Resume 2 Buku Sastra Sastra dan Ilmu Sas

RESUME BUKU SASTRA
Buku “Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya” karya Prof.
Dr. Rachmat Djoko Pradopo & Buku “Sastra & Ilmu Sastra: Pengantar Teori
Sastra” karya Prof. Dr. A. Teeuw
Sebelum buku ini diresumekan, penyusun menjelaskan identitas kedua buku
sastra tersebut. Buku pertama adalah buku “Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik,
dan Penerapannya” karya Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo yang diterbitkan terbitan
tahun 2012 cet. IX oleh penerbit Pustaka Pelajar Yogyakarta. Buku ini memiliki
jumlah halaman 273 yang terdiri atas 13 BAB dengan No ISBN – 979-8581-15-6.
Sedangkan buku kedua adalah buku “Sastra & Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra”
karya Prof. Dr. A. Teeuw terbitan tahun 1984 cet.

I seri PJ 580 01 yang diterbitkan

oleh Dunia Pustaka Jaya Jakarta. Buku ini tersusun atas 12 BAB dengan jumlah
halaman 404.
Buku Pradopo (2012) dengan judul “Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik,
dan Penerapannya” adalah buku yang coba menguraikan beberapa teori-sastra dan
kritik sastra yang dainggab baru, di samping dipaparkan berbagai keusustraan
Indonesia dengan historis keberadaannnya di tanah air. Dipaparkan tentang
priodisasi, anggkatan, sejarah sastra Indonesia, baik berupa puisi ataupun prosa.

Disisi lain juga, pengarang menjelaskan sistematikakritik ilmiah dan metode yang
diugunakan di dalamnya. Untuk lebih jelasnya, akan dipaparkan bab per bab
sehinggan gagasan dan ide yang ingin disampaikan pengarang lewat karyanya dapat
ditangkap oleh pembaca. Tentunya untuk menangkap maksud dan ide tersebut harus
dipahami dan dibaca secara keseluruhan.
Pradopo (2012) Bab I halaman 1-35 dengan sub pembahasan tentang
“Masalah Angkatan dan Penulisan Sejarah Sastra Indonesia”. Pada bab ini,
pengarang menjelaskan berbagai penulisan sejarah dan kesustraan Indonesia dari
priode pertama hingga akhir. Pada masalah angkatan misalnya dibahas tentang
sejarah sastra yang menurut Rene Welllek mebagainya menjadi tiga bagian yakni:
teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra. Prodopo menjelaskan angkatan sastra
seperti: balai Pustaka, ankgatan pujangga baru, angkatan 50-an, (HB. Jassin dengan
sebutan 66), angkatan 70-an. Selain angkatan, dijelaskan perkembangan penulisan
literatur sejarah sastra Indonesia, yang oleh prodopo memberikan gambaran dengan

dua cara, yakni: teori estetika resepsi atau tanggapan dan teori penyusunan rangkaian
perkembangan sastra dari priode dan angkatan, selain itu penulisan sejarah dilakukan
dengan sudut tinjauan perkembangan jenis sastra, baik prosa maupun puisi. Priode
sastra indonesia misalnya dijelaskan oleh berbagai tokoh seperi HB. Jassin (1953),
Boejoeng Saleh (1956), Nugroho Notosusanto (1963), Bakri Seregar (1964), dan

Ajip Rosidi (1969). Secara umum, priodesasi yang dijelaskan oleh beberapa tokoh
tersebut dengan ciri intrinsik mulai dari alur, tema, penokohan, pusat pengisahan,
gaya bahasa, gaya bercerita, serta teknik latar yang diugnakan. Adapun unsur ekstrpa
ektrinsik sastra Indonesia meliputi pada pemikiran, filsafat, pandangan hidup
gambaran

kehidupan

sosial

politik

dan

bahasa

yang

digunakan


dalam

mengkomunikasikan kehidupan sehari-hari. Setiap priode, memiliki ciri khas yang
berbeda, disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, politik Indonesia.
Pada Bab II halaman 36-56, sub judul “Sejarah puisi Indonesia modern:
sebuah ikhtisar” prodopo memaparkan tentang adanya persambungan antara puisi
dan prosa. Pada bahasan ini, lebih dikhususkan pada sajak-sajak yang telah ada.
Sebagaiamana dikatakan Teeuw (dalam Pradopo, 2012) bahwa karya sastra (puisi)
tidak lahir dalam kekosongan budaya. Budaya menjadi bagian yang terpenting dalam
dinamika proses terbentuknya puisi, adanya tegangan antara inovasi dan keonvensi.
Periodisasi puisi indonesia yang dijelaskan Prodopo adalah bagaimana lahirnya
kesustraan Indonesia, dalam hal ini puisi. Tahun 1920 menjadi tahunpenting bagi
lahirnya embrio kesustraan modern Indonesia. Misalnya terbitnya roman Azab dan
Sengsara (1921) oleh Merari Siregar. Tahun kedua ditulis pula sajak pertama
Indonesia oleh M. Yamin dengan judul Tanah Air yang kemudian disusul oleh sajaksajak lainnya. Artinya, kelahiran kesustraan Indonesia modern tidak saja dimulai
dengan dengan prosa (roman), tapi sajak menjadi diperhitungkan.
Sajak Tanah Air merupakan penyimpangan dari konvensi sebelumnya,
diamana sajak hanya terdiri atas empat baris diinovasikan dengan 9 baris tiap bait.
Pada sajak tersebut juga terlihat pancaran sifat individual penyair. Dengan demikian,
maka keberadaan puisi sajak saat itu mulai terinovasi. Salah satu yang menjadi point

pembahasan dalam Bab II ini adalah pembakan karya sastra. Prodopo menjelaskan
pembabakan karya sastra dilakukan oleh Nugroho Notosusanto, yang kemudian
diadopsi oleh Ajip Rosidi (Prodop, 2012: 39). Pembabakan yang dilakukan oleh

2

kedua tokoh tersebut, menurut prodopo tidak menguraikan ciri-ciri periodisasi.
Karena itu, prodopo dengan mengacu pada ciri-ciri tiap periode, waktu pembabakan
daopat disusun sebagai berikut: a) priode pra-Pujangga Baru (1920-1933), pujangga
Baru (1933-1942); b) periode angkatan 45-an (1942-1955); c) periode 50-60-an
(1955-1970) dan, d) periode 70-80-an (1970-1990).
Dapat dijelaskan bahwa periodesasi pra-Pujangga Baru digabungkan karena
tidak dilihat perbedaan yang signifikan diantara keduanya. Pada priode ini dapat
dilihat dengan terbitnya majalah pujangga Baru bulan juli 1933. Diantara tokohtokhnya adalah Amir Hamzah, Sanusi Pane, Sutan Takdir Ali Syahbana, Armijn
Pane, Rustam Efendi dan tokoh-tokoh lainnya. Karya mereka beredar dinusantara.
Ciri-ciri struktur estetik masa ini adalah: bentuknya rapi, simetris, pola saja pantun
dan syair, besar puisi empat seuntai, dan romantik sebagai gaya ekspresi. Adapun
gagasn yang menjadi ciri ekstra ekstetik adalah: bersangkut paut dengan khidupan
sosial masyarakat, ide-ide nasionalisme dan keagaamaan yang menonjol, curahan
emosi dan perasaan. Selanjutnya periodesasi angkatan 45 yang dimotori dengan

kemunculan sajak Khairul Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Toto Sudarto Bactiar,
Mohammad Ali dsb. Ciri estetikanya adalah bebas dengna gaya ekpresionis, dengan
aliran realisme. Adapun ciri ekstra estetiknya, terlihat sifat individual yang menonjol,
kehidupan batin pengarang, humanisme, kesengsaraan hidup, dan HAM. Kemudian
dilanjutkan dengan angkatan 50-60-an dan 70-90-an.
Pada Bab III halaman 57-73, sub judul “Perkembangan yang Dialektis dalam
Kesustraan

Indonesia

Modern:

Dialek

kedaerahan-Nasional-Internasional-

Kedaerahan”. Karya sastra hadir sebagai tanggapan atas karya sebelumnya. Artinya
karya yang diciptakan pengarang adalah hasil pantauannya dari karya-karya yang
selama ini beredar. Dalam hal ini karya sastra modren hadir, secara resmi lahir dan
terbit sajak Indonesia modern yang pertama kali ditulis oleh M. Yamin. Larya sastra

modern semakin berkembang berkat atas pengenaln sastrawan muda yang terus
berinovasi dari karya-karya Barat, khusunya lewat sastra belanda. Karya sastra Barat
dianggap menjadi karya sastra Internasional, akan tetapi dengan masuknya karya
internasional bukan bearti dapat menghilangkan unsur-unsur daerah sebagai unsur
asli, ada sebagain yang dikonvensinya, dan ada juga yagn diteruskan. Ini terlihat
misalnya dalam struktur puisi Indonesia modern awal, yaitu perioditasnya yang tiap

3

baris atau larik terdiri atas dua priodus dan tiap proidus terdiri atas dua kata. Dalam
prosa misalnya, hikayat disampingin dangan bentuk roman. Dalam isi dikemukakan
pikiran-pikiran baru akibat pengaruh pendidikan barat dan pergaulan dengan bangsa
barat seperti, menentang perkawinan menurut adat, atau menurut pilihan orang tua,
atau pendidikan hanya untuk kaum laki-laki. Seperi terlihat pada siti Nurbaya
(1922), layar Terkembang (1935). Tidak saja dalam roman, tampak pulan dalam
drama, misalnya drama Ajirabas (W.J.S Purwardarminta) “Bangsacara dan
Ragapada”.
Pada Bab IV halaman 74-91, sub judul “Pusat Pengisahan Metode Orang
Pertama dan Perkembangan dalam Roman dan Novel Indonesia Modern”. Prodopo
melalui sub bab ini menjelaskan tentang pusat pengisahan dan metode orang

pertamanya dalam roman dan novel Modern khusunya di Indonesia. Penelitian pusat
pengisahan sebagai salah satu unsur struktur cerkan sangat penting untuk
pemahaman. Perbedaan roman dan novel berbeda karena konvensi penyebutan
cerkan panajgan dalam kesustraan Indonesia zaman sebelum PD I dan PD II. Kata
roman disebut pada zaman sebelum PD I, dan kata novel setelah zaman PD II.
Pengisahan dalam istilah Inggris disebut point of view. Hal yang dijelaskan secara
lebih detail pada Bab ini adalah pengisahan cerita orang pertama baik roman pada
balai pustaka, pujangga baru menuju masa transisi perkembangan novel Indonesia
modern. Misalnya dijelaskan tentang orang pertama pada pengisahan Atheis karya
Achdiat Kartamirardja yang disebut sebagai karya sastra mentransformasikan Karya
Di Bawah Lindungan Kabbah sebagai hipogram. Artinya unsur ceritanya
perpindahan dari karya sastra lain, yang pada intinya sama tapi bentuk berbeda.
Pada Bab V halaman 75-92, sub judul “Kriktik Sastra Indonesia Modern dan
Permasalahannya” Pradopo mencoba menjelaskan perbedaan antara kritik sastra,
teori sastra, dan sejarah sastra. Seperti yang diungkap Wellek bidang studi sastra
meliputi tiga hal yaitu; kritik sastra, teori sastra, dan sejarah sastra. Teori sastra ialah
bidang studi sastra yang berhubungan dengan teori-teori kesusastraan. Sejarah sastra
adalah bidang studi sastra yang membicarakan perkembangan sastra sejak lahir
hingga perkembangannya yang terakhir. Kritik sastra membicarakan karya sastra
secara langsung: menganalisis, menginterpretasi, dan menilai karya sastra. Pradopo

menyimpulkan bahwa kritik sastra memberi penilaian dan keputusan mengenai

4

bermutu atau tidaknya suatu karya sastra. Dalam kritik sastra, suatu karya diuraikan
(dianalisis) unsur-unsur atau norma-normanya, diselidiki, diperiksa satu persatu,
kemudian ditentukan berdasarkan “hukum-hukum” penilaian karya sastra, bernilai
atau kurang bernilainya karya sastra itu.
Jenis-Jenis kritik sastra: Bedasarkan jenis bentuknya: Kritik teoritis
(theoretical criticism), Kritik terapan (pratical criticism), diskusi karya sastra
tertentu dan penulis-penulisnya. Adapun berdasarkan pelaksanaaanya ataupun
praktik kritiknya. Abrams membagikan ke dalam tiga jenis kritik judisial, kritik
induktif, dan kritik impresionistik. Sedangkan Hudson, membaginya kedalam dua
jenis ; kritik judusial dan kritik induktif. Adapun berdasarkan orientasinya terhadap
karya sastra, Kritik dibagi menjadi kritik mimetik, pragmatik, ekspresif, dan kritik
objektif. Prodopo jugan menjelaskan corak Kritik Sastra Indonesia Modern, yakni
Kritik Teoritis, salah satu esai pertama yang memuat teori-teori kritik sastra adalah
kumpulan esai H.B. Jassin berjudul Tifa Penyair dan Daerahnya yang ditulis pada
1952. Sedangkan kritik yang agak luas, ditulis oleh Rachmat Djoko Pradopo pada
1967 bertajuk Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern. Di

samping itu juga ada kritik Terapan yang pada umumnya, berupa esai-esai,
timbangan-timbangan buku yang ditulis dalam surat kabar, dan pidato radio yang
kemudian dibukukan. Esai kritik sastra yang terkenal adalah buku Kesusastraan
Indonesia Modern dalan Kritik dan Esai (4 jilid) himpunan H.B. Jassin.
Adapun mengenai pelaksanaan Kritik Sastra Indonesia Modern dapat dilihat
kritik H.B. Jassin seperti terbaca dalam buku-bukunya, menurut Pradopo merupakan
kritik impressionistik sebab Jassin tidak menganalisis keseluruhan karya, melainkan
hanya unsur yang memberikan kesan padanya. Bukan menganalisis secara objektif
karya yang dikritiknya. Selain itu, kritik Jassin juga dapat dikatakan sebagai kritik
judisial, karena dalam menilai karya ia menilai dengan standar penilaian tertentu,
dengan membandingkan karya satu dengan lainnya sebagai standar penialaian. Selain
itu, dijelaskan juga Perbedaan Kritik Ilmiah dengan Kritik Non-Ilmiah Pada tulisan
Perbedaan Kritik Ilmiah dengan Kritik Non-Ilmiah yang diambil dari kutipan pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Sastra UGM, Pradopo membedakan
kritik berdasarkan asal kritikus dan sifat kritiknnya. Kritik ilmiah dibuat oleh para
kritikus ilmiah para ahli sarjana universitas/ IKIP yang bekerja sebagai dosen,

5

peneliti LIPI, peneliti di pusat bahasa dan Balai Bahasa. Kritik ilmiah dapat berupa

skripsi, tesis, disertasi, makalah, ilmiah, pidato ilmiah, dan penelitian ilmiah.
Menggunakan teknik penulisan ilmiah, teori dan metode sastra yang menjadi dasar
kritik (analisis) dinyatakan secara eksplisit dan diuraikan secara jelas. Memiliki
penunjukan refrensi secara akurat, beorientasi pada sastra objektif dengan metode
deduktif dan induktif dan menggunakan bahasa baku. Kritik non-ilmiah ditulis
sastrawan, wartawan, atau ahli pikir yang mempunyai minat sastra. Berupa artikel
dan esai-esai, tidak menggunakan TPI, teori sastra tidak digunakan secara eksplisit,
tidak

menunjukan

refrensi

yang

akurat.

Berorientasi

ekspresif,


bersifat

impresionistik, tidak mencantumkan daftar pustaka, dan bahasa yang digunakan
umumnya bukan menggunakan bahasa Indonesia yang baku/ tidak seluruhnya bahasa
baku. Menurut Paradopo kritik sastra ilmiah bertujuan menerangkan karya sastra
sejelas mungkin untuk dapat mengungkapkan makna karya semaksimal mungkin.
Oleh karena itu, digunakan teknik penulisan ilmiah, sistematika ilmiah, dan analisis
stuktur ke dalam unsur-unsurnya sampai mendetail.
Pada Bab VI halaman 106-117, sub judul “Konkretisasi Sastra”. Konkretisasi
yang dimaskud oleh prodopo adalah perwujudan sastra dalam kheidupan
bermasyarakat, bagaimana sastra itu mampu hadir sebagai bagian dari kehidupan
masyarakat. pemberian makna kepada karya sastra itulah yang diebut dengan
konkretisasi. Dengan konkretisasi yang semulanya makna karya sastra tidak tanpak
menjadi jelas dan para pembaca dapat dipahami. Salah satu kegiatan kritik sastra
adalah pemberian makna atau mengungkapkan makna yang tersembunyi dibalik
bahasa. untuk memahami hal tersebut, perlu kiranya mengetahui kaidah yang
berkaitan dengan hakikat sastra. misalnya dengan analisis semiotik, membandingkan
teks sastra dengan intertekstual yang kesemuanya berlatar belakang budaya.
Pada Bab VII halaman 118-139, sub judul “Penelitian Sastra dengan
Pendekatan Semiotik”. Penelitian sastra dapat pula dilakukan dengan pendekata
semiotik. Semiotik sebagai pendekatan digunakan untuk mengungkap tanda-tanda
dibalik bahasa dan kata pada karya sastra. Pendekatan semiotik merupakan lanjtan
dari pendekatan struktural, tentu semiotik dipisah dari struktural. Pada Bab ini,
prodopo pembahasan pada: pengertian semiotik, tanda (penanda dan dan petanda),
bahasa dan kesustraan, metode semiotik dalam penelitian sastra, konveksi

6

ketaklangsunganekspresi, penunjukan teks ke teks yakni hubungan intekstual, juga
dibahasa pembacaan heuristuk dan heurmenetik. Kajian mengenai semiotik
merupakan kajian tentang tanda. Fenomena yang ada dalam masyarakat, kebudayaan
yang ditampilkan merupakan tanda-tanda yang kemudian diterjemahkan. Tokoh
pendiri semitok adalah Ferdinan de Sausere (1857-1913) seorang ahli lingusitik
dengan menyebut ilmu itu dengan semiologi, sedangkan yang kedua adalah Charles
Sender Pierce (1839-1914) yang ahli filsafat asal Perancis menyebutknya dengan
istilah semiotik. Pada kajiannya, semiotik berusah menganalisis sastra dengan
mencari tanda-tanda dibalik bahasa. Karya sastra sebagai sebuah sistem mempunyai
konvensi-konvesi sendiri, baik berjenis prosa atau pun puisi. Genri puisi mempunyai
ragam: puisi lirik, syair, pantun, soneta, balada, dan sebagainya. Selain hal tersebut,
terdapat juga sistem tanda, minimal seperti: kosakata, bahasa kiasan. Disisi lain juga,
dibahas tentang hubungan teks denga teks lain: yakni hubungan intertekstual.
Pada Bab VIII halaman 140-161, sub judul “Analisis Puisi Secara Struktural
dan Semiotik”. Analisis karya sastra dengan struktural dan semiotik penting
dilakukan. Analisis struktural merupakan analsis pertama dalam karya sastra. pada
analsis struktural, dibahas struktur fisik dan non fisik, dimana keduanya saling
berkaitan dalam menciptakan makna. Karya sastra merupakan struktur makna atau
struktur yang bermakna. Prodopo menampilkan contoh dengan menggunakan
strukutur dan semiotik dalam mengalisis saja. Pada analsis tersebut terlihat saja
saling berkesinambungan. Pada hal ini, ditambahkan konvensi bahasa kiasan yang
merupakan tambahan puisi yang menyatakan sesuatu yang berarti lain. Dengan arti
lain bahwa, puisi memberi makna dari lain dari bahasa lain. Menurut reiffaterre
(Prodopo, 2012:147) dijelaskan ketidaklangsungan puisi, seperti: penggantian arti,
penyimpangan makna, dan penciptaan arti.
Pada Bab IX halaman 162-177, sub judul “Hubungan Intektesktual dalam
Sastra Indonesia”. Hubungan intertekstual sebagaimana telah dijelaskan di bab-bab
sebelumnya, bahwa intertertekstual berkaitan perbandingan antar dua teks sastra
dalam satu analsis. Pada karya sastra orientasinya sebagaimana disebutkan Abrams
(dalam Prodop, 2012: 162) ada empat tipe keseluruhan sastra, yakni: alam
(iuniverse), pembaca, pengarang (artist), dan karya sastra. karya sastra sebagai teks

7

yang otonom, yang mencukupi dirinya, maka analsis struktur intrinsiknya,
kompleksitas karya sastra sangat dipentingkan. Disini dapat
Pada Bab X halaman 178-205, sub judul “Hubungan Intektesktual dalam
Roman-Roman Balai Pustaka dan Pujangga Baru”. Masalh penting yang dibahas
pada bab X ini adalah hubungan antarteks karya sastra dengan teks karya sastra
lainnya. Makna karya sastra tidak semata-mata ditentukan oleh oleh struktur
intrinsik, melainkan unsur sosial budaya dan kesejarahannya. Karya sastra diciptakan
berdasarkan konvensi sastra yang ada, kehadiran karya satra adalah hasil pembacaan
terhadapat sastra sebelumnya. Dalam penyusunan sejarah, priodesasi merupakan
salah satu prinsipnya. Priodesasi adalah pembabakan waktu waktu atau priode sastra.
Dijelaskan pula hubungan intertekstual roman-roman balai pustaka, misalnya Azab
DAN Sengsara karya Merari Siregar tahun 1921, berikutnya menyusul pula karyakarya lainnya yang memiliki struktur nasrasi dan tema yang mirip sama.
Pada Bab XI halaman 206-216, sub judul “Estetika dan Teori penerapannya”.
Sebelum pada bab X dibahasa hubungan intertekstual roman-roman Indonesia
modern dang meilhat berbagai aspek seperti tema dan struktur dan paham yang
dibawa, maka pada bab XI diuraikan tentang tanggapan pembaca terhadap karya
sastra dan bagaimana analisis penerapannya. Pada dasarnya teori resepsi sastra
adalah cakrawala harapan dan tempat terbuka bagi para pembaca dalam melihat
sastra. Tiap pembaca mempunyai wujud karya satra sebelum dibaca. Artinya,
pembaca memiliki konsep tersendiri mengenai karya sastra, baik berupa sajak,
cerpen,

maupun

novel.

Cakrawala

harapan

ditentukan

oleh

pengalaman,

pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi karya sastra. Bagi penganut paham
resepsi baranggapan bahwa karya sastra sejak terbit selalau mendapat resepsi atau
tanggapan para pembacanya. Dalam penerapannya, resepsi dilakukan dalam bentuk
naskah tulisan tangan sastra lama dan resepsi karya sastra modern.
Pada Bab XII halaman 217-233, sub judul “Tinjauan Resepsi Sastra Berbagai
Sajak Chairul Anwar”. Pada bab XII, Prodopo menguraikan sajak-sajak Chairul
Anwar dengan menggunakan tinjauan resepsi. Chairul Anwar dianggap salah satu
penyair dalam kesustraan Modern dikarenakan hasil karyanya yang inovatif. Sajaksajak Chairul Anwar yang dibahasa misalanya sajak “Aku”, “Doa”, “Sebuah Kamar”,
“Diponegoro”, “Pada Peminta-minta” dan lain sebagainya. Analsis sajak-saja Chairul

8

Anwar digunakan teori resepsi yang di dalamny terdapat horizon harapan. Horizon
harapan pembaca ditentukan oleh tiga kriteria: a) horizon harapan ditentukan oleh
norma-norma yang terpancar pada teks-teks yang telahg dibaca, b) ditentka oleh oleh
pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya, dan c)
dipertentangkan antara fiksi dan kenyataan.
Pada Bab XIII halaman 234-264, sub judul “Tanggapan Pembaca Terhadap
Belenggu”. Sub ini adalah bahasa terakhir yang yang terdapat dalam buku Prodopo
(212), dimanbelenggu dianggap memoliki pengaruh yang cukup tinggi pada
pembaca. Pembaca belenggu dari waktu ke waktu memiliki tanggapan berbeda
bahkan mulai sejak terbitnya tahun 194- 1990. Tanggapan tersebut bisa dilihat
mislanya ketika naskah ditolak saat dikirim ke Balai Pustaka, dimana ketentuan
umum di balai pustaka: naskah tidak melanggar ketertiban, budi pekerti, dan tidak
berpolitik yang bertentangan dengan pemerintah Hindia Belanada, di samping
mengandung pendidikan kepada masyarakat. Karena di tolak akhirnya naskah
dikirim ke majalah pujangga baru tahun 1940 secara utuh, terlihat berbagai
tanggapan pembaca terhadap isi naskah teresebut.
Setelah dibahasa tentang gambaran umum isi Bab pada buku Prodopo (2012)
di atas, maka di bawah ini akan diuraikan buku “Sastra & Ilmu Sastra: Pengantar
Teori Sastra” karya Prof. Dr. A. Teeuw terbitan tahun 1984 cet.

I seri PJ 580 01

yang diterbitkan oleh Dunia Pustaka Jaya Jakarta. Buku ini tersusun atas 12 BAB
dengan jumlah halaman 404. Penyusun menggunakan buku edisi pertama tahun
terbitan 1984 hasil fotocopy pinjaman di Perpustakan Umum UMS. Bentuk fotocopy
digunakan mengingat belum tersedianya terbitan terbaru. Untuk lebih jelasnya isi dan
buku tersebut, berikut ini akan dipaparkan secara umum Bab per bab dari buku
tersebut.
Pada Bab I halaman 21-38, sub judul “Apakah sastra? Bahasa Lisan – Bahasa
Tulis - Sastra”. Bab I ini, Teeuw memaparkan tentang beberapa peristilahan dalam
dunia sastra. istilah tersebut misalnya dari bahasa Barat seperti: literature (Inggris),
literatur (Jerman), litteraure (Prancis) yang semuanya berasal dari bahasa Latin
litteratura yang kata ini hasil dari terjemahan bahasa Yunani grammatika: litteratura
dan grammatika masing-masing berdasarkan pada kata littera dan gramma yang
berarti huruf (tulisan, letter). Jika dibangdingkan, maka kata sastra dalam bahasa
9

Indonesia berasal dari bahasa Sangsekerta; akar kata sas yang berarti mengarahkan,
mengajar, memberi petunjuk, akhiran tran biasanay menujukkan alat atau sarana.
Maka, sastra adalah alat yang dipakai untuk mengajar. selanjutnya, dijelaskan pula
bahasa tulis dalam bentuk komunikasi, di samping dibedakan sastra, bahasa dan
tulisan.
Pada Bab II halaman 42-67, sub judul “Karya Sastra dalam Model Semitok”.
sebagaimana diketahui bahwa karya sastra merupakan gejala dari kehidupan
masyarakat, dimana praktik kehidupan merupakan simbol dari hasil pemikiran
masyarakat. wilayah sombol dan lambang menjadi bahagian dari pembahasan
semiotik. Disini, Teeuw memaparkan tokoh-tokoh yang mengawali model masalah
tanda. Ferdinan de Saussure merupakan salah satu tokoh lingusitik yang menyebut
bahasa sebagai sistem tanda, dan tanda meruapak kesatuan antara dua aspek yang tak
terpisahkan, yakni: signifian (penanda) dan siginifie (petanda). Signifiant adalh asfek
formal atau byunyi pada tanda, dan signifie meruapakan aspek kemaknaan atau
konseptual. De Saussure membicarakan beberapa aspek tanda, sperti arbitrer,
konvensional dan sitematik.
Selain itu, Teeuw juga mendeskripsikan beberapa model bahasa dari tokohtokoh, seperti: model bahasa menurut Karl biihler, model sastra Abrams, model
roman Jakobson dengan fungsi puitiknya, model Charles Morris, semiotik Morris
yang disesuiakan dengan Foulkes,bentuk karya sastra sebagai variabel, dan masalah
nilai dalam semiotik sastra.
Pada Bab III halaman 70-94, sub judul “Karya Sastra dan Bahasanya”, Pada
bab III Teeuw menjelaskan hubungan antara sastra dan bahasa. Sastra menjadikan
bahasa sebagai media utama dalam menyampaikan gagasan seorang pengarang.
Dalam hal genre karya sastra, bahasa sangat ditonjolkan, seperti dalam puisi.
Selanjtunya, Teeuw memaparkan banyak tentang fungsi bahasa dan penerapannya
berdasarkan pendapat para tokoh-tokoh, baik dalam bidang puitik maupun bidang
kritik sastra. bahasa karya sastra adalah bahasa yagn khas, retorik dan stilistika.
Sepintas selalu kita melihat bahwa penyair adalam membuat karya tentu
menggunakan bahasa yang khas, aneh tetapi juga istimewa, gelap kadang juga
menyimpang. Selain itu Teeuw memaparkan tentang fungsi bahasa sebagai puitik
dalam kaitannya dengan teori dan kriktik Jakobson.

10

Pada Bab IV halaman 70-92, sub judul : Karya Sasta dan Sistem Sastra”. bab
ini, Teeuw memaparkan tentang karya sastra dan sistmen sastra, dimana keduanya
adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Sistem sastra dimaksud adalah semua sistem
yang menjadi perangkat terbentuknya karya sastara, sistem sosial budaya, politik,
keagamaan, sistem tata nilai dan lain-lain. Karya sastra sebagai sistem budaya artinya
budaya sebagai konvensi bersama. Untuk mecermati tujuan akhir dari Karya sastra
adalah menentukan ciri khas berupa inventation dan konvention, antara konvensi
yang mengikatnya dan yang sekaligus di atasinya.
Pada Bab V halaman 120-153, sub judul “karya sastra sebagai strukturalis:
strukturalisme”. Pada bagian ini, Teeuw membahas sastra sebagai strukutur, dimana
dalam karya sastra sturktur menjadi bagian penting yang membentuk padu sebuah
karya sastra. Dibahas pandangan Aristoteles terkait struktur, misalnya mengenai
poetika Aristoteles yabg berikaitan dengan plot. Misalnya dalam pembahasan trgedi
plot harus memnuhi empat syarat, yakni: order, amplitude atau complexitiy, unity
dan connections. Selain itu Teeuw juga memaparkan karya sastra dalam lingkaran
hermeneutik, kekurangan minat karya sastra pada abad ke 19 yang kemudian
dilanjutkan dengan muncul semangat dan minat terhadap struktur karya sastra. dalam
dalam beberapa tahun berikutnya munculnya aliran Formalisme di Rusia yang
ditokohi Jakobson, Shklovsky dan tokoh lainnya. Kehadiran aliran formalisme
dengan menjadikan pendekatan stuktur dan gerakan otonomi sebagai bagian penting
dalam sebuah karya sastra.
Pada Bab VI halaman 155-180, sub judul “Penulis dalam Model Semiotik”.
karya sastra yang diciptakan oleh pengarang tentu memiliki arti dan maksud tertentu
terhadap pembacaan relaitas. penulis dalam hal ini memaparkan keterkaitan antara
simbol dalam objek-objek yang menjadi kajiannya. Pada pembahasan bab ini, kita
jumpai bahwa makna karya sastra tidak ditentukan semata-mata oleh pengarang atau
penulis. Artinya melibatkan pembaca sebagai alat ukur. Apa yang ada dibalik semua
tulisan atau karya adalah ada manusia yang menysunnya. Semiotik sastra
memberikan ruang gerak yang bebas terhadap pembaca dalam mengiterpretasi maksu
dari karya sastra. kreativitas pembaca sangat dibutuhkan.
Pada Bab VII halaman 183-218, sub judul “Pembaca dalam Model Semiotik”.
Pada bab ini Teeuw menjelaskan tanggapan pembaca dengan menggunakan

11

kacamata model semiotik, misalnya aspek pragamatik dalam retorika Barat dan
puitika Melayu. Di Barat dapat dilihat pada penekanan fungsi sastra untuk
memperngaruhi pembaca yang mengakibatnkan perbauran antara teori sastra dan
retorik. Selain aspek retorik, juga dibahasa resepsi dalam strukturalisme dinamaik
Mukarovsky. Sebagaimana diketahui bahwa pertama dibahasa adalah linguistik praha
yang disinggung pada bab V teori Mukarosvsky terhadap karya sastra berpangkal
pada aliran n formalis sebagai usaha untuk memahami karya sastra sebagai realisasi
fungsi puitik bahasa, kemudian dilnajutkan oleh Vodicka dengan teori konkretasi
karya seni merupakan perkembangan dari toeri teori Mukarosvsky. Secara umum,
bab ini memparakan perkembangan ilmu sastra dan teori sastra pada masa muktahir
dan pembaca banyak disuguhkan dengan faktor semiotik.
Pada Bab VIII halaman 219-248, sub judul “Karya Sastra dan Kenyataan”.
Pada bab ini Teeuw memaparkan tentang hubungan karya sastra dengan realitas atau
kenyataan dimana karya sastra hadir untuk menjadi refleksi atas kehidupan nyata.
Paparan itu seperti alam dan seni dalam berbagai kebudayaan, kaitan antara mimesis
dan creatio dari segi bahasa; kenyataan dan rekaan. Baik dalam sejarah ataun pun
dalam sastra kedua hal itu harus ada. tentu pula ada perbedaan diantara keduanya.
Peristiwa sejarah menampilkan pristiwa berdasarkan urutan waktu dengan
pengumulan data dan analisis mendalam, tapi sebaliknya sastra menampilkan
pristiwa dengan bungkusan bahasa yang indah tanpa melupakan rentetan sejarah
yang terjadi. Dalam hal ini sastrwan memberikan makna lewat kenyataan yang dapat
diciptakannya dengan bebas, asalkan dapat dipahami oleh pembaca. Dalam hal ini
karya sastra sebagai buku teks melukiskan banyak hal tentagn realitas dan pristiwa
yang terhadai dalam masyarakat, tapi bukan berarti rekaan dalam melawan
kenyataan, tetapi memberitahu suaty tentang kenyataan hidup.
Pada Bab IX halaman 250-277, sub judul “Teks Karya Sastra Sebagai
Variabel Dalam Model Semiotik”. selanjutnya pada bab IX ini, penulis memberikan
penjelasaan tentang kemantapab sebuah teks. Teks dipandang sebagai sitem simbol
yang pada kahirnya menjadi sistem tingkah laku. Di samping membahas teks secara
umum, penulis juga memberikan perbedaan ruang lingkup antara filologi atau
tekstologi sebagai bagian dari studi sejarah teks. Pada pembahasannya tekstologi

12

dibagi menurut ragam penurunan teks, seperti: tekstologi yang menilit sejarah teks
lisan, teks manuskrip dan sejrah buku catatan.
Pada Bab X halaman 279-304, sub judul “Studi Sastra Lisan dalam Rangka
Semiotik Sastra”. Pada bab X ini, Teeuw menggambarkan lebih jelas tentang studi
sastra lisan dan kaitannya dengan semiotika sastra. sebagaimana diketahui bahwa ada
perbedaan mendasar antara sastra tulis dan sastra lisan. Sastra tulis tidak memerlukan
komunikasi langsung (verbal) antara pencipta dan dan percetakan karya sasta, tulisan
sastrawan akan banyak dinikmati oleh banyak orang dalam ruang dan waktu berbeda,
tapi tidak dengan sastra lisan yang ruang dan waktunya terbatas. Dari sejaranhya
juga, di Indonesia minat untuk mengkaji sastra secara umum lebih sedikit dan
tergolong jarang sekali. Pada point, Teeuw memaparkan tradisi pengkajain sastra
lisan di dunia Barat seperti Eropa dan benua Amerika.
Pada Bab XI halaman 311-342, sub judul “Teori Sastra dan Sejarah Sastra”
Pada bab ini diuraikan tentang teori sastra dan sejarah sastra. Teeuw menjelaskan
bahwa pendekatan sejarah sastra yang tradisional mengandung beberapa varian
diantaranya: a) sejarah sastra ditaklukkan oleh sejarah umum, akibatnya karya sastra
dan penulisnya ditempatkan dalam rangka yang disedikan oleh ilmu sejarah umum,
b) pendekatan yang mengambil tokoh-tokoh penting, c) pendekatan dengan
menelisik sumber-sumber sejarah, ini dapat dilihat dari motif atau tema sejarah
dalam karya sastra, d) memperhatikan asal usur karya sastra dari bentuk dan
fungsinya dimana sejarah sastra mengambil sebagian dari kriteria utama untuk
penahapan sejarah pengaruh asing. Selain varian tersebut, disampaikan pula beberapa
prinsif dasar sejarah sastra misalnya dari konvensi teks dan non sastra, baik berupa:
prosa, puisi, drama dan sebagainya. Teeuw juga menyebutkan beberapa faktor yang
relvan un tuk sejarah sastra misalnya: dinamika sistem sastra berupa konsep jenis
sastra modern. Di samping itu juga dipaparkan berbagai gagasan yang membedakan
antara intertekstual karya individu dan sejarah sastra, sejarah sastra dan sejarah
umum, penelitian resepsi sastra, sastra lisan dan sejarah sastra ditambah juga sejarah
sastra Indonesia dan sejarah dalam bahasa nusantara.
Pada Bab XII halaman 346-377, sub judul “Sastra Sebagai Seni: Masalah
Estetik”. Pada bab terakhir ini, Teeuw memaparkan tentang tentang sastra sebagai
seni. Sebagaimana diketahui bahwa karya sastra dapat didekati dengan dua

13

pendekatan, yakni bahasa dan seni. Pada praktek penelitiaannya bahawa ilmu bahasa
juga berperan penting dalam kaitannya dengan seni. Sedangkan estetik sendiri pun
lebih mencurahkan perhatian pada seni-seni lain (khususnya seni lukis, seni patung,
seni ukir dan sebagainya). Sebagaimana diketahui bahwa estetik Barat sama tuanya
dengan filsafat, khususnya filsafat Plato. Karena itu, ide-ide tentang esteik banyak
tercermin dari gagasan dan ide-ide Plato. Pada bagian berikutnya, Teeuw
menjelaskan tentang estetik terlepas dari norma agama dan etik.

14

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

AN ANALYSIS ON GRAMMATICAL ERROR IN WRITING MADE BY THE TENTH GRADE OF MULTIMEDIA CLASS IN SMK MUHAMMADIYAH 2 MALANG

26 336 20

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24