Meluruskan Sejarah Sastra Indonesia modern

MELURUSKAN SEJARAH SASTRA INDONESIA
Oleh : Anjrah Lelono Broto *)

Membaca sejarah perkembangan sastra Indonesia (periodisasi, menurut HB Jassin), ada
tanda tanya besar yang berputar-putar di dalam benak kita. Benarkah sastra Indonesia diawali
dari Angkatan Balai Pustaka? Paus sastra Indonesia, HB Jassin, juga menetapkan bahwa
sastra Indonesia diawali dari sastrawan-sastrawan yang bernaung di Balai Pustaka seperti
Marah Rusli, Tulis Sutan Sati, Ama Datuk Mojoindo, Suman Hasibuan, dll. Bukankah
mereka adalah sederet sastrawan berlatar belakang budaya Melayu? Lalu dimanakah tempat
Mpu Tantular, Mpu Sedah, Mpu Kanwa, bahkan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ataupun
Abdur Rauf Ibn Singkli atau
Syamsuddin Asy Samatrani?
Tanpa harus mereview
pendapat dan pemikiran
Yudiono K.S., Maman S.
Mahayana, A. Teuuw, Ajip
Rosidi, Bakri Siregar, bahkan
Umar Junus, ada baiknya kita
membaca kembali perjalanan
kesusasatraan Indonesia.
Seorang pengajar sastra

Universitas Indonesia (UI),
Ibnu Wahyudi, dalam
artikelnya yang dibacakan di
11th European Colloquium on
Indonesian and Malay Studies
di Lomonosov Moscow State
University pada 1999,
mengatakan bahwa awal keberadaan sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang
ditandai dengan terbitnya puisi “Syair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi” (anonim)
yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan
Indonesia (Jakarta: KPG, 2000). Lalu, tahun 2002, Taufiq Ismail dan majalah sastra Horison
menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia yang di dalamnya menyebutkan awal mula
penulisan puisi Indonesia dipelopori Hamzah Fansuri sekitar abad ke-17. Namun, Taufiq
Ismail masih menempatkan Hamzah Fansuri sebagai pionir sastra daerah, seperti halnya Mpu
Tantular, Mpu Sedah, Mpu Panuluh, dan rekan-rekan Mpu yang lain. Taufiq Ismail belum
memiliki keberanian menempatkan Hamzah Fansuri sebagai kanon sastrawan Indonesia.
Sejak Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menyatakan gagasannya untuk memberikan
sekat antara sejarah kebudayaan pre-Indonesia (masa sebelum akhir abad ke-19) dengan
kebudayaan Indonesia (awal abad ke-20 hingga kini), dengan sendirinya menjadikan
keterputusan sejarah antara dua masa kesusastraan tersebut. Bagi generasi muda yang

menerima pengajaran sastra di lingkungan sekolah, seakan ada gambaran bahwa kebudayaan
(sastra) Indonesia baru lahir di tahun 1900 sehingga mengubur-tenggelamkan perjalanan
sejarah kebudayaan (sastra) Indonesia yang telah berproses dan bermutasi selama ratusan
tahun. Padahal, The Founding Fathers Indonesia dalam menggodok landasan idiil negara
yaitu Pancasila, menobatkan sebuah klausa "Bhineka Tunggal Ika" yang dikutip dari

Sutasoma karya Mpu Tantular. Dari perspektif sastra, penobatan klausa ini merupakan bentuk
penghargaan kepada sejarah sastra Indonesia di masa kerajaan Hindhu–Budha.
Banyak kalangan menilai, lahirnya pemikiran STA ini dilatarbelakangi oleh
kesilauannya dengan kebudayaan Barat, yang menjadi roh Angkatan Pujangga Baru. Namun,
pembangunan sekat pemisah ini dapat mengaburkan jatidiri kebangsaan Indonesia, yang
sejatinya adalah evolusi kebangsaan dan kemanusiaan Hindhu-Budha ke Islam dan
dilanjutkan dengan modern ala Barat. Sanusi Pane dan Poerbatjaraka pernah menanggapi
minor pemikiran STA di atas, diakui atau tidak, penolakan mereka mengejawantahkan keIndonesia-an yang sejati. Poerbatjaraka mengingatkan bahwa sejarah hari ini adalah
kelanjutan dari sejarah masa lalu, tidak terputus. Kebudayaan Indonesia adalah formulasi
berbasis akultural antara kebudayaan Indonesia purba dengan kebudayaan Barat. Sanusi Pane
menyebutnya sebagai hasil perkawinan Faust (Barat) dengan Arjuna (Timur).
Andaikata kita masih setia dengan sejarah sastra yang terputus ala STA tersebut, maka
akan kita jumpai pengaruh Pemerintah Kolonialis Belanda dalam mengelola "bacaan" rakyat.
Pembentukan Commissie voor de Indlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan

Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) pada 1908, dan selanjutnya diikuti dengan pendirian
Kantoor voor de Volkslectuur (Kantor Bacaan Rakyat) pada tahun 1917, yang kemudian
bernama Balai Pustaka, menjadi penanda bahwa pemikiran STA tentang sejarah sastra
Indonesia dipengaruhi Politik Etis kolonialis Belanda. Padahal, sentuhan "terpaksa" seperti
itu hanyalah bagian kecil dari pengaruh luar yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia.
Ibnu Wahyudi menempatkan karya-karya sastrawan Indonesia dari peranakan Cina dan
peranakan Eropa sebagai pijakan awal kelahiran sastra Indonesia. Hasil penelitiannya
menghadirkan wacana baru bahwa karya sastra (bacaan liar) yang tidak melalui sensor Balai
Pustaka, adalah juga termasuk dalam khazanah sastra Indonesia. Pendapat Ibnu Wahyudi ini
sedikit merujuk kepada pemikiran Pramoedya Ananta Toer, yang mengatakan bahwa sejarah
perkembangan sastra Indonesia juga mencatat sumbang-sih karya dari sastrawan berlatar
belakang wartawan dan peranakan Eropa, Cina, dan asli Minahasa, seperti F. Wiggers, G.
Francis, H. Kommer, Tio Ie Soei, dan F.D.J. Pangemanan. Penerbitan kembali karya-karya
Mas Marco Martodikromo olej Penerbit Indonesia Buku (16/05/2009) adalah sebuah langkah
riil meretas sejarah perkembangan sastra Indonesia.
Lahirnya buku Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia karya Pramoedya Ananta
Toer pada 1982 (dan direvisi pada 2003) memiliki dua arti penting. Pertama, ada pengakuan
terhadap eksistensi sastra Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu pasar (bukan bahasa
Melayu Tinggi ala Balai Pustaka). Pramoedya pun telah berusaha menjalin kembali
keterputusan sejarah sastra (kebudayaan) akibat pemikiran STA. Kedua, hasil penelusuran

semacam itu juga memperlihatkan fenomena unik dalam sejarah sastra Indonesia bahwa
politik etis kolonial Belanda (yang diskriminatif), menciptakan ketidakadilan bagi para
"inlanders". Faktanya, hanya masyarakat yang mengecap pendidikan “Barat” yang diakui dan
memiliki akses berproduksi, termasuk di sastra. Seperti F.D.J. Pangemanann, pemimpin
redaksi koran berbahasa Melayu, Djawa Tengah (1913-1938) dan Noto Soeroto, penulis
Melati Knoppen (‘Kuntum-kuntum Melati’) di tahun 1915 dan Wayang-Liederan (‘Dendang
Wayang’) di tahun 1931.
Upaya-upaya yang dilakukan Ibnu Wahyudi, Taufiq Ismail, ataupun Pramoedya Ananta
Toer, sejatinya, telah memberikan sumbangan besar bagi usaha meluruskan kembali sejarah
sastra Indonesia yang mengalami keterputusan akibat gagasan pemikiran STA. Namun,
menyitir penggalan puisi "Kerawang Bekasi" karya Chairil Anwar; "..perjuangan belum
selesei, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa..". Usaha untuk menemukan
benang merah antara karya-karya sastra pada masa Hindhu-Budha, awal perkembangan
Islam, hingga masuknya pemerintah kolonialis Belanda yang mengusung tradisi budaya barat
di punggungnya; masih memerlukan perjuangan panjang.

Dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang karya P.J. Zoetmulder
(1983), karya sastra tertua yang menggunakan bahasa Jawa kuno adalah Arjunawiwaha
(Perkawinan Arjuna) karya Mpu Kanwa yang terbit sekitar 1028-1035 di masa kerajaan
Airlangga. Masih di masa kerajaan Medang (Airlangga) kemudian lahir pula Gatotkacasraya

(Bantuan Gatotkaca) karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Kemudian di masa kerajaan
Kediri, Rajanya Jaya Baya, juga melahirkan karya sastra yang berbau nujum yang kemudian
terkenal sebagai Serat Jangka Jaya Baya. Sejajar dengan nujum Zarathustra, naskah asli
karya sastra ini harus jauh dari tanah air dan disimpan di British Library. Di zaman kerajaan
Majapahit, Negarakertagama karya Mpu Prapanca dan Sutasoma karya Mpu Tantular sebagai
masterpiece karena dilahirkan pujangga-pujangga kerajaan. Masuknya agama Islam,
membawa aura Islam dalam perkembangan sastra Jawa (khususnya) sehingga lahirlah sederet
karya-karya sastra seperti Kidung Rumeksa Ing Wengi, Serat Walisana, Babad Demak,
Babad Tanah Jawi, Primbon Djatianom (Ki Ageng Gribig), Serat Gatoloco, dll.
Di satu sisi, aura Islam menjadi warna pertama yang menggurat sejarah sastra di tanah
Melayu, dalam buku Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad
7—19, Vladimir I. Braginsky (1998) mengatakan bahwa pada Zaman Pertengahan,
sastrawan-sastrawan Melayu telah menghasilkan karya sastra yang mendunia. “Bagi dunia
Timur, dan dunia Melayu tidak terkecuali, yang tradisional dan yang modern saling
berjalinan dengan erat dan kuat. Sehingga tanpa mengenal yang pertama, orang tidak
mungkin menghayati kedalaman makna yang kedua. Ini berarti, bahwa hanya dengan
demikianlah orang bisa menyelami sebab-musabab proses-proses yang kini tengah
berlangsung di Indonesia… Di dunia Timur, bidang sastra ini juga menyimpan hakikat dari
tradisi-tradisi yang hidup, dan memaparkannya pada generasi-generasi yang mendatang
dengan lebih baik, dibandingkan dengan bidang-bidang kebudayaan apa pun lainnya.”

Sederet nama seperti Hamzah Fansuri, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, Nurruddin Ar
Raniri, Abdur Rauf Ibn Singkli dan Syamsuddin Asy Samatrani; menjadi tokoh-tokoh
sastrawan Melayu yang karya-karyanya menjadi ikatan budaya antara Indonesia, Malaysia,
Brunei Darussalam, dan Singapura.
Budaya Hindhu-Budha, Islam, lalu Barat yang dibawa Portugal, Spanyol, dan kolonialis
Belanda telah memberi warna baru yang memperkaya dan mendewasakan kebudayaan
(sastra) Indonesia. Sebagaimana yang terjadi di ranah agama, di ranah sastra pun terjadi
“sinkretisme” yang dilakukan sastrawan setempat dengan pengaruh luar. Boleh saja Rudyard
Kipling mengatakan East is east and west is west and the twin shall never meet. Tapi, bagi
manusia Jawa, memadukan dua hal yang bertentangan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin.
Dari uraian singkat di atas, saya ingin menarik kesimpulan bahwa setidaknya ada dua
kutub dalam sastra Indonesia, yakni sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh
Hindhu-Budha yang kuat, yang berpusat di Jawa dan sastra Indonesia yang memperlihatkan
pengaruh Islam yang kuat, yang berpusat di Sumatera. Kedua kutub tersebut bisa menjadi
rujukan berkaitan dengan penentuan awal kelahiran sastra Indonesia. Kesimpulan ini
diperkuat oleh hasil penelitian E.U. Kratz pada 1983 yang memperlihatkan bahwa sastrawan
yang berasal dari Jawa (52,8%) dan Sumatera (30,3%) berperan besar dalam menghidupkan
sastra Indonesia.
Mari meluruskan kembali sejarah sastra Indonesia kepada generasi muda kita.
***********


Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Sistem Informasi Pendaftaran Mahasiswa Baru Program Beasiswa Unggulan Berbasis Web Pada Universitas Komputer Indonesia

7 101 1