Buku Ajar Pengembangan Pribadi Konselor.

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

PRAKATA
Peningkatan profesionalisasi bimbingan dan konseling melalui pendidikan pra
jabatan maupun dalam jabatan, kualifikasi pribadi konselor menjadi kunci keberhasilan
pelayanan bimbingan dan konseling. Karakteristik pribadi konselor yang tinggi menjadi
pendukung utama terciptanya komunikasi profesi konselor yang bermartabat.
Komunikasi konselor yang berkualitas dan bermartatabat tergambarkan melalui
perwujudan diri konselor selama menjalani aktivitas profesional. Salah satu faktor
penting yang ikut menjadi penentu keberhasilan komunikasi profesional konselor adalah
kemampuan dalam pengembangan pribadi konselor.
Masalah pengembangan pribadi konselor merupakan masalah yang sangat penting
bagi para mahasiswa bimbingan dan konseling dalam mempersiapkan diri mencapai
profesionalitasnya dan keberhasilan belajarnya sehingga dapat mandiri dalam
penanganan dan pelaksanaan bimbingan dan konseling kelak dikemudian waktu.
Materi pengembangan pribadi konselor, dalam modul 4 ini akan diantarkan
kepada suatu pemahaman mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan
pengembangan pribadi konselor dan bagaimana penerapannya dalam proses pelayanan
bimbingna dan konseling. Mudah-mudahan mahasiswa dapat memahami secara

menyeluruh apa yang diuraikan dalam modul ini, sebab pemahaman tersebut akan
menjadi bekal dalam profesionalisasi pelaksanaan bimbingan dan konseling yang
bermakna bagi para siswa dan bermartabat bagi konselor di sekolah. Setelah mempelajari
modul ini, diharapkan Anda mampu menganalisis implikasi penerapan konsep
pengembangan pribadi konselor dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling.
Buku ajar ini dapat dibaca oleh konselor pra jabatan atau mahasiswa bimbingan
konseling yang masih dalam proses pembentukan melalui pendidikan dijurusan
bimbingan dan konseling program S1. Buku ajar ini juga dapat dibaca pula oleh
konselor dalam jabatan yang selalu meng up-date (memperbaharui) dan meningkatan
kualifikasi pengembangan pribadi konselor.
Buku ajar pengembangan pribadi konselor mengacu pada Standar Kompetensi
Konselor setelah mahasiswa mempelajari buku ajar ini mahasiswa diharap memiliki
1

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

kesadaran dan komitmen dan mampu menampilkan keutuhan pribadi yang mendasari
pengembangan pribadi konselor. Secara lebih khusus, setelah mahasiswa mempelajari

buku ajar ini mahasiswa diharapkan dapat:
1. Mengaplikasikan sikap, keterampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor
dalam landasan dan identitas religius.
2. Mengaplikasikan sikap, keterampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor
dalam pengembangan empati konselor.
3. Mengaplikasikan sikap, keterampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor
dalam refleksi integritas pribadi konselor.
4. Mengaplikasikan sikap, keterampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor
dalam stress dan frustrasi .
5. Mengaplikasikan sikap, keterampilan,, kesadaran dan komitmen selaku konselor
dalam berfikir positif.
6. Mengaplikasikan sikap, keterampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor
dalam nilai-nilai kehidupan.
7. Mengaplikasikan sikap, keterampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor
dalam prasangka dan stereotif budaya.
8. Mengaplikasikan sikap, keterampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor
dalam manajemen diri.
Buku ajar ini masih banyak kekurangan dan kelemahan disanasini, bagi para
pengguna maupun pembaca buku ajar ini penulis mengharapkan masukan untuk
menyempurnakan buku ajar ini, semoga apa yang sudah panulis tuangkan ide-ide dan

gagasan-gagasan ini semoga bermanfaat bagi ilmu pengetahuan di bidang pengembangan
pribadi konselor.
Karya buku ajar ini semoga dapat menjadi penyemangat penulis dalam mengabdi
pada pendidikan, dan penyemangat bagi anak-anak dan menantu tercinta, Anangga, M.I
Amal, M.Idham F, Dan M. Lutfi A. Selanjutnya terima kasih atas berkenannya
menggunakan buku ini untuk kepentingan pendidikan.
Semarang,

30

Nopember

2012
2

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .........................................................................................

i

PRAKATA..........................................................................................................

ii

DAFTAR ISI......................................................................................................

iii

BAB I Pengembangan Landasan dan Identitas Religius diri Konselor ……..
1. Hakikat Manusia Menurut Agama ………………………………….
2. Identitas Religius dan Spiritual Konselor…………………..……….
3. Kontribusi Landasan Religius Terhadap Perkembangan
Pribadi Konselor ……..………………………………..…………...

4. Perilaku Membantu yang Dilandasi Nilai Keagamaan/
Kerohanian…...……….……………………………………………..
5. Ringkasan …………………………………………………………….
6. Latihan ……………………………………………………………….

1
1
2
7

7
8
10

BAB II Pengembangan Empati Konselor…………………………………….
1. Pengertian Empati ……………………….………………………….
2. Unsur-unsur Empati ………………………………………………….
3. Latihan Empati Konselor……………………….……………………
4. Latihan Empati bagi Calon Konselor……..……….…………………
5. Aspek Intelektual……………………………………………………....

6. Konsep Empati Budaya Dalam Keefektifan Konseling……….……….
7. Stereotip…………………………………………………………………
8. Ringkasan …………………………………………………………….
9. Latihan ……………………………………………………………….

11
12
15
21
22
23
23
24
26
27

BAB III Pengembangan Refleksi Integritas Pribadi Dan Stabilitas
Kepribadian Konselor …………………………………………………
1. Integritas Konselor…………………………………………………….
2. Integritas ………………………………..…………………………….

3. Stabilitas ……………………………………………………………..
4. Bentuk- bentuk Integritas Dan Stabilitas Pribadi Konselor………….
5. Ringkasan …………………………………………………………….
6. Latihan ……………………………………………………………….

29
29
31
33
35
38
40

BAB IV Pengembangan Pribadi Terhadap Toleransi Stress dan Frustasi…….

41
3

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor

Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

1. Pengembangan Toleransi Stress……………………………………….
2. Faktor-faktor Penyebab Stress……………..………….………………
3. Pengelolaan Stress………………………..…………..………………..`
4. Jenis-jenis Stress………………………………………………………
5. Frustasi ………………………..……………………………………....
6. Reaksi Frustasi ………………………………………………………..
7. Faktor Penyebab Frustasi…………………………………..…..……….
8. Pengelolaan Frustasi …………………………………………………..
9. Pengelompokkan Frustasi…..………………………………………….
10. Ringkasan …………………..………………………………………….
11. Latihan…………………………………………………………………

41
43
45
47
51
52

53
54
55
56
57

BAB V Pengembangan Berfikir Positif Konselor……………………………
1. Konsep Berfikir Positif……………………………………………….
2. Ciri-Ciri Orang Berpikiran Positif …………………………………..
3. Pilar Konsep Berfikir positif ………………………………………….
4. Manfaat Berpikir Positif (Positif Thinking)…………………………
5. Latihan Dalam Keterampilan Berfikir Positif…………………………
6. Manfaat Berpikir Positif………………………………………………
7. Langkah-langkah Praktis dan Strategi Berpikir Positif……….…… .
8. Kiat Mengembangkan Sikap Positif……………………………………
9. Cara Membangun Sikap Berpikir Positif……………………………….
10. Ringkasan …………………..………………………………………….
11. Latihan…………………………………………………………………

58

58
60
61
62
64
65
67
68
69
71
72

BAB VI Pengembangan Nilai-Nilai Kehidupan Pribadi Konselor……….……
1. Konsep Nilai Kehidupan……………………………………………….
2. Hubungan Nilai dengan Pribadi Konselor…………………………….
3. Kualitas Nilai Kepribadian Konselor…………………………………..
4. Ringkasan …………………..………………………………………….
5. Latihan…………………………………………………………………

74

74
78
80
83
84

BAB VII Prasangka Dan Stereotif Budaya…………………………………….
1. Pengertian Prasangka…………………………………………………..
2. Stereotif Budaya………………………………………………………..

86
87
88

3.
4.
5.
6.

Konsep Dasar Etik Emik………………………………………………
Konsep Dasar Bias Budaya yang Menghambat Konseling…………….
Ringkasan …………………..………………………………………….
Latihan…………………………………………………………………

BAB VIII Pengembangan Manajemen Diri Konselor………………………..
1. Konsep Dasar Self-Management……………………………………….....

92
94
95
96
97
97
4

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

2. Teknik Konseling Self-Management
…….……………………………
3. Ringkasan ………..……………..………………………………………….
4. Latihan………………………………………………………………………

103
118
119

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….

120

BAB I
PENGEMBANGAN LANDASAN DAN IDENTITAS RELIGIUS
PENGEMBANGAN DIRI KONSELOR

5

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

Kompetensi Dasar:
Setelah membahas materi ini mahasiswa dapat mengaplikasikan sikap, ketrampilan,
kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam landasan dan identitas religius.
Landasan religus dalam bimbingan dan konseling pada dasarnya agar konselor
menetapkan konseli sebagai makhluk Tuhan dengan segenap kemuliaannya menjadi
fokus sentral upaya bimbingan dan konseling. Landasan religius terkait dengan upaya
mengintegrasikan nilai-nilai agama dalam proses bimbingan dan konseling. Untuk
mewujudkan hal itu, maka sudah sepatutnya agama mendapat tempat dalam praktekpraktek konseling. Dalam pembahasan ini akan dibahas bagaimana kontribusi landasan
religius terhadap pengembangan pribadi konselor.
1. Hakikat Manusia Menurut Agama
Konselor dituntut memiliki pemahaman tentang hakikat manusia menurut agama
dan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Sifat hakiki manusia adalah makhluk
beragam (Homoreligius) yang memiliki fitrah untuk menerima nilai kebenaran yang
bersumber dari agama. Fitrah beragama ini menjadi potensi arah perkembangan amat
tergantung pada kehidupan beragama. Lingkungan dimana seseorang itu hidup.
memberikan ajaran bimbingan dengan pemberian dorongan dan keteladanan yang baik
dalam mengamalkan nilai-nilai agama, menuju arah perkembangan menjadi individu
yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur.
Kemampuan anak untuk dapat mengembangkan potensi baik dan mengendalikan
potensi buruknya itu terjadi secara otomaatis tetapi memerlukan bantuan orang lain,
yakni melalui pendidikan agama (bimbingan, pengajaran dan pelatihan) terutama dari
orang tuanya sebagai pendidik pertama dan utama di lingkungan keluarga.
Melalui penerapan dan mengamalkan pelajaran agama, berarti manusia telah
mewujudkan potensi jati dirinya, identitas dirinya yang hakiki yaitu sebagai hamba Allah
dan sebagai khalifah dimuka bumi. Sebagai hamba dan khalifah Allah, manusia
mempunyai tugas suci yaitu ibadah atau mengabdi kepadaNya.

6

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

2. Identitas Religius dan Spiritual Konselor
Landasan religius dalam bimbingan dan konseling mengimplikasikan bahwa
konselor sebagai “helper” pemberi bantuan dituntut untuk memiliki pemahaman akan
nilai-nilai agama, dan komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan sehari-hari, khususnya dalam memberikan bimbingan dan konseling kepada
konseli. Didalam proses bantuan yang diberikan itu bernilai ibadah, maka kegiatan
tersebut harus didasarkan kepada keikhlasan dan kesabaran.
Identitas religius dan spiritual konselor menjadi hal yang penting, berkaitan
dengan hal tersebut, Prayitno dan Erman Amti (dalam Syamsu Yusuf, 2009: 153),
mengemukakan persyaratan bagi konselor yaitu sebagai berikut:
1. Konselor hendaknya orang yang beragama dan mengamalkan dengan baik
keimanannya sesuai dengan agama yang dianut.
2. Konselor sedapat-dapatnya mentransfer kaidah-kaidah agama secara garis besar yang
relevan dengan masalah konseli.
Perubahan-perubahan sosial yang cepat (rapid sosial changes), sebagai
konsekuensi dari modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
telah mempengaruhi nilai-nilai moral etika dan gaya hidup (value system and way of life).
Tidak semua orang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan sosial
tersebut, kadang-kadang dapat membuat individu jatuh sakit atau mengalami gangguan
penyesuaian diri (adjustment disorder) (Corsini, 1981).
Perubahan-perubahan tata nilai kehidupan (psycho-social changes), antara
lain dapat kita lihat pada:
1. Pola hidup masyarakat yang semula sosial-religius cenderung ke arah pola kehidupan
masyarakat individual, materialis dan sekuler;
2. Pola hidup yang semula sederhana dan produktif, cenderung ke arah pola hidup
mewah, konsumtif, dan serba instan;
3. Struktur keluarga yang semula keluarga besar (extended family), cenderung ke arah
keluarga inti (nuclear family), bahkan sampai pada keluarga tunggal (single parent
family)
4. Hubungan kekeluargaan yang semula erat dan kuat, cenderung menjadi longgar dan
rapuh (loose family relationship);

7

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

5. Ambisi karier dan materi yang sebelumnya menganut azas-azas hukum dan moral
serta etika, cenderung berpola tujuan menghalalkan segala cara, misalnya dengan
melakukan KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme).
Fenomena psikososial tersebut dengan segala keterkaitannya memunculkan
berbagai macam permasalahan kehidupan dan pada sebagian orang dapat merupakan
beban atau tekanan mental yang disebut sebagai stresor psikososial. Kita hendaknya
paham dan sadar bahwa perubahan psikososial memungkinkan individu bebas
meningkatkan pengharapan hidup, dapat menjadi sumber motivasi untuk mencapai
tingkat kehidupan yang lebih baik, tetapi dapat juga menyebabkan individu tidak akan
pernah merasa puas dengan apa yang telah dicapainya.
Fenomena social ini dapat mengubah seseorang, situasi kehidupan seperti itu
memungkinkan umat manusia menjadi insan yang serakah, dan berani melakukan
perilaku menyimpang, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat (Calhoun & Acocella, 1995: 10). Rogers (William A. Wallace, 1986),
berpendapat bahwa “manusia adalah makhluk yang tidak pernah selesai”. Karena itu
wajar apabila manusia dipandang sebagai individu yang sedang berada dalam proses
berkembang atau menjadi (becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau
kemandirian.
Di samping itu, terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan individu
tidak selalu berlangsung secara mulus, atau steril dari masalah. Dengan kata lain,
bagaimana upaya pendidikan berusaha agar proses perkembangan individu itu berjalan
dalam alur yang linier, lurus, atau searah dengan otensi, harapan, dan nilai-nilai yang
seseorang anut. Perkembangan manusia tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik,
psikis, maupun sosial. Sifat inherent lingkungan adalah perubahan, perubahan yang
terjadi dalam lingkungan, dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) manusia sebagai
bagian dari warga masyarakat. Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di
luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan diskontinuitas perkembangan
perilaku individu, seperti terjadinya kemandegan (stagnasi) perkembangan, masalahmasalah pribadi, atau penyimpangan-penyimpangan perilaku.

8

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

Perubahan iklim lingkungan ternyata mempengaruhi perkembangan pola perilaku
atau gaya hidup sebagian manusia yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah
moral (akhlaq yang mulia). Pelanggaran tata tertib di jalan, maraknya brandalan motor,
tawuran antarsekolah, antar daerah bahkan antar warga dalam suatu lingkungan wilayah,
minum minuman keras, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, narkotika, ekstasy, putau,
kriminalitas, dan pergaulan bebas, bahkan memandang manusia lain sebagai bahan untuk
dianiaya dan santapannya, merupakan contoh perilaku-perilaku yang menyimpang dari
kaidah moral.
Berkaitan dengan kehidupan ini, H. A. R. Tilaar (1999) mengemukakan bahwa
untuk menyikapi keadaan era globalisasi diperlukan munculnya manusia yang memiliki
sifat keunggulan, baik keunggulan secara

individualistic maupun keunggulan

partisipatoris. Keunggulan partisiapatoris adalah keunggulan manusia yang mampu
menggali dan mengembangkan potensinya untuk mencari jalan terbaik sehingga mampu
survive dalam kemajuan dan persaingan yang semakin tajam. Bukan berarti bahwa
mereka memiliki kebebasan untuk membunuh potensi manusia yang lainnya tetapi tetap
harus tumbuh bersama dalam keadaan sejahtera. Lebih jauh Suradinata (2003: 1-2)
menjelaskan bahwa upaya untuk membentuk pemikiran antisipatif terhadap segala
kemungkinan perubahan di masa datang adalah dengan menstimulasikan pemikiran
manusia secara diakronis dan sinkronis dalam konteks sejarah masa lampau dan etika saat
ini berlandas pada rasionalitas, motivasi, kebutuhan dan maksud suatu kegiatan.
Ketika norma-norma dalam masyarakat menjadi terjungkir balik, yang
memungkinkan manusia sulit mentransformasikannya ke dalam kenyataan kehidupanya,
hanya pribadi-pribadi yang kokoh dan mampu menyesuaikan dirilah yang akan mampu
bertahan. Mereka adalah pribadi-pribadi yang memiliki pemahaman diri yang positif,
memaknai perubahan lingkungan yang ada di depannya, memilih tindakan-tindakan yang
akan digunakan dalam menghadapi berbagai tantangan dan masalah kehidupan, tidak
mudah tergoda dengan kesenangan sesaat, memandang masalah sebagai tantangan untuk
lebih berhasil, berpikir ke depan, dan mensyukuri keberhasilan yang diperoleh (Jenifer
James, 1998, dalam SP. Sukartini, 2002: 4).

9

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

Lebih jauh, Dahlan (2002: 139-145), mengemukakan

bahwa dalam situasi

dimana peradaban mengalami titik balik, pengembangan sumber daya manusia
hendaknya bertumpu pada keunggulan

akhlak dan moral bangsa. Jika pada bidang

akhlak dan moral ini cukup berhasil, maka dalam mengembangkan keunggulan di bidang
lainnya tidak akan begitu sulit.
Presiden Yudhoyono (2010) dalam pidatonya menyampaikan tentang pentingnya
pendidikan karakter. Beliau menyatakan bahwa, pembangunan watak (character
building) adalah amat penting. kita ingin membangun manusia Indonesia yang berakhlak,
berbudi pekerti, dan berperilaku baik. Bangsa kita ingin pula memiliki peradaban yang
unggul dan mulia. Peradaban demikian dapat kita capai apabila masyarakat kita juga
merupakan masyarakat yang baik (good society).
Masyarakat idaman seperti ini dapat kita wujudkan manakala manusia-manusia
Indonesia adalah manusia yang berakhlak dan berwatak baik, manusia yang bermoral dan
beretika baik, serta manusia yang bertutur dan berperilaku baik pula. Menggarisbawahi
pentingnya pendidikan dan pembangunan karakter bangsa dalam arti luas, maka bangsa
yang berkarakter unggul, di samping tercermin dari moral, etika dan budi pekerti yang
baik, juga ditandai dengan semangat, tekad dan energi yang kuat, dengan pikiran yang
positif dari sikap yang optimis, serta dengan rasa persaudaraan, persatuan dan
kebersarnaan yang tinggi. Inilah totalitas dari karakter bangsa yang kuat dan unggul, yang
pada kelanjutannya bisa meningkatkan kemandirian dan daya saing bangsa, menuju
Indonesia yang maju, bermartabat dan sejahtera di Abad 21 ini (Sambutan Mendiknas, 2
Mei 2010).
Sehubungan dengan pembangunan karakter dan budaya bangsa, pemeluk Islam
tidak hanya cukup melihat sejumlah karakter bangsa yang tertulis dalam UUSPN, tetapi
hendaknya menghayati dan mencontoh keteladanan yang ditunjukkan Nabi Muhammad
Rosulullah Saw (Mahmud Al Misri, 2002: 6-61), seperti: 1) ikhlas, 2) tepat janji,
3)perhatian, 4) yakin, 5) tawakal, 6) berbuat baik, 7) rendah hati, 8) berakhlak baik, 9)
taqwa, 10) belas kasihan/empati, 11) pemberani, 12) takut kepada Allah, 13) adil, 14)
penolong, 15) zuhud, 16) sabar, 17) keperwiraan, 18) kehati - hatian (wara), 19) penutup
aib orang, 20) toleran, 21) menjaga lisan, 22) pemaaf, 23) memiliki rasa malu, 24) ridlo
10

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

atau rela, 25) penyayang, 26) jujur, 27) amanat, 28) syukur, 29) berseri-seri wajahnya, 30)
menjauhkan dari yang haram, 31) melapangkan kesempatan, 32) percaya atas kebesaran
Allah, 33) mengharapkan keridhoan Allah, 34) lemah lembut, 35) ramah, 36) pemaaf dan
pengampun, 37) penyimpan rahasia, 38) berlomba dalam kebaikan, 39) pemberi nasihat,
40) wasiat, dan 41) pembawa kabar baik.
Kemajuan zaman yang memberikan peluang dan tantangan sama besarnya
memunculkan kultur kehidupan manusia yang bukan hanya berorientasi pada aspek
keunggulan dan kecepatan waktu tetapi secara terbuka menuntut proses pembelajaran dan
pelaksanaan pelayanan konseling sebagai wahana dan fasilitas yang terorganisir untuk
menjadikan manusia memiliki pemenuhan kebutuhan optimalisasinya.
Kebutuhan belajar individu sebagai pribadi dan sosial mengimplikasikan bahwa
proses pembelajaran tidak hanya terbatas kepada sekat persekolahan dan guru atau dosen
tidak dijadikan sebagai satu-satunya sumber belajar tetapi lebih terbuka kepada
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dengan proses pembelajaran E–
learning (Sayling Wen, 2003: 92). Implikasi pemenuhan kebutuhan belajar individu
(learning needs) sebagai pribadi dan makhluk social mengisyaratkan pembelajaran tidak
hanya terfokus kepada empat hal, yaitu learning to know, learning to do, learning to live
together dan learning to be, sebagaimana pilar pendidikan yang dikemas badan
pendidikan dan kebudayaan PBB (UNESCO, 1996), tetapi individu pun dituntut untuk
belajar bagaimana belajar dilakukan (learning how to learn). Dalam konteks yang
terakhir itu (learning how to learn), nilai-nilai etis dan moral sebagai landasan kehidupan
diharapkan memberikan warna positif bagi perilaku belajar dan kehidupan manusia pada
umumnya.

3. Kontribusi Landasan Religius Terhadap Perkembangan Pribadi Konselor
Sumbangan landasan religius terhadap perkembangan pribadi konselor itu terkait
dengan hal-hal dibawah ini:
1) Memelihara Fitrah
Pribadi manusia dalam keadaan suci, namun pribadi pada diri individu memiliki hawa
nafsu dan juga ada pihak luar yang senantiasa berusaha menggoda atau
11

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

menyelewengkan pribadi tersebut dari kebenaran. Maka agar manusia dapat
mengendalikan hawa nafsu itu, maka pada diri konselor tersebut harus beragama
dengan beriman dan beramal saleh atau melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya.
2) Memelihara Jiwa
Dalam memelihara kemuliaan jiwa manusia, agama mengharamkan manusia
melakukan penganiayaan, penyiksaan dan pembunuhan baik terhadap dirinya maupun
kepada orang lain.
4. Memelihara Akal
Allah telah memberikan karunia kepada manusia yang tidak diberikan kepada
makhluk lainnya, yaitu akal. Karena pentingnya akal ini, maka agama memberi
petunjuk kepada manusia untuk mengembangkan dan memeliharanya, yaitu
hendaknya manusia tersebut mensyukuri nikmat akal itu dengan cara memanfaatkan
seoptimal mungkin untuk meruusak akal, belajar, atau mencari ilmu. Serta
menjauhkan diri dari perbuatan yang merusak akal seperti meminum-minuman keras,
menggunakan narkoba, dan hal-hal yang merusak keberfungsian akal yang sehat.
5. Memelihara Keturunan
Agama mengajarkan kepada manusia tentang cara memelihara keturunan atau sistem
regenerasi yang suci. Aturan atau norma agama untuk memelihara keturunan itu
adalah pernikahan.
4. Perilaku Membantu yang Dilandasi Nilai Keagamaan/Kerohanian
Aktifitas profesi yang member layanan bantuan tidak bisa lepas dengan
perilaku membantu. Perilaku membatu yang mensejahtarakan dan membahagiakan
kehidupan orang yang dibantu itu perlu kiranya dilandasi nilai-nilai keagamaan atau
nilai kerohanian. Bagi profesi yang membantu itu maka perlu memperhatikan hal-hal
berikut.
1. Makna pemberian bantuan
Pemberian bantuan merupakan istilah yang sukar untuk dijelaskan, karena
mempunyai arti yang sangat individual, dalam arti maka sangat tergantung pada
orang yang berkepentingan. Upaya yang berupa pemberian bantuan dapat ditafsirkan
sebagai penghinaan atau sebagai pembuatan turut campur seseorang dengan urusan
oranglain. Prayitno dan Erman Amti (dalam Syamsu Yusuf, 2009: 153)
12

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

mengemukakan persyaratan bagi konselor, yaitu sebagai berikut: (1) Konselor
hendaknya orang yang beragama; (2) Konselor sedapat-dapatnya mampu mentransfer
kaidah-kaidah agama.
2. Peranan Nilai Agama Dalam Menghadapi Kehidupan Global.
Agama merupakan uang mengikat jiwa untuk kembali kepada Tuhan adalah
agama. Sejarah agama berumur setua dengan sejarah manusia. Seluruh agama
merupakan perpaduan kepercayaan dan sejumlah upacara. Tuhan menciptakan alam
atau “kita harus mati untuk membebaskan jiwa dari beban daging badan kasar”.
Sedang yang lain lebih bersifat khusus yang pada umumnya berkenaan tentang
bagaimana seharusnya kita mengatur tingkah laku dibumi.
Dasar-dasar umum dengan istilah nilai (value) sedangkan hal-hal yang lebih
khusus sifatnya sebagai kepercayaan (belief). Kepercayaan adalah penerapan konkrit
nilai-nilai yang kita miliki. Tujuan terakhir agama bersifat tidak nyata. Keberhasilan
didunia ini yang perlu diinterpretasikan sebagai suatu yang absolute. Mempertebal iman
dan mental untuk menuju kepada pelaksanaan ajaran agama masing-masing guna
terciptanya suatu kehidupan damai didunia dan diakhirat.
Ringkasan
Nilai-nilai agama dalam proses bimbingan dan konseling perlu teringrasi dalam praktekpraktek dalam bimbingan dan konseling karena landasan religus menjadi fundamental.
Konselor dituntut memiliki pemahaman tentang hakikat manusia menurut agama dan
peran agama dalam kehidupan umat manusia. Sifat hakiki manusia adalah makhluk
beragam. Yang menjadi sisi penting bari pribadi konselor, konselor hendaknya orang
yang beragama dan mengamalkan dengan baik keimanannya sesuai dengan agama yang
dianut. Disamping itu onselor sedapat-dapatnya mentransfer kaidah-kaidah agama secara
garis besar yang relevan dengan masalah konseli.
Perubahan-perubahan sosial yang cepat yang tidak dapat terelakkan sebagai
konsekuensi dari modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
dapat mempengaruhi nilai-nilai moral etika dan gaya hidup. Perubahan-perubahan tata
nilai kehidupan antara lain pola hidup masyarakat yang semula sosial-religius cenderung
13

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

ke arah pola kehidupan masyarakat individual, materialis dan sekuler. Pola hidup yang
semula sederhana dan produktif, cenderung ke arah pola hidup mewah, konsumtif, dan
serba instan. Struktur keluarga yang semula keluarga besar (extended family), cenderung
ke arah keluarga inti (nuclear family), bahkan sampai pada keluarga tunggal (single
parent family).
Sehubungan dengan berbagai perubahan kemajuan jaman dan pembangunan
karakter budaya bangsa, maka pribadi konselor yang memgembangkan landasan religious
maka bdalam elaksanakan layanan praktik konseling dapat pulan mengembangkan nilainilai agama yang dapat diterima secara universal meliputi pengembangan pribadi yang:
ikhlas, tepat janji, perhatian, yakin, tawakal, berbuat baik, rendah hati, berakhlak baik,
taqwa, belas kasihan/empati, pemberani, takut kepada Tuhan, adil, penolong, zuhud,
sabar, keperwiraan, kehati - hatian (wara), penutup aib orang, toleran, menjaga lisan,
pemaaf, memiliki rasa malu, ridlo atau rela, penyayang, jujur, amanat, syukur, berseri-seri
wajahnya, menjauhkan dari yang haram, melapangkan kesempatan, percaya atas
kebesaran Allah, mengharapkan keridhoan Allah, lemah lembut, ramah, pemaaf dan
pengampun, penyimpan rahasia, berlomba dalam kebaikan, pemberi nasihat, wasiat, dan
pembawa kabar baik.

Latihan
1. Diskusikan bersama kelompok Anda mengapa konselor harus memiliki landasan
religius yang berdasarkan keimanan. Berilah contoh pula sikap kepatutan dan ketidak
patutan konselor yang berlandaskan religious dan tidak.
2. Diskusikan nilai- nilai religi konselor yang mempribadi yang berdasarkan keimanan
dalam pelaksanaan pelayanan konseling yang seperti apa. Jabarkan melaui contok
praktis kehidupan sehari hari dalam pelaksanaan konseling.
3. Diskusikan perlunya kontribusi landasan religius terhadap perkembangan pribadi
konselor. Bagaimana penerapannya dalam bimbingan dan konseling

14

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

4. Kembangkan nilai-nilai religius yang dapat di terapkan dalam pengembnagan pribadi
konselor. Berilah contoh yang sesuai dan analisiskan yang yang tidak sesuai dengan
nilai religious.

BAB II
PENGEMBANGAN EMPATI KONSELOR
Kompetensi dasar:
Setelah mempelajari materi ini diharap dapat mengaplikasikan sikap, ketrampilan,
kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam pengembangan empati konselor.
Empati budaya dalam bimbingan dan konseling merupakan hal yang sangat
penting. Mengingat proses konseling merupakan sebuah bantuan melalui interaksi antara
15

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

dua orang yang berbeda latar belakang budaya. Salah satu masalah yang sering muncul
adalah kurangnya rasa empati dalam berkomunikasi yang bisa menyebabkan
kesalahpahaman interaksi komunikasi dalam konseling sehingga konseli tidak mendapat
manfaat yang dari proses konseling.
Empati dalam konseling justru dianggap sebagai salah satu cara yang efektif
dalam usaha mengenali, memahami, dan mengevaluasi orang lain karena dimungkinkan
seseorang itu masuk dan menjadi sama dengan orang lain. Melalui berempati, seseorang
bisa benar-benar merasakan dan menghayati orang lain termasuk bagaimana seseorang
mengamati dan menghadapi masalah dan keadaannya yang sesusai dengan budayanya.
Kehidupan konseli merupakan rahasia yang sulit untuk ditembus. Bahkan
keadaannya begitu berlapis. Konseli yang kita hadapi sering tampil hanya dipermalukan
saja, dan jarang menampilkan dunia dalam mereka. Kecuali terhadap orang yang sangat
dipercayai. Orang yang dipercayai oleh konseli adalah yang memahami dan dapat
merasakan perasaan, pengalaman, serta pikiran konseli. Konselor yang empati mudah
memasuki ”dunia dalam” konseli sehingga konseli tersentuh dengan sikap konselor.
Sebagai calon konselor harus dilatih agar peka terhadap perasaan konseli,
memahami pikirannya, dan mampu merasakan perasaan dan pengalaman konseli. Untuk
mencapai hal tersebut maka dilatihkan teknik empati. Latihan tersebut mencakup
ungkapan perasaan konselor mengenai perasaan, pengalaman dan pikiran. Setiap budaya
pasti memiliki adat yang berbeda yang akan membentuk kebiasaaan seseorang dalam
bersikap. Ketika konselor dan konseli bertemu dalam proses konseling hendaknya
konselor terlebih dahulu memahami latar buadayanya. Misalnya masalah dalam
komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan
penerima pesannya adalah anggota budaya yang lainnya (konselor-konseli). Dengan
keadaan demikian konselor bisa saja dihadapkan kepada masalah yang ada dalam situasi
di mana suatu pesan dipahami dengan cara yang berbeda sesuai dengan budaya yang lain.
Oleh karena itu konselor harus menerapkan empati budaya agar proses konseling bisa
terlaksana dengan baik.
1. Pengertian Empati
16

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

Empati dari Bahasa Yunani (εμπάθεια yang berarti “ketertarikan fisik”
didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan
merasakan perasaan orang lain. Karena pikiran, kepercayaan, dan keinginan seseorang
berhubungan dengan perasaannya, seseorang yang berempati akan mampu mengetahui
pikiran dan mood orang lain. Empati sering dianggap sebagai semacam resonansi
perasaan.
Empati adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana merasakan perasaan
orang lain. Empati berperan penting dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari
pengasuhan, pendidikan, manajemen, hingga tindakan bela rasa dan percintaan. Empati
dibangun pada lingkup self-awareness (kesadaran diri). Makin terbuka terhadap emosi
kita sendiri, makin terampil kita dalam memahami perasaan orang lain. Emosi tidak
banyak diekspresikan dalam kata-kata, justru ia lebih banyak diekspresikan dalam
isyarat-isyarat nonverbal, seperti intonasi suara, gerakan bagian tubuh, ekspresi wajah.
Maka kemampuan empati terutama melibatkan kemampuan seseorang untuk membaca
perasaan lewat pemahaman terhadap isyarat-isyarat nonverbal orang lain.
Secara sederhana, empati dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk
membayangkan diri sendiri berada pada tempat dan pemahaman yang dimiliki orang lain,
mencakup perasaan, hasrat, ide-ide, dan tindakan-tindakannya. Istilah ini awalnya biasa
digunakan dengan rujukan khusus pengalaman estetis. Namun belakangan, istilah ini
diterapkan lebih luas dalam hubungan interpersonal. Empati dinilai penting peranannya
dalam meningkatkan kualitas positif hubungan interpersonal.
Empati merupakan kemampuan konselor untuk memahami permasalahan konseli,
melihat melalui sudut pandang konseli dan latar belakang budayanya, peka terhadap
perasaan-perasaan konseli, sehingga konselor mengetahui bagaimana konseli merasakan
perasaanya. Dalam hal ini konselor diharapkan dapat memahami permasalahan konseli
tidak hanya pada permukaan, tetapi lebih dalam pada kondisi psikologis konseli. Jika
ketiga kondisi diatas dapat dimunculkan oleh konselor sebagai kualitas dalam hubungan
teurapeutik, dengan demikian, dapat diprediksikan aktivitas yang akan dialami konseli
dalam konseling adalah menjajaki perasaan dan sikapnya secara mendalam (Komalasari,
dkk. , 2011).
17

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

Empati dalam psikologi dan psikiatri yang berorientasi humanistik, merupakan
bagian penting dari teknik konseling. Carl Rogers (1975, dalam Cotton, 2001) merupakan
salah satu tokoh awal yang menunjukkan pentingnya empati dalam proses konseling.
Menurutnya, berempati berarti mempersepsi kerangka pikir internal orang lain secara
tepat mencakup unsur-unsur emosional dan cara-cara bertingkahlaku, disertai dengan
kepedulian seolah-olah diri sendiri adalah orang lain yang sedang dipersepsi tetapi tanpa
kehilangan kesadaran sedang mengandaikan sebagai orang lain. Dengan kata lain,
berempati adalah mengandaikan diri kita sebagai orang lain tanpa larut secara emosional
dalam kondisi orang yang diandaikan. Seorang konselor memerlukan empati untuk
memahami kondisi psikis konseli yang sedang dibantunya.
Sejalan dengan Rogers, Gallo (1989) menyatakan bahwa sebuah respon empati
mengandung baik dimensi kognitif maupun afektif. Istilah empati digunakan paling tidak
dalam dua pengertian: (1) sebuah respons kognitif utama untuk memahami bagaimana
orang lain merasa; (2) kebersamaan afektif yang setara dengan orang lain. Dengan
demikian, empati juga dapat dipahami sebagai pemahaman yang intim bahwa perasaanperasaan, pikiran-pikiran dan motif-motif seseorang dimengerti secara menyeluruh oleh
orang lain, disertai ungkapan penerimaan terhadap keadaan orang lain.
Cikal bakal empati dapat ditemu-kenali ketika bayi dalam kegelisahan mendengar
suara tangis bayi lainnya. Sejak usia sekitar satu tahun, anak mulai menyadari bahwa
penderitaan orang lain bukanlah penderitaannya sendiri, dan mulai pada usia tersebut
hingga dua setengah tahun, anak mengejahwantahkan "peniruan motorik", yaitu tindakan
meniru secara motorik penderitaan psikologis orang lain untuk makin memahami apa
yang dirasakan oleh orang lain yang menderita itu. Sejak usia dua setengah tahun, anak
makin menunjukkan perbedaan kepekaan terhadap kegelisahaan emosional orang lain.
Tumbuh-kembang empati terkait dengan cara orang tua mendisiplinkan anak mereka dan
terkait pula dengan kesempatan yang anak dapatkan untuk menyaksikan reaksi empatik
orang lain di hadapan orang-orang yang mengalami penderitaan psikologis. Pendisiplinan
yang dilakukan dengan mengajak anak memperhatikan penderitaan psikologis yang
terjadi sebagai akibat perilakunya yang salah, akan menumbuh-kembangkan keprihatinan
empatik anak itu.
18

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

Pengalaman penyetalaan emosional (attunement) berulang yang terjadi di tengah
hubungan orang tua dan anak, akan memberikan perasaan pada anak bahwa dirinya
diterima, ditanggapi dengan tepat, dan secara emosional terkait tepat dengan orang
tuanya. Sebaliknya, pengalaman ketidak-selarasan emosional berulang akan mendorong
anak untuk tidak mengekspresikan bahkan tidak merasakan emosinya. Keselarasan
emosional tidak diperagakan dengan sekedar menirukan apa yang dilakukan bayi atau
anak. Ia diwujudkan dengan menampilkan kembali perasaan-perasaan mendalam bayi
atau anak itu. Hubungan konseli-konselor/terapist dijalin untuk memberikan kembali
pengalaman keselarasan emosional kepada konseli. Dalam kajian psikoanalisis,
penghadiran kembali pengalaman keselarasan emosional ini oleh therapist/konselor
terhadap konselinya disebut miroring.
Martin Hoffman menegaskan bahwa akar-akar moralitas terdapat dalam empati,
karena empati terkait dengan pertimbangan moral ketika manusia menghadapi dilema
calon korban, yaitu mereka yang sedang dalam kesakitan, bahaya, atau kekurangan. Sejak
usia dua tahun, ketika anak sudah bisa menyadari bahwa dirinya bukanlah orang lain, ia
makin bisa berempati. Pada akhir masa kanak-kanak, empati meluas dan bisa terarah ke
penderitaan kelompok. Pada masa remaja kemampuan empati bertumbuh kembang
menjadi keyakinan untuk meringankan penderitaan dan mengurangi ketidak-adilan. Ini
semua melandasi tindakan altruistik manusia yang memiliki empati.
Dalam perkembangannya, empati menjadi terbukti bagian penting juga dalam
proses belajar mengajar. Untuk menjadi pengajar yang efektif, orang perlu memiliki
kemampuan ini. Seorang pengajar memerlukan empati untuk memahami kondisi
muridnya untuk dapat membantunya belajar dan memperoleh pengetahuan. Pengajar
yang tidak memahami perasaan-perasaan, pikiran-pikiran, motif-motif dan orientasi
tindakan muridnya akan sulit untuk membantu dan memfasilitasi kegiatan belajar muridmuridnya.
2. Unsur-unsur Empati
Secara umum, unsur-unsur empati adalah sebagai berikut:

19

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

1) Imajinasi yang tergantung kepada kemampuan membayangkan; di sini imajinasi
berfungsi untuk memungkinkan pengandaian diri seseorang sebagai orang lain.
2) Adanya kesadaran terhadap diri sendiri (self-awareness atau self-consciousness);
secara khusus pandangan positif terhadap diri sendiri, secara umum penerimaan
(dalam arti pengenalan) apa adanya terhadap kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
3) Adanya kesadaran terhadap orang lain; pengenalan dan perhatian terhadap orang lain;
secara khusus pandangan positif terhadap orang lain, secara umum penerimaan apa
adanya terhadap kelebihan dan kekurangan orang lain.
4) Adanya perasaan, hasrat, ide-ide dan representasi atau hasil tindakan baik pada orang
yang berempati maupun pada orang lain sebagai pihak yang diberi empati disertai
keterbukaan untuk saling memahami satu sama lain.
5) Ketersediaan sebuah kerangka pikir estetis; ini merupakan dasar untuk menampilkan
respons yang dianggap pantas dan memadai agar kesesuaian antara orang yang
berempati orang yang menjadi sasaran empati dapat tercapai (agar tidak menjadi
pelanggaran privasi atau perilaku sok tahu); kerangka pikir estetis selalu tergantung
pada budaya, masyarakat dan konteks jaman.
6) Ketersediaan sebuah kerangka pikir moral; dalam konteks pendidikan kerangka ini
merupakan panduan untuk pembentukan dan pengembangan kompetensi dan karakter
guru dan murid; juga tergantung kepada budaya masyarakat dan konteks jaman.
Empati, baik untuk pengajar maupun pelajar, semakin diperlukan dalam
pendidikan dalam upaya mencapai keberhasilan proses pembelajaran. Jika kita bertanya
apa karakteristik dari pelajar yang sukses maka banyak ahli psikologi pendidikan
menjawab: berpengetahuan, mampu menentukan diri sendiri, strategis dan empatik
(Jones, 1990).
Empati, merujuk Jones (1990), penting karena para profesional yang sukses dalam
bidang apapun (termasuk dosen sebagai peneliti dan akademisi) menunjuk kemampuan
komunikasi agar sukses dalam pekerjaannya. Mereka juga mampu memandang diri
sendiri dan dunia dari sudut pandang orang lain. Artinya mereka mampu mencermati dan
menilai keyakinan-keyakinan dan keadaan-keadaan orang lain dengan tetap berpegang
kepada tujuan mengembangkan pemahaman dan penghargaan.
20

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

Dari segi sosial, empati menjadi lebih penting lagi bagi seorang pengajar.
Hilangnya empati dapat melahirkan kecenderungan pengajar melakukan abuse dan
eksploitasi terhadap murid-muridnya. Kuatnya empati pada seorang pengajar merupakan
indikansI dari kesadaran diri, identitas diri yang sehat, penghargaan diri yang terkelola
dengan baik, dan kecintaan terhadap diri sendiri dalam arti positif. Di sisi lain, empati
menunjukkan juga adanya kematangan kognitif dan afektif dalam memahami orang lain,
kemampuan mencintai dan menghargai orang lain, serta kesiapan untuk hidup bersama
dan saling mengembangkan dengan orang lain. Empati merupakan ‘tembok karang’
moralitas seorang pengajar, bahwa ia mengajar, mengabdikan dirinya untuk
mengembangkan murid-muridnya, bukan untuk memanfaatkan dan mengambil untung
dari mereka.
Goleman mengetengahkan semacam biopsikososiogenesis empati (tinjauan
tentang kemunculan dan tumbuh-kembang empati pada perspektif biologis, psikologis,
sosial). Bahasan akar-akar empati oleh Goleman tidak dilakukan pada perspektif
konseling atau psikoterapi, tetapi lebih mengetengahkan empati sebagai nilai
kemanusiaan. Dalam kajian konseling dan psikoterapi betapa ditegaskan pentingnya
peran empati. Keefektifan proses konseling tak dapat dipungkiri antara lain ditentukan
oleh kemampuan empati konselor atau psikoterapis. Kemampuan empati tidak hanya
sebatas merasakan bagaimana perasaan orang lain, tetapi juga memerlukan kemampuan
mengartikulasikan perasaan tersebut, sehingga orang lain merasa dipahami (Blatner,
2002).
Salah satu cara dari berbagai teknik yang ada untuk mengembangkan kemampuan
empati adalah dengan teknik bermain peran. Role play atau bermain peran dinilai sebagai
teknik yang efektif dan akan membantu anak membentuk pemahaman yang lebih dalam
dan fleksibel (Harris, 1990), misal bagaimana rasanya berada pada posisi sebagai
orangtua, guru, teman yang dikucilkan.
Pada perspektif kesadaran multikultural yang semakin diperlukan di tengah
pendidikan, pelatihan, penelitian dan praktik konseling masa kini, pendidikan-pelatihan
konselor perlu mengejawantahkan berbagai upaya di antaranya:
1) Pencurahan pengalaman penyetalaan emosional (attunement) hari demi hari.
21

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

2) Praktik pendisiplinan yang berpretensi mengajak individu memahami penderitaan
psikologis orang lain serta;
3) Penampakan berulang teladan tanggapan empatik yang tepat terhadap orang lain yang
memerlukan.
Ketiga upaya pokok diatas itu perlu ditumbuh-kembangkan dalam iklim relasi
pada setiap pendidkan-pelatihan para calon konselor agar iklim relasi ini dapat berperan
korektif terhadap kemungkinan defisiensi empati pada para calon konselor serta berperan
menumbuhkembangkan kemampuan empati setiap calon konselor.
Empati sangat dibutuhkan dalam relasi terapeutik. Bahkan dalam terapi client
centered, iklim terapi yang diwarnai empati menjadi syarat utama yang akan memberi
efek mendukung bagi tumbuhnya konsep diri positif pada konseli atau konseli, sehingga
konseli dapat mengatasi persoalannya sendiri. Lebih lanjut dapat diungkapkan bahwa
mengingat pentingnya kemampuan empati dalam hubungan antar manusia, maka upaya
melatih dan mengembangkan empati di keluarga-keluarga, sekolah-sekolah dan lembagalembaga pendidikan lainnya perlu dilakukan sedini mungkin.
Syarat petugas bimbingan, dalam hal ini adalah seorang konselor di sekolah
diantaranya adalah sifat kepribadian konselor. Seorang konselor harus memiliki
kepribadian yang baik. Kepribadian konselor sangat berperan dalam usaha membantu
siswa untuk tumbuh. Banyak penelitian telah dilakukan oleh sejumlah ahli tentang ciriciri khusus yang dibutuhkan oleh seorang konselor. Sifat-sifat kepribadian konselor
diantaranya:
1) Konselor adalah pribadi yang intelegen, memiliki kemampuan berpikir verbal dan
kuantitatif, bernalar dan mampu memecahkan masalah secara logis dan perspektif.
2) Konselor menunjukkan minat kerja sama dengan orang lain, di samping seorang
ilmuwan yang dapat memberikan pertimbangan dan menggunakan ilmu pengetahuan
mengenai tingkah laku individual dan sosial.
3) Konselor menampilkan kepribadian yang dapat menerima dirinya dan tidak akan
menggunakan konselinya untuk kepuasan kebutuhan pribadinya melebihi batas yang
ditentukan oleh kode etik profesionalnya.

22

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

4) Konselor memiliki nilai-nilai yang diakui kebenarannya sebab nilai-nilai ini akan
mempengaruhi perilakunya dalam situasi konseling dan tingkah lakunya secara
umum.
5) Konselor menunjukkan sifat yang penuh toleransi terhadap masalah-masalah yang
mendua dan ia memiliki kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang kurang menentu
tersebut tanpa terganggu profesinya dan aspek kehidupan pribadinya.
6) Konselor cukup luwes untuk memahami dan memperlakukan secara psikologis tanpa
tekanan-tekanan sosial untuk memaksa konseli menyesuaikan dirinya.
7) Komunikasi. Situasi konseling menuntut reaksi yang adekuat dari pihak konselor,
yaitu konselor harus dapat bereaksi sesuai dengan perasaan dan pengalaman konseli.
Bentuk reaksi ini sangat diperlukan oleh konseli karena dapat membantu konseli
melihat perasaanya sendiri.
Kepribadian konselor yang menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan sebagai berikut, memiliki kemampuan:
1) Membedakan perilaku yang menggambarkan pandangan positif
Konselor harus bisa membedakan perilaku konseli yang dimana perilaku konseli
tersebut merupakan sebuah pandangan atau persepsi konseli yang bisa diorientasikan
sebagai pandangan yang positif.
2) Membedakan perilaku yang menggambarkan pandangan negative
Seorang konselor dituntut untuk bisa mengerti dan memahami kondisi psikologis
konseli, memahami disini bisa diartikan bahwa seorang konselor mampu
membedakan pandangan-pangdangan yang diungkapkan konselinya mengenai dunia
luar maupun pandangan-pandangannya terhadap dirinya sendiri.
3) Membedakan individu yang berpotensi dalam layanan bimbingan dan konseling
Konselor harus mampu membedakan mana konseli yang berpotensi dan mana konseli
yang kurang menunjukkan adanya potensi diri.
Konselor yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia antara lain
memiliki kemampuan:
1) Menerapkan perbedaan budaya yang berperspektif gender dalam pelayanan
bimbingan dan konseling.
23

Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons

2) Menerapkan perbedaan budaya yang berperspektif hak asasi manusia dalam
pelayanan bimbingan dan konseling
3) Menerapkan perbedaan responsif perbedaan budaya konselor dengan konseli dalam
pelayanan bimbingan dan konseling
4) Konselor yang menunjukkan integritas kepribadian yang kuat adalah ditunjukkan dala
kepribadian antara lain memiliki kemampuan:
(1) Menerapkan toleran terhadap stres yang dialami konseli
(2) Mengantisipasi berbagai tekanan yang menimpa diri
(3) Melakukan coping terhadap berbagai tekanan yang menimpa diri
Konselor yang mnunjukkan integritas kepribadian yang kuat adalah ditunjukkan
dalam kepribadian antara lain memiliki kemampuan:
a) Menampilkan kepribadian dan perilaku seperti berwibawa, jujur, sabar, ramah, dan
konsisten
b) Menampilkan kepribadian dan perilaku dalam menampilkan emosi yang stabil
dengan mengontrol emosi diri secara tepat
c) Menampilkan kepribadian dan perilaku dengan merespon empati secara tepat
Konselor yang memiliki kesadaran terhadap komitmen profesional antara lain
memiliki kemampuan:
d) Dapat menjelaskan dan mengelola kekuatan dan keterbatasan pribadi dan
professional.
e) Dapat menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai dengan
kewenangan profesional konselor
f) Berupaya meningkatkan kompetensi akademik dan profesional diri.
Kompetensi Akademik calon konselor meliputi kemampuan:
a)

memahami konseli yang hendak