sejarah pemikiran islam dalam sejarah

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Beragamnya aliran Teologi yang tumbuh subur memiliki sejarah yang
panjang, semuanya tidak terlepas dari para pendirinya dan latar belakang yang
menyertai sampai pada para pengikutnya yang memiliki kontribusi besar terhadap
aliran tersebut.
Munculnya Asy’ariyah tidak lepas dari ketidak puasan sekaligus kritik
terhadap paham Mu’tazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar
Mu’tazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan
hubungan Allah-manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Allah dikompromikan.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab
argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang
beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli. Doktrindoktrin yang dikemukakan Al-Asy`ari dan pengikutnyanya dikatakan sebagai
penengah dari aliran – aliran yang ada pada masa itu.
Selanjutnya, makalah yang disajikan oleh penulis ini, diharapkan bisa
menjadi bahan diskusi yang nantinya dapat bermanfaat.
B. Rumusan Masalah
1. Siapa Abu Hasan Al-Asy`ari dan Bagaimana pemikiran Al-Asy`ari?
2. Siapakah Tokoh-tokoh pengikut Asy`ariyah?
3. Bagaimana Perkembangan Asy`ariyah?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Riwayat Al-Asy`ari dan pemikirannya
2. Untuk mengetahui Tokoh-tokoh pengikut Asy`ariyah
3. Untuk mengetahui Perkembangan Asy`ariyah

1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Abu Al-Hasan Asy`ari dan Pemikirannya
1.

Riwayat singkat Al-Asy`ari
Al-Asy`ari bernama lengkap Abu Al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin

Salim bin Isma`il bin Abdillah bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa AlAsy`ari. Abu Hasan Al-Asy’ari Rahimahullah dilahirkan pada tahun 260 H di
Bashrah, Irak. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad
dan wafat di sana pada tahun 324 H/ 935 M.1 Ia masih keturunan Abu Musa
Al-Asy`ari. Abu Musa Al-Asy’ari adalah salah seorang sahabat Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam yang masyhur.2 Sejak kecil Al-Asy`ari telah

yatim. Kemudian ibunya menikah dengan seorang tokoh Mu`tazilah bernama
Abu `Ali Al Jubba`i. Al-Asy`ari seorang yang cerdas, hafal Al Qur`an pada
usia belasan tahun dan banyak pula belajar hadits. Pada waktu kecil, alAsy`ari berguru kepada Abu `Ali Al Jubba`i yang tak lain adalah ayah tirinya
sendiri, untuk mempelajari ajaran-ajaran Mu`tazilah dan memahaminya.
Aliran ini dianutnya sampai ia berusia 40 tahun dan tidak sedikit dari
umurnya digunakan untuk mengarang buku-buku ke-Mu`tazilahan.3
Al-Asy`ari menganut faham Mu`tazilah hanya sampai berusia 40 tahun.
Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan dihadapan jama`ah masjid
Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu`tazilah dan
menunjukkan keburukan-keburukannya. Apa penyebab berubahnya pikiran
Al-Asy`ari itu, tidak diketahui dengan pasti namun seperti yang dikutip oleh
Sharif, dalam karya “Ilm al-Kalam”, Shibli mengatakan bahwa perubahan
terjadi karena adanya petunjuk yang diperolehnya lewat mimpi. 4
Selain itu, sebab lain bahwa Al-Asy`ari berdebat dengan gurunya alJubba`i dan dalam perdebatan itu guru tak dapat menjawab tantangan murid.
Salah satu perdebatan itu adalah persoalan mengenai tiga orang saudara yang
1 Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: PT. Pustaka Setia, 2003), hlm.120
2 http://fatwasyafii.wordpress.com/ (diakses pada 25 Oktober 2013)
3 M.Hanafi, Theologi Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992), hlm.104
4 M.M Sharif, Aliran-Aliran Filsafat Islam: Mu`tazilah, Asy`ariyah, Maturidiyah,
Thahawiyah, Zhahirriyah, Ihwan al-Shafa (Bandung: Nuansa Cendekia, 2004), hlm.56


2

dikemukakan oleh Al-Asy`ari, yang satu takwa, yang satu tak bertuhan dan
yang satu lagi meninggal ketika masih anak-anak. Apa yang ditanyakan oleh
Al-Asy`ari adalah bagaiman posisi (nasib) masing-masing orang tersebut di
akhirat. Al-Jubba`i ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang
memuaskan dan konsisten dan, setelah terbukti Al-Jubba`i itu tidak dapat
membuktikan doktrin shalah wa ashlah tersebut secara rasional, maka AlAsy`ari meninggalkan aliran Mu`tazilah. 5
Berikut adalah perdebatan Al-Asy`ari dengan gurunya Al-Jubba`i seperti
yang dikutip oleh Harun Nasution dalam Al-Subki. 6
Al-Asy`ari

Bagaimana kedudukan ke tiga orang berikut: mukmin, kafir,

Al-Jubba`i

dan anak kecil di akhirat?
Yang mukmin mendapat tingkat baik dalam surga, yang kafir


Al-Asy`ari

masuk neraka dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi

Al-Jubba`i

di surga, mungkinkah itu?
Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena
kepatuhannya kepada Allah. Yang kecil belum mempunyai

Al-Asy`ari

kepatuhan yang serupa.
Kalau anak itu mengatakan pada Allah: itu bukanlah salahku.
Jika sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup aku akan
mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan

Al-Jubba`i


orang mukmin itu.
Allah akan menjawab: “Aku tahu bahwa jika engkau terus
hidup engkau akan mengerjakan perbuatan-perbuatan dosa
dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk
kepentinganmu Aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai

Al-Asy`ari

keumur tanggung jawab ”
Sekiranya yang kafir menyatakan: “Engkau ketahui masa
depanku sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa

sebabnya Engkau tidak jaga kepentinganku?”
2. Pemikiran Al-Asy`ari
Diantara dua aliran yang saling bertentangan di masanya, Al-Asy`ari
berada di posisi tengah-tengah. Ia harus menghadapi kedua kubu yang saling
5 Ibid, M.M Sharif, Aliran-Aliran Filsafat Islam... ... ..., hlm.57
6 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejaran Analisa Perbandingan,(Jakarta: UI
Press, 1986).hlm. 65


3

bertentangan. Disatu pihak kaum Mu`tazilah yang lebih mempercayai/
mengandalkan akal daripada wahyu dalam mengukur dan menentukan realita
serta kebenaran dan dengan demikian secara perlahan berubah menjadi kaum
bid`ah yang tak berbahaya. Dilain pihak terdapat kaum ultra ortodoks yang
sama sekali tidak mau menggunakan akal atau kalam dalam mempertahankan
atau menjelaskan dogma-dogma agama dan mereka memandang segala
wacana mengenai dogma sebagai bid`ah. Adapun pemikiran Al-Asy`ari yang
terpenting adalah:
a. Konsep tentang Tuhan dan Hakikat Sifat-sifat Tuhan
Dalam masalah sifat-sifat Allah terdapat dua aliaran pemikiran yang
dihadapi Al-Asy`ari, disatu pihak kaum ulta-Ortodoks yaitu kaum
Shifatiyyah (kaum Atributis), Mujassimah (kaum Anthropomorfis)
dan kaum Musyahibbin (orang-orang yang memperbandingkan Allah
dengan Makhluk-Nya), berpendapat bahwa Allah memiliki segala
sifat sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur`an dan bahwa segala
sifat seperti tangan, kaki, telinga, mata dan dia bersemayam di atas
Arasy diartikan secara harfiah.7


Kaum Shifatiyyah berpendirian

bahwa sifat-sifat Allah mengisyaratkan bahwa Allah bereksistensi
jasadi harus difahami secara harfiah. 8
Dilain pihak terdapat aliran Mu`tazillah yang berpendapat bahwa
Allah itu Esa, kadim, unik, wujud (ada). Mu`tazillah juga
berpendapat bahwa Allah Tidak memiliki sifat sama sekali, sifat-sifat
yang terpisah dari esensinya. Karena mereka menganggap bahwa
sifat adalah esensi Allah itu sendiri. Maka apabila Allah itu
“mengetahui”, dia mengetahui dengan perantaraan pengetahuan dan
pengetahuan itu adalah Allah itu sendiri. Sehingga apabila Allah
dinyatakan bersifat,misalnya dengan sifat Ilmu, padahal sifat Allah
itu banyak, berarti Allah yang Qadim dengan sifat-sifatnya pula,
disimpulkan menjadi Allah itu banyak. 9
7 Ibid, M.M Sharif, Aliran-Aliran Filsafat Islam... ... ..., hlm.63
8 Ibid,... ... ..., hlm.64
9 Noer Iskandar Al-Barsany,Pemikiran Kalam Imam Abu Mansur Al-Maturidi
(Perbandingan dengan Kalam Mu`tazilah da Al-Asy`ari, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001), hlm.81


4

Al-Asy`ari dalam hal ini mengakui sifat-sifat Allah yang tersebut
sesuai dengan Zat Allah itu sendiri, dan sama sekali tidak menyerupai
sifat-sifat Makhluk. 10
b. Kehendak bebas
Jabariyah berpendapat bahwa tindakan manusia sudah ditentukan
sebelumnya dan telah ditetapkan sebelumnya oleh Allah. Mu`tazillah
dan Qadariyah, dilain pihak berpendapat bahwa manusia memiliki
kekuasaan penuh untuk menghasilkan suatu perbuatan dan memiliki
kemerdekaan penuh dalam memilih perbuatannya, walaupun
kekuasaan untuk berbuat itu memang diciptakan pada dirinya oleh
Allah. Mu`tazilah menyatakan bahwa Allah Tidak memiliki
Kehendak dan Kekuasaaan yang benar-benar Mutlak. 11
Al-Asy`ari berada di tengah-tengah mengatakan bahwa manusia tidak
berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh
sesuatu perbuatan. 12 Menurut Al-Asy`ari, Kehendak dan kekuasaan
Mutlak Allah benar-benar absolut. Bahkan apa yang diperbuat
manusia pun tiada yang lain adalah berjalan sesuai dengan keterangan
ayat: 13

    
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu"(QS. Ash Shaffat: 96)

c. Akal dan Wahyu serta Kriteria Baik dan Buruk
Mu`tazilah berpendapat bahwa akal lebih fundamental dari pada
wahyu dan dengan demikian mesti didahulukan dari pada wahyu.
Wahyu hanyalah mengkonfirmasikan apa yang diterima akal dan, jika
terdapat konflik antara kedua pihak, maka yang didahulukan adalah
10 Ibid, M.Hanafi, Theologi Islam ... ... ...,hlm.108
11 Ibid, Noer Iskandar Al-Barsany,Pemikiran Kalam... ... ..., hlm.82
12 Ibid, M.Hanafi, Theologi Islam ... ... ...,hlm.108
13 Ibid, Noer Iskandar Al-Barsany,Pemikiran Kalam... ... ..., hlm.82

5

akal.14 al-Asy`ari, dilain pihak berpendapat bahwa wahyu lebih
fundamental dari pada akal adan wahyu merupakan landasan
kebenaran dan realita. Dan akal hanya berperan mengkonfirmasi apa
yang dikemukakan oleh wahyu.

Masalah Baik dan buruk timbul sebagai ujung dari masalah akal dan
wahyu. Dalam masalah ini merupakan salah satu persoalan paling
kontroversial dalam teologi islam. Menurut Mu`tazilah, patokan atau
kriteria untuk menilai baik dan buruknya suatu perbuatan adalah
dengan akal, bukan wahyu. Berbeda dengan Mu`tazilah, paham yang
dikemukakan Al-Asy`ari landasan atau kriteria untuk menentukan
baik dan buruk adalah wahyu dan bukan akal. baik dan buruknya
perbuatan bukanlah sifat yang sudah menjadi tabiat pada sesuatu dan
pada tindakan manusia. 15
d. Kemakhlukan Al-Qur`an
Al-Qur`an itu makhluk atau bukan merupakan persoalan yang banyak
diperselisihkan. Masalah ini berujung dengan persoalan mengenai
firman Allah adalah sifat Allah atau bukan. Umat Muslim Ortodoks
dan Al-Asy`ari berpendapat bahwa Al-Qur`an merupakan sifat
akliyah Allah. Al-Asy`ari berada di tengah-tengah mengenai keKhadiman Al-Qur`an.
e. Masalah Melihat Tuhan
Menurut aliran Mu`tazilah, Allah tidak dapat dilihat dengan mata
kepala dan dengan demikian, mereka mena`wilkan ayat-ayat yang
mengatakan adanya ru`yat, disamping menolak hadist – hadist Nabi
yang menetapkan ru`yat, karena tingkatan hadist tersebut menurut

mereka adalah hadist perseorangan.
Menurut golongan Musyabbihah, Allah dapat dilihat dengan cara
tertentu dan pada arah tertentu pula. Dengan menempuh jalan tengah
antara kedua golongan tersebut, Al-Asy`ari mengatakan bahwa Allah

14 Ibid, M.M Sharif, Aliran-Aliran Filsafat Islam... ... ..., hlm.71
15 Ibid... ... ..., hlm.73

6

dapat dilihat, tetapi tidak menurut cara tertentu dan tidak pula pada
arah tertentu. 16
3. Faktor Pendukung popularitas Al-Asy`ari
Adapun

berbagai

faktor

pendukung

popularitas

Al-Asy`ari

itu

diantaranya: 17
a. Nasab yang bermuara pada seorang sahabat Nabi yang cukup
memiliki nama besar, yakni Abu Musa Al-Asy`ari. Dalam sejarah
persengketaan antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu`awiyah, dialah
yang menjadi perantaranya.
b. Pengaruh geografis tempat tinggalnya yang berada di pusat kota yang
sekaligus menjadi pusat keramaian (peradaban) umat Islam pada
masa itu, yakni basrah.
c. Banyaknya pengikut yang kemudian memiliki nama besar di
kalangan dunia Islam.
d. Dukungn pihak penguasa yang pada era Khalifah Al-Mutawakkil.
Di antara tulisan-tulisan Abu Hasan Al-Asy`ari adalah: al-Ibanah an
Ushuli Diyanah, Maqalatul Islamiyyin, Risalah Ila Ahli Tsaghr, al-Luma’ fi
Raddi ala Ahlil Bida’, al-Mujaz, al-Umad fi Ru’yah, Fushul fi Raddi alal
Mulhidin, Khalqul A’mal, Kitabush Shifat, Kitabur Ruyah bil Abshar, al-Khash
wal ‘Am, Raddu Alal Mujassimah, Idhahul Burhan, asy-Syarh wa Tafshil, anNaqdhu alal Jubai, an-naqdhu alal Balkhi, Jumlatu Maqalatil Mulhidin, Raddu
ala lbni Ruwandi, al-Qami’ fi Raddi alal Khalidi, Adabul Jadal, Jawabul
Khurasaniyyah, Jawabus Sirafiyyin, Jawabul Jurjaniyyin, Masail Mantsurah
Baghdadiyyah, al- Funun fi Raddi alal Mulhidin, Nawadir fi Daqaiqil Kalam,
Kasyful Asrar wa Hatkul Atsar, Tafsirul Qur’an al-Mukhtazin, dan yang lainnya.

B. Riwayat Beberapa Tokoh Asy`ariyah
Masyhurnya nama dan pemikiran Al-Asy`ari tidak terlepas dari berbagai
faktor pendukungnya. Faktor yang paling penting bagi kemajuan aliran
16 Ibid,M.Hanafi, Theologi Islam ... ... ...,hlm.109
17 Ibid, Noer Iskandar Al-Barsany,Pemikiran Kalam ... ... ... hlm.70-71

7

Asy`ariyah adalah adanya tokoh-tokoh pendukung dan pengikut Al-Asy`ariyah.
Berikut adalah tokoh-tokoh Asy`ariyyah beserta pandangannya.
1. Riwayat Hidup Tokoh-Tokoh Asy’ariyah
a. Al-Baqillani
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Thayyib bin Muhammad bin
Ja'far bin al-Qasim, yang lebih dikenal dengan al-Qadhi Abu Bakr alBaqillani. Al-Baqillani berguru dari sejumlah ulama di berbagai disiplin ilmu,
antara lain: Abu Abdullah bin Muhammad bin Ya'kub bin Mujahid al-Thai alMaliki (sahabat dan murid al-Asy’ari), Abu Bakr Ahmad bin Ja'far bin Malik
al-Qathi'i, Abu Bakr Muhammad bin Abdullah al-Abhari" seorang ahli faqih
bermazhab Maliki. Al-Baqillani wafat pada tahun 403 H di Baqdhad dan
dimakamkan di samping makam Ahmad bin Hambal di pekuburan Bab alHarb. 18
b. Al-Juwaini
Nama lengkapnya adalah Abu al-Ma'ali ibn Rukn al-Islam Abi
Muhammad al-Juwayni al-Naysaburi al-Shafi'i, dikenal dengan Imam alHaramayn and Ibn al-Juwayni (419-478). Lahir di Naisabur Iran, kemudian
setelah besar pergi ke kota Mu`askar, dan akhirnya tinggal dikota Baghdad.
Kegiatan ilmiahnya meliputi Ushul Fiqih dan Theology Islam.
Iman al-Juwaini belajar dari sejumlah ulama, antara lain dari ayahnya
sendiri Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf al-Juwaini, seorang ulama alSyafi'i dan belajar hadis dari ulama-ulama besar yang ada saat itu. Ketika
ayahnya meninggal tahun 438 H, ia menggantikan ayahnya sebagai mufti. 19
c. Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad al-Ghazali, lahir pada 450 H di Thus, suatu kota kecil di
Khurasan,Iran. Kata al-Ghazali kadang – kadang diungkapkan dengan “AlGhazzali” (dengan dua huruf z), yang diambil dari kata “ghazzal” yang
berarti pemintal benang. Hal itu karena ayah Al-Ghazali bekerja sebagai
pemintal benang wol. Adapun Al-Ghazali diungkapkan dengan satu z,

18 http://spiritilmupengetahuan.blogspot.com/ (diakses 25 oktober 2013)
19Ibid,... ... ...

8

diambil dari kata ghazalah nama kampung kelahiran Al-Ghazali, sebutan
yang terakhir inilah yang banyak dipakai. 20
Dari Thus ia mulai belajar kepada salah seorang ulama besar Thus yaitu
al-Iman Ahmad bin Muhammad al-Razkani, kemudian ia merantau ke Jurjan,
di sini ia belajar dari Nashr al-Ismaili. Kemudian ia kembali ke Thus dan
menetap selama tiga tahun, merenung, berpikir, dan menghafal apa yang telah
diperolehnya dari Thus. Kemudian ia ke Naisabur dan berguru pada Imam alHaramain, disinilah produktivitas ia sebagai seorang ilmuan nampak, dengan
menulis berbagai masalah. Sehingga al-Imam al-Haramain memberi julukan
pada ia dengan "Lautan yang menenggelamkan."
2. Pandangan Tokoh-Tokoh Asy’ariyah
a. Pandangan Al-Baqillani
Adapun pandangan-pandangan al-Baqillani dalam teologi Asy’ariyah
diantaranya membahas tentang Wujud Allah dan sifat-sifat-Nya, teori alahwal dan kasab.
Tentang Wujud Allah, al-Baqillani berpandangan sama dengan alAsy’ari. al-Baqillani berangkat dari penetapan akan kebaharuan alam, alam
yang terdiri dari al-jauhar atau al-'ardh, keduanya adalah sesuatu yang baru
dan yang baru pasti ada yang mengadakannya dan yang mengadakannya itu
adalah Allah. Dalil al-Baqillani antara lain dengan menetapkan bahwa Allah
adalah qadim dan alam adalah baru, dan sesuatu yang baru pasti ada yang
mengadakannya, dan yang mengadakannya tidak mungkin dari sesama
jenisnya yang baru, tetapi pasti adalah yang qadim, yaitu Allah swt. 21
b. Pandangan Al-Juwaini
Perkembangan kedua dalam teologi al-Asy’ariyah berada di tangan Imam
al-Haramain al-Juwaini. Pandangan al-Juwaini dalam pengembangan teologi
Asy’ariyah, tidak terlalu berbeda jauh dari pendahulunya, beliau juga
memberikan pendapatnya tentang sifat-sifat Allah, seputar teori al-ahwal dan
al-kasab.
Menurut pendapat al-Juwaini, sifat-sifat Allah dapt dibagi dua bagian
yaitu sifat-sifat nafsiyah dan sifat-sifat ma'nawiyah. Sifat nafsiyah adalah
20 Ibid,M.Hanafi, Theologi Islam ... ... ...,hlm.111
21 http://spiritilmupengetahuan.blogspot.com/ (diakses 25 oktober 2013)

9

semua sifat Allah yang harus ada, tidak pernah berpisah baik tidak
mempunyai sebab (ghair al-Syarif, mu'allah), dan sifat ma'nawiyah adalah
sifat-sifat al-ahkam yang ada, tapi keberadaannya disebabkan (mu'allalah)
dengan sebab-sebab ('illa-'illah).
Sifat-sifat nafsiyah seperti al-wujud; al-qidam, al-qiyam bi al-nafish, alwahdaniyah, al-baqa dan tidak serupa dengan yang baru. Al-Imam alJuawaini sependapat dengan al-Asy’ari, namun sifat-sifat al-khabariyah atau
anthropomorphism, seperti wajah tangan, dan istawa 'ala al-'arsy mereka
berbeda. Beliau mentakwilkan tangan dengan kuasa (al-qudrah), wajah
dengan al -wujud, dan Allah istawa 'ala al-arsy ditakwilkan dengan berkuasa
dan maha tinggi.
Tuhan harus diartikan Kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan
penglihatan Tuhan dan Wajah Tuhan diartikan sebagai Wujud Tuhan. Dan
keadaan Tuhan duduk di atas tahta kerajaan diartikan Tuhan Berkuasa dan
Maha Tinggi. Sedangkan tentang perbuatan manusia, menurutnya daya yang
ada pada manusia juga mempunyai efek Tetapi efeknya serupa dengan efek
yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan tergantung pada
daya yang ada manusia, wujud daya ini bergantung pula pada sebab lain, dan
wujud sebab ini bergantung pula pada sebab lain lagi dan demikianlah
seterusnya sehungga sampai kepada sebab dari segala sebab Tuhan. 22
c. Pandangan Al-Ghazali
Pengaruh al-Ghazali sangat kuat dalam kaitannya dengan teologi
Asy’ariyah sehingga beliau digelari Hujjatul Islam. Bahkan sebagian ilmuan
seperti Ahmad Mahmud Shubhi memposisikan al-Ghazali seperti Aristoteles
dalam peradaban Yunani, Desacrtes dan Immanuel Kant dalam peradaban
Eropa. Salah satu sumbangsih terbesar al-Ghazali adalah kitab ihya ulum alDin, sehingga tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa al-Ghazali
merupakan rujukan yang utama dalam membahas teologi Asy’ariyah.
Pandangan al-Ghazali yang berbeda dari tokoh Asy’ariyah yang lainnya,
adalah konsep Causalitas (hubungan sebab akibat) yang merupakan adopsi
dari pemikiran Aristoteles kemudian disesuaikan dengan teologi yang
22 Ibid, Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran ... ... ... hlm. 72

10

dipahami oleh al-Ghazali. Al-Ghazali berpendapat bahwa menghubungkan
antara apa yang diyakini dalam hal yang biasa antara sebab dan yang
disebabkan tidaklah mesti, dan menetapkan salah satunya tidak berarti
menetapkan yang lain begitupun sebaliknya, karena semuanya telah diawali
dengan takdir Allah, memberi contoh antara lain bahwa kenyang tidak mutlak
harus dengan makan, tapi Allah bisa mentakdirkan bahwa seseorang bisa
kenyang tanpa melalui makan. 23
C. Perkembangan Asy`ariyah
Dalam perkembangannya aliran Asy’ariah lebih condong kepada segi akal
pikiran murni, mendahulukannya sebelum nas dan memberinya tempat yang lebih
luas daripada tempat untuk nas-nas itu sendiri. Al-Juwaini sudah berani
memberikan ta’wilan terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Bahkan menurut alGhazali pertalian antara dalil akal dengan dalil syara’, ialah kalau dalil akal
merupakan fondamen bagi suatu bangunan, maka dalil syara’ merupakan
bangunan itu sendiri. 24
Asy’ariyah mulai mengalami perkembangan ketika perdana menteri Tugril
yang menganut pandangan Mu’tazilah wafat (1063), dan digantikan oleh Alp
Arselan (1063-1092) yang mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti alKunduri. Perdana menteri baru itu adalah penganut aliran Asy’ariah dan atas
usahanya pula aliran ini cepat berkembang, sedang aliran Mu’tazilah mulai
mundur kembali. Ia mendirikan sekolah-sekolah yang diberi nama al-Nizamiah,
diantaranya di Bagdad di mana al-Ghazali pernah mengajar. Di sekolah-sekolah
ini dan sekolah lain diajarkan teologi Asy’ariah. Pembesar-pembesar Negara juga
menganut aliran Asy’ariah. Dengan demikian faham-faham Asy’ariah meluas
bukan hanya di daerah kekuasaan Saljuk, tetapi juga di dunia Islam lainnya. 25
Murid-murid Al-Ghazali banyak menyebarkan faham Ahlussunnah Wal
jama`ah, seperti Muhammad Ibnu Tumart yang kemudian mendirikan kerajaan
Muwahhid (1130-1269 M) di afrika Utara dan Spanyol. Shalahuddin al-Ayyuby
di Mesir, sebagai pengganti dari aliran Syi`ah, dan kerajaan Fatimiyah yang
23 http://spiritilmupengetahuan.blogspot.com/ (diakses 25 oktober 2013)
24 Ibid,M.Hanafi, Theologi Islam ... ... ...,hlm.108
25 Ibid, Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran ... ... ... hlm. 76

11

berkuasa di Mesir (969-1171 M). Di dunia Islam bagian timur sampai ke India
dibawa oleh Muhammad al-Gaznawi (999-1030 M), kemudian membentuk dinasti
Gaznawi yang bekuasa di Afganistan dan Punjab (962-1186 M).
Asy-ariah merupakan aliran yang hidup hingga sekarang, berumur hampir
sepuluh abad. Aliran ini tumbuh pada tahun-tahun pertama abad ke-4 H, hingga
sekarang masih ada, walaupun harus menghadapi tekanan kira-kira 1½ abad. Satu
saat bertarung melawan kaum rasionalis, yang diwakili khususnya oleh Mutazilah,
akan tetapi kadang juga melawan naqliyin (tekstualis) yang diwakili oleh salaf
ekstrim dari kalangan Hanabilan dan Karamiah. Baru kemudian ajaran-ajaran
aliran ini bisa mendominasi dan menjadi mazhab resmi negara di dunia Sunni,
yang dalam rangka itu ia ditopang oleh kondisi sosial-politik.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

12

1. Nama lengkap Al-Asy`ari adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq
bin Salim bin Isma`il bin Abdillah bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa
Al-Asy`ari. Lahirkan pada tahun 260 H di Bashrah, Irak. Pemikiran –
Pemikiran Abu Hasan Al-Asy`ari berkisar: Konsep tentang Tuhan dan
Hakikat Sifat-sifat Tuhan, Kehendak bebas, Akal dan Wahyu serta
Kriteria Baik dan Buruk, Kemakhlukan Al-Qur`an, Masalah Melihat
Tuhan.
2. Al-Baqillani, Bernama lengkap Muhammad bin Thayyib bin Muhammad
bin Ja'far bin al-Qasim, yang lebih dikenal dengan al-Qadhi Abu Bakr alBaqillani. Al- Juwaini bernama lengkap Abu al-Ma'ali ibn Rukn al-Islam
Abi Muhammad al-Juwayni al-Naysaburi al-Shafi'i, dikenal juga dengan
dengan Imam al-Haramayn. Al-Ghazali Nama lengkapnya adalah Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, lahir pada 450
H di Thus, suatu kota kecil di Khurasan,Iran.
3. Asy’ariyah mulai mengalami perkembangan ketika perdana menteri Tugril
yang menganut pandangan Mu’tazilah wafat, dan digantikan oleh Alp
Arselan yang mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Kunduri.
Perdana menteri baru itu adalah penganut aliran Asy’ariah dan atas
usahanya pula aliran ini cepat berkembang.
B. Kritik dan Saran
Dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati, walaupun makalah ini
masih banyak kekurangan dan kelemahan, penulis berharap semoga dapat
membawa manfaat dengan memberikan tambahan pengetahuan bagi penulis
khususnya, dan umumnya bagi pembaca.
Kritik dan saran yang bersifat membangung sangat penulis butuhkan guna
memperbaiki Makalah yang penulis buat selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

13

Hanafi,1992 Theologi Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna
Iskandar Al-Barsany, Noer 2001,Pemikiran Kalam Imam Abu Mansur AlMaturidi (Perbandingan dengan Kalam Mu`tazilah da Al-Asy`ari, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Nasution,Harun 1986,Teologi Islam Aliran-Aliran Sejaran Analisa Perbandingan,
Jakarta: UI Press
Rozak, Rosihon Anwar, 2003 Ilmu Kalam, Bandung: PT. Pustaka Setia
Sharif, M.M, 2004 Aliran-Aliran Filsafat Islam: Mu`tazilah, Asy`ariyah,
Maturidiyah, Thahawiyah, Zhahirriyah, Ihwan al-Shafa, Bandung: Nuansa
Cendekia
http://fatwasyafii.wordpress.com/ (diakses pada 25 Oktober 2013)
http://spiritilmupengetahuan.blogspot.com/ (diakses 25 oktober 2013)

14