I. PENDAHULUAN - PENGARUH JENIS KELAMIN DAN PENGETAHUAN LINGKUNGAN TERHADAP PENILAIAN BUDAYA LINGKUNGAN (Studi Ex Post Facto di Akademi Manajemen Informatika dan Komputer Bina Sarana Informatika Jakarta)

CAKRAWALA,VOL XII NO. 2 SEPTEMBER 2012

PENGARUH JENIS KELAMIN DAN PENGETAHUAN LINGKUNGAN
TERHADAP PENILAIAN BUDAYA LINGKUNGAN
(Studi Ex Post Facto di Akademi Manajemen Informatika dan Komputer Bina
Sarana Informatika Jakarta)
Dahlia Sarkawi
ASM BSI Jakarta
Jl. Kramat Raya No. 168 Jakarta Pusat
email: dahlia_sarkawi@yahoo.com
ABSTRACT
This study aimed to determine the effect of gender and environmental science students to the
assessment of environmental culture. A quantitative research methods Ex Post Facto in Akademi
Manajemen Informatika dan Komputer Bina Sarana Informatika (AMIK BSI), Jakarta in 2012.
Methods of data collection conducted through a questionnaire for assessment of gender
and cultural environment as well as tests for environmental knowledge. Analysis and
interpretation of the data concluded that there are significant differences in the cultural
assessment scores on male students to female students. Second, the group of students with high
environmental knowledge, there is no difference between male students with assessments of
women's cultural environment. Third, the group of students who have a low environmental
knowledge, there is a difference between male students to female in assessing cultural

environment. Fourth, there is no interaction between sex of men with women, and knowledge of
the cultural environment on student assessment.
The study recommends the importance of environmental knowledge to create
environmental assessment of student culture. Therefore, efforts need to be programmed and
sustainable environmental education given among students.
Keywords: sex, environmental knowledge, cultural environment.
I.

PENDAHULUAN

Pembangunan berkelanjutan merupakan
salah satu arah kebijakan
pembangunan
nasional Indonesia. Arah pembangunan ini
diperkuat dengan adanya Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan

Lingkungan Hidup. Untuk mewujudkan
pembangunan yang berwawasan lingkungan
(sustainable development) ini, salah satu faktor
diperlukan pada: “aspek penyiapan sumber
daya manusia”. Untuk dapat menyiapkan
sumber
daya
manusia
salah
satu
perwujudannya perlu adanya pembangunan
dalam pendidikan.
Salah satu jenjang pendidikan yang
berperan adalah perguruan tinggi. Akademi
Manajemen Informatika dan Komputer Bina
Sarana Informatika (AMIK BSI) Jakarta
berupaya menerapkan pendidikan berwawasan
lingkungan dengan berbagai kebijakannya.
Namun
penilaian

budaya
lingkungan
mahasiswa masih menunjukkan perilaku yang
tidak
berwawasan
lingkungan.
Seperti
kebiasaan merokok, membuang sampah
sembarangan, penggunaan kendaraan bermotor,

penggunaan listrik dan air tidak hemat masih
menjadi perilaku sebagian mahasiswa.
Penelitian ini bertujuan menjelaskan
pengaruh jenis kelamin dan pengetahuan
lingkungan mahasiswa terhadap penilaian
budaya lingkungan di AMIK BSI Jakarta.
Pengaruh pengetahuan lingkungan terhadap
penilaian budaya lingkungan dapat dijelaskan
dengan teori human capital, yang sering
menempatkan pendidikan sebagai modal bagi

keberhasilan pencapaian sesuatu. Tingkat
pendidikan dapat mempengaruhi kebiasaan dan
kepedulian
mahasiswa
terhadap
lingkungannya. Pengetahuan yang terbatas
mengenai
lingkungan
hidup
dapat
mempengaruhi sikap dan perilaku mahasiswa
terhadap lingkungannya.
Perbedaan penilaian budaya lingkungan
antara mahasiswa laki-laki dan perempuan,
dapat dijelaskan dengan teori konsep diri dan
teori gender. Teori psikologi menjelaskan
bahwa konsep diri seseorang tentang dirinya
menentukan perilaku seseorang. Apa yang
harus dilakukan individu dipengaruhi oleh
dimensi pengetahuan tentang dirinya, harapan

akan dirinya, serta penilaian dirinya. Konsep
diri individu berkembang seiring dengan

123

CAKRAWALA,VOL XII NO. 2 SEPTEMBER 2012

pengaruh dari lingkungan keluarga, teman
sebaya, dan tuntutan norma dalam masyarakat.
Selanjutnya teori sosiologi menjelaskan
bahwa persoalan gender bukan bersifat
biologis, akan tetapi lebih bersifat sosial dan
kultural.
Struktur
sosial
masyarakat
menempatkan perempuan dan laki-laki pada
peran dan fungsi masing-masing. Pembagian
tugas perempuan dan laki-laki dalam struktur
sosial terbentuk karena ditentukan oleh norma

dan nilai dalam masyarakat bersangkutan.
II.

METODE PENELITIAN

Penelitian menggunakan metode survey.
Sampel penelitian diambil secara proposional
random sampling. Instrumen menggunakan tes
untuk variabel pengetahuan lingkungan.
Sedangkan untuk jenis kelamin dan penilaian
budaya lingkungan menggunakan angket.
Validitas isi digunakan untuk variabel jenis
kelamin, sedangkan validitas konstruksi dan
kriteria digunakan untuk variabel pengetahuan
dan penilaian budaya lingkungan. Uji coba
instrumen dilakukan terhadap 20 mahasiswa.
Hasil uji validitas butir soal dengan program
SPSS dengan korelasi Product Moment
menghasilkan 20 butir soal untuk pengetahuan
lingkungan dan 30 pernyataan untuk penilaian

budaya lingkungan yang valid. Sedangkan
untuk uji reliabilitas menggunakan SPSS
dengan metode Cronbach’s Alpha, diperoleh
koefisien 0,907 untuk pengetahuan lingkungan
dan 0,909 untuk penilaian budaya lingkungan.
Hal ini menunjukkan bahwa kedua instrumen
memiliki reliabilitas baik.
Populasi berjumlah 3518 mahasiswa,
sedangkan Jenis sampel yang dipakai adalah
proposional random sampling. Berdasarkan
penentukan sampling, maka dapat dijabarkan
langkah-langkah pengambilan sampel:
1. Menentukan jumlah sampel penelitian yaitu
sebanyak 100 mahasiswa.
2. Jumlah sampel setiap kelas dan semester
ditentukan secara proposional dengan
jumlah populasi masing-masing kelas.
Analisis data yang digunakan untuk
pengujian hipotesis adalah:
1. Terdapat perbedaan penilaian budaya

lingkungan pada mahasiswa laki-laki
dengan
mahasiswa perempuan.
2. Pada
kelompok
mahasiswa
dengan
pengetahuan lingkungan tinggi, terdapat
perbedaan antara
mahasiswa laki-laki
dengan perempuan
terhadap penilaian
budaya lingkungan.
3. Pada
kelompok
mahasiswa
dengan
pengetahuan lingkungan rendah, terdapat

124


perbedaan antara mahasiswa laki-laki
dengan perempuan terhadap penilaian
budaya lingkungan.
4. Terdapat interaksi antara jenis kelamin dan
pengetahuan lingkungan terhadap penilaian
budaya lingkungan mahasiswa.
III. KAJIAN TEORITIS
1. Penilaian Budaya Lingkungan
Istilah budaya lingkungan merupakan
analogi dari istilah yang sering muncul dalam
masyarakat selama ini seperti budaya bersih,
budaya disiplin, budaya malu, budaya tertib
lalu lintas, dan budaya yang lain. Beberapa
istilah ini menunjuk pada proses kebiasaan
masyarakat dalam kebersihan, kedisiplinan,
rasa malu berbuat tidak baik, ketertiban berlalu
lintas, dan yang lain.
Soerjanto Poespowardojo memberikan
definisi budaya secara harfiah dari bahasa Latin

yaitu colere yang memiliki arti mengerjakan
tanah, mengolah, memelihara ladang. Yan
Mujianto (2010,1). Sedangkan menurut The
American Herritage Dictionary mengartikan
kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan
dari pola perilaku yang dikirimkan melalui
kehidupan sosial, seni agama, kelembagaan,
dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia
dari suatu kelompok manusia.
Menurut Koentjaraningrat, kata budaya
merupakan perkembangan majemuk dari ”budi
daya” yang berarti ”daya dari budi” yang
berupa cipta, karsa dan rasa. M. Munandar
Soelaeman (2000,22).
Menurut Geertz, budaya terdiri dari
struktur makna (structure of meaning) yang
hadir secara sosial, tempat manusia saling
berkomunikasi, tak terpisahkan dari wacana
sosial yang bersifat simbolik. Budaya bersifat
publik karena maknanya dan sistem makna

adalah apa yang menghasilkan budaya,
merupakan milik kolektif dari masyarakat.
Sandi Suwardi Hasan (2011,20).
Menurut ilmu antropologi, kebudayaan
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan
dan hasil karya manusia dalam kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar. Koentjaraningrat (2009,114).
Hal ini berarti bahwa hampir seluruh
tindakan manusia adalah kebudayaan karena
hanya sedikit tindakan manusia dalam
kehidupan masyarakat yang tidak perlu
dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya
beberapa tindakan naluri, beberapa refleks,
beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau
kelakuan membabi buta. Bahkan berbagai
tindakan manusia yang merupakan kemampuan

CAKRAWALA,VOL XII NO. 2 SEPTEMBER 2012

naluri yang terbawa dalam gen bersama
kelahirannya, juga dirombak olehnya menjadi
tindakan berkebudayaan.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat
diperoleh pengertian mengenai kebudayaan
yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem
ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran
manusia, sehingga dalam kehidupan seharihari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah
benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa
perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata,
misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan
hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lainlain, yang kesemuanya ditujukan untuk
membantu manusia dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakat.
Kebudayaan merupakan serangkaian
aturan, strategi, maupun petunjuk adalah
perwujudan model-model kognitif yang dipakai
oleh manusia yang memilikinya guna
menghadapi lingkungannya. Hari Poerwanto
(2008,243).
Salah satu perwujudan budaya adalah
sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat.
Coleman dan Cressey, mengidentifikasi
budaya sebagai pandangan hidup masyarakat
dalam area geografi tertentu, khususnya ideide, kepercayaan, nilai, pola pikir, dan simbol
mereka. Budaya menyediakan jalan untuk
memahami dunia dan membuatnya berarti bagi
seseorang. Sedangkan Swartz and Jordan
mendefinisikan budaya sebagai jumlah
pemahaman moral yang kuat diperoleh melalui
pembelajaran secara bersama oleh anggota
kelompok tersebut. Marc. J. Swartz dan
Davis K. Jordan (1980,72).
Steers dan Black, mengemukakan
bahwa budaya dapat juga diartikan sebagai
program fikiran secara kolektif yang dapat
membedakan anggota masyarakat yang satu
dengan yang lainnya atau kumpulan interaktif
dari karakteristik umum yang mempengaruhi
respon
kelompok
orang
terhadap
lingkungannya. Richard M. Streers dan J.
Stewart Black (1994,50).
Lingkungan hidup adalah kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk didalamnya manusia
dan
perilakunya,
yang
mempengaruhi
kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lainnya. Karden
Eddy Sontang Manik (2009,31).
Manusia memerlukan lingkungan yang
dapat mendukung hidupnya antara lain: 1)
Lingkungan yang sehat, dalam arti tidak hanya
bebas dari polusi atau pencemaran, melainkan

juga cukup untuk keperluan hidup. 2)
Lingkungan yang produktif, yaitu suatu
lingkungan yang dapat menghasilkan keperluan
optimal dilihat dari segi lokasi dan biologis. 3)
Lingkungan yang beraneka ragam, yaitu
lingkungan yang memiliki variasi potensi fisis
dan sosial ekonomi. 4) Lingkungan yang indah,
yaitu lingkungan yang dapat memberikan
ketenangan,
inspirasi,
dan
kesegaran.
Nasruddin Anshoriy Ch dan Sudarsono
(2008,147).
Emil Salim mengemukakan bahwa
pembangunan
masyarakat
Pancasila
memerlukan pengembangan lingkungan hidup
yang dapat menampung manusia Indonesia
yang
utuh.
Pembangunan
dengan
pengembangan lingkungan hidup harus mampu
menumbuhkan keserbaragaman dalam berbagai
kegiatan manusia dan keseragaman di dalam
sistem lingkungan hidup. Dengan pelangi
kewarnaan dan keanekaragaman tersebut maka
perikehidupan manusia Indonesia memiliki
makna yang lebih berarti. Istamar Syamsuri
(1996,9).
Lingkungan menurut Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Poerwardarminta, adalah
berasal dari kata lingkung yaitu sekeliling,
sekitar. Lingkungan adalah bulatan yang
melingkungi atau melingkari, sekalian yang
terlingkung di suatu daerah sekitarnya. Amos
Neolaka (2008,25).
Encyclopedia Amerika menyatakan
bahwa lingkungan adalah faktor-faktor yang
membentuk lingkungan sekitar organisme,
terutama
komponen-komponen
yang
mempengaruhi perilaku, reproduksi, dan
kelestarian organisme.
Mohamad Soerjani menyatakan bahwa
lingkungan hidup adalah sistem yang
merupakan kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,
termasuk didalamnya manusia dan perilakunya,
yang mempengaruhi kelangsungan perilakunya
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lainnya. Menurut Soerjani lingkungan hidup
adalah ekosistem buatan (man made ecosystem)
atau kalau ekosistem disebut lingkungan hidup
alami, maka ekosistem buatan dapat disebut
lingkungan hidup buatan (man made
environment).
Lingkungan
hidup
buatan/manusia itu berubah ronanya menjadi
antroposentrik karena manusia menggunakan
teknologi
dalam
interaksinya
dengan
komponen lainnya dalam lingkungan hidup.
Pada dasarnya pengertian lingkungan
adalah sama, yaitu lingkungan adalah
sekeliling atau sekitar, bulatan yang
melingkungi, sekalian yang terlingkup di suatu
daerah dan sekitarnya, termasuk orang-

125

CAKRAWALA,VOL XII NO. 2 SEPTEMBER 2012

orangnya dalam pergaulan hidup yang
mempengaruhi kehidupan dan kebudayaannya.
Segala sesuatu yang ada di luar suatu
organisme meliputi lingkungan abiotik dan
biotik,
faktor-faktor
yang
membentuk
lingkungan sekitar organisme, terutama
komponen-komponen yang mempengaruhi
perilaku reproduksi, dan kelestariannya.
Pengertian lingkungan hidup secara
teori juga sama seperti yang dikemukakan oleh
Emil Salim Rio Rachwartono, Soemarwoto,
Chiras, Mohamad Soerhani, Amos Neolaka,
dimana semua pengertian itu sama dengan
yang terdapat dalam UU RI No. 4 tahun 1982,
No. 23 tahun 1997, dan No. 32 tahun 2009.
Dikatakan bahwa lingkungan hidup adalah
sistem yang merupakan kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk didalamnya manusia dan
perilakunya,
yang
mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lainnya.
Kegiatan manusia sadar lingkungan
perlu ditingkatkan. Masalah utama yang
menonjol adalah hubungan antara manusia
dalam mencari kehidupan maupun dalam
meneruskan keturunannya, dapat menimbulkan
masalah kelestarian sumber daya yaitu
kerusakan yang timbul akibat ulah manusia itu.
Penggunaan teknologi yang kurang terkendali
justru akan lebih memperparah rusaknya
lingkungan. Ruang lingkup lingkungan sangat
luas, dari langit atau udara, dari kutub utara
sampai kutub selatan, puncak gunung, kota,
desa, lembah, sungai, pantai, danau, lautan, air
laut, dasar laut. Karena itu kesadaran
lingkungan menjadi makin penting dan
pendidikan kependudukan dan lingkungan bagi
setiap
orang
baik
nasional
maupun
internasional justru menjadi mutlak karena
manusia dan lingkungan itu merupakan dua
unsur pokok yang saling menentukan, dalam
arti manusia hidup dari lingkungan dan jika
lingkungan rusak maka manusia yang celaka.
Dalam sejarah, kesadaran lingkungan
telah berlangsung melalui satu proses dari
tahap awal mulai dipikirkannya lingkungan
habibat yaitu dengan konferensi di Stockholm
1972. Banyak negara telah mengikuti dan
menindaklanjuti hasil konferensi tersebut
dengan berbagai program aksi. Di Indonesia
diwujudkan dengan pembentukan Lembaga
Pemerintah Non-Departemen, yaitu Meneg
PPLH, kemudian menjadi Meneg KLH dan
sekarang dengan Meneg LH. Masing-masing
dengan acuan yang telah ditetapkan dalam
GBHN dan Repelita. Proses berikutnya adalah
pembentukan wadah dalam badan internasional
yaitu United Nations Environmental Program

126

(UNEP) tahun 1982. Masalah lingkungan terus
berkembang dan sadarkan bahaya lingkungan
terhadap kelangsungan kehidupan manusia dan
lingkungannya, di Rio de Jeneiro diadakan
sidang membahas kelestarian bumi dan
pembangunan yang berkesinambungan, di sini
adalah usaha pembangunan untuk mencapai
kesejahteraan
hidup
manusia,
dapat
dilaksanakan tanpa merusak lingkungan.
Budaya lingkungan dapat diartikan
sebagai sebagai suatu kompleks aktivitas serta
tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat berkaitan dengan lingkungan
hidupnya. Aktivitas dan tindakan terpola
tersebut seperti kebiasaan membuang sampah
pada tempatnya, memelihara lingkungan
bersih, pemanfaatan air secara efisien, dan
sebagainya.
Terbentuknya budaya lingkungan dalam
diri seseorang dipengaruhi oleh konsep
kesadaran
lingkungan
dalam
dirinya.
Kesadaran lingkungan menurut M.T Zen
adalah usaha melibatkan setiap warga negara
dalam menumbuhkan dan membina kesadaran
untuk melestarikan lingkungan, berdasarkan
tata nilai, yaitu tata nilai dari pada lingkungan
itu sendiri dengan filsafat hidup secara damai
dengan alam lingkungannya. Sedangkan Emil
Salim menegaskan kesadaran lingkungan
adalah upaya untuk menumbuhkan kesadaran
agar tidak hanya tahu tentang sampah,
pencemaran, penghijauan dan perlindungan
satwa langka, tetapi lebih dari pada itu semua,
membangkitkan kesadaran untuk mencintai
alam dan menjaga keserasian alam.
Pengetahuan lingkungan yang baik akan
meningkatkan kesadaran lingkungan seseorang.
Sejalan dengan teori di atas, secara
sosiologis konsep internalisasi norma dalam
masyarakat
dapat
digunakan
untuk
menjelaskan proses budaya lingkungan. Norma
sosial akan melembaga (institutionalized)
apabila norma tersebut diketahui, dipahami
atau dimengerti, ditaati, dan dihargai oleh
individu dan masyarakat. Penerapan konsep ini
dalam mewujudkan budaya lingkungan, bahwa
seseorang akan berperilaku sesuai norma yang
berkaitan dengan lingkungan apabila ia
memiliki pengetahuan tentang norma sosial
yang berkaitan dengan lingkungan. Selanjutnya
dia memahami atau mengerti mengapa norma
tersebut ada. Misalkan mengapa menjaga
kelestarian lingkungan itu perlu, mengapa
menggunakan air harus efisien, dan sebagainya.
Apabila pengetahuan dan pemahaman ini
muncul, maka seseorang akan cenderung untuk
menaati norma tersebut. Tahap selanjutnya
setelah mengetahui, memahami, dan menaati
norma adalah menghargai terhadap norma.

CAKRAWALA,VOL XII NO. 2 SEPTEMBER 2012

Perwujudan penghargaan ini seperti upaya
mempertahankan norma, memberi sanksi bagi
orang
yang
melanggar
norma,
menyebarluaskan norma kepada orang lain, dan
sebagainya. Proses selanjutnya norma tidak
hanya menjadi melembaga (institutionlized)
dalam masyarakat, namun mendarahdaging
(internalized). Maksudnya adalah taraf
perkembangan di mana para anggota
masyarakat
dengan
sendirinya
ingin
berperilaku sejalan dengan perilaku yang
memang sebenarnya memenuhi kebutuhan
masyarakat. Dengan kata lain, norma telah
mendarahdaging (internalized) dalam perilaku
sehari-hari. Soerjono Soekanto (2006, 177178). Ini berarti norma sudah menjadi budaya
dalam bentuk perilaku yang terpola manusia
dalam masyarakat.
Karllgren
dan
Wood,
dalam
menjelaskan hubungan antara sikap dan
perilaku menjelaskan bahwa konsistensi antara
sikap dan perilaku adalah sikap harus kuat dan
jelas. Shelley E. Taylor, Letitia Anne Peplau
(2009,199-200). Salah satu hal yang memberi
konstribusi sikap yang kuat adalah jumlah
informasi yang kita miliki tentang obyek sikap.
Mereka
menemukan
bahwa
perilaku
enviromental (setuju terhadap proyek daur
ulang atau petisi untuk melindungi lingkungan)
dan sikap tentang lingkungan tampak lebih
konsisten di kalangan mahasiswa yang tahu
banyak tentang kelestarian lingkungan.
2. Jenis Kelamin
Menurut Elly M. Setiadi dan Usman
Kolip, jenis kelamin mengarah pada pembagian
fisiologis atau anotomis manusia secara
biologis. Konsep jenis kelamin lebih
membedakan manusia di mana manusia yang
berjenis kelamin laki-laki dan perempuan dapat
diidentifikasi melalui kepemilikan alat kelamin
dan peran seksualnya. Alat kelamin tersebut
merupakan atribut yang melekat pada setiap
manusia secara alamiah yang secara fungsional
tidak dapat dipertukarkan. Elly M. Setiadi
dan Usman Kolip (2011,872).
Sejalan dengan ahli psikologi, maka ahli
sosiologi membahas jenis kelamin berkaitan
dengan gender. Menurut Nasarudin Umar,
dengan mengutip Webster’s New World
Dictionary mengatakan bahwa gender diartikan
sebagai perbedaan yang tampak antara
perempuan dan laki-laki dilihat dari segi nilai
dan tingkah laku. Nasarudin Umar (2001,52).
Sedangkan Prijono menegaskan konsep ini
merujuk pada pemahaman bahwa identitas,

peran, fungsi, pola perilaku, kegiatan, dan
persepsi baik tentang perempuan maupun lakilaki ditentukan oleh masyarakat dan
kebudayaan dimana mereka dilahirkan dan
dibesarkan. Onny S. Prijono (1996,203).
Oleh karena itu tepat seperti dikatakan
oleh Mansoer Fakih bahwa gender adalah sifat
yang melekat pada kaum perempuan maupun
laki-laki yang dikonstruksi secara sosial
maupun kultural. Mansoer Fakih (1996,8).
Pengaturan
norma
dan
perilaku
diperlakukan atas dasar perbedaan jenis
kelamin. Yan Mujianto dan Zaim (2010,31).
Teori
fungsionalisme
menjelaskan
bahwa peran perempuan dan laki-laki dalam
struktur sosial ditentukan berdasarkan status
dan peran masing-masing. Status dan peran
perempuan dan laki-laki ini disosialisasilan
dalam keluarga. Perempuan memiliki tugas
dalam keluarga sebagai produsen utama fungsi
pokok keluarga. Dalam melaksanakan peran
tersebut, perempuan harus berorientasi secara
ekspresif, yakni dengan penyesuaian emosional
dan tanggapan kasih sayang. Perempuan
disalurkan pada jenis pekerjaan yang
berorientasi
ekspresif,
seperti
menjaga
kebersihan rumah, mengasuh anak, dan
sebagainya. George Ritzer dan Douglas J.
Goodman (2004,409).
Uraian di atas menegaskan bahwa
perbedaan jenis kelamin perempuan dan lakilaki memiliki pengaruh terhadap perilaku
individu. Teori psikologi menjelaskan bahwa
konsep diri seseorang tentang dirinya
menentukan perilaku seseorang. Apa yang
harus dilakukan individu dipengaruhi oleh
dimensi pengetahuan tentang dirinya, harapan
akan dirinya, serta penilaian dirinya. Konsep
diri individu berkembang seiring dengan
pengaruh dari lingkungan keluarga, teman
sebaya, dan tuntutan norma dalam masyarakat.
Sejalan dengan hal tersebut, teori
sosiologi menjelaskan bahwa persoalan gender
bukan bersifat biologis, akan tetapi lebih
bersifat sosial dan kultural. Struktur sosial
masyarakat menempatkan perempuan dan lakilaki pada peran dan fungsi masing-masing.
Pembagian tugas perempuan dan laki-laki
dalam struktur sosial seperti keluarga, sekolah,
perusahaan, pemerintahan dan yang lain
terbentuk karena ditentukan oleh norma dan
nilai dalam masyarakat bersangkutan.
3. Pengetahuan Lingkungan
Pengetahuan merupakan terjemahan dari
knowledge. Nana Sujana (1990,23).
Prof. I.R. Pudjawijatna mengatakan
bahwa pengetahuan adalah hal yang berlaku

127

CAKRAWALA,VOL XII NO. 2 SEPTEMBER 2012

umum dan tetap serta pasti yang terutama
digunakan untuk keperluan sehari-hari.
Endang Syaifuddin Anshari (1985,43).
Dalam buku Filsafat Ilmu, Jujun S.
Suriasumantri mengatakan bahwa pengetahuan
merupakan khasanah kekayaan mental yang
secara langsung atau tidak langsung turut
memperkaya kehidupan manusia. Jujun S.
Suriasumantri (1987,104).
Burhanuddin Salam mengatakan bahwa
sumber
pengetahuan
manusia
adalah
pikiran/ratio, pengalaman, intuisi dan wahyu.
Burhanuddin Salam (1984,131).
Muhammad Hatta berpendapat bahwa
ada
beberapa
jalan
untuk
mencapai
pengetahuan. Dengan mendengar cerita,
dengan pengalaman sendiri, dan dengan jalan
keterangan. Muhammad Hatta (1960,1).
Soerjono Soekanto mengemukakan
bahwa “pengetahuan merupakan kesan di
dalam fikiran manusia sebagai hasil
penggunaan panca inderanya”. Soerjono
Soekanto (1987,7).
Beliau juga menambahkan bahwa di
dalam kenyataan ternyata pengetahuan
diperoleh manusia melalui kenyataan (fakta)
dengan melihat dan mendengar sendiri, atau
melalui alat-alat komunikasi, dan sebagainya.
Hal-hal itu diterima oleh pancaindera untuk
kemudian diterima serta diolah oleh otak
manusia.
Pengetahuan berguna bagi manusia agar
manusia dapat membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk, mana yang benar dan
mana yang salah, mana yang indah dan mana
yang jelek.
Dalam
Ensiklopedia
Indonesia,
lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di
luar suatu organisme, meliputi:
a. Lingkungan
mati
(abiotik),
yaitu
lingkungan di luar suatu organisme yang
terdiri atas benda atau faktor alam yang
tidak hidup, seperti bahan kimia, suhu,
cahaya. Gravitasi, atmosfer dan lainnya,
b. Lingkungan
hidup
(biotik),
yaitu
lingkungan di luar suatu organisme yang
terdiri atas organisme hidup, seperti
tumbuhan, hewan, dan manusia.

kesatuan ruang dengan semua benda, daya
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lainnya.
Emil
Salim
menyatakan
bahwa
lingkungan hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk didalamnya manusia
dan
perilakunya,
yang
mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lainnya.
Kesimpulan uraian di atas adalah
pengetahuan lingkungan merupakan sebagai
segala sesuatu yang diketahui tentang suatu
lingkungan alam, baik lingkungan abiotik
maupun biotik. Pengetahuan lingkungan yang
dimiliki seseorang dapat berfungsi untuk
menentukan perilaku mana yang baik dan mana
yang buruk terhadap lingkungannya. Melalui
pengetahuan lingkungan dapat menimbulkan
kesadaran akan dirinya terhadap lingkungan.
Dalam
pelaksanaan
pengetahuan
lingkungan yang menjadi pokok bahasan utama
yang perlu diberikan adalah kesadaran
lingkungan. Kurangnya kesadaran lingkungan
menyebabkan pencemaran (air, udara dan
daratan), penurunan keanekaragaman hayati
dan ketersediaan pangan, dan penurunan
ketersediaan sumber daya alam (SDA).
Pencemaran air; menyebabkan pengendapan
dan mencemari sumur penduduk, air tercemar
bahan kimia beracun, membahayakan hewan
dan lainnya. Pencemaran udara; menyebabkan
perubahan cuaca global, perusakan lapisan
ozon, hujan asam, pencemaran udara di daerah
urban. Produksi limbah padat, limbah cair,
limbah beracun dan berbahaya lainnya,
menyebabkan lingkungan hidup menjadi
terancam.

Encyclopedia Amerika menyatakan
bahwa lingkungan adalah faktor-faktor yang
membentuk lingkungan sekitar organisme,
terutama
komponen-komponen
yang
mempengaruhi perilaku, reproduksi, dan
kelestarian organisme.
Menurut Undang-Undang RI No. 4
tahun 1982, tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan
Lingkungan
Hidup,
dikatakan bahwa: Lingkungan hidup adalah

Hasil analisis varians dua jalur
(ANAVA) menghasilkan Fh = 12,63 lebih
besar dari Ft = 3,94 pada α = 0,05, hal ini
berarti Ho ditolak. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan penilaian budaya
lingkungan antara mahasiwa laki-laki dengan
mahasiswa perempuan. Analisis deskriptif
menunjukkan bahwa rata-rata penilaian budaya
lingkungan antara mahasiswa perempuan (A2)

128

IV. PEMBAHASAN
PENELITIAN

DAN

HASIL

Pengujian Hipotesis Pertama, yaitu terdapat
perbedaan penilaian budaya lingkungan
pada mahasiswa laki-laki
dengan
mahasiswa perempuan.

CAKRAWALA,VOL XII NO. 2 SEPTEMBER 2012

dengan mahasiswa laki-laki (A1), yaitu 53,85 >
50,50.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa
mahasiswa perempuan lebih baik penilaian
budaya lingkungannya dari pada mahasiswa
laki-laki dan perbedaan yang terjadi signifikan.
Analisis tersebut menyimpulkan bahwa
hipotesis pertama teruji kebenarannya.
Pengujian Hipotesis Kedua, yaitu terdapat
perbedaan penilaian budaya lingkungan
antara
mahasiwa
laki-laki
dengan
mahasiswa perempuan, pada kelompok
mahasiswa dengan pengetahuan lingkungan
tinggi.
Hasil analisis data dengan uji Tuckey
antara penilaian budaya lingkungan mahasiswa
laki-laki dengan pengetahuan tinggi (A1B1)
dengan
penilaian
budaya
lingkungan
mahasiswa perempuan dengan pengetahuan
lingkungan tinggi (A2B1) memberikan nilai
Qhitung = 2,56 yang lebih kecil dari nilai Qtabel =
2,88 pada α 0,05. Hal ini berarti Ho diterima
atau H1 ditolak. Sehingga tidak terdapat
perbedaan penilaian budaya lingkungan antara
mahasiswa
laki-laki
yang
memiliki
pengetahuan tinggi (A1B1) dengan mahasiswa
perempuan yang memiliki pengetahuan
lingkungan tinggi (A2B1).
Dilihat dari skor rata-rata kedua
kelompok bahwa skor rata-rata penilaian
budaya
lingkungan
antara
mahasiswa
perempuan yang memiliki pengetahuan tinggi
(A2B1) lebih tinggi dari mahasiswa laki-laki
yang memiliki pengetahuan lingkungan tinggi
(A1B1), yaitu 58,12 > 56,42. Artinya penilaian
budaya
lingkungan
antara
mahasiswa
perempuan yang memiliki pengetahuan tinggi
(A2B1) lebih baik dari pada mahasiswa laki-laki
yang memiliki pengetahuan lingkungan tinggi
(A1B1). Namun perbedaan rata-rata tersebut
tidak signifikan atau tidak berarti, karena uji
Tuckey menerima hipoteisis nol (H0).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan
hipotesis bahwa terdapat perbedaan antara
penilaian budaya lingkungan mahasiswa
perempuan dan mahasiwa laki-laki pada
kelompok mahasiswa dengan pengetahuan
lingkungan tinggi ditolak. Artinya tidak
terdapat perbedaan antara penilaian budaya
lingkungan mahasiswa perempuan dan
mahasiwa laki-laki pada kelompok mahasiswa
dengan pengetahuan lingkungan tinggi.
Disimpulkan
juga
bahwa
mahasiswa
perempuan dengan pengetahuan lingkungan
tinggi, tidak lebih baik penilaian budaya
lingkungannya dari pada mahasiswa laki-laki
dengan pengetahuan lingkungan tinggi.

Pengujian Hipotesis Ketiga, yaitu terdapat
perbedaan penilaian budaya lingkungan
antara mahasiswa laki-laki dan mahasiswa
perempuan pada kelompok mahasiswa
dengan pengetahuan lingkungan rendah.
Hasil analisis data dengan uji Tuckey
antara penilaian budaya lingkungan mahasiswa
laki-laki dengan pengetahuan rendah (A1B2)
dengan
penilaian
budaya
lingkungan
mahasiswa perempuan dengan pengetahuan
lingkungan rendah (A2B2) memberikan nilai
Qhitung = 6,41 yang lebih besar dari nilai Qtabel =
2,88 pada α 0,05. Hal ini berarti Ho ditolak atau
H1 diterima. Sehingga terdapat perbedaan
penilaian budaya lingkungan antara mahasiswa
laki-laki yang memiliki pengetahuan rendah
(A1B2) dengan mahasiswa perempuan yang
memiliki pengetahuan lingkungan rendah
(A2B2).
Dilihat dari skor rata-rata dapat
disimpulkan bahwa skor rata-rata penilaian
budaya
lingkungan
antara
mahasiswa
perempuan yang memiliki pengetahuan rendah
(A2B2) lebih tinggi dari mahasiswa laki-laki
yang memiliki pengetahuan lingkungan rendah
(A1B2), yaitu 49,59 > 44,58. Artinya penilaian
budaya
lingkungan
antara
mahasiswa
perempuan yang memiliki pengetahuan rendah
(A2B2) lebih baik dari pada mahasiswa laki-laki
yang memiliki pengetahuan lingkungan rendah
(A1B2).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan
hipotesis ketiga terbukti kebenarannya bahwa
terdapat perbedaan antara penilaian budaya
lingkungan mahasiswa perempuan dan
mahasiwa laki-laki pada kelompok mahasiswa
dengan pengetahuan lingkungan rendah.
Disimpulkan
juga
bahwa
mahasiswa
perempuan dengan pengetahuan lingkungan
rendah, lebih baik penilaian budaya
lingkungannya dari pada mahasiswa laki-laki
dengan pengetahuan lingkungan rendah.
Pengujian hipotesis keempat, yaitu terdapat
interaksi antara jenis kelamin dan
pengetahuan lingkungan terhadap penilaian
budaya lingkungan mahasiswa.
Hasil analisis varians dua jalur
(ANAVA) pada taraf signifikan α = 0,05,
memperoleh Fh = 3,09 lebih kecil dari Ft = 3,94.
Hal ini berarti Ho diterima. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat interaksi
antara jenis kelamin dan pengetahuan
lingkungan
terhadap
penilaian
budaya
lingkungan mahasiswa.

129

CAKRAWALA,VOL XII NO. 2 SEPTEMBER 2012

Kesimpulan penelitian membuktikan
bahwa (1) Terdapat perbedaan penilaian
budaya lingkungan antara mahasiswa laki-laki
dan mahasiswa perempuan. (2) Tidak terdapat
perbedaan penilaian budaya lingkungan antara
mahasiswa laki-laki dengan mahasiswa
perempuan, pada kelompok mahasiswa dengan
pengetahuan lingkungan tinggi. (3) Terdapat
perbedaan penilaian budaya lingkungan antara
mahasiswa laki-laki dengan mahasiswa
perempuan, pada kelompok mahasiswa dengan
pengetahuan lingkungan rendah. (4) Tidak
terdapat interaksi antara jenis kelamin dan
pengetahuan lingkungan terhadap penilaian
budaya lingkungan mahasiswa.
Hasil
pengujian
lebih
lanjut
membuktikan bahwa mahasiswa dengan
pengetahuan lingkungan tinggi, lebih baik
penilaian budaya lingkungannya dari pada
mahasiswa dengan pengetahuan lingkungan
rendah.
Mahasiswa
laki-laki
dengan
pengetahuan lingkungan tinggi, lebih baik
penilaian budaya lingkungannya dari pada
mahasiswa laki-laki dengan pengetahuan
lingkungan rendah. Mahasiswa perempuan
dengan pengetahuan lingkungan tinggi, lebih
baik penilaian budaya lingkungannya dari pada
mahasiswa perempuan dengan pengetahuan
lingkungan rendah.
Implikasi hasil penelitian secara
pragmatis mempertegas pentingnya pendidikan
lingkungan di kalangan mahasiswa untuk
meningkatkan penilaian budaya lingkungan.
Sedangkan pengaruh jenis kelamin terhadap
penilaian budaya lingkungan terjadi pada
kelompok dengan pengetahuan lingkungan
rendah. Secara teoritis mempertegas bahwa
pengetahuan memiliki peranan penting dalam
pembentukan perilaku seseorang. Juga secara
sosiologis perlunya internalisasi norma
berkaitan
dengan
lingkungan
terhadap
mahasiswa.
V.

PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Penelitian ini menggunakan metode ex
post facto dengan mengikuti tahapan-tahapan
yang sesuai dengan aturan dalam penelitian
ilmiah. Penelitian ini dimaksud untuk mencari
faktor-faktor yang mempengaruhi penilaian
budaya lingkungan.
Penelitian ini secara
umum untuk mengetahui perbedaan jenis
kelamin
dengan
mempertimbangkan
pengetahuan lingkungan mahasiswa, serta
untuk mengetahui seberapa tinggi interaksi
antara jenis kelamin dan pengetahuan
lingkungan
terhadap
penilaian
budaya

130

lingkungan.
Berdasarkan hasil pengujian
hipotesis maka diperoleh temuan sebagai
berikut:
Pertama, terdapat perbedaan yang
signifikan pada skor penilaian budaya
lingkungan pada mahasiswa laki-laki dengan
mahasiswa perempuan. Kedua, pada kelompok
mahasiswa dengan pengetahuan lingkungan
tinggi, tidak terdapat perbedaan antara
mahasiswa
laki-laki
dengan perempuan
terhadap penilaian budaya lingkungan. Ketiga,
pada kelompok mahasiswa yang memiliki
pengetahuan lingkungan rendah, terdapat
perbedaan antara mahasiswa laki-laki dengan
perempuan
dalam
menilai
budaya
lingkungannya. Mahasiswa perempuan dengan
pengetahuan lingkungan rendah, lebih baik
penilaian budaya lingkungaanya dari pada
mahasiswa laki-laki dengan pengetahuan
lingkungan rendah. Keempat, tidak terdapat
interaksi antara jenis kelamin dan pengetahuan
lingkungan
terhadap
penilaian
budaya
lingkungan mahasiswa.
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
disimpulkan dan implikasi yang dipaparkan di
atas, maka dapat diajukan saran-saran
penelitian sebagai berikut:
1. Bagi Pemerintah, perlu terus digalakkan
berbagai upaya meningkatkan pengetahuan
lingkungan untuk meningkatkan penilaian
budaya lingkungan masyarakat, termasuk
mahasiswa.
2. Bagi Perguruan Tinggi, perlu upaya secara
struktural
menjadikan
pendidikan
lingkungan hidup sebagai mata kuliah.
Upaya ini apabila perguruan tinggi
memiliki komitmen terhadap penciptaan
lingkungan kampus yang berwawasan
lingkungan.
3. Bagi Mahasiswa, perlu terus berupaya
secara mandiri maupun kelompok untuk
meningkatkan pengetahuan lingkungan.
Kegiatan mandiri seperti membaca berbagai
sumber pengetahuan lingkungan dari buku
maupun internet. Juga mengikuti berbagai
kegiatan ilmiah seminar, lokakarya,
workshop, dan yang lain. Secara kelompok
mahasiswa
melalui
organisasi
kemahasiswaan melakukan peningkatan
pengetahuan lingkungan mahasiswa dalam
bentuk mengadakan seminar, lokakarya,
workshop, pameran, bazaar, atau kegiatan
lain.
4. Bagi Peneliti, perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut apakah adanya perbedaan
penilaian budaya lingkungan antara

CAKRAWALA,VOL XII NO. 2 SEPTEMBER 2012

mahasiswa laki-laki dan perempuan juga
disebabkan oleh faktor gender atau faktor
lain.
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Endang Syaifuddin. 1985. Ilmu,
Filsafat dan Agama. Surabaya: PT.
Bina Ilmu.
Ch, Nasruddin Anshoriy dan Sudarsono.
2008.
Kearifan
Lingkungan
dalam Perspektif Budaya
Jawa.
Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Fakih, Mansoer. 1996. Analisis Gender dan
Transformasi
Sosial. Yogakarta:
Pustaka Pelajar.
Hasan, Sandi Suwardi . 2011. Pengantar
Cultural Studies
Sejarah,
Pendekatan Koseptual,
dan
Isu
Menuju Studi Budaya Kapitalisme
Lanjut. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Hatta, Muhammad. 1960. Pengantar ke Jalan
Ilmu
dan Pengetahuan. Jakarta:
PT.
Pembangunan Jakarta.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu
Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Manik, Karden Eddy Sontang. 2009.
Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Jakarta: Djambatan.
Mujianto, Yan. 2010. Pengantar Ilmu
Budaya. Yogyakarta: Pelangi
Publishing.
Mujianto, Yan, Zaim Elmubarok, dan
Sunahrowi.
2010.
Pengantar
Ilmu Budaya.
Yogyakarta: Pelangi
Publishing.
Neolaka,
Amos.
2008.
Kesadaran
Lingkungan.
Jakarta:
Rineka
Cipta.
Prijono, Onny
S. 1996. Pemberdayaan
Wanita Sejajar
Pria
dalam
Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan
dan Implementasi.
Jakarta:
CSIS.
Poerwanto, Hari. 2008. Kebudayaan dan
Lingkungan
dalam
Perspektif

Antropologi.
Pelajar.

Yogyakarta:

Pustaka

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman.
2004.
Teori Sosiologi Modern.
Jakarta: Kencana.
Salam, Burhanuddin. 1984. Pengantar
Filsafat. Jakarta: PT. Bina Aksara.
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. 2011.
Pengantar Sosiologi Pemahaman
Fakta
dan Gejala Permasalahan
Sosial:
Teori,
Aplikasi, dan
Pemecahannya. Jakarta: Kencana.
Soekanto, Soerjono. 1987.
Pengantar
Sosiologi Hukum. Jakarta: Bhratara
Karya.
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu
Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Soelaeman, M. Munandar . 2000. Ilmu
Budaya Dasar Suatu Pengantar.
Bandung: Refika Aditama.
Streers, Richard M. dan J. Stewart Black,
1994.
Organization
Behaviour.
New York:
Harper
Collins
College Publishe.
Sujana, Nana. 1990.
Penilaian
Hasil
Proses
Belajar
Mengajar.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1990.
Suriasumantri, Jujun S. 1987. Filsafat Ilmu.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Swartz, Marc. J. and Davis K. Jordan.
1980.
The
Anthropological
Persective. New York: Jhon Willey
and
Son.
Syamsuri,
Istamar.
1996.
”Etika
Lingkungan”.
Jurnal
Chimera
Tahun 1 No. 2 Agustus
1996.
Taylor, Shelley E, Letitia Anne Peplau,
David O.
Sears.
2009. Psikologi Sosial Edisi Kedua
Belas. Jakarta: Kencana.
Umar, Nasarudin . 2001.
Argumentasi
Kesetaraan Gender: Perspektif Al
Quran.
Jakarta:
Paramadina.

131