternyata terkuatkan.Kemudian mungkin disusun pernyataan baru berdasar teori itu
yang mengakibatkan berlagsungnya penyelidikan baru. Dengan demikian akan tertutup
lingkaran dari observasi ke observasi. Struktur logis suatu hukum teoritis justru membawa

serta sifat umum. Dari induksi yang selalu terbatas pada sejumlah hal yang berhingga, tidak

mungkin dijabarkan pernyataan umum. Sebaliknya pernyatan umum tidak dapat
diverifikasikan oleh proses verifikasi yang selalu berhingga.
K.K. Popper menolak induksi, mengganti dengan tuntutan falsifikasi. Tuntutan faslifikasi
disatukan dengan filsafatnya tentang rasionalisme kritis, antara lain berakibat bahwa setiap
pernyataan teoretis harus disusun sedemikian rupa sehingga sebanyak mungkin terbuka untuk
perbaikan-perbaikan. Perbaikan itu memperlihatkan bahwa kombinasi empirisme dengan
teori yang disusun secara logis terlau simplistic.
Pertama, Pengujian, baik verifikasi atau falsifikasi mengandung masalah yang tidak hanya
bersifat empiris. Penerapan verifikasi dan falsifikasi dalam bentuk mutlak jarang timbul,
biasanya adalah kemungkinan/bisa jadi. Kedua pada kegiatan ilmiah kerap terjadi bahwa
suatu teori dipertahankan. Ketiga, suatu teori mengatur seuruh system ilmu. Kesimpulan yang
dapat ditulis adalah: berdiri atau jatuhnya ilmu bergantug pada kesahihan.
Menerangkan dan MeramalkanMenerangkan dan meramalkan adalah kegiatan pokok dari
sebuah ilmu. Suatu teori bersifat logis, merupakan model hipostesis-deduktif. Atau model
Deduktif-nmolgis (DN). Penjabaran suatu hukum akan jelas jika ditinjau dari struktur
keterangan ilmiah.
Gejala yang akan diterangkan ( ekspanandum) dan keterangan(eksplanan) Bagian terkhir
yang terletak paling depan dan terdiri atas dua bagian. Pertama antecendens yang menyatakan

keadaan paling khas yang meliputi suatu gejala, Kedua, hukum, satu atau lebih berupa
pernyataan umum atau law like statement. Berdasarkan gejala yang ada diterangkan sebagai
berikut:
Skema
A1.........................................An
W1 .......................................Wn
Eksplanan
E Eksplanandum.
Penjelasan bentuk ini menjadi penjabaran logis yang dapat dipakai, dapat berbentuk ganda.
Penjabaran kuat adalah bentuk DN. Pada sistem deduktif yang sejati ada dua kemungkinan.
Kebenaran premis, dapat dialihkan kepada kesimpulan. Dalam logika klasik disebut modus
ponens. Apabila E dijabarkan sebelum gejala E berlangsung, keterangan akan berfungsi
sebagai ramalan. Sejumlah pengarang beranggapan bahwa menerangkan selalu berimpitan
dengan meramalkan. Muncul istilah retrodiksi, ramalan yang ditujukan kepada yang telah
silam, berdasarkan data dapat dinyatakan bagaimana keadaan waktu silam.
Perjalinan antara yang teoritis dan yang empiris muncul dalam berbagai penjelasan yang
harus dibedakan seketika dikemukakan apa yang sebetulnya mau diterangkan dengan hasil :
(1). Keterangan logis (2). Keterangan sebab akibat ( kausal). (3). Keterangan final (5).
Keterangan fungsional (6). Keterangan historis (7). Keterangan analog
Menerangkan dan MemahamiSejumlah ahli filsafat beranggapan ilmu tidak hanya

menerangkan
tetapi
juga
berusaha
memahami(verstehen).
Lawan
dari
menerangkan(erklaeren) yang dimaksud memberikan bahasa kausal dan verstehen yang
bermaksud mengartikan data.
Verstehen memiliki dua arti yaitu untuk memahami perasaan dan keadan batin sesama
manusia dan untuk menangkap arti suatu teks. Memahami sekaligus menafsirkan disebut
hermeneutik.
Pengarang modern menilai verstehen sebagai bagian metode ilmiah sejati. Memahami alam
dengan memahami masyarakat adalah berbeda. Alam dapat disusun hukum-hukum sementara
memahami masyarakat akan terdapat penyimpangan yang dapat diolah secara teoritis.

Penyimpangan merupakan pelanggaran terhadap suatu kaidah, sehingga pada keadaan
tertentu perlu memasukan istilah “mentaati kaidah”.
Winch menggunakan metode yang lebih analitis, A.Schutz memakai metode fenomenologis.
Schultz membandingkan bentuk memahami dengan pengalaman akal sehat (common sense)
terhadap dunia biasa. Kedua pemikir itu memperlihatkan bagaimana memahami, asal tidak
terlalu irrasional dan subyektif, merupakan kelanjutan dari menerangkan. Batas antara
memahami dan menerangkan tidak jelas.
Bagian V. ILMU DALAM KONTEKS
Ilmu Sebagai Sistem Tertutup
Ilmu memiliki ciri khas sebagai sistem terbuka, ilmu tidak dipandang secara terpencil
melainkan ilmu dalam konteks. Pertama, bagi yang meyakini ilmu memiliki sistem tertutup,
melihat hubungan dengan konteks sebagai hubungan yang menjauhi dan membatasi. Ilmu
memperlihatkan bentuk limas dan dicirikan oleh kecondongan membentuk sistem tertutup.
Ilmu berfungsi dalam suatu konteks, ada pengaruh dari masukan dan keluaran. A.Comte
menulis ” setiap ilmu terdiri atas koordinasi fakta” , terdapat juga fakta umum / fakta sosial.
Makin maju ilmu-ilmu, fakta makin bergayut pada metode.
Kedua, beberapa orang meyakini tidak ada batas antara ilmu dan konteks. Ketiga, ilmu
adalah sistem terbuka. Artinya ilmu memiliki struktur dan kedudukan sendiri, dipihak lain
tidak lepas dari tautan-tautan yang lebih luas, ruang lingkup ilmu terwujud. Budi manusia
memiliki pengertian bawaan tertentu (innate) salah satunya kausalitas. Menurut W.Hamilton
mengembalikan masalah kasualitas seluruhnya pada logika penalaran. Didasarkan pada
identitas logis. Pendapat modern, kasualitas sebagai sesuatu tidak yang pertama-tama
termasuk kenyataan diluar ilmu. Kasualitas diganti dengan model deduktif nomologis (DN)
dan digenapi dengan model induktif-statistik. Ilmu mencari pembulatan, tetapi tidak ada
sistem ilmu yang otonom. Ilmu tebuka lebar, karena dihasilkan oleh konteks, faktor psikis,
sosial atau ideologis.
Secara metodis terjadinya suatu ilmu dapat berlangsung juga tanpa diiringi timbulnya
masalah-masalah berkat peranan percobaan. Percobaan itu berfungsi sebagai gerbang;
observasi sebagai alat untuk melihat rancangan teoretismana yang paling berfaedah.
F.Bacdon menyebut, percobaan pengalaman yang dicari. Pengalaman lewat percobaan
diterangi oleh metode. Aliran empiris maupun rasionalis menyampaikan ilmu tak lain dan tak
bukan yakni menghapus kebetulan/kontingensi. Ilmu memperoleh kontur tetap dan pasti.
Psikologisme
J.stuart Mill mencirikan hukum logis sebagai “generralization for a mental act” bahwa hukum
logis sebenarnya merupakan hukum penalaran yang ditentukan secara psikis. Pendapat Mill
dianut sebagai ”psikologisme”.
Psikologisme mendasarkan kepastian logis pada kontingensi berfungsinya psikis budi
manusia. Psikologisme meluas pada bidang lain. Pada analisis sitem ilmiah diusahakan juga
mempergunakan fakta pribadi dan biografis sebagai keterangan terjadinya sebuah teori.
Tautan penemuan tidak mampu menyampaikan analisis apapun demi berlakunya kesahihan
teori ilmiah. Seandainya berpretensi demikian, maka teori yang berasangkutan berdasarkan
reaksi psikologis orang-orang tertentu, diterangkan secara psikologis dan dengan demikian
tidak memiliki kesahiohan umum apapun.
Sosiologisme
Ilmu merupakan gejala sosial, maka dapat dianalisis sebagai gejala sosial. Disebut sebagai
sosiologi ilmu. Kesahihan teori didasarkan fakta sosial (sosiologisme). Artinya ilmu

dipersempit menjadi fakta sosial. Para pemikir al : Karl Mark, E.Durkhein, K.Mannhein
melihat adanya hubungan erat antara ilmu dan masyarakat. Dihasilkan pengertian akan
hubungan penalaran ilmiah dengan suatu kebudayaan atau bangunan sosial tertentu. M. H
Herskovits menyodorkan relativisme nilai yang berlaku juga untuk struktur penalaran ilmiah :
kategori-kategori ”ruang”, ”waktu”, dan ”kausalitas” adalah ”mediated by the convenmtions
of any given group”.
Pendapat ini mengandung bahaya, bahwa kesahihan suatu ilmu didasarkan begitu saja pada
masyarakat tempat ilmu berfungsi. Ilmu bukan lagi otonom. Ilmu tidak hanya diperikan
dengan bertolak dari kekuatan sosial, melainkan juga dikaitkan dengan penilaian sosial
politik. Maka terjadi pendapat ideologis. Keberatan terhadap sosiologisme tidak perlu
mengarah ke pendapat mengenai ilmu tertutup. Keluaran jelas kelihatan, yaitu pengaruh ilmu
pada masyarakat. Rumusan Comte sungguh-sungguh ada ilmu demi ilmu.
Ilmu Ilmu terapan memasuki masyarakat lebih mendalam. Kemudian ilmu berusaha juga
menangkap banyak unsur kebetulan dari konteks masuk ke ranah ilmiah. S. Toulmin
membandingkan ilmu murni dan ilmu terapan dengan peta dan jalan yang ditempuh.
Bagaimanapun ilmu tak mungkin melepaskan kedudukan sendiri maupun penyepadanan
sistematis, lalu tenggelam ke dalam pandangan relativitas, psikologistis dll. Adanya sifat
tenggang yang terdapat dalam setiap teori, baik murni maupun praktis, ilmu-ilmu dapat
berfungsi sebagai radar, juga demi masyrakat.
Ilmu dan Ideologi
Yaitu mengabdikan ilmu kepada pilihan yang ditentukan oleh padangan dunia (wawasan) dan
atau sosial politik. Di maksud ideologi dalam arti luas adalah setiap perangkat ide yang
bersifat mengarahkan. Istilah ideologi tidak harus berarti negative. Beberapa ideologi atau ide
yang menonjol agamawi, metafisis, susila, sosial, politis.
Ketegangan ideology dan ilmu pertama terjadi antara agama dan ilmu. Pertama, Konflik
dapat timbul bila terjadi penisbian/relativasi segi teoretis dalam pandangan hidup religius
karena tekanan dari pihak ilmu modern. Sifat kebenaran religius tidak hanya kognitif tetapi
juga kontekstual. Kadang terjadi bahwa dengan berawal pada agama disusun sebuah asas dan
dasar teoretis sebagai titik tolak suatu sistem filsafat. Tuntutan seperti itu oleh kaum religius
sering disebut ” fundamelisme”. Menawan ilmu secara ideologis terjadi juga oleh marxisme
ortodoks. Pendirian ideologis ini mengakibatkan banyak konflik dengan ilmu. Neo-marxis
mendukung pengaruh ideologis pada ilmu.
Kedua penilaian yang dalam susunan masyarakat amat berperan harus juga berpengaruh pada
ilmu. Sains digiring oleh kepentingan teknologi, ilmu sejarah oleh kepentingan praktis dan
sosial oleh kepentingan emansipatoris.
Memang ilmu merupakan sistem dalam suatu konteks tetapi tidak betul bahwa ilmu
dilarutkan dalam konteks itu. Memang betul fungsi ilmu berubah sesuai lingkungan budaya
dan konstalasi social tetapi ilmu merupakan imbangan yang berharga menghadapi ideologi.
Kecondongan yang ingin menerangkan dan menguasai segala-galanya berdasar ilmu disebut
”saintisme”. Kecondongan ini sama dogmatisnya seperti suatu ideologi yang ingin menguasai
ilmu.
Ilmu sebagai Sistem TerbukaIstilah sistem terbuka dipakai oleh oleh L.von Bertalanfly dan
K.Boulding untuk gejala tertentu dari organism hidup, kemudian di aplikasikan pada seluruh
bangunan ilmu. Ilmu merupakan bagian kebudayaan manusiawi bahkan bagian kebijakan
manusiawi seluruhnya. Ilmu tetap memiliki kemadirian (otonomi), tetapi luwes, penyesuaian
terus-menerus dari konteks lewat pembaharuan yang kreatif. Ilmu sebagai suatu sistem hanya
mungkin karena pembatasan-pembatasan berkat suatu metode. Kekuatan ilmu terletak pada
pembatasan diri. Teori merupakan keseimbangan antara”konsepsi” dan ”empiris”.

E. Kant menganggap pengetahuan ilmiah bagaikan sebuah sistem yang tunduk pada struktur
(kategori) ilmiah yang ketat. Sistem ini merupakan suatu ”kesatuan arsitektonis” Kesatuan
sebuah sistem berdasarkan praanggapan suatu ”ide” yang membentuk kesatuan tersebut. Ide
ini disebut dengan ide regulatif yang sifatnya diatas empiris, metafisis dan yang
memungkinkan hubungan antara pengetahuan teoritis dan perilaku susila.
Bagian VI. FILSAFAT ILMU
Filsafat ilmu ialah suatu perpanjanga ilmu tentang pengetahuan. Penerapan teori pengetahuan
pada pengetahuan ilmiah. Teori pengetahuan menelaah struktur dan kesahihan pengetahuan
insani. Pengetahuan ini mencakup antara lain : mengamati, mengingat, menyangka dan
bernalar. Penerapan pendapat baik klasik atau modern sudah termasuk dalam filsafat ilmu.
RasionalismeDalam arti sempit berarti anggapan mengenai teori pengetahuan yang
menekankan akal dan/atau ratio, untuk membentuk pengetahuan. Ilmu mustahil hanya
berdasarkan fakta, data empiris atau pengamatan. Ilmu harus menyusun suatu sistem. Untuk
itu diperlukan pilihan/seleksi.
Strukturalisme menghadapkan kepada pendekatan ”diakronis” suatu pendekatan”sinkronis”.
Yaitu meneliti keseimbangan dalam sistem bahasa atau keseimbangan pasar yang
menerangkan proses memahirkan suatu bahasa dengan bertolak pada rangsangan (B. F.
Skinner).
Empirisme dan PositivismeEmpirisme filsafat ilmu mengindahkan keharusan selalu
mengubah dan mencocokkan sistem ilmu.
Positivisme logis memecahkan masalah ini dengan menganggap ilmu formal bukan sebagai
pengetahuan yang berhubungan dengan sesuatu diluar bahasa (kenyataan). Positivisme logis
sifatnya tetap empristis. Sehingga timbul sistem totologis. Empirisme dan Positivisme
memberikan kelonggaran lebih besar kepada masukan dari empiris.
Kesukaran utama adalah hukum dan teori ilmiah tidak pernah dapat dikembalikan seluruhnya
kepada data pengalaman. Maka untuk filsafat ilmu disajikan sejumlah penyelesaian perantara
namun tetap diatur oleh asas-asa yang bersifat kesepakatan.
Rasionalisme KritisRasionalisme kritis menghubungkan unsur rasional dan empiris dalam
pengetahuan ilmiah. Sutau ilmu merupakan suatu keseluruhan, suatu sistem, tidak sebagai
ramuan suku-suku, melainkan berdasarkan struktur yang teratur. Pertama, jangan
mengadakan penelitian historis-faktual (psikologis) untuk mencari kesahihan penghetahuan,
melainkan adakan analisis logis struktural. Kedua, kemukakan tuntutan akan kesahihan
pengetahuan ilmiah, karena hubungan yang tak terelakkan dengan pengalaman indrawi,
batas-batas pengetahuan itu harus sekaligus ditampilkan. Ini oleh Kant disebut ”filsafat
kritis”.
Popper menggunakan istilah ”rasionaliosme kritis” menyambung Knat. Sifat kritis berarti
bahwa kita terbuka pada pengalaman. Sifat rasional dibentuk lewat sikap yang selalu terbuka
bagi kritik. Oleh karena itu setiap perumusan menegenai suatu hipotesis ilmiah harus
sedemikian rupa sehingga jelas bahwa terdapat kemungkinan penangkalan atau falsifikasi.
Konstruktivisme Konstruktivisme dapat dibedakan dalam beberapa kelompok pertama dekat
dengan positivisme logis, karena mementingkan aparat logis ilmu. Kedua diberi nama
”filsafat ilmu baru” Sistem ilmu dan kenyataan empiris saling resap-meresapi (Gestalt)
Ketiga yang menganut konstruktivis diberi nama aliran “genesis” mereka berpendapat bahwa
terjadinya system, genesis system, merupakan bagian dari sifat khas sistem semacam itu.

Proses terjadinya(genesis) dan hasil tidak dapat dipisahkan. Aliran ini dipengaruhi oleh
pragmatisme dan instrumentalisme dari C. S Peirce dan J. Dewey. Yaitu ajaran tentang
abduksi sebagai yang mendahului semua prosedur pertanggungjawaban menyusun hipotesis,
serta deduksi dan induksi. Abduksi ialah menerapkan pada gejala sebuah rengrengan yang
secara logis belum tertutp, lewat deduksi dan induksi diusahakan agar bentuk itu secara logis
lalu menjadi tertutup.
Segi kedua Pierce merupakan antisipasi pada etika. Dewey memunculkan
“instrumentalisme”. Ilmu bersatu dengan jalan yang ditempuh agar dapat terwujud, ialah
penelitian (inquiriy). E. Hurssel membuicarakan tentang dipentingkannya dalam ilmu ialah
melihat kedepan secara manusiawi, menyongsong keadaan baru. J Piaget menekankan adanya
abstraksi fisis pada anak-anak. Lewat adaptasi dan asimilasi, ilmu dapat maju sebagai
lanjutan seluruh kegiatan. Ilmu formal sebagai jaringan abstrak merupakan endapan dari
kemungkinan pengandaran manusia.
Bagian VII. STRATEGI ILMU
Heuristik dan
Heuristik adalah teori menemukan jalan untuk menangani suatu masalah secara ilmiah.
Heuristik mendahului ilmu, biasanya diangap sebagai sebidang medan yang tidak dapat
disempadani secara tajam. Medan ini meliputi sejumlah faktor nirilmiah, yang dapat menjadi
penting demi munculnya ilmu. Terdapat anggapan metafisis mengenai hakekat “materi”,
kadang pandangan itu merangsang, kadang menghambat terjadinya sains. Atau filsafat
metafisis tertentu mengenai “waktu”.
Dalam semua hal heuristik mendahului ilmu dan sempat menyediakan iktisar alasan yang ikut
bertanggungjawab atas terjadinya ilmu. Diluar ilmu, pada medan heuristik terdapat sifat
rasionalitas yang masih terletak pada skill. Dalam tahap lanjutnya akan menjadi semacam
superilmu. I Kant menyebut sebagai hiperfisis.
Rasionalitas pengetahuan menemukan penyelesaian praktis, orang menyesuaikan diri dengan
aturan dunia dan berusaha mengalihragamkan. Dengan demikian menjadi alasan bagi
timbulnya putusan etis.
Heuristik Ilmu Etika Diluar ilmu terdapat pertimbangan dan perilaku rasional.
Membedakan, menghubungkan, dan merumuskan patokan merupakan kegiatan sehari-hari.
Dalam dunia itu biasanya etika terdiri atas susunan kaidah-kaidah dan banyak putusan
evaluatif dalam kawasan dunia teratur tertampung dalam kaidah etis itu. Latar belakang
masalah rasionalitas, mengarahkan, kesahihan harus dilihat tewujudnya obyektivitas ilmiah.
Sistem suatu ilmu tetap melanjutkan susunan dan anggapan pengalaman prailmiah. Baik
secara historis, kesahihahn faktual dan juga logis. Ilmu merupakanlanjutan khas dari bakat
manusia untuk mencari kiblat, dan bakat yang telah tersedia sebelumnya. Timbulnya sistem
rasional daqri bakat-bakat tersebut, genesis, termasuk kesahihan , wewenang ilmu
Strategi Srategi ini adalah keseluruhan kaidah untuk mencapai suatu tujuan. Strategis suatu
sistem ilmiah telah diketahui, suatu ilmu tidak pernah selesai dan tidak pernah tertutup.
Strategi lmu adalah bagian strategi lebih luas dalam seluruh kebudayan manusia.
Menjelaskan kenyataan secara ilmiah berlangsung dalam ruang lingkup yang lebih luas
daripada strategi sebuah ilmu, ilmu seakan-akan menjajagi dunia seputrnya dengan tidak
kaku, struktur akan dapat berubah, maka mulailah menyempit hubungan antara rengrengan
pembenaran dalam arti sejati dengan heuristik. Seluruh strategi ilmu merupakan kerangka
acuan, ruang rengrengan pembenaran atau keterangan baru berlaku.

Pertama, suatu ilmu selalu mengandung suatu pilihan dan pembatasan tertentu, juga terhadap
patokan kesahihan. Kedua, sistem semacam itu mengingat zaman dan kebudayaan, dapat
memperoleh wujud lain. Ketiga, dengan demikian bentuk yang satu tidak terasingkan dari
bentuk lain. Suatu sistem ilmiah tertentu, menurut bangunanya yang metodologis merupakan
endapan strategi ilmu. Endapan diperlukan dalam sistem demi kesahihan
antarsubyektif.sistem ilmu mutlak perlu demi pemberitahuan, namun dapat diwujudkan
dengan bentuk berbeda-beda untuk mencapai tujuan yang sama.
Sifat khas ilmu menuntut sebanyak mungkin ketrbuktian umum lewat metode menyatakan
dan metode menjabarkan. Untuk mengenal strategi ilmu, kaidah yang mendalangi tiaptiaplangkah, perlu mengerti bagaiman strategi itu terjadi, jadi mengerti heuristik. Heuristik
ialah pengertian akan wilayah lebih luas daripada hanya sistem metodis ketat, pengertian
akan jalan yang menuju kesahihan sistem. Heuristik hanya sarat arti dalam arti luas perilaku
rasional yang megandung dorongan ke sifat umum (universal). Apabila heuristik dengan
relevansi metodologisnya tidak diakui maka tidak ada kemungkinan untuk mengerti strategi
luwes suatu ilmu.
Relevansi MetodologisPembaharuan metodologi dan logika suatu ilmu justru merupakan
akibat pengaruh kreatif dari heuristik. Heuristik relevan secara metodologis, karena dapat ikut
mengatur terjadinya suatu ilmu maupun pembaharuanya secara kreatif. Ikut mengatur artinya
bahwa heuristik mencakup petunjuk dan kaidah.
Kaidah pertama, setiap strategi ilmu yang masih giat pada pratahap heuristis, meraba
kemungkinan untuk memperbaikai strategi yang sedang timbul, menyusun dengan aik sistem
pembenaran yang rapat bagi suatu ilmu. Dengan mengikuti garis pemikiran A. Kaplan, lebih
lanjut, heuristik dapat dirumuskan sbagai context of discovery yang berusaha menyusun
context of justification sebagai koreksi diri. Seluruh sistem pembenaran didalam jalinan
penemuan sebagai mekanisme umpan balik.
Heuristik Ilmu EtikaKaidah kedua, menggapai kembali dari sistem ilmiah kepada praanggapan-pra-anggapan. Yaitu pra-anggapan yang bersatu dengan system. Kadang-kadang
seluruh kerangka berfikir terlalu historis atau budaya, sehingga pra-anggapan tidak dilihat.
Kaidah ketiga, Heuristik dapat, karena bentuk yang logis kurang tertutup dengan pasti,
menemukan alternatif-alternatif.
Kaidah keempat bahwa proses terjadinya dan pembaharuan suatu ilmu dimajukan oleh
pengertian akan masalah etis. Ini dapat mendorong kreativitas degan menentang
ketidakseimbangan dalam ilmu. Kaidah heuristis untuk memajukan keseimbangan sistem
ilmiah terdiri ats pembalikan metodologis yang biasa dipergunakan.
Kepekaan terhadap MasalahKaidah kelima perlu dibicarakan secara khusus karena
merupakan titik temu keempat kaidah yang lain. Ungkapan terkenanuntuk merumuskan
kaidah ini : kepekaan terhadap masalah-masalah ( sensitivity of problems). Ungkapan ini
sering digunakan untuk memperlihatkan bagaimana manusia mampu memandang keadaankeadaan secara baru pada waktu dipermasalahkan.
Heuristic
Ilmu
Etika
Heuristik tidak menjanjikan suatu metodologi untuk menyelesaikan masalah relevan demi
kepekan akan masalah yang perlu dimiliki uleh oleh suatu ilmu, yang berakar pada persoalan
yang lebih mendalam di dunia luar-ilmiah. Ini berarti bahwa etika harus mempengaruhi
seluruh proses heuristis, belum sebagai sistem etis, melainkan lebih sebagai keinsafan etis.
Etika mempengaruhi pembangunan ilmu lewat kaidah heuristis berperan dalam strategi ilmu.
Hal ini berarti bahwa dalam ilmu timbul metode(kaidah) dan fakta(kebenaran) baru
(inventititas).

Heuristik tugasnya semacam fungsi jembatan. Karena menunjukkan hubungan mutlak antara
ilmu denga pengertian dan sikap luar-ilmu. Heuristik menunjukkan jalan menuju terjadinya,
genesis, sistem ilmiah yang metodis dibatasi. Heuristik menimbulkankepekaan akan konteks
tetapi tidak menyediakan suatu metodologi. Heuristik sendiri dirangkul oleh etika sebagai
keinsafan akan ketersusunan yang jangkaunya lebih besar, dan yang normatif (evaluatif).
(hal.112)

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Berburu dengan anjing terlatih_1

0 46 1

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Upaya mengurangi kecemasan belajar matematika siswa dengan penerapan metode diskusi kelompok teknik tutor sebaya: sebuah studi penelitian tindakan di SMP Negeri 21 Tangerang

26 227 88

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan manajemen mutu terpadu pada Galih Bakery,Ciledug,Tangerang,Banten

6 163 90

Preparasi dan Karaterisasi Nanopartikel Zink Pektinat Mengandung Diltiazem Hidroklorida dengan Metode Gelasi Ionik.

7 51 92

Aplikasi keamanan informasi menggunakan teknik steganografi dengan metode Least Significant Bit (LSB) insertion dan RC4

34 174 221